You are on page 1of 4

2.

Teori Umum Perilaku Memilih

Studi tentang perilaku memilih merupakan studi mengenai alasan dan faktor yang menyebabkan seseorang memilih suatu partai atau kandidat yang ikut dalam kontestasi politik. Perilaku memilih baik sebagai konstituen maupun masyarakat umum di sini dipahami sebagai bagian dari konsep partisipasi politik rakyat dalam sistem perpolitikan yang cenderung demokratis. Prof. Miriam Budiarjo mendefinisikan partisipasi politik sebagai kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pemimpin negara dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, mengadakan hubungan (contacting) atau (lobbying) dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen, menjadi anggota partai atau salah satu gerakan sosial dengan direct actionnya, dan sebagainya.1 Berdasarkan pada penelitian para ahli tentang perilaku memilih, sebenarnya perilaku memilih bisa dikategorikan ke dalam dua besaran, yaitu: 1. Perilaku Memilih Rasional Perilaku memilih ini, notabane disebabkan oleh faktor-faktor yang berasal dari internal pemilih. Sehingga pemilih, disini berkedudukan sebagai makhluk yang independen, memiliki hak bebas untuk menentukan memilih partai atau kandidat manapun. Dan sebagian besar, pendasaran mereka berasal dari internal pemilih sendiri, hasil berpikir dan penilaian terhadap objek politik tertentu. 2. Perilaku Memilih Emosional Sementara untuk perilaku memilih ini, lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor yang berasal dari lingkungan. Seperti faktor sosiologis, struktur sosial, ekologi maupun sosiopsikologi.
2.1.1 Perilaku Memilih Rasional

Dalam sebuah perilaku memilih, pemilih tidak hanya dipengaruhi oleh faktor psikologis dan sosiologis. Melainkan terdapat faktor-faktor situasional yang ikut berperan dalam mempengaruhi pilihan politik seseorang. Dengan begitu, para pemilih tidak hanya pasif tetapi juga aktif, bukan hanya terbelenggu oleh karakteristik sosiologis tetapi juga bebas bertindak. Faktor-faktor situasional itu bisa merupakan isu-isu politik ataupun kandidat yang dicalonkan. Dengan demikian, penjelasan-penjelasan perilaku memilih tidaklah harus permanen seperti karakteristik-karakteristik sosiologis dan identifikasi partai tetapi berubah-ubah sesuai dengan waktu dan peristwa-peristiwa dramatik yang menyangkut persoalan-persoalan mendasar. Dengan begitu, isu-isu politik menjadi pertimbangan yang penting. Para pemilih akan menentukan pilihan berdasarkan penilaiannya terhadap isu-isu politik dan kandidat yang diajukan. Artinya, para pemilih dapat menentukan pilihannya berdasarkan pertimbanganpertimbangan rasional. Nlemi dan Wiesberg meringkaskan model ini sebagai berikut:2 The other model of voting that become popular is a rational voter model. According to visi model, voter decide wheather or not to vote and for which candidate to vote on some rational basis ussually on the basis of which action gives them greater expected benefits. They vote only if they perceive greater gains from voting than the cost (mainly in time). In the usual formulation, they vote for the candidat closest to them on the issues. Penggunaan pendekatan rasional dalam menjelaskan perilaku memilih oleh ilmuwan politik sebenarnya diadaptasi dari ilmu ekonomi. Mereka melihat adanya analogi antara pasar (ekonomi) dan perilaku memilih (politik). Apabila secara ekonomi masyarakat dapat bertindak secara rasional, yaitu menekankan ongkos sekecil-kecilnya untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya, maka dalam perilaku politikpun masyarakat akan dapat bertindak secara rasional, yakni memberikan suara ke Partai yang dianggap mendatangkan
1 2

Budiarjo,Miriam.2008.Dasar-Dasar Ilmu Politik.Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama, hal.367 Asfar, Muhammad. 2008. PEMILU DAN PERILAKU MEMILIH 1995-2004. Surabaya:EUREKA, hal.

