You are on page 1of 9

Jurnal POELITIK Vol.1 No.

1 2008

Kecenderungan Pilihan Masyarakat Dalam Pilkada


Lili Romli *

Pendahuluan
Beradasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah (bupati, walikota, dan gubernur) dipilih langsung oleh rakyat. Sebelumnya kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pemilihan kepala daerah oleh DPRD ternyata membawa kekecewaan masyarakat. Karena, pertama, politik oligarki yang dilakukan DPRD dalam memilih kepala daerah, di mana kepentingan partai, bahkan kepentingan segelintir elit partai, kerap memanipulasi kepentingan masyarakat luas. Kedua, mekanisme pemilihan kepala daerah cenderung menciptakan ketergantungan kepala daerah terhadap DPRD. Dampaknya, kepala-kepala daerah lebih bertanggungjawab kepada DPRD daripada kepada masyarakat. Dampak lebih lanjutnya adalah kolusi dan money politics, khususnya pada proses pemilihan kepala daerah, antara calon dengan anggota DPRD. Ketiga, terjadi pencopotan dan/atau tindakan over lain dari para anggota DPRD terhadap kepala daerah, seperti kasus di Surabaya dan Kalimantan Selatan, yang berdampak pada gejolak dan instabilitas politik dan pemerintahan lokal. Dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung, rakyat berpartisipasi langsung menentukan pemimpin daerah. Pilkada langsung juga merupakan wujud nyata asas responsibilitas dan akuntabilitas. Melalui pemilihan secara langsung, kepala daerah harus bertanggungjawab langsung kepada rakyat. Pilkada langsung lebih accountable, karena rakyat tidak harus menitipkan suara melalui DPRD tetapi dapat menentukan pilihan berdasarkan kriteria yang jelas dan transparan. Terdapat sejumlah kelebihan Pilkada langsung, antara lain: (1) memutus politik oligarki oleh sekelompok elit politik dalam penentuan kepala daerah; (2) memperkuat checks and balances dengan DPRD; (3) legitimasi yang kuat, karena langsung mendapat mandat dari rakyat; (4) menghasilkan kepala daerah yang akuntabel; dan (5) menghasilkan kepala daerah yang lebih peka dan responsif terhadap tuntutan rakyat. Pelaksanaan Pilkada langsung dimulai Juni 2005. Sejak Juni 2005 hingga Juni 2006, Pilkada telah berlangsung di 250 daerah di Indonesia, yakni di 10 propinsi, 202 kabupaten, dan 38 kota.

Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008 Pada periode JuniDesember 2005 berlangsung 210 Pilkada, dengan rincian pemilihan gubernur sebanyak 7 daerah, pemilihan bupati 170, dan pemilihan walikota 33 daerah.1 Pada umumnya Pilkada berlangsung secara demokratis, tertib, aman, dan lancar, walaupun di sana-sini masih terdapat ketidakpuasan berbagai pihak. Meski juga harus diakui terdapat juga beberapa kasus fenomenal yang diwarnai berbagai protes, unjuk rasa, bahkan kerusuhan seperti terjadi di Kaur, Bengkulu dan Tuban, Jawa Timur. Tulisan ini mencatat kecenderungan-kecenderungan pilihan masyarakat dalam Pilkada selama bulan Juni hingga Desember 2005.2 Paparan yang dibahas meliputi partisipasi pemilih, popularitas figur, incumbent, kemenangan partai koalisi, dan partai-partai kecil yang menang.

