You are on page 1of 20

Jurnal Hokum Respubka No.

4 VoL 2 Tahun2003 : 231-250

TEORI BERNEGARA DALAM PERSPEKTIF ISLAM


Oleh: Eddy Asnawi
Abstrak
Walaupun secara defenitif konsep negara (dawlah) tidak terdapat dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah, namun lde kenegaraan dalam lslam dapat dilacak dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Hal in; dapat ditemukannya adanya unsurunsur esensial yang menjadi dasar negara yang terkandung di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Hasil yang telah dicapai dari para pemikir lslam dalam menjelaskan konsep-konsep lslam tentang teori bernegara adalah suatu bentuk ijtihad untuk menemukan atau meletakkan kerangka dasar mengenai ketatanegaraan lslam yang berlandasan kitab suciAl-Qur'an dan Sunnah Rasul. Kata kunci: Negara, pemerintah lslam, syariat

A. Pendahuluan
Dalam tulisan ini membahas teori bernegara ditinjau dari sudut pandang lslam dengan mencoba menelusuri tentang cita negara (staatsidee) berdasarkan lslam itu sendiri dalam membentuk kehidupan kenegaraannya. lstilah cita negara adalah terjemahan dari kata staatsidee. Dalam ha1 ini seorang sarjana Belanda, Bierens d e Haan, yang dianggap sebagai sarjana yang paling penting dalam memberikan konstribusi akademis terhadap masalah staatsidee.'

Bierens de Haan mengemukakan secara panjang lebar bagaimana teljadinya cita negara pada suatu bangsa. la bertolak dari pendapat, bahwa negara adalah lembaga manusia, manusialah yang membentuk negara. Manusia me~pakan makhluk perorangan (enkelwezen) merupakanjuga makhluk sosial (gemeenschapswezen). dan Sebagai yang satu ia tidak menyatu dan terlebur kepada yang lain. Secara alamiah terdapat hubungan dan pertentangan (samenhang en tegenstelling) antara keduanya. Masing-masing mempunyai sifatnya sendiri-sendiri. Perbedaan keduanya terletak pada kenyataan sifatnya yang berhadapan dan dialektis, dibangun atas kenyataan kej~waan yang berlainan. Hal tersebut mengandung arti yang dalam bagi pemahaman atau konsep tentang negara.

Kernudian oleh Soepomo diterjernahkan dengan istilah "dasar pengertian negara" atau "aliran pikiran negara." Hamid Attamimi mempopulerkan dengan istilah "cita negara" sebagai terjemahan dari s t a a t ~ i d e e . Karena ~ perkataan idee dapat diterjernahkan dengan cita. Cita adalah rnerupakan gagasan, rasa, cipta, dan pikiran. Cjta negara menurut Oppenheim ialah hakekat yang paling dalam dari suatu negara (de staats diepste wezen), suatu daya atau kekuatan yang mernbentuk negara (de staten vorm e n d e kracht). Dengan dernikian

dapat dikatakan, bahwa cita negara adalah hakekat negara yang paling dalam yang dapat rnernbeh bentuk pada negara atau hakekat negara yang rnenetapkan bentuk negara.3 Sedangkan pengertian teori bernegara itu sendiri rnenurut P a d m o W a h j o n o meliputi pernbahasan sifat hakekat negara, pembenaran adanya negara, terjadinya negara, dan tujuan negara. Singkatnya teori negara (staatsheorie) itu mengungkapkan tentang apakah negara itu dan apa yang menjadi dasarnya (de beschrijving van wat een staat is en waarop deze b e r ~ s t ) . ~

Dilihat dari kejauhan, perorangan itu hilang dan yang nampak adalah kelompok. Namun demikian, orang perorangan dan kelompok itu keduanya merupakan satuan-satuan yang orisinil dan saling bergantung. Isi kehidupan orang perorangan tidak dapat diperoleh tanpa hubungan kelompok, dan kelompok tidak dapat ada tanpa memperhitungkan orang perorangan. Selanjutnya menurut Bierens de Haan, pada diri rnanusia dan secara alami mengandung keinginan untuk berorganisasi yang timbul karena dorongan dari dalam. Negara adalah bentuk berorganisasinya suatu masyarakat, yaitu masyarakat bangsa. Meskipun masyarakat bangsa terbagi-bagi dalam kelompok-kelompok,negara membentuk suatu kesatuan yang bulat dan mewakili sebuah cita (een idee ve~egenwoordigt). Cita tersebut tidak menghapuskanperbedaan kelornpok, melainkan menjembataninya.Dengan demikian dalam artian yang logis, negara adalah produk dari suatu masyarakat bangsa dan bukan kebalikannya. Suatu masyarakat bangsa (volksgemeenschap) mewakili kesatuan cita yang memberikan kadar kepada wawasan bangsa tersebut. Kesatuancita yang lebih dahulu berada dalam perasaan bawah sadarnya daripada dalam akalnya yang berfikir itu merupakan cita nasional. Dengan demikian untuk mewujudkan cita nasional yang menyalurkannya, masyarakat bangsa itu membentuk negara. Cita masyarakat tersebut kemudian menjadi cita negara (staatsidee). bangsa (volksgerneenschapsidee) Pendapat Bierens de Haan dikutip dari Hamid S. Attamimi. PemnanKeputusanPresiden Republiklndonesia dalam PenyelenggaraanPemerintahan Negara, Disertasi. (Jakarta: Pasca Sarjana UI, 1990), hlm. 53-54. Yusril lhza Mahendra, Dinamika Tatanegara Indonesia, (Jakarta: Gema lnsani Press, 1996), hlm. 3-4. Oppenheim dalam Hamid S. Attamimi, Op.cit, hlm. 50. Padmo Wahjono dalam Hamid S. Attamimi, Ibid., hlm. 19-20.

