You are on page 1of 68

KAPITA SELEKTA EPIDEMIOLOGI PENYAKIT tidak MENULAR

Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Nilai Tugas Mata Kuliah Epidemiologi Penyakit Tidak Menular

Oleh : Sofia Septiani NIM : 108101000055 Semester 4B

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H. 2010 M.

I.

EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR

Di Indonesia terjadi perubahan pola penyakit yaitu dari penyakit menular ke penyakit tidak menular yang dikenal sebagai transisi epidemiologi. Perhatian terhadap penyakit tidak menular makin hari makin meningkat karena semakin meningkatnya frekuensi kejadiannya pada masyarakat. Istilah penyakit tidak menular dipakai dengan maksud untuk membedakan kelompok penyakit-penyakit lainnya yng tidak termasuk dalam penyakit menular. Penyakit tidak menular memiliki beberapa karakteristik, antara lain : a. Penularan penyakit tidak melalui suatu rantai penularan tertentu b. Masa inkubasi yang panjang dan laten c. Perlangsungan penyakit yang berlarut-larut (kronis) d. Banyak menghadapi kesulitan diagnosis e. Mempunyai variasi yang luas f. Memerlukan biaya yang tinggi dalam upaya pencegahan maupun penanggulangannya g. Faktor penyebabnya bermacam-macam, bahkan tidak jelas Faktor Risiko dan Kriteria Hubungan Kausal Jenis Faktor Risiko Dikenal beberapa macam faktor risiko menurut segi dari mana faktor risiko itu diamati. Menurut dapat tidaknya faktor risiko itu diubah, dikenal :
a. Unchangeable risk factors: faktor risiko tidak dapat berubah, misalnya,

faktor umur atau genetik.

b. Changeable risk factors: faktor risiko yang dapat berubah, misalnya,

kebiasaan merokok atau latihan olahraga. Menurut kestabilan peranan faktor risiko dikenal :
a. Suspected risk factors: faktor risiko yang dicurigai, yakni faktor-faktor

yang belum mendapat dukungan sepenuhnya dari hasil; hasil penelitian sebagai faktor risiko. Misalnya, rokok sebagai penyebab kanker leher rahim. b. Established risk factors: faktor risiko yang telah ditegakkan, yakni faktor risiko yang telah mantap mendapat dukungan ilmiah/penelitian dalam peranannya sebagai faktor yang berperanan dalam suatu kejadian penyakit. Misalnya, rokok sebagai faktor risiko terjadinya kanker paru. Kriteria Faktor Risiko Konsep kausaliti menurut Austin Bradford Hill, yaitu : 1) Kekuatan hubungan 2) Temporal 3) Respond terhadap dosis 4) Reversibilitas 5) Konsistensi 6) Kelayakan biologis 7) Spesifitas 8) Analogi

II.

EPIDEMIOLOGI PENYAKIT JANTUNG KORONER

A. Perkembangan Penyakit Jantung Koroner

Global

Di belahan negara dunia, penyakit jantung merupakan penyebab kematian nomor satu pada orang Amerika dewasa. Setiap tahunnya, di Amerika Serikat 478000 orang meninggal karena penyakit jantung koroner, 1,5 juta orang mengalami serangan jantung, 407000 orang mengalami operasi peralihan, 300000 orang menjalani angioplasti. Di Eropa diperhitungkan 20.000-40.000 orang dari 1 juta penduduk menderita PJK. Penyakit jantung, stroke, dan aterosklerosis merupakan penyakit yang mematikan. Di seluruh dunia, jumlah penderita penyakit ini terus bertambah. Ketiga kategori penyakit ini tidak lepas dari gaya hidup yang kurang sehat, yang banyak dilakukan seiring dengan berubahnya pola hidup. Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) dan Organisasi Federasi Jantung Sedunia (World Heart Federation) memprediksi penyakit jantung akan menjadi penyebab utama kematian di negara-negara Asia pada tahun 2010. Saat ini, sedikitnya 78% kematian global akibat penyakit jantung terjadi pada kalangan masyarakat miskin dan menengah. Di negara berkembang dari tahun 1990 sampai 2020, angka kematian akibat penyakit jantung koroner akan meningkat 137 % pada laki-laki dan 120% pada wanita, sedangkan di negara maju peningkatannya lebih rendah yaitu 48% pada laki-laki dan 29% pada wanita. Di tahun 2020 diperkirakan penyakit kardiovaskuler menjadi penyebab kematian 25 orang setiap tahunnya. Lokal

Prevalensi nasional Penyakit Jantung adalah 7,2% (berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan dan gejala). Hasil survey kesehatan nasional tahun 2001 menunjukkan tiga dari 1.000 penduduk Indonesia menderita PJK. Tingginya angka kematian di Indonesia akibat penyakit jantung koroner (PJK) mencapai 26%. Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Nasional (SKRTN), dalam 10 tahun terakhir angka tersebut cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 1991, angka kematian akibat PJK adalah 16 %. kemudian di tahun 2001 angka tersebut melonjak menjadi 26,4 %. Angka kematian akibat PJK diperkirakan mencapai 53,5 per 100.000 penduduk di negara kita. Survey di tiga kecamatan di daerah Jakarta Selatan pada tahun 2000 menunjukkan prevalensi lansia melewati angka 15% yang sebelumnya diperkirakan hanya 7,5% bagi Negara berkembang. Prevalensi PJK (Penyakit Jantung Koroner) diperkirakan mencapai 50% dan angka kematian mencapai lebih dari 80% yang berarti setiap 2 orang lansia.

B. Riwayat Alamiah Penyakit

1. Fase Kerentanan Faktor penyebab pertama belum menimbulkan penyakit, tetapi telah meletakkan dasar-dasar bagi berkembangnya penyakit. Hal ini berarti merupakan faktor resiko. Dalam penyakit jantung koroner yang menjadi fase kerentanan antara lain: a. Kolesterol LDL yang tinggi b. Pengidap diabetes lama yang sudah berkomplikasi ke arah koroner jantung. c. Pria mempunyai mempunyai resiko lebih tinggi daripada wanita. d. Usia lanjut mempunyai resiko untuk terkena penyakit jantung.
5

e. Tingkat sosial ekonomi yang tinggi mempunyai resiko terkena penyakit jantung koroner.
f. Hipertensi.

g. Rokok. h. Obesitas,
2.

Fase Pre-Simptomatik Pada tahap ini belum terjadi gangguan fungsi organ dan belum

menunjukkan gejala. Terjadi perubahan anatomi dan histologi. Pada penyakit jantung koroner terjadi aterosklerotik pada pembuluh darah koroner yang mengakibatkan penyempitan pembuluh darah. Fase ini sulit untuk didiagnosa secara klinis. 3. Fase Klinis Penyakit Merupakan kondisi ketika telah terjadi perubahan fungsi organ yang terkena dan menimbulkan gejala. Penderita jantung koroner yang mengalami penyumbatan arteri koroner akan kekurangan aliran darah ke otot jantung. Dinding arteri koroner yang mengandung serabut-serabut otot polos, oleh suatu sebab dapat berkerut (spasme) dengan akibat menyempitnya pembuluh darah secara tiba-tiba, sehingga penderita merasakan nyeri dada, bahkan sampai terjadi serangan jantung mendadak. Manifestasi gejala yang timbul dapat berupa angina pectoris yang biasanya timbul karena adanya kekurangan suplai oksigen ke otot jantung pada saat aktivitas ataupun dalam keadaan istirahat. Biasanya ditandai dengan sakit yang khas yaitu sesak nafas di tengah dada yang dapat menyebar sampai leher dan rahang, pundak kiri atau kanan dan lengan, Serangan gejala nyeri dada semakin hari semakin berlangsung lama. Kondisi lainnya dikenal dengan acute myocard infarct (AMI) yaitu rusaknya otot jantung akibat penyumbatan arteri secara total yang disebabkan pecahnya plak lemak atherosclerosis pada arteri koroner secara tiba-tiba dan akan menimbulkn gejala sakit dada yang hebat, nafas pendek

dan seringkali penderita akan kehilangan kesadaran sesaat. Gangguan perut juga bisa merupakan bagian dari gejala penyakit jantung juga. 4. Fase Akhir Penyakit Penyakit jantung koroner timbul akibat timbunan lemak atau karang yang disebut atheroma, terjadi di dalam dinding arteri pemasok darah beroksigen ke jantung dan menyempit hingga aliran darah terganggu. Penyakit jantung koroner dapat menyebabkan nyeri dada. Dapat muncul saat bekerja berat atau ketegangan emosi, saat jantung membutuhkan oksigen tapi tidak dapat terpenuhi karena menyempitnya arteri koroner. Namun banyak pengidap jantung koroner yang tidak mengalami gejala apaapa. Mereka sering menyadarinya setelah mengalami serangan jantung, yang terjadi ketika penggumpalan darah (atheroma) menyumbat arteri dan memutuskan suplai darah ke jantung.

C. Faktor Risiko

Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi :

o o o

Usia Jenis kelamin Riwayat penyakit

Faktor resiko yang dapat dimodifikasi

o
o

Diet Obesitas Dislipidemia Hipertensi Kurangnya aktifitas fisik Diabetes Merokok


7

o o
o

o o

o o

Hiperkolesterolemi Hiperurisemi

o o o o o

FAKTOR RESIKO LAIN

Konsumsi Sodium/Natrium Konsumsi Alkohol Iklim dan polusi Menggunakan Oral kontrasepsi Inflamasi

o o Stres

FAKTOR PSIKOSOSIAL

Pekerjaan

D. Program Pencegahan dan Penanggulangan PJK

Ada beberapa tingkat upaya pencegahan pada penyakit jantung koroner :


1. Pencegahan

primordial yaitu upaya pencegahan munculnya faktor

predisposisi terhadap PJK dalam satu wilayah dimana belum tampak adanya faktor yang menjadi resiko PJK.
2. Pencegahan primer yaitu sebagai langkah awal pencegahan PJK sebelum

seseorang menderita. Dilakukan denagn pendekatan komuniti berupa penyuluhan faktor-faktor resiko PJK terutama pada kelompok resiko tinggi. Dipencegahan ini tujuannya adalah untuk mencegah berkembangnya proses areterosklerosis dini. Dengan demikian sasarannya adalah kelompok usia muda.
3. Pencegahan sekunder yaitu upaya pencegahan pada keadaan PJK yang sudah

pernah terjadi agar tidak menjadi lebih berat atau berulang. Disini diperlukan perubahan poal hidup dan kepatuhan berobat bagi mereka yang sudah menderita PJK. Tujuan dari pencegahan sekunder ini unutk mempertahankan nilai prognostik yang lebih baik dan menurunkan mortalitas.
4. Pencegahan tersier yaitu upaya mencegah terjadinya komplikasi yang lebih

berat atau kematian. Pengobatan


Obat-obatan

Penyakit jantung koroner (PJK) akibat penyempitan arteri koroner, sehingga supplai darah ke otot jantung berkurang. Maka obat-obat untuk penyakit jantung koroner (PJK) dikelompokkan menjadi 3 : Pertama, obat-obat yang dapat meningkatkan suplai darah ke otot jantung. Kedua, obat-obat yang menurunkan kebutuhan oksigen pada otot jantung. Ketiga, obat-obat untuk penyakit penyerta.

Balon dan pemasangan stent.

