You are on page 1of 96

PANDUAN

PENGEMBANGAN KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH (MARINE MANAGEMENT AREA/MMA) DI WILAYAH COREMAP II - INDONESIA BAGIAN BARAT

Penyusun: Budy Wiryawan Agus Dermawan Editor : Suraji

CORAL REEF REHABILITATION AND MANAGEMENT PROGRAM COREMAP II 2006

DAFTAR ISI
1. KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH (MARINE MANAGEMENT AREA) 1.1Pengantar 1 1

2.

1.2 Nomenklatur MMA 1.3 Pengembangan Kawasan Konservasi Laut di Indonesia 1.4 Jejaring Kawasan Konservasi (MMA) 1.5 Konsep MMA dan Desain Kelembagaan Pengelolaan MMA 1.6 Strategi Pencapain Tujuan MMA 1.7 Desain Pengelolaan MMA 1.8 Opsi-opsi Desain MMA Kabupaten/Kota RENCANA KELEMBAGAAN MMA 2.1 Dasar Kelembagaan MMA 2.2 Status Kelembagaan COREMAP II Daerah 2.3 Perspektif Kelembagaan MMA ke depan 2.4 Mekanisme kerja Kelembagaan MMA 2.5 Lembaga Pengelola MMA 2.6 Sekretariat Pengelola MMA 2.7 Komite Penasehat Teknis Pengelolaan MMA 2.8 Unit Pelaksana Teknis Pengelolaan MMA 2.9 LPSTK dan Pihak Swasta 2.10 Pendanaan MMA DAERAH PERLINDUNGAN LAUT BERBASIS MASYARAKAT 31. Kelembagaan Konservasi Terumbu Karang di Desa 3.2 Kelompok Masyarakat Pengelola DPL 3.3 Membangun DPL Berbasis Masyarakat 3.4 Metoda Pengelolaan DPL 3.5 Peran DPL untuk Pengelolaan Perikanan 3.6 Zonasi Kawasan 3.7 Lokasi dan Ukuran 3.8 Partisipasi Masyarakat PERENCANAAN DAN PEMBENTUKAN DPL 4.1 Tahapan dan Pembentukan 4.2 Pemilihan Lokasi MMA 4.3 Sistem Biaya Masuk 4.4 Kelompok Pengelola 4.5 Peraturan Desa atau Surat Keputusan Desa 4.6 Pengelolaan DPL 4.7 Pembuatan Rencana Pengelolaan 4.8 Pemasangan Tanda Batas dan Pemeliharaan 4.9 Pendidikan Lingkungan Hidup 4.10 MCS dan Penegakan Hukum 4.11 Pemantauan dan Evaluasi 4.12 Penyebarluasan Konsep DPL ke Lokasi Lain (scaling-up) DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

2 5 10 11 12 14 14 19 19 23 25 25 27 27 28 28 29 30 33 33 36 37 39 39 41 42 44 47 47 50 53 53 54 57 58 71 72 73 73 75 77 79

3.

4.

DAFTAR TABEL
Tabel 1. Tahapan, Kegiatan, Hasil dan Indikator pengembangan DPL ............................... 48 Tabel 2. Matrik Rencana Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang ................................... 70

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Model Konseptual MMA secara umum ............................................................ Gambar 2. Jaringan DPL dalam satu Unit Pengelolaan KKLD Kabupaten/Kota ................ Gambar 3. Usulan Batas Geografis Kawasan Konservasi Laut Kota Batam ................... Gambar 4. Usulan Batas Geografis Kawasan Konservasi Laut Daerah Kep. Mentawai .... 12 14 16 18

Gambar 5. Usulan Kelembagaan MMA ............................................................................ . 31 Gambar 6. Tahapan Pembentukan Daerah Perlindungan Laut ......................................... 49 Gamabr 7. Tahapan Proses Pembentukan Peraturan Desa/Surat Keputusan Desa tentang Perlindungan Laut .............................................................................................. 56 Gambar 8. Siklus Kebijakan pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir ............................. 57 Gambar 9. Pentahapan Penyusunan Rencana Pengelolaan Terumbu Karang .................. 63

ADB

Coral Reef Rehabilitation and Management Program Phase II

COREMAP II

Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN Jl. Tebet Raya No. 91, Tebet - Jakarta Selatan 12820 Telp : (62-21) 83783931 Fax : (62-21) 8305007 e-mail : coremapii@dkp.go.id, coremap2@yahoogroups.com Website : www.dkp.go.id

1. KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH (MARINE MANAGEMENT AREA) 1.1 Pengantar


1.1. Pengantar 1.2. Nomenklatur MMA 1.3. Pengembangan Kawasan Konservasi Laut di Indonesia 1.4. Jejaring Kawasan Konservasi (MMA) 1.5. Konsep MMA dan Desain Kelembagaan Pengelolaan MMA 1.6. Strategi pencapaian tujuan MMA 1.7. Desain Pengelolaan MMA

Buku dalam

panduan

ini

disusun program

berdasar pengalaman COREMAP II ADB mengimplementasikan pengelolaan sumberdaya terumbu karang di Indonesia bagian barat, serta dari pengalaman program pengelolaan pesisir

di Indonesia, terutama CRMP/USAID untuk model Daerah Perlindungan Laut. Pedoman ini ditujukan untuk para praktisi, perencana dan pengambil kebijakan untuk wilayah pesisir. Buku Panduan ini, yang menjelaskan langkah-langkah partisipatif dalam mengembangkan Kawasan Konservasi Laut (Marine Protected Area), yang dalam istilah proyek COREMAP II ADB disebut MMA (Marine Management Area), yaitu mulai dari mengidentifikasikan isu-isu, baik potensi maupun masalah, secara singkat dijelaskan tahapan dalam pengembangan MMA di lokasi proyek. Generalisasi konsep dan ide-ide, serta lesson-learned yang dijelaskan dalam buku ini diharapkan dapat diterapkan para pembaca. Buku ini didesain sebagai pustaka dalam pengembangan kawasan konservasi laut di wilayah pesisir di Indonesia, namun demikian para pembaca yang menginginkan informasi yang lebih spesifik disarankan melihat referensi yang digunakan buku ini. Manfaat yang diharapkan dari buku ini adalah untuk memfasilitasi perencana dan paktisi dalam mengembangkan MMA dengan memanfaatkan pengetahuan lokal, serta kearifan lokal mereka, dalam pengembangan rencana pengelolaan kawasan konservasi laut ke depan. Diharapkan, para praktisi dan perencana dapat meningkatkan proses partisipasi stakeholders,

COREMAP II ADB

sebagai basis dalam terbentuknya kolaboratif manajemen MMA, yang akan menjamin perikanan dan pariwisata berkelanjutan. Untuk menyamakan persepsi, maka penggunaan istilah MMA di dalam buku panduan ini digunakan istilah Kawasan Konservasi Laut (KKL) di tingkat kabupaten, yang dipadankan dalam bahasa Inggris disebut locally-managed Marine Management Area (MMA). Sedang kawasan konservasi laut pada skala desa dalam panduan ini disebut dengan Daerah Perlindungan Laut (DPL). 1.2 Nomenklatur MMA Walaupun istilah Marine Management Area atau Marine

Conservation Area ataupun Marine Protected Area mempunyai persamaan arti, namun demikian berikut akan dijelaskan tentang asal-usul istilah tersebut. Kawasan dilindungi (protected area) adalah suatu kawasan, baik darat maupun laut yang secara khusus diperuntukkan bagi perlindungan dan pemeliharaan keanekaragaman hayati dan budaya yang terkait dengan sumber daya alam tersebut, dan dikelola melalui upaya-upaya hukum atau upaya-upaya efektif lainnya (IUCN, 1994). Definisi dari IUCN dan UNDANG-UNDANG Nomor 5 Tahun 1990

tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, konservasi adalah manajemen biosfer secara berkelanjutan untuk memperoleh manfaat bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang. IUCN mengelompokkan Kawasan Lindung menjadi 6 kategori : (1) Strict Nature Reserve/Wilderness Area, (b) National Park, (c) Nature Monument, (d) Habitat/Species Management Area, (e) Protected Landscape/Seascape, dan (f) Managed Resources Protected Area.

Panduan Pengembangan Marine Management Area

Marine Protected Area (Kawasan Konservasi Laut) adalah daerah intertidal (pasang-surut) atau subtidal (bawah pasang- surut) beserta flora fauna, sejarah dan corak budaya dilindungi sebagai suaka dengan melindungi sebagian atau seluruhnya melalui peraturan perUndangUndang an (IUCN, 1995). Perbedaan bentuk, ukuran, karakteristik pengelolaan dan dibentuk berdasarkan perbedaan tujuan. Secara umum terdapat empat jenis MPA, yaitu : konservasi kawasan, konservasi jenis, konservasi jenis peruaya dan locally-managed Marine Management Area (MMA). Di dunia Internasional MMA dikenal sebagai suatu kawasan di suatu wilayah perairan pesisir yang secara aktif dikelola oleh masyarakat lokal/keluarga setempat di sekitar kawasan, atau oleh pengelolaan kolaboratif baik oleh masyarakat setempat maupun oleh perwakilan pemerintah daerah. MMA merupakan pendekatan baru terhadap Marine Protected Area (LMMAnetwork, 2003). Dengan melihat perkembangan KKL di Indonesia, maka MMA dapat dipadankan dengan Daerah Perlindungan Laut (DPL) berbasis masyarakat pada skala desa, yang terdapat di beberapa desa pesisir di Indonesia, seperti di desa Blongko, Bentenan, Tumbak di Minahasa dan Pulau Sebesi di Lampung Selatan, dsb. Adapun maksud pembentukan KKL dimaksudkan untuk : (1) Menjamin kelestarian ekosistem laut untuk menopang kehidupan masyarakat yang tergantung pada sumberdaya yang ada, (2) Perlindungan terhadap keanekaragaman hayati laut, (3) Pemanfaatan sumberdaya laut yang berkelanjutan, (4) Pengelolaan sumberdaya laut dalam skala lokal secara efektif, (5) Pengaturan pengelolaan. aktivitas masyarakat dalam kawasan

COREMAP II ADB

Sedang tujuan pembentukan KKL adalah : (1) Peningkatan kualitas habitat (terumbu karang, padang lamun, dan hutan mangrove), (2) Peningkatan populasi, reproduksi dan biomassa sumberdaya ikan, (3) Peningkatan kapasitas lokal untuk mengelola sumberdaya ikan, (4) Peningkatan kohesif antara lingkungan dan masyarakat, (5) Peningkatan pendapatan masyarakat dari sumberdaya alam. Terminologi yang dipakai oleh COREMAP II ADB disebut MMA (Marine Management Area) dan oleh COREMAP II WB disebut MCA (Marine Conservation Area). Namun demikian, aplikasi di lapangan tidak mesti menggunakan istilah yang sama dengan istilah di dalam COREMAP II. Dengan alasan, bahwa (1) istilah dalam bahasa Indonesia yang tepat untuk MMA atau MCA, tetapi diterjemahkan menjadi Kawasan Konservasi Laut (KKL), (2) istilah Kawasan Konservasi Perairan di dalam UndangUndang Nomor 31 Tahun 2004 Pasal 13 ayat 1 (dan penjelasan) dikategorikan menjadi 4, yaitu : (a) Taman Nasional Perairan, (b), Suaka Alam Perairan, (c) Taman Wisata Perairan, (d) Suaka Perikanan. Saat sekarang, Pemerintah Indonesia sedang memformalkan

Rancangan Peraruran Pemerintah (RPP) tentang Konservasi Sumberdaya Ikan menjadi Peraturan Pemerintah tentang Konservasi Sumberdaya Ikan (PP KSDI), yang akan diterbitkan pada tahun 2006. Menteri. Nasional, Berdasarkan (b) Kawasan lingkup kewenanganya, Perairan Pada Pasal 10 PP Kawasan Kawasan tersebut, dijelaskan bahwa Kawasan Konservasi Perairan ditetapkan oleh pengelolaan Propinsi, (c) Konservasi Peraiaran terdiri dari : (a) Kawasan Konservasi Perairan Konservasi Konservasi Perairan Kabupaten/Kota. Pada PP ini juga mengacu pada

Panduan Pengembangan Marine Management Area

Undang-Undang Undang-Undang

Nomor 31 tentang Perikanan, yang merekomendasikan tersebut. an sebagaimana diuraikan di atas

jenis kawasan konsrvasi berdasar tujuan pengelolaan, sesuai dengan

Peraturan perUndang-Undang

memberi mandat hukum atau kewenangan sesuai dengan kompetensi dan proporsinya masing-masing kepada lembaga-lembaga pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam rangka mengembangkan MMA di Indonesia

1.3 Pengembangan Kawasan Konservasi Laut di Indonesia Perkembangan Kawasan Konservasi Laut di Indonesia sejalan dengan perubahan pendekatan dunia terhadap konservasi laut. Pendekatan pertama yang dimulai pada abad lalu, terdiri dari pengaturan dan pengelolaan aktifitas kelautan secara individual sektor, seperti perikanan komersial dengan berbagai tingkatan koordinasi dan peraturan dari berbagai sektor. Biasanya kurang koordinasi dan perhatian pengelolaan kawasan pesisirnya. Pendekatan kedua, adalah dengan pembentukan kawasan konservasi laut pada skala kecil (desa) yang merupakan salah satu upaya pengelolaan sumberdaya ikan. Biasanya pendekatan kedua tersebut dilengkapai dengan pengaturan penggunaan alat-alat penangkapan ikan. Pendekatan ketiga adalah pembentukan Kawasan Konservasi Laut dengan skala luas, dengan tujuan yang serba guna dan sistem pengelolaan yang terintegrasi. Pendekatan ketiga tersebut merupakan pendekatan yang relatif baru di Indonesia dan akan dilakukan pada pengembangan Kawasan Konservasi Laut atau MMA oleh COREMAP II. Mengingat Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki luas wilayah laut lebih besar dari pada luas daratan, dengan total panjang garis pantainya terpanjang keempat di dunia, maka Indonesia memiliki jumlah pulau sebanyak 17.508 pulau dengan garis pantai 85.000 km 2004). Wilayah (WRI, lautan Indonesia yang terletak pada garis khatulistiwa

COREMAP II ADB

terkenal memiliki kekayaan dan keanekaragaman sumberdaya alamnya, terutama sumberdaya alam yang dapat pulih (seperti perikanan, hutan mangrove, terumbu karang), sehingga dikenal sebagai coral triangle sebagai pusat mega-biodiversitas. Wilayah pesisir juga memiliki arti strategis karena merupakan wilayah peralihan (interface) antara ekosistem darat dan laut, serta memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa lingkungan. Kekayaan sumberdaya tersebut menimbulkan daya tarik bagi berbagai pihak untuk memanfaatkannya. Sumberdaya kelautan dan perikanan merupakan salah satu kekayaan alam yang dimiliki Indonesia dan banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Akan tetapi sampai dengan saat ini, pemanfaatan sumberdaya alam tersebut kurang memperhatikan kelestariannya sehingga berakibat pada menurunnya kualitas serta keanekaragaman hayati yang ada. Degradasi ekosistem terumbu karang telah teridentifikasi sejak tahun 1990-an, sampai saat ini kerusakan ekosistem pesisir dan penurunan kualitas lingkungan laut sudah memprihatinkan. Dari hasil penelitian P2O-LIPI (1998), kondisi terumbu karang di Indonesia hanya 6,41 % dalam kondisi sangat baik ; 24,3 % dalam kondisi baik; 29,22 % dalam kondisi sedang; dan 40,14 % dalam kondisi rusak. Kerusakan tersebut pada umumnya disebabkan oleh kegiatan perikanan destruktif, yaitu penggunaan bahan peledak, racun cyanida dan juga penambangan karang, pembuangan jangkar perahu dan sedimentasi. Pelaku kerusakan tersebut tidak hanya dilakukan oleh masyarakat pesisir tetapi juga oleh nelayan-nelayan modern dan nelayan asing. Kencenderungan di atas dikarenakan kurang optimalnya pengelolaan kawasan konservasi laut yang berbentuk Taman Nasional atau yang lainnya, disebabkan oleh ; (1) Orientasi pengelolaan kawasan konservasi laut lebih fokus pada manajemen teresterial, (2) Pengelolaan bersifat sentralistik dan belum melibatkan pemerintah daerah dan masyarakat setempat,(3)Tumpang tindih pemanfaatan ruang dan benturan kepentingan

Panduan Pengembangan Marine Management Area

para pihak, (4) Banyaknya pelanggaran yang terjadi di kawasan konservasi laut. Salah satu bentuk pengelolaan dan perlindungan sumberdaya laut adalah menyisihkan lokasi-lokasi yang memiliki potensi keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, gejala alam dan keunikan, serta ekosistemnya menjadi kawasan konservasi laut. Melalui cara tersebut diharapkan upaya perlindungan terhadap sistem penyangga kehidupan, pengawetan sumber plasma nutfah dan ekosistemnya serta pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari dapat terwujud. Dalam rangka pengelolaan sumberdaya alam laut yang lestari, maka desain terpadu pengelolaan sumberdaya kelautan sangat diperlukan. Desain secara komprehensif pemanfaatan laut diharapkan dapat menyatukan beberapa kebijakan yang ada sehingga dapat mengakomodir kebutuhan masyarakat seperti : Taman Nasional Perairan, Taman Wisata Perairan, Suaka Alam Laut dan Cagar Alam Perairan, Perairan, Taman Wisata Nomor Kawasan Konservasi Laut atau Daerah Perlindungan Laut,

sesuai dengan Nomenklatur yang terdapat pada Undang-Undang tentang Konservasi Sumberdaya Ikan.