keuntungan dan kemaslahatan yang sebesar-besarnya dan menekankan kerugian atau kemudharatan yang sekecil-kecilnya.3 Oleh karena itu, perilaku memilih berdasarkan pertimbangan rasional tidak hanya berupa memilih alternatif-alternatif yang paling menguntungkan (maximum gained) atau mendatangkan kerugian yang paling sedikit. Tetapi juga dalam memilih alternatif yang menimbulkan risiko paling sedikit (least risk). Dengan begitu, diasumsikan para pemilih mempunyai kemampuan untuk menilai isu-isu politik yang diajukan, dan mampu menilai calon (kandidat) yang ditampilkan. Penilaian rasional terhadap isu politik atau kandidat ini bisa didasarkan pada jabatan, informasi, dan tingkat intelegensi yang dimiliki seseorang. Him Melweit dan koleganya menyebutkan sebagai Consumer Model of party choice, bahwa perilaku memilih merupakan pengambilan keputusan yang bersifat instant, tergantung pada situasi sosial-politik tertentu, tidak berbeda dengan pengambilan keputusan-keputusan lain, mereka mencatat bahwa:4 same express hope that voters, loosened from traditional partisan attachment, will be abel to exercise more rational choice based on the thoughful consideration of the issues Meskipun begitu, penilaian terhadap isu dan kandidat bukanlah sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba, namun sering dipengaruhi oleh informasi yang diterima pemilih melalui media massa yang diikutinya. Berita dan komentar-komentar yang dimuat di media massa, khususnya berita atau komentar-komentar negatif, seringkali mempengaruhi penilaian terhadap kandidat, posisi kandidat dalam suatu isu, dan preferensi kandidat dalam suatu kebijakan tertentu, termasuk evaluasi terhadap perkembangan ekonomi nasional. Teori tentang perilaku memilih yang rasional, diungkapkan juga oleh salah satu pakar marketing politik Indonesia yaitu Firmanzah, Ph.D.5 Menurut pendapatnya dalam khasanah teori voting behavior, pemilih rasional (rational voter) memiliki orientasi tinggi pada policyproblem-solving dan berorientasi rendah untuk faktor ideologi. Pemilih dalam hal ini lebih mengutamakan kemampuan partai politik atau calon kontestan dalam program kerjanya. Hal tersebut bisa dilihat dari dua indikator yaitu prestasi atau sejarah masa lalu partai/kandidat tersebut dan indikator selainnya adalah kapasitas program yang ditawarkan dalam menyelesaikan permasalahan aktual di masyarakat. Kedua indikator tersebut sama-sama berpengaruh, jika partai atau kandidat tidak memenuhi salah satunya, maka pemilih seperti ini jelas tidak akan menjatuhkan piilihannya pada partai atau kandidat tersebut. Pemilih jenis ini memiliki ciri khas, yaitu tidak mempertimbangkan sama sekali ideologi yang menjadi background suatu partai atau kandidat tertentu. Meskipun diantara kandidat atau partai tersebut tidak memiliki ideologi yang sama, sejauh partai dan kandidat tersebut memenuhi kedua indikator, maka mereka akan tetap memilihnya. Faktor seperti paham, asalusul, nilai tradisional, budaya, agama dan psikografis memang dipertimbangkan juga, tetapi bukan hal yang signifikan. Para pemilih yang tergolong pada kelompok ini memiliki ciri hendak melepaskan hal-hal yang bersifat dogmatis, tradisional, dan ikatan lokasi dalam kehidupan politiknya. Setiap pertimbangan yang dimiliki oleh mereka senantiasa didasarkan analisis kognitif dan logis. Hal terpenting bagi pemilih jenis adalah apa yang akan dan telah dilakukan oleh kandidat atau partai dalam menyelesaikan permasalahan di masyarakat, daripada paham dan nilai dari sebuah partai atau kandidat. Pemilih tipe ini tidak akan segan-segan memindahkan pilihan mereka pada partai atau kandidat lain yang menurut mereka lebih solutif dalam mengatasi berbagai permasalahan dan memenuhi kebutuhan hidup mereka.
2.1.2 Perilaku Memilih Emosional

