You are on page 1of 36

PERLAKUAN SILASE DAN AMONIASI DAUN KELAPA SAWIT SEBAGAI BAHAN BAKU PAKAN DOMBA SILAGE AND AMONIASE

TREATMENT OF OIL PALM FROND AS FEED FOR SHEEP NEVY DIANA HANAFI Fakultas Pertanian Program Studi Produksi Ternak Universitas Sumatera Utara PENDAHULUAN Latar Belakang Makanan merupakan salah satu faktor penentu utama yang mempengaruhi keberhasilan suatu usaha peternakan. Ketersediaan bahan makanan ternak akhirakhir ini terasa semakin terbatas. Hal ini disebabkan antara lain oleh meningkatnya harga bahan baku makanan ternak, dan semakin menyusutnya lahan bagi pengembangan produksi hijauan akibat penggunaan lahan untuk keperluan pangan dan tempat pemukiman. Oleh karena itu, perlu dicari sumber daya baru yang potenisal untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak alternatif yang mampu menggantikan sebagian atau seluruh hijauan serta dapat mengurangi ketergantungan kepada penggunaan bahan konsentrat yang sudah lazim digunakan. Sumber daya tersebut seyogyanya tersedia dalam satu tempat dalam jumlah banyak, sehingga untuk memperolehnya tidak membutuhkan biaya besar. Berbagai hasil ikutan pertanian dapat dijadikan sebagai sumber baru bahan makanan ternak baru, misalnya limbah pertanian, termasuk perkebunan. Namun demikian, limbah perkebunan maupun pertenrakan mempunyai keterbatasan, antara lain bersifat amba dan bersifat kasar tinggi. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengolahan ataupun perlakuan terhadap limbah tersebut, agar dapat dikonsumsi atau dapat dijadikan makanan ternak yang potenisal. Ada beberapa pengolahan yang dapat dilakukan yaitu pengolahan biologis, dan kimiawi, masing-masing teknik fermentasi dan teknik amoniasi untuk membuat silase. Salah satu limbah perkebunan yang dapat dimanfaatkan adalah daun kelapa sawit yang berasal dari pemangkasan pelepah daun kelapa sawit. Dari satu pelepah daun kelapa sawit dapat dihasilkan 3,333 kg daun kelapa sawit segar dengan kandungan bahan kering mencapai 35% (Ishida dan Hassan, 1992). Daun kelapa sawit dapat langsung diberikan kepada ternak maupun diproses terlebih dahulu seperti dengan melakukan silase maupun dengan perlakuan amoniasi. Hal ini dapat mengurangi dampak pencemaran lingkungan dan dapat menambah persediaan bahan makanan ternak. Perlakuan dengan silase sangat diraskan keuntungannya karena lebih aman dan meningkatkan nilai nutrisi yang lebih baik serta mengawetkan limbah pertanian. Kandungan bahan kering, protein kasar dan kecernaan daun kelapa sawit yang telah dibuat silase dengan penambahan urea menjadi lebih meningkat dibandingkan tanpa pemakaian urea dan kecernaan bahan kering akan meningkat 45% terutama bila diberikan pada sapi (Ishida dan Hassan, 1992). Keuntungan lain dengan perlakuan amoniasi terutama dengan penggunaan urea, adalah selain pengerjaannya mudah, juga dapat meningkatkan kualitas dari pakan. Penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan informasi dasar dalam memasyarakatkan penggunaan limbah kelapa sawit untuk menunjang kebutuhan

2004 Digitized by USU digital library

pakan ternak ruminansia serta memberikan peluang kepada perkebunan kelapa sawit untuk menjadi sentra produksi domba dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia, seperti lahan yang luas dan bahan pakan yang melimpah.

Tujuan 1. Untuk mempelajari pengaruh perlakuan biologis dan kimiawi terhadap kualitas daun kelapa sawit sebagai ransum domba. 2. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan biologis dan kimiawi daun kelapa sawit sebagai komponen ransum domba. 3. Untuk mengetahui manfaat campuran pemberian konsentrat sebagai komponen ransum domba. Kegunaan Untuk mendapatkan teknologi pemanfaatan limbah padat perkebunan kelapa sawit sebagai ransum domba dalam rangka pengembangan usaha domba berwawasan agrobisnis berbasis perkebunan kelapa sawit. Hipotesis 1. Proses pembuatan silase dan amoniasi meningkatkan kualitas daun kelapa sawit sebagai ransum domba. 2. Perlakuan biologis dan kimiawi dapat memberikan manfaat dan disenangi sebagai komponen ransum domba. 3. Pemberian konsentrat meningkatkan pemanfaatan daun kelapa sawit yang diproses secara biologis, kimiawi ataupun segar.

TINJAUAN PUSTAKA Kelapa Sawit Indonesia merupakan negara produsen kelapa sawit sejak tahun 1911, dengan areal seluas 170 ribu ha. Pada Pelita IV perluasannya sudah mencapai 556.549 ha (Tim Penulis PS 1998). Diperkirakan bahwa produksi berkisar antara 12,5 27,5 ton tandan buah segar per ha per tahun (Coan, 1965). Dari seluruh produksi tandan buah sawit ini hanya sekitar 22,1% berupa hasil utama (minyak sawit 20%, dan minyak inti sawit 2,1%). Sekitar 2,2% berupa hasil ikutan (bungkil inti sawit) dan selebihnya yaitu 75,7% berupa limbah, antara lain tandan buah kosong (fresh Empty bunch), serat perasan buah (Palm Press fiber) dan lumpur minyak sawit (Palm Oil Suldge). Aritonang (1984) melaporkan bahwa semua bahan ini dapat digunakan sebagai komponen ransum ternak. Selain tandan buah kosong, daun kelapa sawit juga dapat dimanfaatkan sebagai pakan domba.

2004 Digitized by USU digital library

Potensi dan Nilai Gizi Daun Kelapa Sawit. Daun kelapa sawit merupakan limbah padat perkebunan kelapa sawit yang cukup banyak terutama di Indonesia khususnya Sumatara Utara dan Riau. Dari satu hektar lahan diperkirakan dapat dihasilkan 6400 7500 pelepah per tahun. Daun kelapa sawit mengandung serat, N, bahan organik dalam jumlah yang cukup untuk mendukung pemeliharaan domba. Beberapa parameter teknis yang disajikan pada Tabel 1 (Devendra, 1990) menunjukkan potensi kuantitatif daun kelapa sawit sebagai pakan ternak. Tabel 1. Data Pemangkasan dan Pengumpulan pada Daun Kelapa Sawit. Kegiatan Siklus pemangkasan (hari) Jumlah daun tiap pemangkasan Berat dari satu pelepah (kg) Satu pelepah : 1/3 leaflet (kg) 2/3 petiole (kg) Hasil dari 1 ha pada perkebunan kelapa sawit (pohon/acre) Jumlah 14 3 10 3.33 6.67 148/55-60

Lanjutan Tabel 1. Data Pemangkasan dan Pengumpulan Daun Kelapa Sawit. Kegiatan (kg Jumlah dari pemangkasan pelepah daun kelapa sawit siklus 14 hari/ha (kg) Jumlah pemangkasan pelepah daun Kelapa sawit /bulan/hektar). Kandungan bahan kering pada pelepah daun kelapa sawit segar (%). Jumlah pemangkasan pelepah daun kelapa sawit /bulan/ha pada bahan kering. Sumber : Hassan dan Ishida, 1991 Kandungan zat-zat gizi makanan dari daun kelapa sawit yang dirangkum dari beberapa sumber disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Komposisi Kimia Daun Kelapa Sawit Sumber Ishida dan Abu Hassan (1992) Abu Hassan dan Ishida (1991) CP 4.2 4.7 CF 38.5 Komposisi Bahan Kering (%) NDF 69.5 78.7 ADF 50.9 55.6 EE 2.0 2.1 Ash 4.7 3.2 NCFE 22.3 ME(MJ/kg) 5.65 Jumlah

4,440

8,880 35

3,108

Tetapi bila hanya kandungan zat gizi makanan hanya pada daunnya akan terlihat nyata sekali perbedaannya antara lain : CP (14.8%), CF (3.2%), NCFE

2004 Digitized by USU digital library

(6.5%), selulosa (16.6%), hemiselulosa (27.6%), lignin (27,6%), silika (3.8%) (jafat dan Hassan, 1990). Dari data di atas menunjukkan adanya variasi kandungan zat gizi yang cukup besar. Dilihat dari kandungan protein kasar, maka daun kelapa sawit dapat diharapkan sebanding dengan hijauan. Jafar dan Hassan (1990) menyatakan bahwa kandungan lignin, selulosa dan hemiselulosa mempengaruhi kecernaan makanan dan telah diketahui bahwa antara kandungan liginin dan kecernaan bahan kering berhubungan sangat erat terutama pada rumput-rumputan. Lignin dan selulosa sering membentuk senyawa lignoselulosa dalam dinding sel tanaman, lignoselulosa ini merupakan suatu ikatan yang kuat (Sutardi, 1980). Kecernaan serat pakan bukan hanya ditentukan oleh kandungan lignin, tetapi juga ditentukan oleh kuatnya ikatan lignin dengan gugus karbohidrat lainnya (Djajanegara, 1986). Menurut Lubis (1963) kadar serat kasar yang tinggi dapat mengganggu pencernaan zat-zat yang lainnya, akibatnya tingkat kecernaan menjadi menurun. Kadar serat yang tinggi akan menurunkan nilai TDN (Total Digestible Nustrients) dari bahan makanan (Stevenson, 1959). Daun Kelapa Sawit Sebagai Bahan Makanan Ternak Susunan daun tanaman kelapa sawit mirip dengan tanaman kelapa yaitu membentuk susunan daun mejemuk. Daun-daun tersebut akan membentuk suatu pelapah daun yang panjangnya dapat mencapai kurang lebih 7,5 9 m. jumlah anak daun pada tiap pelepah berkisar antara 250 400 helai. Daun muda yang masih kuncup berwarna kuning pucat. Pada tanah yang subur daun cepat membuka sehingga makin efektif menjalankan fungsinya sebagai tempat berlangsung fotosintesa dan juga sebagai alat respirasi. Semakin lama proses fotosintesa berlangsung, maka semakin banyak bahan makanan yang dibentuk sehingga produksi tanaman kelapa sawit meningkat. Tanaman kelapa sawit yang tumbuh normal, pelepah daunnya berjumlah 40 60 buah. Daun tua mulai terbentuk sekitar umur 6-7 tahun. Daun kelapa sawit yang tumbuh sehat dan segar kelihatanberwarna hijau tua (Tim Penulis PS, 1998). Penggunan daun kelapa sawit dalam pakan telah dicobakan pada sapi padaging dan sapi perah. Pada sapi pedaging dan sapi perah, daun kelapa sawit dapat diberikan 30-40% dari makanan (Ishida dan Hassan, 1992). Daun kelapa sawit dapat dikumpulkan, diproses, diawetkan dan dimanipulasi kedalam makanan dalam bentuk yang dapat diterima oleh ternak ruminansia. Hasil penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa daun kelapa sawit dapat diproses kedalam bentuk pelet dan diawetkan kedalam bentuk silase (Jafar dan Hassan, 1990). Kombinasi silase daun kelapa sawit dengan konsentrat kedalam makanan yang komplit pada sapi menghasilkan konsumsi dan pertumbuhan yang baik. Penambahan urea 0 3% pada pembuatan silase dapat diberikan pada ternak sebagai pakan tambahan Hasil analisis kimia menunjukkan bahwa daun sawit tersusun dari 70% serat kasar dan 22% karbohidrat (berdasarkan bahan kering). Karakteristik ini juga menunjukkan bahwa daun sawit dapat diawetkan sebagai silase dan telah diperkirakan bahwa kecernaan bahan kering dapat meningkat 45% dengan pembuatan silase daun kelapa sawit (Hassan dan Ishida, 1991). Hasil penelitian Ishida dan Hassan (1992) pada sapi menunjukkan bahwa penggunaan daun kelapa sawit untuk pengemukan memberikan beberapa keuntungan antara lain : (1) penambahan konsentrat pada daun kelapa sawit disimpan untuk memproduksi karkas; (2) lemak pada karkas dapat diturunkan; (3) produksi daging yang tidak berlemak tidak akan menjadi berkurang dengan pemberian silase 30% dari bahan kering. Pada sapi perah pemberian daun kelapa

2004 Digitized by USU digital library

sawit sampai 30% tidak mempengaruhi rasa pada susu dan dapat dipergunakna untuk produksi susu. Pemanfaatan Hasil Olahan Tandan Buah Segar Bungkil Inti Sawit. Bungkil inti sawit merupakan hasil ikutan pada proses ekstraksi inti sawit. Bahan ini mempunyai gizi yang baik, mengandung asam-asam amino esensial dengan komposis yang baik. Kandungan mineral relatif lebih tinggi, kecuali seng (lebih rendah dibandingkan dengan jagung) Fetuga et al., 1977). Zat makanan yang terkandung di dalamnya cukup bervarias, protein kasar berkisar antara 18 19%. Kandungan serat kasarnya cukup tinggi untuk ternak menogastrik namun sangat baik sebagai pakan tambahan pada ternak ruminansia seperti sapi perah dan kerbau. Pemberian bungkil inti sawit pada ternak akan meningkatkan kandungan lemak susu, kekentalan keju, dan mutu daging. Pemberian bungkil inti sawit pada sapi dapat meningkatkan bobot badan antara 0,6 1 kg/hari dengan tingkat konsumsi antara 4,8 6kg (Babjee, 1986). Serat Perasaan Buah Serat perasan buah (SPB) merupakan limbah yang diperoleh dari buah dalam proses pemerasan. Limbah ini dapat digunakan sebagi bahan bakar dan abunya digunakan sebagai pupuk karena kaya unsur K. sebagai bahan campuran makanan ternak, SPB ini cenderung cocok diberikan kepada ternak ruminansia (seperti sapi, kerbau), karena kandungan serat kasarnya, terutama ligninnya tinggi. Tingkat penggunaan serat dalam pekan sapi dan kerbau adalah 10 20%, sedangkan untuk domba dan kambing 10 15% (jalaludin dan Hutagalung, 1982). Untuk sapi perah, SPB dapat diberikan sebagai pengganti rumput disertai dengan pemberian molases, urea, mineral, dan vitamin. Menurut Hassan dan Ishida (1991) SPB dapat digunakan sebagai makanan ruminansia walaupun nilai kandungan gizi rendah. Serat perasan buah yang dapat diberikan lebih kurang 20% dari total ransum, karena jika lebih tinggi akan menghalangi kecernaan khususnya pada pylorus atau omasum. Lumpur Minyak Sawit. Sebagai bahan pakan ternak, lumpur minyak sawit dapat diberikan langsung atau setelah mendapat perlakuan. Lumpur minyak sawit tanpa perlakuan dapat diberikan kepada berapa ternak, seperti pada sapi dan babi. Devendra (1978) melaporkan bahwa domba yang diberi lumpur sawit pada tingkat level 10 sampai 60% menurunkan koefisien cerna bahan kering, bahan organik, protein, serat kasar, lemak, abu, beta-n, energi dan retensi nitrogen menurun secara nyata, namun tidak pada abu. Dilaporkan pula bahwa campuran serat perasan buah dengan lumpur sawit dengan perbandingan 50/50 dan diberikan antara 10 sampai 60% pada domba, menunjukkan bahwa pada taraf 40% daya cerna bahan kering, bahan organik, protein, serat kasar, energi dan retensi nitrogen meningkat. Pemberian diatas 40% mengakibatkan penurunan daya cerna yang tajam, kecuali abu dan energi. Lumpur minyak sawit tanpa perlakuan dapat diberikan pada ransum sampai tingkat 50% dari total konsentrat (Gohl, 1981).

