You are on page 1of 9

BAB I

PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Di Indonesia aborsi merupakan salah satu isu yang menarik untuk diteliti
karena meskipun oleh hukum dilarang, tetapi praktek aborsi di Indonesia, baik oleh
dokter, bidan, maupun dukun tergolong tinggi, dan cenderung meningkat dari tahun
ke tahun. Namun Negara belum menyediakan solusi di masyarakat untuk perempuan
yang mengalami Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD), terutama perempuan yang
belum menikah (kebanyakan remaja) yang tidak ingin meneruskan kehamilannya.
Tetapi solusi seperti ini tidak tersedia. Perempuan seperti ini segera mendapatkan
stigma dan dikucilkan dari keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Kesenjangan antara norma hukum yang berkaitan dengan aborsi yang berisi
larangan-larangan dan sanksi pidana dengan Ienomena aborsi yang cenderung
meningkat di dalam masyarakat jelas memperlihatkan banyak pelanggaran hukum
tentang aborsi di Indonesia. Oleh karena itu hukum pidana tentang aborsi seharusnya
bersikap lebih adil terhadap perempuan dengan memberikan berbagai solusi berupa
shelter (perlindungan) yang secara psikologis menjamin rasa aman bagi perempuan
yang menderita karena KTD sehingga mereka tidak menempuh jalan pintas dengan
melakukan aborsi yang dilarang oleh hukum di Indonesia.
Negara Indonesia dengan ketentuan hukum aborsi yang melarang aborsi tanpa
pengecualian di dalam KUHP dan hanya membolehkan aborsi dengan persyaratan
yang rumit berdasarkan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
(UUK), jelas menunjukkan bahwa negara belum memikirkan tentang nasib
perempuan yang mengalami KTD. Kondisi ini mendorong perempuan yang
mengalami problem semacam itu cenderung mencari penolong yang tidak aman dan
tidak bertanggung jawab dengan biaya tinggi.
Menarik untuk dikaji apakah Pertauran perundang-undangan yang ada
mengena aborsi telah sesuai dengan unsur-unsur perubahan yang ada dalam
masyarakat yng berkembang dengan pesat.

II.2 Permasalahan
agaimana pengaturan hukum tentang aborsi yang dimungkinkan atau
seharusnya berlaku di Indonesia?


