You are on page 1of 6

INTISARI September 2011 Kamera Polaroid

Memori dan Cinta di Selembar Polaroid


Penulis: Siska Widyawati, Kontributor Intisari Membuka album-album lama, beberapa lembar foto jepretan kamera Polaroid mengisi halamannya. Warnanya mulai menguning, detail wajah di dalamnya pun samar-samar belaka. Kenangan bergaya dengan topi anyaman pandan berlatar Candi Borobudur atau kelelahan usai mengelilingi Kebun Binatang Ragunan membuncah bersama warna-warna yang semakin pudar. Kalau Anda juga ingat, perilaku tukang foto keliling yang menggunakan kamera Polaroid tersebut begitu khas. Kelar membidik momen, mereka langsung mengipas-ngipas selembar kertas foto hasilnya yang secara otomatis keluar dari depan kamera. Terkesan jadul, ya, tapi kalau ingat mungkin kita senyum-senyum sendiri. Sebenarnya Polaroid adalah salah satu merek kamera instan dan filmnya. Sejak kamera instan kreasi Dr. Edwin Land, pendiri Polaroid Corporation, sukses di pasaran pada 1947, produsen kamera lain mengikuti jejaknya, seperti Konica, Mamiya dan Minolta yang sama-sama menggunakan film Polaroid. Itulah sebabnya Polaroid kemudian menjadi nama generik untuk kamera instan dan filmnya. Kodak dan Fujifilm pun turut serta membuat kamera jenis ini, namun menggunakan filmnya sendiri. Kalau dipikir-pikir, kamera Polaroid ini boleh jadi mengawali era fotografi instan yang kita nikmati sekarang. Tinggal jepret, hasilnya langsung terlihat. Kini, kita memotret tidak cuma dari kamera, bahkan dari ponsel pun bisa. Kita juga tidak perlu lagi kipas-kipas, cukup menikmatinya dari layar LCD. Jadi penasaran, bagaimana nasib kamera Polaroid sekarang, ya? Selidik-selidik, kamera Polaroid kini jadi harta buruan sebagian pencinta fotografi analog dari berbagai belahan dunia, tepatnya setelah pada Februari 2008 Polaroid Corporation mengumumkan penghentian produksi film untuk kamera instannya dan beralih ke teknologi fotografi digital. Tiga pabriknya ditutup, ratusan karyawan diberhentikan.

Ternyata, banyak pengguna setia dan mantan karyawan kamera Polaroid patah hati. Tak terima dengan hal ini, mereka menggalang Gerakan Penyelamatan Polaroid. Misi mereka jelas: menyelamatkan 300 juta kamera Polaroid di seluruh dunia dari kepunahan. Bermula di Austria Maret 2008, mereka berkomunikasi dan berbagi melalui situs www.savepolaroid.com. Gerakan ini kemudian berevolusi menjadi The Impossible Project (www.the-impossible-project.com) yang lantas memproduksi kembali film instan untuk kamera Polaroid di salah satu bangunan bekas pabrik Polaroid di Eschede, Belanda. Fotografi yang Jujur Reaksi penggemar yang demikian besar itu mungkin tidak disangka, bahkan oleh Polaroid sekalipun, karena nyatanya sejak akhir dekade 90 penjualan mereka terjun bebas. Berbagai upaya Polaroid Corporation untuk menghadang laju teknologi digital gagal. Lalu, mengapa sampai muncul gerakan tersebut? Terkadang, kita baru sadar sesuatu sangat berharga ketika sesuatu itu hilang. Bagi banyak penggemar kasusnya juga mungkin seperti itu, karena Polaroid adalah soal seni dan hati. Polaroid menjadi cukup identik dengan dunia seni saat Andy Warhol, seniman pencipta aliran pop art dalam dunia seni grafis, menggunakannya untuk memotret model-modelnya sebelum menuangkannya dalam lukisan. Warhol memotret banyak pesohor dengan Polaroid, termasuk di antaranya John Lennon dan Yoko Ono, Muhammad Ali, serta Bianca Jagger. Foto-foto Polaroid menjadi dasar baginya untuk memproduksi karya lukis yang cukup terkenal dengan teknik serigrafi. Joko Nugroho (30), seorang art director di perusahaan periklanan multinasional jatuh cinta pada Polaroid karena apa adanya. Warna hasilnya yang tidak sempurna malah memikatnya. Karakterisitik warna berbeda tergantung jenis kamera. Sesuai dengan mood saat itu, katanya. Kamera Polaroid favoritnya ada tiga, yaitu Polaroid Mini Portrait yang bisa memuat empat gambar sekaligus, SX-70 yang terhitung paling

