You are on page 1of 13

Staphylococcal Scalded Skin Syndrom (SSSS)

1. Prevalensi Staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS) merupakan penyakit pada neonatus dan anak-anak. S4 jarang terjadi pada dewasa kecuali dengan gangguan ginjal, defisiensi imun dan penyakit kronik. Prevalensi pada anak kurang dari 2 tahun sebesar 62% dan hampir seluruh kasus terjadi pada anak kurang dari 6 tahun (98%). Rasio pada pria dan wanita adalah 2:1. Anak-anak merupakan faktor resiko pada SSS karena kekurangan imunitas dan kemampuan renal imatur dalam pembersihan toksin (toksin exfoliative). Antibodi maternal dapat ditransfer kepada infant melalui ASI tetapi SSSS masih dapat terjadi karena inadekuat imunitas dan imatur ginjal.

2. Etiologi

Infeksi disebabkan karena Staphylococcus Aureus 3a, 3b, 55 dan 57 phage II yang menghasilkan eksfoliatin toksin A (ETA) dan eksfoliatin toksin B (ETB). Eksfoliatin toksin ini bersifat epidermolitik.

3. Patogenesis ETA dan ETB beraksi pada protein desmoglein (DG-1) yang merupakan protein di epidermis superficial (seperti pada gambar 1). Inisial infeksi terjadi pada oral, nasal cavities, laring atau umbilikus. Toksin epidermolitik yang diproduksi olehStaphylococcus Aureus menyebabkan ruam kemerahan dan menyebar ke dalam epidermis kemudian bula muncul dan akhirnya terjadi deskuamasi. ETA dan ETB merupakan protease serin yang mempunyai target spesial yaitu desmoglein-1. Mereka juga merupakan superantigen yang mengaktivasi makrofag untuk memproduksi proinflamatori sitokin seperti TNF alpha dan IL-6. Ikatan desmoglein-1 dengan toksin eksfoliatif staphylococcus aureus menyebabkan terbentuknya antibodi IgG spesifik desmoglein-1

Mekanisme SSSS secara umum:

ETA dan ETB disekresikan Staphylococcus Aureus phage II Toksin menyebar lewat sirkulasi Epidermolisis

(Pemecahan stratum granulosum dan stratum spinosum pada protein desmoglein)

SSSS merupakan bentuk berbeda dari impetigo bulosa, keduanya merupakan penyakit kulit yang berlepuh yang disebabkan oleh toksin eksfoliatif dari staphylococcus. Perbedaanya adalah impetigo bulosa hanya terdapat pada area lokal sedangkan pada SSSS kerusakan epidermal menyebar luas keseluruh tubuh (penyebaran secara hematogen). Perbedaan SSS dengan TEN adalah infeksi SSS hanya sebatas intraepidermal sedangkan infeksi TEN pada seluruh lapisan epidermis (sampai membran basal).

4. Tanda dan Gejala

Pada SSSS akan terjadi demam kemudian muncul ruam eritem (tender rash) pada muka, badan dan ekstermitas kemudian dalam waktu 24-48 jam berkembang menjadi bula yang besar dan mudah rupture kemudian mengelupas. Lesi akan mengering dan dalam waktu 7 sampai 14 hari terjadi regenerasi epidermis tanpa menimbulkan jaringan parut.

Tanda dan gejala SSSS meliputi: 1. Gejala prodormal lokal meliputi infeksiStaphylococcus Aureus pada kulit, laring, hidung, mulut, umbilikus dan traktur gastrointestinal, sebelum ruam kemerahan muncul 2. Ruam kemerahan yang diikuti dengan eksfoliatif epidermal difus 3. General Malaise 4. Demam 5. Iritabel

Pemeriksaan fisik SSSS meliputi : a. Demam b. Nyeri pada palpasi c. Hangat pada palpasi d. Ruam eritem e. Tanda nikolsky (+) f. Eksfoliasi pada kulit g. Edem fasial h. Krusta pada perioral

5. Diagnosis Banding Luka bakar akibat kimia Luka bakar akibat panas Selulitis Dermatitis Kontak Erisipelas Impetigo Steven Johnson Syndrome

6. Pemriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan Laboratorium a. Pemeriksaan Gram b. Kultur (mata, tenggrorok) untuk mengetahui S. Aureus. c. Pemeriksaan darah (WBC, ESR) d. Pemeriksaan PCR

2. Pemeriksaan Histologi Pemeriksaan pada tepi bula untuk melihat lapisan kulit (epidermis) sehingga dapat mengetahui aktivitas epidermolitik kulit.

3. Biopsi kulit Pemeriksaan biopsi pada daerah kulit yang terinfeksi akan terlihat gambaran pemisahan epidermis pada lapisan granular.

7. Terapi Terapi untuk SSS meliputi terapi antibiotik oral yaitu: 1. Dicloxacillin Dicloxacilin digunakan untuk terapi infeksi staphylococcus dengan dosis dewasa 125-500 mg per oral setiap 6 jam (maksimal 2 g per hari) sedangkan dosis neonatal 4-8 mg/ kg berat badan per oral setiap 6 jam (<40 kg 12,5-50 mg/ kg/ hari per oral dan > 40 kg 125-500 mg per oral setiap 6 jam).

