You are on page 1of 17

KELOMPOK II :

MUKHLIS
PONIRIN
MUHAMMAD NAZIR
NUR SA'DAH
NUR ASMAWATI

Mata Kuliah : Ashul Fiqih
Dosen Pembimbing : Drs. Rusli Mahmud




KATA PENGANTAR


Segala puji bagi Allah yang telah menunjukan kepada kami jalan kepada islam ini,
tidaklah kami mendapat petunjuk seandainya Allah tidak member petunjuk kepada kami sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul 'Komponen Hukum Syar'I".

Shalawat berangkaikan salam semoga tetap tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW
yang diutus oleh Allah untuk membawa syari`at yang tegak lurus dan luas. Dan dasar dasarnya
mudah bagi manusia dan menghilangkan kesulitan mereka yang tujuannya tidak kepada
kemaslahatan dan keadilan manusia, juga bagi para keluarga dan para sahabatnya yang
meneruskan da`wah beliau dalam menyampaikan syari`at Allah sebagai petunjuk dalam
mencapai kebahagiaan dunia maupun akhirat.

Mudah mudahan makalah ini dapat bermanIaat bagi para pembaca, namun kami rasa
masih sangat banyak kekurangan dalam makalah kami ini, untuk itu kami memohon saran dari
pembaca agar makalah kami ini dapat lebih bermanIaat dan mendapat nilai yang baik nantinya,
khususnya dalam mata kuliah "Ushul Fiqih".

Atas perhatiannya kami ucapkan jazakumullah khairan katsira.





Langsa, 15 Oktober 2008



Penulis

i
DAFTAR ISI



Kata Pengantar......................... i
DaItar Isi ......................... ii


BAB I : PENDAHULUAN ................. 1
BAB II : AL HAKAM .................. 2

1. Masalah Al - Hakam............... 2
2. Al Hakim dan Persoalannya............ 7
3. Mahkum Bih / Fiih................. 10
4. Mahkum Alaih................... 13


DAFTAR PUSTAKA....................... 14

ii
A I
PENDAHULUAN


Dalam mata kuliah Ushul fiqh ini sangat penting kita bahas masalah Komponen Hukum
Syar`i, karena sangat penting buat kita untuk mengetahui dan paham akan hukum.

Segala aspek didalam kehidupan bermasyarakat dan selama hidup didunia, tanpa adanya
Syari`at atau hukum yang mengatur, itu semua tidak akan menciptakan kehidupan yang baik
karena kita semua pasti menginginkan kehidupan yang baik.

Allah menurunkan Al-Quran bertujuan agar ketika umatnya sering bergaul dengan Al-
Quran, maka mereka akan mencapai kehidupan yang baik di dunia maupun di akhirat. Itu semua
dikarnakan bahwa Al-Quran adalah petunjuk bagi orang orang yang beriman dan bertaqwa
kepada Allah SWT.

Hukum atau syari`at yang mesti kita laksanakan berasal dari Allah yang di turunkan
sebagai wahyu kepada Rasulullah Muhammad SAW seklaigus sebagai Mukjizat, yaitu Al-Quran.
Maka ketika kita ingin kehidupan yang aman, damai, dan teratur haruslah dengan adanya hukum
yang berlaku di dalam masyarakat bahkan Negara kita.

1
A II
AL - HAKAM

A. MASALAH AL-HAKAM
1. Masalah Al Hakam

Dengan memahami dan menganalisis deIinisi hukum, nyatalah bahwa hukum itu ada yang
mengandung 9halab tututan), ada yang mengandung 9akhyir boleh memilih), ada yang
menerangkan sebab, syarat dan mani penengah berlakunya hukum), sah batal, rukhsah, dan
a:imah.

a. ang mengandung tuntutan suruhan atau larangan), dinamai hukum 9akhlifi, yaitu
dinisbahkan pada 9akhlif, yakni hukum yang dibebankan oleh syara` untuk dikerjakan atau
ditinggalkan.
b. ang menerangkan sebab, syarat, mani, sah, batal, berat ringan dinamakan hukum wadi,
artinya ditetapkan oleh syari untuk menjadi sebab syarat, penghalang, atau menetapkan hasil
dari perbuatan yang dikerjakan itu sah dan tidaknya atau menerangkan rukhsah dan
a:imahnya.

