You are on page 1of 5

PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG MASALAH TAUHID

Oleh
Dr. Muhammad Abdurrahman Al-Khumais

Pertama :
Aqidah beliau tentang tauhid (pengesaan Allah) dan tentang tawassul syar’i serta
kebatilan tawassul bid’i.

[1]. Imam Abu Hanifah berkata : “Tidak pantas bagi seseorang untuk berdoa kepada
Allah kecuali dengan asma’ Allah. Adapun do’a yang diizinkan dan diperintahkan adalah
keterangan yang terambil. Dari firman Allah :

“ Artinya : Bagi Allah ada nama-nama yang bagus (al-asma’-ul-husna), maka


bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma-ul-husna itu dan tinggalkanlah orang-
orang yang ilhad (tidak percaya) kepada asma Allah. Nanti mereka akan mendapatkan
balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. “ [Al-A’raf:180] [1]

[2].Imam Abu Hanifah berkata, “Makruh hukumnya seseorang berdo’a dengan


mengatakan; saya mohon kepadamu berdasarkan hak si fulan, atau berdasarkan hak para
Nabu-Mu, atau berdasarkan hak al-bait al-haram dan al-Masyar al-Haram. [2]

[3]. Imam Abu Hanifah berkata: “Tidak pantas seseorang berdo’a kepada Allah kecuali
dengan menyebut asma’ Alla. Dan saya tidak suka bila ada orang berdo’a seraya
menyebutkan ‘dengan sifat-sifat kemuliaan pada ‘arsy-Mu’, [3]atau dengan menyebutkan
‘dengan hak makhluq-Mu’. [4]

Kedua
Pendapat Imam Abu Hanifah tentang penetapan sifat-sifat Allah dan bantahan terhadap
golongan Jahmiyah.

[1]. Imam Abu Hanifah berkata: “Allah tidak disifati dengan sifat-sifat makhluk. Murka
dan ridha Allah adalah dua dari sifat-sifat Allah yang tidak dapat diketahui keadaannya.
Ini adalah pendapat Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Allah murka dan ridha. Namun tidak
dapat dikatakan, bahwa murka Allah itu adalah siksa-Nya dan ridha-Nya itu pahala-Nya.

Kita menyifati Allah sebagaimana Allah menyifati diri-Nya sendiri. Allah adalah Esa,
Dzat yang pada-Nya para hamba memohon, tidak melahirkan dan tidak dilahirkan, dan
tidak ada satupun yang menyamai-nya. Allah juga hidup, berkuasa, melihat dan
mengetahui.”Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka yang menyatakan janji setia
kepada Rasul. Tangan Allah tidak seperti tangan makluk-Nya. Wajah Allah tidak seperti
wajah-wajah makhluk-Nya.[5]
[2]. Imam Abu Hanifah berkata: “Allah juga memiliki tangan, wajah dan diri seperti
disebutkan sendiri oleh Allah dalam al-Qur’an. Maka apa yang disebutkan oleh Allah
tentang wajah, tangan dan diri menunjukkan bahwa Allah mempunyai sifat yang tidak
boleh direka-reka bentuknya. Dan juga tidak boleh disebutkan bahwa tangan Allah itu
artinya kekuasaan-Nya atau nikmat-Nya, karena hal itu berarti meniadakan sifat-sifat
Allah, sebagaimana pendapat yang dipegang oleh ahli qadar dan golongan Mu’tazilah. [6]

[3]. Imam Abu Hanifah juga berkata: “Tidaklah pantas bagi seseorang untuk berbicara
tentang Dzat Allah. Tetapi, hendaknya ia menyifati Allah dengan sifat-sifat yang
disebutkan oleh Allah sendiri. Ia tidak boleh berbicara tentang Allah dengan pendapatnya
sendiri. Maha Suci Allah Rabbul ‘Alamin.[7]

[4]. Ketika ditanya tentang turunnya Allah, Imam Abu Hanifah menjawab, “Allah itu
turun tanpa cara-cara seperti halnya turunya makhluk. [8]

[5]. Beliau juga berkata: “Dalam berdo’a kepada Allah, kita memanjatkan do’a ke atas,
bukan ke bawah, karena bawah tidak mengandung sifat Rububiyyah dan Uluhiyah
sedikitpun.[9]

[6]. Beliau juga berkata: “Allah itu murka dan ridha. Namun tidak dapat disebutkan
bahwa murka Allah itu siksa-Nya, dan ridha Allah itu pahala-Nya.” [10

[7]. Beliau juga berkata: “Allah tidak serupa dengan makhluk-Nya, dan makhluk-Nya
juga tidak serupa dengan Allah. Allah itu tetap akan selalu memiliki nama-nama dan
sifat-sifat-Nya. [11]