Partisipasi Pemilih
Fenomena yang muncul dalam pelaksanaan Pilkada langsung di antaranya adalah rendahnya angka pemilih yang menggunakan hak pilih (voters turnout). Menurut data Departemen Dalam Negeri (Depdagri), pemilih yang menggunakan hak pilih dalam Pilkada berkisar 65-75 persen. Angka ini lebih rendah dibandingkan Pemilu 2004, di mana mereka yang tidak menggunakan hak pilih atau golput sebanyak 23,34 persen.3 Sedangkan pada Pemilu presiden 2004, dari sekitar 155 juta orang jumlah pemilih terdaftar, jumlah pemilih golput 21,77 persen pada putaran pertama dan 26,27 persen pada putaran kedua. Di sejumlah daerah, pemilih yang tidak menggunakan hak pilih dalam Pilkada mencapai angka 30 persen. Sebagai contoh, pada Pilkada di Kabupaten Serang jumlah pemilih yang tidak menggunakan haknya mencapai 362.325 suara atau 32 persen dari jumlah pemilih yang tercantum dalam daftar pemilih tetap (DPT) sebanyak 1.129.582 suara. Jumlah ini lebih besar dari suara yang diperoleh pasangan Taufik Nuriman-Andi Sujudi yang memenangkan Pilkada. Pasangan yang diusung Partai Keadilan Sejahtera (PKS)-Partai Demokrat itu hanya memperoleh 350.039 suara. Daerah-daerah lain juga menunjukkan kecenderungan yang sama, warga yang tidak menggunakan hak pilihnya atau golput relatif tinggi. Di Kota Cilegon jumlah golput mencapai 23,7 %, Kabupaten Pekalongan 32%, Kabupaten Kebumen 28,2%, Kabupaten Bangka Tengah

* Peneliti pada Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI dan pengajar Pasca Sarjana Ilmu Politik Universitas Nasional 1 Data dikutip dari makalah Dirjen Otonomi Daerah Depdagri pada acara Evaluasi Satu Tahun Pilkada, 28 Juni 2006 di Jakarta 2 Alasan pembatasan analisis pelaksanaan Pilkada hanya sampai Desember 2005 karena data yang ada pada penulis dari Depdagri hanya sampai bulan tersebut. 3Golput Pemenang Riil Pilkada, dalam Suara Karya, http://www.suarakarya online.com/news.html?id=114584.

Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008 41%, Kabupaten Bangka Selatan 30%, Kabupaten Bangka Barat 32%, dan Kota Surabaya 48,32 persen.4 Hasil analisis Lingkaran Survey Indonesia (LSI) menunjukkan tingkat partisipasi masyarakat pada Pilkada 2005 cenderung rendah (lihat Tabel 1). Kisaran tertinggi tingkat partisipasi masyarakat hanya di bawah 80 persen saja. Dari 172 wilayah provinsi, kabupaten dan kota, terdapat sekitar 37,8 persen wilayah yang tingkat partisipasi masyarakatnya dibawah 70 persen. Tingkat partisipasi sekitar 70-79,9 persen terjadi di 58 wilayah (33,72 persen). Tabel 1. Tingkat partisipasi pemilih dalam Pilkada Wilayah <50% Partisipasi Pemilih 5059,9% 6069,9% 41 5 46 7079,9% 57 1 58 8089,9% 42 0 42 90% atau lebih 7 0 7 Total

Kabupaten /kotamadya 3 15 Provinsi 0 1 Total 3 16 Sumber: Lingkaran Survey Indonesia, 2006.

165 7 172

Popularitas Figur
Dalam Pilkada langsung, lapangan permainan tidak lagi di dalam ruangan gedung DPRD, tetapi di luar ruangan gedung DPRD. Yang menentukan kandidat akan terpilih atau tidak bukan lagi segelintir elit DPRD tetapi rakyat (massa, konstituen). Rakyat menjadi pemutus siapa yang berhak menjadi kepala daerah. Faktor figur sangat signifikan dalam Pilkada langsung. Popularitas figur memainkan peran penting dalam mendulang suara. Begitu sentralnya faktor figur, sehingga individu-individu yang menganggap dirinya populer atau dikenal masyarakat mencalonkan diri sebagai kandidat dalam Pilkada. Mereka yang tidak atau belum terkenal akan berusaha mensosialisasikan diri kepada publik lewat berbagai sarana. Begitu juga dengan partai-partai politik, salah satu pertimbangan dalam mengusung kandidat adalah faktor figur yang dikenal masyarakat. Tidak heran bila dalam mengusung kandidat, partai-partai politik atau koalisi partai-partai politik, bila tidak ada kader populer dari partainya, mengusung figur dari luar partai yang dianggap populer.5

Informasi diambil dari berita-berita di surat kabar nasional, seperti, Kompas dan Media Indonesia. Yang perlu digarisbawahi tentang figur populer adalah bahwa ia dikenal luas di kalangan publik sebagai sosok yang memiliki integritas dan jejak rekam yang baik. Bila tidak memiliki intergritas yang baik atau dikenal kerap kontraproduktif, belum tentu konstituen akan memilih figur tersebut.
4 5

Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008 Bahwa faktor figur memainkan peran penting ternyata terbukti terlihat dari hasil Pilkada langsung 2005. Mereka yang terpilih sebagai kepala daerah adalah figur-figur yang sudah dikenal masyarakat. Misalnya Nur Mahmudi, yang merupakan figur yang relatif populer, dapat mengalahkan Badrul Kamal, incumbent walikota Depok. Selain mantan Presiden Partai Keadilan, ia menjabat Menteri Kehutanan pada masa pemerintah K.H. Abdurrahman Wahid. Begitu juga dengan Agustin Teras Narang yang menang dalam pemilihan gubernur (pilgub) di Kalimantan Tengah, Sinyo Harry Sarundajang yang menang dalam pilgub di Sulawesi Utara, dan Gamawan Fauzi yang menang dalam pilgub di Sumatera Barat. Mereka adalah sosok populer, bukan saja di tingkat lokal tetapi juga nasional.

Kemenangan Incumbent
Dalam Pilkada langsung, terdapat kecenderungan incumbent terpilih kembali (menang). Misalnya di Jawa Tengah, dari 10 kabupaten/kota di mana incumbent ikut Pilkada, 7 daerah (Kabupaten Kebumen, Kota Semarang dan Kabupaten Kendal, Kabupaten Purbalingga, Blora, Sukoharjo, dan Kota Magelang) dimenangkan incumbent, tiga incumbent kalah (Kota Solo, Kabupaten Boyolali, dan Kabupaten Rembang). Begitu juga di Banten, pada tiga Pilkada yang semuanya diikuti calon incumbent, dua daerah dimenangkan calon incumbent (Kota Cilegon dan Kabupaten Pandeglang), satu incumbent kalah (Kabupaten Serang). Kemenangan incumbent juga terjadi di daerah-daerah lain. Secara nasional terlihat banyak calon incumbent yang menang, yaitu lebih dari 50%. Dari 211 Pilkada yang diikuti incumbent, sebanyak 124 (59,05%) dimenangkan incumbent. Sisanya, sebanyak 87 daerah (40,95%), incumbent kalah. Kemenangan para incumbent tidak mengejutkan banyak kalangan, malah sudah diperkirakan sebelumnya. Jauh sebelum Pilkada berlangsung, kalangan pengamat politik maupun masyarakat umum sudah berani memastikan para mantan pejabat lama yang ikut maju dalam Pilkada akan menang. Kemenangan incumbent antara lain karena faktor popularitas dan penguasaan opini publik. Kemampuan para incumbent menaikkan citra dirinya tidak terlepas dari kelihaian mereka menguasai media massa. Mereka, misalnya, selama masa kampanye lihai menciptakan isu yang menarik perhatian media, sehingga mendapat publikasi kampanye luas. Upaya menjual diri melalui iklan advertorial juga gencar mereka lakukan.

Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008 Incumbent tidak perlu mengagendakan acara sosialisasi atau perkenalan: incumbent telah membangun dan memiliki jaringan ke seluruh pelosok desa/kelurahan,6 terlebih apabila saat memimpin ia sudah memiliki niatan mencalonkan diri kembali. Investasi untuk menarik simpati senantiasa dicurahkan pada setiap momen. Setiap kunjungan kedinasan menjadi fasilitas gratis untuk menanamkan simpati massa. Kucuran bantuan yang nota bene berasal dari pemerintah, secara psikologis kian merekatkan hubungan emosional incumbent dengan konstituen. Misalnya, penyerahan SK kenaikan pangkat atau penyaluran kredit dengan bunga ringan yang dilakukan incumbent saat menjabat, pasti melahirkan suasana psikologis tersendiri bagi penerimanya. Begitu juga dengan peresmian rumah sakit, gedung/kantor, pondok pesantren, perusahaan milik pemerintah/swasta, lapangan olahraga, jalan, pembukaan seminar dan lokakarya, dan peresmian program-program pemerintah yang langsung dirasakan masyarakat, akan menumbuhkan citra positif sang pemimpin di mata rakyat. Terhadap berbagai gerakan menanamkan simpati massa yang dilakukan para penantangnya, incumbent sudah barang tentu mudah menghapus citra para pendatang baru. Jaringan kerja sampai pelosok desa yang sudah dimilikinya, menjadi sumber informasi handal yang dengan lincah mengakses gerakan para penantang. Besar kemungkinan, jika pada satu saat ada pendatang baru memberikan bantuan entah dalam bentuk apa saja ke suatu tempat tertentu, di saat yang lain incumbent akan memberikan bantuan yang besarnya dua atau tiga kali lipat.