2. Pembagian Hukum.
a. Hukum TakliIi
aitu tuntutan Allah yang berkaitan dengan perintah untuk berbuat atau meninggalkan
suatuperbuatan. Adanya perbedaan bentuk hukum yang dikemukakan jumhur
ulama/mutakallimin dengan ulama hanaIiah.

1. Bentuk-bentuk hukum 9aklifi menurut jumhur ulama ushul fiqh/mutakallimin
Ijab
aitu tuntunan secara pasti dari syari untuk dilaksanakan dan tidak boleh dilarang)
ditinggalkan. Karena orang yang meninggalkannya dikenai hukuman, missal dalam Qur-
an Surat Al-Baqarah : 110, 'Dirikanlah olehmu shalat dan tunaikanlah zakat..
2
Apabila dikaitkan dengan perbuatan orang mukallaI, kewajiban ini disebut wujub,
sedangkan perbuatan yang dituntut itu disebut wajib.
Nadh
Tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan tetapi secara pasti. ang dituntut untuk
dikerjakan itu disebut mandud, sedangkan akibat dari tuntutan itu disebut nadb.

Ibahah
Kitab Allah yang mengandung pilihan antara berbuat atau tidak berbuat. Akibat dari
khi9ab Allah ini disebut ibadah, dan perbuatan yang boleh dipilih disebut mubah. Qur-an
Surat Jumu`ah ayat : 10

Karahah
Tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu diungkapkan
melalui redaksi yang tidak pasti. Akibat dari tuntutan seperti ini disebut juga karahah,
sedangkan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan disebut makruh.

Tahrim
Tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti. Akibat
dari tuntutan itu disebut hurmah dan perbuatan yang dituntut disebut haram. Q.S. Al-
An`am ayat 151.

2. Bentuk-bentuk hukum takliIi menurut ulama hanaIiah.
IItiradh
Tuntutan Allah kepada mukallaf untuk melaksanakan suatu perbuatan melalui tuntutan
yang pasti dan didasarkan atas dalil yang qa9hi, baik dari segi periwayatan maupun dari
segi dalalah kandungan) nya.

Ijab
aitu tuntutan Allah kepada mukallaf untuk melaksanakan suatu perbuatan, tetapi
melalui tuntutan yang bersiIat Zhanni relatiI benar), baik dari segi periwayatan maupun
dari segi dalalah kandungan) nya.
3
Nadb
aitu maksudnya sama dengan nadb yang di kemukakan jumhur ulama ushul
fiqh/mutakallimin.

Ibahah
Juga sama dengan yang di kemukakan oleh jumhur ulama ushul fiqh/mutakallimin.

Karahah Tanzihiyyah
aitu tuntutan Allah untuk meninggalkan suatu pekerjaan, tetapi tuntutannya tidak
dengan pasti, seperti larangan berpuasa pada hari jum`at.

Karahah Tajrimiyyah
aitu tuntutan Allah untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan cara pasti. Tetapi di
dasarkan pada dalil yang :hanni, baik dari segi periwayatan maupun dari segi dalahah
kandungan) nya.

Tahrim
aitu tuntutan untuk meninggalkan suatu pekerjaan secara pasti dan di dasarkan pada
dalil yang qa9hi, baik dari segi periwayatan maupun dari segi dalahah kandungan) nya.
Misalnya larangan membunuh orang Q.S. Al-Isra : 23) dan melakukan perzinaan Q.S.
An-Nur : 2)

b. Hukum Wad`i
Para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa hukum wadI itu ada lima :
1. Sebab
SiIat yang nyata dan dapat diukur yang dijelaskan oleh nash Al-Quran dan atau Sunnah)
bahwa keberadaannya menjadi petunjuk bagi hukum syara. Artinya, keberadaan sebab
merupakan pertanda keberadaan suatu hukum, dan hilangnya sebab menyebabkan hilangnya
hukum.