Balon arteri koroner adalah suatu teknik menggunakan balon halus yang dirancang khusus untuk membuka daerah sempit di dalam lumen arteri koroner. Operasi By-pass Operasi Bypass adalah penyambungan pembuluh darah baru dari pangkal aorta ke distal penyempitan sehingga darah tetap mengalir melalui bypass. Tujuan operasi bypass adalah untuk meningkatkan suplai darah ke miokard sehingga dapat meredakan keluhan nyeri dada, menurunkan kejadian serangan jantung dan memperpanjang hidup pasien.

10

III.

EPIDEMIOLOGI PENYAKIT DIABETES MELLITUS

A. Perkembangan Penyakit Diabetes Mellitus

Berdasarkan beberapa data yang didapatkan, prevalensi penyakit Diabetes Mellitus khususnya di Indonesia, meningkat setiap tahunnya.

B. Riwayat Alamiah Penyakit

1. Periode prediabetes

Pada masa ini belum terdapat abnormalitas dari metabolisme Tapi sudah membawa faktor genetik ( carriers). Pasien masih bersifat asimptomatik ( belum timbul gejala-gejala) Tapi sudah ada abnormalitas metabolisme pada pemeriksaan laboratoris

2. Periode diabetes kimiawi

3. Periode klinis

11

Fase dimana penderita sudah menunjukkan gejala-gejala dan tandatanda penyakit DM. Gejala-gejala diabetes mellitus antara lain: Trias Poli : Polidipsi (banyak minum), polifagia (banyak makan), dan poliuri (banyak buang air kecil) Disertai keluhan sering kesemutan terutama jari-jari tangan, badan lemas, gatal-gatal dan bila ada luka sukar sembuh. Kadang berat badan turun secara drastis. Kadar gula darah normal yaitu: - puasa: 80 - < 110 gr/dl - setelah makan: 110 - < 160gr/dl Penyulit atau komplikasi adalah penyakit jantung kronis, hipertensi.

C. Faktor risiko

DM tipe 1: - Genetik Suseptibilitas


- Usia (10-13 tahun)

- Ras / Etnik
- Keturunan Eropa (orang-orang Skandinavia)

DM tipe 2 : - Unchangeable Risk Factors

Riwayat Keluarga Usia ( 45 tahun) Riwayat melahirkan berat badan bayi 4 kg

- Changeable Risk Factors

Stress Pola Makan yang Salah


12

Minimnya Aktivitas Fisik Obesitas Hipertensi Merokok

13

D. Program Pencegahan dan Penanggulangan DM

1) PENCEGAHAN PRIMER o Penyuluhan mengenai pentingnya kegiatan jasmani teratur, pola dan jenis makanan yang sehat, menjaga badan agar tidak terlalu gemuk, dan risiko merokok bagi kesehatan 2) PENCEGAHAN SEKUNDER
Skrinning : tes urin, kadar gula darah Pengobatan DM tipe I (IDDM) dengan suntikan insulin dan tipe II

(NIDDM) bisa terkontrol dengan obat minum (OAD) DIET Membiasakan diri untuk hidup sehat Menjaga berat badan Tekanan darah Kadar kolesterol Berhenti merokok berolahraga secara teratur Konsumsi sayuran dan buah-buahan 3) PENCEGAHAN TERSIER
Ditujukan pada kelompok penyandang DM yang telah mengalami penyulit

dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut


Dilakukan sedini mungkin, sebelum kecacatan menetap Tetap dilakukan penyuluhan pada pasien dan keluarga untuk mencapai

kualitas hidup yang optimal

14

PENANGGULANGAN

Program pengendalian DM di Indonesia dilakukan melalui pencegahan primer oleh PT.Merck Indonesia Tbk bekerja sama dengan Depkes RI, organisasi profesi seperti PERKENI dan organisasi kemasyarakatan seperti PERSADI dan PEDI, yaitu program bertajuk Pandu Diabetes dengan simbol Titik Oranye.

Kegiatan : memberikan informasi dan edukasi mengenai Diabetes Mellitus dan pemeriksaan kadar gula darah secara gratis bagi sejuta orang yang telah diluncurkan oleh Menkes pada 15 Maret 2003

15

IV.

EPIDEMIOLOGI PENYAKIT KANKER SERVIKS

A. Perkembangan Penyakit Kanker Serviks

Kanker serviks/ Karsinoma serviks uterus/ Kanker leher rahim adalah kanker yang paling banyak diderita wanita di seluruh dunia, merupakan jenis kanker terbanyak kedua pada wanita, dan menjadi penyebab lebih dari 250.000 kematian pada tahun 2005. Kurang lebih 80% kematian tersebut terjadi di Negara berkembang. Setiap satu jam, satu perempuan Indonesia meninggal akibat kanker leher rahim (serviks). kejadian kanker serviks mencapai prevalensi (angka kejadian) hingga 90-100 kasus per 100.000 penduduk, dengan temuan 200.000 kasus baru tiap tahunnya. Di tingkat Asia Pasifik, kanker seviks merenggut satu nyawa perempuan setiap empat menit, Sedangkan untuk ukuran seluruh dunia, kematian akibat kanker serviks ini terjadi setiap dua menit. Kejadian kanker leher rahim di dunia merupakan kanker kedua terbanyak pada wanita dan terdapat 500 kasus baru per tahunnya.

B. Riwayat Alamiah Penyakit

Perjalanan kanker serviks ini berawal dari proses yang berkaitan dengan pergantian epitel kolumnar menjadi epitel skuamosa atau disebut dengan proses metaplasia. Perubahan ini biasanya terjadi di SSK (sambungan skuamo kolumnar) atau daerah tranformasi. Daerah tranformasi adalah daerah antara SSK asli dan SSK baru. Proses perubahan ini disebabkan oleh faktor etiologi dan faktor risiko.

Mula-mula terjadi perubahan sel menjadi diplasia. Diplasia mencakup pengertian berbagai gangguan maturasi epitel skuamosa yang secara sitologik dan hispatologik berbeda dari epitel normal, tetapi tidak memenuhi
16

persyaratan karsinoma.

Diplasia ini dibagi atas 3 tingkat yaitu diplasia

ringan, sedang, dan berat. Diplasia berat akan berubah menjadi karsinoma in situ, yang selanjutnya dapat berubah menjadi kanker invasive. Displasia yang berubah menjadi kanker yang menyebar secara langsung ke jaringan sekitarnya, juga menyebar secara limfogen dan hematogen. Semakin luas lesi primernya di serviks semakin banyak dan luas kemungkinan terlibatnya kelenjarn-kelenjar limfe dari system limfatik. Hati adalah alat yang paling sering terkena pada metastasis secara hematogen, meskipun alat lain dapat pula terkena seperti paru-paru, otak, ginjal, dan lainlain Pada stadium akhir, umumnya penderita kanker serviks meninggal karena uremia disebabkan oleh hydronefrosis akibat metastasis sel tumor ke tractus urinarus, perdarahan, infeksi dan akibat metastasiskeorgan jauh Ketahanan hidup 5 tahun setelah pengobatan kanker serviks pada stadium 0 = 100%, stadium I = 80%-90%, stadium II = 20-30% dan stadium IV = 0-5%.

GEJALA KANKER SERVIKS

Keputihan (lekore) Perdarahan setelah senggama yang kemudian berlanjut menjadi perdarahan abnormal Perdarahan antara haid atau setelah mati haid (menopause) Rasa berat di perut bawah Rasa kering di vagina Bila kanker sudah masuk stadium invasive, keluar cairan berwarna kekuning-kuningan, berbau, dan dapat bercampur dengan darah Timbul gejala kekurangan darah (anemia) bila terjadi perdarahan kronis, misalnya pucat, lesu, mudah lelah, mengantuk, berdebar, dan sebagainya Timbul nyeri di tempat-tempat lain bila sudah terjadi penyebaran (metastasis)

17

Pada stadium lanjut, badan menjadi kurus karena kurang gizi, edema kaki, iritasi kandung kencing dan poros usus besar bagian bawah (rektum), terbentuk fistel vesikovaginal atau rektovaginal, dan gejalagejala akibat metastasis jauh.

KLASIFIKASI Secara histopatologi kanker serviks diklasifikasikan dalam empat klasifikasi yaitu:
Displasia; pertumbuhan aktif disertai gangguan proses pematangan epitel

skuamosa yang dimulai pada bagian basal sampai ke lapisan superficial.

Karsinoma In Situ (KIS) Pada KIS perubahan sel epitel terjadi pada seluruh lapisan epidermis menjadi karsinoma skuamosa namun membrane basalis dalam keadaan utuh.

Karsinoma Mikroinvasif Pada karsinoma mikroinvasif, disamping perubahan derajt pertumbuhan meningkat, juga sel tumor menembus membrane basalis.

Karsinoma Invasif Perubahan derajt pertumbuhan sel menonjol, besar dan bentuk sel bervariasi, inti gelap, kromatin berkelompok tidak merata dan susunan sel semakin tidak teratur. Gambar di bawah ini menunjukkan stadium kanker serviks (Dikutip dari http://www.edric-online.com/content/kanker-servik-dan-

pencegahannya)

18

C. Faktor risiko

Faktor risiko yang perlu mendapat perhatian adalah Human Pavilloma Virus (HPV). HPV tipe 16, 18, 31, 33, 35, 45, 51, 52, dan 58 sering ditemukan pada kanker dan lesi prakanker. HPV adalah DNA virus yang menimbulkan proliferasi pada permukann epidermal dan mukosa. Infeksi virus papilloma sering terdapat pada wanita yang aktif secara seksual. 1 Virus yang menginfeksi pada saat pertama kali tidak langsung muncul sebagai tumor/kanker. Infeksi pertama akan berkembang kearah kanker serviks tergantung dari jenis/tipe HPVnya, tipe resiko rendah atau resiko tinggi, yang akan menimbulkan kelainan lesi pra kanker. Lesi pada tipe resiko rendah (tipe 6 dan 11) hampir tidak beresiko menjadi kanker dan hanya menimbulkan kelainan yang disebut genital wart ( kutil pada kelamin). Pada infeksi HPV, lesi prakanker dapat regresi (sembuh sendiri karena system kekebalan tubuh alamiah), menetap atau progresif. Sebagian besar dapat regresi dalam waktu 1-2 tahun. Akan tetapi
1

Imam, Rasjidi. Panduan Penatalaksanaan Kanker Ginekologi. (Jakarta: EGC. 2007). Cet 1. h.6

19

lesi yang menetap karena infeksi HPV resiko tinggi (tipe 16 dan 18) akan cenderung berkembang menjadi kanker (progresif) dalam waktu cepat ataupun lambat. Infeksi ini akan menyebabkan perubahan pada sel-sel serviks sehingga sel abnormal tumbuh lebih cepat tanpa terkontrol dan membentuk benjolan tumor. 2 Infeksi HPV dapat terjadi melalui penyebaran seksual oleh karena itu dapat menginfeksi semua orang. Wanita yang mulai berhubungan seksual pada usia muda (dibawah 20 tahun) dan sering berganti pasangan memiliki resiko tinggi untuk terkena infeksi HPV. Namun tidak berarti yang setia dengan satu pasangan tidak beresiko, karena semua wanita memiliki resiko yang sama. Pasangan yang terinfeksi HPV dapat menjadi sumber penularan. Faktor predisposisi atau faktor yang mempengaruhi kanker serviks timbulnya

adalah sebagai berikut:3 1) Infeksi HPV

2) Perilaku seksual 3) Merokok 4) Nutrisi

http://www.forumkami.com/forum/kesehatan/3530-kanker-serviks-deteksidini-dan-pencegahan.html. Diakses pada tanggal 21 Maret 2010 pukul 11:27 WIB Setiawan, Dalimartha. Op.cit. h.17-18

