Professional Documents
Culture Documents
Diterbitkan oleh (CIVED) Civic Engagement in Democratic Governance Kerjasama Departemen Dalam Negeri dengan United Nations Development Programme 2008
DIDUKUNG OLEH:
TIM PENGARAH:
IR. AGUNG MULYANA. MSC., STAF AHLI MENETRI, DEPARTEMEN DALAM NEGERI IRMAN G. LANTI, PEJABAT SEMENTARA TATA PEMERINTAHAN, UNDP
TIM RISET:
YANTI B. SUGARDA INDRA J. PILIANG ABDI SURYANINGATI MEUTHIA GANIE-ROCHMAN DEDDY SITORUS
KATA SAMBUTAN
Dalam suatu negara yang demokratis, pemilihan umum adalah suatu kegiatan yang secara rutin atau periodik dilaksanakan sebagai sarana untuk memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahan guna mengurus dan melayani rakyat, serta untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan mengawasi jalannya pemerintahan. Namun seringkali dalam pemilihan umum yang terjadi di berbagai negara, kita melihat gambaran bahwa rakyat seperti kurang antusias mengikuti kegiatan tersebut. Hal ini tercermin dari tingkat partisipasi rakyat, khususnya partisipasi pemilih yang rendah di tempat pemungutan suara (TPS) baik dalam pemilu legislatif, presiden maupun pilkada. Bila kita melihat pada gambaran tingkat partisipasi pemilih di TPS di Indonesia pada pemilihan umum tahun 2004 yang lalu, kita mendapatkan gambaran yang cukup membesarkan hati karena angkanya di atas 90%. Hal ini dapat diartikan bahwa rakyat khususnya pemilih, secara umum telah memahami hak dan tanggung jawabnya sebagai warga negara dan secara sadar memilih jalan yang demokratis untuk membangun sistem politik dan ketatanegaraan. Dari sisi lain, kita dapat melihat bahwa terbangunnya kesadaran partisipasi ini terwujud salah satunya karena adanya program sosialisasi dan pendidikan kepada rakyat, khususnya pemilih, yang dilaksanakan secara sistematis, terarah dan berkesinambungan, dimulai dari awal tahapan pemilihan umum hingga ke saat pemungutan suara. Namun demikian, sangat disayangkan bahwa partisipasi pemilih yang terbangun dengan baik pada Pemilu 2004, menunjukkan kecenderungan penurunan yang sangat berarti dari waktu ke waktu hingga ke tahun 2008 ini. Hal ini secara umum terlihat dari angka partisipasi pemilih pada kegiatan pemilihan umum kepala daerah (pilkada). Kepercayaan pemilih (dan publik pada umumnya) terhadap proses, kelembagaan, aktor serta hasil pilkada ternyata terus menunjukkan penurunan. Gambaran ini merupakan tantangan bagi konsolidasi demokrasi di Indonesia, karena rendahnya partisipasi dapat berujung pada delegitimasi proses dan kelembagaan politik, yang akhirnya berdampak pada merosotnya kepercayaan kepada sistem demokrasi secara keseluruhan. Menghadapi pemilihan umum tahun 2009, diperlukan kembali langkah sosialisasi dan pendidikan politik kepada rakyat, khususnya pemilih, agar kesuksesan tingkat partisipasi pemilih yang pernah dicapai pada pemilihan umum tahun 2004 dapat diulangi, atau bahkan ditingkatkan. Untuk itu, sebelum sampai kepada penyusunan program sosialisasi dan pendidikan politik yang ideal sesuai dengan kebutuhan kekinian, perkenankan kami melaporkan hasil kegiatan studi yang dilaksanakan oleh tim proyek CIVED (Civic Engagement in Democratic Governance) kerjasama antara Departemen Dalam Negeri dengan UNDP (United Nations Development Program) yang mengkaji kekuatan dan kelemahan program sosialisasi dan pendidikan pemilih pada pemilihan umum tahun 2004 dikaitkan dengan fenomena terbaru yang berkembang dari kegiatan Pilkada, sebagaimana diuraikan dalam laporan terlampir. Secara khusus, kami mengucapkan terima kasih kepada tim ahli yang melaksanakan studi serta Project Management Unit (PMU) yang mengorganisasikan kegiatan secara keseluruhan. Kami juga mengucapkan terima kasih atas dukungan dari CIDA (Canadian International Development Agency) yang telah mendanai assesment dan penyusunan laporan
ini. Kami berharap kiranya laporan ini berguna sebagai masukan bagi Departemen Dalam Negeri, instansi terkait dan para pihak yang peduli terhadap pendidikan pemilih di Indonesia dalam menyusun program sosialisasi dan pendidikan pemilih menghadapi pemilihan umum tahun 2009 yang akan datang. Jakarta, Juli 2008
Sejumlah individu dan organisasi telah ikut membantu berjalannya riset ini. Kami sangat berterima kasih kepada mereka yang telah memberikan waktun dan bersedia berbagi informasi, pengalaman serta menyumbangkan pandanganpandangan yang berharga kepada Tim Peneliti. Kami juga sangat menghargai keterbukaaan yang diberikan dalam pelaksanaan penelitian ini.
DAFTAR SINGKATAN
Banwaslu BPP CETRO CIVED C-VICI Depdagri Depdikbud Difabel DPD DPR DPRD FGD IFES IIDEA IPCOS JIL JPPR KIPP KNPI KOPEL KPU KPUD LP3ES
Badan Pengawas Pemilihan Umum Bilangan Pembagi Pemilih Centre for Electoral Reform Civic Engagement in Democratic Governance Consorcium for Voter Information Campaign in Indonesia Departemen Dalam Negeri Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Different Abilities Dewan Perwakilan Daerah Dewan Perwakilan Rakyat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Focus Group Discussion International Foundation for Election System International Institute for Democracy and Electoral Assistance The Institute of Policy and Community Development Studies Jaringan Islam Liberal Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat Komite Independen Pemantau Pemilu Komite Nasional Pemuda Indonesia Komite Pemantau Legislative Komisi Pemilihan Umum Komisi Pemilihan Umum Daerah Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial LSM Lembaga Swadaya Masyarakat OMS Organisasi Masyarakat Sipil OPM Organisasi Papua Merdeka Ormas Organisasi Kemasyarakatan Panwaslu Panitia Pengawas Pemilu PDIP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Pemilu Pemilihan Umum PERFIKI Perusahaan Film Keliling PGI Persekutuan Gereja Indonesia Pilkada Pemilihan Langsung Kepala Daerah PKS Partai Keadilan Sejahtera PSA Public Service Advertisement TOT Training of Trainer TPS Tempat Pemungutan Suara Tupoksi Tugas Pokok dan Fungsi TVRI Televisi Republik Indonesia UNDP United Nations Development Programme V/E/C Education Voter/Electoral/Civic Education YAPPIKA Alliansi Masyarakat Sipil Demokrasi
DAFTAR ISI
tim pengarah:.......................................................................................................ii
Ir. Agung Mulyana. MSc., staf ahli menetri, departemen dalam negeri..................ii Irman G. Lanti, pejabat sementara tata pemerintahan, undp................................ii tim riset:............................................................................................................... ii Yanti B. Sugarda...................................................................................................ii Indra J. Piliang.......................................................................................................ii Abdi Suryaningati ................................................................................................ ii Meuthia Ganie-Rochman.......................................................................................ii RINGKASAN.......................................................................................1 Tinjauan Pemilu 2004 dan Pilkada.....................................................................1 Rekomendasi Strategi Pelaksanaan V/E/C Education Pemilu 2009 dan Setelahnya........................................................................................................4 I. PENGANTAR....................................................................................6 1.1 Metodologi..................................................................................................7 1.1.1 Daerah pemilihan ..............................................................................7 1.1.2 Metode Pengumpulan Data................................................................7 1.1.3 Kerangka Pemikiran...........................................................................7 II. DEFINISI PENDIDIKAN PEMILIH, ELEKTORAL DAN KEWARGAAN.........8 III. TINJAUAN PEMILU 2004 DAN PILKADA..........................................10 3.1 Pemilu 2004..............................................................................................10 3.2 Pilkada......................................................................................................14 3.2.1 Prosedural........................................................................................15 3.2.2 Perilaku Pemilih................................................................................18 IV. TINJAUAN ORGANISASI PELAKSANA KEGIATAN V/E/C EDUCATION. . .22 4.1 Kegiatan....................................................................................................22 ** berarti data tidak ada / belum lengkap.................................................23 4.1.2 Terlibat di Pendidikan Elektoral/Pemilih dan Elektoral.......................23 4.1.3 Terlibat di Pendidikan Masyarakat Sipil serta Pendidikan Elektoral...27 4.2 Faktor yang Mempengaruhi Efektifitas......................................................27 4.2.1 Positif...............................................................................................27 4.2.2 Negatif.............................................................................................28 4.3 Isu dan temuan dari studi penilaian pendidikan V/E/C ..............................29 V. REKOMENDASI STRATEGI PELAKSANAAN V / E / C EDUCATION DI PEMILU 2009 DAN SESUDAHNYA.......................................................34 5.1 Pengantar.................................................................................................34 5.2 Tujuan V/E/C Education (Purpose).............................................................35 5.3 Hasil Jangka Menengah (Outcome)............................................................35 5.4 Hasil Jangka Pendek (Outputs)..................................................................35 5.5 Strategi Pelaksanaan V/E/C Education.......................................................36 5.5.1. Substansi V/E/C Education...............................................................36 5.5.2. Metode Penyampaian Pesan............................................................37 5.5.3 Kapasitas Organisasi dan Penguatan Koordinasi...............................39 5.5.4 Management - Potensi pengembangan V/E/C Education Center.......42 LAMPIRAN 1: SUBSTANSI DAN STRATEGI PENYAMPAIAN PESAN V/E/C EDUCATION DI PEMILU 2009.............................................................46
Ringkasan
Laporan yang ada di tangan anda ini merupakan hasil riset dalam bentuk penilaian terhadap situasi pendidikan pemilih (Voter Education/VE), pendidikan ke-pemilu-an (Electoral Education/EE), dan pendidikan kewargaan (Civic Education/CE) di Indonesia. Laporan ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran tentang sejauh mana perkembangan pendidikan pemilih di masa lalu dan kebutuhan di masa kini serta di masa yang akan datang. Riset dilakukan di-enam wilayah yang dianggap representatif, yakni masing-masing: Bali, Maluku Utara, Kalimanan Barat, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan dan Papua. Kegiatan riset ini dilakukan oleh UNDP (United Nations Development Programms) dan Departemen Dalam Negeri RI, cq. Direktorat Jendral Kesatuan Bangsa dan Politik melalui Proyek CIVED (Civic Engagement in Democratic Governance Project). Pelaksanaan lapangan riset ini dikerjakan oleh sebuah tim peneliti yang berpengalaman dibantu oleh the Polling Center dalam hal pengorganisasian tekhnis. Secara ringkas, kami mendefinisikan kegiatan Pendidikan Pemilih (Voter Education/VE) sebagai kegiatan yang bertujuan memberikan pemahaman tentang prosedur terkait pemilihan umum (di berbagai tingkatan dan tujuan) kepada warga negara yang memiliki hak pilih. Sedangkan Pendidikan Elektoral (Electoral Education/EE) adalah kegiatan yang bertujuan memberikan pemahaman mengenai fungsi pemilihan dalam suatu sistem demokrasi. Adapun Pendidikan Kewargaan (Civic Education/CE) adalah kegiatan yang bertujuan memberikan pemahaman atas konsep masyarakat yang demokratis serta menjadi warga negara yang mampu menjalankan hak dan kewajibannya.
Tinjauan Pemilu 2004 dan Pilkada Secara umum, Pendidikan Pemilih adalah kegiatan yang relatif kurang mendapatkan perhatian menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2004, Pemilihan Langsung Kepala Daerah (Pilkada) yang digelar sejak 1 Juni 2005, serta jelang Pemilu 2009. Boleh dikatakan aspek pemilih terabaikan dalam hiruk pikuk penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada. Ada sinyalemen bahwa semakin pemilih tidak paham dengan sistem pemilihan, mekanisme penyusunan calon, sampai implikasi dari janji-janji kampanye, maka semakin peserta Pemilu mendapatkan keuntungan. Pemilih yang pasif hanya dijadikan sebagai alat legitimasi atas kekuasaan. Kalau diperhatikan secara cermat, kesibukan media massa, pimpinan partai politik, sampai para ahli lebih terkait dengan proses pemilihan pejabat-pejabat publik yang berkaitan dengan Pemilu dan Pilkada, seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Selain itu, perhatian berlebih juga diberikan kepada penyusunan undang-undang bidang politik. Pasal-pasal substansial diperdebatkan, namun bersifat elitis sebab aspirasi pemilih kurang mendapatkan ruang dalam perdebatan tersebut.
Halaman 1
Keterlambatan pengesahan paket undang-undang politik menjadi faktor penting dari keterlambatan pelaksanaan program Pendidikan Pemilih menjelang Pemilu 2004. Penumpukan aktivitas pendidikan pemilih terjadi menjelang akhir tahun 2003, seusai undang-undang politik disahkan. UU itu terdiri dari UU No. 31/2002 tentang Partai Politik; UU No. 12/2003 tentang Pemilihan Umum; UU No. 22/2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD; UU No. 23/2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden; serta UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Masing-masing UU itu saling berkaitan, serta masih memerlukan lagi peraturan pelaksanaan.