4
2. Syarat
Sesuatu yang berada diluar hukum syara, tetapi keberadaan hukum syara bergantung
kepadanya. Apabila syarat tidak ada, hukum pun tidak ada, akan tetapi adanya syarat tidak
mengharuskan adanya hukum syara. Oleh karena itu, suatu hukum 9aklifi tidak dapat
diterapkan, kecuali bila telah memenuhi hukum syarat yang telah ditetapkan syara.

3. Penghalang / Mani`
SiIat yang nyata yang keberadaannya menyebabkan tidak adanya hukum atau tidak
adanya sebab.

4. Sihhah
Hukum yang sesuai dengan tuntutan syara, yaitu terpenuhinya sebab, syarat, dan tidak
ada mani. Misalnya mengerjakan shalat zhuhur setelah tergelincir matahari sebab) dan
telah ber wadi Syarat), dan tidak ada penghalang bagi orang yang mengerjakannya tidak
haid, niIas, dsb). Dalam contoh ini shalat yang dilaksanakan itu hukumnya sah. Oleh sebab
itu, apabila sebab tidak ada dan syarat tidak terpenuhi, shalat itu tidak sah, sekalipun mani
nya tidak ada.

Bathil
aitu terlepasnya hukum syara dari ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada akibat
hukum yang ditimbulkannya.

5. Azimah dan Rukhsah
Adalah hukum-hukum yang disyariatkan Allah kepada seluruh hambanya sejak semula.
Artinya belum ada hukum sebelum hukum itu di syariatkan Allah, sehingga sejak di
syariatkannya, hukum itu wajib di ikuti oleh seluruh mukallaf.
Imam Al-Baidawi ahli ushul fiqh syaIiiyah) mengatakan bahwa a:imah adalah hukum
yang di tetapkan tidak berbeda dengan dalil yang di tetapkan karena uzur.
Misalnya : hukum tentang rakaat shalat zhuhur yaitu 4 rakaat disebut a:imah. Apabila ada
dalil lain yang menunjukkan bahwa orang-orang tertentu boleh mengerjakan shalat zhuhur
sebanyak 2 rakaat. Seperti orang musaIir, hukum itu disebut rukhsah.
5
Berdasarkan pembahasan diatas, perbedaan antara hukum 9aklifi dan hukum wadi adalah
sbb :
a. Maksud hukum 9aklifi dan hukum wadi adalah menuntut suatu perbuatan mukallaf atau
melarang mukallaf melakukan perbuatan, atau pemerintah memilih antara mengerjakan
atau tidak. Adapun hukum wadi tidak di maksudkan sebagai 9aklif atau 9akhyir, tetapi
hanya memberikan penjelasan tentang sebab bagi suatu akibat, atau syarat bagi masyru9
yang di syarati), atau merupakan penghalang bagi suatu hukum.
b. Hukum 9aklif atau 9akhyir berdasarkan hukum 9aklifi harus merupakan perbuatan yang
mampu di lakukan oleh mukallaf, atau adanya kesanggupan mukallaf, dan tidak ada
9akhyir melainkan antara yang menjadi kemampuan dan tidak menjadi kemampuan.





















6
AL - HAKIM DAN PERSOALANNYA

Secara etiologi Al-Hakim mempunyai 2 pengertian :
a. Pembuat yang menetapkan, yang memunculkan dan sumber hukum
b. ang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan dan menyingkapkan hukum.

Hakim merupakan persoalan mendasar dalam ushul fiqh, karena : berkaitan dengan siapakah
pembuat hukum yang sebenarnya dalam syariat islam. Siapakah yang menentukan dalam hukum
sara, yang mendatangkan pahala bagi pelakunya dan mendatangkan dosa bagi pelanggarnya.
Dalam ilmu ushul fiqh hakim disebut juga syari.
Dari pengertian diatas hakim adalah Allah SWT, sebab dialah pembuat hukum dan satu-
satunya sumber hukum kepada seluruh mukallaf. Oleh karena itu tidak ada syariat dalam islam
kecuali dari Allah SWT.
Sebagai dasar atau landasan yang di gunakan oleh para ulama ushul fiqh adalah Iirman Allah
SWT surat Al-An`am ayat 57: 'Menetapkan hukum itu hanyalah Allah. Dia menerangkan yang
sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik.

