You are on page 1of 2

Ibumu adalah Ibunda darah dagingmu Tundukkan mukamu Bungkukkan badanmu Raih punggung tangan beliau Ciumlah dalam-dalam

Hiruplah wewangian cintanya Dan rasukkan ke dalam kalbumu Agar menjadi azimah bagi rizki dan kebahagiaan (Emha Ainun Najib) Siang sudah sampai pada pertengahan. Dan Ibu begitu anggun menjumpai saya didepan pintu. Gegas saya rengkuh punggung tangannya, menciumnya lama.Ternyata rindu padanya tidak bertepuk sebelah tangan. Ibu juga mendaratkan kecupan sayang di ubun-ubun ini,lama. Alhamdulillah, kamu sudah pulang itu ucapann ya kemudian. Begitu masuk ke dalam rumah, saya mendapati ruangan yang sungguh be rsih. Sudah lama tidak pulang. Ba da Ashar, Nak, tolong angkatin panci, airnya sudah mendidih . Gegas saya angkat panciny a dan dahipun berkerut, panci kecil itu diisi setengahnya. Ah mungkin hanya untuk membuat beberapa gelas teh saja pikir saya Eh, tolongin bawa ember ini ke depan, Ibu maumenyiram . Sebuah ember putih ukuran sedang telah terisi air, juga setengah nya. Saya memindahkannya ke halaman depan dengan mudahnya. Saya pandangi bunga-b unga peliharaan Ibu. Subur dan terawat. Dari dulu Ibu suka sekali menanam bunga. Nak, Ibu baru saja mencuci sarung, peras dulu, abis itu jemur di pagar yah p inta Ibu. Eh, bantuin Ibu potongin daging ayam sekilas saya memandang Ibu yang teng ah bersusah payah memasak. Tumben Ibu begitu banyak meminta bantuan, biasanya be liau anteng dan cekatan dalam segala hal. Sesosok wanita muda, sedang menyapu ketika saya masuk rumah sepulang dari ziarah. Neng.. itu sapanya, kepalanya mengangguk ke arah saya. Bu, siapa itu...? tan ya saya. Oh itu yang bantu-bantu Ibu sekarang pendeknya. Dan saya semakin termangu , dari dulu Ibu paling tidak suka mengeluarkan uang untuk mengupah orang lain da lam pekerjaan rumah tangga. Pantesan rumah terlihat lebih bersih dari biasanya. Dan, semua pertanyaan itu seakan terjawab ketika saya menemaninya tilawah selepas maghrib. Tangan Ibu gemetar memegang penunjuk yang terbuat dari kertas k oran yang dipilin kecil, menelusuri tiap huruf al-qur an. Dan mata ini memandang l ekat pada jemarinya. Keriput, urat-uratnya menonjol jelas, bukan itu yang membua t saya tertegun. Tangan itu terus bergetar. Saya berpaling, menyembunyikan benin g kristal yang tiba-tiba muncul di kelopak mata. Mungkinkah segala bantuan yang ia minta sejak saya pulang, karena tangannya taklagi paripurna melakukan banyak hal? Dingin bisik saya, sambil beringsut membenamkan kepala di pangkuannya. Ibu masih terus tilawah, sedang tangan kirinya membelai kepala saya. Saya memeluknya, merengkuh banyak kehangatan yang dilimpahkannya tak berhingga.Adzan isya berkumandang, Ibu berdiri di samping saya, bersiap menjadi imam. Tak lama suaranya memen uhi udara mushala kecil rumah. Seperti biasa surat cinta yang dibacanya selalu i tu, Ad-Dhuha dan At-Thariq. Usai shalat, saya menunggunya membaca wirid, dan sep erti tadisaya pandangi lagi tangannya yang terus bergetar. Duh Allah, sayangi Mam ah spontan saya memohon. Neng... suara ibu membuyarkan lamunan itu, kini tangannya terangsur di depan saya, kebiasaan saat selesai shalat, saya rengkuh tangan berkah itu dan mencium nya. Tangan ibu kenapa? tanya saya pelan. Sebelum menjawab, ibu tersenyum maniss s ekali. Penyakit orang tua Sekarang tangan ibu hanya mampu melakukan yang ringan-rin gan saja, irit tenaga tambahnya. Udara semakin dingin. Bintang-bintang di langit kian gemerlap berlatarkan langit biru tak berpenyangga. Saya memandangnya dari t eras depan rumah. Adabulan yang sudah memerak sejak tadi. Malam perlahan beranja k jauh. Dalam hening itu, saya membayangkan senyuman manis Ibu sehabis shalat is ya tadi. Apa maksudnya? Dan mengapakah, saya seperti melayang. Telah banyak hal yang dipersembahkan tangannya untuk saya. Tangan yang tak pernah mencubit, sejen gkel apapun perasaannya menghadapi kenakalan saya. Tangan yang selalu berangsur ke kepala dan membetulkan letak jilbab ketika saya tergesa pergi sekolah. Tangan yang selalu dan selalu mengelus lembut ketika saya mencari kekuatan di pangkuan