Tinjauan Organisasi Pelaksana dan Kegiatannya Pendidikan Pemilih kebanyakan mencoba memberikan pemahaman tentang prosedur tekhnis dalam pemilihan, hal mana cocok dengan pengertian umum tentang Voter Education. Sedangkan aspek yang lebih kritis dari Pendidikan Pemilih belum banyak dilakukan, misalnya mengawasi jalannya pemilihan.
Pendidikan Elektoral kebanyakan ditargetkan pada publik umum tanpa kategori khusus sesuai karakteristik pemilih dan daerah, kecuali dalam beberapa kasus. Di Indonesia, media massa digunakan untuk melengkapi metode-metode lain dalam Pendidikan Elektoral. Karena terbatas dan mahalnya ruang dalam media cetak dan TV, kedua medium tersebut cenderung digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan pendek yang relatif dangkal dan terbatas pula. Hanya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tertentu dengan dukungan donor yang besar dapat menggunakan medium TV dan koran secara nasional. Bagi program yang memilih metode tatap muka sekaligus metode penggunaan media massa, biasanya memilih media lokal secara terbatas. Banyak kegiatan yang penting namun tidak dilakukan antara lain karena keterbatasan waktu, seperti pembuatan rancangan serta pelaksanaan monitoring/evaluasi yang cukup baik (valid) untuk mengukur efektifitas pesan yang disampaikan melalui berbagai media massa, termasuk jenis media yang paling efektif. Studi ini menemukan bahwa terdapat sejumlah faktor yang mempengaruhi efektifitas dari organisasi-organisasi pelaksana kegiatan pendidikan pemilih di masa lalu. Sebagai faktor positif antara lain: (a). kepemimpinan dalam organisasi; (b). persiapan yang matang; (c). kemampuan melibatkan banyak pihak; (d). pendekatan yang dikembangkan secara matang, dengan pula mempertimbangkan kondisi lokal; (e). Jaringan kerja yang luas. Sedangkan faktor negatif termasuk: (a). waktu yang pendek untuk membuat persiapan; (b). keterbatasan sumber daya manusia di KPU (c). pemanfaatan media dengan perspektif yang terbatas; (d). keterbatasan OMS dalam menterjemahkan konteks lokal; (e). penggunaan atau ketersediaan ahli komunikasi yang terbatas; (f) banyak organisasi yang terlibat tidak secara khusus bekerja pada bidang V/E/C Education; (g). ketiadaan penyediaan informasi yang dapat mengkoordinasikan kegiatan berbagai organisasi.
Halaman 2
Berikut ini adalah ringkasan isu-isu utama yang menjadi pertimbangan dalam studi ini bersama pokok-pokok temuan penting:
Dapatkah Pendidikan Pemilih memperluas pesannya? Apakah OMS mempunyai kapasitasnya? Kebanyakan OMS mempunyai kapasitas untuk memberikan informasi yang lebih luas dari sekedar tentang prosedur atau tekhnis semata. Organisasiorganisasi ini kebanyakan dapat memperluas pesan yang diberikan dalam kategori pendidikan kritis, misalnya pesan yang mengajak kelompok sasaran untuk memilih calon secara bertanggungjawab sebagai warga negara.
Seberapa siap OMS dalam melaksanakan Pendidikan Elektoral? Kebanyakan OMS yang bekerja pada wilayah ini hanya dapat mengelola sedikit kelompok sasaran. Organisasi yang mampu menangani kelompok sasaran yang lebih besar adalah yang berbasis ormas. Namun tidak jarang bahwa ormas yang ada tidak siap untuk menangani Pendidikan Elektoral dan Kewargaan. Organisasi berbasis keagamaan, dengan bantuan tertentu sebenarnya mempunyai potensi dalam menjalankan ke-dua jenis pendidikan ini.
Kesiapan OMS terlibat dengan partai politik Tidak banyak OMS yang siap untuk menjadi mitra kritis dari partai politik. Selain masalah pendekatan yang dapat diterima kedua pihak masih harus dibangun, partai politik juga sering tidak memandang OMS di daerahnya mempunyai nilai politik. Beberapa partai sebenarya berpotensi untuk bekerja sama dengan OMS yang ada dalam hal pendidikan politik.
Seberapa besar daya tahan OMS dalam melakukan Pendidikan Kewargaan? Pendidikan ini bisa membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mencapai tujuannya. Oleh karena itu, OMS yang mempunyai program harus mempunyai sumber daya yang cukup dan berjangka panjang. Karena itu tidak banyak OMS yang mampu melakukannya dengan benar.
Seberapa siapkah media terlibat di Pendidikan Elektoral dan Pendidikan Kewargaan? Di daerah banyak media massa yang mempunyai afiliasi dengan partai politik, politisi tertentu, atau pejabat pemerintah. Akan tetapi, sesuai dengan karakternya yang mengikuti keinginan pemirsanya, media sering berada pada tekanan untuk tidak mengabaikan isu yang menjadi perhatian masyarakat.
Bagaimana membangun kerjasama yang lebih bermakna dan berpengaruh antara organisasi?
Halaman 3
Terdapat beberapa kelemahan dalam kerjasama antar OMS. Pertama, kegiatan bersama yang mereka lakukan tidak cukup saling melengkapi dan menunjang. Banyak hal yang sesungguhnya dapat menjadi bahan pelajaran tidak terekam dan ditangani secara sistematis. Kelemahan-kelemahan ini sering disebabkan oleh skema dan waktu yang terbatas yang diinginkan para donor. Bagaimana membangun peran KPU dalam mendukung OMS agar lebih baik melakukan V/E/C Education yang terkait Sistem Pemilu? Hingga saat ini tampaknya KPU enggan memainkan peran lebih besar dalam Pendidikan Elektoral dan Pendidikan Kewargaan antara lain barangkali untuk menghindari tuduhan menjadi partisan. Hal ini sungguh disayangkan karena KPU memiliki struktur nasional yang menyerap pengalaman, informasi, dan hubungan dengan berbagai organisasi. Rekomendasi Strategi Pelaksanaan V/E/C Education Pemilu 2009 dan Setelahnya Strategi V/E/C Education perlu diarahkan pada tema membangun pelibatan (constructing engagement) antara warga negara dengan kandidat Pemilu dan pejabat terpilih (melalui Pemilu). Constructing engagement adalah meningkatkan pendekatan dan kemampuan berdialog serta bertindak bersama organisasi lain. Bukan hanya antara organisasi dengan satu tujuan/posisi tapi juga dengan lain posisi/tujuan. Misalnya antara LSM dengan partai politik atau antara warga masyarakat dengan organisasi sosial/politik yang ada. Karena VE (pendidikan pemilih) telah diberikan perhatian lebih besar daripada EE dan CE, upaya-upaya ke depan seharusnya lebih menyeluruh seperti yang dicakup dalam CE (pendidikan sipil/kewargaan) dan seperti yang tergambar melalui alur berpikir seperti di bawah:
Tujuan V/E/C Education (Purpose) Sebaiknya tujuan dari sebuah rangkaian kegiatan V/E/C Education adalah untuk Mendorong pengembangan kemampuan warga negara guna berpartisipasi dalam proses-proses politik, termasuk Pemilu, yang terkait dengan peningkatan kualitas hidup(Developing civic compentency to participate in representative political system to increase quality of life).
Hasil Jangka Menengah (Outcome) Hasil yang diharapakan dalam jangka waktu menengah adalah agar warganegara berpartisipasi aktif dalam proses-proses politik, termasuk Pemilu, dalam rangka penguatan kualitas hidup mereka(Active participation of skilled citizens in political/decision making processes as a means to increasing the quality of life).
Halaman 4
Hasil Jangka Pendek (Outputs) Adapun hasil jangka pendek yang bisa dibayangkan antara lain: a. Meningkatnya pemahaman warga negara mengenai perubahan Sistem Pemilu dan menguatnya ketrampilan mereka untuk memilih dan mengawasi jalannya Pemilu sesuai Peraturan Perundangan yang berlaku (increased understanding of citizen in the revised Election system and enhanced skills to vote and to monitor Election implementation). b. Menguatnya ketrampilan warga negara dalam mengartikulasikan kepentingannya kepada calon pemimpin/wakil rakyat dan dalam menetapkan pilihan-pilihan atas calon pemimpin dan wakil rakyat (enhanced ability of citizen to articulate and to demand the fulfillment of their interests, as well as, to make the correct political choice in selecting leaders and representatives). c. Berkembangnya ketrampilan warga negara untuk memantau, menganalisis, dan memberikan masukan dalam pengambilan keputusan publik dan pengembangan rencana pembangunan daerah yang mempengaruhi kehidupannya (increased capacity of citizen to monitor, to analise, and to give inputs in decision making and the development of regional planning that affect their life and livelihood).
Strategi Pelaksanaan V/E/C Education a. Substansi V/E/C Education b. Metode Penyampaian Pesan c. Kapasitas Organisasi dan Penguatan Koordinasi i) Mitra Potensial ii) Penguatan Koordinasi d. Manajemen - Potensi pengembangan V/E/C Education Center
Peran V/E/C Education Center Seperti dikemukakan diatas, V/E/C Education Center akan benar-benar bermanfaat bila mampu menjalankan tugas-tugas pelayanan informasi secara baik kepada berbagai pihak yang membutuhkan. Dengan demikian, dibutuhkan suatu Center yang aktif dan responsif (tanggap) atas kebutuhan-kebutuhan anggota dan jaringan kerjanya, serta mampu pula men-dinamisir jaringan kerjanya dalam rangka menciptakan collective-learning untuk perubahan. Sebuah Center sebaiknya tidak dibebani dengan tugas untuk memutuskan (approval) materi-materi V/E/C Education yang dianggap layak, namun justru berfungsi memproses kekayaan V/E/C Education yang ada sekarang yang sudah tersebar menjadi pengalaman dan keahlian dari sejumlah organisasi yang dapat dipertukarkan (shared practicess).
Halaman 5
I. Pengantar
Indonesia akan menghadapi Pemilihan Umum (Pemilu) ke-tiga pasca Reformasi pada tahun 2009. Pemilu pertama dan kedua sejak reformasi bergulir menunjukkan bahwa bangsa Indonesia dapat mengikuti salah satu aspek demokrasi prosedural dengan cukup baik. Meskipun demikian, masih terdapat berbagai kelemahan dalam berbagai aspek, mulai masalah administratif hingga kelemahan dalam Pendidikan Pemilih terhadap kelompok-kelompok yang memerlukan penanganan khusus. Namun tantangan Pemilu selanjutnya bukan hanya dalam upaya memperbaiki mutu partisipasi rakyat, melainkan juga dalam hal makna Pemilu dalam demokrasi itu sendiri untuk mencapai tujuannya yang substantial. Pemilu seharusnya menjadi suatu sarana pertautan dan komunikasi politik agar pejabat publik akuntabel kepada rakyat atau pemilih. Untuk mencapai tujuan substantif tersebut, bukan hanya prosedur Pemilu-nya saja yang harus diperbaiki, tetapi juga kapasitas masyarakat untuk terlibat dalam proses perbaian sistem perwakilan. UNDP dan Departemen Dalam Negeri RI, melalui proyek penguatan kapasitas masyarakat sipilnya (Civic Engagement in Democratic Governance - CIVED) memutuskan melakukan suatu penilaian (assessment) dalam rangka mendorong pelibatan masyarakat dalam sebuah sistem perwakilan. Tujuan penilaian adalah sebagai berikut: a) Melakukan refleksi terhadap pendekatan dan kandungan kegiatan Pendidikan Pemilih dan pendidikan kewargaan di Indonesia b) Mengidentifikasikan kebutuhan dan tantangan dalam Pendidikan Pemilih di masa depan c) Mendapatkan input dalam rangka pengembangan Pendidikan Pemilih dalam bingkai pendidikan kewargaan d) Mengidentifikasikan pihak-pihak yang perlu dan dapat dilibatkan e) Memberikan rekomendasi strategi Pendidikan Pemilih di masa depan. Meskipun perhatian banyak dipusatkan pada Pendidikan Pemilih untuk Pemilu pada tahun 2009, namun hal itu hanya merupakan bagian dari kerangka penguatan rakyat dalam sistem demokrasi perwakilan. Secara ringkas, pendidikan Pemilu seharusnya meliputi Pendidikan Pemilih, Pendidikan Elektoral, dan pendidikan kewargaan (Voter, Electoral and Civic Education V/E/C Education). Untuk Pendidikan Pemilih, dimasa yang akan datang UNDP bersama Pemerintah Indonesia akan memberi lebih banyak perhatian pada kelompok perempuan, kelompok marginal miskin, kelompok people with different abilities (difabel), dan pemilih pemula.
Halaman 6
1.1 Metodologi
1.1.1 Daerah pemilihan Jakarta dipilih untuk mengumpulkan infomasi dari organisasi-organisasi yang melaksanakan V/E/C Education, baik itu berupa organisasi donor, LSM, perguruan tinggi, dan partai politik. Untuk partai politik, dipilih tiga partai politik yang dipandang paling menonjol dalam pendidikan yaitu Partai Golkar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Pengumpulan data di Jakarta dan analisanya menjadi bahan pegangan pengumpulan informasi di daerah. Pengumpulan informasi dan analisa dilakukan oleh anggota Tim Pakar yaitu Yanti Sugarda dari Pooling Center, Indra Piliang dari Center for Strategic Indonesia Studies, Abdi Suryaningati dari LSM Yappika, dan Meuthia Ganie-Rochman dari Universitas Indonesia. Untuk pengumpulan informasi di daerah, enam daerah dipilih untuk studi ini yaitu Bali, Maluku Utara, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Slawesi Selatan, dan Papua yang masing-masing mencakup satu wilayah kota dan pedesaan.