20

5) Trauma kronis pada serviks 6) Kontrasepsi oral 7) 8) Perubahan sistem imun Paritas

D. Program Pencegahan dan Penanggulangan Kanker Serviks

Pencegahan Pengendalian kanker serviks dengan pencegahan dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: a. Pencegahan primer Kegiatan yang dilakukan seperti memberikan informasi dan program kesehatan atau penyuluhan yang menekankan pada perilaku hidup sehat untuk mengurangi atau menghindari faktor risiko, seperti usia kawin muda, pasangan seksual ganda, dan lain-lain. Selain itu, pencegahan primer dapat melalui imunisasi HPV pada kelompok masyarakat.4 b. Pencegahan sekunder Pencegahan ini dilakukan dengan deteksi dini dan skrining kanker serviks yang bertujuan untuk menemukan kasus-kasus dini, sehingga kemungkinan penyembuhan dapat ditingkatkan. Program skrining dapat dilakukan dengan pemeriksaan sitologi atau dikenal sebagai pap smear .5 c. Pencegahan tersier Pencegahan tersier bertujuan untuk mencegah komplikasi penyakit dan atau pengobatan, sesudah gejala klinis berkembang dan diagnosis sudah ditegakkan. Pengobatan pada pra kanker. Dikenal beberapa pengobatan, antara lain:
4

Nasrin, Kodim. Krisnawaty Bantas, dkk. Himpunan Bahan Kuliah Epidemiologi Penyakit Tidak Menula, h. 155 5 Ibid. h. 155

21

Kauterisasi, yaitu membakar serviks secara elektris Kriosurgeri, yaitu serviks dibuat beku sampai minus 80-1800C dengan menggunakan gas CO2 atau N2O Operasi (histerektomi) bila penderita tidak ingin punya anak lagi Sinar laser yang digunakan di bawah pengawasan kolposkop. Terapi radiasi dapat bertujuan untuk kuratif dan paliatif. Bila untuk kuratif biasanya radiasi diberikan secara internal dan eksternal. Pengobatan Bila ditemukan pada stadium dini, kesembuhan penyakit kanker serviiks akan sempurna, hampir 100%. Pengobatan stadium pra-kanker dapat dilakukan dengan cara seperti krioterapi, vaporisasi laser, elektrokoagulasi diatermi, dan konisasi. Pengangkatan rahim (uterus) total bisa dipertimbangkan bila sudah cukup anak. Setelah operasi pengangkatan rahim total, dilanjutkan dengan radioterapi. Kemoterapi dilakukan pada stadium lanjut yang telah bermetastasis jauh atau timbul kekambuhan.

22

V.

EPIDEMIOLOGI PENYAKIT KANKER PAYUDARA

A. Perkembangan Penyakit Kanker Payudara

Kanker payudara merupakan kanker terbanyak kedua sesudah kanker leher rahim di Indonesia (Tjindarbumi, 1995). Sejak 1988-1992, keganasan tersering di Indonesia tidak banyak berubah. Kanker leher rahim dan kanker payudara tetap menduduki tempat teratas. Selain jumlah kasus yang banyak, lebih dari 70% penderita kanker payudara ditemukan pada stadium lanjut (Moningkey, 2000). Data dari Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan menunjukkan bahwa Case Fatality Rate (CFR) akibat kanker payudara menurut golongan penyebab sakit menunjukkan peningkatan dari tahun 1992-1993, yaitu dari 3,9 menjadi 7,8 (Ambarsari, 1998).6 Diperkirakan pada tahun 2006 di Amerika, terdapat 212.920 kasus baru kanker payudara pada wanita dan 1.720 kasus baru pada pria, dengan 40.970 kasus kematian pada wanita dan 460 kasus kematian pada pria (Anonimc, 2006). Di Indonesia, kanker payudara menempati urutan ke dua setelah kanker leher rahim (Tjindarbumi, 1995). Kejadian kanker payudara di Indonesia sebesar 11% dari seluruh kejadian kanker (Siswono, 2003).7 "Berdasarkan data Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) 2007, kejadian kanker payudara sebanyak 8.227 kasus atau 16,85% dan kanker leher rahim 5.786 kasus atau 11,78%,". Menurut Tjandra, angka kejadian kanker payudara cenderung menurun. Tahun 2006 , kejadian kanker payudara sebanyak 8.327 kasus atau 19,64% dari seluruh kejadian kanker. Namun kejadian kanker leher rahim sebaliknya, meningkat dari jumlah kasus pada 2006 yang hanya sebanyak 4.696 kasus atau 11,07%. Prevalensi kejadian tumor/kanker di Indonesia sendiri, menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2007, sebesar 4,3 per 1000 penduduk.8
6

http://www.tempo.co.id/medika/arsip/082002/pus-3.htm diakses pada Selasa 23 Maret

2010
7

http://ccrcfarmasiugm.wordpress.com/ensiklopedia-kanker/kanker-mammae-2/ diakses pada Selasa 23 Maret 2010 8 http://berita8.com/news.php?cat=4&id=18887 diakses pada Selasa 23 Maret 2010

23

B. Riwayat Alamiah Penyakit

Karsinoma payudara paling sering terjadi pada kuadran atas sebelah luar (38.5%), bagian tengah (29%), kuadran atas bagian sebelah dalam (14.2%), kuadran bawah sebelah luar (8.8%), dan kuadran bawah sebelah dalam (5%). Kanker payudara paling sering berasal dari epitel duktus (lebih dari 90% kasus), sedangkan sebagian kecil berasal dari epitel lobulu. Karsinoma payudara bermetastase paling sering melalui limfonodus aksiler. Metastase aksiler paling sering pada kanker pada kuadaran atas lateral. Penyebaran tumor secara lokal menyebabkan infiltrasi jaringan limfatik dermis yang menyababkan pembengkakan kulit. Penyebaran secara

hematogen paling sering mengenai tulang, paru-paru dan pleura.

C. Faktor risiko
Faktor risiko yang dapat dikendalikan: 1. Berat badan 2. Diet hari 3. Latihan/Olahraga 4. Konsumsi alkohol Faktor risiko yang tidak dapat dikendalikan: 1. Jenis Kelamin 2. Usia 3. Riwayat kanker payudara dalam keluarga 4. Riwayat pribadi kanker payudara 5. Ras 6. Terapi radiasi pada dada 7. Perubahan seluler payudara
24

5. Merokok 6. Wanita bekerja pada malam 7. Penggunaan hormon estrogen 8. Stres dan kegelisahan

8. Terpapar estrogen
9. Kehamilan dan menyusui 10. Terpapar diethylstilbesterol (DES)9

http://www.alhamsyah.com/blog/artikel/kanker-payudara-gejala-dan-pengobatannya.html diakses tanggal 25 Maret 2010

25

D. Program Pencegahan dan Penanggulangan Kanker Payudara

Pencegahan primer Pada tahap ini dilakukan penyuluhan tentang kanker payudara terutama mengenai faktor-faktor resiko dan bagaimana melaksanakan pola hidup sehat dengan menghindari konsumsi lemak berlebihan dengan mengkonsumsi buah dan sayur serta giat berolah raga.

Pencegahan sekunder Deteksi dini merupakan bentuk pencegahan sekunder dengan melakukan pemeriksaan payudara sendiri dan mamografi digunakan terutama pada wanita yang mempunyai resiko tinggi. Skrining melalui mammografi diklaim memiliki akurasi 90% dari semua penderita kanker payudara, tetapi keterpaparan terus-menerus pada mammografi pada wanita yang sehat merupakan salah satu faktor risiko terjadinya kanker payudara. Foster dan Constanta menemukan bahwa kematian oleh kanker payudara lebih sedikit pada wanita yang melakukan pemeriksaan SADARI (Pemeriksaan Payudara Sendiri) dibandingkan yang tidak. Walaupun sensitivitas SADARI untuk mendeteksi kanker payudara hanya 26%, bila dikombinasikan dengan mammografi maka sensitivitas mendeteksi secara dini menjadi 75%.

Pencegahan tersier Pencegahan tersier ini penting untuk meningkatkan kualitas hidup penderita serta mencegah komplikasi penyakit dan meneruskan pengobatan. Tindakan pengobatan dapat berupa operasi walaupun tidak berpengaruh banyak terhadap ketahanan hidup penderita. Bila kanker telah jauh bermetastasis, dilakukan tindakan kemoterapi dengan sitostatika. Pada stadium tertentu, pengobatan diberikan hanya berupa simptomatik dan dianjurkan untuk mencari pengobatan alternatif.10

10

http://www.tempo.co.id/medika/arsip/082002/pus-3.htm diakses pada tanggal 22 Maret

2010

26

VI.

EPIDEMIOLOGI STROKE

A. Perkembangan Penyakit Stroke

Kasus stroke meningkat di negara maju seperti Amerika dimana kegemukan dan fast food telah mewabah. Berdasarkan data statistik di Amerika, setiap tahun terjadi 750.000 kasus stroke baru di Amerika. Dari data tersebut menunjukkan bahwa setiap 45 menit, ada satu orang di Amerika yang terkena serangan stroke. Dan pada tahun 2020 diperkirakan 7.6 juta orang akan meninggal karena stroke. Sedangkan di negara Indonesia Stroke merupakan pembunuh no.3, berdasarkan data Riskesdas tahun 2007 pada usia 45-54 tahun angka kematian akibat stroke sebesar 15,9%, (di daerah perkotaan) dan 11,5% (di daerah pedesaan). Prevalensi Stroke Menurut Provinsi di Indonesia (Riskesdas 2007) Provinsi NAD Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Prevalensi% Provinsi 16,6 NTB 6,8 10,6 5,0 6,1 7,3 6,5 6,4 8,1 14,9 12,5 9,3 7,6 8,4 NTT Kalimantan Barat Kalteng Kalsel Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sultra Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara
27

Prevalensi % 12,5 7,1 5,5 6,8 9,8 7,0 10,4 10,0 7,4 7,6 14,9 5,3 4,6 6,7

Jawa Timur Banten Bali INDONESIA =8,3

7,7 7,2 6,8

Papua Barat Papua

9,5 3,8

B. Riwayat Alamiah Penyakit

Perjalanan penyakit stroke sendiri dibagi dalam 4 tahapan : Tahap pertama, disebut tahap hyper akut atau emergency yang berlangsung sampai dengan 3 hari. Pada tahap ini, penderita stroke memerlukan perawatan intensif yang biasanya dilakukan di ruang Intermediate Care/NICU (Neurology Intensif Care Unit). Tahap kedua yang disebut tahap akut, berlangsung sampai dengan 2 minggu. Pada tahap ini, pasien dirawat di stroke unit. Tahap ketiga, disebut tahap sub akut dari 2 minggu sampai 1 bulan. Pasien bisa dirawat di bangsal/ ruang perawatan Neurology.

Tahap keempat, disebut tahap kronik, dirawat lebih dari 1 bulan yang dilakukan di RS Pemulihan Stroke.

C.