BAB II
PEMBAHASAN

Meskipun aborsi banyak terjadi di dalam masyarakat, namun hanya sedikit
kasus aborsi yang diproses di pengadilan. Hal ini menunjukkan kebenaran apa yang
dikemukakan oleh Packer bahwa aborsi dapat dikategorikan sebagai 'victimless
crime` (kejahatan tanpa korban) karena tidak ada yang mengadu, sulit dideteksi, tidak
merugikan orang lain, maka sanksi pidananya dapat dilupakan.
Fenomena yang demikian itu pernah dikemukakan pula oleh Wilson dan
Herrnstein bahwa aborsi mungkin sangat bermanIaat sehingga begitu banyak
perempuan melakukannya meskipun oleh hukum dilarang. Tampaknya aborsi
merupakan perbuatan yang disepakati, dengan demikian sulit dideteksi karena
akan ditutup rapat-rapat oleh perempuan dan tenaga medis atau dukun yang
melakukannya. agi perempuan aborsi akan membantu menghilangkan aib
apabila kehamilan itu karena kecelakaan seksual, dan bagi tenaga medis atau
dukun aborsi dapat membawa keuntungan secara ekonomis karena mereka sering
memasang tariI yang tinggi untuk mengerjakannya.
Sulit dideteksinya aborsi menyebabkan tidak berdayanya perundang-undangan
tentang aborsi dan menimbulkan kevakuman hukum yang berkaitan dengan
aborsi. Kevakuman hukum yang berkaitan dengan aborsi ini telah menyebabkan
pelaksanaan aborsi pada usia dini dengan menggunakan teknologi kesehatan
moderen dapat dilakukan dengan aman dan lambat laun menjadi kebiasaan dan
dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Keadaan yang demikian ini merupakan
salah satu Iaktor yang telah mendorong dibuatnya RUU Amandemen UUK yang
bertujuan melegalkan aborsi aman di samping RUU KUHP yang tetap mengacu
pada UUK.
KUHP Indonesia yang sekarang berlaku berasal dari Wetboek van Strafrecht
(W.v.S.) Nederland 1881. KUHP yang merupakan warisan zaman kolonial elanda
itu memberikan status hukum ilegal kepada aborsi karena melarang aborsi tanpa
pengecualian. Ketentuan tersebut berlaku umum bagi siapa pun yang melakukan
aborsi (Lex Generalis) sebagaimana diatur dalam Pasal 346 s.d. Pasal 349. ahkan
bagi dokter, bidan, juru obat yang membantu melakukan aborsi diberikan pemberatan
pidana berdasarkan Pasal 349.
Apabila dikaji dari segi yuridis penghentian kehamilan pada usia kehamilan 7
minggu dengan alasan apapun dilarang oleh KUHP, sedangkan UUK hanya
membolehkan dilakukannya aborsi dalam keadaan darurat berdasarkan indikasi medis
untuk menyelamatkan jiwa ibu. Hal ini berarti penghentian kehamilan yang dilakukan
pada usia kehamilan dini dengan mengunakan teknologi kesehatan moderen berada
di luar jangkauan penegakan hukum (area of law enforcement) karena antara
perempuan dan dokter/tenaga medis telah terjalin kerjasama yang rapih dan sepakat
untuk benar-benar merahasiakan praktik tersebut sehingga sulit dideteksi.
Ketika UUK dibuat, sentimen politis pada saat itu memang belum bersedia
menerima perempuan untuk dilihat sebagai individu yang mandiri dalam hal
kesehatan reproduksi atau bahkan kesehatan reproduksi itu sendiri di Indonesia belum
dilihat sebagai satu entitas masalah kesehatan tersendiri. Oleh karena itu di dalam
undang-undang tersebut masalah kesehatan reproduksi hanya sedikit yang diatur, itu
pun dimasukkan di dalam bab Kesehatan Keluarga. ahkan kesehatan reproduksi
perempuan yang tidak mempunyai ikatan keluarga (tidak menikah) samasekali tidak
diatur. Yang diatur adalah kesehatan perempuan yang terikat pada pernikahan seperti
terlihat dalam Pasal 14 yang berbunyi: Kesehatan istri meliputi kesehatan pada masa
pra kelahiran, kehamilan, persalinan, pasca persalinan dan masa di luar persalinan.
Jika dikaitkan dengan Pasal 13, maka perhatian terhadap perempuan (istri) ini adalah
untuk: Mengatur kelahiran dalam rangka menciptakan keluarga yang sehat dan
harmonis.
UUK Indonesia dapat digolongkan dalam hukum yang membolehkan aborsi
dengan syarat yang rumit karena keadaan darurat merupakan kata kunci untuk
menggugurkan kandungan dalam upaya menyelamatkan jiwa ibu hamil dikaitkan
dengan empat persyaratan yang harus dipenuhi sebagaimana ditentukan di dalam
Pasal 15 ayat (2) dan penjelasannya.
Adapun keempat persyaratan itu adalah:
a. Indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut
b. Oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan
untuk itu dan dengan tanggung jawab proIesi serta berdasarkan
pertimbangan tim ahli
c. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau
keluarganya
d. Pada sarana kesehatan tertentu
erdasarkan bunyi Pasal 15 UUK dan penjelasannya di atas, maka dapat
dikatakan bahwa yang berwenang untuk melakukan tindakan medis tertentu yaitu