1.1.2 Metode Pengumpulan Data Data untuk Jakarta dikumpulkan melalui wawancara orang yang berasal dari organisasi yang menjadi pelaksana pendidikan Pemilu 2004 dan materi pelatihan yang pernah dihasilkan. Data untuk daerah, dilakukan melalui wawancara organisasi pelaksana dan Focus Group Discussion (FGD). Metode FGD dilaksanakan untuk mendapatkan informasi dari lima kategori utama kelompok, yaitu: orang yang ahli dalam masalah pelaksanaan Pemilu, kelompok difabel, kelompok marginal miskin, pemilih dewasa, dan pemilih pemula. Secara keseluruhan dilaksanakan enam FGD di tiap daerah, dimana pada beberapa tempat FGD untuk kelompok difabel pada akhirnya tidak jadi dilaksanakan karena kesulitan mereka mencapai lokasi dan digantikan dengan wawancara terhadap orang yang mengurusi kaum difabel.
1.1.3 Kerangka Pemikiran Untuk menghasilkan rekomendasi V/E/C Education di masa depan, dilakukan analisa terhadap dua hal pokok, yaitu: kebutuhan pendidikannya sendiri dan kapasitas organisasi pelaksana. Analisa terhadap kebutuhan pendidikan diletakkan dalam konteks tantangan yang sedang dihadapi dalam mencapai akuntabilitas pejabat publik terpilih, mulai dari kondisi para pemilih sendiri hingga penyimpangan yang dilakukan para calon dan pejabat terpilih yang menyebabkan terabaikannya hak masyarakat.
Halaman 7
Content
Prosedur
Hubungan antara pemilihan dan demokrasi (misalnya, pemilihan pejabat dan akuntabilitas); sistem elektoral; hak dan kewajiban pemilih)
Ideal International, The Concepts of Civic Education, Electoral Education and Voter Awareness, 26 June - 4 July 2006, Yerevan, Armenia. (www.idea.int/europe_cis/armenia/workshop_civiced.cfm)
Halaman 8
VOTER EDUCATION
ELECTORAL EDUCATION
Badan Pemerintah, Komisi Pemilihan, LSM, Partai Politik Memilih dan, pada tingkat yang lebih tinggi, mengawasi pelaksanaan prosedur yang benar Metode penyampaian informasi
Badan Badan Pemerintah, OMS Pemerintah, Komisi Pemilihan, OMS, Partai Politik Keputusan rasional dalam memilih atau tidak memilih Keterlibatan warga
Tantanga n Utama
Metode penyampaian informasi dan pengetahuan, menciptakan kesadaran berdasarkan kepentingan/ perhatian warga, menciptakan kemampuan mengolah informasi Berulang pada kelompok yang berbeda Pendidikan formal Komisi Pemilihan memimpin dan mendukung organisasi lain Penguatan kapasitas ikut media melalui keikutsertaand alam
Metode penyampaian pengetahuan, menciptakan pengetahuan, mengembangkan kesadaran kelompok. Metode pengorganisasian kelompok: antara lain mengembangkan kesadaran, kohesi kelompok, tindakan kolektif. Berlanjut di lembaga/organisasi yang berbeda dimana Pendidikan formal Penguatan media sebagai arena publik Penguatan kapasitas OMS untuk mengembangkan / menjalankan hak dan kewajiban kewargaan Membangun keterlibatan antara komunitas, partai politik, dan lembaga publik.
Pendek
Halaman 9
VOTER EDUCATION
CIVIC EDUCATION
Halaman 10
DPR atau DPRD yang tersedia di kertas suara. Kedua, dalam Pemilu DPD, pemilih hanya memilih satu tanda gambar calon anggota DPD yang tersedia di kertas suara. Ketiga, dalam pilpres, pemilih cukup memilih satu tanda gambar pasangan capres dan cawapres yang tersedia di kertas suara. Dalam Pemilu legislatif tahun 2004, data pemilih tetap yang digunakan adalah sebagaimana yang dituangkan di dalam Keputusan KPU No. 23 Tahun 2004, yaitu sebanyak 148.000.369 pemilih. Dengan jumlah pemilih sebesar itu, tentu dibutuhkan Pendidikan Pemilih yang dapat menjangkau dalam skala luas. Faktanya, sulit untuk mencapai sasaran pemilih yang banyak, apabila kegiatan berlangsung secara sporadis dan dalam jangka waktu yang sempit. Pendidikan Pemilih, dengan demikian, harus dilakukan secara terencana, dalam skala yang luas, serta melibatkan segmentasi masyarakat dari seluruh kelompok. Secara umum, Pendidikan Pemilih adalah kegiatan yang kurang mendapatkan perhatian menjelang Pemilu 2004, Pilkada yang digelar sejak 1 Juni 2005, serta menjelang Pemilu 2009. Boleh dikatakan faktor pemilih paling diabaikan dalam hiruk pikuk penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada. Ada indikasi juga betapa semakin pemilih tidak paham dengan sistem pemilihan, mekanisme penyusunan calon, sampai implikasi dari janji-janji kampanye, maka semakin peserta Pemilu mendapatkan keuntungan. Pemilih yang pasif hanya dijadikan sebagai alat legitimasi atas kekuasaan. Dari sisi lembaga atau organisasi yang melakukan sosialisasi Pemilu, terkait dengan kerangka umum Pendidikan Pemilih, dapat dibagi sebagai berikut: Pertama, peserta Pemilu, baik partai politik, calon anggota legislatif partai politik (DPR dan DPRD), calon anggota DPD dan pasangan calon presiden dan wakil presiden berikut partai politik yang mengusungnya. Kedua, penyelenggara Pemilu, baik KPU atau Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu), secara organisatoris dari pusat sampai kecamatan dan tempat pemungutan suara. Ketiga, pemerintah, baik pusat atau daerah, terutama yang berkaitan dengan pendataan pemilih. KPU hanya user atau pengguna dari data pemilih yang dilakukan oleh pemerintah. Keempat, organisasi kemasyarakat (ormas) yang mempunyai basis massa, baik berdasarkan keanggotaan aktif atau karena pengaruh pengelompokan berdasarkan keturunan. Dalam kategori ini, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah adalah ormas, berikut organisasi pendukung lain dalam masing-masing organisasi seperti Aisyiyah dan Muslimat NU. Kelima, organisasi masyarakat sipil (OMS) atau lembaga swadaya masyarakat. OMS ini bisa terbagi lagi kedalam kategori OMS yang berafiliasi dengan pemerintah (OMS plat merah), berafiliasi dengan organisasi massa, OMS yang mempunyai spesifikasi khusus di bidang Pemilu (atau politik dan pemerintahan dalam arti lebih luas), serta OMS yang tidak sepesifik mengerjakan soal-soal Pemilu. Dalam kategori ini, terdapat Jaringan Islam Liberal, Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) dan OMS di daerah.
Halaman 11
Keenam, media massa. Dalam kategori lama, media massa termasuk bagian dari masyarakat sipil dalam mengisi public sphere atau public discourse. Tetapi, seiring dengan semakin solidnya konsolidasi demokrasi, media massa juga dikategorikan sebagai perusahaan privat. Karena hubungan kepemilikan dan ketergantungan kepada iklan, media massa bisa mendapatkan program Pendidikan Pemilih dari pemerintah, peserta Pemilu / Pilkada, funding agency, atau lembaga swadaya masyarakat yang memiliki dana yang memadai. Keterlambatan pengesahan paket undang-undang politik menjadi faktor penting dari lambannya program Pendidikan Pemilih jelang Pemilu 2004. Penumpukan aktivitas terjadi menjelang akhir tahun 2003, setelah undangundang politik disahkan. UU itu terdiri dari UU No. 31/2002 tentang Partai Politik; UU No. 12/2003 tentang Pemilihan Umum; UU No. 22/2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD; UU No. 23/2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden; serta UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Masing-masing UU itu saling berkaitan, serta masih memerlukan lagi peraturan pelaksanaan seperti Peraturan Pemerintah dan Keputusan KPU. Perubahan sistem penyelenggaraan Pemilu dan keterlambatan dalam penyusunan undang-undang membuat masing-masing pihak menunggu. Apalagi, masyarakat dan media secara umum lebih tertarik dengan perseteruan di kalangan elite-elite politik, termasuk juga upaya penjaringan calon-calon presiden, seperti yang dilakukan oleh Partai Golkar dengan konvensi nasional. Setelah pembentukan penyelenggara Pemilu seperti KPU dan Bawaslu, kesibukan berikutnya adalah melayani peserta Pemilu. Kalau diperhatikan secara cermat, kesibukan media massa, pimpinan partai politik, sampai para ahli lebih terkait dengan proses pemilihan pejabat-pejabat publik yang berkaitan dengan Pemilu dan Pilkada, seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Selain itu, perhatian berlebih juga diberikan kepada penyusunan undang-undang bidang politik. Pasal-pasal substansial diperdebatkan, namun bersifat elitis karena nyaris tidak memberikan ruang yang cukup bagi suara dari masyarakat. Dari sini sebetulnya primadona dari Pemilu dan Pilkada bukanlah pemilih, melainkan peserta Pemilu dan Pilkada itu. Sehubungan dengan ini, tidak jarang muncul reaksi berupa demontrasi dan protes, ketika sejumlah pemilih tidak terdaftar sebagai pemilih atau tidak mendapatkan kartu pemilih. Dalam kasus yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, bahkan terdapat pemilih yang memenangkan gugatan ketika mereka tidak mendapatkan kartu pemilih pada Pemilu 2004 lalu. Negara bahkan diminta membayar sebesar Rp. 1 Trilyun. Di Papua, pemilih yang tidak mendapatkan kartu pemilih malah tetap datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) pada hari pemilihan. Hal itu mereka lakukan dengan alasan takut dituduh sebagai bagian dari Organisasi Papua Merdeka (OPM). Kelalaian pemberian kartu pemilih dan hak-hak pemilih lainnya, ternyata bisa menimbulkan kerugian lain bagi pemilih, seperti tuduhan tidak memiliki kesetiaan kepada negara dan menghambat proses demokratisasi.
Halaman 12
Salah satu LSM, JPPR, selain melakukan program pendidikan pemilih, juga berkonsentrasi kepada pemantauan. Program pendidikan pemilih itu sebagian besar memberikan penjelasan atau informasi menyangkut mekanime pendaftaran pemilih dan tata-cara menggunakan hak pilih. JPPR juga melakukan pendidikan pemilih lewat pilkada 2005. Karena itu juga, program Pendidikan Pemilih lebih mengandalkan media televisi, radio dan koran, sebagaimana dilakukan oleh Jaringan Islam Liberal (JIL). JIL mengaku sebagai satu-satunya yang melakukan program televisi menyangkut Pendidikan Pemilih, sekalipun juga diketahui bahwa ada banyak dialog atau talkshow di televisi yang dilakukan oleh koalisi masyarakat sipil lain, seperti Koalisi Media untuk Pemilu atau C for VICI. Di lingkungan organisasi massa, seperti Aisyiyah, program Pendidikan Pemilih menggunakan sarana pengajian yang dilakukan oleh organisasi, serta cara-cara lain dengan metode ceramah para pimpinan Muhammadiyah. Sementara di kalangan KPU dan KPUD, sosialisasi Pemilu lebih bersifat prosedural dengan cara membuat tayangan di televisi, radio dan media cetak. Ada semacam rubrik tanya jawab Pemilu juga di media, termasuk via website KPU (www.kpu.go.id) yang bisa diakses lewat internet. Valina Sinka Subekti, anggota KPU, menjadi ikon dalam sosialisasi pemilihan atau penyoblosan itu. Di tingkat daerah, cara sosialisasi yang ditempuh oleh KPU Ternate bersifat konvensional, yakni dialog interaktif. Materinya lebih berupa teknis penyoblosan. Sasaran utama sosialisasi ini adalah pemilih pemula. Apa yang disampaikan KPUD itu sama dengan yang disampaikan oleh pihak pengelola radio dan akademisi Ternate. Yang agak berbeda adalah cara Bacarito Kampuang yang dilakukan oleh kalangan akademisi dengan penduduk pedesaan di Sumatera Barat. Menariknya lagi, bagi para penyelenggaan kegiatan itu, upaya sosialisasi Pemilu lebih terkait dengan kekhawatiran jumlah golput meningkat. Aktivitas di Medan juga sama, yakni sosialisasi lewat dialog interaktif tentang tata-cara penyoblosan. Tetapi dialog bisa berkembang ke arah menjawab pertanyaan mengapa harus menggunakan hak pilih, peraturan di belakanganya, sampai soal-soal menyangkut kebebasan menggunakan hak. Henry Sitorus, dosen Sosiologi FISIP USU, mengatakan bahwa keterlibatan masyarakat sipil diperlukan dalam demokrasi, supaya kualitas demokrasi menjadi lebih baik. Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah simulasi, terutama di kalangan pemilih pemula, mahasiswa dan kalangan perguruan tinggi. Sementara di Pontianak, masih ada beberapa informasi yang dirasa sangat minim, yakni antara lain seperti: Pertama, tentang proses pendaftaran calon pemilih, terutama bagi pemilih dari kelompok difabel. Beberapa diantara peserta difabel menyatakan bahwa mereka tidak terdaftar sebagai calon pemilih karena kelalaian KPU dan karena tidak tahu proses seperti apa yang harus dilalui untuk mendaftarkan diri.