Menurut Kavanagh, untuk memahami perilaku politik, dapat digunakan lima buah pendekatan, yaitu melalui structural approach, sociological approach, ecological approach,
3 4

ibid Ibid, hal.145 5 Firmanzah, Ph.D.2008.Marketing Politik : Antara Pemahaman dan Realitas. Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, hal.120-121

sociopsycological approach, dan rational choice approach. Strukctural approach menjelaskan bahwa pendekatan struktural ini, adalah struktur sosial yang dipandang sebagai basis dari pengelompokan politik masyarakat. Kavanagh menjelaskan bahwa ada empat struktur sosial yang berpengaruh: Four social structure source of political division: First, social class or difference between employers and workers. Second, religion. Third, urban-rural contrast. Four, language ande nationalist.6 Sedangkan sociological approach, merupakan penjelasan dari perilaku politik dimana menghubungkan individu dengan struktur sosialnya. Tingkah laku politik individu dapat dipengaruhi oleh identifikasi mereka terhadap suatu kelompok serta norma-norma yang dianut oleh kelompok-kelompok tersebut. Ecological approach menjelaskan bahwa area atau wilayah menjadi faktor penting dalam pendekatan ini, karena faktor-faktor seperti daerah kompleks perumahan, pedesaan, dan faktor-faktor ekologis lainnya akan menentukan tingkah laku politik seseorang.7 Sociopsycological approach menerangkan bahwa pendekatan ini mendasarkan diri pada apa yang ada dalam keyakinan seseorang ketika dia bertingkah laku, dan ketika membuat keputusan politik. Keyakinan yang terbentuk pada dasarnya merupakan interaksi faktorfaktor internal seperti sistem kepercayaan dan faktor eksternal seperti pengalaman politik.8 Rational choice approach menjelaskan bahwa perkembangan masyarakat merupakan indikator dalam menjelaskan tingkah laku politik. Semakin teknologi informasi berkembang pesat, maka dimungkinkan masyarakat akan semakin mudah menikmati berbagai layanan informasi yang ada. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat kemudian mendasarkan diri pada perhitungan untung-rugi terhadap segala aktifitasnya. Meskipun demikian, dalam menentukan suatu tindakan politik, maka pertimbangan rasional berarti pertimbangan terhadap untung-rugi dari apa yang mereka lakukan berupa tindakan politik tersebut.9 Faktor Ideologis, Perilaku memilih yang senantiasa loyal terhadap sebuah partai bisa diindikasikan adanya kesamaan nilai antara pemilih partai itu sendiri. Keberadaan indikasi tersebut, menjadi alasan penulis untuk memaparkan terlebih dulu teori tentang perilaku pemilih yang ideologis atau pemilih ideologis. Namun, dalam keseluruhan bagian kerangka teori ini tidak hanya pemaparan teori ini, melainkan disesuaikan dengan indikasi perilaku memilih yang telah dipaparkan penulis pada bagian latar belakang.10 Ideologi didefinisikan sebagai an organization of opinions, attitudes and values-a way of thinking about man and society (Adarno et al, 1952). Pengertian yang lebih komprehensif diberikan oleh Loewenstein (1953) sebagai a consistent integrated pattern of thought and beliefs explaining mans attitude toward life and his existency in society, and advocating a conduct and action pattern responsive to and commensurate with such thought and beliefs Gidengil et al (1999) berargumen bahwa dalam banyak hal, struktur ideologi pemilih sangat menentukan partai apa dan kontestan seperti apa yang menurut mereka menyuarakan suara mereka. Dalam studinya, Nevitte et al (2000), menyimpulkan bahwa salah satu faktor yang menjamin keberlangsungan sistem multi partai adalah terdapatnya beragam warna-warni sistem nilai serta keyakinan pada kelompok para pemilih. Fenomena kedekatan ideologi antara pemilih dengan partai politik atau seorang kontestan juga bisa dijelaskan dengan menggunakan model spatial Downs (1957). Dalam model ini, para pemilih diasumsikan sebagai risk avers dan mereka memiliki sistem nilai serta keyakinan yang sudah tertanam. Mereka memiliki kecenderungan untuk memilih partai atau kontestan yang memiliki