[8].Beliau juga berkata: “Sifat-sifat Allah itu berbeda dengan sifat-sifat makhluk. Allah
itu, mengetahui tetapi tidak seperti mengetahuinya makhluk. Allah itu mampu (berkuasa)
tetapi tidak seperti mampunya (berkuasanya) makhluk. Allah itu melihat, tetapi tidak
seperti melihatnya makhluk. Allah. Allah itu mendengar tetapi tidak seperti
mendengarnya makhluk. Dan Allah itu berbicara tetapi tidak seperti berbicaranya
makhluk.[12]

[9].Beliau juga berkata: “Allah itu tidak boleh disifati dengan sifat-sifat makhluk.” [13]

[10]. Beliau berkata: “Siapa yang menyifati Allah dengan sifat-sifat manusia, maka ia
telah kafir.” [14]

[11]. Beliau juga berkata: “Allah memiliki sifat-sifat dzatiyah dan fi’liyah. Sifat-sifat
dzatiyah Allah adalah hayah (hidup), qudrah (mampu), ‘ilm (mengetahui), sama’
(mendengar), bashar (melihat), dan iradah (kehendak). Sedangkan sifat-sifat fi’liyah
Allah adalah menciptakan, memberi rizki, membuat, dan lain-lain yang berkaitang
dengan sifat-sifat perbuatan. Allah tetap dan selalu memiliki asma’-asma’, dan sifat-sifat-
Nya.[15]
[12]. Beliau juga berkata: “Allah tetap melakukan (berbuat) sesuatu. Dan melakukan
(berbuat) itu merupakan sifat azali. Yang melakukan (berbuat) adalah Allahyang
dilakukan (obyeknya) adalah makhluk danperbuatan Allah bukanlah makhluk.” [16]

[13]. Beliau juga berkata: “Siapa yang berkata, ‘saya tidak tahu Tuhanku itu di mana, di
langit atau di bumi, maka orang tersebut telah menjadikafir. Demikian pula orang yang
berkata: “Tuhanku itu di atas ‘Arsy. Tetapi saya tidak tahu ’arsy itu di langit atau di
bumi.” [17]

[14]. Ketika ada seorang wanita bertanya kepada beliau: “Di mana Tuhan anda yang
Anda sembah itu?”. Beliau menjawab: “Allah Subhanahu wa Ta'ala ada di langit, tidak di
bumi.” Kemudian ada seseorang bertanya: “Tahukah Anda bahwa Allah berfirman
"wahuwa ma'akum" (Allah itu bersama kamu)?” [18] Beliau menjawab: “Ungkapan itu
seperti kamu menulis surat kepada seseorang, “Saya akan selalu bersamamu”, padahal
kamu jauh darinya.”[19]

[15]. Beliau juga berkata: “Demikian pula tentang tangan Allah di atas tangan-tangan
mereka yang menyatakanjanji setia kepada Rasul, tangan Allah tidak sama dengan tangan
makhluk.” [20]

[16]. Beliau juga berkata: “Allah Subhanahu wa Ta'ala ada di langit, tidak di bumi.”
Kemudian ada orang yang bertanya: “Tahukah Anda bahwa Allah berfiman, “Allah itu
bersamamu. [21] ” Beliau menjawab: “Ungkapan itu seperti kamu menulis suratkepada
seseorang, “saya akan selalu bersamamu”, padahal kamu jauh darinya.” [22]

[17]. “Beliau juga berkata: “Bahwa Allah itu mempunyai sifat kalam (berfirman) sebelum
Allah berfirman kepada Nabi Musa Alaihis salam.” [23]

[18]. Kata beliau: “Allah berfirman dengan kalam-Nya, dan kalam adalah sifat azali.”
[24]

[19]. Beliau berkata lagi: “Allah itu berbicara, tetapi tidak sepertibicaranya kita.”[25]

[20]. Kata beliau: “Nabi Musa Alaihi salam mendengar kalam Allah, sebagaimana
ditegaskan sendiri oleh Allha: “ Dan Allah telah berfirman langsung kepada Nabi Musa"
[26]. Allah telah berfirman dan tetap akan berfirman, Allah tidak hanya berfirman kepada
Nabi Musa saja.” [27]

[21]. Beliau berkata: “al-Qur’an itu kalam Allah, tertulis dalam mushaf dan tersimpan
(terjaga) di dalam hati, terbaca oleh lisan, dan diturunkan kepada Nabi Muhammad.” [28]

[22]. Kata beliau lagi: “al-Qur’an itu bukan makhluk.” [29]