31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan Rancangan Peraturan Pemerintah

Kawasan Konservasi Laut merupakan paradigma baru, disamping kawasan konservasi nasional lainnya sebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Landasan hukum lainnya adalah Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu pada pasal 18 dijelaskan bahwa salah satu kewenangan daerah di wilayah laut adalah eksploitasi dan konservasi sumberdaya alam di wilayahnya. Kegiatan penyusunan desain KKL ini dimaksudkan untuk mendesain pokok-pokok pengelolaan konservasi laut yang berskala daerah dan atau
COREMAP II ADB

regional bahkan nasional karena lintas wilayah administrasi daerah otonom. Untuk menghindari berbagai permasalahan yang berkembang dalam pengelolaan kawasan konservasi yang dapat berdampak pada konflik vertikal (tumpang-tindih perundangundangan) serta konflik horizontal (masalah pemanfaatan dan pengelolaan SDI) maka dibutuhkan suatu kajian yang mendalam terhadap berbagai peraturan perUndang-Undang yang telah berjalan dan perUndang-Undangan yang menguntungkan berbagai pihak. Dalam pandangan pemerintah, sumber daya alam hayati laut dan ekosistemnya sangatlah penting untuk dikelola, karena sebagai sumber daya alam yang terkandung di dalam bumi dan air Indonesia menurut Pasal 33 ayat (3) UUD dikuasai oleh negara untuk dipergunakan bagi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Arti dikuasai dalam kaitan ini bukan dimiliki, melainkan negara memperoleh mandat dari rakyat sebagai pemilik sumber daya alam hayati laut dan ekosistemnya untuk melakukan pengelolaan dan upaya-upaya lainnya yang bermanfaat bagi rakyat banyak. Dengan demikian, penggunaan sumber daya alam hayati laut dan ekosistemnya melalui kegiatan konservasi laut akan bermanfaat bagi rakyat banyak bila secara ekonomis, politis, sosiologis dan kultural menguntungkan. Untuk melindungi sumberdaya alam ini, pemerintah melakukan berbagai upaya perlindungan diantaranya dengan menetapkan kawasankawasan konservasi laut yang terdapat di beberapa daerah di Indonesia. Pemerintah telah merancang suatu model pengelolaan kawasan di wilayah laut yang diberi nama Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD). Sampai tahun 2006, sebanyak 9 Kabupaten yang telah menetapkan sebagian wilayah pesisirnya sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah. Perbedaan bentuk, ukuran, karakteristik pengelolaan dan dibentuk berdasarkan perbedaan tujuan. Secara umum terdapat empat jenis MPA,
8
Panduan Pengembangan Marine Management Area

an

pada akhirnya melahirkan suatu produk

yaitu : konservasi kawasan, konservasi jenis, konservasi jenis peruaya dan Locally Marine Managed Area (LMMA). LMMA ini sepandan dengan konsep MMA di skala Kabupaten dan DPL di skala Desa, yang sedang dikembangkan oleh COREMAP II di Indonesia bagian barat. Di dunia Internasional LMMA dikenal sebagai Locally Managed

Marine Area, yaitu suatu kawasan di suatu wilayah perairan pesisir yang secara aktif dikelola oleh masyarakat lokal/keluarga setempat di sekitar kawasan, atau oleh pengelolaan kolaboratif baik oleh masyarakat setempat maupun oleh perwakilan pemerintah daerah. LMMA merupakan pendekatan baru terhadap Marine Protected Area (LMMAnetwork, 2003). Sekali lagi, terminologi yang dipakai oleh COREMAP II ADB disebut MMA (Marine Management Area) dan oleh COREMAP II WB disebut MCA. Untuk di Indonesia bagian barat, satu Kabupaten/Kota hanya terdiri dari satu Unit MMA. Namun demikian, aplikasi di lapangan tidak mesti menggunakan istilah yang sama dengan istilah di dalam COREMAP II. Dengan alasan, bahwa (1) istilah dalam bahasa Indonesia yang tepat untuk MMA atau MCA, tetapi diterjemahkan menjadi Kawasan Konservasi Laut (KKL), (2) istilah Kawasan Konservasi Laut di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Pasal 13 ayat 1 (dan penjelasan) dikategorikan menjadi 4, yaitu : Suaka Perikanan, Taman Nasional Perairan, Suaka Alam Perairan, dan Taman Wisata Perairan. Seperti juga disebutkan dalam Rancangan Peraturan Pemerintah Konservasi Sumberdaya Ikan (draft Agustus 2006). Peraturan perUndang-Undangan sebagaimana diuraikan di atas memberi mandat hukum atau kewenangan sesuai dengan kompetensi dan proporsinya masing-masing kepada lembaga-lembaga pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam rangka mengembangkan MMA di Indonesia 1.4 Jejaring Kawasan Konservasi (MMA)

COREMAP II ADB

Dari beberapa MMA Kabupaten/Kota diupayakan membentuk jejaring MMA. Seperti disebutkan dalam Pasal 28 Rencana Peraturan Pemerintah Konservasi Sumberdaya Ikan, yaitu untuk meningkatkan daya tahan dan keutuhan Kawasan Konservasi Perairan terhadap pengaruh iklim global, iklim musiman, dan tekanan manusia, perlu dikembangkan Jejaring kawasan konservasi perairan. Jejaring kawasan konservasi perairan dikembangkan atas dasar: a. b. keterkaitan biofisik antar Kawasan Konservasi Perairan; kemitraan antar lembaga pengelola Kawasan Konservasi Perairan dan/atau antara lembaga pengelola Kawasan Konservasi Perairan dengan lembaga non-pemerintah nasional dan/atau asing; Jejaring Kawasan Konservasi Laut, misalnya, dikembangkan dengan mempertimbangkan bukti ilmiah meliputi aspek oseanografi, limnologi, biologi perikanan, keterkaitan antar kawasan, daya tahan lingkungan, kelembagaan pengelolaan, dan aspek ekonomi, sosial serta budaya. Sedang rencana dan desain Jejaring Kawasan Konservasi Perairan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan dan strategi nasional konservasi sumber daya ikan. Kriteria yang dapat digunakan untuk pemilihan lokasi MMA diterakan dalam Box di bawah ini.

10

Panduan Pengembangan Marine Management Area

Contoh Kriteria Pemilihan KKL Kriteria Sosial: Penerimaan sosial, kesehatan masyarakat, rekreasi, budaya, estetika, konflik kepentingan, keamanan, keterjangkauan kawasan, pendidikan, kesadartahuan masyarakat dan kecocokan Kriteria Ekonomi: Nilai penting spesies, nilai penting perikanan, sifat-sifat ancaman, keuntungan ekonomi dan pariwisata. Kriteria Ekologi: Keanekaragaman hayati, kealamiahan, ketergantungan, keterwakilan, keunikan, integritas, produktivitas, ketersediaan dan kawasan pemijahan ikan. Kriteria Regional: Urgensi Regional dan daerah Kriteria Fragmatik: Kepentingan, ukuran, tingakt ancaman, efektivitas, peluang, ketersediaan, daya pulih dan penegakan hukum. (Salm et al, 2002)

1.5 Konsep MMA dan Desain Kelembagaan Pengelolaan MMA Konsep MMA berikut merupakan kesepakatan yang diambil dari kesepakatan para praktisi MMA di Asia-Pasifik yang terjalin dalam MMA Network. Gambar 1 menjelaskan model konseptual MMA dengan 5 komponen didalamnya, yaitu : (1) Target (ekosistem terumbu karang), adalah kondisi dimana lokasi MMA difokuskan yang langsung berpengaruh terhadap aktivitas MMA. (2) Ancaman langsung, adalah faktor dimana ancaman secara tibatiba bisa mempengaruhi target. (3) Ancaman tidak langsung, adalah faktor dimana ancaman yang muncul dibalik ancaman langsung.

COREMAP II ADB

11

(4) Strategi, adalah aksi yang dilakukan terhadap ancaman suntuk mencapai target. Untuk satu jaringangan MMA, hanya terdapat satu strategi MMA (5) Parktisi, strategi adalah individu atau organisasi yang memiliki keterampilan dan kapasitas untuk mengimplemntasika strategi-

Praktisi

Strategi MMA

Ancaman Tak Langsung

Ancaman Langsung

Target

Gambar 1. Model Konseptual MMA secara umum (Sumber LMMA Network, 2003)

1.6

Strategi pencapaian tujuan MMA

COREMAP II melakukan antisipasi terhadap ancaman langsung maupun tak langsung yang akan mempengaruhi target melalui beberapa strategi. MMA merupakan kawasan habitat laut yang dikelola oleh masyarakat setempat, pengelola kawasan, atau yang berhubungan dengan organisasi dan atau pengaturan bersama dengan perwakilan lembaga pemerintah. Tiga komponen spesifik dari strategi pengelolaan sebuah MMA adalah : (1) Full Reserve (Perlindungan yang Menyeluruh), yaitu

perlindungan penuh terhadap sumberdaya alam suatu kawasan. Kawasan tersebut sering disebut Sanctuary (Suaka) atau Daerah Larang Ambil atau fully protected area.

12

Panduan Pengembangan Marine Management Area

(2) Species Specific Refugia (Pembatasan Penangkapan Spesies tertentu, adalah pembatasan penangkapan terhadap spesies tertentu atau beberapa spesies atau individu dengan ukuran atau jenis kelamin tertentu. (3) Effort or behavioral adalah Restrictions pengaturan (Pengurangan pembatasan Lokal Upaya usaha Penangkapan), Perijinan oleh

penangkapan ikan atau pemanfaatan tertentu di suatu kawasan. Pemerintah/Pengusaha menyangkut pembatasan tipe teknologi yang digunakan, pembatasan tingkat usaha penangkapan ikan (seperti : jumlah ikan, jumlah perahu, kuota terhadap jumlah penangkapan, pengaturan musim, pola pemanfaatan lain yang diperbolehkan (seperti wisata selam) dan pembatasan perijinan. Seperti ditargetkan dalam COREMAP II ADB, bahwa sekitar 60.000 Hektar ekosistem terumbu karang dapat dilindungi sampai 2009, setelah terbentuknya 40-45 Lembaga Pengelola Terumbu Karang berbasis Desa. Karena COREMAP ADB mempunyai 8 lokasi kabupaten/kota, maka per lokasi diharapkan terbentuk sebuah MMA yang mempunyai luas 1000 sampai dengan 1500 Hektar terumbu karang. MMA berfungsi sebagai penghubung jaringan antara kawasan konservasi laut berbasis desa (Daerah Perlindungan Laut/DPL) berbasis desa. Banyaknya gugus DPL dalam suatu MMA dapat senantiasa berkembang, mengingat proses pembentukan dari masing-masing DPL berbasis desa bervariasi. Namun pada prinsipnya, MMA merupakan pusat koordinasi pengelolaan kawasan konservasi, yang mempunyai skala dan status dapat berbeda. Melalui MMA, maka diharapkan berbagai pemanfaatan kawasan laut seperti, penangkapan ikan, budidaya, pariwisata, pertambangan, indusrti transportasi dan kegiatan lain yang selaras dengan tujuan konservasi kawasan dapat diakomodasi. Dengan adanya DPL-DPL sebagai komponen
COREMAP II ADB

13

dari MMA, diharapkan suatu kawasan konservasi dapat lebih memberikan manfaat ekologi yang pada akhirnya memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat. Karena perlindungan kepada spesies yang bermigrasi (seperti ikan dan mamalia laut) dapat lebih optimal jika habitatnya secara utuh dilindingi.

DPL DPL DPL

KKLD/MMA
DPL DPL

Gambar 2. Jaringan Daeral Perlindungan Laut (DPL) dalam satu Unit Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) di Kabupaten/Kota.
Keterangan : Jenis-jenis DPL pada skala desa, maka Jaringan KKLD dapat berupa Kawasan-Kawasan Konservasi lain sesuai dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 dan Rancangan Peraturan Pemerintah Konservasi Sumberdaya Ikan, yaitu : Taman Nasional Perairan, Taman Wisata Perairan, Suaka Alam Perairan dan Suaka Perikanan.

1.7 memadukan perikanan,

Desain Pengelolaan MMA segenap pariwisata, kegiatan ekonomi, dan seperti perhubungan laut,

Pengelolaan suatu MMA haruslah dirancang secara terpadu, yaitu dengan kehutanan pertambangan. Keterpaduan

pengelolaan MMA juga meliputi aktivitas sosial dan administrasi dan

14

Panduan Pengembangan Marine Management Area

kepemerintahan). Sementara dampak penting dari lingkungan, seperti pencemaran, erosi dan sedimentasi memerlukan pertimbangan khusus dalam desain pengelolaan MMA. Pengelolaan suatu MMA diharapkan menganut prinsip-prinsip dasar sebagai berikut : (1) Adaptif. Pengelolaan yang adaptif terhadap perubahan dan informasi baru untuk memperbaiki kinerja pengelolaan suatu MMA. (2) Berkelanjutan. Upaya-upaya pemanfaatan dilaksanakan berdasar pada azas keberlanjutan dan ekologis. (3) Pendekatan memfokuskan Ekosistem. pada Pengelolaan ekosistem ekosistem dengan integritas

mempertimbangkan aspek pemanfaatan. (4) Manfaat Ganda. Pengelolaan dengan mengikuti proses untuk alokasi sumberdaya dan pengambilan keputusan, terutama dalam perencanaan dan penetapan kawasan. (5) Pengelolaan Bersama. Pengelolaan contoh-contoh bersama untuk mengimplementasikan sumberdaya yang baik. 1.8 Opsi-opsi Desain MMA Kabupaten/Kota (1) MMA dibentuk dari Jaringan Daerah Perlindungan Laut (DPL) skala desa. Di dalam Surat Keputusan Bupati/Walikota tentang Penetapan MMA Kabupaten/Kota menyebutkan batas-batas MMA dengan koordinat geografis. Adapun Sebuah MMA Kabupaten dapat terdiri lebih dari satu Sub-MMA (seperti MMA-1: Pantai Timur Natuna, MMA-2: Pulau TigaSedanau, dsb). Di dalam satu Sub-MMA merupakan jaringan atau kumpulan dari Daerah Perlindungan Laut (DPL) terdekat secara hamparan
COREMAP II ADB

pengelolaan

15

di desa-desa yang bertetangga, yang ditetapkan dan diatur oleh Peraturan Desa masing-masing. (Lihat Lampiran : Rancangan Surat Keputusan Walikota Batam, Bupati Mentawai, dan Natuna tentang Kawasan Konservasi Laut Daerah) Karena luasan DPL desa biasanya kecil, dalam lingkup Hektar (misal 10-20 Hektar), maka dalam penetapannya batas-batas DPL tidak perlu untuk menetapkan posisi geografis dengan Lintang dan Bujur, tetapi cukup dengan ukuran jarak (meter). Dalam penetapan batas-batas DPL sebaiknya digunakan tanda-tanda alam (land mark) dan nama-nama lokal batas-batas zona inti. Zona-zona yang dibuat di dalam DPL diupayakan sesedehana mungkin, seperti Zona Inti, yaitu kawasan larang-ambil ekstraktif, dan Zona Penyangga,merupakan zona pemanfaatan terbatas di sekeliling Zona Inti. (Lihat Lampiran: Laut). Surat Keputusan Desa tentang Daerah Perlindungan

Gambar 3. Usulan Batas Geografis Kawasan Konservasi Laut Kota Batam

16

Panduan Pengembangan Marine Management Area

(2) Daerah Perlindungan Laut (DPL) dapat terdiri dari Sub-DPL Sebuah Daerah Perlindungan Laut yang ditetapkan oleh Desa dapat terdiri dari satu atau lebih sub-DPL sebagai Zona Inti. Beberapa pertimbangan, kenapa Desa menetapkan lebih dari satu Zona Inti dalam lokasi DPL adalah : a) Desa terdiri dari beberapa dusun (Rukun Warga) yang tersebar di beberapa pulau, b) terdapat lokasilokasi potensial untuk dilindungi sebagai Zona Inti di sepanjang pesisir desa, dengan jarak yang relatif jauh untuk keperluan pengawasan, sehingga perlu membuat batas-batas, misalnya: DPL-1: Pulau Nguan-Batam, DPL-2: Pulau Abang-Batam, DPL-3 dsb; untuk satu desa. Contoh lain adalah DPL di desa Botohilitanu di Nias Selatan, yang terdisri dari 3 zona inti sebagai sub-DPL. (3) MMA desa-desa. Satu MMA yang disyahkan oleh Surat Keputusan Bupati/Walikota dapat merupakan jaringan antara Kawasan, yaitu : Kawasan Konservasi yang telah ada, seperti Cagar Alam, Taman Wisata Laut, dsb. dengan DPL. Kawasan Konservasi atau kawasan lindung seperti yang termaktub dalam Rencana Tata Ruang Wilayah, sedang DPL adalah Daerah Perlindungan Laut yang ditetapkan oleh Peraturan Desa. Atau Surat Keputusan Desa. (Lihat Lampiran : Peraturan Bupati Berau tentang Kawasan Konservasi Laut Kabupaten Berau) Dalam Surat Keputusan Bupati/Walikota batas-batas MMA telah di sebutkan dengan posisi geografis, sedang DPL hanya disebutkan desadesanya saja. Peraturan dan pengelolaan DPL dijelaskan dengan Perturan Desa/SK Kepala Desa. Khusus untuk Kota Batam, Kelurahan tidak menerbitkan Peraturan Desa, karena kelurahan tidak otonom, sehingga
COREMAP II ADB

dapat terdiri dari jaringan antara Kawasan Konservasi

yang telah ada, digabung dengan Daerah Perlindungan Laut (DPL) di

17

untuk pembentukan MMA langsung dengan SK Walikota, termasuk pengelolaan DPL-DPL nya..

Gambar 4. Usulan Geografis Kawasan Konservasi Laut Daerah Kepulauan Mentawai.

18

Panduan Pengembangan Marine Management Area

RENCANA KELEMBAGAAN MMA

2.1 Dasar Kelembagaan MMA


2.1. Dasar Kelembagaan MMA 2.2. Status Kelembagaan COREMAP II Daerah 2.3. Perpektif Kelembagaan MMA ke depan 2.4. Mekanisme Kerja Kelembagaan MMA 2.5. Lembaga Pengelola MMA 2.6. Sekretariat Pengelola MMA 2.7. Komite Penasehat Teknis Pengelolaan MMA 2.8. Gugus Tugas Pengelolaan MMA 2.9. LPSTK dan Pihak Swasta 2.10. Pendanaan MMA

Sesuai otonomi jawab

dengan

asas otonomi Undang-

seluas-luasnya, yang dianut oleh

nyata dan otonomi yang bertanggung Undang Nomor Nomor 32 Tahun 2004. Depdagri sebagai aparat pusat

tidak ingin menimbulkan kesan adanya campur tangan pusat dalam urusan pembentukan Kawasan Konservasi (MMA). Semua permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan urusan pemerintahan daerah hendaknya dapat diselesaikan oleh daerah sendiri sebagai konsekuensi dari penerapan otonomi. Dalam kaitan ini, provinsi sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah pusat dapat melakukan inisiatif untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul di kabupaten/kota. Apa bila permasalahan tersebut menyangkut kepentingan nasional, maka barulah Depdagri turun tangan. Lembaga pemerintah di tingkat Provinsi yang terkait dengan upaya pengembangan MMA terutama meliputi: (1) Dinas Perikanan dan Kelautan (Di Batam Dinas KP2, di Lingga Dinas Pengelolaan SDA) (2) (3) Dinas Kehutanan; Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (Bapedalda) atau dinas yang bertanggungjawab dalam bidang lingkungan hidup did aerah (4) Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda).

Dinas Perikanan dan Kelautan berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 jo. Undang-Undang
COREMAP II ADB

19

Nomor 32 Tahun 2004 memiliki kewenangan untuk melakukan konservasi laut di wilayah laut selebar 12 mil diukur dari garis pantai, dan melakukan koordinasi terhadap kegiatan konservasi yang dilakukan oleh DKP Kabupaten dan Kota di wilayah laut selebar 4 mil diukur dari garis pantai. Masalah batas wilayah laut yang tidak kasat mata tersebut sering menimbulkan perbedaan paham tentang batas-batas kewenangan di lapangan antara DKP Provinsi dan DKP Kabupaten/Kota. Departemen Kehutanan berdasarkan Undang-Undang Nomor 41

Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 jo. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mempunyai kewenangan konservasi, baik konservasi di darat maupun di laut. Untuk Kota Batam, dan Lingga pertentangan mengenai masalah kewenangan konservasi antara DKP dan Dishut memang kurang menonjol karena Dishut disibukan dengan masalah lain yang lebih besar, serta masih bergabungnya bidang kehutanan dalam Dinas KP2 dan Dinas Pengelolaan Sumberdaya Alam. Bapedalda berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 97 jo.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 memiliki kewenangan untuk melakukan pengelolaan lingkungan hidup di wilayah Provinsi . Dalam kaitannya dengan upaya pengembangan MMA, Bapedalda kewenangan provinsi MMA. Bappeda berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 memiliki kewenangan untuk membuat perencanaan pembangunan dan menetukan alokasi pendanaannya untuk seluruh kegiatan pembangunan yang ada di wilayah, termasuk pengembangan MMA, dengan mempertimbangkan usulan dari daerah kabupaten/kota. Sebagai pengendali alokasi dana, Bappeda dengan sangat baik dapat memposisikan diri sebagai
Panduan Pengembangan Marine Management Area

melakukan

pelestarian fungsi-fungsi lingkungan di wilayah laut yang menjadi dan melakukan koordinasi terhadap kegiatan pelestarian fungsi-fungsi lingkungan hidup dalam upaya pengembangan

20

koordinator dari berbagai kegiatan proyek pembangunan di daerah. Namun demikian, Bappeda lebih terlibat langsung dalam pengembangan MMA. dilakukan melalui koordinasi perencanaan dan Keterlibatan Bappeda

alokasi pendanaan yang diajukan oleh Bappeda Kabupaten . Secara umum lembaga pemerintah di tingkat Kabupaten yang terkait secara langsung dengan pengembangan MMA meliputi: a. b. c. d. e. f. Dinas Perikanan dan Kelautan; Dinas Kehutanan; Dinas Pariwisata; Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (Bapedalda); Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda); Pengawas (PSDKP). DKP berdasarkan peraturan perUndang-Undang an yang berlaku Sumber Daya Kelautan dan Perikanan

memiliki tugas pokok dan fungsi untuk melakukan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan di wilayah perairan laut selebar 1/3 dari wilayah laut yang menjadi kewenangan provinsi diukur dari garis pantai. Kewenangan tersebut juga mencakup kewenangan untuk melakukan konservasi laut. Dalam kaitan ini, Dishut juga merasa mempunyai kewenangan di bidang konservasi laut, dan bahkan pada kenyataannya Dishut telah lebih dulu melaksanakannya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Misalnya untuk Kota Batam, perbedaan paham haruslah diantisipasi terutama tentang kewenangan konservasi yang akan menjadi semakin kompleks dengan bergabungnya Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pusat yang diberi mandat langsung oleh DKP untuk menegakan kebijakan penetapan Taman Nasional yang akan dikeluarkan oleh pemerintah pusat di Pulau Abang, Batam.