Faktor Risiko
1. Faktor risiko stroke yang tidak dapat diubah : a. Umur b. Jenis Kelamin : Beberapa penulis menyatakan bahwa insidensi strok pada lelaki lebih tinggi dari pada wanita. c. Keturunan d. Ras 2. Faktor risiko stroke yang dapat diubah :
28

a. Perokok b. Kurang aktivitas fisik c. Hipertensi d. Kelainan jantung / penyakit jantung e. Diabetes mellitus (DM) f. Dislipidemia

g. Obesitas h. Stres i. Penyalahgunaan obat j. Kontrasepsi oral k. Riwayat migrain l. Alkohol

D. Program Pencegahan dan Penanggulangan Stroke

Pencegahan

1. Pencegahan primer:

a. Gaya hidup
b. Lingkungan

: reduksi stres, makan rendah garam, lemak dan kalori, : kesadaran atas stres kerja kemungkinan dangguan : perhatian terhadap faktor resiko biologis (jenis

exercise, no smoking, dan vitamin. PB, ( lead).


c. Biologi

kelamin, riwayat keluarga), efek aspirin. d. Pelayanan kesehatan: health education dan pemeriksaan tensi.
2. Pencegahan sekunder: a. Gaya hidup

: menejemen stres, makan rendah garam, stop : penggantian kerja jika diperlukan, family counseling. : pengobatan yang patuh dan cegah efek samping.

smoking, penyesuaian gaya hidup.


b. Lngkungan c. Biologi

d. Pelayanan kesehatan: pendidikan pasien dan evaluasi penyebab sekunder


3. Pencegahan tersier

a. Gaya hidup
b. Lingkungan

: reduksi stres, exercise sedang, stop smoking,. : jaga keamanan dan keselamatan (rumah lantai : kepatuhan berobat, terapi fisisk, dan speach therapy.

pertama, pakai whel-chair) dan family support.


c. Biologi

d. Pelayanan kesehatan : emergency medical technic, asuransi.


29

Cara mencegah stroke :


Mengatur pola makan sehat dan seimbang. Melakukan olahraga teratur. Menghentikan merokok. Menghindari minum alkohol dan penyalahgunaan obat. Memelihara berat badan layak. Penanganan stres dan beristirahat yang cukup. Pemeriksaan kesehatan teratur dan taat advis (saran, nasehat) dokter dalam

hal diet dan obat.11

Program Penanggulangan Stroke12 Sesuai dengan program penanggulangan stroke pada Yayasan Stroke Indonesia (Yastroki), adalah Harus bisa menyalurkan informasi melalui jaringan multi media dalam bentuk bahan-bah an sederhana, profesional, dan komprehensif, agar mudah dimengerti oleh setiap orang, sehingga bisa merangsang perubahan sikap dan tingkah laku yang kondusif, peduli dan akrab stroke. Dengan Sasaran, Untuk meningkatkan kualitas hidup individu keluarga dan masyarakat, baik bagi yang potensial mendapat serangan stroke maupun bagi insan pasca stroke (IPS). Dan bertujuan untuk turut serta dalam upaya mengurangi angka kematian karena stroke serendah mungkin, turut serta dalam upaya meningkatkan kualitas hidup bagi insan pasca stroke dengan menurunkan tingkat kecacatan seringan mungkin, serta turut serta meningkatkan derajat kesehatan masyarakat secara umum melalui upaya meningkatkan pengetahuan tentang stroke dan upaya pencegahannya.

11 12

PPT , mata kuliah dr. Toni Wandra, M.Kes, Ph.D


http://www.yastroki.or.id/program.php, diakases, 12,07. 24-03-2010

30

VII.

EPIDEMIOLOGI KESEHATAN DARURAT/BENCANA

A. Perkembangan Kesehatan Darurat/Bencana

Bencana bukan suatu kejadian yang baru di Indonesia. Bencana terjadi hampir di seluruh daerah di Indonesia dan hampir terjadi tiap tahun. Bencana ini dapat terjadi secara alami dan dapat juga akibat ulah manusia serta akibat perkembangan teknologi. Bencana yang terjadi mengakibatkan banyak korban , seperti meninggal, hilang, dan luka-luka. Di bawah ini dapat dilihat diagram mengenai kejadian bencana dan korban yang diakibatkan bencana di indonesia tahun 2008 :

Diagram 1. Kejadian Bencana di Indonesia tahun 2008 Sumber: http:// bnpb.go.id /website/index.php 2008

Dari diagram di atas dapat dilihat bahwa hampir semua bencana terjadi di Indonesia. Bencana dapat mengakibatkan berbagai kerugian seperti kerusakan tempat tinggal dan lingkungan, kesakitan, peningkatan kejadian penyakit menular, kelaparan yang dapat mengakibatkan kekurangan gizi, gangguan sosial ekonomi dan kematian sehingga memerlukan tanggapan yang luar biasa. Untuk itu, diperlukan pemantauan dan pengendalian akibat dari bencana tersebut.
31

B. Riwayat Alamiah Kesehatan Darurat


Proses riwayat alamiah pada kesehatan darurat dapat dijelaskan pada penjelasan dibawah ini: 1) Pre-event Masa ini kurang lebih sama dengan masa pre-patogenesis dari sebuah penyakit dimana keadaan masih normal tetapi terdapat keadaan potensial yang dapat mengganggu seperti prediksi terjadinya cuaca buruk, ketegangan politik, dan lain-lain. Pada keadaan ini diperlukan suatu upaya prediksi untuk mampu mengantisipasi kemungkinan timbulnya suatu kejadian. Ketepatan identifikasi akan memberikan modal besar untuk mampu membuat upaya pencegahan dini yang berencana. 2) Event Masalah sewaktu kejadian tentu berkaitan erat dengan jenis kejadian atau masalah yang sedang timbul. Wabah demam tifoid pada suatu kampung tertentu lebih kecil masalahnya dari suatu gempa yang melanda suatu areal luas. 3) Post-event Post-event adalah masa yang terjadi setelah timbulnya suatu

bencana.Pada masa ini akan terdapat manusia-manusia yang terbagi menjadi beberapa kelompok, yaitu kelompok korban tewas, kelompok korban hilang, kelompok korban luka, dan kelompok pengungsi. Secara umum masa pre-event dan event relative singkat, sedangkan masa post-event cenderung panjang mengingat dampak yang timbul memerlukan masa recovery (pemulihan) yang lama.

C. Faktor risiko
32

Adapun faktor-faktor resiko terjadinya masalah kesehatan darurat diantaranya adalah: Bencana alam, bencana yang terjadi biasanya akan menghancurkan segala fasilitas yang biasanya digunakan masyarakat dalam menjaga kesehatannya. Konflik, konflik semacam perang akan menimbulkan suatu pergerakan massa menuju ke tempat yang dianggap lebih aman dimana tempat tersebut belum tentu terjamin dapat memnuhi kebutuhan kesehatan dari masa tersebut Kecelakaan, mengakibatkan jatuhnya korban secara mendadak dan menghancurkan wilayah yang berada di sekitar kejadian kecelakaan tersebut Ketegangan sosial, hal ini bisa menimbulkan keadaan darurat seperti kerusuhan yang berpotensi menimbulkan masalah kesehatan masyarakat

D. Program Pencegahan Darurat/Bencana

dan

Penanggulangan

Kesehatan

Pada masa sebelum terjadinya bencana (pre-event) aktivitas pencegahan yang bisa dilakukan diantaranya adalah Penilaian kerentanan dan kapasitas yang meliputi pemetaan Prevensi dan mitigasi meliputi regulasi keamanan lingkungan, Persiapan dan perencanaan meliputi proses perencanaan kedaruratan Indikator peringatan Pada saat atau sesaat sebelum terjadinya bencana (event) aktivitas yang bisa dilakukan diantaranya adalah - Penilaian-penilaian yang mencakup tujuan penilanain situasi daruat, proses penilaian, tehnik penilaian lapangan, dan pengorganisasian penilaian situasi darurat bahaya,analisis kerentanan, monitoring kerentanan berkelanjutan, dll. perlidungan infrastruktur dan fasilitas, dan lain-lain. nasional, rencana strategis dan rencana operasional, dan lain-lain.

33

- Evakuasi yang meliputi peringatan bencana dan instruksi darurat, evakuasi terorganisir, evakuasi secara spontan, dll. - Transportasi dan logistik meliputi operasi udara, prioritas kendaraan, system logistic lapangan, operasi darat, dll. - Peraturan, standar, dan panduan dalam respon darurat Dan terakhir pada tahap setelah terjadinya bencana (post-event) kegiatan yang dilakukan diantaranya: - Penilaian pemulihan meliputi rekonstruksi pemukiman, rekonstruksi suplai air dan system sanitasi, penilaian kerusakan sekunder, dan lain-lain. - Perencanaan pemulihan - Pengembangan berkelanjutan dan aktivitas kesehatan lingkungan paska bencana Sementara itu berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 145/Menkes/Sk/I/2007 tentang Pedoman Penanggulangan Bencana Bidang Kesehatan, pelaksanaan kegiatan dalam penanggualangan masalah kesehatan darurat juga dilakukan dalam tiga tahap, yaitu tahap pra bencana, tahap bencana, serta tahap paska bencana.Hanya saja kegiatan-kegiatan yang dilakukan dibedakan berdasarkan tingkat pemerintahan mulai dari tingkat pusat, tingkat provinsi, tingkat kabupaten, dan terakhir adalah tingkat kecamatan.

34

VIII.

EPIDEMIOLOGI KECELAKAAN LALU LINTAS

A. Perkembangan Kecelakaan Lalu Lintas

Berdasarkan hasil dari Riset Kesehatan Dasar Nasional (RISKESDAS) pada tahun 2007. Proporsi kematian akibat kecelakaan lalu lintas dapat dibedakan menurut umur, tipe daerah, dan jenis kelamin. Proporsi kematian akibat kecelakaan lalu lintas pada kelompok umur 5-14 tahun menurut tipe daerah di perkotaan adalah 4,3%, proporsi di daerah pedesaan sebanyak 9,4% dari seluruh proporsi kematian akibat berbagai penyebab. Angka kecelakaan lalu lintas secara nasional dalam bulan September 2009 masih cukup tinggi. Direktorat Lalu Lintas Markas Besar Kepolisian RI mencatat sejak 13 sampai 22 September jumlah kecelakaan mencapai 893 kasus. Korban meninggal mencapai 312 jiwa. Sedangkan luka berat 405 orang dan luka ringan 839 orang. Jumlah korban yang tewas masih cukup tinggi dibandingkan data kecelakaan pada Operasi Ketupat Jaya pada 2008. Saat itu jumlah kecelakaan mencapai 1.368 kasus. Korban meninggal 633 jiwa dan luka berat 797 orang serta luka ringan 1.379 orang. WHO menyebutkan bahwa kecelakaan lalu lintas pada 1998 menduduki peringkat ke-9 sebagai penyebab kematian dibawah atau setara dengan penyakit malaria. Dan diperkirakan pada 2020, kecelakaan lalu lintas akan menjadi penyebab kematian ke-3 tertinggi di dunia di bawah penyakit jantung koroner dan depresi berat.
B. Faktor Risiko

Berbagai faktor terlibat dalam kecelakaan lalu lintas, mulai dari manusia sampai sarana jalan yang tersedia. Secara garis besar ada 4 faktor yang berkaitan dengan peristiwa kecelakaan lalu lintas, yaitu faktor manusia (pengemudi,penumpang, pemakai jalan), faktor kendaraan, faktor jalanan dan faktor linkungan (cuaca).