revolusioner hingga kurun 90-an, serta tipe SLR Polaroid 104 yang mudah dibawa-bawa dengan ukuran film yang berbeda. Hal senada dikatakan Sim F., sutradara iklan dan video klip, Hasilnya nggak tertebak. Karakternya unik banget. Sim mengoleksi 20 kamera Polaroid yang semuanya hasil dari berburu di internet. Yuan Reva (31), fotografer profesional di sebuah majalah fashion di Jakarta juga kepincut Polaroid setelah menggunakan Mamiya RZ 67, salah satu jenis kamera Polaroid medium format yang sering dipakai majalahmajalah fashion untuk pemotretan. Saya menggunakan kamera ini di satu sesi pemotretan awal 2000an. Sejak saat itu saya langsung jatuh hati. Dia unggul di fashion karena lensa dan filmnya besar, katanya Menurut Reva walau dalam pekerjaan sehari-harinya kini ia menggunakan kamera digital, namun baginya hasilnya tak sebanding jepretan Mamiya. Benar-benar fotografi yang jujur. Foto bagus karena saat pengambilan memang bagus dan bukan karena proses setelahnya, ujar Reva. Reva pun telah tiga kali memenangkan penghargaan Best Picture of the Month dari situs www.polanoid.net, tempat berkumpulnya pencinta Polaroid dari seluruh dunia yang diluncurkan 2005. Dalam kontes yang diikuti ribuan foto Polaroid tersebut, Reva adalah orang Asia pertama yang mendapatkan penghargaan tersebut. Mereka kaget, ternyata ada juga pecinta Polaroid dari Indonesia. Selama ini mereka mengira pecinta Polaroid ada di Eropa dan Amerika saja, katanya. Berkat kemenangan berturut-turut pada Januari 2008, Maret 2009 dan Juni 2010 tersebut, Reva mendapatkan hadiah dua kamera Polaroid Reforbis keluaran tahun 1977 dan Polaroid Walkman. Ia mengatakan semua pengalamannya dengan kamera-kamera Polaroid adalah keajaiban. Baginya misteri kamera-kamera tua itu tak pernah habis. Karenanya ia tak berhenti memburu kamera Polaroid. Sampai saat ini sudah 10 kamera Polaroid dikoleksi Reva. Beberapa ia dapatkan di Pasar Loak Jatinegara atau Pasar Baru. Ada yang harganya hanya Rp 10.000, lho. Kesabarannya mengutak-atik barang antik membuat hampir semua kamera yang ia beli masih dapat berfungsi.