aborsi dalam keadaan darurat untuk menyelamatkan jiwa ibu adalah seorang dokter
ahli kebidanan dan penyakit kandungan. Selain itu dilarang dan diancam dengan
pidana sebagaimana diatur Pasal 80 ayat (1) dan Pasal 83 UUK.
Selain di dalam KUHP dan UUK, ius constitutum tentang aborsi di Indonesia
terdapat juga di dalam beberapa peraturan perundang-undangan lainnya yang lebih
rendah seperti:
1) PP No. 26 Tahun 1960 tentang LaIal Sumpah Dokter Indonesia,
2) Permenkes RI No. 343/Menkes/SK/X/1983 tentang erlakunya Kode
Etik Kedokteran Indonesia, dan
3) Permenkes RI No. 585/ Men.Kes./Per/IX/ 89 tentang Persetujuan
Tindakan Medik.
us constitutum tentang aborsi di Indonesia cenderung memberikan
perlindungan hukum yang kuat terhadap janin karena KUHP melarang aborsi tanpa
pengecualian (Lex Generalis), sedangkan UUK hanya membolehkan aborsi
berdasarkan indikasi medis dalam keadaan darurat untuk menyelamatkan jiwa ibu
(Lex Spesialis). Namun demikian penegakan hukum (law enforcement) terhadap
kasus-kasus aborsi sangat lemah sehingga jarang sampai ke pengadilan, bahkan
kasus-kasus aborsi pada kehamilan dini berada di luar jangkauan hukum (area of law
enforcement).
Di dalam kenyataan kehidupan masyarakat, aborsi banyak dilakukan bahkan
dalam jumlah yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Fenomena ini ditunjang
oleh kemajuan di bidang teknologi kesehatan yang memungkinkan dilakukannya
aborsi secara aman sesuai dengan konsep aborsi aman yang telah disusun. Sebagai
upaya untuk melestarikan pelaksanaan aborsi aman yang secara sosiologis telah
diterima di kalangan masyarakat, telah disusun RUU Amandemen UUK yang
bertujuan untuk melegalkan aborsi aman. Reaksi masyarakat terhadap adanya konsep
aborsi aman dan RUU Amandemen UUK terbelah dua, ada yang pro dan ada yang
kontra karena masing-masing mempunyai persepsi yang berbeda mengenai konsep
aborsi aman dan juga mempunyai tuntutan yang berbeda mengenai hukum yang
berkaitan dengan aborsi. Oleh karena itu diperlukan pihak yang netral seperti
kelompok sarjana dan tokoh agama yang dapat memberikan evaluasi dan penilaian
tentang bagaimana hukum pidana yang berkaitan aborsi yang dimungkinkan atau
seharusnya berlaku di Indonesia. Kelompok sarjana dan tokoh agama berdasarkan
pengalaman empiris dapat memberikan beberapa persyaratan tertentu sebagai
pengecualian untuk melakukan aborsi aman.
TaIal dkk. mengemukakan, aborsi pada umumnya disebabkan karena KTD.
Hamil atau mengandung bagi kebanyakan orang menjadi peristiwa yang sangat
dinanti-nantikan, tetapi bagi sebagian kecil lainnya merupakan peristiwa yang tidak
diinginkan. anyak sekali Iaktor yang menyebabkan seorang perempuan atau
keluarga yang tidak menginginkan kehamilan. Faktor atau alasan yang sering muncul
untuk menolak kehamilan antara lain: Telah punya banyak anak; Terlalu tua untuk
hamil; Mengidap sakit jiwa; Cacat bawaan pada janin; Kondisi ekonomi yang tidak
memungkinkan untuk melanjutkan kehamilan; Kehamilan di luar nikah; Suami
meninggal ketika hamil; Pasangan tidak bertanggung jawab atas kehamilannya; Hamil
akibat peristiwa perkosaan; Hamil karena 'incest` atau hamil karena keluarga dekat;
Kegagalan alat kontrasepsi keluarga berencana; Perempuan/ibu yang mengandung
mengidap penyakit yang membahaya-kan/berat/menahun; Ketidak siapan perempuan
secara psikologis atau sosial untuk hamil.
Kecenderungan meningkatnya jumlah aborsi yang dilakukan dalam kehidupan
masyarakat disebabkan oleh berbagai Iaktor sebagai berikut:
1)Pertumbuhan jumlah penduduk akan meningkatkan jumlah absolut permintaan
pengguguran, meskipun prosentase peningkatannya tidak berarti.
2)Terjadi peningkatan kesempatan bekerja, terutama bagi kaum wanita.
Perkembangan ekonomi Indonesia yang menuju ekonomi industri melalui
ekonomi manuIaktur akan secara cepat meningkatkan jumlah wanita muda
dapat diserap sebagai tenaga kerja. Mereka akan hidup di luar lingkungan
keluarga dan hidup mandiri.
3)Terjadi peningkatan usia kawin karena makin terbukanya kesempatan mengikuti
pendidikan yang lebih tinggi, baik bagi kaum wanita maupun pria. Secara
biologis mereka sudah menginjak masa kehidupan seksual yang aktiI.
Hubungan seks di luar nikah akan meningkat, karena terutama dipacu oleh
sarana hiburan yang menawarkan kehidupan seks.
4)Gencarnya pelaksanaan program K yang menganjurkan dua anak
sudah cukup. Dengan meningkatnya jumlah perempuan yang menggunakan
kontrasepsi, meningkat pula kegagalan kontrasepsi karena hingga saat ini
belum ada kontrasepsi yang tidak mempunyai resiko gagal, kecuali
menghindari hubungan seksual.