nya saat hati saya bergemuruh. Tangan yang menengadah ketika memohon kepada Allah un tuk setiap ujian yang saya jalani. Tangan yang pernah membuat bunga dari pita-pi ta berwarna dan menyimpannya di meja belajar saya ketika saya masih kecil yang k atanya biar saya lebih semangat belajar. Sewaktu saya baru memasuki bangku kulia h dan harus tinggal jauh darinya, suratnya selalu saja datang. Tulisan tangannya kadang membuat saya mengerutkan dahi, pasalnya beberapa huruf terlihat sama, hu ruf n dan m nya mirip sekali. Ibu paling suka menulis surat dengan tulisan sambu ng. Dalam suratnya, selalu Ibu menyisipkan puisi yang diciptakannya sendiri. Ada sebuah puisinya yang saya suka i. Ibu memang suka menyanjung : Kau adalah gemerlap bintang di langit malam Bukan!, kau lebih dari itu Kau adalah pendar rembulan di angkasa sana, Bukan!, kau lebih dari itu, Kau adalah benderang matahari di tiap waktu, Bukan!, kau lebih dari itu Kau adalah Sinopsis semesta Itu saja. Tangan ibunda adalah perpanjangan tangan Tuhan. Itu yang saya baca dari se buah buku. Jika saya renungkan, memang demikian. Tangan seorang ibunda adalah pe rwujudan banyak hal : Kasih sayang, kesabaran, cinta, ketulusan.... Pernahkah ia pamrih setelah tangannya menyajikan masakan di meja makan unt uk sarapan? Pernahkan Ia meminta upah dari tengadah jemari ketika mendoakan anaknya ag ar diberi Allah banyak kemudahan dalam menapaki hidup? Pernahkah Ia menagih uang atas jerih payah tangannya membereskan tempat tidur kita? Pernahkah ia mengungkap balasan atas semua persembahan tangannya?.. Pernahkah..? Ketika akan meninggalkannya untuk kembali, saya masih merajuknya Bu, ikutla h ke jakarta, biar dekat dengan anak-anak . Ah, Allah lebih perkasa di banding kali an, Dia menjaga Ibu dengan baik di sini. Kamu yang seharusnya sering datang, Ibu akan lebih senang Jawabannya ringan. Tak ada air mata seperti saat-saat dulu mel epas saya pergi. Ibu tampak lebih pasrah, menyerahkan semua kepada kehendak Alla h. Sebelum pergi, saya merengkuh kembali punggung tangannya, selagi sempat , say a reguk seluruh keikhlasan yang pernah dipersembahkannya untuk saya. Selagi sisa waktu yang saya punya masih ada, tangannya saya ciumi sepenuh takzim. Saya taku t, sungguh takut, tak dapati lagi kesempatan meraih tangannya, meletakannya di kening. *** Bagaimana dengan kalian para sahabat? Engkau sangat tahu, lewat tangannya kau ada, duduk di depan komputer dan membaca tulisan saya ini. Engkau sangat tah u, lewat tangannya kau bisa menjadi seseorang yang menjadi kebanggaan. Engkau sa ngat tahu, dibanding siapapun juga. Maka, usah kau tunggu hingga tangannya gemet ar, untuk mengajaknya bahagia. Inilah saatnya, inilah masanya...

You might also like