2. Cloxacillin Cloxacillin menghambat sintesis dinding sel bakteri. Dosis cloxacillin pada dewasa yaitu 250-500 mg per oral setiap 6 jam dan dosis pada pediatrik yaitu pasien < 20 kg sebanyak 50-100 mg/ kg/ hari per oral dibagi setiap 6 jam (tidak boleh melebihi 4 g per hari). Pada anak > 20 kg diberikan dosis sesuai dengan dosis dewasa.

3. Mupirocin

Mupirocin berperan dalam menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara menghambat sintesis RNA dan protein. Cara penggunaan pada dewasa adalah dioleskan tipis pada area yang terkena 2-5 kali per hari selama 5-14 hari dan pada anak-anak cara penggunaan sama seperti pada pasien dewasa. Terapi pada neonatal premature dengan pemberian dosis tunggal immunoglobulin (IVIG) sebanyak 1 g/ kg dapat membantu mempercepat penyembuhan.

8. Komplikasi Komplikasi biasanya meliputi sepsis, superinfeksi dan dehidrasi akibat gangguan keseimbangan elektrolit. Selulitis, sepsis dan pneumonia merupakan komplikasi lain yang mungkin terjadi pada anak dengan SSSS.

9. Prognosis Angka mortalitas SSSS pada anak sangat rendah (1-5 %) sedangkan pada dewasa cukup tinggi (50-60%). Morbiditas SSSS meliputi penyebaran lokal infeksi. SSSS pada anak dapat sembuh dalam 10 hari tanpa menyebabkan jaringan parut. Sedangkan prognosis SSSS pada dewasa tergantung pada status imun penderita, inisial terapi yang tepat lebih awal, perjalanan infeksi dan komplikasi.

10. Pencegahan Pengenalan potensi epidemik SSSS pada neonatal intensive care unit (NICU) sangat penting meliputi:

Identifikasi pekerja kesehatan yang terinfeksi Staphylococcus Aureus sehingga tidak melakukan penularan pada neonatal melalui prosedur perawatan umbilkus (nosokomial infeksi).

Prosedur pemakaian chlorhexidine hand washing pada pekerja kesehatan.

Impetigo

Impetigo adalah infeksi bakteri gram positif pada lapisan superficial epidermis. Impetigo dibagi dalam dua bentuk yaitu impetigo bulosa dan impetigo nonbulosa :

A. Etiologi Impetigo adalah disebabkan oleh Staphylococcus aureus dan streptokokus betahemolitik grup A (GABHS). GABHS juga dikenal sebagai Streptococcus pyogenes. Infeksi oleh S aureus dapat didahului oleh infeksi primer oleh GABHS.

B. Epidemiologi Rasio antara laki-laki dan perempuan adalah sama. Impertigo dapat terjadi pada semua umur. Anak umur kurang dari 6 tahun insidensinya lebih tinggi dibandingkan dewasa. Impetigo bulosa lebih sering mengenai neonates dan infant. Sembilan persen impetigo bulosa terjadi pada usia kurang dari 2 tahun. Sedangkan impetigo nonbulosa biasanya terjadi pada usia 2-5 tahun.

C. Patofisiologi Kira-kira 30% nares anterior dikolonisasi oleh S aureus. Beberapa individu kolonisasi S aureus menyebabkan episode berulang impetigo pada hidung dan bibir. Bakteri dapat menyebar dari hidung ke kulit yang sehat dalam waktu 7-14 impetigo muncul 7-14 hari kemudian. Penyebab impetigo bullous adalah gram positif, koagulase-positif, S aureus grup II, yang paling sering adalah fag tipe 71. S aureus menghasilkan eksotoksin eksfoliatif ekstraselular disebut exfoliatins A dan B. Eksotoksin S. aureus menyebabkan kehilangan adhesi sel di permukaan dermis yang menyebabkan kulit melepuh. Salah satu target protein eksotoksin A adalah desmoglein I yang mempertahankan adhesi sel. Molekul-molekul ini juga merupakan superantigen yang bertindak secara lokal dan mengaktifkan limfosit T. Koagulasi dapat menyebabkan toksin untuk tetap berada dalam epidermis atas dengan menghasilkan fibrin thrombi. Tidak seperti impetigo nonbulosa, impetigo bullous terjadi pada kulit utuh. Impetigo nonbulosa terjadi pada lebih dari 70% kasus pada anak usia <15 tahun dengan infeksi. Penyebabnya adalah S aureus. bakteritoksin dari sterptokokus. Jika seseorang terkontak orang lain (misalnya, anggota rumah tangga, temanteman sekelas, rekan satu tim) yang kulitnya telah terinfeksi GABHS atau pembawa organisme, kulit normal seseorang dapat terkolonisasi bakteri. Setelah kulit yang sehat terkolonisasi bakteri, trauma ringan seperti lecet atau digigit serangga, bisa mengakibatkan perkembangan lesi impetigo dalam waktu 1-2 minggu. GABHS dapat dideteksi dalam hidung dan tenggorokan dalam 2-3 minggu setelah lesi berkembang, walaupun mereka tidak memiliki gejala-gejala faringitis streptococcus. Hal ini karena impetigo dan faringitis disebabkan oleh berbagai jenis bakteri. Impetigo biasanya karena strain D, sedangkan faringitis disebabkan strain A, B dan C. S aureus menghasilkan toksin hari, dengan lesi

D. Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala impetigo meliputi: Impetigo non bulosa dapat dimulai dari macula eritematosa yang cepat menjadi vesikel atau pustule dan rupture, meninggalkan eksudat kuning kering dengan erosi Impetigo bulosa dimulai dengan timbulnya blister yang besar dan rupture dengan onset yang cepat Infeksi menyebar ke area diatal melakui autoinokulasi secara langsung

Pemeriksaan fisik Impetigo bulosa: Karakteristik lesi adalah vesikel yang berkembang menjadi bula pada kulit yang utuh, dengan minimal atau tanpa kemerahan disekitarnya. Awalnya vesikel mengandung cairan jernih kemudian menjadi keruh. Atap bula rupture, sering meninggalkan sisik kolaret perifer Bulosa biasanya tidak ada karena sangat fragil Tidak ada pembesaran limfadenopati Pada infant, lesi ekstensif dihubungkan dengan gejala sistemik seperti demam, malaise, kelelahan yang menyeluruh dan diare.

Gambar 1. Impetigo bulosa yang disebabkan oleh S. aureus


Impetigo nonbulosa: Adanya macula atau papul dari ukuran 2-5 mm Lesi dikarakteristikan dengan vesikel fragil atau pustule yang segera rupture dan menjadi kuning madu, papul kering atau plak kurang dari 2 cm dan dengan minimal atau tanpa kemerahan disekitarnya

Lesi berkembang dari kulit yang normal atau kulit yang terkena trauma Limfadenopati local Jika tak terobati lesi menyebar secara autoinokulasi kemudian sembuh spontan setelah beberapa minggu tanpa skar.

Gambar 2. Impetigo krustosa yang disebabkan oleh streptokokus beta-hemolitikus grup A

Pemeriksaan Laboratorium: Impetigo biasanya didiagnosis berdasarkan pemeriksaan klinis Leukositosis ada pada 50 % kasus impetigo Urinalis dibutuhkan untuk mengevalusi glomenulonefritis akut poststreptokokal jika terjadi onset bengkak dan hipertensi. Hematuria, proteinuria seebagai indikator keterlibatan renal.

Penemuan histopatologis Impetigo bulosa dengan atau tanpa adanya sel inflamasi pada bula. Terdapat infiltrate polimorfi dalam dermis atas serta akantolisis pada lapisan granular. Impetigo nonbulosa terdapat serum kering diatas epidermis. Kokus gram positif juga dapat terlihat. Spongiosis epidermal dan adanya infiltrasi dermal berat dengan neutrofil dan sel limfosit.

E. Terapi Terapi utama impetigo adalah antibiotik, agen yang dipilih harus mencakup perlawanan terhadap Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes. Obat beta-lactam merupakan pilihan awal dalam pengobatan impetigo. Topical antibiotik digunakan pada pasien dengan lesi kecil atau sedikit, dioleskan pada

daerah yang terkena dua atau tiga telah digunakan baik untuk lesi.

kali sehari selama 7-10 hari. Salep mupirocin

Obat antibiotik topikal yang dilaporkan berguna pada terapi impetigo adalah: Klindamisin (krim, losio dan sabun) berguna untuk beberapa infeksi MRSA Gentamisin salep atau krim dapat digunakan untuk infeksi gram positif oleh spesies staphylococcus termasuk impetigo dan pioderma. Hydrogen peroksida 1 % krem, mempunyai aktifitas bakterisidal yang mempunyai durasi aksi lebih lama dari pada hydrogen peroksida cair. Tetrasiklin berguna untuk impetigo local tetapi beresiko terjadinya reaksi fotosensitifitas. Antibiotik oral yang direkomendasikan sebagai terapi impetigo adalah sepalosporin, penisilin semisintetik, penghambat beta laktamse. Jika kultur bakteri menunjukan MRSA dan pada pasien yang tidak terjadi peningkatan dapat diberikaan tetrasiklin, trimethoprim/sulfamethoxazole (Bactrim), klindamicin, atau linezolid.

F. Komplikasi Impetigo bulosa: Selulitis, limfangitis, bakteriemia, arthritis septic, dan septicemia Toksin eksfoliatif yang diabsorbsi akan masuk kedalam pembuluh darah dapat

menyebabkan Staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS). Ini sering terjadi pada anak yang antibodinya untuk melawan toksin tidak berkembang.

Impetigo non bulosa : GNF akut yang terjadi pada 2-5% impetigo akibat infeksi S aureus dan GABHS Infeksi yang lebih dalam seperti ektima Dapat pula terjadi komplikasi sepsis, artritis, osteomielitis, pneumonia

ataustaphylacoccal scalded skin syndrome

You might also like