2004 Digitized by USU digital library

Ternak Domba Domba termasuk sub familia Coprinae dan semua domba yang telah diternakkan mengalami domestikasi masuk genus Ovis aries. Di Asia Tenggara domba yang berkembang biak adalah domba berambut dan domba bulu (wool). Di Indonesia hanya domba ekor gemuk yang termasuk kedalam jenis domba berambut, sedangkan jenis lain seperti domba Jawa, domba Sumatera dan domba priangan adalah domba berbulu (Reksohadiprodjo, 1984). Menurut Wodzicka Tomaszewska, et al.(1993) domba mempunyai beberapa keuntungan dilihat dari segi pemeliharaan seperti : (1) cepat berkembang biak, dapat beranak lebih dari satu ekor, dan dapat beranak dua kali setahun; (2) berjalan dengan jarak lebih dekat, sehingga lebih mudah dalam pemeliharaan; (3) pemakan rumput, kurang memilih pakan yang diberikan dan kemampuan merasa kurang tajam, sehingga leibh mudah dalam pemberian pakan; (4) dapat memberikan pupuk kandang dan sebagai sumber keuangan untuk membeli keperluan/kebutuhan pertanian atau untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga yang mendadak (tabungan). Domba adalah ternak ruminansia yang mempunyai perut majemuk dan secara fisiologis sangat berbeda dengan ternak berperut tunggal seperti babi dan unggas. Ternak ini memamah kembali dan mengunyah pakannya (ruminasi) serta telah beradaptasi secara fisiologis untuk mengkonsumsi pakan yang berserat kasar tinggi (rumput dan hijauan tanaman makanan ternak) yang tidak bisa dimanfatkan langsung oleh manusia ternak non ruminansia. Pakan yang bersifat tinggi yang diberikan pada kambing dan domba setelah melalui proses pencernaan dan metabolisme diubah menjadi daging dan susu (Wodzicka Tomaszewska, et al., 1993). Secara fisiologi ternak domba, membutuhkan serat kasar dalam ransumnya. Bahan pakan ini terutama berasal dari hijauan, seperti rumput segar, rumput kering, silase atau jerami dan campuran biji-bijian yang mengandung penambahan mineral dan vitamin. Domba yang sedang bertumbuh atau laktasi membutuhkannya dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan domba yang tidak produktif. Ranting, cabang dari pohon-pohon dan semak-semak yang digunakan sebagai penambahan termasuk kedalam makanan domba yang dapat digunakan selain rumput segar dan kering. Kebutuhan gizi menurut NRC (1985) untuk pertumbuhan dan kebuntingan berkisar antara 35 : 36 15 : 85 (konsentrat : hijauan) dan 10.2 12.8% (protein kasar). Menurut Reksohadiprodjo (1984) kebutuhan energi untuk hidup pokok berkisar antara 93-98 Kkal ME/W kg0.75, atau 18.59 prdd/Mcal ME. Domba Sumatera pada umumnya sangat produktif dan dapat beranak sepanjang tahun. Domba lokal Sumatera dapat beranak 1.82 lai dalam setahun dan dapat memproduksi anak sapihan 2.2 ekor pertahun dengan bobot sapih 21 kg per 22 kg bobot induk. Akan tetapi pada umumny domba Sumatera ini relatif kecil dan tidak memenuhi persyaratan bobot badan ekspor yakni diatas 35 kg. Dari proses persilangan dengan domba St. croix (yang berasal dari Amerika Tengah) diharapkan terbentuk bangsa domba bertipe bulu yang memenuhi prsyaratan eksport dan dapat beradaptasi terhadap lingkungan (Subandriyo, 1995). Pada Tabel 3 dibawah terlihat bawah bobot lahir maupun bobt sapiah anak domba hasil persilangan lebih tinggi dari anak domba lokal Sumatera, meskipun sedikit dibawah rataan anak domba murni St. Croix. Keunggulan dari penampilan anak hasil persilangan tampak bahwa anak mortalitas pra sapih dan jarak beranak relatif lebih rendah dari anak domba murni baik lokal Sumatera maupun St. Croix.

2004 Digitized by USU digital library

Tabel 3. Produktivitas Domba Murni dan Hasil Persilangannya Uraian Bobot induk Bobot pejantan Litter size Rataan bobot lahir (kg) Bobot sapiah (kg) PBB (gr/hari) Lokal Sumatera 16,8 34,6 1,08 1,50 9,2 42,7 St. Croix 17,6 42,6 1,35 2,74 12,8 95,2 Hasil Silang 27,2 Td 1,29 2,02 11,7 69,6

Sumber : Doloksaribu et al., (1995). Komponen Serat dalam Pakan Bahan kering hijauan kaya akan serat kasar, karena terdiri dari kira-kira 20% isi sel dan 80% dinding sel. Dinding sel terutama tersusun dari dua jenis serat yaitu yang laurt dalam detergen asam yaitu hemiselulosa dan sedikit protein dinding sel, dan yang tidak larut dalam detergen asam yakni ligno-selulosa, yang lazim disebut Acid Detergen fiber (ADF). Menurut Sutardi (1980) isi sel terdiri atas zat-zat yang mudah dicerna yaiut protein, karbohidrat, mineral dan lemak, sedangkan dinding sel terdiri atas sebagian besar selulosa, hemiselulosa, peptin, protein dinding sel, lignin dan silika. Serat kasar terdiri dari selulosa, hemiselulosa, lignin dan silika, dimana kandungan serat kasar dipengaruhi spesies, umur dan bagian tanaman. Kematangan fisik hijauan mempengaruhi kandungan lignin (Jung, 1989); proses lignifikasi leibh banyak menghambat kecernaan dinding sel rumput daripada legum. Lignin merupakan suatu zat kompleks dari bagian tanaman seperti kulit gabah, bagian akar yang bersifat, batang, dan daun yang sulit dicerna (Anggorodi, 1990). Konsentrasi inti lignin lebih besar pada jaringan batang dari pada jaringan daun (Jung, 1989). Ikatan lignin merupakan penghambat kecernaan dinding sel tanaman. Semakin banyak lignin terdapat dalam dinding sel koefisien cerna hijauan tersebut semakin rendah. Lignin sebagai komponen kimia dinding sel hijauan seirng dihubungkan dengan pengurangan kecernaan serat kasar (Jung, 1989). Kandungan ADF dan lignin pada hijauan erat hubungannya denganmanfaat bahan makanan ternak. Bila kadarnya tinggi terutama lignin, maka koefisien cerna bahan makanan tersebut rendah (Sutardi, 1980). Selulosa pada dinding sel yang tidak berlignin akan dapat dicerna dengan lebih mudah didalam rumen. Menurut Sutardi (1980) kristal selulosa merupakan bagian yang penting dari kerangka dinding sel tanaman. Selulosa dalam tanaman sering terdapat sebagai senyawa bersama lignin, membentuk ligno-selulosa yang merupakan kristal yang kompak. Selanjutnya Van Soest dan Jones (1968) membuktikan bahwa silika dapat menurunkan kecernaan hijauan, sehingga semakin tingginya kandungan silika pada hijauan, koefisien cernanya cenderung menurun.

2004 Digitized by USU digital library

Pengolahan Bahan Lignoselulosik Untuk Pakan Ternak Pada umumnya limbah pertanian mempunyai sifat sebagai berikut : 1). Nilai nutrisi rendah terutama protein dan kecernaannya; 2). Bersifat Bulky sehingga biaya angkutan menjadi mahal karena membutuhkan tempat yang lebih banyak untuk satuan bert tertentu; 3). Kelembabannya tinggi dan menyulitkan penyimpanan; 4). Sering terdapat komponen yang kurang disukai ternak dan mengandung racun; 5). Selain itu merupakan polusi yang potensial dan penampilannya kurang menyenangkan (Devendra, 1980). Adapun keterbatasan-keterbatasan lain adalah : 1). Dinding selnya terselimuti oleh kompleks/kristal-kristal silika (Van Soest, 1982) dan 2). Proses lignifikasi yang telah lanjut dan struktur selulosanya sudah terbentuk kristal, tidak lagi terbentuk amorf (Jackson, 1977). Untuk mengatasi hal itu perlu dilakukan suatu pengolahan yang sesuai sehingga bahan pakan ligniselulosik memiliki kualitas yang cukup sebagai pakan ternak ruminansia. Ada beberapa pengolahan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kecernaan potensial serat kasar (Preston dan Leng, 1987). Peningkatan kuantitas bagian yang dapat dicerna pada pakan yang berkualitas rendah, dapat dilakukan melalui proses kimia, fisik dan biologis (Hungate, 1966). Perlakuan fisik berupa pemotongan, penggilingan, peleting, penghancuran danlain-lain. Perlakuan biologis dengan menggunakna jamur (fungi). Proses kimiawi pencernaan limbah-limbah pertanian dapat ditingkatkan dengan penambahan alkali dan asam (Pigden dan Bender, 1978). Walker dan Kohler (1978) menyatakan bahwa perlakuan-perlakuan kimia yang telah dicoba diteliti antara lain terdiri dari perlakuan Naoh, KOH, Ca (OH)2, dan urea. Perlakuan asam antara lain HC1, dan H2SO4. dalam kesempatan ini yang akan dibahas hanya pengolahan biologi dan kimiawi saja, yaitu silase dan amoniasi. Silase Silase merupakan makanan ternak yang sengaja disimpan dan diawetkan dengan proses fermentasi dengan maksud untuk mendapatkan bahan pakan yang masih bermutu tinggi serta tahan lama agar dapat diberikan kepada ternak pada masa kekurangan pakan ternak. Prinsip pengawetan ini didasarkan atas adanya proses peragian didalam tempat penyimpanan (silo). Sel-sel tanaman untuk sementara waktu akan terus hidup dan mempergunakan O2 yang ada didalam silo. Bila O2 telah habis terpakai, terjadi keadaan enaerob didalam tempat penyimpanan yang tidak memungkinkan bagi tumbuhnya jamur/cendawan. Bakteri pembentuk asam akan berkembang dengan pesat dan akan merubah gula dalam hijauan menjadi asam-asam organik seperti asam asetat, asam susu dan juga alkohol. Dengan meningkatnya derajat keasaman, kegiatan bakteri-bakteri lainnya seperti bakteri pembusuk akan terhambat. Pada derajat keasaman tertentu (pH = 3,5) bakteri asam laktat tidak pula dapat bereaksi lagi dan proses pembuatan silase telah selesai (Ahlgren, 1956). Dalam pembuatan silase ada tiga faktor yang berpengaruh. Pertama : hijauan yang cocok dibuat silase adalah rumput, tanaman tebu, tongkolgandum, tongkol jagung, pucuk tebu, batang nenas dan jerami padi. Kedua : penambahan zat aditif untuk meningkatkan kualitas silase. Beberapa zat aditif adalah limbah ternak (manure ayam dan babi), urea, air, molases. Aditif digunakan untuk meningkatkan kadar protein atau karbohidrat pada material pakan. Biasanya kualitas pakan yang rendah memerlukan aditif untuk memenuhi kebutuhan nutrisi ternak. Ketiga : kadar air yang tinggi berpengaruh dalam pembuatan silase. Kadar air yang berlebihan menyebabkan tumbuhnya jamur dan akan menghasilkan asam yang tidak diinginkan seperti asam butirat. Kadar air yang rendah menyebabkan suhu menjadi lebih tinggi dan pada silo mempunyai resiko yang tinggi terhadap kebakaran (Pioner Development foundation, 1991).