JurnalHukurn Respublica No. 4 VoL 2 T h n 2003 : -250 au 231

Berdasarkan pengertiantersebut di atas, penulis mencoba mengkajinya tentang teori bernegara dalarn perspektif Islam skbagairnana dikernukakan dalam tulisan di bawah ini.
B.

Dasar Terbentuknya Negara

Untuk mengetahui bagaimana terjadinya atau terbentuknya sebuah negara atau asal mula timbulnya suatu negara. Maka suatu ha1yang lazirn untuk rnenjelaskan pemikiran-pernikiran yang berkernbang tentang masalah ini yang dikernukakan oleh para ahli pemikir lsiam yang sudah kita kenal selarna ini. Menurut Al-Farabi, bahwasanya sifat keistimewaan manusia yang terkenal suka bergaul (homo socious) adalah pendorong yang pertarna terjadinya rnasyarakat. Manusia berkurnpul satu lama lain adalah untuk saling mernenuhi kebutuhan hidup rnereka di dalarn suatu masyarakat kota (Community of the city) yang kernudian menirnbulkan adanya negara. Suatu rnasyarakat kota menurut Al-Farabi, harus terdiri dari penduduk yang bersatu hati yang di dalarnnya rnemenuhisegala kebutuhan hidupnya terjarnin. Masyarakat itu rnerupakan suatu tubuh yang seluruhnya merasakan senang atau susah apabila salah satu anggota rnasyarakat rnerasakan ha1yang dernikian

itu. Penderitaansakit yang ditanggung oleh seorang anggotanya haruslah menjadi penderitaan seluruh tubuh rnasyarakat. Begitu pula sebaliknya, kesenangan yang dirasakan oleh seorang anggota masyarakat, haruslah dinikmati oleh masyarakat seluruhnya. Bukan derita atau senang yang dirasakan perseorangan,tetapi seluruh rnasyarakat yang dijalari oleh jiwa yang satu dengantimbulnya perasaan yang merata. Setiap orang haruslah rnenyadari akan perlunya kerjasarna yang teratur. Masing-masing harus berdiri pada posisinya, bekerja dan rnenghasilkansesuatu menurut kepandaiannya, dengan suatu kesadaran bahwa apa yang dihasilkannya adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, yang tentunya akan diganti dengan hasil pekerjaan anggota masyarakat lainnya untuk rnernenuhi kebutuhannya. Menurut At-Farabi, tidaklah sempurna kebahagian suatu masyarakat, kalau pekerjaaan tidak terbagi rata kepada masing-masing anggotanya menurut kepandaiannya dengan semangat kerjasarna yang baik. Disinilah Al-Farabi baru sarnpai kepada perlunya mendirikan negara untuk rnengatur rnasyarakat rnanusia itu. Masyarakat itu harus rnernpunyai seorang Pemirnpin, yang terarnbil dari anggotanya juga, yang bertugas dan berwenang mengatur dan rnernbagi segala hasil-hasil untuk rnernenuhi segala kebutuhan anggotanya. Bukan

H. Z.A. Ahrnad, Negara Utama (Madinatul Fadilah) Menurut Al-Farabi, (Jakarta: Djambatan. tanpa tahun). hlm. 21-22.

233

TwriBernegara Dalam ......(EddyAsnawi)

saja negara berkewajiban memenuhi dan rnengatur kebutuhan manusia, tetapi negara juga berhak memanggil rakyatnya untuk memenuh;kebutuhan- . nya. Misalnya kalau negara sedang berada dalam ancarnan perang, sehingga setiap warga harus mengangkat senjata menjaga keselamatan negara. Berdasarkan konsepsi yang dikemukakan Af-Farabi mengenai asalusul negara (Origin ofthe state) maka prinsip yang penting, bahwa negara lahir atas persetujuan bersama dari penduduk suatu masyarakat kota yang saling bertukaran di dalam kebutuhan hidupnya. Mereka mempunyai kepandaian yang berbeda-beda, tetapi berjanji akan menyumbangkan hasil-hasil kepandaiannya itu untuk kebutuhan anggota-anggota masyarakatnya dan untuk menuju suatu cita-cita negara yang dijunjung bersama-sarna ialah kebahagian. Pendapat ini dinamakannya theory of the compact for mutual renunciation of rights, yaitu segenap warga negara secara ikhlas dan sukarela berjanji meniadakan hak-hak pribadinya rnasmg-rnasing untuk menjunjung cita-c~ta bersama. Saling meniadakanhak-hak pr~badi janganlah diartikan bahwa seluruh hak-hak

kemanusiaan haruslah dikorbankan dan dilenyapkan, sehingga manusia hidup dan diperintah sebagai hewan belaka yang disuruh dan dipukul menurut kemauan Pemimpinnya. Meniadakan hak-hak itu untuk suatu rnaksud dan cita-cita yang lebih luhur, ialah menciptakan ideologi negara, yaitu kebahagian materiil dan spirituiL8 KernudianAl-Ghazali rnempunyai teori tentang pembentukan suatu negara. la mengatakan bahwa sesungguhnya manusia dijadikan tidaklah hidup sendirian tetapi sangat butuh bergaul dan berkumpul bersama manusia lainnya. Hal ini disebabkan oleh dua hal, yaitu (a) manusia membutuhkan keturunan untuk kelangsungan kehidupannya di dunia ini. Karena itu, antara laki-laki dan perempuan perlu melakukan ikatan perkawinan. (b) manusia perlu saling tolong rnenolong untuk menyediakan makanan, pakaian, pendidikan anak dan lain sebagainya. Pada dasarnya manusia saling bergantung antara satu dan lainnya. Mereka harus saling bekerjasama, bergotongroyong satu dan lainnya.= Al-Ghazali selanjutnya mengatakan, sudah menjadi sifat istimewa manusia, selain suka bergaul dan bekerjasarna, juga suka berlawanan

lbid.. hlm. 23. ibid., hlm. 28. ibid.. hlm. 30. H. Z.A. Ahmad, KonsepsiNegara BermoralMenorutACGhazali, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 25-26.