Halaman 13
Kedua, tentang track-record dari calon-calon yang bersaing dalam Pemilu, baik yang menyangkut latar belakang mereka, maupun yang menyangkut performance mereka dalam menjalani berbagai peran, sebagai anggota parlemen, sebagai pejabat negara, dan sebagai warga dengan posisi tertentu. Demikian juga dengan program-program kerja nyata dari partai politik, serta kinerja dari partai politik yang pernah duduk di parlemen. Ketiga, tentang pengaruh penetapan daerah pemilihan dan electorat threshold terhadap calon legislatif. Minimnya pengetahuan tentang kedua hal tersebut sebenarnya tidak memungkinkan mereka untuk betul-betul memilih calon legislatif yang bisa mewakili mereka. Dengan demikian, pilihan yang dijatuhkan lebih banyak terhadap partai politik, dan bukan terhadap orang. Keempat, adalah informasi tentang tugas pokok dan fungsi (tupoksi) dari panitia penyelenggara Pemilu dan prosedur penyampaian keluhan (dan penerimaan feed-back) bila ada ketidakberesan, baik itu menyangkut proses pendaftaran, maupun terjadinya kecurangan-kecurangan selama proses kampanye, hari H, dan penghitungan suara. Pendidikan pemilih yang lebih mengarah kepada para kandidat atau kontestan pemilu dilakukan oleh Gerakan Nasional Tidak Pilih Politisi Busuk (GNTPPB). GNTPPB ini merupakan gabungan dari sebagian besar organisasi masyarakat sipil, mulai pusat sampai daerah, dengan cara menyusun kriteria politisi busuk, menerbitkan koran yang berisi daftar politisi busuk, sampai melakukan kampanye media dengan cara menulis puluhan artikel. Dengan berjalannya waktu, para pemilih terpaksa menggunakan media apa saja menyangkut Pemilu. Tentu informasi yang paling banyak diperoleh dari media massa, terutama televisi, radio dan koran. Informasi lain juga berupa sosialisasi di poster, spanduk, baliho, sampai sosialisasi oleh peserta Pemilu. Hanya saja, dari sisi pemberitaan, lebih banyak yang muncul adalah news alias pemberitaan seputar kompetisi para peserta Pemilu itu sendiri, ketimbang pemberian informasi bagi kalangan pemilih. Sehingga, untuk jangka panjang, diperlukan Pendidikan Pemilih yang lebih baik dan bersifat antisipatif, agar pemilih tidak lagi dijadikan sebagai sasaran kesalahan.
3.2 Pilkada
Pilkada atau pemilihan langsung kepala daerah adalah konsekuensi dari pelaksanaan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pilkada pertama kali dilaksanakan pada tanggal 1 Juni 2005 untuk Kabupaten Kutai Kartanegara. Sebelumnya, kepala daerah (bupati / wakil bupati, walikota / wakil walikota dan gubernur / wakil gubernur) dipilih oleh DPRD Kabupaten, Kota atau Provinsi. Karena dilakukan secara langsung, untuk pertama kali sejak Indonesia merdeka, maka antisipasi lebih diarahkan untuk menghindari kesalahan penyoblosan. Ada juga yang berkaitan dengan pencegahan terhadap konflik pada saat dan paska Pilkada. Pilkada telah makin memperdekat kekisruhan yang terjadi di kalangan pelaku politik kepada rakyat.
Halaman 14
Pilkada sebetulnya membuka kesadaran politik rakyat semakin kuat, namun juga bergelimang dengan banyak sekali praktek politik uang (money-politics). Ikatan primordial yang masih tinggi, suku-isme, serta pengelompokan berdasarkan agama, justru makin mencair dengan Pilkada. Tantangantantangan yang dihadapi juga berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Sehingga, muatan lokal, baik dalam artian sosial, budaya, politik dan ekonomi juga turut mewarnai. Karena itu juga, Pendidikan Pemilih yang berkaitan dengan Pilkada berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, baik dari segi metode, substansi, sampai kepada kondisi geografis. Kalau Pilkada di Sumatera Utara berlangsung dalam daratan yang luas, termasuk juga di Kepulauan Nias, maka Pilkada di Maluku Utara tersebar di banyak pulau besar dan kecil dengan perjalanan jalur laut yang lama. Dari sini saja sudah muncul persoalan tentang bagaimana perbedaan dalam memberikan Pendidikan Pemilih, penyaluran logistik, pengawasan, sampai kepada metode kampanye para kandidat. Kesulitan utama dalam Pilkada adalah hampir seluruh media informasi di daerah dikuasai secara langsung atau tidak langsung oleh peserta Pilkada. Ketergantungan media lokal ini begitu besar kepada pemerintah daerah, berupa iklan regular yang berkaitan dengan program pemerintah daerah atau hanya sekadar ucapan selamat kenaikan pangkat. Para tokoh sudah mengapling-apling halaman-halaman koran untuk kepentingan masing-masing, berupa advertorial alias iklan. Sulit menemukan adanya pers lokal yang kritis terhadap tokoh lokalnya. Selain itu, dibandingkan dengan persaingan politik di tingkat nasional, maka dalam kompetisi lokal agak menyulitkan kalangan akademisi atau masyarakat sipil lokal. Hampir semua terkait dengan para peserta Pilkada. Hal ini terkait dengan hubungan tali-temali kekerabatan, keluarga, agama, etnis, dan beragam kaitan lain yang semakin kental dan kuat pada tingkat daerah. Keberpihakan penyelenggara Pemilu juga disinyalir ikut bermain dalam ranah Pilkada ini, sehingga memunculkan sejumlah konflik paska-Pilkada yang kental. Pemilih akhirnya menemukan diri dalam keterjebakan pengaruh. Sebagian pemilih pemula mengatakan bahwa mereka mengenali para kandidat kepala daerah dari orang-tuanya. Pengaruh orang-tua ini relatif besar, begitu juga pengaruh dari tokoh-tokoh formal dan informal, seperti guru, tokoh agama atau tetua adat. Subjektifitas begitu tinggi, sehingga mengurangi independensi dari para tokoh lokal itu sendiri.
3.2.1 Prosedural Yang dimaksud dengan prosedur adalah keseluruhan informasi dan kegiatan yang berkaitan dengan kepentingan pemilih, mulai dari pendaftaran pemilih, pengumuman daftar pemilih sementara, pengumuman daftar pemilih tetap, peserta Pemilu dan Pilkada, penyoblosan, sampai kepada proses pasca penyoblosan.
Halaman 15
Karena KPU sudah terbentuk sejak tahun 2002, sejumlah langkah awal persiapan Pemilu 2004 sudah dilakukan. Keterbatasan waktu yang dimiliki, hanya 2 tahun, telah menyebabkan semua tahapan pelaksanaan Pemilu lebih mengandalkan kecepatan kerja. Hanya saja, sejumlah persoalan muncul, termasuk pengunduran diri dua anggota KPU. Pengembangan dan pembangunan infrastruktur KPU lebih diutamakan, yakni menyangkut sekretariat, transportasi, pengadaan barang dan jasa, serta teknologi informasi. Pemilih menjadi kurang mendapatkan perhatian. Persoalan mencuat mulai dari informasi proses pendaftaran pemilih yang mengandalkan kinerja birokrasi, perebutan pengaruh antara KPU dengan pemerintah, sampai keteganganketegangan lain menyangkut verifikasi peserta Pemilu. Konsentrasi yang begitu tinggi yang berkaitan dengan sosialisasi undang-undang politik, pengesahan atas partai-partai politik dan peserta Pemilu lainnya, pengaturan menyangkut data-data perseorangan yang menjadi daftar calon anggota legislatif sampai presiden dan wakil presiden, telah memperlihatkan betapa jelang Pemilu 2004, peserta Pemilu mendapatkan perhatian utama. Lagi-lagi pemilih menjadi terabaikan. Data-data pemilih memang berhasil disediakan, tetapi masih terdapat kekeliruan dalam sejumlah hal, seperti nama, usia, sampai tempat tinggal. Sosialisasi terhadap pendaftaran pemilih untuk mendorong partisipasi politik relatif lemah bahkan nyaris tidak dilakukan. Sosialisasi Pemilu akhirnya terfokus kepada teknis penyoblosan. Pengenalan pemilih terhadap kandidat juga tidak maksimal, karena informasi yang tersedia sangat minim. Para kandidat presiden dan wapres memang tampil di televisi, sekalipun dalam waktu terbatas dalam menyampaikan visi-misi. Tetapi kandidat legislatif tidak mempunyai mekanisme penyampaian visi dan misi itu, kecuali beberapa kandidat yang beriklan di sejumlah media cetak atau menggunakan poster. Alat-alat sosialisasi yang digunakan juga terbatas kepada poster, baliho, kalender, kartu nama dan spanduk. Memang ada sedikit sekali yang menulis buku atau sekadar informasi menyangkut curriculum vitae. Yang juga banyak disebarkan adalah kalender tahun baru, disertai dengan foto diri dan sedikit program yang tidak terlalu teknis, melainkan umum dan sloganistis. Sementar partai-partai politik menebarkan bendera dan gambar para tokoh penting. Karena sosialisasi bersifat umum, maka tidak ada perlakuan khusus (special treatment) untuk kalangan difabel. Juga kepada kalangan lain, seperti kelompok marginal miskin. Memang terdapat beberapa kelompok yang melakukan itu, seperti Koalisi Media untuk Pemilu, tetapi sangat terbatas di sejumlah kota. Iklan-iklan Pemilu yang memberikan tempat kepada kalangan difabel juga sedikit sekali. Pemilu sepertinya hanya ditujukan kepada kalangan normal. Isu-isu yang harus ditangani: 1. Memberikan penanganan khusus untuk difabel / pemilih pemula / kelompok marginal yang mempunyai karakteristik sosial khusus seperti pendidikan rendah, isolasi sosial, dan jaringan sosial yang rentan.
Halaman 16
Penanganan khusus ini tentu membutuhkan perencanaan yang lebih detil, akurasi data kelompok yang memerlukan penanganan khusus, pihak yang melakukan kegiatan, sampai pada tingkat evaluasi dari pola penanganan khusus yang dilakukan.
2. Merubah orientasi dan kapasitas pemilih dari pemilih pasif menjadi pemilih aktif. Karena memilih adalah hak maka pihak penyelenggara Pemilu dan pemerintah sebetulnya berada pada kondisi pasif. Akan tetapi, mengingat beragam keterbatasan dari pemilih, kondisi sosial yang rentan, masalah geografis, sampai kepada ketiadaan waktu dan biaya untuk menjadi pemilih aktif, maka peran aktif penyelenggara Pemilu dan pihak terkait masih dibutuhkan.
3. Selain persoalan ketidakpedulian, masih terdapat persoalan pengetahuan, kedekatan dan transparansi dengan unsur pelaksana Pemilu, sampai masalah ketidakpercayaan atas kemampuan terhadap lembaga tersebut. Dari sini, pendidikan penyelenggara Pemilu juga diperlukan. Kewibawaan lembaga penyelenggara Pemilu ini harus benarbenar mampu meyakinkan pemilih bahwa pilihan mereka diurus dengan benar, tanpa ada manipulasi.
4. Partisipasi pemilih belum sampai pada tingkat pengawasan perhitungan suara. Pemilih biasanya hadir hanya sebentar di TPS, lalu kembali menjalankan aktivitas rutinnya untuk mencari nafkah hidup. Apalagi, tingkat pendapatan penduduk Indonesia masih rendah, sehingga mereka yang tergolong sebagai kelompok miskin itu hanya memberikan hak pilih sebagai kewajiban rutin. Dari sini, diperlukan pendekatan khusus kepada kelompok yang memiliki waktu khusus dan pendapatan cukup untuk terlibat sebagai pemilih aktif sampai pada tingkat pengawasan perhitungan suara.
5. Selain itu, juga diperlukan upaya membangun dan menyambung kapasitas masyarakat dalam ikut mengawasi Pemilu dengan kapasitas dan mekanisme penyelenggara Pemilu (KPU dan Banwaslu). Tentu upaya ini memerlukan kedekatan antara penyelenggara Pemilu dengan pemilih lewat mekanisme yang bisa disusun sendiri oleh penyelenggara Pemilu itu. Penyelenggara Pemilu tidak perlu merasa dirinyalah yang paling berkepentingan dengan Pemilu, melainkan justru warga pemilih itu sendiri.
6. Bagi kalangan difabel, marginal dan kelompok minoritas, selain diperlukan perlakuan khusus, juga disuarakan kepentingan-kepentingan mereka kepada pihak terkait, termasuk kepada peserta Pemilu. Dari sini,
Halaman 17
harus ada kelompok-kelompok penyelenggara Pendidikan Pemilih yang juga aktif menampung aspirasi dari kelompok difable, marginal dan minoritas ini, lalu menyampaikan kepada pihak terkait itu.