5)Meningkatnya jumlah kehamilan di luar nikah akibat perubahan cara
pergaulan di kalangan remaja dan orang muda yang dipengaruhi oleh
media, terutama Iilm serta video. Dengan bertambah bebasnya pergaulan
di kalangan remaja, KTD akan lebih banyak. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa KTD lebih banyak disebabkan kerena kurangnya
pengetahuan dan ketidaksiapan menghadapi kebebasan dalam pergaulan
antar jenis kelamin. Kebanyakan dari mereka tidak memahami perubahan-
perubahan yang terjadi dalam tubuh atau tidak memahami bagaimana
kehamilan bisa terjadi. Rata-rata usia mereka adalah 15 s.d. 20 tahun serta 78
persen di antaranya masih bersekolah.
Di Indonesia, sejak diberlakukannya KUHP yang diadopsi dari KUHP
elanda 1881 berdasarkan UU No. 1 Tahun 1946, ketentuan hukum tentang aborsi
menganut model larangan (model of prohibition) karena aborsi dilarang tanpa
pengecualian sebagaimana diatur di dalam Pasal 346 s.d. 349 KUHP yang merupakan
kopi atau turunan dari Pasal 295 s.d. 298 KUHP elanda 1881. Kemudian model
larangan yang dianut di dalam KUHP ini disempurnakan dengan adanya pengecualian
setelah dikeluarkannya UUK meskipun hanya terbatas pada alasan medis untuk
menyelamatkan jiwa ibu dalam keadaan darurat. Oleh karena itu hukum pidana yang
berkaitan dengan aborsi atau ius constitutum tentang aborsi di Indonesia tergolong
dalam hukum yang paling konservatiI dan keras terhadap aborsi karena melarang
aborsi kecuali untuk menyelamatkan jiwa ibu.
Namun setelah ! Kairo 1994 WW eijing 1995,Pemerintah merancang
RUU Amandemen UUK yang kontradiktiI dengan RUU KUHP dalam hal pengaturan
hukum tentang aborsi. RUU KUHP yang mulai digodok sejak tahun 1964 dan dalam
hal pengaturan tentang aborsi mengacu pada UUK yang hanya membolehkan aborsi
berdasarkan indikasi medis untuk menyelamatkan jiwa ibu dalam keadaan darurat,
sedangkan RUU Amandemen UUK yang mengacu pada kesepakatan ! Kairo
1994 tentang hak reproduksi perempuan secara implisit melegalkan aborsi karena
membolehkan aborsi aman, bermutu dan bertanggung jawab untuk menghindarkan
perempuan yang mengalami KTD dari praktek aborsi tidak aman yang sering
merenggut jiwa perempuan.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa dalam menghadapi perkembangan
kehidupan masyarakat Indonesia sekarang ini ada dua pilihan ius constituendum
tentang aborsi yang dimungkinkan. Pertama, ketentuan yang hanya membolehkan
aborsi berdasarkan indikasi medis untuk menyelamatkan jiwa ibu dalam keadaan
darurat sebagaimana diatur di dalam UUK tetap dipertahankan dengan kewajiban
untuk melengkapinya dengan PP sebagaimana diamanatkan Pasal 15 ayat (3) UUK.
Ketentuan ini akan diacu oleh RUU KUHP. Kedua, mengesahkan RUU Amandemen
UUK yang memuat ketentuan yang pada dasarnya melegalkan aborsi aman
berdasarkan permintaan perempuan yang mengalami KTD karena mengacu pada
kesepakatan ! Kairo 1994 tentang hak reproduksi.
Melalui analisis para sarjana dan tokoh agama mengenai ius constitutum
berkaitan dengan aborsi dan konsep aborsi aman memperlihatkan kecenderungan
untuk menolak disahkannya RUU Amandemen UUK dan tetap mempertahankan
UUK yang perlu dilengkapi dengan PP sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 15 ayat
(3). Di dalam PP tersebut perlu diatur tentang pertimbangan khusus secara kasuistis
oleh tenaga medis yang mempunyai kewenangan berdasarkan standar proIesi bahwa
kasus-kasus seperti kehamilan akibat perkosaan dan incest, perempuan yang
mengidap penyakit jiwa, dan janin yang menderita cacat bawaan berat benar-benar
termasuk dalam kategori darurat sehingga dapat dilakukan aborsi aman dalam bentuk
abortus provocatus therapeuticus/medicinalis yang dibolehkan oleh UUK.
Dari analisis tersebut di atas dapat dikemukakan bahwa baik secara yuridis
maupun sosiologis RUU Amandemen UUK tidak dapat diterima sebagai ius
constituendum berkaitan dengan aborsi yang dimungkinkan/seharusnya berlaku dalam
menghadapi perkembangan masyarakat Indonesia sekarang ini. Sebaliknya UUK
yang dilengkapi dengan PP yang mengatur tentang dibolehkannya aborsi aman
berdasarkan kondisi darurat, tidak hanya pada kasus untuk menyelamatkan jiwa ibu,
tetapi juga dalam kasus-kasus seperti: kehamilan akibat perkosaan dan incest,
perempuan yang mengidap penyakit jiwa, dan janin yang menderita cacat bawaan
berat dapat dilakukan aborsi aman dalam bentuk abortus provocatus
therapeuticus/medicinalis yang dibolehkan oleh UUK, merupakan ius constituendum
berkaitan dengan aborsi yang dimungkinkan/seharusnya berlaku dalam menghadapi
perkembangan kehidupan masyarakat Indonesia sekarang ini.


BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Pengaturan hukum tentang aborsi yang dimungkinkan/seharusnya berlaku
adalah tetap dipertahankannya UUK yang dilengkapi dengan PP yang mengatur
tentang dibolehkannya aborsi aman berdasarkan kondisi darurat, tidak hanya pada
kasus untuk menyelamatkan jiwa ibu dalam keadaan darurat, tetapi juga dalam kasus-
kasus seperti: kehamilan akibat perkosaan dan incest, perempuan yang mengidap
penyakit jiwa, dan janin yang menderita cacat bawaan berat.

III.2 Saran
Pemerintah sebaiknya membuat PP yang diamanatkan oleh Pasal 15 ayat (3)
UUK dengan mengatur tentang dibolehkannya aborsi aman berdasarkan indikasi
medis dalam kondisi darurat, tidak hanya terbatas pada kasus untuk menyelamatkan
jiwa ibu dalam keadaan darurat, tetapi juga pada kasus-kasus seperti:
kehamilan akibat perkosaan dan incest, perempuan yang mengidap penyakit jiwa,
dan janin yang menderita cacat bawaan berat.

DAFTAR PUSTAKA
Andari, .D., Rohmaniah, L., Atmoko, .R., Cahyawati, N.E., dan
Aditomo, A., 2005. borsi dalam !erspektif Lintas gama, . D. Putranti
(ed), Yogyakarta: Kerja sama Ford Foundation dengan Pusat Studi
Kependudukan dan Kebijakan , UGM.
ertens, K. 2002. borsi Sebagai Masalah Etika, Jakarta: Penerbit PT
Gramedia Widiasarana Indonesia.
Koeswadji, H. H. 1998. ukum Kedokteran (Studi Tentang ubungan
ukum alam Mana okter Sebagai Salah Satu !ihak),andung: Penerbit
PT Citra Aditya akti.
Poernomo, . Tanpa tahun. ukum Kesehatan, Yogyakarta: Aditya Media.
Dr. Drs. Paulinus Soge, SH., Mhum., 2010, ukum borsi , Tinfauan
!olitik ukum !idana Terhadap !erkembangan ukum borsi di
ndonesia, Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya.

You might also like