Karakter konsumen Indonesia yang sensitiI pada harga,
membuat para penjual BBM nonsubsidi bersaing dalam pricing strategy. Akibatnya, perang harga BBM nonsubsidi pun makin sengit. VP Komunikasi PT Pertamina Mochamad Harun mengatakan, pricing strategy merupakan salah satu cara Pertamina untuk bersaing di pasar BBM nonsubsidi. Bahkan, Pertamina akan menempuh cara yang cukup ekstrem, yakni mempercepat Irekuensi penyesuaian harga. "Selama ini kan harga dievaluasi tanggal 1 dan 15 tiap bulan. Nanti, akan dipercepat, bisa satu minggu, tiga hari, atau dua hari, Sebagaimana diketahui, ketika harga Pertamax melambung hingga di atas Rp 9.000 per liter, konsumsi Pertamax turun menjadi 1.800 kiloliter per hari. Padahal, sebelumnya, ketika harga Pertamax masih di kisaran Rp 7.000 per liter, konsumsi Pertamax bisa mencapai 2.500 kiloliter per hari. Harun menjelaskan, dengan sistem klaster ini, maka harga Pertamx cs di wilayah Jakarta dan wilayah lain yang sama-sama berada di region UPMs III, bisa berbeda. Tercatat, harga Pertamax di Jakarta per 1 Juni ditetapkan Rp 8.400 per liter, sedangkan harga di Bogor, Tangerang, Depok, dan ?Bekasi sebesar Rp 8.450 per liter, dan wilayah lain di UPMs III sebesar Rp 8.600 per liter. "Di UPMs lain juga akan diterapkan sistem klaster seperti di UPMs III, Ketua Umum Himpunan Wiraswasta Minyak dan Gas (Hiswana Migas) Eri Purnomohadi mengatakan, kompetisi antar penjual BBM nonsubsidi akan menguntungkan masyarakat karena harga antar produk menjadi kompetitiI. "Ini masalah pricing policy, hal biasa dalam persaingan bisnis," katanya. (owi) pada jenis bbm subsidi tidak begitu terpengaruh oleh mekanisme pasar yang berlaku karena pemerintah telah menetapkan harga,tujuannya agar konsumen memperoleh kemudahan dalam mendapatkan bbm yang tersubsidi ini. sebenarnya bbm jenis ini hanya diperuntukkan bagi masyarakat golongan menengah kebawah, tapi karena kebutuhan akan bbm ini semakin banyak maka golongan menengah ke atas pun akhirnya turut menikmatinya sehingga terjadi over produksi bbm yang bersubsidi, ini di khawatirkan akan menimbulkan biaya yang besar apabila Iixed price tetap di lakukan di tengah kenaikan hanrga minyak yang terus naik. tapi bagaimanapun juga masyarakatpun yang akan di untungkan dari adanya bbm jenis murah, bahkan sekarang apabila harga bbm naik maka juga akan menyumbang inIlasi. jadi memang dilema bagi pemerintah dalam masalah ini.