2004 Digitized by USU digital library

Keberhasilan pembuatan silase tergantung pada tiga faktor utama yaitu : 1. Ada tidaknya serta besarnya populasi bakteri asam laktat. 2. Sifat-sifat fisik dan kimiawi bahan hijauan yang digunakan. 3. Keadaan lingkungan. Untuk mengetahui baik atau tidaknya silase diperlukan kriteria tertentu. Kriteria silase yang baik dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Kriteria Penilaian Silase Kriteria Jamur Bau PH Kadar N-NH3 Baik Sekali Tidak ada Asam 3,2 4,5 < 10% Baik Sedikit Asam 4,2 4,5 10 15% Sedang Lebih banyank Kurang asam 4,5 4,8 < 20% Buruk Banyak Busuk > 4,8 > 20%

Sumber : Deptan (1980) Pembuatan silase selain dapat meningkatkan zat gizi hijauan pakan, juga dapat disimpan lebih lama sehingga membantu penyediaan hijaun pakan ternak sepanjang tahun. Penggunaan berbagai aditif sebagai sumber energi mempercepat proses pemecahan komponen serat misalnya dengan campuran enzim pemecah selulosa dan hemiselulosa. Amoniasi Ada tiga sumber amoniak yang dapat dipergunakan dalam proses amoniasi yaitu : NH3 dalam bentuk gas cair, NH4OH dalam bentuk larutan, dan urea dalam bentuk padat. Penggunaan NH3 gas yang dicairkan biasanya relatif mahal. Selain harganya mahal juga memerlukan tangki khusus yang tahan tekanan tinggi minimum (Minimum 10 bar). Demikian pula halnya dengan larutan amoniak NH4OH selain harganya relatif mahal juga sukar diperoleh, sehingga pemakaian NH4OH terbatas di laboratorium. Dibanding cara pengolahan kimia yang lain (NaOH), amoniasi mempunyai beberapa keuntungan, antara lain : 1). Sederhana cara pengerjaannya dan tidak berbahaya; 2). Lebih murah dan mudah dikerjakan dibanding dengan NaOH; 3). Cukup efektif untuk menghilangkan aflaktosin khususnya pda jerami; 4). Meningkatkan kandungan protein kasar; 5). Tidak menimbulkan polusi dalam tanah. Satu-satunya sumber NH3 yang murah dan mudah diperoleh adalah urea. Urea yang banyak beredar untuk pupuk tanaman pangan adalah dalam bentuk :

NH2 C NH2
(Siregar, 1995) Urea dengan rumus molekul CO (NH2)2 banyak digunakan dalam ransum ternak ruminansia karena mudah diperoleh, harga murah dan sedikit keracunan yang diakibatkannya dibanding biuret. Secara fisik urea berbentuk kristal padat berwarna

2004 Digitized by USU digital library

putih dan higroskopis. Urea mengandung nitrogen sebanyak 42 45% atau setara dengan potein kasar antara 262 281% (Belasco, 1945). Perlakuan amoniasi dengan urea telah terbukti mempunyai pengaruh yang baik terhadap pakan. Proses amoniasi leibh lanjut juga akan memberikan keuntungan yaitu meningkatkan kecernaan pakan. Setelah terurai menjadi NH3 dan CO2. Dengan molekul air NH3 akan mengalami hidrolisis menjadi NH4+ dan OH. NH3 mempunyai pKa = 9,26, berarti bahwa dalam suasana netral (pH = 7) akan lebih banyak terdapat sebagai NH+. Dengan demikian amoniasi akan serupa dengan perlakuan alkali. Gugus OH dapat merenggut putus ikatan hidrogen antara Oksigen Karbon nomor 2 melekul glukosa satu dengan Oksigen Karbon nomor 6 molekul glukosa lain yang terdapat pada ikatan selulosa, lignoselulosa dan lignohemiselulosa. Telah diketahui bahwa dua ikatan terakhir ini bersifat labil alkali, yaitu dapat diputus dengan perlakuan alkali. Dengan demikian pakan akan memuai dengan lebih mudah dicerna oleh mikroba rumen. Pemuaian pakan selanjutnya akan melarutkan deposit lignin yang terdapat pada dinding dan ruang antar sel. Berarti amoniasi juga menurunkan kadar zat makanan yang sukar bahkan tidak dicerna oleh ternak, yang berakibat meningkatkan kecernaan pakan leibh jauh. Dari hasil percobaan Chuzaemi (1987) dengan level urea yang lebih tinggi yaitu 6 dan 8% secara in vivo selain dapat meningkatkan kecernaan bahan kering dan bahan organik juga energinya. Energi tercerna (De) meningkat dari 6,07 MJ menjadi 8,32 dan 9,54 MJ. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Soejono et al., (1986), perlakuan alkali pada bagas dengan menggunakan urea (CO [NH2]2) sebanyak 6% BK, dapat secara nyata meningkatkan kecernaan bahan kering (BK) dan bahan organik (BO) bagas, yaitu dari 22,29% menjadi 29,58%, atau terjadi peningkatan kecernaan sebesar 32,7%. Penggunaan Urea dan Tepung Gaplek Pada Silase Salah satu sumber nitrogen bukan protein yang mudah larut menjadi amonia adalah urea. Telah banyak penelitimemakai urea sebagai campuran ransum ruminansia, karena harganya murah, kandungan protein kasarnya tinggi dan senyawanya sederhana serta dapat dimanfaatkan oleh mikorobia rumen sebagai sumber protein (Ensminger dan Olentine, 1968). Penggunaan urea dalam ransum akan menjadi efisien apabila amonia yang terbentuk masih seimbang dengan kesanggupan mikrobia rumen dalam menggunakan amonia. Penggunaan urea akan menunjukkan haisl yang maksimum bila ditambahkan pada ransum yang berprotein rendah (Maynard dan Loosli, 1979). Urea murni menggadung protein kasar sebanyak 291% (46,6 x 6,25). Urea murni sukar disimpan karena mudah mencair. Agar urea dapat disimpan lama maka dicampur dengan zat lain sehingga kadar nitrogennya turun menjadi 42%. Kadar nitrogen urea makanan berkisar 42 45% setara dengan protein kasar 262 281% (Belasco, 1956). Menurut Banerjee (1978), urea sendiri tidak dapat menggantikan protein, urea dapat mensuplai nitrogen amino tetapi bagian lain dari molekul protein harus memperoleh dari sumber lain. Kerangka karbon (Sutardi, 1977) dan hidrogen (Banerjee, 1978) dari molekul protein dapat diperolhe dari karbohidrat yang mudah difermentasi. Tingkat penggunaan urea yang dianjurkan oleh Mc Donald et al., (1972), dan Chalupa (1975) adalah 1% dari bahan kering ransum dan tidak melebihi 3% dari campuran konsentrat atau tidak lebih dari 1/3 dari kebutuhan protein. Bundy dan Diggins (1958) menganjurkan pemberian urea yang optimal adalah 4% dari campuran makanan konsentrat atau 1% dari bahan kering ransum.

2004 Digitized by USU digital library

10

Penggunaan urea dengan kadar tinggi dalam ransum memerlukan beberapa persyaratan, agar diperoleh manfaat yang optimal. Menurut neumann dan Snapp (1969) persyaratan tersebut adalah : 1. 2. 3. 4. 5. Ketersediaan energi yang cukup. Kandungan Ca dan P ransum yang cukup. Adanya unsur mikro yang cukup. Tersedianya vitamin A yang tinggi. Tersedianya sulfur yang menjadi faktor pembatas untuk mensintesa asam amino methionin dan sistin oleh mikroba rumen. 6. Tersedianya garam untuk meningkatkan palatabilitas. 7. Campuran urea dalam ransum secara homogen. Batasan penggunaan ini dimaksud untuk mencegah terjadinya keracunan pada ternak ruminansia. Urea mengandung energi yang sangat rendah, sehingga pemberiannya pada ruminansia harus disertai dengan pemberian bahan bahan makanan yang kaya akan energi yang dikenal dengan RAC. Salah satu bahan RAC yang banyak tersedia di Indonesia adalah tepung gaplek. Tepung gaplek merupakan produk dari ketela pohon (Manihot esculenta) dan telah dicobakan penggunaannya pada sapi perah 9Basya dan Nuraini, 1976). Peneliti tersebut mendapatkan bahwa penggunaan tepung gaplek dalam ransum sapi perahlaktasi pada tingkat 40% belum menurunkan daya konsumsi ransum dan tidak memberikan pengaruh terhadap kuantitas produksi susu. Pada sapi dara, Basya dan Nuraini (1977) menyimpulkan bahwa penggunaan tepung gaplek sampai dengan 32% dalam ransum sebagai pengganti jagung tidak berpengaruh terhadap pertambahan bobot badan, maupun terhadap efisiensi penggunaan makanan. Dengan demikian, tepung gaplek dapat digunakan sebagai bahan makanan sapi perah sebagai sumber energi dalam hubungannya dengan pemberian urea. Untuk memperoleh hasil silase dengan kualitas yang baik, maka perlu diupayakan agar asam terbentuk dalam waktu yang singkat. Salah satu cara adalah dengan merangsang pertumbuhan bakteri pembentuk asam sebanyak-banyaknya dengan menambahkan bahan-bahan yang kaya dan karbohidrat sebagai sumber energi bagi bakteri. Ketersediaan bahan yang mengandung karbohidrat tinggi seperti tepung gaplek akan merangsang berlangsungnya proses fermentasi, dan pada akhirnya bakteri asam laktat dapat berkembang dengan cepat. Tepung gaplek mengandung protein, serat kasar dan lemak yang rendah, tetapi kandungan beta-N cukup tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa tepung gaplek dapat digunakan sebagai sumber energi. Dengan adanya penambahan tepung gaplek dan urea menurut Susetyo et al., (1969) bahan yang kaya akna karbohidrat dapat mempercepat penurunan pH silase karena kerbohidrat merupakan energi bagi. Bakteri pembentuk asam laktat, sedangkan dengan penambahan urea diharapkan dapat menaikkan nitrogen dalam silase yang dihasilkan (Cullison, 1978). Hampir semua hijauan dapat dibuat silase tidak terkecuali limbah kelapa sawit. Seluruh pelepah daun (petiole dan leaflets) dipotong sepanjang 2 cm telah digunakan sebagai makanan sapi selain hijauan atau diawetkan sebagai silase (Hassan dan Ishida, 1991; Ishida dan Hassan, 1992). Fermentasi dengan penambahan urea meningkatkan pH dan kandungan asam asetat. Hal ini kemungkinan disebabkan meningkatnya produksi asam asetat dari hemiselulosa melalui hidrolisis amonium hydroxida pada komponen serat. Disamping itu, perlakuan dengan urea mempengaruhi kecernaan bahan organik.

2004 Digitized by USU digital library

11

Walaupun silase mempunyai bau amonia yang tajam/keras tetapi masih dapat diterima oleh sapi. Penambahan urea pada pengawetan daun kelapa sawit dapat mencegah tumbuhnya jamur dan memperkaya bahan-bahan yang diawetkan dalam bentuk NPN. Dari hasil analisis laboratorium daun kelapa sawit tersusun dari 70% serat dan 22% karbohidrat terlarut berdasarkan bahan kering. Ini menunjukkan bahwa daun kelapa sawit dapat diawetkan sebagai silase melalui peningkatan pH dan kandungan asam organik pada silase (Ishida dan Hassan, 1992). Dari hasil penelitian Ishida dan Hassan (1992) perlakuan o, 3,0 dan 6,0% urea tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata pada pH. Perlakuan 6,0% urea pada silase menghasilkan asam organik tertinggi. Kandungan asam laktat yang tertinggi terdapat pada silse yang mengandung 3,0% urea. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa perlakuan 0% dan 3,0% urea sangat digunakan sebagai pengawet pada pembuatan silase. Tidak ada perbedaan yang nyata antara konsumsi dan kecernaan bahan kering antara 9% dan 3% urea, dan protein kasar meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah urea. Hal ini jelas menunjukkan bahwa penambahan urea pada silase daun kelapa sawit tidak boleh melebihi 3% karena pengggunaan 6% urea dapat menyebabkan penurunan pada konsumsi dan kecernaan bahan kering. Keuntungan lain dari penggunaan urea pada silse adalah bahwa penambahan urea 1 2% (pada bahan kering) pada proses silase telah ditemukan sangat efektif mencegah kerusakan aerob pada silse setelah membuka silo melalui pertukaran udara setelah pembongkaran. Konsumsi Pakan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat konsumsi makanan adalah jumlah makanan yang terkonsumsi oleh hewan bila makanan tersebut diberikan adlibitum. Sumber pakan utama untuk ternak ruminansia kecil di Indonesia adalah hijauan pakan ternak dan limbah pertanian. Hijauan pakan umumnya adalah rumput alam yang timbul di lahan pekarangan rumah, lahan pertanian, tanah terlantar, pinggir jalan, sumber-sumber lahan lain dari pabrik. Limbah pertanian terutama sisa hasil panen, sisa hasil pengolahan pertanian, atau yang dapat mengganggu hasil panen. Jumlah konsumsi pakan merupakan faktor penentu yang paling penting yang menentukan jumlah zatzat makanan yang tersedia bagi ternak. Hal ini selanjutnya akan mempengaruhi tingkat produksi. Akan tetapi pengatur konsumsi pakan pada ternak ruminansia sangat kompleks, karena banyak faktor yang terlibat seperti ; Sifat pakan, faktor ternak dan faktor lingkungan. Konsumsi hijauan pakan dapat ditingkatkan dengan pemberian pakan secara ad libitum. Peningkatan konsumsi akibat meningkatnya tingkat pemberian pakan disebabkan oleh semakin besarnya peluang untuk memilik (seleksi terhadap pakan yang diberikan. Bagian daun tanaman hijauan tropis dikonsumsi lebih banyak dibandingkan dengan bagian batang. Ternak kambing dan domba yang diberi hijauan pakan potongan memilih bagian daun yang umumnya lebih tinggi kecernaannya dibandingkan batang. Pemilihan daun dibandingkan batang mungkin terutama disebabkan oleh perbedaan sifat fisik dari tanaman tersebut. Daun yang berbulu mungkin tidak akan dikonsumsi yang berarti bahwa pemilihan terjadi bukan hanya karena faktor gizi, tetapi juga dipengaruhi perbedaan tekstur yang mempengaruhi palatabilitas (Woozicka-Tomaszewska, et al., (1993). Banyaknya jumlah makanan yang dikonsumsi oleh seekor ternak merupakan salah satu faktor penting yang secara langsung mempengaruhi produktivitas ternak. Konsumsi makana dipengaruhi terutama oleh faktor kualits makanan dan oleh faktor kebutuhan energi ternak yang bersangkutan. Makin baik kualitas makanannya, makin tinggi konsumsi makanan seekor ternak. Akan tetapi konsumsi makanan ternak berkualitas baik ditentukan oelh status fisiologi seekor ternak. Konsumsi