3.2.2 Perilaku Pemilih 1. Pemilih merasa tidak punya pegangan dalam mempertimbangkan keberadaan dan fungsi DPR, DPD, dan DPRD. Karena memiliki fungsi dan wewenang yang berbeda, tentu ekspektasi publik juga layak dibedakan kepada persoalan kelembagaan itu. Pemahaman yang paling minimal adalah terhadap lembaga DPD. Bahkan calon anggota DPD sendiri banyak yang tidak paham tentang fungsi lembaga ini.
Sehingga, ketika menjalankan tugas dan kewajibannya paska-Pemilu, maka para kandidat yang terpilih seakan kehilangan kontak dengan pemilihnya. Tidak ada kewajiban-kewajiban yang diberikan kepada para anggota legislatif terpilih kepada para pemilih, terutama karena fungsinya sebagai wakil rakyat. Bahkan anggota DPRD sendiri yang dipilih secara bersamaan dengan DPR terus-menerus mengalami tekanan dalam banyak fungsi penyelenggaraan pemerintahan.
2. Kekaburan antara tokoh dengan kinerja partai yang disampaikan kepada kalangan pemilih. Hal ini terjadi karena partai politik lebih banyak mensosialisasikan siapa yang menjadi calon presiden menjelang Pemilu legislatif. Padahal, Pemilu legislatif dengan Pemilu presiden terpisah. Pemilih akhirnya terus-menerus kehilangan informasi menyangkut fungsi pemerintahan.
Pengaburan ini kemungkinan besar adalah cara yang dilakukan oleh partai politik untuk melepaskan diri dari tanggungjawab kepartaian. Semua kemenangan diarahkan kepada posisi presiden dan wakil presiden. Hal ini mengabaikan fungsi dan peranan partai-partai politik sendiri yang sangat vital dalam merumuskan kebijakan-kebijakan publik, lalu memperjuangkan lewat para legislator-nya di parlemen dan menteri di kabinet.
3. Jalur lembaga atau organisasi di tingkat lokal kurang dimanfaatkan dengan maksimal, termasuk di sini komunitas adat. Kegiatan sosialisasi pemilih yang mengandalkan media massa menyebabkan persentuhan atau interaksi di kalangan pemilih untuk membicaraan isu-isu Pemilu menjadi terbatas. Iklan hanya bersifat satu arah, sementara dialog di kalangan masyarakat bersifat dua arah.
Halaman 18
Persoalan yang muncul adalah relatif tidak digunakannya apa yang disebut sebagai jaringan budaya dalam sosialisasi Pemilu dan Pilkada. Pemilu dan Pilkada menjauh dari persoalan masyarakat, menjadi asing dan terasing. Pemilu dan Pilkada menjadi hanya sekadar ritual lima tahunan dan tidak bertalian erat dengan persoalan-persoalan masyarakat.
4. Apatisme dan pengabaian (ignoransi) kualitas engagement yang meluas. Keikutsertaan pemilih untuk Pilkada yang rendah menempati posisi paling rendah, sementara untuk Pilpres sedikit menurun, meskipun apatisme juga menyangkut pilpres. Pemilu kehilangan makna dalam menentukan pemimpinan bangsa
Apatisme ini bisa dikelompokkan kedalam beberapa hal. Pertama, sama sekali tidak ikut keseluruhan proses dan tahapan Pemilu dan Pilkada. Kedua, mengikuti hanya proses atau tahapan penting saja, seperti penyoblosan, tetapi tidak mau mengikuti yang lain. Ketiga, melakukan vandalisme, seperti penyobekan poster yang dilakukan oleh kaum remaja di Medan, sebagai bentuk dari ketidak-hormatan terhadap dunia politik. Dalam kelompok-kelompok itu, terdapat apa yang dikenal sebagai kelompok golongan putih. Jumlah golput semakin meningkat, terutama di perkotaan.
5. Pelaksanaan pilkada sejak Juni 2005 memperlihatkan tingginya kelompok golongan putih (golput). Jumlah golput ini bahkan mencapai angka psikologis, mendekati 50%, terutama di daerah-daerah perkotaan. Sekalipun tidak ada korelasi antara golput dengan legitimasi pemilu, mengingat tidak ada ketentuan tentang jumlah minimal pemilih yang menggunakan hak pemilih untuk mengesahkan hasil pemilu, tetap saja dampak psikologisnya terasa. Kelompok-kelompok tertentu dianggap tidak memiliki tanggungjawab kewarganegaraan, karena pada hari pemilu atau pilkada lebih memilih bepergian ke luar negeri. Sentimen-sentimen seperti ini lambat laun memanaskan situasi politik.
6. Money politics yang terang-terangan, namun sulit dikendalikan. Persoalannya, apakah masyarakat turut mendukung money politics? Sampai sejauh ini, terdapat kampanye ambil uangnya, jangan pilih orang atau partainya. Tetapi, belum ada parameter yang jelas apakah model kampanye kalangan masyarakat sipil seperti itu tepat atau tidak.
Persoalan money politics ini harus dilihat secara lebih jelas, yakni bagaimana bentuk penggunaan dana pribadi untuk mempengaruhi orang.
Halaman 19
Juga, bagaimana pemilih terpengaruh atas penggunaan dana pribadi ini guna memberikan dukungan. Dalam banyak hal, money politics lebih didekati sebagai persoalan pelanggaran hukum atau aturan main, sehingga berkaitan dengan kinerja dari Panwas atau Banwaslu.
Isu yang harus ditangani: a. Bagaimana pendidikan (education) mengarah pada rational voters, artinya berdasarkan keyakinan memilih calon yang terbaik, berikut program-programnya. Dengan demikian pengenalan atas individu menjadi penting, bukan terhadap partai politik atau terhadap tokoh-tokoh tertentu saja. Selain itu, program-program juga diperlukan untuk menunjukkan arah kebijakan pemerintahan selama para kandidat legislator dan ekskutif (presiden, wakil presiden dan kepala daerah) itu memerintah. Rational voters akan mengarah kepada kualitas dari para kandidat, berikut kejelasan dari visi, misi dan program yang dibawa. Jadi, pengenalan simbolik menjadi dikurangi, berikut juga sentimen kesukuan, keagamaan, dan hubungan primordialistik lainnya. Pada ujung yang jauh, akan didapatkan sistem pemerintahan yang modern, juga negara yang modern.
b. Membangkitkan antusiasme harus sejalan dengan membangun pendidikan / kapasitas untuk membuat pejabat publik akuntabel. Dari sini, pengenalan atas calon hanya tidak sebatas program dan visi atau misi, melainkan juga dari daftar kekayaan, hubungan sanak keluarga, dan informasi lain menyangkut track-record personal. Dalam konteks ini, Pendidikan Pemilih berarti juga kepada kemampuan untuk melakukan penyelidikan (investigasi) terhadap kandidat. Materinya menyangkut bagaimana etika jabatan, termasuk dalam penggunaan fasilitas publik untuk kepentingan pribadi.
c.
Bagaimana mengatasi akal bulus peserta Pemilu dalam melakukan money politics di tengah kondisi masyarakat, cukupkah hanya dengan slogan Ambil Uangnya, Jangan Pilih Orang / Partainya? Peserta Pemilu selalu mempunyai taktik yang jitu dalam mempengaruhi pemilih dalam Pemilu dan Pilkada. Pendekatan bisa dilakukan secara sistematis dalam waktu yang lama. Dari sini, money politics lebih bersifat pengendalian jangka panjang terhadap pemilih, bukan hanya berdasarkan tahapan tertentu saja, misalnya dalam fase penyoblosan.
d. Perubahan ketentuan dalam paket UU Politik, yakni dalam UU No. 10/2008 tentang Pemilu. Dalam UU No. 10/2008 itu dijelaskan tentang perlunya threshold tertentu (sebesar 30% dari Bilangan Pembagi Pemilih), jika tidak melewati Bilangan Pembagi Pemilih. Selebihnya, tetap menggunakan nomor urut. Oleh karena itu, penting pendidikan kesadaran untuk sadar
Halaman 20
memilih orang dalam partai. Berarti harus disediakan info tentang calon dan criteria calon yang baik. Perubahan metode dalam undang-undang juga ditengarai sebagai cara partai politik untuk menghindari semakin sehat dan cerdasnya para pemilih. Dalam mengatasi masalah keterwakilan perempuan, misalnya, partai politik menempatkan pada nomor urut bawah dalam pemilu 2004. hanya saja, sesuai UU No. 10/2008, keterwakilan perempuan mencapai 30%, sampai ke tingkat daerah pemilihan dengan sistem zipper (selangseling). Dalam kasus DPD, persoalan domisili juga tidak diperhatikan dengan berbagai alasan bahwa masalah di satu daerah pemilihan bisa diketahui, tanpa harus berdomisili di daerah tersebut. e. Media lokal kurang memberi perhatian untuk informasi tokoh daerah, juga kurang menekankan indikator penilaian pemilih berdasarkan aspek kinerjanya. Hal ini terjadi karena koran atau media lokal mempunyai ketergantungan kepada tokoh-tokoh daerah, baik yang menjadi pejabat pemerintah, pengusaha atau tokoh masyarakat semata. Ketergantungan itu berupa iklan yang diperoleh dari kegiatan pemerintahan dan kemasyarakatan itu.
f.
Bagaimana membuat masyarakat sadar fungsi institusi publik (eksekutif dan legislatif). Selama ini, masyarakat hanya mau memilih saja, lalu setelah memilih menyatakan protes atau gerutuan terhadap aspirasi mereka yang diabaikan oleh pemerintah. Hal ini tentu tidak tepat. Sasaran kritik harus tepat, prosedurnya diikuti, serta lewat institusi yang juga jelas. Sehingga, pemilih juga bisa diberikan pengenalan atas fungsi masingmasing lembaga itu. Pengenalan ini tentu dikaitkan dengan undang-undang diluar undang-undang Pemilu, termasuk di sini undang-undang tentang pemerintahan daerah.