234

Jurnal Hukum Respublica NO.4 VoL 2 Tahun2003 : 231-250

dan bermusuhan antara satu dan lainnya. Di samping semuanya mempunyai kebutuhan d?n saling bantumembantu dan juga saling berlombalomba bersaing untuk memenuhi kebutuhannya. Bersaing dan berebut adalah sifat yang istimewa bagi manusia. Sifat-sifat ini tak terdapat pada makhluk hewan manapun. Sesudah berkumpul hingga mendirikan negeri. Mereka lalu berebut dan berkelahi untuk mendapatkan kebutuhan masingmasing dan memuaskan nafsunya sendiri-sendiri. Hal ini pastilah menimbulkan permusuhan, perkelahian, dan berbagai tindakan kejahatan yang membahayakan keselamatan masyarakat dan masing-masing individu di antara mereka. Masyarakat negeri semacam ini memerlukan adanya negara, yang mempunyai lembagalembaga untuk keselamatan dan ketentraman masyarakat.l0 lbnu Khaldun menjelaskan pula tentang terbentuknya sebuah negara. Secara ringkas dapat dikatakan, bahwa kemampuan setiap orang adalah sangat terbatas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Karena itu mustahil bagi setiap individu untuk memenuhi kebutuhan sendiri. la memerlukan bantuan orang lain dengan jalan bekerjasama dan bergotong royong. Masing-masing pihak bekerja menurut keahliannya. Begitu pula

untuk mempertahankandiri dari setiap gangpan dan ancaman untuk keselamatannya'manusia memerlukan bantuan orang lain. Untuk mengatur ketentraman dan keselamatan setiap anggota masyarakat, baik dalam mewujudkan kepentingan bersama maupun untuk mengatasi perbedaan dan pertentangan kepentingan, diperlukan seorang pemimpin yang dapat menjadi penengah (wazr')dan pengatur di antara mereka. Peminpin tersebut harus mempunyai kekuatan, kekuasaan dan keberanian, yang dapat memaksa keputusan demi kepentingan bersama. Dengan pemimpin yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan yang dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat, lahirlah apa yang disebut negara." Pendapat lbnu Taimiyah tentang ide lahirnya negara, dikatakan bahwa Kesejahteraan umat manusia tidak dapat diwujudkan di dunia dan di akhirat kecuaii mereka bergabung menjadi sebuah masyarakat, bekerjasama, dan saling tolong-menolong. Kerjasama dan tolong-menolong tersebut perlu untuk menciptakan kesejahteraandan mencegah kesengsaraan. Karena alasan inilah dikatakan bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial. Apabila umat manusia telah terorganisir maka sudah pasti banyak ha1 yang harus mereka lakukan untuk

/bid.. hlrn. 34-35, " lbnu ~haldun, Muqaddimah, (Jakarta: Faizan, 1986).hlrn. 86-89.
'O

235

TeoriBernegara Dalarn

......(Eddy Asnawi)
dalam kehidupan ini. lidak seorangpun di antara mereka meragukan bahwa kelaliman akan berakhir dengan malapetaka dan keadilan akan berakhir dengan kebaikan. Karena alasan inilah dikatakan bahwa Allah menolong pemerintahanyang adil walaupun yang dimiliki oleh orang-orang kafir dan tidak menolong pemerintahan yang sewenang-wenang walaupun yang dimiliki oleh orang-orang r n ~ s l i m . ' ~ Berdasarkan pemikiran tentang dasar terbentuknya suatu negara menurut kalangan ahli pikir lslam tersebut di atas, dalam pekembangan sejarahnya tirnbul suatu anggapan, bahwa teori atau konsep lslam tentang negara mempunyai sejurnlah kesamaan (paralelisme) dengan konsep Yunani yang dikembangkan oleh para filosuf, seperti A r i s t o t e l e s dan Plato.13

mewujudkan kesejahteraan mereka dan banyak pula hal-ha1yang tidak boleh mereka lakukan karena akibat-akibatnya yang buruk. Mereka harus mematuhi pemimpin yang menjunjung tinggi cita-cita tersebut dan orangorang yang mencegah perbuatanperbuatanyang berakibat buruk itu. Jadi seluruh umat manusia harus tunduk kepada pemimpin atau orang-orang yang mencegah kejahatan tersebut. lbnu Taimiyah mengemukakan bahwa seluruh manusia di atas dunia, baik mereka beragama samawi maupun bukan, bahkan yang tidak beragama sekalipun, mematuhi raja-raja dalam masalah yang mendatangkan kesejahteraankepada mereka di dunia ini. Umat manusia di seluruh dunia percaya bahwa perbuatan mereka senantiasa disertai konsekuensi moral di