Surat Al-Maidah ayat : 49,
'Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang di turunkan
Allah, dan janganlah kamu menuruti hawa naIsu mereka.

Mengenai siapakah yang menjadi hakim terhadap mukallaf sebelum Rasul itu diutus masih di
perselisihkan. Para ulama mu9a:ilah berpendapat bahwa sebelum Rasul diutus, akal
memberitahukan tentang hukum-hukum tuhan.
Berdasarkan akal, manusia dapat mengetahui baik atau buruknya perbuatan karena zatnya
atau karena siIatnya. Oleh karena itu, wajiblah oleh para mukallaf mengerjakan apa yang
dipandang baik oleh akal dan meninggalkan apa yang dipandang buruk oleh akal.

Golongan Asyariyah berpendapat bahwa sebelum datang syarat, tidak ada hukum terhadap
perbuatan-perbuatan mukallaf. Tegsanya, tidak diharamkan kekuIuran dan tidak diwajibkan
keimanan.
7
Golongan u9a:ilah dan golongan Asyariyah sependapat menetapkan bahwa akal dapat
mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk dalam dua perkara.
a. Dalam persoalan persesuaiannya sesuatu dengan tabiat dan dalam soal ketiadaannya
persesuaiannya dengan tabiat. ang bersesuaian dengan tabiat dipandang baik oleh akal,
sedangkan sebaliknya tiada bersesuaian dengan tabiat, dipandang buruk oleh akal.
b. SiIat-siIat kesempurnaan dan siIat-siIat kekurangan buruk pada akal.

Dan adapun perselisihan antara keduanya adalah mengenai apakah perbuatan itu menjadi
tempat bergantung pahala dan siksa atau tidak ? Golongan u9a:ilah berpendapat bahwa pahala
dan siksa bergantung pada perbuatan walaupun syariat belum menerangkannya. Adapun
golongan jumhur berpendapat bahwa manusia tidak disiksa dan tidak diberi pahala sebelum
datang syara walaupun akalnya dapat mengetahui baik buruknya perbuatan. Namun dalam hal
yang lain, kedua golongan sependapat bahwa akal dapat mengetahui mana yang baik dan mana
yang buruk.
Diantara dalil-dalil yang digunakan oleh kedua Iaham tersebut adalah :
Faham Asyariyah, Iirman allah yang artinya : 'Dan tidaklah kami mengazabkan suatu umat
sehingga kami bangkitkan Rasul. Al-Isra` : 15)
Faham u9a:ilah, Iirman Allah yang artinya : 'Katakanlah olehmu, tiada bersamaan yang
buruk dengan yang baik. Al-Maidah : 100)

Pengertian diatas bahwa perkiraan dan pembalasan yang adil adalah menurut amal pada jiwa.
Orang yang mencemarkan jiwanya tidaklah dapat dipandang sama dengan orang yang
menyucikan jiwanya disisi Allah.
Bagi orang yang mempelajari Al-Quran dengan sebaik-baiknya, memahami hukum-
hukumnya, dan menyelami hikmah-hikmahnya, yakinlah bahwa :
'Agama merupakan suatu undang-undang ketuhanan yang tak dapat diperoleh akal dengan
kekuatannya sendiri, hanya diperoleh dengan perantaraan wahyu.
Ia meyakini juga bahwa :
'Agama itu sesuai dengan undang-undang fi9rah dalam menyucikan jiwa dan menyiapkan
jiwa untuk hidup abadi di alam kudus.

8
Para ulama ushul fiqh membedakan pengertian Al-Hakim berdasarkan yang menemukan,
memperkenalkan, dan menjelaskan hukum, sbb:
1. Setelah kebangkitan Muhammad SAW sebagai Rasul dan sampainya dakwah islam kepada
masyarakat.
Dalam hal ini ulama ushul fiqh sependapat, bahwa hakim adalah syariat yang turun dari
Allah yang dibawa oleh Rasulullah.