Kemenangan Koalisi Partai


Kecenderungan umum lain dalam Pilkada langsung adalah terbentuknya koalisi partai-partai politik untuk mengusung kandidat. Landasan koalisi bisa berupa faktor teknis, karena kurang memenuhi syarat untuk dapat mengajukan kandidat sendiri. UU No. 32 Tahun 2004 mensyaratkan bahwa partai politik yang hendak mengajukan calon memiliki minimal 15% suara atau kursi. Syarat ini membuat banyak partai melakukan koalisi. Koalisi juga dibangun berdasarkan landasan untuk memenangkan kandidat yang diusung. Dengan melakukan koalisi dengan banyak partai, diharapkan sumber dukungan terhadap calon akan besar. Dengan banyaknya partai pengusung calon, massa pendukung dari masing-masing partai diharapkan juga akan mendukung calon yang diajukan. Namun sayang, dalam berkoalisi partai-partai politik cenderung pragmatis. Koalisi yang mereka bangun bukan berlandaskan kesamaan visi-misi, platform, dan program, namun berdasarkan kepentingan jangka pendek merebut kekuasaan. Tidak heran, koalisi yang terbentuk bersifat pelangi dan gado-gado. Partai-partai politik Islam berkoalisi dengan partai nasionalis,

6 Bambang Prishardoyo, Posisi Mantan Pejabat dalam Pilkada, http://www.suaramerdeka.com/harian/0506/16/opi03.htm

Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008 bahkan dengan partai Kristen. Partai-partai politik yang di tingkat nasional bersebarangan, di tingkat lokal berkoalisi dalam Pilkada. Terlepas dari itu semua, koalisi yang dibangun dalam Pilkada tampaknya membuahkan hasil maksimal. Hasil Pilkada langsung 2005 menunjukkan bahwa calon yang diusung koalisi partai lebih banyak menang dibandingkan calon yang diusung satu partai, sebagaimana terlihat pada Tabel 2 di bawah ini. Tabel 2. Koalisi partai dan non-koalisi yang memenangkan Pilkada 2005 Jenis Pilkada Koalisi Partai Tanpa Koalisi Provinsi 5 (71%) 2 (29%) Kabupaten 105 (60%) 67 (40%) Kota 16 (50%) 16 (50%) Jumlah 129 (59%) 85 (41%) Sumber: Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP UI, 2006. Tabel 3. Koalisi pemenang Pilkada di 224 daerah No. Pemenang Pilkada 1. Koalisi partai nasionalis-Islam 2. Partai nasionalis 3. Koalisi sesama partai nasionalis 4. Koalisi sesama partai Islam Sumber: JPPR, 2006 Jumlah Wilayah 83 73 51 17 Prosentase (%) 37,05 32,59 22,27 7,48 Jumlah 7 172 32 211

Tabel 4. Partai non-koalisi pemenang Pilkada 2005 Partai Pengusung Jumlah Daerah Partai Golkar 40 PDI Perjuangan 21 PKS 5 PPP 4 PAN 3 Partai Demokrat 3 PKB 2 PKPI 2 PBB 1 PDS 1 PNI Marhaenisme 1 Sumber: Syamsuddin Haris, 2006. Keterangan 85% diraih di luar Jawa dan 15% di Jawa Jawa-luar Jawa berimbang Satu di Jawa, empat di luar Jawa Dua di Jawa, dua di luar Jawa Dua di Jawa, satu di luar Jawa Satu di Jawa, dua di luar Jawa Keduanya di Jawa (Timur) Keduanya di luar Jawa Luar Jawa (OKS, Sumsel) Luar Jawa (Poso, Sulteng) Luar Jawa (Toba Samosir, Sumut)

Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008

Kemenangan Partai Kecil7


Menurut Kompas, pada Pilkada tahun 2005 tingkat partisipasi partai-partai kecil mencapai 96%.8 Tabel 5 menunjukkan tingkat partisipasi partai-partai kecil dalam Pilkada tahun 2005. Partai kecil dengan tingkat partisipasi tinggi adalah Partai Bulan Bintang (PBB), sebanyak 84 kali ikut berkompetisi dalam Pilkada dan menang di 19 daerah. Sedangkan partai kecil yang tingkat partisipasinya rendah adalah Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI), sebanyak 25 kali dan menang di dua daerah. Perlu dicatat bahwa partai-partai kecil yang maju dalam Pilkada pada umumnya berkoalisi dengan partai-partai lain, baik dengan partai-partai besar maupun dengan sesama partai kecil non-parlemen. Namun, di beberapa daerah partai-partai kecil mampu keluar sebagai pemenang tanpa koalisi dengan partai lain. Beberapa partai kecil tersebut yang meraih kemenangan dalam Pilkada tahun 2005 adalah PKPI, PDS, PPDK, dan Partai Patriot. PKPI menang di Kota Bitung dan Kabupaten Seluna; PDS menang di Kabupaten Poso; PPDK menang di Kabupaten Luwu Utara; Partai Patriot Pancasila menang di Kabupaten Toli-Toli; dan PBB menang di Kabupaten Oku Selatan.

Kesimpulan dan Catatan Tambahan


Dapat disimpulkan: Pertama, hasil Pilkada langsung 2005 menunjukkan bahwa faktor figur begitu sentral dalam Pilkada langsung. Kedua, para incumbent tetap mempertahankan kekuasaan. Ketiga, calon yang diusung koalisi partai lebih banyak menang dibandingkan dengan calon yang diusung satu partai. Keempat, partai-partai kecil ikut berpartispasi dalam Pilkada di hampir semua daerah. Hanya ada enam kabupaten/kota yang tidak diikuti partaipartai kecil. Partai-partai kecil maju dalam Pilkada umumnya berkoalisi dengan partai-partai lain, baik dengan partai-partai besar maupun dengan sesama partai kecil non parlemen. Sebagai catatan tambahan, Pilkada juga menunjukan fenomena lain yang perlu dicermati dan mendapat perhatian. Pertama, dari 63 Pilkada yang diikuti calon perempuan, yang menang sebagai kepala daerah hanya 4 orang, sementara yang menang sebagai wakil kepala daerah 12 orang.

7 Pengertian tentang partai kecil di sini merujuk pada partai yang tidak memenuhi ambang batas electoral threshold sebanyak 3% pada Pemilu 2009. Meski secara nasional dikategorikan sebagai partai kecil bisa jadi di tingkat lokal ia keluar sebagai pemenang Pemilu di daerah tersebut. 8Lihat Pemilihan Kepala Daerah: Meski Terancam Tergusur, Partai Kecil Masih Digdaya, Kompas, 30 September 2005.

Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008 Kedua, munculnya kandidat yang berasal dari TNI aktif. Dalam Pilkada 2005 ada 6 orang TNI aktif maju sebagai kandidat.9 Para kandidat dari TNI aktif itu ternyata tidak ada yang terpilih (menang). Hal ini bisa dimaknai beragam, salah satu tafsir yang muncul adalah keengganan masyarakat dipimpin tentara aktif. Sekarang adalah zaman pemerintahan sipil, kebalikan era Orde Baru di mana TNI dan Polri aktif kerap menjadi kepala daerah. Ketiga, minimnya kader partai murni (pengurus partai) yang menjadi kepala daerah. Kecenderungan yang muncul adalah kandidat dari luar partai terpilih menjadi kepala daerah. Sedangkan kader murni partai bisa dihitung dengan jari. Beberapa kader murni partai yang menjadi kepala daerah adalah Agustin Teras Narang (Gubernur Kalteng, PDIP), Moh. Nur Mahmudi Ismail (Wali Kota Depok, PKS), Aat Syafaat (Walikota Cilegon, Golkar), dan Rustriningsih (Bupati Kebumen, PDIP). Keempat, kandidat dalam Pilkada umumnya berasal dari birokrat dan pengusaha. Para

birokrat, yang berkarir di Pemda sebagai Sekda atau Kepala Dinas/Badan/Kantor, umumnya mencalonkan diri sebagai wakil kepala daerah. Kelima, beberapa wakil rakyat, baik DPR dan DPRD, menjadi kandidat dalam Pilkada. Di antaranya, Agustin Teras Narang (anggota DPR dari PDIP, kandidat Gubernur Kalteng), Iwan Prayitno (anggota DPRD dari PKS, calon Gubernur Sumatera Barat), dan M. Jahidi (Wakil Ketua DPRD Serang dari PDIP, kandidat Bupati Serang). Di antara mereka yang terpilih adalah Agustin Teras Narang, dan yang tidak terpilih Iwan Prayitno.