lZ Qamaruddin Khan, Pemikiran Politik lbnu Taimiyah, (Bandung: Pustaka Salman ITB, 1983), him. 58-59. *3 Dalam pandangan Yunani klasik, terutama Aristoteles, negara tidak hanya dipahami sebagai suatu bentuk organisasi sosial yang keberadaannya dapat diterima atau ditolak tergantung kepada kebutuhan-kebutuhan tetentu dari sebuah masyarakat tertentu, tetapi negarajuga tidak lepas dari sudut pandang yang lebih has, yakni melibatkan segi-segi ethos dan psikologi manusia. Asumsi yang dianggap sebagai dasar pemikiran politik Yunani itu merupakan bukti yang ditemukan dalam berbagai tulisan Plato dan Aristoteles. Menurut Aristoteles, bahwa pemenuhan berbagai kebutuhan biologis, sosial dan etika manusia hanya dapat terwujud jika ia tergabung dalam aneka asosiasi (perhimpunan), yang bermula dari keluarga dan berakhir pada negara. Karena segala sesuatu ditentukan oleh tujuan akhirnya, teleologi Plato dan Aristoteles dan semua ahli teori klasik mengakui adanya analogi yang erat antara organisasi negara dengan organisasi manusia itu sendiri. Konsep organik negara dan masyarakat itu dilatarbelakangioleh ide Yunani tentang perkembangan alamiah asosiasi politik. Dengan kata lain teori klasik menawarkan tidak ada rujukan pada hak-hak "individu", sebab dalam sebuah negara yang organik prioritas yang ada tertuju pada keseluruhan, bukan bagian, Meskipun demikian

236

TeoriBernegaraDalam

......(Eddy Asnawi)

Begitu pula halnya dengan Al- kanlah, sesungguhnya pada tubuh Farabi, walaupun pendapatnya itu rnanusia ada sesuatu anggota, yang secara tidak langsung dipengaruhi apabila dia baik maka baiklah seluruh pendapat para filosuf Yunani, tetapi tubuhnya, yang apabila ia jahat maka harus pula diakui pengaruh yang lebih jahatlah seluruh tubuhnya, dia itulah besar datang dari agarna Islam yang hati" Bahkan konsep masyarakat kota dian~tnya.'~ Contohnya adalah pendapatnya tentang perbandingan Al-Farabi tidaklah sama dengan antara negara dengan tubuh manusia pendapat Filosuf Yunani. Ditarnbahkan sebagaimana yang telah disebutkan di dengan konsep "rnasyarakat kota yang atas adalah berasal dari sabda Nabi berideologi". Negara yang dicitaMuhammad yang mengatakan : citakannya bukanlah hanya negara "Sesungguhnya orang-orang yang kota (city state), tetapi lebih tinggi lagi beriman adalah sebagai tubuh yang rnenjadi "Negara Utama (Madinatulsatu, yang semuanya rnerasakan sakit fadilah)."18 Setelah dikernukan secara atau senang k a l a u salah s a t u anggotanya rnenderita sakit atau panjang lebar tentang konsep atau teori rnerasa senang." Dalam sabda Nabi yang dikernbangkan oleh para pemikir Muhammad berikutnya: "Perhati- Islam dalam menjelaskan asal usul

'' Sebagaimana halnya lbnuTaimiyah, Al-Farabi menggunakan pendekatanorganik. Disamakannya negara sebagai organisasi sosial dengan tubuh sebagai organis perseorangan. Jika tubuh mempunyaijantung sebagai organ yang tertinggi di daIam tubuh itu, yang membagijalannya darah ke dalam seluruh sel-selnya. Begitu pula dengan negara yang mempunyai seorang Kepala Negara yang mengatur seluruh kekuasaan dan membagikannya kepada segenap aparat negara sampai ke daerah-daerah. Sebagian ciri organisme ialah sifatnya yang dapat berubah, supel dan elastis. Badan organisme yang hidupdapat menerima dan mengambil bahan-bahandan zat dari luar dirinya, lalu diolah dan dimasak untuk kebutuhan dirinya, dan dipisahkannya mana-mana yang dianggapnya tidak perlu. Juga dalam badan organisme didapati struktur dan hirarkhi, sehingga setiap bagian mempunyai kedudukan yang tertentu. Selain itu paham organisme menetapkan, bahwa bukan saja keseluruhanmenetapkan bagian-bagiannya, tetapi bagian-bagian itu menentukanpula keseluruhannya. Teori ini telah dilanjutkan pula oleh pemikir Islam lainnya Al-Gazali. Lihat dalam H.Z.A. Ahmad, Negara Utama ( Madinatul Fadilah ), Op.Cit., hlm. 24. l8 lbid., hlm 26. Di kota Madinahlah sebenarnya negara ideal yang dicita-citakan oleh Al-Farabi yang sudah terciptanya negara Islam yang dipimpin oleh seorang Nabi Muhammad, maka tidaklah mengherankan kalauAl-Farabi selalu menyandarkan segala teori kenegaraannya kepada Madinah itu.