2004 Digitized by USU digital library

12

bahan kering makanan oleh ternak ruminansia dapat berkisar antara 1,5 3,5%, tetapi pada umumnya 2 3% dari berat badannya (Bamualim, 1988). Jumlah bahan kering yang dapat dimakan oleh seekor hewan selama sehari perlu diketahui. Dengan mengetahi jumlah bahan kering yang dimakan dapat dipenuhi kebutuhan seekor hewan akan zat amakan yang perlu untuk pertumbuhannya, hidup pokok maupun produksinya. Bahan kering merupakan tolak ukur dalam menilai palatabilitas makanan yang diperlukan untuk menentukan mutu suatu pakan. Kemampuan ternak mengkonsumsi bahan makanan merupakan hal yang perlu diperhatikan karena erat hubungannya dengan tingkat produksi ternak yang bersangkutan. Hal ini dikarenakan variasi kapasitas produksi disebabkan oleh makanan pada berbagai jenis ternak ditentukan oleh konsumsi (60%), kecernaan (25%) dan konversi hasil pencernaan produk (15%) (Parakkasi, 1985). Peningkatan konsumsi sejalan dengan besarnya ternak. Bentuk ransum yang ringkas dan tidak berdebu sangat disukai ternak, sedngkan kandungan serat kasar yang tinggi akan menurunkan tingkat konsumsi ini. Demikian pula makanan yang voluminous dan kecernaannya rendah akan menurunkan konsumsi (Parakkasi, 1983). Konsumsi bahan kering pakan ditentukan oleh ukuran tubuh, macam ransum, umur dan kondisi ternak. Konsumsi bahan kering pakan kasar (roughage) berkualitas tinggi pada dewasa adalah sebesar 1,4% dari bobot hidupnya. Sedangkan pada sapi jantan muda sebesar 3%. Konsumsi bahan kering ransum biasanya makin menurun dengan meningkatnya kandungan zat-zat pakan yang dapat dicerna (NRC, 1976). Menurut Tillman et al., (1989) kebutuhan bahan kering pakan yang disarankan untuk sapi pedaging adalah antara 2,5 3% bobot badan. Protein adalah esensial bagi kehidupan karena zat tersebut merupakan protoplasma aktif dalam semua sel hidup. Protein mempunyai peranan penting dalam proses pertumbuhan produksi dan reproduksi (Anggorodi, 1990) menurut Sutardi (1980) protein dalam tubuh berperan sebagai : 1. Bahan pembangunan tubuh dan pengganti jaringan tubuh yang aus. 2. Bahan baku pembuat hormon, enzim dan alat penangkal. 3. Mengatur lalu lintas zat-zat yang larut ke dalam cairan tubuh ke dalam atau keluar sel. 4. Sumber energi. Pada penggemukan yang bertujuan untuk menghasilkan pertambahan bobot badan yang tinggi dan efisien, serta menghasilkan karkas yang berkualitas tinggi maka diperlukan pakan yang mengandung energi tinggi, karena produksi ternak akan meningkat apabila kandungan energi pakan ditingkatkan (Tillman et al., (1989). Koefisien Cerna dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecernaan (digestibility) adalah bagian zat makanan yang tidak diekskresikan dalam fases, Anggorodi (1990) menyatakan pada dasarnya tingkat kecernaan adlaah suatu usaha untuk mengetahui banyaknya zat makanan yang diserap oleh saluran pencernaan. Selanjutnya dijelaskan bahwa bagian yang dapat dicerna adalah selisih antara zat-zat makanan yang dikonsumsi dengan zat-zat makanan yang dibuang bersama feses. Menurut Lubis (1963) salah satu faktor yang harus dipenuhi dlaam bahan makanan adalah tingginya daya cerna bahan makanan tersebut, dalam arti bahwa makanan itu harus mengandung zat makanan yang dapat diserap dalam saluran pencernaan. Zat makanan yang terkandung didalam bahan makanan tidak seluruhnya tersedia untuk tubuh ternak, sebagian besar akan dikeluarkan lagi melalui feses karena tidak tercerna dalam saluran pencernaan (Ranjhan dan Pathak, 1979). Anggorodi (1990) menyatakan bahwa pengukuran daya cerna adalah suatu usaha untuk meningkatkan jumlah zat makanan dari bahan makanan yang diserap di

2004 Digitized by USU digital library

13

dalam saluran pencernaan. Menurut morisson 91959) selisih antar zat makanan yang dikandung dalam bahan makanan dengan zat makanan yang akan ada dalam feses merupakan bagian yang dicerna. Crampton dan Harris, (1969) menyatakan bahwa bagian yang dapat dicerna dapat diartikan sebagai bagian dari bahan makanan yang tidak dijumpai dalam feses dan bila bagian ini dinyatakan sebagai persentase terhadap konsumsi maka disebut koefisien cerna. Nilai koefisien cerna tidaklah tetap untuk setiap makanan atau setiap ekor ternak, tetapi dipengaruhi oleh beberapa faktor (Maynard dan Loosli, 1979) yaitu : 1. Komposisi Kimiawi. 2. Pengolahan Makanan 3. Jumlah makanan yang diberikan. 4. Jenis hewan.

Neraca Nitrogen dan Energi Menurut Maynard dan Loosly 91979) neraca nitrogen adalah suatu cara untuk mengukur metabolisme protein didalam tubuh. Banerjee (1978) menyatakan bahwa neraca nitrogen menunjukkan apakah protein tubuh bertambah atau berkurang. Neraca nitrogen dapat dihitung dengan menggunakan persamaan : dengan pengertian : NN = NI NE NN NI NE = Neraca Nitrogen = Nitrogen yang dikonsumsi = Nitrogen yang dikeluarkan dari dalam tubuh

Nitrogen yang dikonsumsi adalah nitrogen yang terdapat dalam bahan makanan dan ini mudah untuk dihitung (Banerjee, (1978). Nitrogen yang dikeluarkan dari dalam tubuh menurut Banerjee (1978) terdiri atas nitrogen dalam feses dan nitrogen dalam air seni. Komponen komponen nigrogen yang termasuk dalam nitrogen feses adalah nitrogen makanan yang tidak tercerna dan tidak terabsorbsi, serta nitrogen endogen yang meliputi nitrogen berasal dari dalam tubuh seperti nitrogen dari sisa-sia cairan empedu dan getah pencernaan, reruntuhan sel-sel epitel usus dan mikrobia rumen yang tidak tercerna (Banerjee, 1978). Keshan dan Singh (1980) menyatakan bahwa data neraca nitrogen secara umum menunjukkan status nutrisi pakan ternak. Lloyd et al., (1978) menyatakan bahwa neraca nitrogen merupakan cerminan proses penyimpanan atau pengurangan protein dalam tubuh dengan demikian dapat memberikan ukuran kecernaan protein. Neraca nitrogen dapat bernilai positif, negatif atau nol. Bila neraca nitrogen positif berarti ternak tersebut akan meningkat bobot badannya karena terjadi penambahan pada tenunan urat dagingnya (Crampton dan Harris, 1969); Maynard dan Loosli, 1979). Beberapa kondisi yang memperlihatkan hal ini adalah pertumbhan, keadaan setelah puasa, setelah masa kelaparan atau sakit dan kebuntingan yangada hubungaan dengan pertumbuhan fetus. Neraca nitrogen negatif merupakan slah satu penyebab terjadi penurunan berat badan karena adanya penggunaan protein tubuh untuk mencukupi kebutuhan hidup ternak. Hal ini terjadi karena jumlah protein yang masuk dalam tubuh ternak lebih kecil daripada yang keluar dari tubuh (Crampton dan Harris, 1969). Keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan hal ini adalah puasa, kelaparan, demam tinggi, sakit dalam waktu lama, memberi ransum yang rendah kadar proteinnya dan tidak cukup energinya. Pada keadaan-keadaan disaat pertumbuhan telah berhenti dan tidak banyak protein

2004 Digitized by USU digital library

14

yang disimpan baik dalam bentuk pertumbuhan, air susu atau perkembangan fetus maka jumlah nitrogen yang dikonsumsi dan yang dikeluarkan adalah sama. Dalam keadaan ini neraca nitrogen disebut seimbang. Keadaan-keadaan neraca nitrogen seimbang akan menyatakan bahwa ternak tidak bertumbuh, protein ransum cukup baik dalam jumlah dan mutunya, ransum cukup mengandung energi dan ternak tidak menderita suatu penyakit. Energi total adalah energi yang tersedia dalam bahan makanan yang dikonsumsi. Selama proses pencernaan dan penyerapan energi makanan akan dipecah. Sebagian dari energi makanan akan hilang dari tubuh melalui usus besar dalam bentuk gas dan sisa-sisa makanan tidak tercerna. Disamping itu ada energi yang hilang berasal dari produk-produk dalam sistem pencernaan (Crampton dan Harris, 1069). Semua energi ini dikeluarkan dari tubuh dalam bentuk energi feses. Energi makanan yang tidak dikeluarkan bersama feses dinyatakan sebagai energi tercerna (Banerjee, 1978). Dari energi tercernakan ada yang dikeluarkan melalui air seni dan tinggallah energi termetabolismekan. Panas reaksi merupakan bagian dari energi termetabolismekan yang dikeluarkan dari tubuh, berasal dari metabolisme zat-zat makanan dan panas fermentasi zat-zat makanan (Crampton dan Harris, 1969). Sisa energi termetabolismekan yang tidak berupa panas reaksi disebut energi netto dan energi ini adalah energi bahan makanan yang sesungguhnya ditahan digunakan tubuh untuk pertumbuhan dan produksi (Banerjee, 1978). NE = EI EM dengan pengertian : NE EI EE EM = = = = Neraca energi Energi yang dikonsumsi Energi yang dikeluarkan dari dalam tubuh Energi gas hasil fermentasi

(Shirley, 1990) Neraca energi dikatakan positif apabila energi yang dikonsumsi melebihi energi yang dikeluarkan dari tubuh. Ini berarti ada pertambahan bobot badan. Apabila energi yang dikeluarkan dari tubuh melebihi yang dikonsumsi maka neraca energi dikatakan negatif. Dalam keadaan ini ternak kekurangan energi untuk kebutuhan hidup pokok dan pertumbuhan sehingga terjadi perombakan energi tubuh. Neraca energi dikatakan seimbang apabila energi yang dikonsumsi sama dengan yang dikeluarkan dari tubuh. Dalam keadaan ini ternak dikatakan tidak bertumbuh.

Pertambahan Bobot Badan Maynard dan Loosli (1979) menyatakan bahwa pertumbuhan merupakan peningkatan dalam struktur jaringan seperti otot, tulang dan organ, serta deposit lemak jaringan adiposa. Menurut Preston dan Leng (1987), pertumbuhan jaringan banyak berhubungan dengan sintesis lemak dan protein. Bahan (substrat) yang dibutuhkan adalah asam-asam amino untuk deposit protein; asam asetat, butirat, dan asam-asam lemak rantai panjang untuk sintesis lemak. Pertambahan bobot badan merupakan salah satu kriteria yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kualitas bahan makan ternak, karena pertumbuhan yang diperoleh dari suatu percobaan merupakan salah atu indikasi pemanfaatan zatzat makanan dari ransum yang diberikan. Dari data pertambahan bobot badan akan diketahui nilai suatu bahan pakan bagi ternak (Church dan Pond, 1980).

2004 Digitized by USU digital library

15

Pertambahan bobot badan domba akan lebih besar bila pemberian hijauan disertai dengan pemberian konsentrat. Penambahan makanan penguat komerisal pada hijauan yang ada di pedesaan dapat menghasilkan pertambahan bobot badan sebesar 80,9 1114,3 g/ekor/hari (Obst et al., 1980). Martawidjaja et al., (1986) menyebutkan bahwa penambahan konsentrat komersial menghasilkan pertambahan bobot badan sebesar 71 g/ekor/hari, lebih besar bila domba hanya diberi rumput gajah, yaitu 18g/ekor/hari. Pertumbuhan umumnya dinyatakan dengan pengukuran kenaikan bobot badan melalui penimbangan berulang-ulang, yaitu setiap hari, setiap minggu atau setiap waktu lainnya (Tillman et al., 1989).

MATERI DAN METODE I. Pengujian Komposisi Kimiawi Daun Kelapa Sawit Segar, Silase, dan Amoniasi

Cara Pelaksanaan Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di kandang metabolisme dan laboratoorium Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Medan di Sei Putih Galang Sumatera Utara.. Penelitian berlangsung selama 1 bulan Bahan Bahan yang dipergunakan adalah : daun kelapa sawit yang telah dikering udarakan (2-3 jam), urea, tepung gaplek, dan air. Alat Alat yang dipergunakan adalah : alat pencacah, kantong plastik ukuran 5 kg dengan ketebalan 0,4 mm, ember, pisau, parang, dan timbangan. Perlakuan Perlakuan adalah menggunakan urea dan tepung gaplek sebagai bahan aditif untuk pembuatan silase. Untuk proses amoniasi hanya menggunakan urea.

Cara Pelaksanaan Proses Pembuatan Silase Silase daun kelapa sawit diproses dengan mencacah daun kelapa sawit sebanyak 20 kg menjadi potongan sepanjang 2 3 cm. Daun kelapa sawit yang telah dicacah kemudian ditimbang sebanyak 5 kg. Cacahan daun kelapa sawit sebanyak 1 kg (kering udara) kemudian diperciki dengan larutan yang mengandung 1% urea diaduk secara merata kemudian dicampur dengan bahan aditif berupa tepung gaplek (4% untuk setiap 1 kg daun kelapa sawit kering udara) sampai benarbenar homogen. Bahan yang telah dicampur dimasukkan kedalam kantong plastik ukuran 5 kg, didapatkan dan ditutup rapat agar kedap udara dan disimpan selama 40 hari. Sebelum diberikan ke ternak silase diangin-anginkan selama 2 jam.

2004 Digitized by USU digital library

16

Proses Pembuatan Amoniasi Daun kelapa sawit yang telah kering dicacah menjadi potongan 2 3 cm sebanyak 5 kg. Cacahan diperciki secara merata dengan larutan urea 3%. Cacahan kemudian dimasukkan ke dalam plastik dan secara perlahan-lahan didapatkan agar plastik tidak rusak. Kantong plastik diikat agar kedap udara dan disimpan. Setelah 30 hari kantong plastik dibuka, diangin-anginkan selama 2 jam, lalu diberikan ke ternk. Parameter Parameter yang akan diukur dalam penelitian ini meliputi : Amonia (NH3), bahan organik, bahan kering dan pH. Rancangan Penelitian Penelitian memakai rancangan acak lengkap (RAL) dengan 3 (tiga) perlakuan dan 6 (enam) ulangan. Daun kelapa sawit yang telah disilase, diamoniasi dan daun kelapa sawit segar sebagai perlakuan, dan jumlah kantong untuk pembuatan silase dan amoniasi sebagai ulangan. Daun kelapa sawit segar sebagai kontrol (pembanding). Untuk pengujian NH3 digunakan rancangan RAL dengan 2 perlakuan dan 6 ulangan yaitu perlakuan silase dan amoniasi. Model matematis Yij Yij i ij : = = = = = + i + ij nilai pengamatan ke i yang memperoleh perlakuan ke-j nilai tengah populasi pengaruh aditif dari perlakuan ke-i galat percobaan dari perlakuan ke-i pda pengamatan ke-j

Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap peubah yang diukur, data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam, dan dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) (Steel dan Torrie, 1993). II. Pengujian Konsumsi, Kecernaan, Neraca Nitrogen, neraca Energi dan Pertambahan Bobot Badanyang Diberi Daun Kelapa Sawit Seger, Silase, dan Amoniasi. Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di laboratorium dan kadang metabolisme Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Medan Sei Putih Galang, Sumatera Utara. Penelitian berlangsung salam 18 hari. Materi Bahan Bahan yang dipergunakan adalah: daun kelapa sawit segar, daun kelapa sawit yang disilase (terdiri dari daun kelapa sawit, urea, tepung gaplek, dan air), dan kelapa sawit yang diamoniasi (terdiri dari daun kelapa sawit, urea, dan air) dan ternak domba jantan Sei Putih 15 ekor dengan bobot badan berkisar 10,4 16,2 kg, dan umumnya berkisar antara 3 4 bulan.