JAKARTA - Pasar BBM nonsubsidi makin ketat. Karakter konsumen Indonesia yang sensitiI pada harga, membuat para penjual BBM nonsubsidi bersaing dalam pricing strategy. Akibatnya, perang harga BBM nonsubsidi pun makin sengit. VP Komunikasi PT Pertamina Mochamad Harun mengatakan, pricing strategy merupakan salah satu cara Pertamina untuk bersaing di pasar BBM nonsubsidi. Bahkan, Pertamina akan menempuh cara yang cukup ekstrem, yakni mempercepat Irekuensi penyesuaian harga. "Selama ini kan harga dievaluasi tanggal 1 dan 15 tiap bulan. Nanti, akan dipercepat, bisa satu minggu, tiga hari, atau dua hari," ujarnya saat ditemui di DPR, Rabu malam, 1 Juni. Sebagaimana diketahui, ketika harga Pertamax melambung hingga di atas Rp9.000 per liter, konsumsi Pertamax turun menjadi 1.800 kiloliter per hari. Padahal, sebelumnya, ketika harga Pertamax masih di kisaran Rp7.000 per liter, konsumsi Pertamax bisa mencapai 2.500 kiloliter per hari. Sebenarnya, kata Harun, Pertamina ingin melakukan penyesuaian harga BBM nonsubsidi setiap hari, seperti yang diberlakukan di banyak negara lain. "Tapi, kami dapat masukan dari operator SPBU yang merasa kesulitan, jadi realistisnya mungkin ya satu minggu sekali, atau tiga, maksimal dua hari sekali," katanya. Sebagaimana diketahui, Pertamina sudah mencoba menerapkan evaluasi harga per dua hari. Setelah menaikkan harga Pertamax cs cukup signiIikan pada 16 Mei, Pertamina kemudian menurunkan harga pada 30 Mei lalu. Di Jakarta, harga Pertamax turun dari Rp9.250 per liter menjadi Rp8.900 per liter. Ada pun harga Pertamax Plus turun dari Rp9.550 per liter menjadi Rp9.250 per liter. Di Surabaya dan sekitarnya, harga Pertamax turun dari Rp9.550 per liter menjadi Rp9.200 dan Pertamax Plus turun dari Rp9.750 per liter menjadi Rp9.450 per liter. Namun, dua hari kemudian, pada 1 Juni, Pertamina kembali menurunkan harga. Di Jakarta, harga Pertamax turun dari Rp8.900 per liter menjadi Rp8.400 per liter dan Pertamax Plus turun dari Rp9.250 per liter menjadi Rp 8.850 per liter. Adapun di Surabaya, harga Pertamax turun dari Rp9.200 per liter menjadi Rp8.900 per liter dan Pertamax Plus turun dari Rp9.450 per liter menjadi Rp9.250 per liter. Jika dicermati, penyesuaian harga Pertamina tersebut tidak terlepas dari persaingan dengan kompetitornya. Di Jakarta, ketika pada 30 Mei Pertamina menurunkan harga Pertamax cs sekitar Rp350 per liter, Shell pun ikut menurunkan harga hingga Rp600 per liter. Akibatnya, harga BBM Shell Super 92 menjadi Rp8.450 per liter, lebih murah dari Pertamax yang Rp8.900 per liter. Namun, sejak 1 Juni, harga Pertamax menjadi lebih murah karena diturunkan lagi menjadi Rp8.400 per liter. Dengan penurunan 1 Juni lalu, harga Pertamax cs Pertamina menjadi sangat kompetitiI. Tercatat, di Jakarta, Shell memasang harga Rp8.450 per liter untuk Super (RON 92) dan Super Extra Rp8.900 per liter. Adapun Petronas memasang harga Rp8.450 per liter untuk Primax 92 dan Primax 95 Rp9.200 per liter. Sedangkan Total membanderol PerIormance 92 seharga Rp8.450 per liter dan PerIormance 95 sebesar Rp8.900 per liter. Harun menambahkan, selain mempercepat evaluasi harga, Pertamina kini juga menerapkan sistem kluster untuk penjualan Pertamax cs. Selama ini, Pertamina menetapkan harga sama untuk setiap region. Misalnya, harga di Unit Pemasaran (UPMs) III yang meliputi Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) semua ditetapkan sama. "Dulu ada perbedaan harga khusus untuk SPBU bersaing, tapi sekarang skemanya