Halaman 21
4.1 Kegiatan
4.1.1 Terlibat di Pendidikan Pemilih
Organi sasi Tujuan SERIKAT KERJA di PAPUA Memberikan pemahaman tentang aspek tehnis pemilihan ** LSM lokal di Papua Memberikan pemahaman tentang aspek tehnis pemilihan Sosialisasi FORUM BALI Memberikan pemahaman tentang aspek tehnis pemilihan PEMUDA ANSHOR Memberikan pemahaman tentang aspek tehnis pemilihan BALI TV Memberikan pemahaman tentang aspek tehnis pemilihan - Iklan Pelayanan Publik - Dialog interaktif bersama personel KPUD sebagai nara sumber KPUD Memberikan pemahaman tentang aspek tehnis pemilihan PERFIKI Memberikan pemahaman tentang aspek tehnis pemilihan Iklan Pelayanan Publik: menyebarkan materi yang telah disiapkan KPU dan UNDP
Kegiat an
- Sosialisasi
melalui drama lokal - Pemutaran drama lokal di 100 Banjar - Penyebaran leflet di kalangan pedagang lokal perempuan - Dialog interaktif di TV dan radio lokal
- Sosialisasi dan
simulasi pada bebeberapa kelompok lokal. Penyebaran leaflet di kalangan pedagang lokal
- Sosialisasi di
kelompok strategis termasuk partai politik - Sosialisasi melalui TV dan radio - Sosialisai melalui drama lokal untuk kalangan pedagang lokal perempuan
Halaman 22
Jaringa n
Golkar KNPI
**
** berarti data tidak ada / belum lengkap 4.1.2 Terlibat di Pendidikan Elektoral/Pemilih dan Elektoral
Organisasi Tipe Pendidikan Tujuan Perempuan PGI Elektoral Membangun kesadaran di kalangan perempuan jemaat gereja untuk memilih calon yang tepat untuk kepentingan mereka IPCOS Elektoral dan Pemilih - Membangun kesadaran PARTAI KEADILAN SEJAHTERA Elektoral dan Pemilih MAKASAR AISYISIAH Elektoral dan Pemilih MAKASAR MUHAMMADYAH Elektoral dan Pemilih
- Memberikan
pemahaman tentang aspek tehnis pemilihan Mengembangkan kesadaran untuk memilih kandidat yang tepat Sosialisasi arti kandidat yang tepat Sosialisasi dan dialog
- Memberikan
pemahaman tentang aspek tehnis pemilihan - Mengembangkan kesadaran untuk memilih kandidat yang tepat
- Memberikan
pemahaman tentang aspek tehnis pemilihan Mengembangkan kesadaran untuk memilih kandidat yang tepat Sosialisasi arti kandidat yang tepat
- Membangun keterlibatan
antara OMS dan calon/partai politik
Kegiatan
- Pelatihan formulasi sosial di kalangan buruh, kelompok perempuan, nelayan, pemilih pemula,
Halaman 23
- Formulasi isu
- Memilih kandidat yang tepat
- Penyebaran info
melalui CD, leaflet, poster
Cakupan
Jaringan gereja di daerah propinsi Jaringan gereja di daerah propinsi (Protestan dan Katolik)
Komunitas lokal yang ada di berbagai wilayah Indonesia Kader dan simpatisan di seluruh wilayah Indonesia
Jaringan
CETRO - Elektoral dan Pemilih - Advokasi - Memberikan pemahaman tentang aspek tehnis pemilihan
JIL Elektoral dan Pemilih Mengembangk an kesadaran untuk memilih kandidat yang tepat, toleransi
- Mengembangk
an kesadaran untuk memilih kandidat yang tepat
- Mengembangka
n kesadaran untuk memilih kandidat yang tepat
- Mengembangka - Mengembangk
n kesadaran untuk memilih kandidat yang tepat an kesadaran untuk memilih kandidat yang tepat
Halaman 24
Aktifitas
- Pendidikan
Pemilih pada kaum difabel - Advokasi (termasuk pengembangan jaringannya) sistem serta mekanisme pemilihan
Talk Show Debat publik Program di Metro TV Democracy di US vs Indonesia Iklan Pelayanan Publik tentang keterwakilan perempuan Membantu pengembanga n Web KPU Pendidikan Elektoral
- Distribusi
leaflet - Iklan Pelayanan Publik tentang pemilihan damai di beberapa TV
- Iklan Pelayanan
Publik pesan yang mendorong masyarakat untuk mengabaikan kandidat tercela dan agar menjadi pemilih bertanggungjawab; tentang keterwakilan perempuan; dan tentang harapan publik
- Publikasi berisi
Cakupan
- Kelompok
Difabel
Nasional
Lima kabupaten
Halaman 25
Halaman 26
4.1.3 Terlibat di Pendidikan Masyarakat Sipil serta Pendidikan Elektoral Organisasi Tipe Pendidikan Tujuan KOPEL (Komite Pemantau Legislatif) Elektoral dan Sipil Mengembangkan interaksi politik antara anggora legislatif dan konstituen untuk membuat anggota DPRD akuntabel pada kelompok marginal Training, Workshop, Mentorship for the Community 10 sub districts in 9 Districts Print media, kalangan akademis, LSM
Pendidikan Pemilih yang dilaksanakan oleh KOPEL kebanyakan mencoba memberikan pemahaman tentang prosedur pemilihan. Hal ini cocok dengan pengertian umum tentang Voter Education. Sedangkan aspek yang lebih kritis dari Pendidikan Pemilih belum banyak dilakukan, misalnya mengawasi jalannya pemilihan. Pendidikan Elektoral yang dilaksanakan oleh KOPEL kebanyakan ditargetkan pada publik umum tanpa kategori khusus, Kecuali beberapa. Misalnya KOPEL bekerjasama dengan OMS perempuan karena kelompok ini mungkin paling siap menangani target dengan karakteristik khusus. Hal ini dimungkinkan keterlibatan dengan isu yang berkelanjutan dan, untuk beberapa kasus, dengan menggunakan struktur dari suatu organisasi induk. KOPEL juga mengunakan media untuk melengkapi metode lain dalam Pendidikan Elektoral. Karena slot koran dan TV pada mahal, mereka digunakan untuk menyampaikan pesan pendek. Pada umumnya, hanya LSM yang mapan dapat menggunakan medium TV dan koran. Bagi program yang memilih metode tatap muka sekaligus metode penggunaan media massa, biasanya memilih media lokal. Kegiatan yang penting namun tidak dilakukan oleh KOPEL antara lain karena keterbatasan waktu adalah pembuatan rancangan serta pelaksanaan monitoring/evaluasi yang cukup baik (valid) untuk mengukur efektifitas pesan yang disampaikan melalui berbagai media masa, termasuk jenis media yang paling efektif
4.2.1 Positif
Halaman 27
a. Kepemimpinan. Kepemimpinan selalu merupakan hal penting pada kerja setiap organisasi. Dalam kasus Pendidikan Pemilih dan Pendidikan Elektoral, organisasi tradisional dan ormas adalah sarana yang sangat penting karena mempunyai struktur di tingkat lokal. Seringkali pada organisasi ini formalitas dan informalitas sama-sama penting. Namun tidak semua daerah yang mempunyai organisasi seperti siap mengambil peran dalam pendidikan. Orientasi para pemimpin lokal dari organisasilah serta kemampuan dalam mengelola kegiatan yang membuat organisasi bergerak di bidang ini. Mereka yang dapat membentuk kerja tim yang baik. Sebagai contoh, Forum Bali mampu menggerakan jaringan kelompok komunitasnya, termasuk kaum muda. b. Persiapan yang matang, tidak hanya dalam mengenali komponen kegiatan yang tepat namun juga dalam mengenali resiko dan cara mengatasinya. Ini berarti juga diperlukan waktu yang cukup untuk mengembangkan skemanya. c. Tidak bersifat eklusif dan memiliki kapasitas melibatkan orang yang berpengaruh yang relevan untuk program, seperti misalnya tokoh informal. d. Pendekatan yang dikembangkan secara baik, dengan memperhitungkan kultur setempat seperti bahasa, seni, dan lembaga lokal. Yappika sebagai contoh telah memberi kepercayaan kepada LSM lokal untuk mengembangkan isi. Organisasi lokal yang diberi kesempatan untuk mengembangkan gagasan dan metode pelaksanaan di wilayahnya memperbesar kemungkinan efektifitas pendidikan. Selain itu, hasil sampingan yang juga penting adalah sejalan dengan itu terjadi proses penguatan organisasi tersebut. e. Jaringan kerja yang luas sangat penting untuk memperluas jangkauan, serta mengkombinasikan berbagai metode dan pendekatan. 4.2.2 Negatif a. Waktu yang pendek untuk membuat persiapan. Faktor ini juga menghambat kerjasama yang efektif antar organisasi. Tidak ada waktu untuk mengintegrasikan kegiatan masing-masing. Sebagai contoh adalah yang terjadi pada C-VICI (Consortium Voters Information Campaign for Indonesia) b. Birokrasi yang lamban telah menciptakan komplrksitas, penundaan, dan ketidakpastian. Hal ini dialami beberapa organisasi yang bekerjasama dengan KPU serta yang bekerja di daerah konflik. c. Keterbatasan sumber daya manusia di KPU untuk menangani berbagai aspek yang ditemui dalam pelaksanaan. Padahal banyak kegiatan yang memerlukan otoritasi mereka. Beberapa organisasi mengalami masalah dimana KPU dinilai membuat keputusan dengan mudah tanpa cukup memperhitungkan dampaknya. Selain itu, ada persoalan konflik kepentingan dengan KPU. Di satu sisi, KPU harus bekerja sama dengan berbagai organisasi lain termasuk yang memantau kerja KPU, di sisi lain KPU mempunyai otoritas dalam memilih mitra kerja serta bentuk kegiatan.
Halaman 28
d. Kebanyakan media tidak tertarik untuk terlibat atau mendukung yang dibutuhkan dalam mencapai tujuan Pendidikan. Khususnya dalam Pendidikan Elektoral, mass media sesungguhnya sangat diperlukan sebagai menciptakan tekanan publik. Selain itu, TV mempunyai tarif yang mahal bahkan untuk harga Iklan Pelayanan Publik. e. OMS tidak memiliki kapasitas atau waktu untuk menterjemahkan konteks lokal. Hal ini menghambat jangkauan khususnya pada kelompok sasaran yang dengan pendidikan rendah dan tinggal di daerah yang jauh. f. Penggunaan atau ketersediaan ahli komunikasi yang terbatas, baik dalam menyampaikan pesan secara efektif untuk kelompok yang spesifik maupun dalam membuat komunikasi politik dalam Pendidikan Masyarakat Kewargaan. g. Banyak organisasi yang terlibat tidak secara khusus bekerja pada bidang Pendidikan Pemilih dan Pendidikan Elektoral. Hal ini tidak terlalu bermasalah jika kegiatan direncanakan sesuai dengan kapasitas organisasi. Namun waktu yang pendek membuat hal ini sukar dilakukan. h. Berbagai kegiatan Pendidikan V/E/C yang dilakukan berbagai organisasi kurang efisien, efektif, maupun terintegrasi karena ketiadaan kegiatan yang khusus memberikan informasi yang terus diperbarui tentang kegiatan yang dilakukan berbagai organisasi tersebut dan mudah diakses oleh setiap organisasi.
pendidikan V/E/C
a. Dapatkah Pendidikan Pemilih memperluas pesannya? Apakah OMS mempunyai kapasitasnya? Pendidikan Pemilih dapat dilaksanakan oleh berbagai macam organisasi masyarakat sipil. Hal ini berarti bahwa Pendidikan Pemilih tidak menuntut keahlian dan sumber daya yang tinggi. Akan lebih banyak lagi OMS yang dapat mengikuti pendidikan ini hanya dengan sedikit bantuan, seperti medium informasi (poster, leaflet, CD, dan sebagainya). Hanya saja medium tersebut perlu disesuaikan lagi dengan target yang spesifik. Kebanyakan OMS mempunyai kapasitas untuk memberi informasi lebih dari sekedar tentang prosedur. Organisasi ini kebanyakan dapat memperluas pesan yang masuk dalam kategori pendidikan kritis, misalnya pesan yang mengajak kelompok sasaran untuk memilih calon secara bertanggungjawab sebagai warga negara. Ini sejalan dengan usulan bahwa Pendidikan Pemilih harus menyesuaikan dengan konteks tantangan yang dihadapi masyarakat Indonesia saat ini.
b. Seberapa Siap OMS siap melaksanakan Pendidikan Elektoral? Pendidikan Pemilih hanya dapat dikelola oleh OMS yang memiliki sejumlah staf yang memiliki ketrampilan menterjemahkan isu juga mengembangkan persepsi komunitas tentang kepentingan mereka. Kebanyakan OMS yang
Halaman 29
bekerja di jenis ini hanya dapat mengelola sedikit kelompok sasaran. Organisasi yang dapat menangani kelompok sasaran yang besar adalah yang berbasis ormas. Namun tidak jarang bahwa ormas yang ada tidak siap untuk menangani pendidikan ini. Mereka membutuhkan bantuan dari organisasi lain, misalya LSM. JPPR adalah contoh kasus terjadinya sinergi antara struktur kecil yang lebih solid dengan cabang lokal ormas-ormas.
Aisyiah Muhammadiyah adalah contoh tentang organisasi massa potensial dengan banyak cabang lokal. Organisasi ini pada umumnya diarahkan pada penyediaan kebutuhan sosial dasar komunitas, khususnya golongan ekonomi bawah. Pengelolanya berasal dari golongan menengah/menengah atas. Karena cabang lokal mempunyai kontak dekat dengan komunitas, sesungguhnya sangat baik jika dapat di dikembangkan untuk menangani Pendidikan Elektoral. Hal yang sama juga ada pada struktur PKK. Meskipun organisasi ini mengalami perubahan sejak Reformasi, dasar strukturnya masih dapat digerakkan. Mungkin kebanyakan hanya dapat menangani Pendidikan Pemilih, namun dibeberapa tempat ada yang cukup potensial untuk mengadakan atau setidaknya bersama dengan organisasi lain melaksanakan Pendidikan Elektoral.
Namun demikian, karena banyak dari organisasi-organisasi tersebut tidak dikelola secara ketat dan berdasarkan pada ke-sukarela-an, gerakannya tergantung pada pemimpinnya. Selain itu, organisasi tersebut umumnya hanya memiliki kontak eksternal yang terbatas. Karena itu, bantuan dari organisasi lain dibutuhkan, misalnya Pelatihan para Pelatih (TOT) dan bahan / materi pelatihan.
Jaringan gereja telah memperlihatan bahwa organisasinya lebih kohesif dan karenanya dapat menjadi sarana yang baik untuk melakukan Pendidikan Pemilih dan Pendidikan Elektoral. Penilaian ini didasarkan pada evaluasi yang dilakukan terhadap organisasi yang melakukan Pendidikan Pemilih pada Pemilu 1999, yang memperlihatkan bahwa jaringan ini lebih efektif dan akuntabel di tengah pelaksanaan Pemilu yang terburu-buru. Meskipun demikian, tidak bisa diasumsikan bahwa orientasi dan kapasitas jaringan ini tidak beragam. Beberapa gereja bersifat konservatif dalam arti masih enggan terlibat dalam isu sosial politik. Sedang gereja-gereja yang ada di wilayah yang rentan terhadap konflik cenderung lebih siap untuk terlibat dalam isu-isu tersebut.
Muhammadiyah pada dasarnya organisasi yang mengarahkan diri pada upaya pengembangan sosial. Namun belakangan ini ada sebagian segmennya siap mengambil peran dalam upaya pembaharuan tata kelola. Muhammadiyah Makasar adalah salah satunya. Salah satu isu yang menjadi perhatian adalah korupsi di kalangan pejabat publik. Salah satu
Halaman 30
kekuatannya adalah banyak anggota organisasi Muhamadiyah yang menjadi pejabat di berbagai lembaga publik termasuk badan legislatif yang dapat diminta dukungannya atas kegiatan yang dilakukan organisasi ini. Meskipun masih jauh bahwa Muhammadiyah memainkan peran penting dalam upaya reformasi tata kelola, beberapa cabang lokalnya dapat memulai peran ini jika pemimpin lokalnya progresif dan memiliki kemampuan mengelola program tetap dibutuhkan dukungan untuk mentrasformasi struktur organisasi yang orientasinya sosial menjadi ke arah peran transformatif.
c. Kesiapan OMS terlibat dengan partai politik Tidak banyak OMS yang siap untuk menjadi mitra kritis dari partai politik. Selain masalah pendekatan yang dapat diterima kedua pihak masih harus dibangun, partai politik juga sering tidak memandang OMS di daerahnya mempunyai nilai politik. IPCOS (Institute for Policy and Community Development Studies) merupakan salah satu OMS yang telah membangun hubungan dengan partai politik, terutama PDI Perjuangan. Organisasi ini terdiri dari aktivis intelektual yang sebagian dekat dengan bagian dari partai tersebut. Dengan latar belakang itu, IPCOS telah mencoba mengembangkan beberapa model pelibatan dengan partai politik. Namun tampaknya organisasi ini masih terlalu banyak mengandalkan pada hubungan individual, sehingga dapat dikatakan institusionalisasi organisasi belum kuat. Hal ini mempengaruhi keberlanjutan program di wilayahwilayah, termasuk penguatan OMS yang menjadi target penguatannya.