COREMAP II ADB

21

Dinas Pariwisata (Dispar) berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku memiliki tugas pokok dan fungsi untuk mengembangkan pariwisata di Kabupaten/Kota dengan tujuan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sehubungan dengan itu, Dispar merasa berkepentingan terhadap terwujudnya MMA . Oleh karena itu, Dispar diharapkan akan selalu mendukung dan berpartisipasi dalam setiap kegiatan pengembangan MMA. Demikian juga halnya dengan Bappeda yang akan selalu membantu mengalokasikan dana pembangunan MMA sesuai dengan skala prioritas pembangunan. Bappeda sesuai kewenangannya di bidang perencanaan dan alokasi dana dapat melakukan inisiatif untuk mengkoordinasikan pengembangan MMA dari sudut perencanaan dan alokasi dana. Bapedalda berdasarkan peraturan perUndang-Undang an yang

berlaku mempunyai tugas pokok dan fungsi untuk melakukan pengelolaan lingkungan hidup, pelestarian fungsi-fungsi lingkungan hidup, pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan, penanggulangan akibat pencemaran dan perusakan lingkungan, rehabilitasi lingkungan, dan penindakan para pelaku pencemaran dan perusakan lingkungan, serta melakukan koordinasi semua kegiatan di bidang lingkungan hidup di Kabupaten/Kota. Pelestarian dan Pemanfaatan berkelanjutan sumberdaya terumbu karang di lokasi-lokasi COREMAP II yang telah diidentifikasi, sangat penting untuk menunjang kegiatan ekonomi masyarakat pesisir dan pulaupulau kecil. Setelah fasilitasi pengelolaan terumbu karang oleh COREMAP II selesai, diperlukan suatu kelembagaan dan rencana strategis pengelolaan terumbu karang di lokasi proyek, yang akan menjadi lokasi-lokasi Marine Management Area (MMA). Kelembagaan dan Rencana Strategi (Renstra) pengelolaan terumbu karang kedepan haruslah memadukan kepentingan para pemangku

22

Panduan Pengembangan Marine Management Area

kepentingan para pihak yang selaras dengan konteks pembangunan global, nasional, regional dan lokal. Renstra yang berisi arahan-arahan strategis pengelolaan terumbu karang dalam kerangka MMA di 8 lokasi COREMAP II di Indonesia bagian barat. Renstra diharapkan dapat memberikan keuntungan, dalam hal penyediaan informasi, pembentukan komitmen dan alokasi sumberdaya yang dibutuhkan untuk pengelolaan berkelanjutan. 2.2 Status Kelembagaan COREMAP II Daerah

Secara umum kelembagaan dapat diartikan sebagai aturan yang dianut oleh organisasi, dalam hal ini pengelola COREMAP, yang akan dijadikan pegangan oleh seluruh anggota organisasi dalam menjalankan segenap aktivitas untuk mencapai tujuan bersama. Pengertian kelembagaan dalam COREMAP adalah seluruh lembaga, baik pemerintah sebagai pengelola maupun lembaga non-pemerintah yang kemungkikan untuk melaksanakan program COREMAP. Baik pengelola maupun pelaksana COREMAP dilapangan mempunyai wewenang hukum untuk terlibat langsung ataupun tak langsung dengan program COREMAP. Salah satu komponen utama dari COREMAP II adalah Pengelolaan Sumberdaya dan Pembangunan Masyarakat Berbasis Masyarakat (PBM). Ruang lingkup dari PBM mencakup empat sub-komponen, terdiri dari : (i) pemberdayaan masyarakat, (ii) pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat, (iii) pengembangan infrastruktur dasar dan fasilitas sosial, dan (iv) pengembangan mata pencaharian alternatif.

Berikut adalah Target Lembaga yang diusulkan untuk mendapatkan Training dan Penyuluhan untuk memperkuat kinerja dalam pengelolaan terumbu karang di daerah.

COREMAP II ADB

23

LSM. Fungsi fasilitasi di lapangan COREMAP dilakukan oleh LSM yang telah terpilih. Adapun tugas dan fungsi dari LSM sebagai motivator lapangan berlaku sampai proyek selesai, yaitu : (1) Menyiapkan fasilitator senior yang berkedudukan di kabupaten/kota dan berfungsi sebagai koordinator dari para fasilitator lapangan yang bekerja di desa. (2) Menangani aspek administrasi kegiatan di tingkat desa hingga kabupaten/kota, yang mencakup laporan hasil pemantauan teknis dan keuangan agar sesuai dengan prosedur dan aturan yang berlaku mengacu kepada. (3) Melakukan koordinasi dengan UPP kabupaten/kota dan instansi-instansi terkait di tingkat Kabupaten, RCU di Propinsi, PIU - LIPI dan PMO. (4) Memfasilitasi pelatihan dan studi banding bagi fasilitator lapangan, masyarakat; (5) Memfasilitasi penyusunan dokumen-dokumen PBM di tiap-tiap desa; (6) Memfasilitasi proses-proses pengadaan dan pelaksanaan kegiatan di tingkat desa melalui fasilitator lapangan; (7) Mendorong terbentuknya Peraturan Daerah dalam mendukung pelaksanaan PBM; (8) (9) Membantu penanganan / resolusi konflik di tingkat desa; Memfasilitasi pembentukan kelompok-kelompok masyarakat, pemilihan motivator desa, pengawas lapangan dan pembentukan Lembaga Pengelola Sumberdaya (LPS) Terumbu Karang. 2.3 Perpektif Kelembagaan MMA ke depan Untuk mencapai tujuan Program Pengelolaan MMA sehingga dapat mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan yang lebih baik, maka
24
Panduan Pengembangan Marine Management Area

motivator

desa,

dan

kelompok

kelompok

diperlukan pembangunan Kelembagaan Program Pengelolaan MMA yang didukung oleh lembaga terkait yang memiliki kepedulian terhadap pengelolaan perikanan berkelanjutan. Keberadaan kelembagaan Program Pengelolaan MMA diharapkan dapat diterima oleh masyarakat industri perikanan dan secara jangka panjang akan tetap berjalan. Keberadaan kelembagaan yang terpadu dan kuat akan menentukan keberhasilan pelaksanaan program. Adapun prinsip-prinsip yang akan dikembangkan dalam Program Pengelolaan MMA secara terpadu, adalah : 1. Transparan bagi semua pihak yang berkepentingan untuk

mendukung pengelolaan perikanan yang berkelanjutan 2. Struktur organisasi yang efisien dengan pengawasan yang efektif dan dikelola secara profesional 3. Kejelasan tugas pokok fungsi dan tanggung jawab dari masing-masih unit pengelola program 4. Hasil Program Pengelolaan MMA dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat pengguna 5. Adanya kelengkapan peraturan dan menerapkan prinsip dan norma hukum dalam pengelolaan Program Pengelolaan MMA 6. Dinamis untuk mengakomodasi perubahan untuk perbaikan Program Pengelolaan MMA. 2.4 Mekanisme Kerja Kelembagaan MMA Untuk menjalankan sistem pengelolaan MMA diperlukan suatu mekanisme kerja yang dapat menjamin proses koordinasi para pemangku kepentingan. Mekanisme Kerja Pengelola MMAdapat dijabarkan secara singkat sbb : Bupati dan Gubernur merupakan anggota ex-officio karena jabatan pada Dewan/Badan Pengelola MMA. Mereka akan memilih

COREMAP II ADB

25

perwakilan dari representasi para pemangku kepentingan utama untuk duduk dalam Lembaga Pengelola Lembaga Pengelola MMA akan mengadakan pertemuan rutin yang terbuka untuk umum. Sekretariat Lembaga Pengelola memberi dukungan dan mengkoordinasikan semua aspek pengelolaan MMA. Bupati dan Gubernur akan mengangkat sekretaris Penasehat ilmiah dan teknis berfungsi untuk memberikan masukanmasukan ilmiah dan teknis merupakan orang-orang ahli di bidang keilmuan dan teknologi yang berkaitan dengan pengelolaan MMA. Bupati akan mengangkat anggota dan ketua Kelompok Kerja dan Pelaksana Teknis untuk mengimplementasikan pengelolaan MMA. Gugus Tugas dapat merupakan penjelmaan dari koordinatorkoordinator bidang pada PIU Kabupaten saat ini. Gugus tugas akan ditentukan oleh Bupati dan memberikan dukungan kepada upayaupaya yang akan dilakukan untuk pengelolaan MMA sesuai dengan bidangnya. Tugas-tugas dimaksudkan untuk mengembangkan strategi MMA di Kabupaten. Pelaksana teknis merupakan pengembangan dari LPS-TK yang beranggotakan : pokmas-pokmas, swasta, lembaga teknis pemerintah dan LSM. Pelaksana teknis ini merupakan unit pelaksana operasional dalam menjalankan program dan kegiatan pengelolaan terumbu karang daerah (MMA) di lapangan. Pelaksanaan hal-hal teknis dilakukan oleh anggota pelaksana teknis dan akan melaporkan secara rutin kemajuan pelaksanaan kegiatan di lapangan kepada sekretariat dan memberikan masukan-masukan untuk perbaikan dan penyempurnaan pengelolaan MMA. 2.5 Lembaga Pengelola MMA

26

Panduan Pengembangan Marine Management Area

Lembaga Pengelola MMA akan membuat kebijakan dan melakukan koordinasi dalam penyelenggaraan program pengelolaan MMA secara terpadu. Tanggung jawab Lembaga Pengelola adalah: (1) (2) (3) (4) (5) (6) Mengadopsi dan mengamandemen Renstra Pengelolaan Terumbu Karang Daerah Menyetujui usulan program-program dan kegiatan pengelolaan MMA untuk pendanaannya Mendorong upaya-upaya mobilisasi sumberdaya, seperti dana, teknologi, SDM dari luar untuk pengelolaan MMA Memfasilitasi resolusi konflik antar pengguna MMA Mendorong kerjasama antara Eksekutif dan Legislatif (DPRD) untuk mengefektifkan pengelolaan MMA Membuat jaringan pengelolaan MMA di tingkat Propinsi/Region dan ikut berpartisipasi aktif dalam jaringan MMA Nasional (7) Mendelegasikan wewenang dan menyediakan dana operasional dalam tugas-tugas kesekretariatan. 2.6 Sekretariat Pengelola MMA

Tugas Sekretariat Pengelolaan MMA adalah memberi dukungan dan mengkoordinasikan semua aspek usaha pengelolaan MMA, termasuk penggalangan partisipasi dari stakeholder. Seketariat mempunyai tanggung jawab, sbb : (1) Memberikan dukungan, berupa memfasilitasi pertemuan, kepada Lembaga Pengelola MMA, Komite Penasehat Teknis, Gugus Tugas dan Pelaksana Teknis. (2) (3) Mebuat dan mempublikasikan hasil-hasil pengelolaan MMA Memfasilitasi persiapan proritas anggaran tahunan untuk pengelolaan MMA

COREMAP II ADB

27

(4) (5)

Memfasilitasi penyiapan proposal dan pencarian dana dari pihak luar untuk mendukung pengelolaan MMA yang efektif Memfasilitasi program pendidikan, penelitian dan keterlibatan masyarakat dengan lembaga-lembaga partner dan media massa, untuk pengelolaan MMA

(6)

Membuat laporan tahunan mengenai kemajuan pengelolaan MMA.

2.7 Komite Penasehat Teknis Pengelolaan MMA Komite teknis akan memberikan pedoman dan arahan untuk memastikan bahwa rencana dan program pengelolaan MMA dibuat dengan pertimbangan ilmiah dan teknis. Adapun tanggung jawab Komite Penasehat Teknis : (1) (2) Memberikan saran mengenai perencanaan, pengelolaan dan penyempurnaan pengawasan (MCS) jangka panjang. Mempromosikan dan memfasilitasi pertukaran informasi antara pengguna tentang manfaat MMA bagi masyarakat, terutama tentang informasi ilmiah, sumberdaya perikanan dan jasa lingkungan di lokasi MMA. (3) Memberikan saran penelitian terapan yang akan digunakan untuk peningkatan pengelolaan MMA. 2.8 Unit Pelaksana Teknis Pengelolaan MMA

Unit Pelaksana Teknis di Kabupaten/Kota (UPT) MMA bertugas untuk mengawasi pelaksanaan program dan menjadi penghubung, serta memberi dukungan pengelolaan MMA antara pemerintah kabupaten dan desa-desa. Berikut adalah tanggung jawab UPT :

28

Panduan Pengembangan Marine Management Area

(1)

Mengembangkan lokasi MMA

dan

melaksanakan

program-program

pengawasan pemanfatan dan perlindungan sumberdaya di (2) (3) Membantu dalam mengembangkan kemampuan kelembagan pelaksana teknis dalam rangka pengelolaan MMA Memberikan rekomendasi berdasar masukan dari keleompok kerja di Pelaksana Teknis (LPS-TK) mengenai inisiatif prioritas program, kegiatan dan anggaran tahun yang akan datang. (4) (5) (6) Merekomendasikan usulan mobilisasi sumberdaya dalam rangka memfasilitasi program dan pengelolaan Mengkomunikasikan pelaksanaan program dengan pemerintah dan perwakilan desa Mengkoordinasikan kerja antar Gugus Tugas, maupun dengan berbagai lembaga di daerah dan nasional. 2.9 LPS-TK dan Pihak Swasta Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang (LPS-TK) beserta Kelompok-kelompok Masyarakat (pokmas), Kelompok Swadaya Masyarakat dan Pihak Swasta (pengusaha Wisata, Pengusaha Perikanan, dsb.) akan melaksanakan kegiatan konservasi di Tugas pelaksana teknis adalah untuk menjalankan program/rencana aksi tahunan pengelolaan MMA yang telah disetujui dan disyahkan oleh Lembaga Pengelola Adapun tanggung Jawab Pelaksana Teknis MMA: (1) (2) Membantu Gugus Tugas dalam pelaksanaan program dan kegiatan yang terkait dengan pengelolaan MMA Membantu pelaksanaan kegiatan yang telah diusulkan oleh Kelompok Kerja (berdasarkan isu-isu pengelolaan MMA di lapangan), melalui Gugus Tugas.

COREMAP II ADB

29

2.10 Pendanaan MMA Untuk menjamin pendanaan yang berkelanjutan, maka secara operasional perencanaan program dan pendanaan pengelolaan MMA dapat disesuaikan dengan siklus perencanaan program dan pendanaan tahunan pemerintah, baik ditingkat Kabupaten dan Provinsi. Sinkronisasi program kerja sangat diperlukan antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat (DKP). Sinkronisasi dan harmonisasi program dan pendanaan antara Kabupaten dan Provinsi dalam perencanaan dan pengelolaan MMA disarankan untuk menuangkannya ke dalam Kesepakatan Bersama atau Memorandum of Understanding (MoU) antara Kabupaten dan Provinsi, setelah MMA terbentuk. Proses pendanaan progran pemerintah akan mengikuti siklus pendanaan, yang akan diawali pada bulan Januari sampai Desember setiap tahunnya. Sebelum pendanaan disetujui menjadi Daftar Isian Proyek (DIP), maka lembaga terkait sektoral akan menerahkan usulan anggaran program/kegiatan ke DPRD, setelah diadakannya Musrenbang (Musyawarah Rencana Pembangunan). Disarankan Lembaga Pengelolaan MMA meninjau kemajuan lembaga dan program kerjanya dan akan memulai siklus Perencanaan Program Tahunan.

30

Panduan Pengembangan Marine Management Area

Lembaga Pengelola KKLD Sekretariat

Komite Pengarah Teknis

Unit Pelaksana Teknis KKLD


Kelembagaan /SDM
Pengelolaan Berbasis Masyarakat Penyadaran Masyarakat Pemantauan dan Pengawasan /MCS Sistem Informasi, Training

Kelompok Kerja Provinsi LPSTK: Pokmas : koordinatif Swasta/ Asosiasi : konsultatif

Gambar 5. Usulan Kelembagaan MMA di Tingkat Kabupaten/Kota

COREMAP II ADB

31

DAERAH

PERLINDUNGAN

LAUT

BERBASIS

MASYARAKAT 3.1 Kelembagaan Konservasi Terumbu Karang di desa


3.1. 3.2. 3.3. 3.4. 3.5. 3.6. 3.7. 3.8. Kelembagaan Konservasi Terumbu Karang di desa Kelompok Masyarakat Pengelola DPL Membangun DPL Berbasis Masyarakat Metode Pengelolaan DPL Peran DPL untuk Pengelolaan Perikanan Zonasi Kawasan Lokasi dan Ukuran Partisipasi Masyarakat

Dalam pengelolaan COREMAP

melembagakan sumberdaya berupaya untuk peran

terumbu karang di tingkat desa, mengoptimalkan

pemerintah desa dan lembaga formal di desa meskipun lembaga-lembaga formal di desa-desa belum berfungsi sebagaimana diharapkan masyarakat. Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang (LPS-TK) di desa sebagai lembaga formal yang ditetapkan oleh Pemerintah Desa. COREMAP telah memfasilitasi terbentuknya Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang (LPS-TK). Lembaga ini adalah lembaga resmi di tingkat desa yang memiliki peran dalam menjalankan Rencana Pengelolaan Terumbu Karang di Kawasan Konservasi atau Daerah Perlindungan Laut (DPL) yang akan disusun secara bersama-sama oleh seluruh Pokmas dan Kelompok Pengawasan Terumbu Karang dan difasilitasi oleh Fasilitator Lapangan. Tujuan LPS-TK adalah untuk mengorganisir melaksanakan dan mengkoordinir pokmas-pokmas II. yang ada itu dalam juga program PBM-COREMAP Disamping

mensinergikan kegiatan pada masing-masing pokmas, sehingga sesuai dengan RPTK (Rencana Pengelolaan Terumbu Karang) terpadu di DPL. LPS-TK bertanggung jawab kepada masyarakat desa melalui BPD atas pelaksanaan rencana pengelolaan pesisir desa. Bersama dengan BPD menetapkan rencana pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir desa dan peraturan-peraturan mengenai pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir di

32

Panduan Pengembangan Marine Management Area

desa.

Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan rencana pengelolaan

sumberdaya terumbu karang. Peran Badan Perwakilan Desa (Legislatif) bersama dengan

Pemerintah desa menyusun dan menetapkan rencana pembangunan dan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir desa serta peraturan-peraturan mengenai pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir desa. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa dan pelaksanaan rencana pengelolaan pembangunan di desa merupakan suatu lembaga yang sudah ada di desa yang dapat melaksanakan Rencana Pengelolaan Terumbu Karang di Tingkat Desa yang dilaksanakan oleh LPS-TK beserta dengan Pokmas-Pokmas. Oleh pemerintah desa Lembaga Pengelola ini ditetapkan melalui

surat keputusan pemerintah desa untuk memberikan dukungan secara hukum kepada lembaga dan personil yang akan melaksanakan tugas. Dalam mengoptimalkan pelaksanaan Rencana pengelolaan, pemerintah desa, BPD, serta Badan Pengelola di desa terlibat secara aktif dan melakukan fungsi dan perannya sebagaimana diamanatkan dalam Rencana Pengelolaan sebagai panduan dalam pelaksanaan. LPS-TK dibentuk dan diarahkan menjadi lembaga resmi yang berbadan hukum. LPS-TK berperan dalam membantu Pemerintah Desa dalam menjalankan fungsi pengelolaan sumberdaya terumbu karang di tingkat desa. Dalam pengelolaan suatu kawasan lintas desa, LPS-TK melakukan koordinasi dan kerjasama dengan LPS-TK dari desa tetangga. LPS-TK memiliki pengurus yang terdiri dari Ketua, Sekretaris, Bendahara, dan staf administrasi, dengan anggota terdiri dari seluruh motivator desa, anggota Pokmas dan anggota pengawas terumbu karang. LPS-TK beranggotakan wakil-wakil dari para motivator desa, pengurus Pokmas dan Pengawas Terumbu Karang dan Perwakilan Desa.
COREMAP II ADB

33

LPS-TK dibentuk dari, oleh dan untuk masyarakat yang difasilitasi oleh fasilitator lapangan dan disahkan oleh Kepala Desa, serta disetujui oleh PIU kabupaten/kota. Tugas LPS-TK adalah sebagai berikut: 1) 2) 3) 4) 5) 6) Menyiapkan Rencana Pengelolaan Terumbu Karang (RPTK) Mengimplementasikan RPTK Menyusun usulan-usulan kegiatan berdasarkan usulan dari pokmas-pokmas dan kelompok pengawas terumbu karang; Menyalurkan dana bagi kelompok-kelompok masyarakat yang diterima dari PIU; Melakukan koordinasi dengan Kepala Desa dan PIU dalam keseluruhan program pengelolaan berbasis mayarakat; Melaksanakan kegiatan-kegiatan pembangunan infrastruktur sosial yang dapat dilaksanakan oleh masyarakat secara langsung; 7) 8) 9) Mengembangkan Lembaga Keuangan Mikro yang akan melaksanakan Unit Simpan Pinjam (USP); Melakukan koordinasi dengan LSM dan Konsultan; Melaksanaan kegiatan administrasi keuangan sesuai dengan SE-Ditjen Anggaran; 10) Melakukan pemantauan dan evaluasi RPTK; Pada saat Proyek COREMAP masih berjalan, untuk membangun sistem koordinasi yang akomodatif antara desa dan kabupaten rapat koordinasi dilakukan secara berkala. Koordinator-koordinator Project Implementation Unit (PIU) Kabupaten yang terdiri dari dinas-dinas teknis di Kabupaten/Kota disepakati untuk memberikan rekomendasi serta kajian teknis atas usulan kegiatan desa dalam RPTK sekaligus memasukkan usulan kegiatan ke dalam usulan kegiatan dinas teknis yang akan dibiayai

34

Panduan Pengembangan Marine Management Area

melalui Proyek COREMAP. Kegiatan-kegiatan tersebut akan dilaksanakan oleh Kelompok Masyarakat (Pokmas) di desa-desa lokasi COREMAP. 3.2 Kelompok Masyarakat Pengelola DPL Kelompok masyarakat atau Pokmas adalah kelompok kecil yang dibentuk di tingkat desa. Proses pembentukan kelompok masyarakat difasilitasi oleh fasilitator lapangan. Dalam satu desa dapat dibentuk beberapa kelompok masyarakat menurut kesamaan minat. Penguatan Pokmas adalah suatu proses meningkatkan kemampuan dan peran suatu kelompok masyarakat ke arah bidang kegiatan tertentu (konservasi, produksi, peningkatan peran dan kemampuan perempuan), agar dapat berperan aktif dalam pelaksanaan pengelolaan terumbu karang. Pembentukan Pokmas adalah suatu proses membentuk kelompok atau organisasi masyarakat yang akan mempunyai peran dan fungsi bidang tertentu (konservasi, perempuan). Pokmas mempunyai tugas dan tanggung jawab utama :
(1)

produksi, peningkatan

peran dan kemampuan

Menyebarluaskan informasi kepada masyarakat tentang arti dan nilai penting ekosistem terumbu karang, adanya ancaman terhadap kelestarian ekosistem terumbu karang serta `upayaupaya yang harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan menjaga kelestarian ekosistem terumbu karang. Berperan aktif dalam penyusunan Rencana Pengelolaan

(2)

Terumbu Karang Terpadu (RPTK Terpadu) yang mencakup Program Pengelolaan Terumbu Karang, Pengembangan Mata Pencaharian Alternatif, Pengembangan Prasarana Dasar dan Peningkatan Kapasitas dan Kesadaran Masyarakat.
(3)

Mengimplementasikan RPTK Terpadu sesuai dengan bidang Pokmas yang bersangkutan, misalnya Pokmas Konservasi

COREMAP II ADB

35

melaksanakan program-program pengelolaan terumbu karang.


(4)

Membuat laporan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan program kegiatan masing-masing Pokmas.

Persyaratan pembentukan kelompok masyarakat:


(1)

Kelompok masyarakat dianjurkan dibentuk dengan anggota antara 5 sampai 9 orang dengan anggota yang memiliki kesamaan minat; Kelompok masyarakat memilih 2 (dua) orang pengurus, yaitu ketua dan bendahara, yang bertanggung jawab dalam aspek administrasi teknis dan keuangan, Pengurus kelompok harus memiliki kemampuan baca dan tulis; Anggota kelompok terdiri dari laki-laki dan perempuan secara proporsional; Anggota kelompok yang dipilih adalah orang yang tergolong dewasa; Kelompok masyarakat disahkan oleh Kepala Desa;

(2)

(3) (4)

(5)

(6)

3.3 Membangun DPL Berbasis Masyarakat Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (DPL-BM) merupakan kawasan pesisisir dan laut yang dapat meliputi terumbu karang, hutan mangrove, lamun dan habitat lainnya secara sendiri atau bersama-sama yang dipilih dan ditetapkan untuk ditutup secara permanen dari kegiatan perikanan dan pengambilan biota laut, dan pengelolaannya yang dilakukan secara bersama antara pemerintah, masyarakat dan pihak lain, dalam merencanakan, memantau, dan mengevaluasi pengelolaannya (Tulungen et at, 2003). Dalam hal ini, COREMAP II ADB memodifikasi definisi tersebut, dengan memberikan penekanan bahwa DPL-DPL dalam skala desa, akan dikelola oleh satu Unit Pengelolaan yaitu Marine Management Area (MMA) di tingkat Kabupaten/Kota yang akan dikelola secara kolaboratif. MMA ini berbeda dengan Taman

36

Panduan Pengembangan Marine Management Area

Nasional Laut atau daerah konservasi dalam skala luas lainnya. Taman Nasional Laut Bunaken di Sulawesi Utara, misalnya, mimiliki luas 89.065 Ha dan ditetapkan serta dikelola oleh Pemerintah secara nasional, walaupun saat sekarang dikelola secara kolaboratif oleh Dewan Pengelola Taman Nasional Bunaken, yang beranggotakan stakeholders di daerah. DPL dibentuk berdasarkan ekosistem yang ada, terutama terumbu karang yang terkait dengan ekosistem pesisir lainnya. Keberadaannya dapat ditetapkan melalui peraturan Desa untuk Kabupaten, yang sudah otonom. Khusus untuk Kota (Batam), maka penetapan DPL dilakukan oleh walikota, karena Kelurahan di Kota tidak otonom. DPL dibentuk untuk melindungi dan memperbaiki sumberdaya terumbu karang dan perikanan di wilayah yang mempunyai peranan penting secara ekologis. DPL ini diharapkan merupakan alat pengelolaan perikanan yang efektif, karena adanya pengaturan perikanan, perlindungan daerah pemijahan dan pembesaran larva, sebagai asuhan juvenil (anak ikan), melindungi kawasan dari penangkapan berlebihan, dan menjamin ketersediaan stok ikan secara berkelanjutan.

Tujuan Penetapan DPL: Meningkatkan dan mempertahankan produksi perikanan di sekitar Menjaga dan memperbaiki keanekaragaman hayati terumbu karang, ikan, dan biota lainnya Dapat dikembangkan menjadi tempat tujuan wisata Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat pengguna Memperkuat masyarakat dalam pengelolaan terumbu karang Mendidik masyarakat dalam konservasi dan pemanfaatan sumberdaya berkelanjutan Sebagai lokasi penelitian dan pendidikan tentang keanekaragaman hayati laut

COREMAP II ADB

37

3.4 Metode Pengelolaan DPL Walaupun DPL yang akan dibentuk adalah DPL yang berbasiskan masyarakat, tetapi pembentukan dan pengelolaannya harus dilakukan bersama antara masyarakat, pemerintah setempat dan para pihak (stakeholder) yang ada di desa. Pemerintah daerah, terutama pemerintah desa, haruslah bekerjasama dalam proses penentuan lokasi dan aturan DPL, pendidikan masyarakat, bantuan teknis dan pendanaan awal. Tanggung jawab dalam menentukan lokasi dan tujuan pengelolaan DPL ditetapkan oleh masyarakat, sedangkan bantuan teknis dan pendanaan, serta persetujuan terhadap peraturan ditetapkan oleh pemerintah atas kesepakatan masyarakat. Masyakarat dapat bekerja sama dengan pihak lain,seperti LSM dan Swasta untuk pengelolaan DPL supaya lebih efektif. 3.5 Peran DPL untuk Pengelolaan Perikanan Berfungsinya DPL secara pengelolaan adalah apabila terdapatnya suatu zona inti di dalam DPL, yaitu suatu zona larang ambil permanen. Di dalam zona inti atau dapat dikatakan zona tabungan perikanan, tidak diperkenankan adanya kegiatan eksploitatif atau penangkapan ikan. Kegiatan eksploitasi hewan laut seperti karang, teripang, kerang-kerangan atau organisme hidup lainnya dilarang untuk diambil. Zona inti dalam DPL tidak diperkenankan dieksploitasi secara musiman atau waktu-waktu tertentu, sehingga DPL tidak sama dengan Sasi di Maluku atau Manee di Sangir-Talaud. Pembukaan musiman dapat menyebabkan fungsi DPL dan zona intinya tidak berfungsi efektif. Zona inti biasanya berisi ekosistem terumbu karang yang sehat, karena tidak mengalami gangguan oleh manusia, sehingga biota karang termasuk ikan karang, mempunyai kesempatan untuk kembali pada keadaan terumbu karang yang baik. Zona inti
38
Panduan Pengembangan Marine Management Area

cenderung dipilih yang mempunyai kondisi dan tututan karang yang baik, dan dihuni oleh beberapa biota dari berbagai ukuran, termasuk pemangsa besar, seperti kerapu dan hiu. Diharapkan bahwa zona inti yang tidak diganngu oleh kegiatan penangkapan ikan atau sangat jarang dikunjungi oleh nelayan, akan memiliki ukuran ikan yang besar dan ikan-ikan yang hidup di zona inti akan menjadi induk yang sehat. Ukuran rata-rata ikan yang ada di zona inti yang berfungsi baik, cenderung memeiliki ukuran yang lebih besar dari pada ikan yang ada di luar zona inti (zona pemanfaatan). Dari penelitian diketahui bahwa, semakin panjang dan besar ukuran induk ikan akan memberikan telur yang jauh lebih besar secara exponensial. Apabila rata-rata umur dan ukuran ikan semakin muda dan kecil, maka telur dan larva yang akan dihasilkan juga semakin sedikit. Sehingga, salah satu peran dari zona inti yang ditutup dari kegiatan penangkapan ikan adalah, untuk menghindari kegagalan perikanan akibat tidak tersedianya induk ikan yang mampu berkembang biak untuk menghasilkan juvenil ikan, yang akan menjadi besar dan siap untuk dimanfaatkan oleh kegiatan perikanan. Yang perlu kita perhatikan adalah, DPL tidak dapat mengatasi masalahmasalah yang berhubungan dengan tangkap lebih (over fishing) di suatu kawasan, tetapi DPL merupakan salah satu cara yang mudah untuk membantu menjaga kelestarian habitat, mengurangi cara-cara penangkapan ikan yang merusak, dan membantu nelayan memahami konsep pengelolaan perikanan. Fungsi rehabilitasi habitat dapat diperankan oleh DPL, apabila DPL ditetapkan pada kawasan terumbu karang yang mungkin sudah mulai rusak oleh kegiatan manusia atau suatu kawasan yang aktivitas perikanannya sudah berlangsung lama. Dengan adanya DPL maka habitat di kawasan tersebut mempunyai kesempatan untuk pulih dan biota yang hidup di dalamnya berkembang biak. Sehingga, DPL menjadi kawasan terumbu karang penyedia (source reef) telur, larva dan juvenil, serta induk yang sehat,
COREMAP II ADB

39

yang akan mengekport ikan-ikan keluar kawasan. Dilain pihak, DPL dapat juga menarik ikan-ikan yang ada di luar kawasan karena habitat di dalamnya yang terpelihara untuk hidup, makan, tumbuh dan berkembang biak. Mekanisme export larva-larva karang dan telur ikan pada zona inti DPL dipengaruhi oleh arus perairan, yang dapat sampai jauh di luar kawasan DPL, sampai beratus-ratus mil laut. Dari pengamatan para ahli, menunjukkan bahwa DPL akan

memberikan manfaat kepada perikanan yang ada di sekitar kawasan sekitar 3-5 tahun, sedang DPL akan menunjukkan perubahan kepadatan ikan dan terumbu karang hidup dalam waktu setelah setahun DPL ditetapkan. 3.6 Zonasi Kawasan DPL haruslah mempunyai perencanaan zonasi, yang ditetapkan secara sederhana, artinya mudah dipahami dan dilaksanakan, serta dipatuhi oleh masyarakat. Zona yang umum dipunyai oleh DPL adalah Zona Inti dan Zona Penyangga, sedang di luarnya adalah Zona Pemanfaatan. Zona Inti adalah suatu areal yang di dalamnya kegiatan penangkapan ikan dan aktivitas pengambilan sumberdaya alam laut lainnya sama sekali didak diperbolehkan. Begitu pula kegiatan yang merusak terumbu karang, seperti pengambilan karang, pelepasan jangkar serta penggunaan galah untuk mendorong perahu juga tidak diperbolehkan. Sedang kegiatan yang tidak ekstraktif, sepeprti berenang, snorkling dan menyelam untuk tujuan rekreasi masih diperbolehkan. Namun demikian perlu kesepakatan dengan masyarakat kegiatan apa saja yang boleh dilakukan di zona inti, sehingga fungsi zona tersebut dapat optimal. Pada umumnya DPL, seperti : di desa Blonko, Bentenam dan Tumbak, serta desa-desa lain di Sulawesi Utara, di desa Sebesi- Lampung, serta DPLDPL di Filipina, memiliki 2 zona utama yaitu zona inti (no-take zone) dan zona penyangga (buffer zone). Di Zona penyangga, yang merupakan zona di sekeliling zona inti, kegiatan penangkapan ikan diperbolehkan tetapi dengan
40
Panduan Pengembangan Marine Management Area

menggunakan alat-alat tradisional, seperti pancing dan memanah dengan perahu tradisional. Kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan lampu (light fishing) dan beberapa alat tangkap yang potensial merusak terumbu karang masih dilarang di zona penyangga. 3.7 Lokasi dan Ukuran Lokasi dan Ukuran DPL sangat menentukan keberhasilan fungsi DPL dalam mendukung pengelolaan perikanan. Pada umumnya DPL ditempatkan di sekitar pulau-pulau kecil atau di sepanjang garis pantai pulau besar. Cakupan DPL sebaiknya mulai dari garis pantai sampai ke kawasan lepas pantai yang mencakup asosiasi ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang. Sebenarnya tidak ada ukuran yang ideal untuk DPL, namun demikian ilmuwan merekomendasikan semakin luas ukuran DPL akan semakin baik fungsinya. Pendapat ahli menyebutkan bahwa ukuran yang optimal adalah 1030 % dari luasan terumbu karang di suatu desa. Para ahli dari PISCO 2002, merekomendasikan bahwa 30% dari habitat ikan karang akan memberikan hasil yang optimal untuk pengelolaan perikanan, kegiatan wisata dan perlindungan keanekaragaman hayati. Namun demikian, dari pengalaman dan persetujuan dengan masyarakat, maka saat sekarang DPL berbasis desa yang ada di beberapa negara menunjukkan luasan sampai 50 hektar zona inti. Apabila terlalu kecil ukuran DPL maka DPL tidak akan berfungsi secara ekologis, sedang apabila ukuran DPL terlalu luas di suatu desa, maka fungsi kontrol masyarakat terhadap DPL menjadi kurang, dan konflik dengan apa pengguna (nelayan) akan memjadi besar. Berikut adalah beberapa prinsip-prinsip ekologi yang dipertimbangkan untuk penentuan lokasi dan ukuran DPL Berbasi Masyarakat, berdasar dari lesson-learned dari CRMP/USAID di Sulawesi Utara dan Lampung (2003), yaitu : Kondisi tutupan karang cukup tinggi (lebih dari 50% dianjurkan)
COREMAP II ADB

41

Kepadatan ikan karang dan biota laut lannya tinggi Mencakup 10-20% dari keseluruhan habitat terumbu karang Habitat karang termasuk Rataan Terumbu dan Lereng, serta asosiasi dengan habitat lain Tempat pemijahan ikan karang Terhindar dari sedimentasi, polusi dari sungai Akses masyarakat untuk mengawasi DPL mudah Bukan merupakan lokasi utama panangkapan ikan nelayan Bukan merupakan kawasan penambatan perahu yang intensif. Karena kecenderungan ukuran DPL di desa berukuran kecil, maka

sebaiknya DPL tidak dipandang sebagai pengganti Kawasan Konservasi yang berskala besar seperti Taman Nasional Laut, namun hendaknya dipandang sebagai pendukung, baik sebagai penerima (sink reef) ataupun dapat sebagai sumber (source reef) untuk larva ikan dan karang. Untuk meningkatkan efektifitas fungsi ekologis sebagai suatu kawasan konservasi, maka DPL sebaiknya bergabung menjadi suatu Jaringan (network) DPL-DPL di desa yang menjadi satu menjadi Dengan MMA (Marine suatu Management sistem Area) di tingkat berbasis Kabupaten/Kota. begitu, jaringan DPL

masyarakat, akan sangat ideal untuk saling menopang dan mendukung suatu sistem Kawasan Konservasi yang lebih besar (MMA). 3.8 Partisipasi Masyarakat

Dalam pandangan masyarakat desa, partisipasi masyarakat sangat penting dalam menunjang keberhasilan program pengelolaan sumberdaya pesisir. Dari hasil survei di masyarakat yang memiliki DPL Pulau Sebesi, menunjukkan bahwa 98% masyarakat menilai partisipasi sangat penting dengan bebagai alasan. Misalnya, dengan proses partisipasi, masyarakat akan lebih merasakan manfaat dari program yang dilaksanakan. Selain itu, masyarakat juga akan membantu dalam implementasi program dan terlibat aktif dalam pemeliharaan selama dan sesudah program dilaksanakan.
42
Panduan Pengembangan Marine Management Area

DPL berbasis masyarakat yang dimaksudkan adalah co-management (pengelolaan kolaboratif), yaitu pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat bersama-sama dengan pemerintah setempat. Pengelolaan berbasis masyarakat bertujuan untuk melibatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan perencanaan dan pelaksanaan suatu pengelolaan DPL. Pengelolaan DPL

berbasis masyarakat berawal dari pemahaman bahwa masyarakat mempunyai kemampuan sendiri untuk memperbiki kualitas kehidupannya, sehingga dukungan yang diperlukan adalah menyadarkan masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun demikian, pada kenyataannya pengelolaan yang murni berbasis masyarakat kurang berhasil, oleh karena itu dukungan dan persetujuan dari pemerintah dalam hal memberikan pengarahan, bantuan teknis dan bantuan aspek hukum suatu kawasan konservasi sangat diperlukan. Dengan demikian, partisipasi masyarakat dan pemerintah secara bersama-sama sejak awal kegiatan dari mulai perencanaan,pengelolaan sampai evaluasi suatu DPL sangatlah penting. Selain dukungan dari pemerintah, maka dukungan dan kerja sama dengan lembaga pendidikan, penelitian serta LSM juga dibutuhkan untuk menentukan lokasi DPL dan pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat di sekitar DPL. Beberapa manfaat yang dapat diperoleh karena proses partisipatif dalam merencanakan dan mengelola DPL adalah : Pelibatan masyarakat dapat membantu bahkan bertanggung jawab dalam penegakan aturan, sehingga biaya penegakkan hukum dan pengawasan kawasan menjadi kecil. Masyarakat merasa memiliki DPL, dan dapat membuat aturan sendiri untuk ditetapkan di lingungannya Masyarakat masuk, dll. akan membuat program penggalangan dana untuk operasional DPL melalui kegiatan ekonomi, seperti pariwisata dan tarif

COREMAP II ADB

43

Menciptakan kesempatan kepada masyarakat untuk bekerjasama dalam bentuk organisasi di tingkat desa.