2004 Digitized by USU digital library

17

Alat Alat yang dipergunakan adalah : alat pencacah (khusus untuk daun kelapa sawit segar), timbangan, gelas ukuran (kapasitas 10 ml sampai 100 ml), botol tempat urin, plastik tempat feses, dan kadang metabolisme (dengan ukuran 100 x 130 cm). Perlakuan Sebagai lanjutan percobaan I, maka percobaan II mencakup pengujian pertambahan bobot badan, konsumsi bahan kering, serta kecernaan pakan, neraca nitrogen, dan neraca energi secara in vivo dengan menggunakna metoda koleksi total feses dan urin. Cara Pelaksanaan Domba ditempatkan dalam kandang metabolisma dan diberi daun kelapa sawit segar, daun kelapa sawit yang telah disilase maupun yang telah diamoniasi. Konsumsi pakan dicatat setiap hari. Pada hari ke 13 sampai dengan hari ke-18 total urien (10% dari volume) dan total fases (10% dari berat feses) ditampung dan diukur. Untuk pengambilan sampel urine wadah penampungan diisi HCl 10% sebanyak (10 ml), pada hari ke-18 sampel dikomposit, lalau diambil sub sampel untuk analisa kecernaan bahan kering, bahan organik, kandungan serat detergen netral (NDF), neraca energi dan neraca nitrogen. Pengambilan sampel dilakukan dua kali, yaitu percobaan II dan pada masa kahir percobaan III. Pertambahan bobot badan dicatat. Setiap minggu yaitu dengan menghitung selisih bobot badan pada masa awal dengan akhir masa penimbangan pada setiap minggu. Parameter Parameter yang akan diukur dalam penelitian ini meliputi : konsumsi bahan kering, kecernaan bahan organik, bahan kering dan serat detergen netral (NDF). Neraca nigroten, neraca energi Rancangan Penelitian Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap dengan tiga perlakuan dan tiga ulangan (Steel dan torrie). Daun kelapa sawit segar, yang disilase, dan yang diamoniasi dianggap sebagai perlakuan, sedangkan jumlah ternak tiap perlakuan dianggap sebagai ulangan. Guna mengethui pengaruh perlakuan terhadap peubah yang diukur, data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji BNT. III. Manfaat Penambahan Konsentrat Pada Daun Kelapa Sawit Segar, Silase dan Amoniasi Terhadap Konsumsi, Kecernaan, Neraca Nitrogen, Neraca Energi dan Pertambahan Bobot Badan Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di kandang metabolisme dan laboratorium Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Medan Sei Putih-Galang, Sumatera Utara. Penelitian berlangsung selama 1 bulan. Bahan Materi

Bahan yang dipergunakan adalah : Konsentrat (terdiri dari bungkil inti sawit, sludge, dan serat perasan buah kelapa sawit), daun kelapa sawit segar, daun sawit yang diamoniasi, daun kelapa sawit yang disilase, dan ternak domba jantan Sei Putih

2004 Digitized by USU digital library

18

sebanyak 15 ekor dengan bobot badan berkisar 10,4 - 16,2 kg dengan kisaran 3 4 bulan. Alat Alat yang dipergunakan adalah : timbangan berkal dengan kapasitas 5 kg dan kandang metabolisme.

Perlakuan Penambahan konsentrat pada percobaan III adlah lanjutan dari percobaan II. Komposisi konsentrat terdiri dari bungkil inti sawit (45%), lumpur minyak sawit (54%) dan serat perasan buah (1%) Perlakuannya yaitu : T1 T2 T3 = = = Daun kelapa sawit segar + konsentrat Daun kelapa sawit yang disilase + konsentrat Daun kelapa sawit yang diamoniasi + konsentrat

Cara Pelaksanaan Digunakan 15 ekor domba jantan lepas sapih hasil persilangan St. croix dengan domba lokal dan berat badan berkisar antara 10,4 16,2 kg, serta umur berkisar antara 3 - 4 bulan. Ternak dibagi menjadi tiga kelompok dan secara acak diberi perlakuan pakan. Perbandingan antara daun kelapa sawit dan konsentrat adalah 30 : 70. Pakan konsentrat terdiri dari bungkil inti sawit (45%), lumpur minyak sawit (54%), dan serat perasan buah (1%). Kandungan protein konsentrat adalah 14,7% dan energi (TND) 72%. Setiap perlakuan pakan adalah isoprotein. Daun kelapa sawit mengandung protien 14,8% dan energi (TDN) 27,5%. Ternak ditempatkan dalam kandang selama satu bualn dan diberikan obat cacing dua minggu sebelum perlakuan. Total konsumsi dicatat setiap hari dan bobot badan diukur setiap minggu.

Parameter Parameter yang akan diukur dalam penelitian ini adalah : Konsumsi Bahan Kering, Kecernaan, Neraca Nitrogen, Neraca Energi, Pertambahan Bobot Badan. Rancangan Penelitian Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan tiga perlakuan dan lima ulangan untuk menganalisa konsumsi bahan kering dan pertambahan bobot badan, sedangkan untuk neraca nitrogen, neraca energi dan kecernaan bahan kering, bahan organik, NDF digunakan tiga perlakuan dan tiga ulangan. Guna mengetahui pengaruh perlakuan terhadap peubah yang diukur, data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam, dan dilanjutkan dengan uji BNT.

2004 Digitized by USU digital library

19

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Pengujian Komposisi Kimiawi Daun Kelapa Sawit Segar, Silase dan Amoniasi Kandungan bahan kering, bahan organik, pH, dan NH3 daun kelapa sawit segar, silase, dan amoniasi disajikan pada Tabel 5. Komposisi Kimiawi Daun Kelapa Sawit Segar, Silase, dan Amoniasi Peubah Perlakuan Segar Silase Amoniasi Bahan kering (%) 27,07C0,61 56,26B 0,02 64,08A1,71 Bahan Organik (%) 89,13C0,25 91,74B 0,42 93,20A0,40 B PH 5,43 0,21 5,83B 0,19 8,31A0,12 NH3 (mM) 0,45B 0,15 1,68A0,14 Bahan Kering Dari Sidik Ragam bahan kering, terlihat bahwa perlakuan berpengaruh nyata (P < 0,05) terhadap bahan kering daun kelapa sawit. Dari uji BNT dapat dilihat bahwa bahan kering tertinggi terdapat pada perlakuan silase. Daun kelapa sawit segar (kontrol) mempunyai kandungan rataan bahan kering 27,07%. Ini sesuai dengan pernyataan Cullison (1978) bahwa materi yang baik digunakan untuk pembuatan silase mempunyai kandungan bahan kering antara 25-35%. Bila kadar bahan kering materi yang digunakan kurang dari 25%, berakibat pada hasil silase yang terlalu asam dan silase akan kelihatan berair. Cairan dalam silase yang keluar selama proses fermentasi akan mengakibatkan penurunan kandungan zat makanan didalam silase. Apabila materi mempunyai kadar bahan kering lebih dari 35% akan menghasilkan silase yang kurang sempurna, seperti tumbuhnya jamur sebagai akibat kurang sempurnanya pemadatan sehingga lebih memungkinkan pengikatan oksigen. Perbedaan bahan kering yang sangat nyata antara kontrol, silase dan amoniasi dapat disebabkan karena kadar urea yang diberikan, atau karena adanya penambahan air pada proses pembuatan silase dan amoniasi yang digunakan untuk melarutkan urea. Dari hasil penelitian Williams et.al (1983) penambahan air pada jerami yang telah ditambahkan urea akan dapat menurunkan kandungan bahan kering dan menurut Chuzaemi dan Soejono (1987) bahwa semakin tinggi kandungan urea pada pakan dalam proses pengawetan jerami padi maka akan semakin tinggi kandungan bahan kering. Dalam penelitian ini kadar urea yang diberikan pada amoniasi lebih tinggi dari silase, maka akan semakin meningkatkan kadar bahan kering pakan tersebut. Bahan Organik Menurut Tillman (1991) komponen proksimal yang termasuk kedalam zatzazt gizi organik adalah karbohidrat, lemak, protein, dan vitamin. Hasil Sidik Ragam menunjukkan terdapat pengaruh perlakuan (P < 0,05) terhadap kandungan bahan organik. Bila dilakukan uji lanjut dengan BNT (Tabel 5) terlihat bahwa bahan organik tertinggi terdapat pada perlakuan amoniasi dan terendah pada kontrol. Seperti diketahui kandungan urea pada perlakuan amoniasi lebih tinggi dibandingkan pada silase. Menurut Gohl (1981) penambahan urea pada amoniasi pith akan meningkatkan kandungan protein kasar sebanyak 12,7%. Perbedaan kandungan bahan organik antara perlakuan silase dan amoniasi dapat disebabkan karena kandungan urea yang diberikan pada perlakuan silase lebih rendah tetapi kandungan karbohidrat pada perlakuan silase lebih tinggi dari perlakuan amoniasi akibat penambahan tepung gaplek. Tidak adanya peanmbahan urea dan karbohidrat pada Tabel 5.

2004 Digitized by USU digital library

20

kontrol dapat membuat kandungan bahan organik pad kontrol lebih rendah dibandingkan dengan silase dan amoniasi. PH Sidik Ragam menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata (P < 0,05) terhadap pH. Pada perlakuan silase nilai rataan pH adalah 5,83. Menurut Soegirl et al (1972), pH silase yang baik adalah 4, dimana pada pH tersebut kegiatan bakteri terhenti. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Tedjowahjono dan Musofie (1979) yang memperoleh hasil bahwa silase yang dalam pembuatannya diberikan tambahan urea, maka pHnya akan lebih tinggi (6,53 9,76). Perlakuan amoniasi yang diberi urea dengan dosis yang lebih tinggi ternyata menghasilkan pH yang lebih tinggi. Keadaan ini terjadi karena pemberian urea selama proses ensilase akan dihidrolisis oleh enzim urease menjadi NH4- karbohidrat yang selanjutnya dipecah menjadi NH3 dan CO2. NH3 selama proses ensilase sebagian akan bereaksi dengan air membentuk NH4OH yang bersifat basa, seperti tampak pada reaksi berikut : CO (NH2)2 + H2O H2NCOONH4 2NH3 + CO2 NH3 + H2O NH4OH

Nilai rataan pH yang tinggi pada amoniasi merupakan hal yang wajar terjadi karena pemberian urea secara tidak langsung akan menambah sifat basa sehingga pH pada perlakuan ini juga meningkat. NH3 Dari sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata (P < 0,05) terhadap kandungan N-NH3. Uji BNT menunjukkan NH3 silase lebih rendah dibandingkan NH3 amoniasi (Tabel 5). Amonia terbentuk melalui proses deaminasi asam-asam amino oleh bakteri asam laktat dan asam butirat. Amonia merupakan salah satu indikator kerusakan silase karena amonia dapat menaikkan pH silase, disamping itu juga mencerminkan kerusakan protein bahan (Woolford, 1984). Menurut Subiyanto et al (1988) semakin tinggi kandungan urea pada jerami yang disimpan selama empat minggu semakin tinggi pula kandungan N-NH3. Hasil penelitian Hassan dan Ishida (1990) menunjukkan bahwa penambahan urea pada fermentasi daun kelapa sawit akan semakin meningkatkan kandungan N-NH3 (3% urea kandungan N-NH3 nya 0,58 sedangkan pada 6% urea kandungan N-NH3 nya 1,12). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi level urea yang diberikan akan meningkatkan kandungan N-NH3. II. Pengujian Konsumsi, Kecernaan, Neraca Nitrogen, Neraca Energi, dan Pertambahan Bobot Badan yang Diberi Daun Kelapa Sawit Segar, Silase dan Amoniasi Konsumsi Ransum Sidik Ragam menunjukkan bahwa konsumsi ransum dipengaruhi oleh perlakuan. Rata-rata konsumsi ransum dapat dilihat pada Tabel 6.

2004 Digitized by USU digital library

21

Tabel 6.