2. Sebelum Muhammad SAW diangkat sebagai Rasul.
Dalam hal ini terdapat dua perbedaan ulama tentang siapa yang menemukan,
memperkenalkan, dan menjelaskan hukum. Sebagian ulama Ahlussunnah Walfamaah, tidak
ada hakim dan tidak ada hukum syar`i sebelum Muhammad SAW.
Ulama u9a:ilah mengatakan bahwa hakim adalah Allah Ta`ala, tetapi akal mampu
menemukan hukum-hukum Allah dan menyingkapkan serta menjelaskannya sebelum
datangnya syara. ang dikenal dengan istilah At-Tahsin wa At-Taqbih) yaitu menyatakan
sesuatu itu baik dan buruk.

9
. MAHKUM IH / FIIH

Mahkum bih / Iiih adalah perbuatan mukallaI yang berhubungan dengan hukum syar`i.
Mahkum Iiih terdiri dari :
Wajib ijab)
Sunnah nadb)
Haram tahrim)
Makruh
Mubah ibadah)

Macam-macam mahkum bih / mahkum Iiih
a. Dari segi keberadaan secara material dan syara terdiri dari :
1. Perbuatan yang tidak terkait dengan syara. Contoh, makan, minum, bermain, dsb.
2. Perbuatan yang terkait dengan hukum syara. Contoh, zina, pencurian. Adanya hukum
syara` yaitu hudud dan qisas.
3. Perbuatan yang akan terkait dengan hukum syara apabila telah memenuhi rukun dan
syarat. Contoh, shalat zakat, dsb.
4. Perbuatan yang terkait juga dengan syara dan mengakibatkan adanya hukum syarat yang
lain. Contoh, nikah, jual beli, sewa-menyewa. Adanya muncul hukum syara yang lain
seperti halalnya hubungan suami-istri, kewajiban naIkah, pindahnya hak milik dalam jual
beli dsb.

b. Dari segi hak yang terdapat dalam perbuatan itu.
Semata-mata hak Allah, yaitu segala yang menyangkut dunia tanpa kecuali. Menurut ulama
ushul fiqh ada 8 macam, yaitu :
1. Ibadah Mahdah murni), seperti rukun iman dan islam.
2. Ibadah yang mengandung makna bantuan / santunan. Seperti zakat Iitrah, disyaratkan
niat dalam zakat Iitrah, dan kewajiban zakat itu berlaku untuk semua orang.
3. Bantuan / santunan yang mengandung makna ibadah. Seperti zakat hasil yang
dikeluarkan dari bumi.
10
4. Biaya / santunan yang mengandung makna hukuman. Seperti kharaf pajak bumi) yang
dianggap sebagai hukuman bagi orang yang tidak berjihad.
5. Hukuman secara sempurna dalam berbagai tindak pidana, seperti hukuman berbuat zina
dera atau rajam), pencurian potong tangan), dan tindak pidana ta`zir).
6. Hukuman yang tidak sempurna, seperti seorang tidak diberi hak waris atau wasiat karena
ia membunuh pemilik harta tsb.
7. Hukuman yang mengandung makna ibadah, seperti kaIIarat zhihar, kaIIarat sumpah,
kaIIarat orang yang senggama di siang hari bulan ramadhan dan berbagai diyat lainnya.
8. Hak-hak yang harus dibayarkan, seperti mengeluarkan
1
/
5
harta terpendam dan harta
rampasan perang.