44

Panduan Pengembangan Marine Management Area

PERENCANAAN DAN PEMBENTUKAN DPL 4.1 Tahapan dan Pembentukan


4.1. Tahapan dan Pembentukan 4.2. Pemilihan Lokasi MMA 4.3. Sistem Biaya Masuk 4.4. Kelompok Pengelola 4.5. Peraturan Desa atau Surat Keputusan Desa 4.6. Pengelolaan DPL 4.7. Pembuatan Rencana Pengelolaan 4.8. Pemasangan Tanda Batas dan Pemeliharaan 4.9. Pendidikan Lingkungan Hidup 4.10. MCS dan Penegakan Hukum 4.11. Pemantauan dan Evaluasi 4.12. Penyebarluasan Konsep DPL ke Lokasi Lain (Scaling-up)

Proses perencanaan pengelolaan

penetapan DPL

dan

dilakukan wilayah

dengan mengikuti proses kebijakan sumberdaya pesisir. Penetapan suatu DPL tidak dapat dipisahkan dengan agenda besar pengelolaan wilayah pesisir, atau dengan kata lain merupakan

bagian dari Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu di suatu desa atau kabupaten/kota. Isu-isu pengelolaan pesisir, seperti penangkapan ikan yang merusak, degradasi habitat, kurangnya kesadaran masyarakat, tangkaplebih merupakan isu-isu yang juga berkaitan dengan pengembangan suatu DPL. Berikut adalah tahapan, kegiatan, hasil, dan indikator yang diharapkan dalam pengembangan DPL (Tabel 1)

COREMAP II ADB

45

Tabel 1. Tahapan, Kegiatan, Hasil dan Indikator pengembangan DPL Tahapan Proses Perencanaan dan Pengelolaan 1. Pengenalan dan Sosialisasi Program Kegiatan yang dilakukan Hasil yang diharapkan Indikator Hasil

2. Pelatihan, Pendidikan, Pengembangan Kapasitas Masyarakat

Lokasi desa dipilih Penempatan Penyuluh Survei data dasar Pembuatan Profil Desa Diskusi program pendampinga n masyarakat Studi banding DPL Penyuluhan DPL dan lingkungan Pelatihan Pemetaan Kawasan Pelatihan Kelompok

Identifikasi isu-isu Sosioekono mi dan budaya dipahami Pendekatan dapat dipahami bersama

Deskripsi data dasar Profil lingkungan disebarkan kepada masyarakat Jumlah pertemuan masyarakat ttg DPL

3. Konsultasi Publik

4. Persetujuan Peraturan Desa

Pembuatan draft Perdes Diskusi formal/inform al Perbaikan draft Perdes Musyawarah Desa Peresmian Perdes Peresmian Formal oleh

Pemahaman Masyarakat Peta Karang Peningkatan Pengawasan Dukungan masyarakat Kapasitas masyarakat meningkat Kapasitas dalam pengelolaan sumberdaya Partisipasi dalam pembuatan Perdes Konsensus tentang aturan DPL Penerimaan DPL secara formal Dasar Hukum

Jumlah pelatihan/penyuluh an Jumlah peserta pelatihan Jumlah kelompok masyarakat Jumlah proposal kegiatan kelompok Pelaporan penggunaan dana

Jumlah pertemuan Jumlah peserta dalam penyiapan Perdes Jumlah peserta setuju dengan Perdes Jumlah musyawarah Penandatanganan Perdes Peresmian DPL oleh Pemerintah

46

Panduan Pengembangan Marine Management Area

Tahapan Proses Perencanaan dan Pengelolaan 5. Pelaksanaan

Kegiatan yang dilakukan

Hasil yang diharapkan

Indikator Hasil

Pemerintah Pemasangan Tanda Batas Rencana Pengelolaan Papan Informasi Rencana pengelolaan terumbu karang (RPTK) Pertemuan Pengelola Monitoring Penegakan Hukum Penyuluhan dan pendididkan

Ketaatan Pengelolaan efektif Tutupan Karang meningkat Kepadatan biota meningkat Hasil tangkapan meningkat

Jumlah Pelanggaran menurun Jumlah pertemuan kelompok Survei monitoring Data statistik perikanan di DPL

Berikut adalah tahapan pembentukan DPL yang dapat diusulkan di lokasi COREMAP II ADB, dari hasil pembelajaran dari DPL yang difasilitasi oleh CRMP USAID di Lampung dan Sulawesi Utara. yang disesuaikan dengan perencanaan oleh COREMAP II ADB.

COREMAP II ADB

47

Langkah

Checklist
Lokasi dipilih Penempatan Penyuluh Survei data dasar Pembuatan Profil Desa Pendampingan masyarakat

Hasil

Langkah 1
Pengenalan dan sosialisasi COREMAP dan DPL

Identifikasi Isu sosioekonomi, budaya dipahami; pendekatan disetujui bersama

Langkah 2
Pelatihan dan Pengembangan Kapasitas Masyarakat

Studi Banding DPL Pendidikan Lingkungan Pelatihan Pemetaan DPL Pelatihan LPSTK/Pokmas

Pemahaman dan dukungan masyarakat; Peta Karang; Peningkatan Pengawasan sumberdaya

Langkah 3
Konsultasi Publik

Pembuatan Draf Perdes Diskusi Formal/Informal Perbaikan Draf Perdes Ketentuan DPL

Partisipasi Masyarakat, konsensus DPL

Langkah 4
Persetujuan Peraturan Desa tentang DPL

Musyawarah Desa Peresmian Perdes Formalisasi oleh Pemerintah

Penerimaan secara Formal dan Dasar Hukum

Langkah 5
Pelaksanaan dan Pengelolaan DPL

Pemasangan Tanda Batas Papan Informasi RPTK dan Pengelola

Pengelolaan Efektif; Ketaatan

Langkah 6
Monitoring dan Evaluasi DPL

Monitoring DPL Penegakaan Hukum Penyuluhan dan Pendidikan

Tutupan Karang Meningkat; Hasil Tangkapan ikan meningkat; pendapatan Masyarakat Meningkat

Gambar 6 . Tahapan dalam Pembentukan Daerah Perlindungan Laut

48

Panduan Pengembangan Marine Management Area

4.2 Pemilihan Lokasi Kawasan Konservasi Laut Mendefinisikan calon lokasi KKL atau DPL yang akan menjadi bagian dari jaringan KKL mencakup berbagai penekanan pada pertimbanganpertimbangan yang lebih detail dari pada penetapan kawasan lindung di daratan, walaupun alasan utama dari pembentukan kawasan konservasi keduanya sangat mirip, yaitu : Untuk menjaga proses-proses ekologi penting dan penyangga kehidupan, Menjamin pemanfaatan jenis dan ekosistem secara berkelanjutan, Melindungi keanekaragaman hayati. Di laut, habitat biasanya jarang dibatasi secara persis atau secara kritis dibatasi. Daya tahan hidup dari spesises tidak dapat dihubungkan secara spesifik dengan lokasi. Banyak spesies yang bergerak bebas secara luas dan arus air membawa material genetik melalui jrak yang sangat jauh. Oleh karenanya, di laut kasus ekologi untuk proteksi biasanya tidak selalu tergantung pada habitat kritis biota langka beserta ancamannya, namun perlindungan dapat diupayakan dengan pertimbangan perlindungan habitat kritis untuk keperluan komersial, rekreasi dan perlindungan tipe habitat dengan asosiasi genetik dalam komunitasnya. Contoh tentang Batas-batas Kawasan Konservasi Laut yang dapat dipadankan dengan MMA tertera pada Lampiran 2. Berikut adalah daftar faktor-faktor atau kriteria yang akan

digunakan dalam memutuskan bahwa suatu kawasan harus termasuk dalam sebuah MMA atau untuk menentukan batas-batas MMA: Kealamiahan kawasan Kepentingan biogeografi Kepentingan ekologi

COREMAP II ADB

49

Kepentingan ekonomi Kepentingan sosial Kepentingan ilmiah Kepentingan nasional dan internasional Kepraktisan dan kelayakan pengelolaan Jika suatu pulau atau suatu desa sudah terpilih menjadi lokasi DPL,

maka penentuan lokasi yang sesuai dengan lokasi zona inti dan penyangga DPL perlu disepakati oleh masyarakat. Pemilihan lokasi biasanya merupakan suatu kompromi antara pertimbangan kebutuhan praktis (kemudahan pengelolaan) dan prinsip-prinsip konservasi (kondisi terumbu karang yang baik dengan keanekaragaman hayati yang tinggi). Berbagai hal yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan sebuah daerah perlindungan laut adalah kemampuan masyarakat desa dalam mengawasi kawasan dimana kegiatan eksploitatif tidak diperkenankan. Hal ini sangat mempengaruhi pemilihan lokasi dan besar ukuran daerah perlindungan laut. Hal lain yang harus diperhatikan adalah kualitas aspek estetika kawasan ditinjau dari kualitas terumbu karang dan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya, kesepakatan masyarakat tentang pengelolaan dan pemanfaatan daerah perlindungan laut, dan tingkat ancaman terhadap kelestarian terumbu karang. Berdasarkan halhal tersebut, sejumlah kriteria diajukan untuk menentukan daerah perlindungan laut yang dikelola oleh masyarakat desa IUCN (Salm et al, 2002) telah membuatkan kriteria dalam penentuan Kawasan Konservasi. Walaupun kriteria dari IUCN diperuntukkan kepada Kawasan Konservasi yang luas, namun dapat digeneralisasikan untuk digunakan pada DPL berbasis desa. Kawasan-kawasan terumbu karang yang merupakan bank ikan karang dan mempunyai ketahanan terhadap coral bleaching (pemutihan karang) akibat perubahan iklim, menjadi prioritas untuk dilindungi. Namun demikian, haruslah mempertimbangkan juga faktor-faktor sosial ekonomi,
50
Panduan Pengembangan Marine Management Area

seperti kepentingan publik, peluang ekonomi dan politik. Faktor sosial-ekonomi dan budaya pada masa lalu masih belum merupakan kriteria dalam penentuan DPL ataupun jaringan DPL yang disebut KKL/MMA. Dari segi praktisnya, maka berikut adalah kriteria yang telah digunakan untuk pemilihan lokasi DPL pada skala desa di Lampung dan Sulawesi Utara (CRMP, 2003) yang dapat diaplikasikan di lokasi COREMAP II, yaitu : Lokasi DPL sedapat mungkin bukan merupakan lokasi utama penangkapan ikan masyarakat setempat, untuk menghindari konflik yang besar dengan para pengguna sumberdaya Tutupan karang cukup tinggi, idealnya 50%, namun dapat sampai 30% dan dapat dipertimbangkan dengan kepadatan biota lainnya Lokasi DPL mencakup perwakilan habitat, yaitu rataan dan lereng terumbu, mangrove, padang lamun dan habitat penting lainnya Lokasi DPL masih dalam jangkauan pengawasan dan pantauan masyarakat Ukuran besar/kecilnya kawasan sebenarnya dapat mengacu pada luasan terumbu karang yaitu: 20-30% dari luasan habitat terumbu karang. Pada prakteknya luasan DPL di desa mencapai 50 hektar. Lokasi DPL terhindar dari sedimentasi dan polusi dari sungai atau tidak di dekat muara sungai Lokasi DPL merupakan daerah potensi wisata penyelaman DPL merupakan habitat dari satwa langka atau satwa endemik atau tempat pemijahan ikan karang Lokasi DPL sebaiknya mengikuti kontur perairan dan mudah untuk digambarkan batas-batasnya, seperti segi empat, segi lima, dsb. 4.3 Sistem Biaya Masuk Pelaksanaan sistem biaya masuk dalam DPL dapat diperlakukan ke dalam kawasan yang mempunyai potensi untuk wisata perairan, atau lokasi

COREMAP II ADB

51

yang dijadikan sebagai percontohan dengan frekwensi kunjungan yang tinggi. Salah satu penggunaan dana masuk dapat digunakan untuk pemandu wisata lokal yang dapat dianggap sebagai kompensasi waktu mereka selama bertugas. Besarnya biaya masuk ke DPL yang telah ditetapkan sebagai suatu obyek wisata, sebaiknya ditetapkan oleh pemerintah daerah. Sebagian dana akan diberikan kepada Kelompok Masyarakat Konservasi. Penggunaan dana tersebut, misalnya untuk pemeliharaan dan pengelolaan DPL (pelampung, tanda batas, papan informasi dsb). Sumbangan sukarela dari pengunjung dapat juga diusulkan oleh pengelola DPL, apabila ada keinginan dari wisatawan untuk memberikannya. Selain biaya masuk dari para wisatawan, diterapkan juga uang denda masuk, yaitu uang yang dibayarkan oleh masyarakat yang melanggar aturan DPL, misalnya menangkap ikan di dalam zona inti, dsb. Uang denda tersebut harus dikembalikan lagi kepada pengelola untuk tujuan konservasi dan pengelolaan DPL. 4.4 Kelompok Pengelola

Kelompok Pengelola DPL adalah Kelompok Masyarakat (Pokmas) Konservasi, yang akan melaksanakan pengelolaan DPL. Pokmas Konservasi sebagai pengelola DPL disarankan membuat suatu struktur organisasi yang sederhana, misalnya terdapat ketua Pokmas, sekretaris, bendahara, dan seksi-seksi. Pokmas Konservasi sebagai pengelola DPL di lokasi COREMAP II, akan dikoordinasikan oleh Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang (LPS-TK) yang bersama pemerintah di desa, untuk mengusulkan rencana kerja tahunan, melaksanakan kegiatan konservasi di lokasi DPL dan di jaringan DPL (MMA Kabupaten/Kota). Secara garis tugas dan tanggung jawab dari Pokmas Konservasi dalam pengelolaan DPL adalah :

52

Panduan Pengembangan Marine Management Area

Membuat rencana operasional pengelolaan DPL berdasar pada Rencana Pengelolaan Terumbu Karang (RPTK) yang disiapkan oleh LPS-TK

Bertanggung jawab dalam pemantauan dan pengawasan DPL, dengan panduan pelaksanaan MCS dari LPS-TK Melakukan pemantauan DPL secara berkala Bertanggung jawab dalam pemeliharaan peralatan DPL, seperti tanda batas, pelampung, alat-alat selam/snorkle, papan informasi dan pusat informasi

Memberikan pendidikan lingkungan kepada masyarakat Pembentukan Pokmas Konservasi pengelola DPL melalui proses

pemilihan dan musyawarah desa yang dikoordinasikan oleh LPS-TK, dengan partisipasi aktif dari pemerintah desa, tokoh masyarakat, kepala kampung/dusun dan nelayan. Disarankan bahwa pengurus Pokmas adalah nelayan, karena nelayan adalah pengguna sumberdaya yang berkepentingan dengan DPL. Kelompok Konservasi sebaiknya disyahkan dengan Surat Keputusan Desa. Bagaimana isi yang ideal dari suatu Rencana Pengelolaan Terumbu Karang (RPTK)? Karena RPTK merupakan dokumen pengelolaan yang akan digunakan untuk mengimplementasikan kegiatan-kegiatan pengelolaan terumbu karang. 4.5 Proses Peraturan Desa atau Surat Keputusan Desa Aturan-aturan yang dibuat berdasar kesepakatan masyarakat sangat menentukan keberhasilan pengelolaan suatu DPL. Pada era otonomi daerah, aturan perlu diformalkan menjadi Peraturan Desa atau Keputusan Desa yang khusus mengatur pengelolaan DPL. Peraturan Desa atau Keputusan Desa tersebut akan mengikat masyarakat, baik di dalam desa yang mengelola DPL, maupun juga masyarakat di luar desa, sehingga pemerintah

COREMAP II ADB

53

desa dan Pokmas Konservasi mempunyai dasar hukum untuk melarang atau menindak pelanggaran yang terjadi di lokasi DPL. Yang perlu diperhatikan, selain aspek partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan Peraturan Desa, juga harus dipertimbangkan kesepakatan adat setempat yang tidak tertulis, sehingga nantinya Perdes tersebut tidak tumpang-tindih atau kontradiktif dengan aturan adat. Berikut adalah proses dan tahapan pembuatan Peraturan Desa Pengelolaan DPL : Identifikasi kelompok pengguna. Identifikasi kelompok pengguna diperlukan supaya semua pengguna (pengumpul biota laut, nelayan pancing, nelayan jaring, penangkar ikan hias, pengambil kayu bakau, dsb.) dapat berperan serta mengambil keputusan terhadap aturanaturan yang akan diterapkan untuk pengelolaan DPL. Konsultasi Penyusunan Perdes. Tahap awal pertemuan masyarakat adalah penentuan aturan-aturan tentang kebolehan dan larangan dalam DPL. Konsultasi masyarakat dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari musyawarah nelayan, dusun sampai pada pertemuan formal di tingkat desa. Formulasi aturan dalam Perdes. Tahap ini adalah untuk memformulasikan ide masyarakat yang terkumpul kedalam bahasa atau norma hukum, yaitu Peraturan Desa. Konsultan atau fasilitator diperlukan pada tahap ini untuk menuangkan kedalam Rancangan Perdes. Contoh Keputusan Desa Tentang Pengelolaan DPL tercantum dalam Lampiran: Contoh Keputusan Kepala Desa tentang DPL. Sosialisasi dan Persetujuan Formal. Setelah Rancangan Perdes terbentuk, maka tahap selanjutnya adalah sosialisasi dengan musyawarah dan konsultasi final kepada masyarakat, dan selanjutnya disyahkan menjadi Perdes.

54

Panduan Pengembangan Marine Management Area

Berikut adalah tahapan proses pembuatan Peraturan Desa/Surat Keputusan Desa tentang Daerah Perlindungan Laut, dari hasil pembelajaran CRMP USAID dan disesuaikan dengan pengembangan DPL COREMAP II ADB.