Nilai Beberapa Peubah Daun Kelapa Sawit Yang Diberi Perlakuan Daun Kelapa Sawit Segar, Silase, dan Amoniasi. Peubah Perlakuan Segar Silase Amoniasi C A Konsumsi (g/ekor/hari) 187,98 5,077 518,25 4,21 276,38B55,08 Kecernaan (%) Bahan kering 36,46A5,07 49,608A4,21 76,32B6,25 Bahan organik 44,16A4,69 58,75B3,71 81,56C4,74 A A NDF 24,13 6,33 41,47 5,17 69,32B7,93 A B Neraca N (g/ekor/hari) -7,39 2,23 23,72 5,39 11,37B7,82 A B Neraca energi (Kal/g/hr) -1,75 2,49 2,59 1,94 0,79B1,39 B A NH3 (mM) -0,02 71,56 0,03 0,03 -0,08B0,05 Keterangan : Huruf Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata pada taraf 5% Pada tabel 6 dapat dilihat bahwa konsumsi ransum daun kelapa sawit pada perlakuan silase lebih tinggi dibandingkan dengan amoniasi atau segar. Penambahan karbohidrat pada silase dapat merangsang pertumbuhan bakteri pembentuk asam sebanyak-banyaknya. Sumber karbohidrat yang biasanya ditambahkan untuk mengimbangi urea antara lain tepung gaplek dan molasses. Menurut Cullison (1979) bahwa pemberian urea dalam pakan harus diimbangi dengan pemberian karbohidrat yang siap difermentasikan untuk mengimbangi amoniak yang terbentuk. Hasil penelitian Hassan dan Ishida (1991) dikatakan bahwa penambahan urea dan molasses pada pembuatan silase daun kelapa sawit yang diberikan pada sapi akan meningkatkan konsumsi ransum (2,8 kg/24 hari) dibandingkan dengan kontrol (2,6 kg/24 hari), selain itu urea dan molasses dapat meningkatkan pH dan kandungan asam organik pada silase, dan dari hasil penelitian Wardhani et al (1987) bahwa penambahan tetes dan urea pada silase pucuk tebu akan meningkatkan konsumsi bahan kering 5,95 kg/hari pada sapi Bali. Konsumsi ransum yang rendah pada perlakuan kontrol dapat disebabkan faktor kesenangan atau kandungan lignin dan selulosa yang tinggi. Bacon et al (1981) menyatakan bahwa perlakuan alkali meningkatkan kecernaan selulosa, hemiselulosa dan lignin. Perlakuan alkali menyebabkan membengkaknya selulosa, memutuskan ikatan lignin yang melindungi dinding sel polisakarida sehingga enzim mikroba rumen dapat masuk dan mencerna selulosa tersebut. Peningkatan konsumsi dapat juga disebabkan karena meningkatnya kecernaan. Konsumsi ransum pada perlakuan silase dan kontrol pada percobaan II (selama 3 minggu) mengalami peningkatan, tetapi pada perlakuan amoniasi konsumsi ransum mengalami penurunan. Konsumsi ransum untuk setiap perlakuan selama 3 minggu terdapat pada Gambar 1.

2004 Digitized by USU digital library

22

Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa konsumsi ransum pada perlakuan silase meningkat pada minggu ke-2, tetapi mengalami penurunan pada minggu berikutnya. Pada perlakuan kontrol konsumsi ransum stabil dan peningkatan konsumsi ransum kecil. Sementara itu pada perlakuan amoniasi konsumsi ransum mengalami penurunan. Hal ini membuktikan bahwa perlakuan urea sangat mempengaruhi konsumsi ransum. Kecernaan Zat-zat Makanan Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Kecernaan bahan kering, bahan organik, NDF dari masing-masing perlakuan disajikan pada Tabel 6. Nilai potensial bahan makanan untuk menyediakan zat-zat makanan tertentu dapat ditentukan dengan analisis kimia, tetapi nilai sebenarnya bagi ternak hanya dapat ditentukan setelah mengalami kehilangan yang tidak dapat dihindari yang terjadi selama pencernaan, penyerapan, dan metabolisme (Mc.Donald, et al, 1988), Ensminger (1990) menyatakan bahwa ternak tidak dapat memanfaatkan semua zatzat makanan yang terdapat dalam pakan. Nilai manfaat suatu pakan dapat diketahui melalui percobaan penentuan daya cernanya pada ternak, karena analisis kimia hanya menggambarkan nilai suatu pakan tanpa nilai manfaatnya (Anggorodi, 1990; Church dan Pond, 1988). Dari Sidik Ragam menunjukkan bahwa kecernaan bahan kering dipengaruhi oleh perlakuan (P < 0,05). Kecernaan bahan kering tertinggi terdapat pada perlakuan amoniasi. Hal ini mungkin berhubungan dengan lama retensi pakan dalam rumen. Pakan yang lebih lama berada dalam rumen kemungkinan akan lebih banyak dicerna, sehingga mengakibatkan kecernaannya lebih tinggi. Pada perlakuan silase, konsumsi yang tinggi kemungkinan mengakibatkan lama retensi yang lebih singkat sehingga menurunkan koefisien cerna. Menurut Tillman et al (1989) tingkat kecernaan tertinggi didapat pada makanan yang dikaonsumsi sedikit lebih rendah dari kebutuhan hidup pokok. Dari Sidik Ragam menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang nyata terhadap kecernaan bahan organik. Kecernaan bahan organik tertinggi pada perlakuan amoniasi. Hal ini dapat disebabkan urea dapat melarutkan sebagian komponen serat kasar termasuk silika yang dapat mengakibatkan ketersediaan zat makanan untuk dicerna semakin tinggi karena urea dapat melonggarkan ikatan lignoselulosa. Dengan longgarnya ikatan lignoselulosa akan memudahkan penetrasi enzim yang dihasilkan mikroba rumen lebih sempurna, akibatnya akan meningkatkan kecernaan bahan kering, bahan organik, dinding sel, TDN (Total Digestible Nutrient) dan DE (Digestible Energy) (Jackson, 1977). Dari hasil percobaan Chuzaemi (1987) dengan level urea yang tinggi yaitu 6% dan 8% secara in vivo selain dapat meningkatkan kecernaan bahan kering dan bahan organik juga meningkatkan energinya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Soejono et al (1986), perlakuan alkali pada bagas dengan menggunakan urea sebanyak 2, 4, 6% bahan kering, secara nyata dapat meningkatkan kecernaan bahan kering dan bahan organik, yaitu 22,29% menjadi 29,58% pada taraf penambahan urea 6% atau terjadi peningkatan kecernaan sebesar 32,7%. Kecernaan Neutral Detergent Fiber Perlakuan juga berpengaruh nyata (P < 0,05) terhadap kecernaan NDF (Tabel 6). Pengujian dengan uji BNT menunjukkan bahwa pada perlakuan amoniasi NDF lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol dan silase, namun antara perlakuan silase dan kontrol tidak berbeda.

2004 Digitized by USU digital library

23

Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa perlakuan urea pada silase dan amoniasi meningkatkan kecernaan dinding sel (NDF). Kecernaan NDF pada perlakuan kontrol terlihat sangat rendah. Van Soest (1982) telah menemukan bahwa terdapat korelasi yang baik antara isi sel dan lignin dengan daya cerna in vivo. Serat detergent netral (NDF) mewakili bagian dinding sel yang berserat dan terkandung didalamnya lignin, selulosa, hemiselulosa serta beberapa protein yang terikat oleh serat. Menurut Sutardi (1980) isi sel terdiri atas zat-zat yang mudah dicerna yaitu protein, karbohidrat, mineral dan lemak, sedangkan dinding sel terdiri atas sebagian besar selulosa, hemiselulosa, peptin, protein dinding sel, lignin dan silika. Lignin merupakan suatu zat kompleks dari bagian tanaman seperti kulit gabah, bagian akar yang berserat, batang, dan daun yang sulit dicerna (Anggorodi, 1990). Seperti diketahui ikatan lignin merupakan penghambat kecernaan dinding sel tanaman. Semakin banyak lignin terdapat dalam dinding sel maka koefisien cerna hijauan tersebut semakin rendah. Namun dengan perlakuan alkali terhadap pengolahan limbah maka akan terjadi pemutusan ikatan-ikatan tersebut. Hal ini kemungkinan yang menyebabkan kecernaan NDF pada perlakuan amoniasi lebih tinggi dan berbeda dari perlakuan silase dan kontrol. Hal ini sesuai dengan pendapat para peneliti terdahulu (Wanapat et al, 1982; Sundstol et al, 1984), urea dapat melonggarkan ikatan lignoselulosa dan lignohemiselulosa, sehingga lignoselulosa membengkak dan bagian selulosa kristal berkurang, sehingga memudahkan penetrasi enzim yang dihasilkan mikroba rumen lebih sempurna, akibatnya akan meningkatkan kecernaan bahan kering, bahan organik, dinding sel, TDN dan DE. Neraca Nitrogen dan Nera Energi Neraca Nitrogen Neraca nitrogen menunjukkan jumlah nitrogen yang tersusun di dalam tubuh ternak yang tidak diekskresikan melalui feses dan urin. Neraca nitrogen diperlukan untuk penilaian mutu protein karena dapat dipakai untuk menduga kebutuhan protein untuk pertumbuhan meskipun tidak semua dan yang diretensi digunakan untuk pembentukan daging. Nilai neraca nitrogen terlihat pada Tabel 6. Dari Sidik Ragam menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh (P < 0,05) terhadap neraca nitrogen. Neraca nitrogen pada perlakuan silase dan amoniasi menunjukkan nilai yang positif. Hal ini menunjukkan bahwa antara perlakuan silase dan amoniasi berbeda dengan perlakuan segar. Neraca nitrogen yang memberikan nilai positif berarti nitrogen yang dimakan melebihi dari yang dikeluarkan dari yang dikeluarkan dari dalam tubuh. Dalam kondisi ini akana memperlihatkan pertumbuhan pada ternak. Neraca nitrogen negatif pada perlakuan kontrol menunjukkan bahwa nitrogen yang dikeluarkan dari dalam melebihi yang masuk melalui makanan. Keadaan ini dapat disebabkan karena pemberian ransum yang rendah kadar proteinnya dan energi yang tidak mencukupi. Bila dilihat dari kandungan protein, kebutuhan protein silase sudah memenuhi kebutuhan nutrien protein domba dibandingkan amoniasi dan kontrol. Konsumsi protein harian pada perlakuan kontrol, silase, dan amoniasi berkisar 21,71 g ; 75,3 g dan 43,59 g sedangkan kebutuhan harian nutrien untuk hidup pokok domba dimana berat badan berkisar 14 kg dengan pertambahan bobot badan 0 50 g/hari adalah 57,9 g (Haryanto et al, 1992). Kandungan protein harian yang rendah dapat menyebabkan terjadinya penurunan bobot badan pada perlakuan kontrol. Terjadinya pertambahan bobot badan pada perlakuan silase dapat disebabkan karena kandungan protein harian sudah mencukupi walaupun pertambahan bobot badannya relatif sangat kecil.

2004 Digitized by USU digital library

24

Neraca Energi Sidik Ragam menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh (P < 0,05) terhadap neraca energi. Neraca energi pada perlakuan silase dan amoniasi menunjukkan nilai positif, hal ini dapat terjadi apabila energi yang dikonsumsi melebihi energi yang dikeluarkan dari tubuh (Banerjee, 1978). Ini kemungkinan dapat menyebabkan pertambahan bobot badan pada ternak. Apabila energi yang dikeluarkan dari tubuh melebihi dari yang dikonsumsi maka neraca energi dapat dikatakan negatif. Hal ini yang menyebabkan neraca energi pada perlakuan kontrol bernilai negatif. Dilihat dari konsumsi harian energi ransum pada perlakuan kontrol, silase, dan amoniasi adalah 0,27 M kal; 1,116 M kal; dan 0,84 M kal. Konsumsi energi pada perlakuan amoniasi dan kontrol belum mencukupi kebutuhan energi harian domba, yaitu sebanyak 1,33 M Kal untuk berat badan berkisar 14 kg dengan pertambahan bobot badan 0-50 g/hari (Haryanto, 1992), terutama pada perlakuan kontrol dimana dapat mengakibatkan penurunan bobot badan. Konsumsi energi pada perlakuan silase sudah memungkinkan dapat memenuhi kebutuhan konsumsi energi seperti yang disarankan, walaupun pertambahan bobot badannya relatif sangat kecil, tetapi sudah menunjukkan nilai positif terhadap neraca energi. Pertambahan Bobot Badan Tabel 6 menampilkan data pertambahan bobot badan domba pada percobaan II. Pertumbuhan merupakan salah satu sifat yang mempunyai nilai ekonomi yang penting dalam penampilan produksi ternak (Daas dan Acharya, 1970). Pertumbuhan diukur berdasarkan bobot badan (Maynard et al, 1979). Dari data pertambahan bobot badan akan diketahui nilai suatu bahan pakan bagi ternak (Church dan Pond, 1988). Perlakuan menunjukkan pengaruh yang nyata (P < 0,05) terhadap pertambahan bobot badan. Kenaikan berat badan harian tertinggi terdapat pada perlakuan silase. Berkurangnya bobot badan pada perlakuan amoniasi adalah lebih besar bila dibandingkan dengan pemberian dalam bentuk segar. Konsumsi bahan kering pada domba penelitian ini adalah 1,25 3,62% dari bobot badan dimana lebih rendah dari kebutuhan yang dianjurkan NRC (1985) yaitu 5% dari bobot hidup. Herman (1977) menyatakan bahwa kebutuhan konsumsi bahan kering pada domba jantan berkisar antara 5,7 7,6% dari bobot hidup 9 15 kg. Menurut Djajanegara (1986) jumlah yang dikonsumsi domba per ekor per hari pada ransum yang diberi perlakuan urea berkisar 0,6 2,25 kg, dimana konsumsi pakan pada perlakuan amoniasi jauh dari jumlah yang seharusnya diberikan pada ternak. Pemberian makanan yang terlalu sedikit dari kebutuhan hidup pokok akan menyebabkan ternak kehilangan bobot badan. Bila dilihat dari kebutuhan protein dan energi dari ransum yang dikonsumsi pada perlakuan amoniasi dan kontrol belum dapat memenuhi kebutuhan protein dan energi sesuai dengan yang disarankan kecuali pada perlakuan silase dimana kebutuhan protein dan energi dari ransum yang dikonsumsi telah terpenuhi. Kebutuhan protein dan energi yang belum terpenuhi pada perlakuan kontrol dan amoniasi akan mempengaruhi pertambahan bobot badan pada ternak.