Syarat-syarat Mahkum Bih / Fiih
1. ukallaf mengetahui secara sempurna tentang perbuatan yang akan dilakukan, tujuannya
jelas dan dapat dilakukan.
2. ukallaf mengetahui dengan baik sumber 9aklif perbuatan yang akan dilakukan sehingga
pelaksanaannya merupakan keta`atan terhadap titah Allah.
3. Perbuatan yang mungkin akan dilakukan atau ditinggalkan.
Jumhur ulama ushul fiqh.
Tidak ada takliI terhadap sesuatu yang mustahil, baik dilihat dari zat ataupun dari luar
zat itu. 'Allah tidak akan membebankan hukum 9aklif) terhadap sesuatu yang tidak
dapat dikerjakan. Q.S. Al-Baqarah : 286 dan At-Thalak : 7)
Para ushul fiqh menyatakan tidak sah hukumnya bagi seseorang melakukan 9aklif atas
nama yang lain, karena 9aklif bukan kepada dirinya, seperti zakat.
Tidak sah menurut syara` membebankan perbuatan yang bersiIat fi9ri. Contoh, sikap
marah, benci, takut, cinta. Perbuatan ini menurut ulama ushul fiqh bukan atas ikhtiar
dan kehendak manusia, maka tidak ada 9aklif untuk perbuatan diatas.
Tercapainya syarat 9aklif tersebut, seperti syarat imam.
Persoalan yang popular yang berbeda pendapat ulama ushul fiqh adalah 'Apakah
orang kaIir dibebani 9aklif untuk melaksanakan hukum syara, sekalipun dalam
masalah keimanan mereka dibebani 9aklif.
11
Menurut jumhur ulama, terdiri atas Asyariyah, u9a:ilah dan sebagian ulama
Hanafiyah. Orang kaIir dituntut dengan alasan bahwa seluruh ayat takliI bersiIat
umum untuk seluruh manusia, tanpa beda kaIir dan muslim.

Dari syarat ketiga diatas, yaitu perbuatan 9aklif ada kemungkinan dikerjakan atau
ditinggalkan, sehingga ulama ushul fiqh membagi masyaqqah atas dua bentuk :
1. asyaqqah u9adah kesulitan biasa dan dapat diduga)
Adalah kesulitan yang dapat diatasi tanpa membawa mudarat bagi manusia itu.
Contoh, shalat melelahkan, puasa menimbulkan rasa lapar, tapi dapat diatasi
sebagai kepatuhan.
2. asyaqqah hair u9adah kesulitan diluar kebiasaan sulit diduga)
Adalah kesulitan yang tidak dapat diatasi karena dapat mengancam jiwa manusia.





12
MAHKUM ALAIH

1. Pengertian Mahkum Alaih

Menurut ulama Ushul fiqh mahkum alaih adalah seorang yang perbuatannya dikenai
khi9bah Allah ta`ala, yang disebut dengan mukallaf.
Secara teknologi mukallaf berarti yang dibebani hukum. Secara ushul fiqh mukallaI
adalah mahkum alaih subjek hukum).
ang dikatakan orang mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak
hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah maupun dengan larangan-Nya.

2. Dasar TakliI

Seorang manusia belum dikenakan 9aklif pembebanan hukum) sebelum ia cukup untuk
bertindak hukum. Menurut para ulama Ushul fiqh mengatakan bahwa dasar pembebanan
hukum adalah akal dan pemahaman.

3. Syarat-syarat TakliI

Syarat sah 9aklif memberi beban kepada mukallaf, yaitu : mukallaf dapat memahami dalil
9aklif, yaitu mampu memahami nash yang dibebankan dari Al-Quran da As-Sunnah secara
langsung atau melalui perantara.

13
DAFTAR PUSTAKA



1. Abdussami Ahmad Imam, i9abul ufa: fil Fiqhil uqarin. Maktabah wal Tabah wal
Matbaah Muhammadiyah, Kairo, tanpa tahun.

2. Ahmad Syarasytani, Al-ilal wan Nihal MustaIa Al-Halabi, Kairo, tanpa tahun.

3. Abdussalam Madkur, adkhalul Fiqhil Islam. Darul Qaumiayah lit Tabaati wan Nasyar,
Kairo, tanpa tahun.

4. Al-HanaIie, Ushul fiqh, Wijaya, Jakarta, 1961.
Abdul Wahab KhalaI, Ilmu Ushul fiqh, Majlisul Ala Al-Indunisi lid Dakwati Islamiyah,
Jakarta, 1972.
14

You might also like