Langkah

Checklist
Identifikasi masalah Identifikasi akar masalah Identifikasi stakeholders Identifikasi dampak potensial RanPerdes DPL

Hasil

Langkah 1
Identifikasi Permasalahan dan Pemangku Kepentingan

Daftar masalah dan akar masalah, pemangku kepentingan, dampak potensial Perdes baru

Langkah 2
Identifikasi Landasan Hukum dan Perundang-Undangan

Inventarisasi hukum analisis SDM Analisis Penegakan Hukum

Daftar aturan hukum terkait, analisis SDM, analisis pelaksanan aturan terkait

Langkah 3
Penulisan Rancangan Peraturan Desa

Susun dari umum ke detil Gunakan format baku Ketentuan apa yang boleh dan dilarang Ketentuan sanksi

Draft Ranperdes dalam bentuk awal

Langkah 4
Penyelenggaran Konsultasi Publik

Undang seluruh stakeholders Gunakan komunikasi dua arah Catat semua masukan

Draft akhhir Ranperdes dalam bentuk final

Langkah 5
Pembahasan di BPD

Gunakan sebagai konsultasi public Undang semua stakeholders

Ranperdes dalam bentuk final yang siap untuk ditanda-tangani

Langkah 6
Sosialisasi & Pengesahan Perdes DPL

Lakukan sosialissi sebelum dan sesudah pengesahan Undang semua stakeholders

Peraturan Desa yang sudah disahkan oleh BPD dan Kepala Desa, disosialisasikan kepada masyarakat

Gambar 7. Tahapan Proses Pembuatan Peraturan Desa/Surat Keputusan Desa tentang Daerah Perlindungan Laut.

COREMAP II ADB

55

Contoh dari Sulawesi Utara dan Lampung tentang Materi Muatan dalam Peraturan Desa/SK Desa Tentang Pengelolaan DPL : Dasar pertimbangan pembentukan DPL Dasar hukum yang terkait dengan DPL Ketentuan Umum, berisi definisi komponen DPL Cakupan Wilayah DPL, meliputi batas dan zonasi Tugas dan tanggung jawab PokMas Pengelola Kewajiban dan kegiatan yang diperbolehkan di DPL Kegiatan yang dilarang di DPL Sanksi pelanggaran Pengelolaan Dana Pengawasan Penutup Lampiran Peta DPL, dilengkapi dengan koordinat.

4.6

Pengelolaan DPL

Pengelolaan DPL dilakukan melalui tahapan yang sesuai dengan siklus kebijakan pengelolaan wilayah pesisir terpadu (Integrated Coastal Management/ICM), baik di tingkat Kabupaten/Kota atau tingkat Desa. Siklus kebijakan yang dimaksud adalah : (1) Identifikasi dan pengkajian isu (2) Persiapan program (3) Adopsi program secara formal dan penyediaan dana (4) Pelaksanaan Program (5) Evaluasi

Gambar 8. Siklus Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir (sumber CRMP/USAID, 2003)

56

Panduan Pengembangan Marine Management Area

Jadi, rencana pengelolaan DPL dapat dirancang sebagai satu bagian dari Rencana Pengelolaan Terumbu Karang (RPTK) di lokasi COREMAP atau Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu (RPWPT) di tempat lain. Pada bagian ini, akan dijelaskan langkah-langkah yang dapat menjadi panduan pengelolaan suatu DPL, yaitu : (1) Pembuatan Rencana Pengelolaan DPL (2) Pemasangan serta pemeliharaan tanda batas dan papan informasi (3) Pelaksanaan pendidikan lingkungan hidup (4) Pengawasan,Pemantauan, dan Penegakan Hukum (5) Pemantauan dan Evaluasi DPL

4.7 Pembuatan Rencana Pengelolaan Suatu DPL haruslah mempunyai Rencana Pengelolaan yang dibuat bersama oleh pemerintah desa dan masyarakat, agar pengelolaan DPL berfungsi dengan baik. Rencana Pengelolaan ini merupakan panduan bagi pemerintah desa dan masyarakat untuk pengelolaan DPL, sehingga masyarakat dapat memetik manfaat untuk perikanan dan wisata berkelanjutan. Identifikasi Isu Pengelolaan, yang merupakan tahap awal dari siklus pengelolaan sumberdaya pesisir, haruslah dapat mengidentifikasi isu yang berhubungan dengan pengelolaan DPL. Hasil rangkuman isu-isu pengelolaan suatu DPL dapat diterbitkan menjadi satu kesatuan dengan Profil Desa, yang dapat dianggap menjadi data dasar. Selanjutnya data dasar tersebut dapat dijadikan untuk menyusun visi, misi DPL, tujuan

COREMAP II ADB

57

pengelolaan DPL, strategi, kegiatan serta sumber pendanaan. (Lihat Lampiran1). Rencana Pengelolaan suatu DPL dapat merupakan bagian dari rencana umum pengelolaan sumberdaya pesisir atau pun dapat disusun secara terpisah. Pada Lokasi COREMAP pemerintah desa menyusun Rencana Pengelolaan Terumbu Karang (RPTK), maka Rencana Pengelolaan sebaiknya menjadi bagian dari RPTK tersebut.

Penyusunan dan Penetapan Rencana Pengelolaan Terumbu Karang (RPTK) Tahapan penyusunan kegiatan pengelolaan ekosistem terumbu karang terpadu berbasis masyarakat yang disusun bersama-sama oleh LPSTK dan masyarakat dengan dipandu oleh Motivator Desa, Fasilitator Desa dan LSM Pendamping. Di tahap awal, berdasarkan visi dan sasaran, dilakukan perumusan program kerja pengelolaan terumbu karang terpadu yang terarah berdasarkan isu dan masalah yang ada. Program tersebut dihasilkan dari kesepakatan bersama antara berbagai pihak yang terlibat dalam pelaksanaan program Pengelolaan Berbasis Masyarakat (Coremap II, 2005). Adapun bahan dan alat yang diperlukan untuk pembuatan rencana pengelolaan terumbu karang dimaksud terdiri dari : Hasil Pengkajian cepat (RRA) yang telah dilakukan Hasil Pengkajian Partisifatif (PRA) yang telah dilakukan berupa profil desa/kampung/pulau Hasil Studi baseline dan monitoring CRITC, Referensi yang relevan untuk pembuatan rencana pengelolaan perikanan, baik dari aspek legal maupun teknis Peta-peta tematik yang telah didigitasi seperti peta Rencana Strategis Pengelolaan Terumbu Karang Berkelanjutan, Draft Perencanaan Strategis Pengelolaan Perikanan secara berkelanjutan Brosur, buku-buku dan alat-alat tulis.

58

Panduan Pengembangan Marine Management Area

Sistematika RPTK meliputi : Gambaran Umum (Profil) Desa Isu-isu pokok pengelolaan terumbu karang terpadu Visi pengelolaan terumbu karang Sasaran/target yang ingin dicapai Strategi dan jenis jenis kegiatan yang akan dilakukan Organisasi pelaksana Waktu pelaksanaan dan biaya yang

Pihak-pihak yang akan terlibat dalam kegiatan pembuatan rencana pengelolaan terumbu karang adalah : Kepala Desa/Kampung Badan Perwakilan Desa (BPD) Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang (LPSTK) Nelayan setempat Pengumpul /penggarap hasil sda dari terumbu karang, bakau dan padan lamun Kelompok Masyarakat (Pokmas) yang telah terbentuk - Motivator Desa Fasilitator Masyarakat dan LSM Pendamping Anggota masyarakat desa secara umum (Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Organisasi Wanita, dsb). Strategi Pelaksanaan Pembuatan RPTK : 1. LSM Pendamping atau Fasilitator memfasilitasi pembentukan tim inti penyusunan tingkat desa yang terdiri dari anggota LPSTK dan tim pendukung yang terdiri dari Kepala Desa dan BPD (Badan Perwakilan Desa) 2. Tim inti dan pendukung menyusun jadwal dan agenda pembuatan RPTK, 3. Tim inti melakukan penggalangan input dari berbagai pihak yang berada di desa/kampung/pulau, termasuk pendatang yang melakukan aktifitas penangkapan, perdagangan dan lain sebagainya. Kegiatan ini dapat berbentuk diskusi dusun (kampung),
COREMAP II ADB

59

interview, observasi, 4. Tim pendukung melakukan konsultasi dengan berbagai pihak utamanya yang terkait dengan biota laut, pengelolaan sumberdaya berkelanjutan, aspek legal, teknis dan lain sebagainya pada tingkat Kecamatan dan Kabupaten, 5. Tim inti melakukan validasi data dan informasi terkait dengan aspirasi/kepentingan masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya terhadap sumberdaya ekosistem terumbu karang, selanjutnya mengkonsultasikan dengan tim pendukung, 6. Tim inti dan pendukung melakukan verifikasi, kompilasi serta penyelarasan data dan informasi yang akan dimasukkan sebagai bahan-bahan dalam pembuatan draft RPTK, 7. Draft yang telah jadi, selanjutnya disosialisasi dan dikonsultasikan kepada masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya untuk mendapatkan feedback, melalui workshop tingkat desa 8. Tim inti dan pendukung melakukan revisi secara akomodatif berdasarkan masukan (feedback) yang diperoleh, 9. Tim inti dan pendukung meminta bantuan kepada LSM Pendamping, Fasilitator dan PIU untuk penyesuaian redaksi, sistematika dan lain-lain yang diperlukan, dan 10. Kepala Desa akan menertibkan Surat Keputusan tentang Rencana Pengelolaan Terumbu Karang berbasis masyarakat. Proses pembuatan RPTK membutuhkan waktu dan proses yang relatif panjang, kurang lebih 6 hingga 9 bulan, mengingat bervariasinya hal-hal yang perlu diatur dalam RPTK, beragamnya pemangku kepentingan yang memiliki aspirasi berbeda dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya ekosistem terumbu karang. Dalam konteks demikian, RPTK merupakan produk dokumen yang sifatnya strategis dan vital dalam pelaksanaan pengelolaan sumberdaya. Isi dari materi-materi yang termuat dalam RPTK yang perlu menjadi pertimbangan dalam penyusunan dokumen RPTK dan tahapan-tahapan teknis yang perlu dilakukan, antara lain : (1) Penataan Wilayah atau Sistem Zonasi Wilayah laut dan pantai dalam kawasan lokasi program COREMAP mengandung sumberdaya laut yang kaya. Potensi-potensi ini dapat digunakan dengan berbagai cara termasuk pengelolaan perikanan jangka panjang yang berkelanjutan dan pariwisata. Namun dengan tekanan pembangunan ekonomi dan bertambah harapan masyarakat maka terdapat tingkat resiko yang tinggi dimana tidak ada pengelolaan akan bertahan lama dalam waktu yang panjang tanpa perencanaan pengelolaan yang disetujui dan dipahami oleh

60

Panduan Pengembangan Marine Management Area

masyarakat lokal yang memfasilitasi antara pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya alam. Dengan berbagai bentuk kepentingan dan pemanfaatan sumberdaya umumnya membutuhkan perencanaan Zonasi dan Tata Ruang yang dapat mengalokasikan pemanfaatan dan tingkat dampaknya terhadap wilayah-wilayah spesifik. Participatory Rural Appraisal (PRA) akan mengidentifikasi bahwa ternyata pada wilayah-wilayah tertentu memiliki kekhasan sendirisendiri, sebagai contoh terdapat wilayah yang menjadi pusat keanekaragaman karang dan ikan hias, ada wilayah yang menjadi pusat masyarakat menangkap ikan untuk umpan, ada wilayah yang menjadi pusat masyarakat memancing ikan kerapu dan lain sebagainya. Keadaan inilah yang harus dikelola agar keberadaan wilayah dan kekhasan tersebut dapat terpelihara. PRA telah dilakukan untuk Kabupaten Lingga, karena COREMAP Phase I telah melaksanakan pemilihan lokasi DPL-DPL. Suatu penataan wilayah yang berbasis pada masukan dan diskusi masyarakat serta dianalisa oleh tim formulator akan menghasilkan dasar untuk kegiatan konservasi dan pemanfaatan yang berkelanjutan. Beberapa kategori wilayah yang penting dibuat yaitu: Wilayah pemanfaatan tradisional (wisata, lokasi pemacingan umpan dan lain-lain), Wilayah pengembangan budidaya laut (rumput laut, kerang, pembesaran ikan dan lain-lain) Wilayah perlindungan masyarakat atau konservasi sebagai Zona Inti dan Wilayah yang menjadi alur transportasi perairan pedalaman Desa atau pulau. Penataan wilayah atau sistem zonasi selain mengatur pola pemanfaatan sumber daya laut yang tersedia agar dapat berkelanjutan juga diharapkan dengan adanya penataan wilayah atau sistem zonasi ini dapat meredam kemungkinan-kemungkinan terjadinya konflik lokasi tangkapan antar pengguna dari dalam dan luar. (2) Sistem dan Mekanisme Pengelolaan Masyarakat diharapkan paham dan menerima kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan berdasarkan rencana yang dibuat dalam RPTK,bagaimana mengawasi pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut dan masih banyak lagi hal-hal yang harus diatur untuk mendukung pelaksanaan sistem zonasi yang telah dibuat. Dalam sistem dan mekanisme pengelolaan secara rinci dibahas tentang :

COREMAP II ADB

61

Jenis kegiatan yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan dalam zona yang telah ditetapkan, Jenis alat tangkap yang boleh dan tidak boleh digunakan dalam masing-masing zona, Jenis biota laut yang boleh dan tidak boleh ditangkap atau dimanfaatkan (jenis biota laut yang dapat dimanfaatkan secara terbatas), Definisi kawasan konservasi (minimum 10 % daerah terumbu karang yang ada di desa), Alur transportasi tradisional yang boleh dilewati, dan Tata cara pengelolaan dan menjalankan sistem zonasi. Untuk mengefektifkan sistem dan mekanisme pengelolaan dibutuhkan seperangkat kelembagaan atau organisasi yang akan bertanggung jawab menjadi pelaksana RPTK dan sebuah kerangka tata hubungan kerja antar unsur di tingkat desa atau pulau yaitu Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang (LPSTK). Masing-masing unsur yang terlibat dalam struktur pelaksana RPTK maupun dalam tata hubungan kerja memiliki gambaran tugas masingmasing (seperti yang tercantum dalam penjelasan kelembagaan RPTK), disana tertera dengan jelas siapa yang melakukan apa. Pembagian tugas seperti ini dimaksudkan agar tumbuh sikap dan rasa tanggung jawab terhadap tugas. (3) Perencanaan Program Keberadaan program-program sangat dibutuhkan untuk menjalankan RPTK. Dalam RPTK telah dirumuskan beberapa program yang dinggap dapat mendukung visi dan misi desa atau pulau antara lain : a. b. c. d. e. f. Program konservasi dan penyadaran masyarakat, Program peningkatan kapasitas kelembagaan masyarakat, Program penentuan daerah perlindungan masyarakat (DPL) Program pengembangan Mata Pencaharian Alternatif (MPA), yang direkomendasi oleh masyarakat, Program peningkatan mutu pendidikan, kesehatan dan kesetaraan jender, Program Pembangunan Prasarana Pendukung RPTK. setiap rencana program yang disusun dalam RPTK dilakukan oleh masyarakat, akan tetapi melibatkan terkait berdasarkan kapasitas dan kompetensinya. yang bersifat pengawasan dan penegakan hukum

Pelaksanaan dari tidak hanya akan pihak-pihak yang Program-program

62

Panduan Pengembangan Marine Management Area

misalnya akan didukung oleh aparat penegak hukum formal (Polisi, Jagawana dan Tentara AD/AL). Program-program yang lain yang membutuhkan biaya yang relatif besar akan didukung oleh pihakpihak ketiga atau Pemerintah Kabupaten melalui unit-unit kerjanya dan mungkin juga dari pihak ketiga seperti dari COREMAP melalui Dana Bantuan Desa (Village Grant). (4) Sanksi-Sanksi Hal yang paling mempengaruhi kesuksesan sebuah perencanaan utamanya yang dibangun di atas konsensus berbagai pihak (stakeholders) adalah konsekuensi dari konsensus tersebut yang biasanya dituangkan dalam bentuk sanksi-sanksi. Kepatuhan masyarakat atau pihak-pihak lain terhadap aturan bergantung bagaimana sanksi ditegakkan. Semakin longgar penegakan sanksi, maka akan semakin rapuh pula aturan yang telah dibuat, tetapi sebaliknya semakin konsisten untuk menegakkan sanksi akan semakin kuat aturan yang ada. Untuk penerapan dan keberlanjutan materi-materi yang terkandung dalam sanksi-sanksi sebaiknya bersumber dari kearifan lokal yang sejak lama dianut oleh masyarakat. Sehingga aturan baru seyogyanya berbasis pengetahuan, pengalaman dan proses berfikir masyarakat. Penerapan sanksi dilakukan dengan pola bertingkat yang juga bergantung seberapa besar bobot pelanggaran yang dilakukan. Dalam RPTK diatur jenis-jenis pelanggaran yang dapat diselesaikan ditingkat desa atau pulau oleh penanggung jawab pelaksana RPTK lokal, seperti pelanggaran terhadap areal perlindungan atau kawasan konservasi masyarakat (community sanctuary), masuk pada wilayah-wilayah yang tidak dibolehkan dan lain-lain. Sementara pelanggaran yang bersifat kriminal lingkungan dan bobotnya besar seperti membom, membius dan lain-lain, maka penanggung jawab pelaksana RPTK akan berkoordinasi dengan aparat penegak hukum formal.

COREMAP II ADB

63

Gambar 9. Pentahapan Penyusunan Rencana Pengelolaan Terumbu Karang (RPTK) (Sumber COREMAP II, 2005) Adapun tahapan-tahapan, maksud pada tiap langkah tersebut serta jenis detail kegiatan penyusunan sebuah RPTK seperti terlihat pada Gambar 9 diatas dapat dijelaskan sebagai berikut : Tahapan Pembuatan RPTK (1) Sosialisasi dan Diseminasi Masyarakat harus mengetahui dan memahami pentingnya

sumberdaya ekosistem terumbu karang dikelola secara baik, untuk dimanfaatkan saat ini dan demi kepentingan generasi yang akan datang. COREMAP hadir untuk mendukung dan memfasilitasi masyarakat agar pemahamannya semakin meningkat, kapasitasnya semakin baik, jaringan kemitraannya semakin luas, dengan demikian masyarakat akan lebih mudah untuk mencapai tujuannya untuk mengelola sumberdaya secara efektif, dan dapat menjamin strategis keberlanjutannya. Dengan membuat perencanaan

sumberdaya dalam bentuk Rencana Pengelolaan Terumbu Karang (RPTK), masyarakat dapat mengelola sumberdaya secara sistematis, fokus dan berdaya guna.