2004 Digitized by USU digital library

25

III. Manfaat Penambahan Konsentrat pada Daun Kelapa Sawit Segar, Silase dan Amoniasi Terhadap Konsumsi, Kecernaan, Neraca Nitrogen, Neraca Energi, dan Pertambahan Bobot Badan Pengaruh penambahan konsentrat pada daun kelapa sawit segar, silase, dan amoniasi terhadap konsumsi ransum, kecernaan (bahan kering, bahan organik dan NDF), neraca Ntirogen, dan pertambahan bobot badan disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Nilai Beberapa Peubah Daun Kelapa Sawit Yang Diberi Perlakuan Segar, Silase, Amoniasi Dengan Penambahan Konsentrat Secara In Vivo. Peubah Perlakuan Silase

Segar Amoniasi Konsumsi Bahan Kering (g/ekor/hari) Ransum 227,56A48,38 608,26B47,74 344,49C20,91 A Konsentrat 25,29 48,77 27,75A50,59 140,58B16,67 A B Hijauan 19,72 13,96 580,60 86,31 203,91A21,3 Kecernaan (%) Bahan kering 26,35A2,86 52,79AB1,29 42,78B10,22 A B Bahan organik 36,02 1,37 60,98 1,03 54,45B915 A B NDF 4,33 4,85 44,99 3,25 32,83B9,54 A A Neraca N (g/ekor/hari) -12,23 3,09 -12,79 5,50 42,88B4,76 A A Neraca energi (Kal/g/hr) -1,57 3,09 2,29 9,29 6,18B7,15 A A PBB (g/ekor/hari) -0,03 0,03 -0,03 0,03 -0,01B 0,02 Keterangan : Huruf Superskrip yang berbeda pada nilai rataan pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P < 0,05) Konsumsi Ransum Sidik Ragam menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata (P < 0,05) terhadap konsumsi ransum. Uji BNT (Tabel 7) menunjukkan bahwa diantara ketiga perlakuan berbeda nyata (P < 0,05). Meningkatnya konsumsi ransum dapat disebabkan penambahan konsentrat dimana pada perlakuan amoniasi lebih banyak mengkonsumsi konsentrat sehingga mengakibatkan konsumsi ransum lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Menurut Schmidt et al (1982) konsumsi dan nilai makanan akan meningkat dengan penambahan konsentrat pakan dan menurut

2004 Digitized by USU digital library

26

Meacham et al (1963) bahwa semakin rendah kandungan protein dalam pakan maka tingkat konsumsinya semakin menurun.

Gambar 3.

Konsumsi Ransum pada Percobaan III (g/ekor/hari)

Dari gambar 3 diatas dapat dilihat bahwa konsumsi ransum pada perlakuan silase lebih tinggi. Ini dapat disebabkan karena perlakuan silase selain mengkonsumsi hijauan yang lebih tinggi, ternak tersebut juga mengkonsumsi konsentrat. Maka secara tidak langsung bahan kering perlakuan pada silase cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan amoniasi dan kontrol. Kecernaan Zat-zat Makanan Tabel 7 memperlihatkan kecernaan bahan kering, bahan organik, NDF dari penambahan konsentrat terhadap perlakuan daun kelapa sawit segar, silase, dan amoniasi. Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Sidik Ragam menunjukkan pengaruh yang nyata (P < 0,05) terhadap kecernaan bahan kering dan bila dilakukan uji BNT (Tabel 7) menunjukkan bahwa antara perlakuan segar dan amoniasi tidak berbeda dengan perlakuan silase tetapi antara perlakuan segar dan amoniasi berbeda. Terjadinya kenaikan kecernaan bahan kering ini sebagai akibat dari konsumsi konsentrat dimana pada perlakuan silase dan amoniasi lebih banyak mengkonsumsi konsentrat. Menurut Price et al (1980) meningkatnya kandungan serat kasar pakan akan menurunkan kecernaan bahan kering, protein kasar dan energi. Dari Sidik Ragam menunjukkan perlakuan berpengarpuh secara nyata terhadap kecernaan bahan organik pada taraf 5% dan dari hasil uji BNT menunjukkan antara silase dan amoniasi tidak berbeda nyata dan relatif sama tetapi lebih tinggi pada silase dan keduanya berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Perbedaan kecernaan kemungkinan disebabkan karena domba yang diberi perlakuan silase dan amoniasi lebih banyak mengkonsumsi konsentrat. Dengan adanya penambahan konsentrat maka protein dalam ransum tersebut meningkat dan menurut Sutrisno et al (1985) apabila jumlah protein dalam ransum tinggi makan perkembangbiakan mikroba rumen lebih banyak sehingga menyebabkan pencernaan makanan juga berjalan baik. Konsentrat yang digunakan umumnya mengandung protein yang tinggi.

2004 Digitized by USU digital library

27

Menurut Devendra (1978) campuran serat perasan buah dengan lumpur kelapa sawit dengan perbandingan sama yang diberikan 10-60% pakan domba, menunjukkan bahwa pada taraf 40% daya cerna bahan kering, bahan organik, protein, serat kasar, enerig, retensi nitrogen akan meningkat, tetapi diatas level ini daya cernanya akan menurun dengan tajam kecuali pada abu dan energi. Kecernaan yang sama dari bahan organik ransum pada silase dan amoniasi disebabkan kecernaan bahan kering pada silase dan amoniasi juga tidak berbedanyata, sebab bahan organik menempati proporsi yang besar di dalam bahan kering pakan (Akmal, 1994). Kecernaan Neutral Detergent Fiber Sidik Ragam meunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh yang nyata (P < 0,05) terhadap kecernaan NDF. Dengan uji BNT kecernaan perlakuan kontrol paling rendah dibandingkan dengan perlakuan silase dan amoniasi sedangkan antara perlakuan silase dan amoniasi kecernaan NDF tidak berbeda. Kecernaan NDF yang tingig pada perlakuan silase dan amoniasi dapat disebabkan karena perlakuan alkali dan penambahan konsentrat. Menurut Parakkasi (1987) bahwa kecernaan bahan kering makanan berkonsentrat adalah lebih besar dibandingkan dengan daun, leguminosa, pohon atau rumput. Hal ini disebabkan karena karbohidrat mudah dicerna lebih tinggi pada konsentrat atau konsentrat lebih mudah didegradasi pada dinding sel daripada daun leguminosa dan rumput. Menurut Bacon et al (1981) bahwa perlakuan alkali meningkatkan kecernaan selulosa, hemiselulosa dan lignin. Perlakuan alkali menyebabkan membengkaknya selulosa, memutuskan ikatan lignin yang melindungi dinding sel polisakarida sehingga enzim mikroba rumen dapat masuk dan mencerna selulosa tersebut. Neraca Nitrogen dan Neraca Energi Neraca Nitrogen Dari Sidik Ragam penambahan konsentrat berpengaruh nyata (P < 0,05) terhadap neraca Nitrogen. Tabel 7 menunjukkan bahwa perlakuan amoniasi menghasilkan neraca nitrogen lebih tinggi dengan perlakuan segar atau silase. Neraca nitrogen antara segar dan silase tidak berbeda. Neraca nitrogen pada perlakuan amoniasi menghasilkan nilai positif, sedangkan pada kontrol dan silase adalah negatif. Menurtu Banerjee (1982) kalau nitrogen yang dimakan melebihi yang dikeluarkan dari dalam tubuh maka neraca nitrogen tersebut adalah positif, kondisi yang memperlihatkan ini adalah pertumbuhan. Neraca nitrogen negatif apabila nitrogen yang dikeluarkan dari dalam tubuh melebihi yang masuk melalui makanan, kondisi dapat disebabkan pemberian ransum yang rendah kadar proteinnya dan tidak cukup energinya. Perlakuan silase dan kontrol mempunyai nilai neraca nitrogen negatif sedangkan pada perlakuan amoniasi neraca nitrogennya bernilai positif. Perbedaan nilai antar perlakuan dapat disebabkan karena perlakuan amoniasi lebih banyak mengkonsumsi konsentrat, dimana konsentrat mengandung protein yang tinggi. Menurut Holmes dan Wilson (1984) konsumsi pakan dan kecernaannya memberikan pengaruh terhadap ketersediaan nitrogen di dalam tubuh ternak. Ketersediaan nitrogen tersebut dicerminkan oleh protein pakan yang dikonsumsi. Protein kasar ransum harian yang dikonsumsi dari perlakuan kontrol, silase dan amoniasi adalah 12,08 g ;57,0 g; 101,28 g, sedangkan kebutuhan harian protein domba untuk hidup pokok dengan berat badan berkisar 14 kg adalah 57,9 g (Haryanto, et al., 1992).

2004 Digitized by USU digital library

28

Dari ketiga perlakuan, kebutuhan protein pada perlakuan amoniasi sudah mencukupi dan sangat jauh berbeda dibandingkan dengan perlakuan kontrol dan silase. Ini dapat dilihat dari pertambahan bobot badan pada perlakuan amoniasi. Neraca Energi Sidik Ragam menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh terhadap neraca energi (P < 0,05). Uji BNT menunjukkan bahwa pada perlakuan amoniasi neraca energi lebih tinggi dibandingkan pada perlakuan kontrol atau silase. Neraca energi menunjukkan nilai positif pada perlakuan amoniasi. Perlakuan amoniasi memberikan pertambahan bobot badan bukan penurunan bobot badan seperti pada perlakuan silase dan kontrol. Perbedaan energi antara perlakuan diakibatkan karena pada perlakuan amoniasi ternak lebih banyak mengkonsumsi konsentrat, dimana konsentrat tersebut cukup mengandung protein yang tinggi yang dapat menyediakan energi dalam tubuh dan bila dilihat dari konsumsi harian energi ransum pada perlakuan kontrol, silase dan amoniasi adalah 0,29 M.Kal; 0,86 M.Kal; dan 1,62 M.Kal, dari konsumsi energi tersebut terlihat bahwa pada perlakuan amoniasi lebih tinggi dan sudah mencukupi kebutuhan energi harian domba, yaitu sebanyak 1,33 M.Kal dibandingkan dengan kontrol dan silase. Menurut Lindahl (1974) bahwa energi makanan yang lebih tinggi akan menyebabkan pertumbuhan yang lebih cepat serta produksi dagingnya akan lebih tinggi. Pertambahan Bobot Badan Pada ternak muda, pertumbuhan merupakan satu tujuan yang penting dari suatu pemeliharaan. Kelebihan makanan dari kebutuhan hidup pokok akan digunakan untuk meningkatkan bobot badan. Pertambahan bobot badan ternak dapat mencerminkan sejauhmana manfaat pakan yang diberikan kepada ternak. Dari Sidik Ragam menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata (P < 0,05) terhadap pertambahan bobot badan dan bila dilakukan uji BNT menunjukkan pertambahan bobot badan pada perlakuan kontrol dan silase tidak berbeda dan berbeda nyata dari perlakuan amoniasi. Dari rataan pertambahan bobot badan dapat dilihat bahwa pada perlakuan amoniasi terjadi peningkatan pada pertambahan bobot badan. Penggunaan konsentrat yang terdiri dari bungkil inti sawit, lumpur sawit dan serat perasan buah dalam penelitian ini hanya dapat mengakibatkan pertambahan bobot badan pada perlakuan amoniasi tetapi tidak dapat meningkatkan pertambahan bobot badan pada perlakuan silase maupun kontrol. Hal ini berbeda dengan pendapat Dalzell (1978) bahwa pemberian konsentrat yang masing-masing mengandung lumpur sawit, serta perasan buah, bungkil inti sawit, molases, urea, dan suplemen mineral vitamin menampilkan bahwa lumpur sawit dapat digunakan secara efektif dan memberi pertambahan bobot badan 0,47 kg per hari dan Jesse et al (1976) penggunaan konsentrat tinggi pada pakan (lebih dari 70%) pada penggemukan sapi daging akan meningkatkan konsumsi pakan, pertambahan bobot badan, efisiensi pakan, persentase karkas dan lemak, serta menurunkan biaya pakan per unit pertambahan bobot badan. Adanya pertambahan bobot badan pada perlakuan amoniasi dapat disebabkan karena kebutuhan protein dan energi dari ransum yang konsumsi telah mencukupi kebutuhan harian protein dan energi domba untuk hidup pokok dibandingkan dengan perlakuan kontrol dan silase.

2004 Digitized by USU digital library

29

Gambar 4. Pertambahan Bobot Badan pada Percobaan III (g/ekor/hari) Dari Gambar 4 dapat dilihat adanya pertambahan bobot badan pada perlakuan amoniasi, hal ini disebabkan karena kebutuhan protein dan energi yang dikonsumsi pada perlakuan amoniasi telah mencukupi untuk kebutuhan hidup pokok dibandingkan perlakuan kontrol dan silase. V. KESIMPULAN DAN SARAN 1. 2. Kesimpulan Pada perlakuan silase dan amoniasi dapat meningkatkan kandungan bahan kering, bahan organik, NH3 dan pH. Perlakuan silase dan amoniasi memberikan nilai yang lebih tinggi pada konsumsi ransum, kecernaan (bahan kering, bahan organik, dan NDF) serta memberikan nilai positif terhadap neraca nitrogen dan neraca energi dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Penambahan konsentrat dalam ransum daun kelapa sawit yang mendapat perlakuan silase memberikan pertambahan bobot badan negatif sedangkan pada perlakuan amoniasi pertambahan bobot badannya positif.

3.

Saran Perlu diteliti lebih lanjut penggunaan daun kelapa sawit dalam bentuk silase atau amoniasi yang dikombinasikan dengan hijauan lain yang belum dapat diberikan 100% sebagai ransum untuk domba.

2004 Digitized by USU digital library

30

DAFTAR PUSTAKA Ahlgren, G.H. 1956. Forage Crops, 2nd, Ed.,Mc.Graw-Hill Book Company, Inc., N.Y. Akmal, 1994, Pemanfaatan Wastelage Jerami Padi Sebagai Bahan Pakan Sapi FH Jantan. Tesis Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Anggorodi, R. 1990, Ilmu Makanan Ternak Umum. Gramedia, Jakarta. AOAC, 1984. Official Method of Analysis of Association Official Analytical Chemist. AOAC. Washington. Aritonang, D. 1984. Pengaruh Penggunaan Bungkil Inti Sawit Dalam Ransum Babi yang Sedang Bertumbuh. Disertasi Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Babjee, A.M. 1986. Palm kernel cake as a new feed for cattle. Asian Livestock 11 (5) : 50 55. Bacon, J.S.D.A., Chesson and A.H.Gordon. 1981. Deacetylation and enhancement of digestibility. Afric. Environm. 6 : 124-125. Banerjee, G.C. 1978. Animal Nutrition. Oxford & IBM Pub.Co Calcutta. Bamualim, A.1988. Prosedur dan Parameter Dalam Penelitian Makanan Ternak Ruminansia Dalam Prinsip Produksi dan Penelitian Peternakan, Kupang. Basya, S dan M.Nuraini, 1976. Tingkat Pemberian Tepung Gaplek (Manihot utilissima Pohl) dalam Ransum Sapi Perah Laktasi. Lembaga Penelitian Peternakan, Bogor, Bull. 16 : 29-40. , 1977. Penggunaan Tepung Gaplek (Manihot utilissima Pohl) sebagai Pengganti Jagung dalam Susunan Makanan Penguat Sapi Perah Dara. Lembaga Penelitian Peternakan, Bogor, Bull. 19 : 27-36. Belasco, J.C.1954. New nitrogen coumpound for ruminant A laboratory Evaluation. J.Anim. Sci. 13 : 601 610. Boorman, K.N. 1980. Dietary Constraint on Nitrogen Retention. In.P.J. Buttery and D.B.Lindsay ed.Protein Deposition in Animals. Butterworth Publisher, New Zealand. Bundy, C.E.and R.V.Diggins, 1958. Beef Production. Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, New York. Chalupa W.1975. Rumen by pass and protection of protein and amino acids. J.Dairy Sci. 58 : 198 204. Chant, J.L.Jr. 1980. The effect of sex energy level and weight on growth composition and quality of lamb. Nutr.Abstr.Rev. 50 (5) : 205 209. Church, D.C. and W.G.Pond. 1980. Basic Animal Nutrition and Feeding. 3rd ed Jhon Willey and Sons. New York.