35

1. Faktor manusia : pejalan kaki, penumpang sampai pengemudi. Faktor manusia

ini menyangkut masalah disiplin berlalulintas.


a) Faktor pengemudi: Dianggap sebagai faktor utama yang

menentukan kecelakaan lalu lintas. b) Faktor penumpang : misalnya muatan yang berlebih. c) Faktor pemakai jalanan. d) Faktor Usia
e) Faktor Tingkat pendidikan

2. Faktor kendaraan Jenis-jenis kendaraan : Jalan raya penuh dengan berbagai jenis kendaraan,berupa: a) Kendaraan tidak bermotor b) Kendaraan bermotor. 3. Faktor jalanan a) Kondisi jalan: antara lain dilihat dari ketersediaan rambu-rambu lalu lintas. b) Sarana jalanan: - Panjang jalan yang tersedia dengan jumlah kendaraan yang melintas di jalan tersebut. - Keadaan fisik jalanan: pengerjaan jalanan atau jalan yang fisiknya kurang memadai, misalnya berlubang dapat menjadi pemacu terjadinya kecelakaan. Keadaan jalan yang berkaitan dengan kemungkinan kecelakaan lalu lintas berupa: Struktur: datar/mendaki/menurun; lurus/berkelok. Kondisi: baik/berlubang. Luas: lorong, jalan tol. Status: jalan desa, jalan provinsi/Negara.

4. Faktor lingkungan: cuaca, geografik

C. Program Pencegahan dan Penanggulangan Kecelakaan Lalu Lintas

36

Pendekatan Promotif Kegiatan ini untuk memajukan dan meningkatkan pengetahuan masyarakat. Salah satunya dengan cara kampanye safety riding dan responsible riding bagi para pengguna jalan raya. Tujuan dari kampanye ini adalah meningkatkan kesadaran pengguna jalan raya untuk lebih memahami dan mematuhi peraturan lalu lintas. Pelaksana kampanye ini tentu saja dipelopori oleh pihak kepolisian dengan dukungan dari kalangan swasta dan masyarakat, yang turut membantu sebagai penyandang dana. Selain kedua hal tersebut, dapat dilakukan cuga pencegahan sebagai berikut:
Pembinaan pengemudi

Penyuluhan kepada pengemudi angkutan umum, pemilihan awak kendaraan umum teladan yang dilaksanakan tiap tahun tetap dilanjutkan. Namun prioritas pembinaan sekarang mulai diarahkan kepada pengemudi kendaraan pribadi dan sepeda motor, dibarengi dengan seleksi pemberian SIM yang ketat.
Pendidikan dan pengawasan kepada sekolah mengemudi

Banyaknya sekolah mengemudi ternyata belum mencerminkan tingkat kesadaran pengemudi untuk mematuhi aturan lalulintas. Permasalahannya adalah sekolah mengemudi tersebut hanya mengajarkan cara menyetir kendaraan dan tidak memberikan pendidikan tentang dampak dan kerugian yang ditimbulkan karena pengemudi yang tidak disiplin. Peningkatan prasarana dan fasilitas lalu lintas jalan Data dari Dinas Bina Marga menunjukan bahwa tidak ada penambahan panjang jalan dalam tiga tahun terakhir. Hal ini sangat memprihatinkan karena jumlah pendududk dan kendaraan meningkat sangat pesat. Dengan segala keterbatasan dana yang ada, Pemerintah Daerah harus tetap mencari akal untuk menyelesaikan masalah ini, misalnya dengan cara bekerja sama dengan pengusaha pusat perbelanjaan untuk menyediakan fasilitas yang dibutuhkan.

37

Hal lain yang perlu dilakukan dengan pendekatan partisipasi masyarakat. Pihak yang pertama mengetahui terjadinya kecelakaan lalu lintas adalah para masyarakat sekitar tersebut, karena itu pendekatan kepada mereka juga perlu dilakukan. Salah satunya dengan penyuluhan kepada masyarakat sekitar jalan raya dan mereka yang senantiasa berkecimpung di sekitar jalan raya (tukang ojek, tukang becak, sopir angkot, dll) tentang bagaimana menangani korban kecelakaan lalu lintas. Menurut undang-undang lalu lintas no.22 tahun 2009 bagian kesatu pasal 226, kecelakaan lalu lintas dapat dicegah dengan: a. Partsipasi dari para pemangku kepentingan b. Pemberdayaan masyarakat c. Penegakan hukum d. Kemitraan global

Pendekatan Kuratif Pemberian pertolongan dan pengobatan baik langsung maupun tidak langsung pada korban kecelakaan lalu lintas. Salah satunya dengan ketersediaan pelayanan kesehatan yang layak dan mampu memberi pelayanan dengan cepat terhadap para korban kecelakaan lalu lintas. Keberadaan layanan IRD 24 jam yang dilengkapi dengan tenaga dokter jaga dan perawat, diperkuat dengan layanan penunjang seperti instalasi ambulans, laboratorium dan radiologi yang stand by 24 jam. Kebutuhan layanan penunjang yang lengkap sangat menunjang/membantu penangangan korban kecelakaan dengan cepat.

Pendekatan Rehabilitatif Adalah kegiatan pemberian pelayanan untuk mengurangi kecacatan akibat kecelakaan lalu lintas. Selama ini pendekatan ini belum banyak tersentuh. Di RS ada layanan rehabilitasi medis guna pemulihan dan minimalisasi kecacatan pasien

38

IX.

EPIDEMIOLOGI LANSIA

A. Perkembangan Lansia Pada tahun 1990 jumlah penduduk lanjut usia meningkat menjadi 11,3 juta orang atau 8,9%. Jumlah ini meningkat di seluruh Indonesia menjadi 15,1 juta jiwa pada tahun 2000 atau 7,2% dari seluruh penduduk. Dan diperkirakan pada tahun 2020 akan menjadi 29 juta orang atau 11,4%. Tabel 1. Jumlah Penduduk Lansia Indonesia Tahun 1980 1990 2000 2006 Usia Harapan Hidup Jumlah Penduduk Lansia % 52,2 tahun 59,8 tahun 64,5 tahun 66,2 tahun 7.998..543 11.277.557 14.439.967 +19 juta +23,9 juta +28,8 juta 5,45 6,29 7,18 8,90 9,77 11,34

2010 (prakiraan) 67,4 tahun 2020 (prakiraan) 71,1 tahun Sumber: www.menkokesra.go.id B. Riwayat Alamiah Lansia

A. Perubahan-Perubahan yang Terjadi pada Lansia Perubahan yang terjadi pada lansia meliputi perubahan fisik, sosial, dan psikologis. a) Perubahan Fisik Sel : jumlah berkurang, ukuran membesar, cairan tubuh menurun, dan cairan intraseluler menurun Kardiovaskuler : katup jantung menebal dan kaku, kemampuan memompa darah menurun (menurunnya kontraksi dan volume), elastisitas pembuluh darah menurun, serta meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer sehingga tekana darah meningkat. Respirasi : otot-otot pernapasan kekuatannya menurun dan kaku, elastisitas paru menurun, kapasitas residu meningkat sehingga menarik napaslebih
39

berat, alveoli melebar dan jumlahnya menurun, kemampuan batuk menurun, serta terjadi penyempitan pada bronkus. Persarafan : saraf pancaindra mengecil sehingga fungsinya menurun serta lambat dalam merespons dan waktu bereaksi khususnya yang berhubungan dengan stress. Berkurang atau hilangnya lapisan myelin akson, sehingga menyebabkan berkurangnya repons motorik dan refleks. Musculoskeletal : cairan tulang menurun sehingga mudah rapuh (osteoporosis), bungkuk (kifosis), persendian membesar dn menjadi kaku (atrofi otot), kram, tremor, tendon mengerut, dan mengalami sklerosis. Gastrointestinal : esophagus melebar, asam lambung menurun, lapar menurun, dan peristaltk menurun sehingga daya absorpsi juga iku menurun. Ukran lambung mengecil serta fungsi organ aksesori menurun sehingga menyebabkan berkurangnya produksi hormon dan enzim pencernaan. Genitourinaria : ginjal mengecil, aliran darah ke ginjal menurun, penyaringan di glomerulus menurun, dan fungsi tubuus menurun sehingga kemampuan mengosentrasi urin ikut menurun. Vesika Urinaria : otot-otot melemah, kapasitasnya menurun, dan retensi urin. Prostat : hipertrofi pada 75% lansia. Vagina : selaput lendir mengering dan sekresi menurun. Pendengaran : membrane timpani atrofi sehingga terjadi gangguan pendengaran. Tulang-tulang pendengaran mengalami kekakuan. Penglihatan : respons terhadap sinar menurun, adaptasi terhadap gelap menurun, akomodasi menurun, lapang pandang menurun dan katarak. Endokrin : produksi hormon menurun. Kulit : kulit berubah menjadi lebih tipis, kering, keriput, dan elastisitas menurun. Dengan demikian fungsi kulit sebagai penyekat suhu lingkungan dan perisai terhadap masuknya kuman terganggu. Belajar dan Memori : kemampuan belajar masih ada tetapi relative menurun. Memori (daya ingat) menurun karena proses encoding menurun. Inteligensi : secara umum tidak banyak berubah. b) Perubahan Sosial Peran : post power syndrome, single woman, dan single parent.
40

lansia. c)

Teman : ketika lansia lainnya meninggal, maka muncul perasaan Pensiun : kalau menjadi PNS akan ada tabungan (dana pensiun). Transportasi : kebutuhan akan system transportasi yang cocok bagi Pendidikan : berkaitan dengan pengentasan buta aksara dan Panti jompo : merasa dibuang/diasingkan. Perubahan Psikologis

kapan akan meninggal. Kalau tidak, anak dan cucu akan memberi uang.

kesempatan untuk tetap belajar sesuai dengan hak asasi manusia.

Perubahan psikologis pada lansia meliputi short term memory, frustasi, kesepian, takut kehilangan kebebasan, takut mnghadapi kematian, perubahan keinginan, deperesi, dan kecemasan.

B. Sifat Penyakit pada Lansia Beberapa sifat penyakit pada lansia yang membedakannya dengan penyakit pada orang dewasa adalah sebagai berikut: 1) Penyebab penyakit 2) Gejala penyakit sering tidak jelas/ tidak khas 3) Memerlukan lebih banyak obat (polifarmasi) 4) Sering mengalami gangguan jiwa

C. Faktor Risiko Beberapa karakteristik lansia yang dapat mempengaruhi kesehatan lansia adalah sebagai berikut: Variabel demografis: umur dan jenis kelamin.
Jenis Kelamin Terdapat perbedaan kebutuhan dan masalah kesehatan yang

berbeda antara lansia laki dan wanita. Misalnya lansia laki sibuk dengan hipertropi prostat, maka wanita mungkin menghadapi osteoporosis.
Umur Pada pria, penyakit gouty arthritis sering terjadi setelah berusia 40

tahun, sedangkan pada wanita hampir selamanya terjadi setelah menopause dan jarang didapati pada wanita yang berusia di bawah 45 tahun.
41

Struktur keluarga: status perkawinan, besar keluarga, dan tatanan hidup

(living arrangement).
Status perkawinan status masih pasangan lengkap atau sudah hidup

janda/duda akan mempengaruhi keadaan kesehatan lansia baik fisik maupun psikologis.

Living arrangement misalnya: keadaan pasangan, tinggal sendiri atau bersama istri, anak atau keluarga lainnya.