Perlawanan terhadap Teknologi Digital Alam Prabu Djayawarman (30), master komunikasi manajemen lulusan Universitas The Haque, Belanda, juga seorang pencinta fotografi analog, punya jawaban lebih lanjut mengapa menyelamatkan Polaroid menjadi begitu penting. Ada yang melihat budaya digital destruktif. Banyak perusahaan yang bangkrut hasil dari persaingan ini. Perusahaan kamera Belanda, AGFA, yang juga memproduksi film belum lama ini tutup, ujarnya. Prabu yang masih bekerja di Negeri Kincir Angin itu mengatakan perlawanan terhadap fotografi digital mendapatkan tempatnya di Eropa. Gerakan Penyelamatan Polaroid merupakan turunan dari Gerakan Lomografi yang juga dimulai di Austria. Lomo merupakan merek kamera analog keluaran Rusia yang kembali dipopularkan oleh dua remaja Austria saat fotografi digital marak. Di Indonesia, pengguna kamera Polaroid belum secara resmi membentuk komunitas. Mereka kebanyakan bertemu lewat situs polanoid.net, tanpa saling mengenal sebelumnya. Saat ini baru 35 orang asal Indonesia yang menjadi polanoiders (sebutan untuk para anggota website polanoid.net). Tidak Murah Namun, hobi ini terhitung tidak murah. Butuh modal yang nggak sedikit juga. Mendapatkan filmnya juga susah. Padahal iPhone atau program lain bisa membuat foto yang sama hasilnya dengan Polaroid, kata Sim. Untuk mendapat film Polaroid, Reva harus berburu ke toko-toko film, bahkan impor dari luar negeri. Hampir setiap seri kamera Polaroid membutuhkan film khusus. Sampai ada satu toko kamera yang sengaja mencarikan film-film Polaroid buat saya. Kalau ada saya pasti ditelepon, kata Reva. Ia menyediakan satu lemari pendingin di rumahnya untuk menyimpan film-film polaroidnya. Harga satu film Polaroid sendiri di Eropa mencapai 25 euro. Di Indonesia satu pak berisi 8 lembar kertas film seharga Rp 300-400 ribu. Penyebaran film Polaroid produksi The Impossible Project pun belum cukup luas.

Selain itu, menghasilkan foto Polaroid yang bernilai seni tidak mudah. Untuk menghasilkan efek-efek yang diinginkan, butuh trik tersendiri. Tiap orang punya trik yang berbeda untuk menghasikan efek, kata Reva. Namun agaknya hal tersebut malah membuat para penggila fotografi Polaroid tertantang. Tengoklah, nyatanya ada ratusan ribu foto di-upload di polanoid.net dari berbagai penjuru dunia. Tertarik ikut serta? [] <Boks>

The Impossible Project


Tak lama setelah Polaroid mengumumkan penghentian produksi filmnya pada 2008, Florian Kaps, seorang Austria, bertemu Andre Bosman, mantan manajer produksi Polaroid. Mereka memutuskan untuk tidak menerima kenyataan itu dan merintis satu proyek yang mereka sebut impossible, yaitu menerbitkan kembali film instan Polaroid. Florian Kaps termasuk salah satu orang yang peduli dengan nasib dan masa depan film analog. Sebelumnya Kaps adalah manajer dari Masyarakat Lomografi, komunitas pecinta kamera analog Lomo dari Rusia. Kaps juga aktor utama di balik polanoid.net. Oktober 2008, The Impossible Project resmi bergulir. Mereka membeli mesin produksi dari Polaroid Corporation dan menyewa kantor bekas pabrik produksi Polaroid di Enschede, Belanda. Tidak sia-sia, menggunakan formula kimia baru, Maret 2010 mereka merilis film instan monokrom PX100 dan PX600 yang cocok untuk kamera Polaroid SX-70 dan Polaroid 600. Film berwarna untuk kamera Polaroid 600, Polaroid SX70 dan Spectra hadir setahun setelahnya. Proyek tersebut hingga saat ini masih berjalan. Penjualan film instan Polaroid dikabarkan meroket. Jumlah penggunanya pun bertambah. Melihat gerakan penggemar kameranya, Polaroid sendiri menyadari langkah mereka memutus begitu saja teknologi fotografi analog keliru. Kini, di situs resminya, www.polaroid.com, mereka kembali menyediakan kamera instan Polaroid dan filmnya, sambil tetap berjualan

kamera dan peranti digital. Memang, kamera instan dan film yang disediakannya saat ini sebenarnya buatan Fujifilm, namun langkah itu tetap disambut baik oleh fans. []

You might also like