Beberapa partai cukup terbuka untuk bekerja sama dengan OMS lain dalam hal pendidikan politik. Sebagai contoh, Partai Keadilan Sejahtera adalah partai yang aktif mengembangkan interaksi sosial pada tingkat komunitas. Salah satu kekuatannya terletak pada anggota dan simpatisannya yang berpendidikan tinggi, beberapa dapat digunakan dalam pelayanan masyarakat. Think thank-nya juga berjalan baik, termasuk dalam penanganan pendidikan terkait Pemilu. Untuk Pemilu 2009, partai ini akan segera melaksanakan gerakan pengumpulan aspirasi, dengan target 1 juta anggota mayarakat tersebar di seluruh Indonesia. Partai ini dikenal paling mudah bekerja sama dengan OMS, terutama dalam isu perbaikan tata kelola. Ini berarti kesempatan terbuka bagi OMS untuk mengeksplorasi bentuk-bentuk kerja sama lain. Inisiatif harus berasal dari OMS karena partai ini self- content, artinya segmen-segmennya telah mapan dan bukanlah prioritasnya mengembangkan inisiatif baru bekerja sama dengan OMS. Sebagai partai dengan basis agama, PKS masih banyak didasarkan pada himbauan moralistik. Interaksinya dengan komunitas masih bersifat melayani kebutuhan dasar. Pendidikan aktivisme politik belum menjadi bagian penting. Disinilah peran OMS diperlukan untuk menstransformasi isi interaksinya.
Halaman 31
d. Seberapa daya tahan OMS melakukan Pendidikan Kewargaan? Pendidikan kewargaan yang bertujuan untuk memperkuat kapasitas masyarakat untuk mendorong akuntabilitas pejabat publik. Pendidikan ini bisa membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mencapai tujuannya. Oleh karena itu, OMS yang mempunyai program harus pada dirinya mapan dan mempunyai sumber daya yang berjangka panjang. Karena itu tidak banyak OMS yang mampu melakukannya dengan benar. KOPEL adalah contoh suatu jaringan OMS yang bergerak dalam pendidikan kewargaan. Sebagai organisasi bersama, KOPEL telah menjalani beberapa tahap proeses pematangan. Pendekatan yang terakhir diambil adalah keterlibatan kritis. KOPEL merupaka cerminan dari kumpulan OMS Makasar: aktif dalam advokasi politik dan kebijakan, jurnalis merupakan bagian dari gerakan, serta mempunyai cukup banyak kontak dengan organisasi lain dari Jakarta dan asing. Dengan karakteristik tersebut, tidak mengherankan bahwa KOPEL mengambil pendekatan terbaru dari OMS yaitu pelibatan kritis. Meskipun demikian, konsorsium ini masih terlalu banyak mengandalkan komitmen dari pada struktur pengorganisasian yang kuat.
e. Seberapa siapkah media terlibat dalam Pendidikan Elektoral dan Kewargaan? Di daerah banyak media massa yang mempunyai afiliasi dengan partai politik, politisi tertentu, atau pejabat pemerintah. Bisa saja media ini juga membicarakan tema demokrasi, namun kerangkanya seringkali tidak bersifat transformatif dan lebih prosedural. TVRI daerah justru sering lebih terbuka terhadap individu yang progresif termasuk dari kalangan OMS. Namun sekali lagi, hal ini tergantung juga pada karakter masyarakat setempatnya. Akan tetapi, sesuai dengan karakternya yang mengikuti keinginan pemirsanya, media sering berada pada tekanan untuk tidak mengabaikan isu yang menjadi perhatian masyarakat. Jika kekecewaan terhadap Pemilu/sistem perwakilan terus meluas, maka media tidak bisa mengabaikannya untuk ikut memuat.
yang
lebih
bermakna
dan
Terdapat beberapa kelemahan dalam kerjasama antar OMS. Pertama, kegiatan bersama yang mereka lakukan tidak cukup saling melengkapi dan menunjang. Salah satu akibatnya adalah pengabaian kebutuhan spesifik kelompok target tertentu. Kerjasama lebih sebagai pembagian tugas.
Halaman 32
Kedua, kerjasama tidak sampai menghasilkan aturan keterlibatan yang dapat mengantar pada disiplin, transparansi, dan tanggung jawab yang lebih tinggi. Kerjasama banyak mengandalkan komitemen yang diberikan secara verbal. Banyak hal yang sesungguhnya dapat menjadi bahan pelajaran tidak terekam dan ditangani secara sistematis. Kelemahankelemahan ini sering disebabkan oleh skema dan waktu yang terbatas yang diinginkan para donor.
g. Bagaimana membangun peran KPU dalam mendukung OMS agar lebih baik melakukan Pendidikan Pemilih, Pendidikan Elektoral, dan Pendidikan Kewargaan yang terkait Sistem Pemilu? Hingga saat ini tampaknya KPU enggan memainkan peran lebih besar dalam Pendidikan Elektoral dan Pendidikan Kewargaan antara lain untuk menghindari tuduhan menjadi partian. Hal ini sungguh disayangkan karena KPU memiliki struktur nasional yang menyerap pengalaman, informasi, dan hubungan dengan berbagai organisasi.
Halaman 33
Halaman 34
menjalankan amanah warga negara, yang memilih mereka dengan harapan atas perubahan/transformasi, menuju kehidupan bernegara yang lebih baik. Bagi yang sudah menjabat, legitimasi harus dipahami sebagai suatu penilaian yang diberikan sejauh ia dapat dipercaya. Berkaitan dengan koordinasi, tekanan dengan pengajuan proposal bersama antara beberapa lembaga ternyata tidak cukup efektif untuk memastikan terjadinya kolaborasi yang genuine antara lembaga pelaksana. Yang terjadi adalah pengambilan keputusan secara bersama diantara elit lembaga di tingkat nasional tentang pembagian peran dan/atau wilayah kerja dan/atau target sasaran, namun miskin kolaborasi yang nyata dan konkrit di tataran wilayah pemilihan. Padahal, yang diinginkan sebenarnya adalah kerja sama yang nyata di lapangan, misalnya dalam bentuk berbagi keahlian dengan menjadi narasumber bagi target sasaran lain yang dikelola oleh organisasi lain, atau bahkan saling bantu dalam pelaksanaan kegiatan. Waktu yang sangat terbatas, disisi lain, menjadikan pertemuan-pertemuan koordinasi kurang efektif. Karena terdesak pelaksanaan kegiatan yang sudah mendekati tengat waktu (dead-line), tidak jarang organisasi mengutus orang-orang yang kurang terlibat dengan pelaksanaan V/E/C Education, dan akibatnya, tidak terjadi pertukaran informasi yang cukup komprehensif, yang memungkinkan koordinasi terjadi. Dengan berpijak pada kondisi-kondisi diatas, maka direkomendasikan strategi V/E/C Education akan diarahkan pada tema membangun keterlibatan (constructing engagement) antara warga negara dengan kandidat Pemilu dan pejabat terpilih (melalui Pemilu) seperti yang tergambar di bawah:
Halaman 35
understanding of citizen in the revised Election system and enhanced skills to vote and to monitor Election implementation)
b. Menguatnya ketrampilan warga negara dalam mengartikulasikan kepentingannya kepada calon pemimpin / wakil rakyat dan dalam menetapkan pilihan-pilihan atas calon pemimpin dan wakil rakyat (Enhanced ability of citizen to articulate and to demmand the fulfillment of their interests, as well as, to make the correct political choice in selecting leaders and representatives) c. Berkembangnya ketrampilan warga negara untuk memantau, menganalisis, dan memberikan masukan dalam pengambilan keputusan publik dan pengembangan rencana pembangunan daerah yang mempengaruhi kehidupannya (increased capacity of citizen to monitor, to analise, and to give inputs in decision making and the development of regional planning that affect their life and livelihood)
Halaman 36
6. Penguatan ketrampilan warga mengartikulasikan persoalan dan harapan pemilih kepada peserta Pemilu. 7. Informasi yang lebih valid dan detail mengenai peserta Pemilu (latarbelakang, kinerja, ideologi dan program-program kerjanya) dan indikatorindikator untuk menilai calon yang potensial sebagai pemimpin dan/atau wakil rakyat. 8. Peran-peran warga selepas Pemilu dan berbagai proses/forum pengambilan keputusan yang bisa dimanfaatkan warga untuk berpartisipasi dalam penentuan kebijakan publik. 9. Kapasitas yang perlu dimiliki oleh warga sehingga mampu berkontribusi (atau memberikan pengaruh) secara signifikan dalam proses penentuan kebijakan dan proses implementasi program-program pembangunan. 10.Pertanggungjawaban pejabat publik kepada warga negara. 11.Penguatan kapasitas perempuan untuk terlibat dalam politik.
5.5.2. Metode Penyampaian Pesan Adapun metode penyampaian substansi-substansi diatas akan sangat bervariasi, tergantung dari jenis substansinya, maupun target audience-nya. Sebelum sampai pada detil metode penyampaian sesuai dengan substansi dan khalayak sasaran. Berikut adalah strategi-strategi umum menyangkut metode: a. Penyampaian materi secara masal melalui media (televisi, radio, koran) tetap dibutuhkan dalam rangka menjangkau sebanyak mungkin variasi publik di berbagai wilayah, dan untuk menjelaskna Prosedur Pemilu secara ringkas dan padat. Televisi dan radio menjadi media yang amat digemari oleh berbagai kalangan, lintas generasi, lintas geografi. Sementara koran memang lebih diperuntukkan bagi lapis masyarakat tertentu, yang memiliki budaya membaca relatif lebih baik. Namun, tidak semua acara di televisi dan radio menjadi acara yang ditunggu-tunggu oleh warga. Acara berita dan dialog hanya diminati oleh lapisan yang terbatas, acara hiburan atau dialog yang dikemas menghibur menjadi perhatian utama hampir di semua kalangan. Oleh karena itu, efektifitas penyampaian materi secara masal melalui media masih sangat ditentukan oleh jam tayang dan kemasan acaranya. Memanfaatkan prime time, sisipan di acara yang sangat digemari (rating tinggi), atau bahkan memanfaatkan acara yang sangat digemari untuk mengemukakan materi menyangkut Pemilu, selayaknya tetap menjadi perhatian utama. Tak kalah penting adalah menggunakan lebih banyak radio dan koran lokal sebagai penyebar pesan, karena realitasnya, radio dan koran lokal jauh lebih digemari dan didengar di tingkat daerah ketimbang radio dan koran nasional.
b. Bila hendak memproduksi Iklan Layanan Masyarakat (PSA), iklan-iklan yang berseri dan jenaka/romantis sangat digemari oleh berbagai kalangan
Halaman 37
(misal: iklan sampoerna hijau, A-mild, pasta-gigi Close-up). Pendidikan Elektoral bisa dibuat berseri semacam ini, dengan kelompok/artis yang sama. Yang perlu dipikirkan lebih jauh adalah substansi serinya, yang mampu mendorong rasa keingintahuan warga terhadap seri berikutnya.
c. Tatap muka, yang memungkinkan terjadinya komunikasi 2 arah disertai dengan simulasi menjadi metode penyampaian pesan yang amat efektif lintas generasi, lintas suku dan lintas geografi. Oleh karena itu, metode tatap muka tetap harus dipertahankan dalam menggulirkan V/E/C Education. Pemanfaatan bentuk-bentuk event/pertemuan yang sudah eksis di tingkat lokal sangat efektif sebagai medium penyelenggaraan tatap muka ini. Terutama bagi kelompok marjinal dan perempuan, yang memang kurang memiliki waktu luang untuk berkumpul karena desakan kebutuhan hidup sehari-hari. Disarankan agar berbagai organisasi yang mengelola V/E/C Education untuk memanfaatkan events/pertemuan-pertemuan lokal yang sudah eksis ini sebagai medium tatap muka, ketimbang menciptakan bentuk pertemuan baru yang belum tentu bisa diterima dengan baik di tingkat lokal.
d. Meski semua orang di Indonesia relatif bisa berbahasa Indonesia, orang tetap lebih familier dan kena dengan pemanfaatan bahasa daerah dan/atau dialek/logat daerah. Oleh karena itu, materi-materi yang bersifat mendorong orang melakukan sesuatu dan materi-materi yang membutuhkan pemikiran lebih jauh sebaiknya dikemas dalam dialek / logat daerah atau bahasa daerah yang lebih mudah dipahami di pelosok-pelosok Indonesia. Selain itu, pemanfaatan budaya setempat juga terbukti efektif untuk menjangkau warga. Tayuban, wayang, sendratari dan acara-acara kesenian rakyat jenis lainnya ramai didatangi warga dan potensial dimanfaatkan untuk juga mentrasfer informasi tentang Pemilu. Gunakan bahasa / dialek lokal, media lokal, event lokal dan orang lokal untuk menjangkau warga di berbagai wilayah. Dan berikan ruang bagi organisasi lokal untuk mengembangkan kreatifitas, menciptakan atau merancangulang berbagai media rakyat yang memang mampu menarik perhatian.