Social-Ekonomi: pekerjaan, pendidikan Kebiasaan hidup: merokok, mengkonsumsi minuman keras, dan exercise (olahraga). Diet, kafein, merokok, dan alkohol dapat mempengaruhi proses perubahan sistem otot. Kegiatan hidup seharian: mobilitas, makan dan minum
Mobilitas Perubahan-perubahan yang timbul pada sistem otot lebih

disebabkan oleh disuse. Seseorang yang selalu aktif sepanjang umurnya, cenderung lebih dapat mempertahankan massa otot, kekuatan otot, dan koordinasi dibanding dengan mereka yang pola hidupnya santai. Sama halnya dengan sistem otot, proses penurunan massa tulang ini sebagian disebabkan oleh usia dan disuse. Dengan menambah aktivitas tubuh, dapat memperlambat proses kehilangan massa tulang, bahkan mengembalikannya secara temporer. Selain itu, pada manusia usia lanjut dijumpai kehilangan sifat elastisitas dari jaringan ikat. Proses disuse dapat menyebabkan pengerutan dari jaringan ikat sehingga kurang mampu mengakomodasikan berbagai pergerakan. Karena menjadi tidak fleksibel maka kelompok usia lanjut ini kurang dapat mentoleransi berbagai pergerakan yang berpotensi membawa kecelakaan dan lebih mudah terjatuh.
Kegiatan sosial: kegiatan kekeluargaan, kegiatan komunitas, frequency of

outing. Obesitas Genetik


Penyakit lain hipertensi dan diabetes mellitus merupakan dua di antara

sekian banyak factor risiko PJK.


42

Lingkungan cahaya ultraviolet dan gas karbondioksida yang dapat

menimbulkan katarak.

D. Program Pencegahan dan Penanggulangan Lansia

1. Promotif Upaya promotif merupakan tindakan secara langsung dan tidak langsung untuk meningkatkan derajat kesehatan dan mencegah penyakit. Upaya perlindungan kesehatan bagi lansia adalah: Mengurangi cedera Meningkatkan keamanan di tempat kerja Meningkatkan perlindungan dari kualitas udara yang buruk Meningkatkan keamanan, penanganan makanan, dan obat-obatan Meningkatkan perhatian terhadap kebutuhan gigi dan mulut Mencakup pencegahan primer,sekunder, dan tersier Pencegahan primer meliputi pencegahan pada lansia sehat, terdapat faktor resiko, tidak ada penyakit dan promosi kesehatan Jenis pelayanan pencegahan primer adalah: 1. Program imunisasi, misalnya vaksin influenza 2. Konseling: berhenti merokok dan minum beralkohol 3. Dukungan nutrisi 4. Excercise 5. Keamanan didalam dan di sekitar rumah 6. Manajemen stress 7. Penggunaan medikasi yang tepat Pencegahan sekunder meliputi pemeriksaan terhadap penderita tanpa gejala, dari awal penyakit hingga terjadi gejala penyakit belum tampak secara klinis, dan mengidap faktor resiko Jenis pelayanan sekunder adalah: Kontrol hipertensi
43

2. Preventif

Deteksi dan pengobatan kanker Skrining: pemeriksaan rectal, mammogram, papsmear, gigi mulut Pencegahan tersier dilakukan sesudah terdapat gejala penyakit dan

cacat, mencegah cacat bertambah dan ketergantungan, serta perawatan bertahap yaitu: 1) Perawatan di rumah sakit 2) Rehabilitasi pasien rawat jalan dan 3) Perawatan jangka panjang 3. Diagnosis dini dan Pengobatan Diagnosis
1. Dapat dilakukan oleh lansia sendiri dengan melakukan tes diri,

skrining kesehatan, memanfaatkan kartu menuju sehat (KMS) lansia, memanfaatkan buku kesehatan pribadi (BKP), serta penandatanganan kontrak kesehatan. 2. Dapat dilakukan oleh petugas professional/tim

Pemeriksaan status fisik Wawancara masalah masa lalu dan saat ini Obat yang dimakan atau yang diminum Riwayat keluarga atau lingkungan social Kebiasaan merokok atau minum alcohol Pemeriksaan fisik diagnostic Skrining kesehatan Pemeriksaan status kejiwaan Pemeriksaan status fungsi tubuh apakah mandiri, kurang mandiri, dan ketergantungan

Pengobatan a) Pengobatan terhadap gangguan system dan gejala yang

terjadi meliputi system musculoskeletal, kardiovaskular, pernapasan, pencernaan, urogenital, hormonal, saraf, integument.
44

b)

Terhadap manifestasi klinik berupa nyeri kepala, nyeri

dada, nyeripinggan, nyeri tungkai, nyerikaki, demam, hipotermi, tak ada nafsu makan, kelemahan umum, sesak nafas, edema, hipertensi, obstipasi, gangguan kemih, gangguan neuropsikiatri, klimakterium dan prostat. c) Terhadap masalah geriatri meliputi pikiran kacau, jatuh, imobilisasi, dekubitus, inkontinesia urine, inkontinensia alvi, gangguan mata, gangguan telinga dan osteoarthritis. 4. Pembatasan kecacatan Kecacatan adalah kesulitan dalam memfungsikan kerangka, otot, dan system saraf. Penggolongannya berupa sebagai berikut: Kecacatan sementara (dapat dikoreksi). Kecacatan menetap (tak bias dipulihkan, akan tetapi dapt disubstitusi dengan alat). Kecacatan progresif (tak bias pulih dan tak bias di substitusi atau diganti). 5. Rehabilitatif Pertahankan lingkungan yang aman Pertahankan kenyamanan, istirahat,aktifitas dan mobilitas Pertahankan kecukupan gizi Pertahankan fungsi pernapasan Pertahankan fungsi aliran darah Pertahankan kulit Pertahankan fungsi pencernaan Pertahankan fungsi saluran kemih Meningkatkan fungsi psikososial Pertahankan komunikasi Mendorong pelaksanaan tugas

45

X.

EPIDEMIOLOGI MEROKOK

A. Perkembangan Merokok
Indonesia berada pada posisi kelima dunia dengan konsumsi 208 miliar batang per tahun. Indonesia hanya kalah dari negara-negara kaya seperti Tiongkok yang melahap 1.634 triliun batang, Amerika dengan 451 miliar batang, Jepang dengan 328 miliar batang, dan Rusia 258 miliar batang. Dengan tingkat konsumsi tersebut, tak heran bila 69% pria di Indonesia adalah perokok aktif, angka itu tertinggi di Asia, seperti Tiongkok yang 53,4%, India 29,4% dan Thailand 39,3%. tingginya konsumsi rokok suatu negara berbanding lurus dengan tingkat kematian warganya. Hampir satu dari tiga orang dewasa merokok. Prevalensi merokok pada kalangan orang dewasa di Indonesia meningkat ke 31,5% pada tahun 2001 dari 26,9 % pada tahun 1995 lebih dari 6 dari 10 pria merokok, namun sedikit wanita yang merokok. Pada tahun 2001, 62,2% dari pria dewasa merokok, dibandingkan dengan 53,4 % pada tahun 1995. Hanya 1,3% wanita dilaporkan merokok secara teratur pada tahun 2001. Lebih banyak pria di pedesaan yang merokok. Prevalensi merokok di kalangan pria dewasa di pedesaan adalah 67,0 % dibandingkan dengan 58,3 % di perkotaan. 73% pria tanpa pendidikan formal merokok. Lebih dari 7 dari 10 (73%) pria tanpa pendidikan formal merokok, dibandingkan dengan 44,2% pada mereka yang tamat SLTA. Pria berpenghasilan rendah prevalensi lebih tinggi namun konsumsi lebih rendah. Makin rendah penghasilan, makin tinggi prevalensi merokoknya. Sebanyak 62,9% pria berpenghasilan rendah merokok secara teratur dibandingkan dengan 57,4% pada pria berpenghasilan tinggi. Namun pendidikan yang lebih tinggi berarti konsumsi yang lebih tinggi pula. Pria berpenghasilan tinggi merokok sekitar 12,4 batang per hari dibandingkan dengan 10,2 batang pada pria berpenghasilan rendah.

46

Persentase Penduduk Umur 10 Tahun Ke Atas Menurut Kebiasaan Merokok Di Indonesia Tahun 2008

Sumber : Badan Litbangkes, Riskesdas tahun 2007

B. Riwayat Alamiah Penyakit


Ketika menghirup asap rokok, nikotin dibawa ke dalam paru-paru dan dengan cepat diserap ke dalam aliran darah dan dibawa ke seluruh tubuh. Nikotin mempengaruhi banyak bagian tubuh, termasuk jantung dan pembuluh darah, hormon, pencernaan, metabolisme, dan otak. Setiap kali seseorang menghirup satu dosis nikotin ke dalam tubuh, satu dosis nikotin sama dengan satu hisap rokok. Maka, akan mengalami peningkatan tekanan darah, peningkatan denyut jantung dan peningkatan alirah darah ke jantung sesaat. Saat itu terjadi, saat itu juga nikotin mempersempit pembuluh darah arteri, yang menyebabkan jantung harus bekerja lebih keras dan lebih cepat untuk memompa darah. Di saat itu juga, berarti mendapatkan risiko terserang penyakit jantung dua kali dari orang yang tidak merokok dan meningkatkan risiko empat kalinya terserang serangan jantung yang fatal dibandingkan orang yang tidak merokok. Merokok juga menurunkan kadar kolesterol yang baik (HDL).

47

C. Faktor Risiko

Dalam hal ini rokok itu sendiri yang menjadi suatu faktor risiko terjadinya berbagai penyakit, seperti kanker paru, penyakit jantung koroner, diabetes mellitus, osteoporosis, stroke, penyakit prodental dan hipertensi. Jenis perokok dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu : Perokok Aktif Jumlah batang rokok yang dihisap per hari x lama merokok (dalam tahun) - Perokok ringan - Perokok sedang - Perokok berat Perokok Pasif Rokok yang dihisap menghasilkan asap sampingan 2x lebih besar dari asap utama. Menurut bukti ilmiah, kadar bahan berbahaya ternyata lebih tinggi pada kadar CO : 2,5-4,7 x lebih besar ; kadar nikotin : 1,8-3,3 x lebih besar. Seorang yang berada disatu ruangan penuh asap rokok selama 1 jam akan mengisap nitrosamin sama banyaknya dengan merokok 35 batang sigaret. Penelitian di Jepang, istri perokok mempunyai kemungkinan terkena kanker paru sebesar 20-55% dari yang bukan perokok. Demikian juga, kematian akibat penyakit jantung koroner. Beberapa bahan kimia yang ada dalam rokok : Nikotin Tar CO (Carbon Monoksida) Zat karsinogen Zat iritan Ammonia
48

: < 200 batang : 200-600 batang : > 600 batang

Formic acid Hydrogen cyanide Acrolein

D. Program Pencegahan dan Penanggulangan Merokok

Pemerintah saat ini sedang membahas Rancangan PP tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif bagi Kesehatan yang saat ini pembahasan baru rancangan awal dan pembahasan selanjutnya akan dikoordinasikan oleh Kemenko Kesra. Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, secara jelas menyatakan pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif ( yang meliputi tembakau & produk yang mengandung tembakau ) harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditetapkan. Selain itu, setiap orang yang memproduksi dan atau memasukkan rokok ke wilayah Indonesia wajib mencantumkan peringatan kesehatan. Dalam UU itu juga mengatur tentang Kawasan Tanpa Rokok guna melindungi masyarakat dari bahaya asap rokok.

49

XI.

EPIDEMIOLOGI PENYALAHGUNAAN OBAT DAN BAHAN BERBAHAYA


Perkembangan Penyalahgunaan Obat dan Bahan Berbahaya

A.