6 7

Denis Kavanagh, Political Science and Political Behavior (London: George Allen and Unwin, 1983) ibid 8 ibid 9 ibid 10 Ibid, hal.105-109

kesamaan ideologi dengan mereka, daripada partai politik atau kontestan yang memiliki ideologi yang berbeda. Perlu dicatat disini, bahwa di Indonesia terdapat banyak partai politik yang sesungguhnya memiliki ideologi yang sama, misalnya kelompok nasionalis yang diwakili oleh partai-partai besar seperti PDIP, Partai Demokrat dan Partai Golkar. Sedangkan partai yang bernafaskan Islam terutama diwakili oleh partai Keadilan Sejahtera dan PPP. Partai-partai besar lain seperti PKB dan PAN sesungguhnya terletak diantara kedua ideologi itu. Kedua partai terakhir ini mengklaim sebagai partai nasionalis, tapi basis mereka adalah dua ormas terbesar Islam di Indonesia, yakni PKB berbasis NU dan PAN berbasis Muhammadiyah. Sementara karakteristik dari perilaku pemilih yang ideologis, diantaranya: 11 1. Pemilih memiliki orientasi ideologi yang sangat tinggi dan tidak terlalu melihat kebijakan partai politik atau seorang kandidat sebagai sesuatu yang penting dalam pengambilan keputusan 2. Pemilih tradisional sangat mengutamakan kedekatan sosial budaya, nilai, asal-usul, paham, dan agama sebagai ukuran untuk memilih sebuah partai politik. Kebijakan semisal ekonomi, kesejahteraan, pemerataan pendapatan dan pendidikan, dan pengurangan angka inflasi dianggap sebagai parameter kedua 3. Pemilih jenis ini juga biasanya lebih mengutamakan figur dan kepribadian pemimpin, mitos dan nilai historis sebuah partai politik atau seorang kandidat 4. Pada umumnya, pemilih jenis ini memiliki tingkat pendidikan yang rendah, kepercayaan yang sangat konservatif dalam memegang sebuah nilai atau paham tertentu 5. Pemilih jenis ini termasuk pemilih yang bisa dimobilisasi dalam momen pemilu, dikarenakan kepercayaannya yang terlalu konservatif, sehingga suatu kebenaran pahamnya tidak bisa diganggu gugat lagi, perkataan pemimpin atau leader politik menjadi sebuah kebenaran mutlak dan dijadikan penuntun utama dalam bersikap serta berperilaku.
2.1.3 Perilaku Memilih Pragmatis

Budaya politik pemilih protes, pada umumnya orang menyebut budaya politik pemilih protes ini dengan sebutan pemilih pragmatis. Pada tipe budaya politik pemilih protes, pemilih terlibat dalam aktivitas pemilu atau voting dengan cara harus diberi kompensasi tertentu, misalnya imbalan materi yang itu dapat berupa barang atau uang. Apabila tidak ada kompensasi, pemilih enggan untuk terlibat dalam aktivitas kampanye, menggunakan hak pilihnya (golput) atau mereka tidak akan memilih partai yang tidak memberi kompensasi. Budaya politik pemilih protes seperti itu berdampak pada mahalnya ongkos pemilu. Pemilih yang terlibat dalam aktivitas tim sukses, ikut dalam kampanye, hingga voting, harus samasama diberi kompensasi. Bagi pemilih pada tipe ini dikenal istilah no free lunch, yang bermakna semua harus serba ada kompensasinya. Bagi partai politik atau kandidat tidak dapat berharap terlalu banyak untuk mendapatkan dukungan suara apabila mereka tidak mampu memberi kompensasi kepada pemilih. Fenomena seperti ini, marak dijumpai pada pemilu tahun 2004 dan 2009. Dalam kedua pemilu tersebut, pemilih telah benar-benar memasang tarif tertentu atas suara yang akan mereka berikan. Dan fenomena pemilih yang seperti ini didorong oleh tidak adanya ideologi atau cita-cita moral di kalangan politisi dan pemilih. Partai menjadi institusi yang murni mengejar kekuasaan. Sementara pemilih berada dalam kondisi kekecewaan dengan perilaku partai dan politikus yang telah mengabaikan mandat yang pemilih berikan. Pemilih sudah memiliki persepsi buruk tentang pemilu, dan hal itu pun dibentuk oleh perilaku partai-partai dan politis. Rakyat berpersepsi bahwa mereka (para politisi dan partai) akan segera mengabaikan pemilih setelah berkuasa nanti, sehingga pemilih berpikir untuk mendapatkan kompensasi di awal, daripada tidak dapat sama sekali.
11

Ibid, hal. 123-12

You might also like