64

Panduan Pengembangan Marine Management Area

(2) Pembuatan Profil Desa/Kampung Data dan informasi (DAIS) tentang kondisi sosial dan sumberdaya merupakan bahan-bahan dalam membuat RPTK pada lingkup desa/kampung. Membuat profil desa/kampung salah satu cara untuk mengumpulkan dais tentang kondisi obyektif di desa. Pembuatan profil desa/kampung dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan masyarakat, dengan pertimbangan merekalah yang memiliki banyak informasi dan paling mengenali desa/kampungnya. Pembuatan profil desa/kampung dilakukan dalam bentuk PRA (3) Pembentukan Tim Penyusun Dais dan berbagai kepentingan harus diorganisir serta dikelola secara baik, sehingga hal-hal yang penting untuk dimasukkan dalam RPTK akan termuat. Untuk itu, akan dibentuk tim penyusun oleh LPSTK yang terdiri sekitar 7 10 orang. Tim ini akan bertanggung jawab untuk mengumpulkan aspirasi, mengkompilasi, merekap, dan mengolah bahan-bahan yang akan dijadikan materi-materi dalam RPTK. Tim ini akan melakukan diskusi tingkat dusun, diskusi tingkat lingkungan dan diskusi tingkat desa/kampung untuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya Dais. (3) Membuat Draft RPTK Hasil Dais dan aspirasi dari masyarakat dan pihak-pihak lainnya yang telah dikumpulkan akan diolah dan selanjutnya dikonstruksi menjadi dokumen RPTK sesuai dengan sistematika yang ada. Penyusunan draf RPTK dilakukan melalui pemahasan pleno oleh tim yang dibantu dan difasilitasi oleh SETO, Fasilitator Masyarakat dan Motivator Desa. Selanjutnya SETO dan Fasilitator Masyarakat akan memfasilitasi pembuatan dokumen RPTK, dengan berkonsultasi dengan konsultankonsultan COREMAP utamanya konsultan manajemen perikanan dan

COREMAP II ADB

65

konsultan legal terkait dengan substansi dan teknik penulisan dokumen. (4) Konsultasi Publik dan Revisi Akomodatif Dokumen RPTK yang dihadiri yang telah dibuat dalam bentuk draf akan unsur pemerintah desa, BPD, kelompok

disosialisasikan kepada khalayak umum melalui musyawarah desa oleh masyarakat, aparat hukum lokal, petugas teknis instansi, dan lainlain. Agenda utamanya adalah penyampaian/presentasi RPTK oleh tim penyusun. Acara akan fifasilitasi oleh SETO/Fasilitator Masyarakat/Motivator Desa. Semua tanggapan, masukan dan kritikan akan dicatat oleh tim penyusun, yang kemudian dilakukan analisis untuk menentukan hal-hal apa saja yang perlu dimasukkan sebagai revisi dokumen. (5) Persetujuan dan Pengesahan Hasil revisi dokumen akan dibahas kembali secara mendalam oleh tim penyusun, Kepala Desa dan BPD melalui rapat konsultasi. Kepala Desa dan BPD akan membahas substansi RPTK dan hal-hal yang lain yang terkait dengan proses pengesahaannya. Apabila telah disepakati materi-materi RPTK, maka Kepala Desa akan mengesahkan RPTK atas persetujuan BPD menjadi lembar desa sebagai salah satu pedoman pembangunan tingkat desa. (6) Monitoring dan Evaluasi (Monev) Rencana pengelolaan merupakan dokumen yang memiliki tata aturan yang sistematis dan jelas, dengan demikian akan memudahkan bagi masyarakat dan pihak-pihak lain untuk memahami dan melaksanakannya. Sebelum menyusun/membuat RPTK, masyarakat dan pihak-pihak terkait dalam penyusunan RPTK perlu memahami kerangka fikir, struktrur dan alur penyusunannya.

66

Panduan Pengembangan Marine Management Area

Sebagai gambaran, berikut disajikan sebuah struktur dan alur penyusunan rencana isu pengelolaan hingga terumbu karang, kegiatan mulai dari mengidentifikasi penyusunan pengelolaan

ekosistem terumbu karang.

Contoh VISI dalam RPTK: Terjaminnya kelestarian sumberdaya terumbu karang dan kesejahteraan masyarakat setempat melalui penerapan prinsip-prinsip pengelolaan berkelanjutan ramah Iingkungan dan pengembangan mata pencaharian alternatif bagi masyarakat setempat. Sasaran Jangka Panjang : 1. Seluruh areal terumbu karang yang ada telah ditata sesuai dengan fungsinya ke dalam zona inti (10 % daerah terumbu karang), 2. Tidak terjadi perusakan terhadap ekosistem terumbu karang, 3. Tersedianya lembaga keuangan mikro di desa/kampung sebagai penunjang pelaksanaan usaha produktif masyarakat. 4. Penghasilan masyarakat meningkat. Sasaran Jangka Pendek : 1. Masyarakat dapat mengerti program pengelolaan terumbu karang, 2. Masyarakat dapat memahami arti penting ekosistem terumbu karang bagi lingkungan dan kehidupan manusia, dan 3. Masyarakat berpartisipasi dalam pengelolaan terumbu karang.

Tabel 2. Matriks Rencana Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Strategi Sasaran Program 1. Sasaran Terjaminnya Jangka kelestarian Panjang sumberdaya 2. Sasaran terumbu Jangka karang dan Pendek kesejahteraan Penyusunan masyarakat Rencana setempat Pengelolaan melalui Terumbu penerapan Karang prinsip-prinsip Berkelanjutan Visi Kegiatan

1. Pembagian areal terumbu karang (zonasi) ke dalam zona lindung dan zona pemanfaatan 2. Pengintegrasian COREMAP II ADB 67 hak-hak pengelolaan tradisional ke

pengelolaan berkelanjutan ramah Iingkungan dan pengembangan usaha ekonomi bagi masyarakat setempat.

3. 4.

5.

1. 2.

Pengembangan 3. Mata Pencaharian 4. Altematif 5.

1. Pengembangan 2. Kapasitas pengelolaan uang desa dan Prasarana 3. Dasar pengelolaan.

dalam rencana pengelolaan Konservasi dan rehabilitasi Penyusunan dan penetapan aturan pemanfaatan sumberdaya alam laut Penyusunan mekanisme pemecahan konflik Identifikasi jenis-jenis usaha Pemilihan jenisjenis usaha yang akan dikembangkan Penyusunan studi kelayakan Pelatihan teknis dan manajemen usaha Pembentukan Lembaga Keuangan mikro dan Manajemen Idenffikasi kebutuhan prasarana Penetapan jenis jenis prasarana dasar yang akan dibangun Penyusunan Rancangan Teknis dan Usulan Kegiatan.

Peningkatan Kapasitas Masyarakat

1. Identifikasi jenis-jenis pelatihan yang diperlukan 2. Pemilihan jenis-

68

Panduan Pengembangan Marine Management Area

jenis kegiatan pelatihan Penyusunan rencana kegiatan pelatihan.

4.8 Pemasangan tanda batas dan pemeliharaan Lokasi DPL perlu dibuatkan tanda batas, setelah Peraturan Desa ditetapkan. Batas-batas kawasan diupayakan di pasang baik di pantai maupun di laut, yang memungkinkan untuk kemudahan upaya pengelolaan dan khususnya pemantauan. Jika tanda batas tidak ada atau kurang jelas terlihat, maka peneglolaan dan pemantauan sulit untuk dilakukan. Tanda batas diusahakan dibuat dengan material sederhana namun kuat dan tahan terhadap kondisi laut, seperti tahan terhadap gelombang, arus dan tidak korosif. Pemasangan tanda batas dilakukan setelah survei kedalaman perairan melalui penyelaman yang dilakukan oleh anggota masyarakat dan ahli. Dengan survei tersebut diharapkan panjang tali pelampung serta pemberat/jangkar dapat dipasang sesuai dengan kedalaman perairan. Pertimbangan dalam pemasangan adalah pasang-surut perairan laut, sehingga diusahakan pemasangan tanda batas dilakukan pada saat pasang tertinggi, supaya tanda pelampung tetap muncul di permukaan air. Jika batas DPL mencakup daratan pantai, maka diperlukan pemasangan patok batas dengan ditancapkan pada tanah. Material patok dari beton atau baja anti karat biasanya merupakan bahan patok batas yang ideal. Warna patok batas di laut atau di darat diupayakan yang mencolok, seperti kuning dan merah.

COREMAP II ADB

69

Pemeliharaan Tanda Batas diperlukan secara rutin, misalnya dengan mengganti bagian yang rusak atau hilang. Kelompok Pengelola akan bertanggung jawab untuk pemeliharaan tanda-tanda batas DPL. Papan Informasi sangat penting sebagai upaya sosialisasi kepada masyarakat dan pengunjung/wisatawan atau juga kepada masyarakat di luar desa. Papan Informasi biasanya berisi tentang pesan-pesan penting, seperti larangan, yang terdapat dalam Peraturan Desa Tentang Pengelolaan DPL. Selain perlu mempertimbangkan bahan Papan Informasi yang awet atau tahan lama, biasanya Papan Informasi tersebut juga dapat dihiasi dengan gambar/poster tentang Konservasi Terumbu Karang dan Perikanan, misalnya : Terumbu Karang Sehat Ikan Berlimpah atau Kekayaan Alam Laut adalah bukan warisan nenek moyang, tetapi pinjaman dari anak cucu kita , dsb. 4.9 Pendidikan Lingkungan Hidup Pendidikan masyarakat merupakan hal yang sangat penting dalam pengelolaan DPL. Pendidikan tentang lingkungan hidup dan pengelolaan terumbu karang dan operasional DPL bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan mengenai lingkungan pesisir, ekosistem terumbu karang dan pengelolaan DPL, sehingga mereka dapat mengelola dan memanfaatkan sumberdaya pesisir di desa mereka secara berkelanjutan. Pendidikan lingkumgan hidup adalah upaya penyadaran dan peningkatan pengetahuan masyarakat, peningkatan keterampilan, melalui kegiatan pendidikan, pengajaran, pelatihan, penyuluhan, diskusi-diskusi formal dan informal (focus group discussion) tentang lingkungan hidup yang ada di sekitar mereka termasuk pengelolaan sumberdaya alam. Pelatihan dan penyuluhan semasa proyek masih berjalan dilaksanakan oleh COREMAP, sedang nantinya peran para Kader Desa dan Pengelola DPL

70

Panduan Pengembangan Marine Management Area

ataupun Penyuluh Perikanan dapat menggantikan peran sebagai penyuluh tentang pengelolaan lingkungan hidup di desa. Ada tiga hal yang dapat dipakai menjadi prinsip dasar pemahaman masyarakat terhadap sumberdaya terumbu karang, yaitu : Rasa memiliki masyarakat terhadap sumberdaya terumbu karang dan lokasinya Manfaat ekologis dan ekonomis sumberdaya alam, termasuk terumbu karang Kemungkinan ancaman dan degradasi sumberdaya alam di sekitar mereka 4.10 MCS dan Penegakan Hukum DPL yang telah ditetapkan melalaui Peraturan Desa perlu diawasi dari kegitan-kegiatan masyarakat yang mungkin belum memahami manfaatnya. Untuk menjamin adanya pengawasan dan penegakan aturan, maka disarankan untuk membuat Kelompok Pengawasan Masyarakat (Pokmaswas). Apabila terjadi pelanggaran aturan DPL, maka aturan yang telah disepakati bersama perlu ditegakkan dan sanksi diberikan kepada pelanggar. Sanksi yang dikenakan haruslah sesuai dengan ketentuan dalam Perdes, tidak boleh ditambah ataupun dikurangi. Jika seseorang melanggar aturan beberapa kali, dapat dikatakan pelanggaran tersebut sudah layak untuk diserahkan kepada aparat penegak hukum, beserta barang bukti. Oleh karena itu, Pokmaswas perlu dilatih tentang penyidikan dan prosedur penangkapan, serta Standar Operation Procedures (SOP) tentang mekanisme pelaporan. 4.11 Pemantauan dan Evaluasi

COREMAP II ADB

71

Kegiatan Pemantauan dan Evaluasi merupakan hal yang penting dalam siklus kebijakan pengelolaan DPL. Dengan adanya pemantauan dan evaluasi, maka kita dapat mengamati kemajuan setelah penetapan DPL dan pengelolaan DPL diberlakukan. Dari hasil pemantauan dan evaluasi, kita dapat mengetahui efektifitas dari DPL yang telah kita kembangkan, baik dampak terhadap perbaikan lingkungan maupun dampak sosial-ekonomi masyarakat. Kegiatan pemantauan dan evaluasi memerlukan informasi yang dikumpulkan secara periodik, seperti informasi jumlah pertemuan, jumlah partisipasi masyarakat, perubahan pola pemanfaatan sumberdaya terumbu karang, jumlah penurunan kegiatan penangkapan ikan yang merusak, dsb. Informasi tentang dampak ekologis, seperti perubahan tutupan karang dan jumlah kepadatan biota dalam DPL, merupakan hasil dari kegiatan pemantauan dan evaluasi. Melalui pemantauan dan evaluasi, maka program yang telah dibuat dapat terus disesuaikan dengan perubahan permasalahan. Melalui kegiatan pemantauan dan evaluasi, maka proses belajar secara mandiri dalam pengelolaan DPL (pengelolaan adaptif) dapat berjalan sesuai dengan perubahan situasi yang berkembang di lokasi. Agar supaya kegiatan pemantauan dan evaluasi dapat dilaksanakan oleh masyarakat, maka diperlukan suatu pola pemantauan dan evaluasi yang sederhana tetapi dapat dipertanggung jawabkan. Mengingat untuk mendapatkan informasi dari kegiatan pemantauan dan evaluasi memerlukan biaya yang cukup mahal, maka perlu diupayakan metode pemantauan dan evaluasi yang mudah dan tidak memberatkan masyarakat. Misalnya, metode pemantauan kondisi terumbu karang dapat menggunakan metode Manta Tow dengan snorkle. Sedang pemantauan dan evaluasi tentang pola pemanfaatan sumberdaya, misalnya tentang frekwensi penggunaan alat-alat yang merusak, dsb.

72

Panduan Pengembangan Marine Management Area

Kelompok Pengelola dan LPS-TK diharapkan menjadi motor untuk kegiatan monitoring dan evaluasi, setelah mendapat pelatihan dari para Fasilitator Lapangan dari COREMAP. Untuk pemantauan kondisi terumbu karang, maka peran dari universitas diperlukan dalam penyiapan para kader untuk pemantauan kondisi tutupan terumbu karang. 4.12 Penyebarluasan konsep DPL ke lokasi lain (scaling-up) Masyarakat desa diharapkan semakin termotivasi setelah mengikuti penyuluhan, mengingat sejarah yang mereka alami dan mendengar atau menyaksikan keberhasilan upaya konservasi melalui pendirian daerah perlindungan laut. Selain itu, kebanggaan masyarakat desa sebagai desa yang berhasil terkandung mewujudkan keinginannya, sesuai dengan pesan yang Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, turut dalam

meningkatkan motivasi tersebut. Untuk lebih menjamin kesinambungan tanggungjawab masyarakat dalam mengelola daerah perlindungan laut, maka prinsip nomor satu yang menekankan pada perlunya masyarakat diberi kesempatan (waktu). Oleh karena itu implementasi adopsi daerah perlindungan laut di tempat lain harus melihat perkembangan kesiapan masyarakat. Implementasi dalam bentuk penetapan daerah perlindungan laut tanpa proses yang mengakomodasi aspirasi masyarakat harus dihindarkan. Jika hal ini terjadi, maka yang akan ada hanyalah papan-papan tanda adanya daerah perlindungan laut tanpa tindakan pengelolaan sebagaimana mestinya. Dari sudut pelaksanaan proyek, ciri community-based memberikan implikasi bahwa waktu penyelesaian tahapan proyek ataupun pencapaian milestone perkembangan proyek kemungkinan mengalami keterlambatan (delayed). Hal ini disebabkan karena kemajuan proyek harus didasarkan pada kesiapan masyarakat untuk maju ke tahap proyek selanjutnya. Oleh karena itu, sebuah proyek yang berciri community-based sebaiknya melakukan pemantauan terhadap kesiapan masyarakat tersebut.
COREMAP II ADB

73

Beberapa prinsip yang diterapkan proyek untuk memfasilitasi pendirian DPL: Perlu ada waktu yang cukup bagi masyarakat untuk memahami persoalan dan isu; Penyuluhan tentang DPL dan masyarakat mengkonsultasikan idenya ke berbagai pihak; Menempatkan masyarakat; Mengadakan asisten penyuluh lapang dari lingkungan desa setempat; Memfasilitasi pembentukan dan pembinaan kelompok pengelola; Menyediakan informasi/data sekunder hasil survei-survei; Mengakomodasi peran penting pemerintahan desa dan instansi lainnya penyuluh lapang secara tetap di tengah

74

Panduan Pengembangan Marine Management Area

PUSTAKA COREMAP II ADB. 2006. Manual Tata Kelembagaan COREMAP II ADB (Governance Manual). Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan. COREMAP II WB. 2005. Panduan Pengelolaan Terumbu Karang Berbasis Masyarakat. Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulaupulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan. H.A.Susanto, Wiryawan, B., Pedersen,O. 2004. Sustainability of an Integrated Coastal Management Model:Case Study in South Lampung, Indonesia. Proceeding of Coastal Zone Asia Pacific Conference. Brisbane, Australia. Locally-Managed Marine Management Area. 2004. www.Lmmanetwork.org M. V Erdmann, Merrill P.R, Mongdong, M, Wowiling,M, Pangalil,R. and Arsyad,I.2003. The Bunaken National Marine Park CoManagement Initiative. www.bunaken.info Wiryawan, B., I.Yulianto, B.Haryanto. 2002. Rencana Pembangunan dan Pengelolaan Pulau Sebesi, Lampung Selatan. CRMP/USAID. 49pp PISCO. 2002. Science of Marine Protected Area. www.pisco.org Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan. Rancangan Peraturan Pemerintah Tentang Konservasi Sumberdaya Ikan (draft Agustus 2006). Salm, R., J.R.Clark, E.Siirila. 2000. Marine Protected and Coastal Protected Areas. Aguide for Planners and Managers. IUCN. 370 pp. Tulungen, JJ. T.Bayer, B.C.Crawford, M.Dimpudus, M.Kasmidi, C.Rotinsulu, A.Sukmara, N.Tangkilisan. 2003. Panduan Pembentukan&Pengelolaan Daerah Pelindungan Laut Berbasis Masyarakat. CRMP/USAID. Jakarta. 77pp. No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan

UNDANG-UNDANG Daerah UNDANG-UNDANG

31 Tahun 2004 Tentang Perikanan

COREMAP II ADB

75

76

Panduan Pengembangan Marine Management Area

LAMPIRAN 1. Contoh Surat Keputusan Kepala Desa Tentang Aturan Pengelolaan DPL. SURAT KEPUTUSAN KEPALA DESA TEJANG PULAU SEBESI NOMOR : 140/02/KD-TPS/16.01/I/2002 TENTANG ATURAN DAERAH PERLINDUNGAN LAUT Menimbang: a. Adanya Daerah Perlindungan Laut di Desa Tejang yang bertujuan untuk melindungi kawasan terumbu karang. b. Hasil musyawarah pada hari Jumat, 25 Januari 2002 di Balai Desa Tejang yang dihadiri oleh aparat Desa Tejang, Badan Perwakilan Desa, dan beberapa tokoh masyarakat untuk menentukan aturan Daerah Perlindungan Laut Mengingat: 1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya 2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia 3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup 4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah 5) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan 6) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan. 7) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian dan/atau Perusakan Laut. 8) Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom 9) Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Selatan Nomor 32 tahun 2000 Tentang Peraturan Desa

Dengan Persetujuan Badan Perwakilan Desa Memutuskan Menetapkan: Aturan Daerah Perlindungan Laut

BAB I

COREMAP II ADB

77

KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan: 1. Masyarakat Desa adalah seluruh penduduk Desa Tejang Pulau Sebesi dan Pulau Sebuku. 2. Nelayan adalah penduduk yang pekerjannya sebagai pencari ikan di laut yang berasal dari desa dan atau luar Desa Tejang. 3. Badan Pengelola Daerah Perlindungan Laut adalah organisasi masyarakat yang dibentuk melalui keputusan bersama masyarakat, dengan surat keputusan Kepala Desa 4. Daerah Perlindungan Laut adalah bagian pesisir dan laut tertentu yang ternasuk dalam daerah administratif Pemerintahan Desa Tejang. BAB II CAKUPAN DAERAH PERLINDUNGAN LAUT Pasal 2 1. Daerah Perlindungan Laut terdiri dari 4 lokasi yang ada di pesisir Pulau Sebesi yang bernama Kebon Lebar dan Sianas, Pulau Sawo, Pulau Umang dan Kayu Duri. 2. Batas lokasi Daerah Perlindungan Laut Kebon Lebar dan Sianas adalah: a. Titik batas I merupakan titik batas antara Regahan Lada dan Kebon Lebar. b. Titik batas II merupakan titik yang berjarak 200 meter kearah laut dari titik batas I c. Titik batas III merupakan daerah Sianas yang bernama Sianas. d. Titik batas IV merupakan titik yang berjarak 200 meter kearah laut dari titik batas III e. Garis yang menghubungkan titik batas II dan IV merupakan garis lengkung yang mengikuti garis pantai. 1. Batas lokasi Daerah Perlindungan Laut Pulau Sawo adalah seluruh kawasan terumbu karang yang ada di Pulau Sawo 2. Batas lokasi Daerah Perlindungan Laut Pulau Umang adalah seluruh kawasan terumbu karang di sekitar Pulau Umang. 3. Batas lokasi Daerah Perlindungan Laut Kayu Duri adalah: a. Titik batas I merupakan titik yang bernama Pekonnampai b. Titik batas II merupakan titik yang berjarak 100 meter kearah laut dari titik batas I c. Titik batas III merupakan daerah yang bernama Kayu Duri. d. Titik batas IV merupakan titik yang berjarak 100 meter kearah laut dari titik batas III e. Garis yang menghubungkan titik batas II dan IV merupakan garis lengkung yang mengikuti garis pantai. Pasal 3 Zona penyangga merupakan daerah disekitar Daerah Perlindungan Laut dengan radius sejauh 50 meter. BAB III