ketatanegaraan (constitutional law) ataupun teori politik. Nabi memang mendirikan syatu regim politik, tetapi pendirian regim tersebut bertalian dengan situasi kesejarahan, bukan merupakan tujuan hakiki dari misi kenabiannya. Negara merupakan salah satu fungsi masyarakat dan tidak selalu 'utlak perlu bagi masyarakat tersebut, karena itu, masyarakat lslam dapat berjalan dengan ataupun tanpa negara. 21 Tidak berbeda halnya dengan pendapat Muhammad lmara yang mengatakan, bahwa Islam sebagai agama tidak menentukan suatu sistem pemerintahan tertentu bagi kaurn muslimin, karena logika tentang kesesuaian agama ini untuk sepanjang masa dan tempat menuntut agar soalsoal yang selalu akan berubah oleh kekuatan evolusi harus diserahkan kepada aka1 manusia, dibentuk menurut kepentingan umurn dan dalam kerangka prinsip-prinsip umum yang telah digariskan agama.22Bahwa istilah negara (dawlah) pun tidak dapat ditemukan dalam Al-Qur'an. Meskipun terdapat berbagai ungkapan dalam AlQur'an yang merujuk atau seolah-olah rnerujuk kepada kekuasaan politik dan

otoritas, akan tetapi ungkapan-ungkapan ini hanya bersifat insidental dan tidak ada pengaruhnya bagi teori p~litik.~ Berdasarkan pendapat kedua sarjana tersebut, maka dapatlah dikemukakan bahwa lslarn tidak meletakan suatu pola baku tentang teori negara atau sistem pemerintahan. ~ a k u diakui Al-Qur'an mengandung n nilai-nilai ajaran yang bersifat etis mengenai aktivitas sosial dan politik umat manusia. Ajaran-ajaran ini mencakup prinsip-prinsip tentang keadilan, kesamaan, persaudaran dan kebebasan. Dalam pandangan ini pembentukan sebuah negara lslarn dalam pengertian yang formal dan ideologis tidaklah begitu penting. Bagi mereka yang terpenting adalah negara, karena posisinya yang bisa menjadi instrumental dalam rnerealisasikan nilai-nilai ajaran agama dan menjamin tumbuhnya prinsip- prinsip seperti yang disebutkan di atasz4 lbnu Taimiyah mencoba menjelaskan pemikiran-pemikirannya tentang pendirian sebuah negara yang berbeda halnya dengan pemikiran sebelumnya. Dalam ha1 ini ia bersandarkan pada ad-din (Islam) dan argumentasi sosiologis. Dalam ad-din

Ibid., hlm. 89-90. Muhammad lrnara dalam Bahtiar Effendy, lslarn dan Negara, (Jakarta, Paramadina. 1998),hlm. 13. 23 lbid. 24 /bid.
2'

TeoriBernegara Dalam

...... (EddyAsnawi)
prinsip kebijaksanaan fiskal dan moneter. Ini semua tidak dapat dipraktekkan, kecuali jika ada suatu negara lslam yang akan rnenegakkannya. Di sinilah letaknya kebutuhan akan adanya suatu negara Dalam ha1ini ia menyetir ayat Al-Qur'an yang memberikan pedoman mengenai ha1 ini: "Dan katakanlah: Ya Tuhanku, masukanlah aku melalui gerbang kebenaran, dan keluarkanlah aku rnelalui gerbang kebenaran pula. Dan berilah aku otoritas kekuasaan untuk rnembantuku " (Q.S. 17 : 80). Bahwa Al-Qur'an mengandung ajaran-ajaran tentang kekuasan politik dikemukakan pula oleh Abd. Muin Salam dalam hasil penelitian dan pembahasan disertasinya. Dalam salah satu bahagian kesimpulannya tentang hakekat dan wujud kekuasaan politik dikatakan : Berbeda dengan terminologi yang telah dikenal dalam kepustakaan politik, Al- Qur'an memperkenalkan istilah-istilah yang relevan dengan kekuasaan politik, satu sama lainnya berbeda konotasi

kekuasaan negara yang bersifat memaksa, agama berada dalam bahaya. Tanpa disiplin hukpm wahyu, negara pasti menjadi sebuah organisasi yang tiranik. Penegakan negara adalah sebagai tugas suci yang dituntut oleh agama dan rnerupakan salah satu perangkat untuk mendekatkan manusia kepada Allah.28 Taqiyuddin an-Nabhani secara tegas mengatakan, sebagai sebuah ideologi bagi negara, masyarakat serta kehidupan, lslam telah menjadikan negara beserta kekuasaannya sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari eksistensinya. Di mana lslam telah memerintahkan kaum Muslimin agar mendirikan negara dan pernerintahan, serta memerintah berdasarkan hukum-hukum Sama halnya dengan pendapat Abul A'la Al-Maududi, bahwa Al-Qur'an tidak hanya meletakkan prinsip-prinsip moralitas dan etika, melainkan juga memberikan tuntunan di bidang politik, sosial, dan ekonomi. Ditetapkan pula hukum untuk kejahatan-kejahatan tertentu dan demikian juga ditetapkan
28

Khalid lbrahim Jindan. Op.cit., hlm. 47. 29Taqiyuddin an-Nabhani. SistemPemerintahanIslam. (Surabaya: Al lzzah, 1997), hlm 11. Dalam penjelasannya disebutkan ayat-ayat Al-Qur'an yang memerintahkan kaum rnuslimin agar menjalankan pemerintahan berdasarkan apa yang diturunkan Allah Swt, misalnya surat Al-Maidah: 44,45,47,48,49 dan surat An-Nisa: 48. 59, 65, dan ayatayat yang membahas tentang hukum perang, politik, pidana, kemasyarakatan, hukum perdata dan lain-lain, seperti: surat At-Taubah : 103,123; Al-Anfal: 57-58,61; Al-Maidah: 1, 38; Al-Baqarah: 179; 188 dan surat At-Thataq: 6, 7. 30 Abul A'la Al-Maududi, Sistem Politik Islam, (Bandung: Mizan, 1995), hlm 186187.