2004 Digitized by USU digital library

31

Chuzaemi, S. dan M.Soejono. 1987. Pengaruh Urea Amoniasi Terhadap Komposisi Kimia dan Nilai Gizi Jerami Padi untuk Ternak Sapi Peranakan Onggole. Dalam : Proceedings Limbah Pertanian Sebagai Pakan dan Manfaat Lainnya, Grati. Coan, G.K. 1965. Risalah Mengenai Ceramah Ir. J.J. Olie dan Pengolahan Minyak Kelapa Sawit. Buletin BPP Medan 34 (7) : 159 162. Cole. H.I. 1966. Introduction to Livestock Production. W.H.Freeman and Co.San Fransisco. Conway, E.J. 1957. Microdiffusion of Analysis of Association Official Analytical Chemist of Georgia Press. Crampton, E.W. and L.E.Harris. 1969. Applied Animal Nutrition 2 nd Ed.W.H.Freeman and Co.San Fransisco. Cullison A.E. 1978. Feeds and Feeding 2nd. Ed.Reston Publishing Company, Inc.Reston. Virginia. Cullison, A.E., 1982. Feeds and Feeding 3nd. Ed.Reston Pub.Co. Inc.A.Prentice-Hall Co.Reston Virginia. Departemen Pertanian, 1980. Silase sebagai Makanan Pertanian. Balai Informasi Pertanian. Ciawi, Bogor. Ternak. Departemen

Devendra, C. 1978. Utilization of Feedingstuffs from the Oil Palm. Interaksi : Feedingstuffs for Livestock in South Easht Asia. Malaysia Society of Animal Production. Serdang Selangor, Malaysia. Djajanegara, A. 1986, Intake and Digestion of Cereal Straws by Sheep. Thesis PhD. University of Melbourne. Direktorat Jenderal Perkebunan Kelapa Sawit. 1995. Pengembangan Kelapa Sawit di Indonesia dan Tantangan Industri Kelapa Sawit. Medan. Doloksaribu, M., L.P.Batubara, E.Sembiring, J.Sirait dan A.D.Pitono, 1995. Penampilan Produksi Domba Persilangan Lokal Sumatera dan St.Croix di Lapangan Jurnal Penelitian Peternakan Sungai Putih 1 (5) : 24-30. Doyle, P.T., C.Devendra and G.R.Pearce. 1986. Rice Straw as A Fed for Ruminants. IDP Canberra. Ensminger, M.E. and C.G.Olentine. 1968. Feed and Nutrition Complete. 1nd. Ed.The Ensminger Publishing Company 3699, East Sierra Avenue, Clouis, California. Ensminger, M.E. 1977. Animal Science. 1nd. Ed.The Interstate Printers & Publisher, Inc. and Ville. Fetuga, B.L., G.M.Babatunde and V.A.Oyenuga. 1977. The value of palm kernel meal in finishing diets for pigs. I, II. J.Agric. Sci. Camb. 88 : 663-669. Gohl. B. 1981. Tropical Feeds. Feed Information Summaries and Nutritive Values. Animal Production and Health Series FAP No.12.

2004 Digitized by USU digital library

32

Haryanto, B., I.K.Sutama, B.Sudaryanto dan A.Djajanegara. 1992. Domba dan kambing untuk kesejahteraan masyarakat. Prosiding Sarasehan Usaha Ternak Domba dan Kambing Menyongsong Era PJPT II. Bogor. Herman R.1977. Konsumsi Bahan Kering berdasarkan berat badan domba Bulletin Makanan Ternak. Vol III (7) : 148 152. Hassan, A.O. and M.Ishida, 1991, Effect of water, Molasses and urea addition on oil palm frond silage quality-fermentation characteristic and palatability to Kedah-Kelantan bulls. In proceedings of the third International Symposium on the Nutrition of Herbivores. Penang. Malaysia. , 1991, Status of utilization of selected fibrous crop residues and animal performance with emphasis on processing of oil palm frond (OPF) for ruminant feed in Malaysia. Livestock Research Division Malaysian Agricultural Research and Development Institute (MARDI) Kualalumpur, Malaysia. Holmes, C.W. and G.F.Wilson, 1984. Milk Production from Pasture. Butterworths Agric.Book. Wellington New Zealand. Hungata, R.E. 1966. The Rumen and Its Microbes. Academic Press.New York. Jalaludin, S. and RI.Hutagalung, 1982, Feeds for Farm Animals from the Oil Palm.University Pertanian Malaysia, Malaysia. Jesse. G.W., G.B.Thompson, J.L.Clark, H.B.Hendrick, and K.G.Weiner, 1976. Effect of ration energy and slauhgter weight on composition of empty body and carcas gain of beef cattle. J.Anim.43 (2) : 418 425. Ishida, M.and A.O.Hassan. 1992. Chemical Composition and in vitro digestibility of leaf and petiole from various location in oil palm fronds. In proceedings of 15th Malaysian Society of Animal Production, May 26-27, 1992, Kuala Trengganu, Malaysia, 115-118. , 1992. Effect of urea treatment level on nutritive value of oil palm fronds silage in Kedah-Kelantan bulls. Interaksi Proceedings of the 6th AAAP Animal Science Congress, Vol.3 AHAT, Bangkok, Thailand, pp.68. , 1992. Effect of oil palm frond silage feeding on utilization of dietand meat production interaksi fattening cattle in the tropics. In proceedings of the 8th annual meeting of Jpn. Zootech. Sci.Soc.Iwate University, Iwate, pp.75 (In Japanese). Jafar, M.D. and A.O.Hassan, 1990. Optimum Steaming Condition of PPF for feed utilization. Processing and utilization of oil palm by-products for ruminant. MARDI-TARC Collaborative Study. MALAYSIA Jung. H.G. 1989. Forage Lignins and their effect on feed digestibility. Agron. J.Vol 81 : 33 38. Jackson, M.G. 1977. The alcali treatment of straw, Anim. Feed Sci and Tech. 2 : 105 130.

2004 Digitized by USU digital library

33

Keshan, J. and U.B.Singh, 1980, Relationship between nitrogen intake and excretion in cattle and buffaloes fed different fodders. Indian J.Anim.Sci. 50 : 128 130. Lindahl. I.L. 1974. Nutrition and Feeding of Goats.In : Digestive Physiology and Nutrition of Ruminants. Church. D.C. Vol.3. Practical Nutritional. Department of Animal Science. Oregon State University. Cornelis. USA. Lloyd, L.E., B.E. Mc.Donald and E.W.Crampton, 1978. Fundamental of Nutrition. W.H.Freeman and Co.San Fransisco. Loosli, J.K. and I.W.Mc.Donald. 1968. NPN interaksi the Nutrition of Ruminant, FAO Roma. Lubis. D.A.1963. Ilmu Makanan Ternak. PT.Pembangunan Jakarta. Wodzicka. M.Tomaszewska. I.M.Mastika, A.Djajanegara, S.Gardiner dan T.R.Wiradarya. 1993. Produksi Kambing dan Domba di Indonesia. Sebelas Maret University Press. Martawidjaja. M., A.Wilson dan B.Sudaryanto, 1990. Suplementasi Gaplek Dalam Ransum yang Menggunakan Rumput Gajah dan Bungkil Biji Kapuk untuk pertumbuhan Domba. Ilmu dan Peternakan 4 (3) : 303 306. Maynard, L.A., J.K.Loosli, H.F.Hinz and K.G.Warner,1979. Animal Nutritions, seventh ed. TMH Ed. Tata Mc.Graw-Hill Book Company. Inc. New York. Mc.Donald, P.and Whittenbury. 1973. The Ensilage Process. Chemistry and Biochemistry of Herbage. 3. (G.W.Butter and R.W.Bailey, eds). London, Academic Press. Mc.Donald, P., R.A.Edward and J.F.D.Greenhalhg. 1988. Animal Nutrition. 4nd Ed.Longman Group Ltd. London and New York. Meacham, and T.J.Cunha. 1989. Influence of low protein rations on growth and semen characteristic of young beef bulls, J.Anim. Sci. 67 (11) : 185 196. Morrison, F.B. 1959. Feeds and Feeding (22nd ed). The Morrison Publishing Coy.Ithaca. National Research Council. 1976. Urea and Other Non Protein Nitrogen Coumpounds in Animal Nutrition. National Academy of Science. Washington, D.C. Obst.J.M., T.D.Chaniago and T.Boyes, 1980, Survey on Sheep and Goats Slaughtered at Bogor, West Java Indonesia. Centre for Animal Research and Development, Bogor. Parakkasi, A. 1983, Ilmu Gizi dan Makanan Ternak. Penerbit Angkasa Bandung. Parakkasi, A. 1987, Ilmu Nutrisi Ruminansia Pedaging. Diktat Kuliah Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

2004 Digitized by USU digital library

34

Pigden, W.J. and F. Bender. 1978. Utilization of Lignocellulosic by ruminant. World. Anim. Rev. 12 : 30-33. Pioner Development Foundation. 1991. Silage Technology. A.Trainers Manual. Pioner Development Foundation for Asia and The Pacific Inc. :15 24. Preston, T.r. and R.A.Leng. 1987. Matching Ruminant Production Systems with Available Resources in the Tropic and Sub-Tropic. International Colour Production. Stanthorpe, Queensland, Australia. Price. M.A., S.D.Jones, G.W.Muthison and R.T.Berg. 1980. The effect of increasing dietary roughage live and slaughter weight on the feedlot performance and carcass characteristic of Bull and Steer. J.Anim. Sci. 60 : 345 352. Ranjhan, S.K. and N.N.Pathak. 1979. Management and Feeding of Buffaloes. Vikas Publishing House Put. Ltd. New Delhi. Rangkuti dan Umi A.1991. Hasil Penggunaan Konsentrat untuk ternak ruminansia, Puslitbang Peternakan, Bogor. Reksodihardiprodjo, S., 1984, Pengantar Ilmu Peternakan Tropik. Penerbit BPFEYogyakarta. Schmidt, L., F.Weissbach., H.J. Block and K.Hacker, 1982. Urea as Preservative used interaksi storing moist feedstuffs, 2. Preservation and treatment of straw by supplementing with urea. Arch Tierernaehr, 32: 56 63. Siregar, S.B. Pengawetan Pakan Ternak, 1995. Penebar Swadaya, Jakarta. Soegiri,J., Djarsanto, R.Hidayat dan D.S.Simandjuntak. 1972. Pedoman Petugas Hijauan Makanan Ternak Direktorat Jenderal Peternakan Jakarta. Soejono, M. 1986. The Effect of Duration (weeks) Urea Ammonia Treatment on In Vivo Digestibility. Unpublished. Steel. R.G.D. dan J.H.Torrie, 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika, PT.Gramedia, Pustaka Utama, Jakarta. Subandriyo, 1995. Pemuliaan Bangsa Domba Sintetis Hasil Persilangan Antara Domba Lokal Sumatera dengan Domba Bulu. Sei Putih-Galang, Sumatera Utara. Sundstol, F.and E.Owen, 1984. Straw and Other fibrous by products as feed. Elsevier science publisher B.V. Susetyo, Kismono dan B.Soewardi, 1969. Hijauan Makanan Ternak, Direktorat Peternakan Rakyat Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian. Jakarta. Sutardi, T. 1977, Ikhtisar Ruminologi. Bahan Penataran Khusus Peternakan Sapi Perah di Kayu Ambon. Lembang. BPLPP. Direktorat Jenderal Peternakan, Bogor.

2004 Digitized by USU digital library

35

, 1980. Landasan Ilmu Nutrisi I. Departemen Ilmu Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Sutrisno, C.I., H.S.Sulistiono, D.B.Vitus dan Whitono. 1985. Daya cerna dan pertambahan bobot badan domba jantan yang mendapatkan ransum pucuk tebu. Dalam : Proceeding Seminar Pemanfaatan Limbah Tebu Untuk Makanan Ternak, Bogor. Tedjowahjono, S. dan A.Musofie, 1979, Silase Pucuk Tebu Sebagai Laporan yang Disampaikan di Depan Rapat Koordinasi Bulanan Kantor Wilayah Departemen Pertanian Propinsi Jawa Timur di Bedali tanggal 28 Maret 1979. Tillman AD., H.Hartadi, S.Reksohadiprodjo, S.Prawirokusumo dan S.Lebdosoekotjo, 1989. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gajah Mada University Press, Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta. Tim Penulis PS.1998. Kelapa Sawit. Penebar Swadaya. Jakarta. Van Soest, P.J. and L.H.P. Jones. 1968. Effect of silica interaksi forages upon digestiliby. J.Dairy Sci. 51 : 1644 1648. Van Soest, P.J. 1982. Nutritional Ecology of The Ruminant, Comstock Publishing Assoc. Cornell University Press, USA. Walker. H.G. and G.O.Kohler, 1978. Treated and Untreated Cellulosic Wastes and Animal Feeds. Recents Work interaksi the United States of America. Wanapat, M.S., S.Praserdsuk, Chatai and Sivapraphagon. 1982. Effects on rice straw utilization of treatment with ammonia released from urea and or supplementation with cassava chips. Paper at the 2nd. Annual workshop of the AFAR Research Network 3-7 May 1982. UPM. Malaysia. Wardhani, W.K., A.Musofie dan S.Tedjowahjono, 1987. Pengaruh Bahan Tambahan Tetes dan Urea terhadap Kualitas, Palatabilitas dan Koefisien Cerna Silase Pucuk Tebu. Puslitbang Peternakan. Bogor.

2004 Digitized by USU digital library

36

You might also like