Data kasus penyalahgunaan Napza: N o 1 2 3 Tahun Kasus 2005 2006 2007


11.38 0 9.289

Jumla 2008
10.00 6 9.780

h Total

Rata2/ Th
7.796 6.292

Narkotika Psikotropi ka Zat Adiktif Jumlah %

8.171 6.733

9.422 5.658

38.979 31.460

1.348 16.25 2

2.275 17.35 5 6,8

1.961 22.63 0 30,4

9.573 29.35 9 29,7

15.157 85.596 67

3.031 17.119 22,3

Kenaikan Sumber data: Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, Dit IV/Narkoba, Januari 2009

50

12 00 0

11380 9422 8171 9289

10 00 0

8 00 0

6733 5658 3929 3874 3887 2275 648


20 04 20 05

6 00 0

4840

4984 4160

4 00 0

2590 621
20 03

1961

2 00 0

1348

0 20 06 200 7 20 08 ( Juni)

NAR KOTIKA

PS IKOTROPIKA

BAHAN BHY

Sumber: Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, Dit IV/Narkoba, Januari 2009

Pada tahun 2009, jumlah tersangka yang berhasil diringkus oleh Badan Narkotika Nasional adalah sebanyak 35.299 tersangka, 13.051 menjadi tersangka narkotika, 11.601 psikotropika, dan 10.647 bahan adiktif lainnya. Sementara
51

pada tahun 2008 terdapat 13.412 tersangka narkotika, 13.104 psikotropika, dan 18.178 bahan adiktif. Sementara untuk kasus narkotika yang berhasil diungkap tahun 2009 mencapai 28.382 kasus, dengan rincian 9.661 kasus untuk narkotika, 8.698 kasus psikotropika, dan 10.023 lainnya untuk bahan adiktif lainnya. Dari angka 35.299 tersangka yang berhasil diringkus, sebanyak 2.877 di antaranya adalah wanita warga negara Indonesia, dan 17 warga negara asing. Sedangkan dari 35.299 tersangka yang diringkus, sebanyak 32.343 di antaranya warga negara Indonesia, dan 62 sisanya adalah warga negara asing. Dari jumlah yang sama, 102 di antaranya adalah anak di bawah umur. Sedangkan kategori umur yang menyumbang tersangka terbanyak adalah umur diatas 30 tahun, yang menyumbang sebanyak 19.566 orang. (www.waspada.co.id) Jenis NAPZA yang sering disalahgunakan :
1. NARKOTIKA (Menurut Undang-Undang RI Nomor 22 tahun 1997 tentang

Narkotika). Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Narkotika dibedakan ke dalam golongan-golongan :

Narkotika Golongan I Narkotika Golongan II Narkotika Golongan III Narkotika yang hanya dapat Narkotika yang berkhasiat Narkotika yang berkhasiat digunakan untuk tujuan ilmu pengobatan digunakan sebapengetahuan, dan tidak gai pilihan terakhir dan dapat pengobatan dan

banyak

digunakan dalam terapi atau

ditujukan untuk terapi serta digunakan dalam terapi atau tujuan pengembangan ilmu mempunyai potensi sangat tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta tinggi menimbulkan keter- pengetahuan serta gantungan. Contoh: heroin/putauw, kokain, ganja mengakibatkan ketergantungan Contoh : morfin, petidin
52

mempunyai potensi ringan ketergantungan Contoh : kodein

mempunyai potensi tinggi mengakibatkan

2. PSIKOTROPIKA (Menurut Undang-undang RI No.5 tahun 1997 tentang

Psikotropika). Yang dimaksud dengan psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan Narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. PSIKOTROPIKA dibedakan dalam golongan-golongan sebagai berikut: PSIKOTROPIK PSIKOTROPIK PSIKOTROPIK PSIKOTROPIK

A GOLONGAN A GOLONGAN A GOLONGAN A GOLONGAN I II III IV Psikotropika yang Psikotropika yang Psikotropika yang Psikotropika yang hanya digunakan pengetahuan tidak dapat berkhasiat untuk pengobatan dan dalam berkhasiat dan pengobatan terapi, dalam tujuan dan/atau berkhasiat dan pengobatan dan luas dan/atau

kepentingan ilmu dapat

digunakan banyak digunakan sangat untuk terapi

terapi digunakan dalam ilmu untuk tujuan ilmu mempunyai ringan mengakibatkan sindrom ketergantungan Contoh: diazepam, bromazepam, fenobarbital, klonazepam, klordiazepoxide, nitrazepam, seperti pil BK, pil

digunakan dan/atau

dalam terapi serta ilmu pengetahuan tujuan mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: ekstasi, LSD potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan Contoh: shabu, amfetamin, ritalin mempunyai potensi . sindroma

serta mempunyai pengetahuan serta pengetahuan serta sedang potensi

mengakibatkan ketergantungan. Contoh: flunitrazepam

metilfenidat atau pentobarbital,

53

Koplo, Dum, MG.

Rohip,

Psikotropika yang sering disalahgunakan antara lain : Psikostimulansia: amfetamin, ekstasi, shabu Sedatif & Hipnotika (obat penenang, obat tidur): MG, BK, DUM, Pil koplo Halusinogenika : Iysergic acid dyethylamide (LSD), mushroom.

dan lain-lain

3. ZAT ADIKTIF LAIN Yang dimaksud disini adalah bahan/zat yang berpengaruh psikoaktif diluar yang disebut Narkotika dan Psikotropika, meliputi :

Minuman berakohol

Inhalansia (gas yang dihirup) dan solven (zat pelarut) Tembakau

B.

Riwayat Alamiah Narkoba

Kompromi Pada tahap ini, seseorang masih dalam keadaan sehat, namun sudah mulai dibujuk untuk menggunakan Narkoba. Coba-coba Pada tahap ini, karena orang tersebut merasa enggan untuk menolak, maka orang tersebut ikut mencoba narkoba. Toleransi Karena orang tersebut sudah mencoba menggunakan narkoba, tubuh sudah menjadi toleran dan perlu peningkatan dosis peningkatan. Tahap eskalasi Peningkatan dosis dan penambahan jenis narkoba yang dipakai dengan dosis yang terus bertambah Tahap Habituasi Pemakaian narkoba sudah jadi kebiasaan yang mengikat. Tahap Adiksi
54

Keterikatan pada narkoba sudah mendalam, tidak dapat terlepas. Kalau berhenti pakai, timbul gejala putus obat. Tahap Intoksikasi Keracunan oleh narkoba. Disini terjadi kerusakan pada organ tubuh dan otak, hilang kesadaran. Mati/meninggal Organ tubuh sudah rusak terutama otak, biasanya menjadi gila atau terjadi kematian. C.

Faktor Risiko
Harboenangin (dikutip dari Yatim, 1986) mengemukakan ada beberapa

faktor yang menyebabkan seseorang menjadi pecandu narkoba, yaitu faktor eksternal dan faktor internal. 1. Faktor Internal a. Faktor Kepribadian b. Inteligensia c. Usia d. Dorongan Kenikmatan dan Perasaan Ingin Tahu e. Pemecahan Masalah 2. Faktor Eksternal a. Keluarga
b. Faktor Kelompok Teman Sebaya (Peer Group)

c. Faktor Kesempatan

Program Pencegahan dan Penanggulangan Penyalahgunaan Obat dan Bahan Berbahaya


D.

Penanggulangan masalah Napza dilakukan mulai dari pencegahan, pengobatan sampai pemulihan (rehabilitasi). 1) Pencegahan Pencegahan dapat dilakukan, misalnya dengan:
a) Memberikan informasi dan pendidikan yang efektif tentang Napza.

b) Deteksi dini perubahan perilaku


55

c) Menolak tegas untuk mencoba (Say no to drugs) atau Katakan tidak pada

narkoba 2) Pengobatan Terapi pengobatan bagi klien Napza misalnya dengan detoksifikasi. Detoksifikasi adalah upaya untuk mengurangi atau menghentikan gejala putus zat, dengan dua cara yaitu: a) Detoksifikasi tanpa subsitusi Klien ketergantungan putau (heroin) yang berhenti menggunakan zat yang mengalami gajala putus zat tidak diberi obat untuk menghilangkan gejala putus zat tersebut. Klien hanya dibiarkan saja sampai gejala putus zat tersebut berhenti sendiri. b) Detoksifikasi dengan substitusi Putau atau heroin dapat disubstitusi dengan memberikan jenis opiat misalnya kodein, bufremorfin, dan metadon. Substitusi bagi pengguna sedatif-hipnotik dan alkohol dapat dari jenis anti ansietas, misalnya diazepam. Pemberian substitusi adalah dengan cara penurunan dosis secara bertahap sampai berhenti sama sekali. 3) Rehabilitasi Rehabilitasi adalah upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan terpadu melalui pendekatan non medis, psikologis, sosial dan religi agar pengguna Napza yang menderita sindroma ketergantungan dapat mencapai kemampuan fungsional seoptimal mungkin. Tujuannya pemulihan dan pengembangan pasien baik fisik, mental, sosial, dan spiritual. Sarana rehabilitasi yang disediakan harus memiliki tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan (Depkes, 2001). Kenyataan menunjukkan bahwa mereka yang telah selesai menjalani rehabilitasi sebagian besar akan mengulangi kebiasaan menggunakan Napza, oleh karena rasa rindu (craving) terhadap Napza yang selalu terjadi (DepKes, 2001).

56

XII.

EPIDEMIOLOGI MASALAH GIZI

A. Perkembangan Masalah Gizi


WHO menyatakan bahwa obesitas telah menjadi masalah dunia. Data yang dikumpulkan dari seluruh dunia memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan prevalensi overweight dan obesitas pada 10-15 tahun terakhir, saat ini diperkirakan sebanyak lebih dari 100 juta penduduk dunia menderita obesitas. Angka ini akan semakin meningkat dengan cepat. Jika keadaan ini terus berlanjut maka pada tahun 2230 diperkirakan 100% penduduk dunia akan menjadi obes (Sayoga dalam Rahmawaty, 2004). Prevalensi obesitas di Indonesia mengalami peningkatan mencapai tingkat yang membahayakan. Berdasarkan data SUSENAS tahun 2004 prevalensi obesitas pada anak telah mencapai 11%. Di Indonesia hingga tahun 2005 prevalensi gizi baik 68,48%, gizi kurang 28%, gizi buruk 88%, dan gizi lebih 3,4% (Data SUSENAS, 2005). Gambar 1. Presentase gizi buruk di Indonesia tahun 2007

57

B. Riwayat Alamiah Masalah Gizi

Riwayat alamiah terjadinya masalah gizi (defisiensi gizi), dimulai dari tahap prepatogenesis yaitu proses interaksi antara penjamu, dengan penyebab (agent=zat-zat gizi) serta lingkungan. Pada tahap ini terjadi keseimbangan antara ketiga komponen yaitu tubuh manusia, zat gizi dan lingkungan dimana manusia dan zat-zat gizi makanan berada (konsep :John Gordon). Ada 4 kemungkinan terjadinya patogenesis penyakit defisiensi gizi. Pertama : makanan yang dikonsumsi kurang baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Kedua: Peningkatan kepekaan host terhadap kebutuhan gizi misalnya : kebutuhan yang meningkat karena sakit. Ketiga: Pergeseran lingkungan yang memungkinkan kekurangan pangan, misalnya misalnya gagal panen. Keempat: Perubahan lingkungan yang mengubah meningkatkan kerentanan host mis : kepadatan penduduk di daerah kumuh. Pada masa prepatogenesis bibit penyakit belum mamasuki penjamu, namun demikian telah ada interaksi antara penjamu, bibit penjakit dan lingkungan, jika penjamu tidak dalam keadaan baik, maka kondisi kesehatan menurun sehinga ada kemungkinan bibit penyakit masuk kedalam tubuh. Bila bibit penyakit telah

58

masuk dalam tubuh, maka tahapan patogenesis dengan gejala yang terlihat dan gejala yang tidak terlihat (horizon klinis).
C. Faktor Risiko Masalah Gizi

1. Makanan 2. Demografi 3. Penyakit infeksi: 4. Perilaku 5. Sosial ekonomi

Orang-orang yang memiliki resiko mengalami kekurangan gizi: 1. Bayi dan anak kecil yang nafsu makannya jelek 2. Remaja dalam masa pertumbuhan yang pesat 3. Wanita hamil dan wanita menyusui 4. Orang tua
5. Penderita penyakit menahun pada saluran pencernaan, hati atau

ginjal, terutama jika terjadi penurunan berat badan sampai 10-15% 6. Orang yang menjalani diet untuk jangka panjang 7. Vegetarian 8. Penderita ketergantungan obat atau alkohol yang tidak cukup makan 9. Penderita AIDS 10. Pemakaian obat yang mempengaruhi nafsu makan, penyerapan atau pengeluaran zat gizi 11. Penderita anoreksia nervosa 12. Penderita demam lama, hipertiroid, luka bakar atau kanker.