78

Panduan Pengembangan Marine Management Area

TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB BADAN PENGELOLA Pasal 4 1. Badan Pengelola yang dibentuk bertugas membuat perencanaan pengelolaan Daerah Perlindungan Laut yang disetujui oleh masyarakat. 2. Badan Pengelola bertanggung jawab dalam perencanaan lingkungan hidup untuk pengelolaan Daerah Perlindungan Laut yang berkelanjutan. 3. Badan Pengelola yang dibentuk bertugas untuk mengatur, menjaga pelestarian dan pemanfaatan Daerah yang dilindungi untuk kepentingan masyarakat. 4. Badan Pengelola berhak melakukan penangkapan terhadap pelaku yang terbukti melanggar ketentuan dalam keputusan ini. 5. Badan Pengelola berhak melaksanakan pengamanan atas barang dan atau alat-alat yang dipergunakan sesuai ketentuam yang berlaku dalam keputusan ini. BAB IV KEWAJIBAN DAN HAL-HAL YANG DIPERBOLEHKAN Pasal 5 1. Setiap penduduk desa wajib menjaga, mengawasi dan memelihara kelestarian daerah pesisir dan laut yang dilindungi. 2. Setiap penduduk desa dan atau kelompok mempunyai hak dan bertanggung jawab untuk berpartisipasi dalam perencanaan pengelolaan lingkungan hidup di daerah yang dilindungi. 3. Setiap orang atau kelompok yang akan melakukan kegiatan dan atau aktivitas dalam Daerah Perlindungan (Zona Inti), harus terlebih dahulu melapor dan memperoleh ijin dari Badan pengelola. 4. Kegiatan yang dapat dilakukan dalam Daerah yang dilindungi (Zona Inti), adalah kegiatan orang-perorang dan atau kelompok, yaitu penelitian, dan wisata, terlebih dahulu melapor dan memperoleh ijin dari Badan pengelola, dengan membayar biaya pengawasan dan perawatan, yang akan ditentukan kemudian oleh Badan pengelola. 5. Kegiatan yang dapat dilakukan di dalam Zona Penyanggah, adalah pemanfaatan terbatas oleh nelayan. BAB V TATA CARA PEMUNGUTAN DAN PENERIMAAN DANA

Pasal 6 1. Dana yang diperoleh dari kegiatan dalam daerah perlindungan, diperuntukkan sebagai dana pendapatan untuk pembiayaan petugas atau kelompok pengawasan/patroli laut, pemeliharaan rumah/menara pengawas, pembelian peralatan penunjang seperti pelampung, bendera laut dan biaya lain-lain yang diperlukan dalam upaya perlindungan daerah pesisir dan laut, dan tata cara pemungutannya oleh petugas yang ditunjuk melalui keputusan bersama Badan pengelola Daerah

COREMAP II ADB

79

Perlindungan Laut. 2. Dana-dana lain yang diperoleh melalui bantuan dan partisipasi pemerintah dan atau organisasi lain yang tidak mengikat yang dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan pengelolaan Daerah Perlindungan Pesisir dan Laut. BAB VI HAL-HAL YANG TIDAK DAPAT DILAKUKAN ATAU DILARANG Pasal 7 Semua bentuk kegiatan yang dapat mengakibatkan perusakan lingkungan dilarang dilakukan di daerah pesisir dan laut yang sudah disepakati dan ditetapkan bersama untuk dilindungi (Zona Inti dan Zona Penyanggah). Pasal 8 Hal-hal yang tidak dapat dilakukan/dilarang dalam zona inti sebagai berikut : 1. Melintasi/melewati/menyebrangi Daerah Perlindungan Laut kecuali darurat 2. Memancing/menangkap ikan dengan segala jenis alat tangkap 3. Mengambil biota hewan dan tumbuhan yang hidup ataupun mati 4. Menarik ikan dengan sengaja menggunakan lampu di sekitar Daerah Perlindungan Laut pada malam hari 5. Membuang jangkar di sekitar Daerah Perlindungan Laut 6. Memelihara rumput laut dan ikan karang disekitar Daerah Perlindungan Laut 7. Menempatkan bagan di sekitar Daerah Perlindungan Laut 8. Membuang sampah disekitar Daerah Perlindungan Laut 9. Melakukan penambangan di Daerah Perlindungan Laut Pasal 9 Hal-hal yang tidak dapat dilakukan/dilarang dalam zona penyangga sebagai berikut : 1. Menangkap ikan dengan segala jenis alat tangkap kecuali pancing dan panah 2. Mengambil biota hewan dan tumbuhan yang hidup ataupun mati kecuali ikan 3. Menarik ikan dengan sengaja menggunakan lampu pada malam hari 4. Memelihara rumput laut dan ikan karang 5. Membuang sampah 6. Melakukan penambangan BAB VII SANKSI Pasal 10 1. Barang siapa melakukan perbuatan melanggar ketentuan pasal 7, 8 dan 9 dikenakan sanksi tingkat pertama berupa permintaan maaf oleh pelanggar, mengembalikan semua hasil yang diperoleh dari Daerah Perlindungan Laut dan atau diamankan, dan menandatangani surat

80

Panduan Pengembangan Marine Management Area

pernyataan tidak akan mengulangi lagi pelanggaran yang dilakukan di hadapan aparat desa, badan pengelola dan masyarakat. 2. Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan kedua kalinya seperti yang ditentukan dalam pasal 7, 8 dan 9 dikenakan sanksi tingkat kedua yaitu sanksi berupa denda berupa sejumlah uang yang akan ditentukan kemudian dalam aturan badan pengelola dan mengamankan semua peralatan yang dipakai dalam pelanggaran aturan Daerah Perlindungan Laut 3. Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan ketiga kalinya seperti yang ditentukan dalam pasal 7, 8 dan 9 dikenakan sanksi tingkat ketiga yaitu sanksi berupa denda berupa sejumlah uang yang akan ditentukan kemudian dalam aturan badan pengelola, mengamankan semua peralatan yang dipakai dalam pelanggaran aturan Daerah Perlindungan Laut dan diwajibkan melakukan pekerjaan sosial untuk kepentingan masyarakat (kerja bakti, membetulkan mck dll) atau sanksi lain yang ditentukan kemudian oleh aparat dan masyarakat desa 4. Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan seperti yang ditentukan dalam pasal 7, 8 dan 9 lebih dari tiga kali dikenakan sanksi sanksi berupa sanksi seperti pasal 10 ayat (3) diatas, dan kemudian diserahkan kepada pihak kepolisian sebagai penyidik, untuk diproses sesuai dengan ketentuan peraturan dan perUndang-Undang an yang berlaku. BAB VIII PENGAWASAN Pasal 11 1. Daerah yang dilindungi adalah merupakan daerah pesisir dan laut yang telah dipilih dan disetujui bersama oleh seluruh masyarakat Desa Tejang. 2. Daerah yang dilindungi dijaga kelestariannya untuk kepentingan masyarakat Desa Tejang. 3. Setiap anggota masyarakat berkewajiban melaporkan kepada Badan pengelola atau Pemerintah Desa, apabila mengetahui tindakan-tindakan perusakan lingkungan dan lain-lain yang dilakukan oleh orang-perorang dan atau kelompok, sehubungan dengan pelestarian Daerah Perlindungan. BAB IX PENUTUP Pasal 12 1. Hal hal yang perlu diatur dalam keputusan Desa ini sepanjang mengenai pelaksanaan Perlindungan Daerah Pesisir dan Laut, akan diatur lebih lanjut dengan keputusan Musyawarah Desa. 2. Keputusan Masyarakat Desa ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Demikian keputusan Masyarakat Desa Tejang, tentang Perlindungan Daerah Pesisir dan Laut sudah dibuat dengan benar dan apabila dipandang

COREMAP II ADB

81

perlu dapat disempurnakan kembali sesuai musyawarah dengan suatu keputusan bersama masyarakat dan Pemerintah Desa Tejang, dalam jangka waktu yang tidak ditentukan. Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan apabila di kemudian hari terdapat kekeliruan segala sesuatunya akan di perbaiki sebagai mana mestinya Menyetujui, Ketua BPD Tejang Pulau Sebesi

(Syaifullah HFF.) Ditetapkan di : Pulau Sebesi Pada Tanggal : 28 Januari 2002 Kepala Desa Tejang Pulau Sebesi

82

Panduan Pengembangan Marine Management Area

Lampiran 2. Contoh Peraturan Bupati Berau Tentang Kawasan Konservasi Laut PERATURAN BUPATI BERAU NOMOR: 31 TAHUN 2005 TENTANG KAWASAN KONSERVASI LAUT KABUPATEN BERAU BUPATI BERAU Menimbang: a. bahwa dengan ditetapkannya Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 sebagai pengganti UndangUndang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan mengelola sumberdaya pesisir dan laut dengan tetap memperhatikan kewenangan propinsi sebagai bagian integral Negara Kesatuan Republik Indonesia; bahwa wilayah pesisir dan laut Kabupaten Berau memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi sehingga perlu dilindungi dan dikelola, maka perlu menetapkan Peraturan Bupati tentang Kawasan Konservasi Laut Kabupaten Berau. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1959 (Lembaran Negara tahun 1959 Nomor 72) tentang Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan (Lembaran Negara Tahun 1953 Nomor 9) sebagai Undang-Undang (Memori Penjelasan dalam tambahan Lembaran Negara Nomor 1820); Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2831); Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1973 Nomor 1; Tambahan Lembaran Negara Nomor 2994) jo. Pengumuman

b.

Mengingat:

1.

2.

3.

COREMAP II ADB

83

Pemerintah Republik Indonesia tentang Kontinen Indonesia tanggal 17 Pebruari 1969; 4.

Landas

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 44; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3260); Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Conventions on the Law of the Sea (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 76; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3319); Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 49; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419); Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 115; Tambahan Lembaran Negara 3501); Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; Undang-Undang Kehutanan; Undang-Undang Perikanan; Nomor 41 Tahun 1999 tentang Nomor 31 Tahun 2004 tentang

5.

6.

7.

8. 9. 10 . 11 . 12 . 13 .

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam (mulai berlaku 19 Agustus 1998); Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1978 tentang Pengesahan Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1978 Nomor 51);

84

Panduan Pengembangan Marine Management Area

14 .

Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1989 tentang Pengesahan Convention Concerning the Protection of the World Cultural and Natural Heritage (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 73); Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 1991 tentang Pengesahan Convention on Wetlands of International Importance Especially as Waterflow Habitat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 73); Keputusan Menteri Pertanian Nomor 604/Kpts/Um/8/1982 tentang Penunjukan Areal Hutan Pulau Semama Beserta Perairannya Seluas 220 Ha Yang Terletak di Daerah Tingkat II Berau, Daerah Tingkat I Kalimantan Timur Sebagai Suaka Marga Satwa dan Penunjukan Areal Hutan Pulau Sangalaki Beserta Perairannya Seluas 280 Ha yang Terletak di Daerah Tingkat II Berau, Daerah Tingkat I Kalimantan Timur Sebagai Taman Laut (mulai berlaku tanggal 19 Agustus 1982); Peraturan Daerah Kabupaten Berau No. 24 Tahun 2002 tentang Kewenangan Pemerintah Kabupaten Berau; Peraturan Daerah Kabupaten Berau Nomor 2 Tahun 2003 tentang Rencana Strategis Program Pembangunan Daerah Kabupaten Berau Tahun 20012005; Peraturan Daerah Kabupaten Berau Nomor 3 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Kabupaten Tahun 2001-2011.

15 .

16 .

17 . 18 .

19 . Memperhatika n:

Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Berau tanggal 14 Desember 2005 Nomor:170/358/DPRD.II/XII/2005 MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BUPATI TENTANG KONSERVASI LAUT KABUPATEN BERAU BAB I KAWASAN

COREMAP II ADB

85

KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan: a. Bupati adalah Bupati Pemerintah Kabupaten Berau (definisi menurut UNDANG-UNDANG 32/04) b. Kawasan Konservasi Laut (disingkat KKL) adalah kawasan pesisir, termasuk pulau-pulau kecil dan perairan sekitarnya, yang memiliki sumberdaya hayati dan karakteristik sosial budaya spesifik yang dilindungi secara hukum atau cara lain yang efektif. c. Wilayah Pesisir adalah kawasan peralihan yang menghubungkan ekosistem darat dan laut yang sangat rentan terhadap perubahan aktivitas manusia di darat dan laut. d. Kawasan Pesisir adalah bagian dari wilayah pesisir yang memiliki fungsi tertentu berdasarkan karakteristik fisik, biologi, sosial dan ekonomi untuk dipertahankan keberadaannya. e. Perikanan Berkelanjutan adalah semua proses upaya (seperti penangkapan dan pembudidayaan ikan) pengambilan, penggunaan, pengembangan, dan pengusahaan sumber daya ikan secara terencana dan hati-hati dengan menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan (keberlanjutan) sumber daya tersebut agar tetap tersedia bagi generasi sekarang maupun yang akan datang. f. Pengamanan dan Pengawasan adalah kegiatan yang dilakukan disekitar kawasan konservasi, baik secara tetap maupun sementara, dengan tujuan memelihara keamanan serta mencegah terjadinya pelanggaranpelanggaran peraturan, hukum dan perUndang-Undang an serta bentuk-bentuk tindak pidana lainnya. g. Pengelolaan Kolaboratif Kawasan Konservasi Laut adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian sumberdaya pesisir dan laut secara berkelanjutan yang mengintegrasikan antara kegiatan pemerintah, dunia usaha dan masyarakat, perencanaan antar sektor, ekosistem darat dan laut, ilmu pengetahuan, dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. h. Masyarakat adalah masyarakat pesisir yang bermukim di sekitar kawasan konservasi dan mata pencahariannya tergantung pada pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut, terdiri dari masyarakat adat dan masyarakat lokal yang merupakan komunitas nelayan, pembudidaya ikan dan bukan nelayan. Pasal 2 Menunjuk Kawasan Pesisir dan Laut Kabupaten Berau sebagai Kawasan Konservasi Laut Kabupaten Berau sebagaimana peta terlampir. Pasal 3 Kawasan Konservasi Laut dapat dimanfaatkan untuk keperluan: a. kegiatan perikanan berkelanjutan, b. wisata bahari,
86
Panduan Pengembangan Marine Management Area

c. penelitian dan pengembangan, d. pengembangan sosial ekonomi masyarakat, e. pemanfaatan sumberdaya laut lainnya secara lestari. BAB II RUANG LINGKUP DAN ASAS KONSERVASI LAUT Pasal 4 Kawasan Konservasi Laut mencakup fungsi perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut. Pasal 5 Konservasi Laut dilakukan berdasarkan asas manfaat, keterpaduan, keseimbangan, berkelanjutan, berkeadilan dan berbasis masyarakat. BAB III PRINSIP KONSERVASI LAUT Pasal 6 Konservasi laut dilakukan dengan prinsip: (1) pencegahan tangkap lebih, (2) penggunaan pertimbangan bukti ilmiah, (3) pertimbangan kearifan lokal, (4) pendekatan kehati-hatian, (5) keterpaduan pengembangan wilayah pesisir, (6) pengembangan alat dan cara penangkapan ikan yang ramah lingkungan, (7) pertimbangan kondisi sosial ekonomi masyarakat, (8) pemanfaatan secara berkelanjutan keanekaragaman hayati, (9) perlindungan struktur dan fungsi alami ekosistem perairan yang dinamis, (10) perlindungan jenis dan kualitas genetik ikan, (11) pengelolaan adaptif. BAB IV CAKUPAN BATAS KAWASAN KONSERVASI LAUT Pasal 7 (1) Batas KKL di wilayah laut ditetapkan mengikuti pengukuran laut territorial Indonesia sejauh 4 mil yang diukur dari garis pangkal pulaupulau terluar dalam wilayah Kabupaten Berau, sesuai dengan kewenangan Pemerintah Kabupaten Berau, berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Berau, yang ditetapkan melalui Peraturan Daerah No. 3 tahun 2004. Batas KKL di wilayah pesisir ditetapkan sesuai dengan batas kawasan lindung hutan mangrove berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah

(2)

COREMAP II ADB

87

(3)

Kabupaten Berau, yang ditetapkan melalui Peraturan Daerah No. 3 tahun 2004. Apabila terjadi perubahan batas KKL diluar 4 mil laut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), akan ditetapkan kemudian berdasar kesepakatan dengan Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur. BAB V PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI LAUT Pasal 8

1) 2)

3) 4)

Penunjukan Kawasan Konservasi Laut Kabupaten Berau direalisasikan dalam bentuk penataan batas. Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut dilakukan melalui kegiatan: a. Identifikasi, inventarisasi, dan monitoring potensi sumber hayati dan lingkungan sumber daya hayati, b. upaya pengelolaan meliputi pengawasan dan pengendalian, pengelolaan habitat dan populasi, penelitian dan pendidikan, pemanfaatan sumber daya ikan dan jasa lingkungan, serta pengembangan sosial ekonomi masyarakat, c. keterpaduan antara pemanfataan ruang daratan dan lautan, d. monitoring dan evaluasi. Penyusunan Rencana Zonasi Kawasan Konservasi Laut akan dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Berau dengan melibatkan para pihak terkait. Lembaga Pengelola Kawasan Konservasi Laut akan dibentuk oleh Pemerintah Kabupaten Berau Pasal 9

(1) Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dilakukan oleh Lembaga Pengelola Kawasan Konservasi Laut secara kolaboratif dengan melibatkan peran serta aktif masyarakat (2) Pengelolaan KKL dikonsultasikan dengan pemerintah Propinsi dan Pemerintah Pusat Pasal 10 Pengamanan dan pengawasan KKL Kabupaten dinas/instansi terkait dan masyarakat setempat. BAB VI PEMBIAYAAN Pasal 11 Segala biaya yang timbul akibat ditetapkannya peraturan ini dibebankan kepada APBN, APBD Propinsi dan APBD Kabupaten Berau serta sumberBerau dilakukan

88

Panduan Pengembangan Marine Management Area

sumber pendanaan lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 12 Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Berita Daerah Kabupaten Berau. Ditetapkan di Tanjung pada tanggal, 27 Desember 2005 BUPATI BERAU

Redeb

Diundangkan di Tanjung Redeb HAPK pada tanggal, 27 Desember 2005.. SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN BERAU

DRS.MAKMUR

H. IBNU SINA ASYARI LEMBARAN BERITA DAERAH KABUPATEN BERAU TAHUN 2005

COREMAP II ADB

89

LAMPIRAN: PERATURAN BUPATI BERAU NOMOR: 31TAHUN 2005 TENTANG: KAWASAN KONSERVASI LAUT KABUPATEN BERAU

Keterangan : Koordinat Batas KKL ke rah darat dan laut terlampir dalam Peraturan Bupati No.31 Tentang Kawasan Konservasi Laut Kabupaten Berau

90

Panduan Pengembangan Marine Management Area

COREMAP II ADB

91

You might also like