diubah," terangnya. SPBU bersaing adalah SPBU yang berdekatan dengan SPBU kompetitor. Harun menjelaskan, dengan sistem klaster ini, maka harga Pertamx cs di wilayah Jakarta dan wilayah lain yang sama- sama berada di region UPMs III, bisa berbeda. Tercatat, harga Pertamax di Jakarta per 1 Juni ditetapkan Rp8.400 per liter, sedangkan harga di Bogor, Tangerang, Depok, dan Bekasi Rp8.450 per liter, dan wilayah lain di UPMs III sebesar Rp8.600 per liter. "Di UPMs lain juga akan diterapkan sistem klaster seperti di UPMs III," ujarnya. Ketua Umum Himpunan Wiraswasta Minyak dan Gas (Hiswana Migas) Eri Purnomohadi, mengatakan, kompetisi antar penjual BBM nonsubsidi akan menguntungkan masyarakat karena harga antar produk menjadi kompetitiI. "Ini masalah pricing policy, hal biasa dalam persaingan bisnis,
http://www.jurnalpos.com/negara-rugi-rp-72-miliar-tiap-tahun-akibat-penyimpangan-bbm- bersubsidi Akibat disparitas harga yang cukup tinggi antara BBM bersubsidi dengan BBM non subsidi terjadi penyimpanag distribusi yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 7,2 miliar per tahun. 'Saya bilang ada disparitas harga antara BBM bersubsidi dengan BBM non subsidi. Cenderung orang menggunakan BBM bersubsidi. Inilah perlu penyesuaian jumlah BBM yang didistribusikan, kata Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH) Migas Tubagus Haryono dalam acara Penandatanganan Keputusan Bersama Kepala BPH Migas dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia di Jakarta, Rabu (25/5). Tubagus menekankan modus operandi penyimpangan pendistribusian BBM antara lain, penjualan kepada yang tidak berhak, pengisian tangki kendaraan bermotor yang telah dimodiIikasi dan pembelian jerigen dalam jumlah banyak. Menurutnya, BPH Migas dan Kepolisian Republik Indonesia perlu melakukan kerjasama sinergi agar dapat menekan subsidi dan menyelamatkan keuangan negara. 'Koordianasi dengan berbagai pihak, kita harus lakukan terus menerus sebagai alat yang paling eIektiI dalam menyelesaikan masalah terutama yang siIat multi disiplin lintas sektoral, lintas wilayah dan lintas kepentingan, imbuhnya. Tubagus berharap bantuan semua pihak agar bersama-sama melakukan pengawasan dalam kapasitas dan kewenangan masing-masing untuk mencegah meluasnya kerawanan sosial. Dalam pada itu, Kepala Badan Pemelihara Keamanan, Komisaris Jenderal (Komjen Pol) Iman Sujarwo mengungkapkan hubungan kerjasama kedua lembaga menunjukan keseriusan dan konsentensi bagi institusi Polri dalam rangka mendukung program kebijakan pemerintah khususnya dalam rangka pengawasan penindakan terhadap penyalahgunaan BBM dan Gas Bumi. 'Polri bekerjasama dengan lembaga sturuktural secara sinergis bersama BPH Migas telah melakukan pengawasan pendistribusian BBM dan Gas Bumi demi terciptanya keamanan dalam negeri yang stabil dan dinamis, ujarnya seraya menyatakan optimis dapat mengatasi penyelewengan distribusi BBM secara baik kedepan
http://casdiraku.wordpress.com/2010/12/13/pertamina-dan-subsidi-bbm/ Tampaknya, rencana penghapusan subsidi BBM semakin mendekati kenyataan. Pemerintah sudah terang menyatakan akan membatasi volume BBM bersubsidi, eIektiI mulai 1 Januari 2010. Yang jadi pilot profect adalah wilayah Jabodetabek. Jadi, menjejak tahun 2011 mendatang, hanya 'plat kuning dan 'roda dua yang boleh mengkonsumsi BBM bersubsidi, baik solar maupun premium. Sementara 'plat hitam, juga 'plat merah, tidak diperbolehkan lagi menikmati subsidi. Manajemen Pertamina menyambut baik rencana