59

Orang-orang yang memiliki resiko mengalami kelebihan gizi: 1. Anak-anak dan dewasa yang makannya banyak tetapi tidak melakukan olah raga 2. Kelebihan berat badan >20% 3. Makanan yang mengandung lemak tinggi dan garam tinggi 4. Orang yang mengkonsumsi asam nikotin (niasin) dosis tinggi, untuk mengobati hiperkolesterolemia 5. Wanita yang 6. Orang yang mengkonsumsi vitamin A dosis tinggi, untuk mengobati penyakit kulit
7. Orang yang mengkonsumsi mengkonsumsi vitamin B6 (piridoksin)

dosis tinggi, untuk mengobati sindroma premenstrual zat besi atau mineral lainnya dalam dosis tinggi, tanpa resep dari dokter.

D. Program Pencegahan dan Penanggulangan Masalah Gizi

Untuk penanggulangannya, Depkes sendiri sudah mengambil langkahlangkah,baik bantuan secara darurat (kuratif dan preventif) maupun jangka menengah. Seperti diperlihatkan dibawah ini ( Konsep Masalah Gizi menurut Unicef). Masalah gizi dalam tahapan penyebab langsung disebabkan oleh konsumsi zat gizi (yang rendah), pada pendekatan patogenesis dinyatakan sebagai Agent dan adanya penyakit infeksi dinyatakan sebagai host. Kedua penyebab langsung ini juga saling berinteraksi memperparah terjadinya masalah gizi.

60

61

Lima tingkatan (tahapan) pencegahan itu adalah :


1) Promosi Kesehatan, penyusunan Standar Kebutuhan Gizi yang di

Anjurkan, atau pedoman penerapan gizi seimbang. 2) Perlindungan Khusus, pemberian zat gizi tertentu misalnya saja dalam

Pemberian vitamin A pada anak balita dua kali dalam setahun untuk melindungi anak dari kebutaan, merupakan salah satu upaya tahapan perlindungan khusus ini.
3) Diagnosa Dini dan Pengobatan yang tepat, sikrining survei berat badan

dibawah garis merah pada KMS balita untuk penentukan anak balita yang benar-benar menderita gizi kurang dan anak balita yang benar-benar tidak menderita gizi kurang.
4) Mengurangi Kelemaha (pemberian diet) 5) Rehabilitasi, Pemberian makanan yang disesuaikan dengan keadaan

pasien.

62

DAFTAR PUSTAKA

Epidemiologi Penyakit PJK

Bustan, M.N. Epidemiologi Penyakit Tidak menular.jakarta : Rineka Cipta. Cet.I. 2000 Kabo, Peter. Mengungkap Pengobatan Jantung Koroner. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2008 Pengobatan Sakit Jantung .(homepage http://www.nursyifa.hypermart.net/ dari internet). tersedia di

Pemanfaatan Program Bantuan Ballon dan Stent Belum Maksimal Penyakit Jantung Koroner.(homepage dari internet). tersedia di http://www.depkominfo.go.id/berita
Epidemiologi Penyakit Diabetes Mellitus

Bantas, Krisnawati. Epidemiologi penyakit diabetes mellitus Himpunan Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Editor: Nasrin Kodim. FKM UI. http://penyakitdalam.files.wordpress.com/2009/11/konsensus-pengelolalaandan-pencegahan-diabets-melitus-tipe-2-di-indonesia-2006.pdf Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2006 Nasir, Narila Mutia dan Febrianti. Modul Gizi Kesehatan Masyarakat. FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Epidemiologi Penyakit Kanker Serviks

Dalimartha, Setiawan. Deteksi Dini Kanker dan Simplisia Antikanker. Jakarta:Penebar Swadaya. 2004 Kodim, Nasrin. Krisnawaty Bantas, dkk. Himpunan Bahan Kuliah Epidemiologi Penyakit Tidak Menular.

63

Rasjidi, Imam. Panduan Penatalaksanaan Kanker Ginekologi. Jakarta: EGC. 2007. Dian, Boyke N. Materi Seminar Nasional Bahaya Kanker Servik pada tanggal 22 Maret 2010.

Epidemiologi Penyakit Kanker Payudara Eni Setiati. 2009. Waspada 4 Kanker Ganas Pembunuh Wanita. Jogjakarta : C.V ANDI OFFSET Nasrin Kodim. Himpunan Bahan Kuliah Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. http://ccrcfarmasiugm.wordpress.com/ensiklopedia-kanker/kanker-mammae2/ diakses pada Selasa 23 Maret 2010 http://documentdinda.wordpress.com/2009/03/02/13-cara-cegah-kankerpayudara/ diakses pada tanggal 23 Maret 2010 http://www.pitapink.com/id/tentang-kanker-payudara.html, Selasa 23 Maret 2010 http://www.tempo.co.id/medika/arsip/082002/pus-3.htm diakses pada Selasa 23 Maret 2010 diakses pada

Epidemiologi Stroke Bustan. Epidemiologi Penyakit Menular. 2007. Rineka Cipta, Cet.2, Hal.2 dan 95-96 Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia Desember 2008. Diakses, 15.38 WIB, 23-03-2010 Persentasi Stroke , mata kuliah Epidemiologi Penyakit Tidak Menular dari dr. Toni Wandra, M.Kes, Ph.D http://www.yastroki.or.id/program.php/, diakses pukul 12.07 WIB tanggal 24-03-2010

64

http://med.unhas.ac.id/index2.php? option=com_content&task=view&id=145&pop=1&page=6&Itemid=48 , diakses pada pukul 15.34 WIB tanggal 23-03-2010 Sustrani, Lanny dkk. 2006. Stroke. Jakarta : Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. http://nuansaonline.net/index.php? option=com_content&task=view&id=169&Itemid=35 http://madtauhid.wordpress.com/2010/02/18/tips-sehat-cegah-stroke/

Epidemiologi Kesehatan Darurat Efendi F. Konsep Bencana Definisi Bencana (Disaster). Journal [serial on the Internet]. disaster.html. Fauziah M. Bencana Alam Perlindungan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC; 2006 Bustan M.N. Epidemiologi Kesehatan Darurat. Makasar: Umitoha Ukhuah Grafika; 2000 Epidemiologi Kecelakaan Lalu Lintas 2007 Date: Available from: http://ferryefendi.blogspot.com/2007/12/konsep-bencana-

Bustan, M.N. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta: RINEKA CIPTA. 2007 Budiono, Sugeng, dkk. Bunga Rampai HIPERKES dan KK. Semarang: Badan penerbit Universitas Diponegoro.2008 http://bps.go.id (diakses pada tanggal 25 maret 2010 pukul 12.00)

65

http://transportasi.bappenas.go.id/index.php? option=com_content&view=article&id=118:informasi-kecelakaantransportasi&catid=56:berita-kegiatan&Itemid=55 (diakses pada tanggal 25 maret pukul 06.00) http://kardady.wordpress.com/2009/12/30/pencegahan-kecelakaan-lalulintasdi-kota-bandung/ (diakses tanggal 20 maret 2010) Epidemiologi Lansia Bustan, M.N. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta: Rineka Cipta. 2007 Maryam, R. Siti,dkk. 2008. Mengenal usia lanjut dan Keperawatannya. Salemba Medika : Jakarta http://www.depkominfo.go.id/berita/bipnewsroom/jumlah-lansia-diindonesia-165-juta-orang/ diakses pada tanggal 27 Maret 2010 16.05 http://www.menkokesra.go.id/content/view/2933/333/ diakses pada tanggal 13 Maret 2010 pukul 9.00 WIB http://www.waspada.co.id/index.php? option=com_content&view=article&id=1816:kenalilah-penyakit-infeksipada-lansia&catid=28:kesehatan&Itemid=48. Diakses pada tanggal 26 Maret 2010 pukul 11.00 WIB

Epidemiologi Merokok Nuning, DKK. 2006. Modul Dasar-Dasar Epidemiologi. Jakarta: UIN Jakarta Press info@puskom.depkes.go.id 25 maret 2010 13.00 WIB puskom.publik@yahoo.co.id 25 maret 2010 13.45 http://www.dexamedica.com/ourproducts/prescriptionproducts/index.php? id=7 25 maret 2010 14.15 wib

66

http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/458-rokokmembunuh-lima-juta-orang-setiap-tahun.html http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/446-pemerintahsiapkan-ruu-pengesahan-fctc.html

Epidemiologi Penyalahgunaan Obat dan Bahan Berbahaya

Bustan, M.N. 2007. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta: PT Rineka Cipta.

http://usupress.usu.ac.id/files/Asuhan%20Keperawatan%20pada%20Klien %20dengan%20Masalah%20Psikososial%20dan%20Gangguan %20Jiwa_Normal_bab%201.pdf/ www.bnn.go.id. Diakses pada tanggal 24 Maret 2010 www.depkes.go.id. Diakses pada tanggal 13 Maret 2010 www.waspada.co.id. Diakses pada tanggal 24 Maret 2010 http://usupress.usu.ac.id/files/Asuhan%20Keperawatan%20pada%20Klien %20dengan%20Masalah%20Psikososial%20dan%20Gangguan %20Jiwa_Normal_bab%201.pdf/ diakses 22 Maret 2010 http://usupress.usu.ac.id/files/Asuhan%20Keperawatan%20pada%20Klien %20dengan%20Masalah%20Psikososial%20dan%20Gangguan %20Jiwa_Normal_bab%201.pdf/ diakses 22 Maret 2010

Epidemiologi Masalah Gizi Alan Berg dan Robert J. Muscat: Faktor Gizi (terjemahan). 1985. Jakarta : Penerbit Bhratara Karya Aksara Almatsier, S. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. 2001. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Supariasa, I. Dewa Nyoman, dkk. Penilaian Status Gizi. 2002. Jakarta: EGC. Syafiq, Ahmad, dkk. Modul Gizi Kesehatan Masyarakat. 2006. Jakarta: UIN PRESS.
67

http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/0c78a6f43c23a6efdac2ebf2ccdb 7c21d1292b4d.pdf http://gumball3000.org/link.php? url=----://arali2008.wordpress.com/2009/12/11/apakah-masalah-gizi-itu/ http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkmgizi-evawany.pdf

68

You might also like