[Disalin dari kitab I'tiqad Al-A'immah Al-Arba'ah edisi Indonesia Aqidah Imam Empat
(Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, Ahmad), Bab Aqidah Imam Abu Hanifah, oleh Dr.
Muhammad Abdurarahman Al-Khumais, Penerbit Kantor Atase Agama Kedutaan Besar
Saudi Arabia Di Jakarta]
_________
Foote Note
[1] Ad-Durr al Mukhtar ma’a Hasyiyat Radd al-Mukhtar, VI/396-397
[2] Syarh al-Aqidah ath-Thawiyah, hal. 234, Ithaf as-Sadah al-Muttaqin, II/285, Syarah
al-Fiqh al Akbar, hal.108
[3] Imam ABu Hanifah dan Imam Muhammad bin Hasan tidka suka apabila seseorang
berdo'a dengan menyebutkan, "Wahai Allah, saya mohon kepada-Mu dengan tempat
kemuliaan dari 'arsy-Mu". Karena do'a seperti ini tidak ada petunjuk tekstual (nash) yang
membolehkan.
Sementara Imam Abu Yusuf membolehkan do'a seperti itu, karena menurut beliau ada
nash dari hadits untuk hal itu, yaitu sebuah hadits di mana Nabi berdo'a, "Wahai Allah,
saya mohon kepada-Mu dengan tempat-tempat kemuliaan di 'arsy-Mu dan puncak rahmat
dari kitab-Mu"
Hadits ini ditulis Imam Al-Baihaqi dalam kitabnya, Ad-Da'wat Al-Kabirah, ditulis dalam
kitab Al-Binayah IX/382, dan kitab Nasb Ar-Rayah IV/272. Di sanadnya terdapat tiga hal
yang dapat menyacatkan hadits.
[a] Daud bin Abu Ashim tidak pernah mendengar hadits dari Ibnu Mas'ud
[b] Abdul Malik bin Juraij adalah seorang mudallis (menyembunyikan kecacatan hadits)
dan mursil (menyebutkan hadits dengan sanad tidak bersambung).
[c] Umar bin Harun dituduh sebagai pendusta. Oleh karena itu, Ibnul Al-Jauzi berkata
sebagaimana terdapat dalam kitab, Al-Binayah IX/382, bahawa hadits ini adalah palsu
tanpa diragukan lagi dan sanadnya sangat parah seperti anda lihat. Lihat Tahdzib At-
Tahdzib III/198, VI/405, VII/501 Tarqib At-Tahdzib I/520.
[4] At-Tawasul Wa Al-Wasilah hal, 82. Lihat juga, Syarh Al-Fiqh Al-Akbar, hal.198
[5] Al-Fiqh Al-Absath, hal.56
[6] Al-Fiqh Al-Akbar, hal.302
[7] Syarah Al-Aqidah Ath-Thahawiyah II/427, Editor Dr. At-Turki, Jala Al-Ainain,
hal.368
[8] Aqidah As-Salaf Ashhab Al-Hadits hal.42, Dar As-Salafiyah. Al-Baihaqi, Al-Asma'
wa As-Sifat, hal. 456, Syarh Al-Aqidah Ath-Thahawiyah, hal. 245 Takhrij Al-Albani, Al-
Qari, Syarh Al-Fiqh Al-Akbar, hal.60.
[9] Al-Fiqh Al-Absath, hal.51
[10] Ibid, hal.56
[11] Al-Fiqh Al-Akbar, hal.301
[12] Al-Fiqh Al-Akbar, hal.302
[13] Al-Fiqh Al-Absath, hal.56
[14] Al-Aqidah Ath-Thahawiyah, dengan komentar Al-Albani, hal.25
[15] Al-Fiqh Al-Akhbar, hal.301
[16] Ibid
[17] Al-Fiqh Al-Absath, hal.46. Pernyataan seperti ini juga dinukil dari Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah dalam Majmu Al-Fatawa V/48. Ibnu Al-Qayyim dalam Ijtima Al-Juyusy
Al-Islamiyah, hal.139. Adz-Dzahabi dalam Al-Uluw, hal.101-102, Ibnu Qudamah dalam
Al-Uluw, hal.116. Dan Ibnu Abi Al-Izz dalam Syarh Al-Aqidah Ath-Thahawiyah, hal.301
[18] Surah Al-Hadid, ayat 4
[19] Al-Asma wa Ash-Shifat, hal.429
[20] Al-Fiqh Al-Absath, hal.56
[21} Surah Al-Hadis, ayat 4
[22] Al-Asma Ash-Sifat, II/170
[23] Al-Fiqh Al-Akbar, hal.302
[24] Ibid, hal.301
[25] Ibid, hal.302
[26] Surah An-Nisa, ayat 164
[27] Al-Fiqh Al-Akbar, hal.302
[28] Ibid, hal.301
[29] Ibid

You might also like