242

secara tajam. Istilah-istilah tersebut adalah sulthan, "kemampuan fiaik untuk meiaksanakan pengaruh dan atau paksaan terhadap orang lain atau masyarakat, mulk, "kekuasaan sebagai obyek hak (pemilikan)", dan hukm "penyelenggaraan ketertiban dalam kehidupan umat manusiadenganpendayagunaan aturan-aturan atau norma hukum baik yang bersumber dari Allah dan Rasulullah Saw ataupun hasil ijtihad manusia," "aturan atau norma hukum," "pembuatan keputusan." Keputusan Allah berdasarkan obyeknya dapat dibedakan atas keputusan yang berkenaan dengan tertib alam semesta dan tertib kehidupan manusia. Yang pertama dikenal sebagai hukum alam atau "sunatullah"yang dapat diketahui dengan penelitian ilmiah terhadap alam semesta; dan kedua yang dikenal dengan agama (al-din) yang hanya dapat diketahui dengan perantaraan Rasul dan Nabi. Sebagai tuntutan hidup (millat), agama berdimensi ideologis dan sebagai tertib kehidupan (syari'at), agama berfungsi politis. Selanjutnya, menilik sifatnya dan dipandang dari Sang Pencipta, keputusan Tuhan dapat dibedakan atas keputusan pen-

ciptaan (amr takwin), keputusan pengaturan terhadap alam semesta (amr tadbir) dan terhadap kehidupan manusia (amr taxi?, dan keputusan penilaian terhadap perbuatan manusia (amr qadha'l). Al-Qur'an memerintahkan agar hukum-hukum syariat yang terkandung di dalamnya ditegakkan dalam kehidupan manusia sebagai tertib individu dan sosial. Perintah tersebut berimplikasi pemberian wewenang kepada manusia untuk menata kehidupannya dengan menerapkan hukum Allah tersebut. Dari sini diperoleh pengertian bahwa hakikat kekuasaan politik adalah kewenangan (otoritas) untuk menyelenggarakan tertib masyarakat berdasarkan hukum Allah. Kekuasaan tersebut bersumber dari Allah dan dilimpahkan melalui firman-Nya (Al-Qur'an) kepada orang-orang yang beriman. Penyelenggaraan tertib masyarakat berdasarkan hukum Allah itulah yang merupakan perwujudan dari kekuasaan politik tersebut, atau dapat juga diungkapkan bahwa wujud kekuasaan politik tersebut adalah sebuah sistem politik yang diselenggarakan berdasarkandan menurut hukum Allah y a w terkandung dalam Al-Q~r'an.~'

31 Abd.Muin Salim, Fiqh Siyasah : Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Quran, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995),hlm 292-293.

JurnalHukurnRespublicaNo. 4 Vol. 2 Tahun 2003 : 231-250

Kebutuhan manusia akan negara ini adalah bersifat universal berdasarkan prinsip utilitarianisme, tanpa peduli apakah rnereka menganut agama atau tidak sebagairnana dikatakan lbnu Taimiyah. Penulis sepaham dengan pemikiran Al-Farabi dengan teorinya apa yang dinamakan theory of the compact for mutual renunciation of rights, yang dapat dijadikan sebagai cita negara dalam lslam, bahwa pada prinsipnya negara lahir atas persetujuan bersama dari penduduk suatu masyarakat kota dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya untuk menuju suatu cita-cita negara yang dijunjung bersama, yakni kebahagian. Kebahagian dicari dalam lslam tidak semata-rnata kebahagiandi dunia saja tetapi juga kebahagian di akhirat. Karena bagaimanapunjuga pemikiranpemikiran yang dilahirkan para pemikir lslam tidak terlepas dari pengaruh aqidah lslarn. Hal inilah yang membedakan antara pemikir Yunani dengan lslarn sebagaimana tampak dari pernikiran seperti yang dikemukakan oleh Al-Farabi clan lbnu Taimiyah dalarn tulisan ini. Dalam tataran sosiologis konsep negara dapat dirumuskan, bahwa

selain manusia itu sebagai makhluk sosial yang selalu hidup dalam suatu pergaulan hidup (man i s a social being) juga sekaligus rnanusia itu "selalu berorganisasi " (is a political being).34 Bagaimanapun sederhananya dalam suatu pergaulan hidup manusia itu selalu mengadakan organisasi d i dalamnya. Organisasi di sini berarti adanya pembagian hubungan kerja atau tugas antara manusia dalam suatu pergaulan hidup untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam pengertian organisasi, maka tersimpul pula adanya pengakuan dan perlin-dungan terhadap kepribadian dari tiap-tiap individu manusia dalam pergaulan hidup itu. Organisasi dalam suatu pergaulan hidup manusia yang lebih besar disebut dengan negara.35 Tujuan organisasi yang dinamakan negara itu adalah untuk mengatur ketentraman dan keselamatan setiap anggota masyarakat, baik dalam mewujudkan kepentingan bersama maupun untuk rnengatasi perbedaan dan pertentangan kepentingan diantara manusia. Dalam kaitan ini, baik Al-farabi, lbnu Khaldun dan lbnu Taimiyah memandang perlu seorang pemimpin yang memiliki tugas untuk mengatur.

manusia. H.Z.A. Ahmad, Konsepsi Negara Berrnoral Menurut Al-Ghazali,Op.cit., hlm.


34.
34 Dalam bahasa Yunani : Man is a social and politicalbeing disebut dengan Zoon Politikon yang diterjemahkan dengan manusia adalah makhluk sosial dan politik, sebagaimana yang diperkenalkan oleh Aristoteles.