ini. Wajar, karena selama ini, mekanisme subsidi BBM sangat membebani keuangan korporasi. Pembayaran dari Pemerintah yang sering molor, membuat Pertamina kerap harus menalangi. Jumlahnya tak tanggung-tanggung: trilyunan rupiah! Jika kondisi fulus BUMN terbesar ini tidak baik, tentu sudah ambruk sejak lama. Dan, saya cukup yakin, belum ada yang sanggup mengambil alih tugas mulia` ini sepenuhnya. Petronas jelas tersenyum lebar. Pasalnya, pembatasan BBM bersubsidi akan semakin meluaskan pasar mereka di Indonesia, meskipun sebetulnya mereka juga punya kesempatan untuk terlibat dalam pendistribusian BBM bersubsidi. Rencana ini memang sudah lama ditunggu-tunggu oleh pemain BBM asing di Indonesia. Selama Pertamina menjual BBM bersubsidi, sementara mereka tidak, selama itu pula SPBU asing akan sepi`. Karena itu, barangkali Shell dan Total juga mulai tersenyum simpul, karena arena permainan` sudah semakin rata. Tidak banyak yang tahu, bahwa untuk BBM industri yang non-subsidi, pangsa pasar Pertamina sudah banyak tergerus. Kini, pemain asing akan semakin leluasa mencaplok pangsa pasar BBM transportasi sektor yang paling banyak menenggak BBM. Barangkali ini akan menjadi dilema bagi Pertamina sendiri. Dengan berkurangnya volume BBM bersubsidi, keuangan Pertamina akan sedikit tertolong. Di sisi lain, pelan tapi pasti, pangsa pasar Pertamina akan semakin aus. Pertamina tidak akan bisa mengatasi dilema ini sendirian, karena solusinya harus dari dua sisi sekaligus. Pertama, dari sisi internal mereka sendiri, kualitas BBM non-subsidi Pertamina mesti betul-betul kompetitiI. Begitu pula dari sisi marketingnya. SPBU pasti pas` harus diupayakan sebanyak mungkin, paling tidak harus menjangkau seluruh kota-kota besar di Indonesia. Untuk daerah pinggiran`, apalagi terpencil, pemain asing jelas enggan untuk terjun ke sana. Selain marketnya kecil, mereka juga belum punya inIrastruktur yang memadai hingga ke daerah. Karena itu, kota-kota besarlah arena kompetisi` sesungguhnya. Paling tidak, ini bisa bertahan hingga dekade mendatang. Ke dua, dari sisi eksternal, loyalitas konsumen jelas diperlukan. Seandainya karakter masyarakat kita sudah seperti di Jepang, yakni mencintai produk bangsa sendiri, persoalan ini tidak begitu merisaukan. Kalau pun belum sebagus produk kompetitornya, setidaknya mereka akan memberi kesempatan bagi anak bangsa sendiri untuk berbenah. Lagipula, kualitas produk Pertamina sendiri sudah terbukti bisa bersaing di pasar dunia. Untuk pelumas, sejak beberapa tahun terakhir produk Pertamina sudah merambah ke ASEAN, Australia, Timur Tengah, dan tahun ini akan penetrasi ke Jepang. Bahkan untuk produk avtur, bahan bakar yang paling menuntut kualitas ketat, produk Pertamina sudah dibeli oleh Shell dan dipasarkan ke Inggris sejak Juni 2009 lalu. Sebagai konsumen, kita memang punya hak untuk memilih produk dengan merek dan kualitas yang kita anggap` bagus. Tetapi perlu kita perhatikan, bahwa sebagai perusahaan Negara, Pertamina merupakan penyumbang deviden dan pembayar pajak terbesar ke APBN. Lebih jauh, suplai darah` perekonomian kita juga sangat bergantung pada kinerja BUMN migas ini. Kalau BUMN pabrik gula bangkrut, barangkali dampaknya bisa kita abaikan. Bahkan jika industri strategis` sekelas PTDI pailit, kita pun masih bisa berbesar hati. Tetapi jika Pertamina goyang, aliran BBM tersendat, dua-tiga hari saja, saya tidak bisa membayangkan dampaknya bagi Negara ini. Tidak saja dalam perekonomian, tetapi juga sosial-politik!