Panglima TNI Berhentikan Sementara 6 Perwira, Pikiran Rakyat, 12 Mei 2005. Mereka adalah Kolonel D.J. Nachrowi (Puspen TNI) yang menjadi calon wakil bupati Ogan Ilir, Sumatera Selatan; Letkol Didi Sunardi (Paban Madya BAIS TNI) calon wakil bupati Serang, Banten; Letkol Nachfin FN (Paban Madya BAIS TNI) calon bupati Bereau, Kalimantan Timur; Mayor Bastiam (Paban Madya BAIS TNI) calon bupati Yapen Waropen, Papua, dan Kampen AM Bahtiar Syambawa (Pama Paspamres) sebagai calon bupati Mamuju Utara, Sulawesi Barat.

Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008

Tabel 5. Partai-partai kecil pemenang Pilkada tahun 2005 Pasangan Pemenang Hanny Sondakh Robert K Lahindo, SH, M.Si 2 Kab. Seluma H. Murman Effendi, SE Drs. H. Bustami TH 3 Kab.Toba Samosir Monang Sitorus, SH, MBA Ir. Mindi Siagian 4 Kab. Poso Drs. Piet Inkiriwang, MM Abdul Muthalib Rimi, SH, MH 5 Kab. Luwu Utara Drs. HM Luthfi A Mutty Drs. H. Arifin Junaidi, MM 6 Kab. Toli-Toli Drs. M. Maruf Bantilan, MM Dr. Abdul Rachman Amin 7 Kab. Oku Selatan H. Muhtadin Serai Drs. HM Wancik Rasyid 8 Kab. Belitung Timur Basuki Tjahaja Purnama Khairul Effendi 9 Kab. Sekadau Simon Petrus Abun Edyanto 10 Kab. Sintang Milton Krosbi Jarot Winanrno 11 Kota Tomohn Jefferson Rumajan Linneke S Wtoelangkow 12 Kab. Agam Arsito Munandar Ardinal Hasan 13 Kab. Sijunjung H. Darius Atan Yuswir Arifin 14 Kab. Sawahlunto Sijunjung H. Zalnovri, SH, SE, MM Firdaus K, SE 15 Kab. Sorong Selatan Octafianus Ihalauw Tomde Daida 16 Kab. Toba Samosir Monang Sitorus, SH. MBA Ir. Mindi Siagian 17 Kab. Samosir Ir. Mangindaan Simbolon Ober Sihol P. Sagala 18 Kab. Minahasa Utara Vonnie A Panambunan Sompie SF Singel, MBA 19 Kab. Waropen Drs. O Yacob Ramandey Daud Donggari 20 Kab. Yopen Waropen Ir. Soeleman Daud Betawi Drs. Deki Nenepat 21 Kab. Keeron Drs. Celcius Watae Drs. Wahfir, SH 22 Kab. Boven Dogoel Yusak Yumeo Marceleno Yamkomda 23 Kab. Asmat Yufensius A. Biakai, BA FB. Sorring, S. Sos, MM Sumber: Diolah dari Data Agregat Depdagri, 2006. No 1 Daerah Kota Bitung Partai Pengusung PKPI PKPI PNI Marhaenisme PDS PPDK Patriot Pancasila PBB PIB, PNBK PKPI, PPDK, PDS, PPDI, PPD P. Pelopor, PDS PNBK, PNI-M, PKPB, PPD, Patriot Pancasila PBB, P Merdeka, PBB, PKPI, PBSD PBB, PKPI, PBSD PPDI, PNBK PNI Marhaenis PDK, PIB PP, PKPI, PPD PNBK, PNIM, PBR PDS, PPD, PP PBSD, PBB, PKPB PKPB, PDK, PBB, PIB PPDK, PKPI PBR, PBR,

You might also like