JurnaIHuku Respublica No. 4 Vol. 2 T h n 2003 : -250 au 231

Penguasa itu adalah imam atau sebuah negara selalu dilekatkan ajaran Islam, yakni Al Quran dan As-Sunnah. khalifah. Dalam pandangan penulis, apa 3. Keadilanyangrnenyeluruh. Dengan keadilan akan tercipta keakraban yang telah dilakukan pemikir lslam antara sesama warga negara, untuk menjelaskan konsep-konsep menimbulkan rasa hormat dan lslam dalam teori ketatanegaraannya ketaatan kepada pimpinan. Ke- adalah suatu bentuk ijtihad untuk adilan itu hendaknya dimulai dari menemukan atau meletakkankerangka sikap adil pada diri sendiri tercermin acuan dasar dalam sistem ketatanepada sikap senang melakukan garaan yang berlandasan kitab suci Alperbuatan yang baik dan segan me- Qur'an dan Sunnah Rasul. Bagaimapun juga, walaupun konsep negara ngerjakan perbuatan yang keji. 4. Keamanan yang merata. Dengan (dawlah) tidak ditemukan dalam Alkeamanan rakyat dapat menikmati Qur'an, namun unsur-unsur pokok ketenangan batin dan dengan tidak yang menjadi dasar negara dapat adanya rasa takut. Meratanya ditemukan dalam kitab suci itu. keamanan adalah akibat menye- Sehingga dari sini kita dapat diruluruhnya keadilan. muskan bahwa cita negara menurut 5. Kesuburan tanah yang berke- Islam tidak hanya dilihat dalam tataran sinambungan. Dengan kesuburan hubungan antar manusia (hablumtanah, kebutuhan rakyat akan bahan minannas), tetapi juga hubungan makanan dan kebutuhan materi lain dengan Tuhan (hablumminallah) dapat dipenuhi. berdasarkanapa yang telah diturunkan 6. Harapan kelangsungan hidup. dalam Al-Qur'an dan ajaran Rasul. Dalam kehidupan manusia terdapat lnilah yang menurut hemat penulis kaitan yang erat antara satu gene- kenapa ide atau gagasan kenegaraan rasi dengan generasi lainnya. dari pemikir lslam tidak terlepas dari Generasi yang sekarang adalah pengaruh aqidah lslam. pewaris dari generasi yang lalu dan Meletakkan hubungan antara yang mempersiapkan sarana dan negara dan agama dalam perspektif wahana hidup bagi generasi yang Islam, haruslah didudukan bahwa akan datang.38 keinginan bernegara itu merupakan Nampak di sini bahwa cita negara refleksi yang muncul dari dalarn diri yang dilahirkan dari kalangan pemikir manusia itu sendiri sebagai makhluk lslam dalam mencari hakekat dari sosial, dan sekaligus keinginan untuk Deliar Noer, Pengantarke Pemikiran Politik, (Medan: Dwipa, 1965), hlm. 41. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI-Press, 1993), hlm. 45.

36

37

berorganisasi.Jadi negara pada dasarnya adalah suatu bentuk berorga-nisasinya masyarakat. Masyarakat itu sendiri terbagi-bagi dalarnsusunan kelornpok, suku, dan golongan. Dalarn ha1 ini negara rnernbentuk suatu kesatuan yang bulat untuk rnewakili sebuah cita yang dibentuk rnasyarakat. Cita tersebut tidak rnenghapuskan perbedaan kelornpok, suku, golongan dan hak-hak individu rnanusia di dalarn rnasyarakat. Pada prinsipnya negara itu adalah produk dari suatu rnasyara-kat bangsa yang lahir atas persetujuan dan keinginan bersarna. Sebagai sebuah organisasi, negara dapat me-rnaksakan kekuasaannya secara sah terhadap kekuasaan lainnya yang ada dalarn rnasyarakat dengan jalan rnela-kukan penerapan hukurn. Konsep agarna (ad-din) dalarn hubungannya dengan negara haruslah dilihat dari terrninologi hukm sebagai penyelenggara ketertiban dalarn kehidupan rnasyarakat. Tertib kehidupan yang dirnaksud adalah syari'at, yakni aturan-aturan atau hukurn yang bersurnber dari Al-Qur'an dan As-Sunnah. Al-Qur'an rnernerintahkanagar hukurnhukurn syari'at yang terkandung di dalarnnya ditegakkan dalarn kehidupan rnanusia sebagai tertib individu dan
38

sosial (baca: negara). Perintah tersebut rnernberikan irnplikasi adanya kekuasaan untuk rnenegakkan hukurn Allah dalarn penyelenggaraan ketertiban dan kehidupan rnasyarakat. Perwujudan kekuasaan ini tercerrnin dari wewenang otoritas yang dirniliki seseorang atau sekelornpok orang yang diorganisirdalarn bentuk sebuah negara, karena pada hakekatnya negara itu adalah organisasi kekuasaan. Jadi di sini jelas, bahwa dalarn penerapan hukurn syari'at rnernerlukan suatu kekuasaan untuk rnelaksanakannya. Tanpa adanya kekuasaan, pelaksanaan hukurn di rnasyarakat akan rnengalarni hambatan-hambatan. Sehingga dapat dilukiskan hubungan hukurn dengan kekuasaan adalah "Hukurn tanpa kekuasaan adalah angan-angan dan kekuasaan tanpa hukurn adalah kelalirnan." 39 Berdasarkan penjelasan di atas, rnaka rnenurut hernat penulis dapatlah dirurnuskan hubungan antara negara dan agarna adalah, bahwa antara negaradan agarna rnerupakan dua ha1 yang tidak dapat dipisahkan. Di rnana h t i k rnelaksanakan perintah atau nilai-nilai ajaran yang terkandung di dalarn agarna (Islam) rnernerlukan adanya tatanan rnasyarakat yang teratur dan terorganisir yang disebut negara. Karena agarna baru dapat berfungsi sebagairnana rnestinya

39

/bid., hlrn 61-62. Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996),

hlrn. 79.

Jurna/HukumRespub/ica No. 4 VoL 2 T h n2003 :. 1-250 au 23

bagi segala lapisan masyarakat, dan itu akan terwujud dengan adanya negara sebagai seiwah organisasi kekuasaan (daya paksa) yang lebih besar daripada individu atau kelompok yang hidup di dalam masyarakat. Sehingga tegaknya agama tanpa kekuasaan adalah angan-angan, begitu juga sebaliknya tegaknya (kekuasaan) negara tanpa dilandasi agama akan membuahkan kehancuran. Pada akhirnya penulis menyatakan bahwa pembentukan atau pendirian negara Islam dalam pengertian formal dan ideologis bukanlah ha1yang substansial, akan tetapi yang terpenting adalah cita negara yang berlandaskan lslam.

E. Kesimpulan
Berdasarkan apa yang telah diuraikan sebelumnya dalam mernbahas teori bernegaradalam perspektif lslam, maka dapat ditarik beberapa kesirnpulan sebagai berikut: 1. Konsep atau teori yang dikembangkan oleh para pemikir lslam dalarn menjelaskan asal usul negara atau terbentuknya sebuah negara tidak terlepas dari nilai-nilai yang telah diajarkan menurut lslam. 2. Gagasan mendirikan negara atau pemerintahan yang di dalamnya memiliki kewenangan atau kekuasaan untuk rnenegakkan hukum Allah dalam kehidupan rnasyarakat dipengaruhi oleh pemikiran yang

berakar pada landaskan keagarnaan, yakni Al-Qur'an dan As-Sunnah. Ide-ide kenegaraan dalam lslam dapat dilacak dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Walaupun secara defenitif konsep negara (dawlah) tidak terdapat dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Namun dapat dibuktikan unsur-unsur esensial yang menjadi dasar negara dapat ditemukan dalam Al-Qur'an dan AsSunnah. 3. Cita negara menurut lslam tidak hanya dilihat dalam tataran hubungan antar rnanusia (hablumminannas), tetapi juga hubungan dengan Tuhan (hablumminallah) berdasarkan apa yang telah diturunkan dalam Al-Qur'an dan Sunnah Rasul. Hal ini mernperlihatkan ide atau gagasan kenegaraan dari pemikir lslam tidak terlepas dari pengaruh aqidah lslam. 4. Hubungan antara negara dan agama merupakan dua ha1 yang tidak dapat dipisahkan. Di mana untuk melaksanakan perintah atau nilai-nilai ajaran yang terkandung di dalam agama (Islam) rnemeriukan adanya tatanan rnasyarakat yang teratur dan terorganisir yang disebut negara. Karena agama baru dapat bedungsi sebagaimana mestinya apabila ada otoritas atau kekuasaan yang mernpunyai daya paksa untuk melaksanakan hukurn-hukum lslam bagi segala lapisan masyarakat, dan itu akan terwujud dengan

adanya negara sebagai sebuah organisasi kekuasaan (daya paksa) yang lebih besar dari pada individu atau kelompok yang hidup di dalam masyarakat. 5. Pembentukan atau pendirian negara Islam dalam pengertian formal dan ideologis bukanlah ha1 yang substansial, akan tetapi yang terpenting adalah cita negara yang berlandaskan lslam.
Daftar Pustaka

Abd. Muin Salim, Fiqh Siyasah : Konsepsi Kekuasaan Politik dalam A1 Quran, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995. Abul A'la Al-Maududi, Sistem Politik Islam, Bandung: Mizan, 1995. Bahtiar Effendy, lslam dan Negara, Jakarta: Paramadina, 1998. Deliar Noer, Pengantar ke Pemikiran Politik, Medan: Dwipa, 1965. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Jakarta: Pasca sarjana UI, 1990. lbnu Khaldun, Muqaddimah, Jakarta: Faizan, 1986. Khalid lbrahim Jindan, Teori Politik Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 1995. Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996.

M. Al-Mubarak, Sistem Pemerintahan dalam Perspektif Islam, Solo: Pustaka Mantiq, 1995. Munawir Sjadzali, lslam dan Tata Negara, Jakarta: UI-Press, 1993. M. Yusuf Musa, Politik dan Negara dalam lslam, Surabaya: AlIkhlas, 1990. Qomaruddm Khan, Pemikiran Politik lbnu Taimiyah, Bandung : Pustaka Salrnan ITB, 1983. ------, Tentang Teori Politik Islam, Bandung, Pustaka Salman ITB, 1987. Soediman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hokum di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984. Taqiyuddin an-Nabhani, Sistem Pemerintahan lslam, Surabaya: Al Izzah, 1997. Yusril lhza Mahendra, Dinamika Tafanegara Indonesia, Jakarta: Gema lnsani Press, 1996. Z.A. Ahmad, Negara Utama (Madinatu'i Fadillah) Menurut Al-Farabi, Jakarta: Djambatan, Tanpa tahun. ------, Konsepsi Negara Berrnoral Menurut Al-Ghazali, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

You might also like