e. Sekolah, adalah tempat paling efektif untuk menjangkau pemilih pemula (first-time voters). Dan ditengah kesibukan sekolah yang sangat ketat, penting mengupayakan agar kegiatan V/E/C Education ini menjadi bagian dari mata pelajaran sekolah yang sudah ada . Meninjau pada substansi V/E/C Education, maka sebenarnya jenis pendidikan ini laik menjadi bagian dari Pendidikan Kewarganegaraan disekolah, bahkan dapat dijadikan bahan ujian sekolah. First time voters juga memerlukan seri media lini bawah dan atas yang berbeda pengemasannya. Selain lewat sekolah, membangkitkan minat mereka perlu pengetahuan yang cukup tentang artis/penyanyi/group band yang mereka minati, serta lokasi-lokasi yang mereka datangi untuk hang-out. Memanfaatkan kedua pengetahuan tersebut untuk mengemas
Halaman 38
substansi Pemilu akan sangat membantu dalam menjangkau dan melayani (reaching-out) mereka
f. People with Different Abilities (difabel) perlu mendapat V/E/C Education dengan media yang cocok bagi mereka, dan disampaikan oleh kelompokkelompok yang memang sudah dikenal dan dipercaya oleh mereka. Dan pendataan yang baik terhadap kelompok difabel perlu dilakukan oleh panitia penyelenggara Pemilu, untuk memastikan bahwa mereka tidak terlewat begitu saja dari semua jenis V/E/C Education yang digulirkan. Memastikan bahwa semua acara televisi yang bersubstansi V/E/C Education memiliki caption bahasa isyarat juga harus menjadi perhatian, agar tunarungu tetap bisa menerimanya dengan baik. Tak kalah penting adalah mentransfer substansi V/E/C Education yang pokok ke dalam Bahasa Braille, sehingga orang buta pun tak alpa mendapat informasi yang penting.
g. Perlu dieksplorasi pula pemanfaatan teknologi popular dalam menyampaikan V/E Education. Misalnya saja, pemanfaatan SMS interaktif (seperti SMS Manajemen Kalbu, dimana tiap minggu disebarkan informasi/dakwah ke pendaftar) maupun digital call-center (metode jawaban via SMS atas pertanyaan yang juga diajukan via SMS). Yang harus dipelajari untuk pengembangan media semacam ini adalah Frequently Asked Questions (FAQ) Strategi yang lebih mendetail menyangkut metode penyampaian, berdasarkan substansi dan target audiens bisa dilihat dalam Lampiran 1.
5.5.3 Kapasitas Organisasi dan Penguatan Koordinasi A. Mitra Potensial Meninjau pada pengalaman V/E Education 2004, maka mitra yang amat potensial untuk terlibat dalam pelaksanaan V/E/C Education 2009 terdiri dari beberapa institusi dibawah ini, yaitu : 1. OMS harus bekerja sama dengan organisasi sosial (ormas, organisasi tradisional) lain untuk memungkinkan cakupan yang lebih luas sekaligus menyesuaikan dengan konteks lokal. Proposal yang dikembangkan bersama kian mendorong kerjasama sejak awal. Mengingat bahwa Lembaga Swadaya Masyarakat sebagai OMS yang paling aktif dan fleksibel dalam pengembangan program mempunyai kapasitas yang terbatas dalam mengambil pendekatan kerjasama yang luas, maka pendidikan V/E/C harus mempunyai komponen penguatan LSM di bidang ini. Aspek yang diperkuat meliputi, antara lain, pengenalan institusi dan organisasi sosial, komunikasi sosial, dan dan pengorganisasian kerja sama. 2. Organisasi-organisasi yang memiliki pengetahuan dan pengalaman cukup dalam V/E/C Education dan berkemampuan mengorganisir gerakan.
Halaman 39
Penting pula bahwa organisasi-organisasi ini merupakan organisasi yang memiliki jaringan cukup luas dan relatif terpercaya dimata mitra-mitra lokalnya. Untuk menjangkau target tertentu dengan materi tertentu, ada baiknya dipikirkan bekerja sama dengan organisasi yang memang memiliki program jangka panjang yang sesuai. Sebagai contoh, KPI dan Solidaritas Perempuan bisa menjadi mitra sangat potensial untuk materi keterlibatan perempuan dalam politik karena kedua organisasi ini memang telah memiliki program jangka panjang untuk isu tersebut. 3. Organisasi-organisasi yang memiliki kemampuan (dan pengalaman) dalam pengorganisasian kelompok basis (kelompok marjinal) dan memang terbukti melayani kelompok basis merupakan mitra yang sangat potensial untuk menjangkau kelompok marjinal secara lebih cepat dan tepat. Mereka sudah mendapat kepercayaan dan akan lebih mudah memproses dialogdialog yang berarti ditingkat komunitas marjinal 4. Asosiasi/koalisi jurnalis yang memiliki komitmen terhadap pengembangan demokrasi juga merupakan mitra potensial, terutama dengan kedekatan dan pengaruh mereka terhadap media masa dan kemampuan pengorganisasian masa 5. Media masa adalah mitra potensial lain, yang patut didekati dengan cukup intensif. Peraturan perundangan Indonesia mengharuskan media masa menyediakan slot bagi iklan layanan masyarakat secara gratis. Dan aturan ini bisa dimanfaatkan dalam rangka mendapatkan kemudahan dalam penyiaran PSAs dan/atau berita 6. Kepala Desa, RT dan RW merupakan saluran bagi distribusi media lini bawah yang cukup meluas. Dengan intervensi, kelompok ini bahkan mungkin berfungsi sebagai pusat informasi yang mampu menjangkau berbagai pelosok. 7. Departemen Pendidikan, Komisi Sekolah, dan Kepala Sekolah patut didekati dalam rangka penyebaran V/E/C Education untuk menjangkau pemilih pemula (first-time voters) di sekolah-sekolah
B. Penguatan Koordinasi Seperti diutarakan sebelumnya, tekanan untuk membuat proposal bersama saja belum cukup untuk menciptakan sinergi antar lembaga pelaksana V/E/C Education. Oleh karena itu, selain dorongan untuk pembuatan proposal bersama, dibutuhkan beberapa upaya lain, yaitu: 1. Koordinasi antar donor secara lebih baik, tidak saja melalui pertemuanpertemuan, namun juga dalam menyediakan informasi secara kolektif dan reguler tentang mitra-mitra yang didukungnya, program yang dilaksanakan mitra-mitra, serta perkembangan pelaksanaan program dari mitra-mitra tersebut. Tak kalah penting adalah mengusahakan agar program seputar Pemilu 2009 dikembangkan menjadi sebuah mekanisme dukungan berjangka-panjang, bukan sekedar proyek Pemilu saja.
Halaman 40
2. Memfasilitasi OMS untuk mengembangkan platform bersama, mensikapi Pemilu 2009 dalam kaitannya dengan demokratisasi Indonesia secara luas. Hal lain yang juga bisa didialogkan dalam pengembangan platform bersama adalah tentang pembagian peran sesuai kapasitas masing-masing, serta potensi pengembangan proposal kolaborasi. Membangun kesepakatan dengan dan antar OMS, tentu lebih baik dari sekedar mensyaratkan.
3. Ketersediaan informasi secara reguler menjadi salah satu masukan yang berharga dalam rangka mendorong terjadinya koordinasi, dan penyediaan informasi ini seharusnya tidak hanya terjadi dalam pertemuan-pertemuan formal saja. Keberadaan lembaga yang secara khusus memang mengelola informasi, bisa menjadi salah satu strategi dalam rangka mendorong terjadinya kerja-sama antar lembaga. Pengalaman Yappika dengan pengelolaan informasi saat Gempa-Tsunami Aceh-Nias misalnya, bisa menjadi salah satu contoh dari pengelolaan informasi, yang memungkinkan berbagai organisasi langsung mencari mitra kerja yang cocok untuk berkoordinasi dan berkolaborasi. UNDP, disisi lain, juga bisa memainkan peran penting ini, dengan mengembangkan media informasi yang lebih bermanfaat bagi mitra-mitranya dalam rangka mendorong koordinasi antar lembaga. Dengan demikian, penting mengusahakan dukungan bagi (atau memainkan peranan dalam) pengembangan sebuah sistem manajemen informasi yang secara terus-menerus menjadi pengumpul dari dan pendistribusi informasi ke lembaga-lembaga yang melaksanakan V/E/C Education.
4. Tak kalah penting adalah dukungan untuk proses-proses perencanaan bersama dan pengembangan media-media pembelajaran bersama yang reguler ditengah pelaksanaan program. Penguatan pelajaran bersama (collective-learning) semacam ini menjadi prasyarat multak bagi terjalinnya sinergi antar lembaga, sampai ke tingkat basisnya. Pengembangan proses perencanaan dan refleksi bersama akan lebih layak (feasible) dilakukan di tingkat regional, meski perlu pula dilakukan pada tataran nasional diantara mitra-mitra nasional.
5. Pengembangan kapasitas (Capacity Building) perlu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pelaksanaan V/E/C Education ini. Mitra nasional yang menaungi beberapa mitra lokal patut didorong untuk menyediakan sarana penguatan kapasitas bagi mitra lokalnya, misalnya dalam bentuk training, asistensi teknis, maupun coaching dalam pengelolaan keuangan, pengembangan kerangka monitoring berbasis hasil, pemecahan permasalahan (problem-solving), dan bahkan dalam pengembangan kreatifitas menciptakan media-media yang paling sesuai bagi substansi V/E/C tertentu.
Halaman 41
6. KPU perlu didorong agar lebih aktif menyediakan pengetahuan, keahlian, pengalamannya maupun berbagi kontak dan informasi dengan berbagai lembaga pelaksana V/E/C Education. Meski demikian, perlu diupayakan mekanisme yang sesuai untuk mengatasi konflik kepentingan atau conflict of interest anggota KPU dengan substansi V/E/C yang didorong oleh berbagai lembaga. Sebagai contoh, dalam kerangka substansi V/E/C Education yang diusulkan diatas, KPU bisa menjadi salah satu obyek pantau dari komunitas, dalam rangka menjadikan Pemilu lebih baik. Menjadikan KPU sebagai institusi yang berhak menyetujui materi V/E/C Education dalam konteks semacam itu bisa menciptakan ketegangan yang tidak perlu.
7. Memfasilitasi engagement antara OMS dengan partai politik, dalam rangka mengusahakan pertemuan antara pemilih dengan calon-calon yang berlaga dalam Pemilu 2009.
8. Melakukan pertemuan-pertemuan dengan media masa, dalam rangka menggali komitmen mereka untuk mendukung penyebaran V/E/C Education. Pengalaman LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial) dengan polling pemilihan Presiden tahap kedua juga menunjukkan bahwa media masa pun memiliki sumber daya untuk membuat program seputar Pemilu 2004.
9. Melakukan pertemuan-pertemuan khusus dengan presenter dan selebriti yang dianggap potensial menjadi aliansi dalam penyebaran V/E/C Education. Misalnya saja, dimungkinkan untuk mengundang Tukul dan beberapa pembawa acara Mama Mia, dalam rangka menggali potensi memasukkan materi V/E/C dalam acara mereka, dan kemudian merancang bersama pengemasan acaranya. Komitmen muncul dari rasa memiliki, dan rasa memiliki hanya bisa didapat dengan keterlibatan secara aktif sejak perancangan program dilakukan.
5.5.4 Management - Potensi pengembangan V/E/C Education Center Jawaban para-pihak terhadap potensi pengembagan V/E/C Education Center bervariasi. Sebagian besar agak skeptis mengingat pengalaman dengan pengembangan berbagai bentuk Center lain yang kemudian malah cenderung eksklusif. Namun demikian, keberadaan sebuah Center bukannya tidak dibutuhkan, terutama bila difungsikan secara benar sebagai sebuah Service Center yang terbuka untuk diakses oleh institusi yang membutuhkan. Rekomendasi menyangkut pengembangan sebuah Center untuk V/E/C Education adalah sebagai berikut:
Halaman 42
Peran V/E/C Education Center Seperti dikemukakan diatas, V/E/C Education Center akan benar-benar bermanfaat bila mampu menjalankan tugas-tugas pelayanan informasi secara baik kepada berbagai pihak yang membutuhkan. Dengan demikian, dibutuhkan Center yang aktif dan responsif (tanggap) atas kebutuhankebutuhan anggota dan jaringan kerjanya, serta mampu pula mendinamisir jaringan kerjanya dalam rangka menciptakan pembelajaran bersama (collective-learning) untuk perubahan. Sebuah Center sebaiknya tidak dibebani dengan tugas untuk memutuskan (approval) materi-materi V/E/C Education yang dianggap layak, namun justru berfungsi memproses kekayaan V/E/C Education yang ada sekarang yang sudah tersebar menjadi pengalaman dan keahlian dari sejumlah organisasi. Dengan demikian, tugas-tugas pokok dari V/E/C Education Center mencakup: Memproses (secara partisipatif) panduan tentang nilai, prinsip-prinsip dasar, dan substansi utama dari yang disebut sebagai V/E/C Education; melibatkan berbagai organisasi yang sudah mengembangkan dan memiliki pengalaman dalam penyelenggaraan V/E/C Education Mengumpulkan sumber-sumber daya (berupa materi V/E/C Education yang sudah ada, dan daftar organisasi-organisasi yang memiliki kapasitas melakukan pendidikan politik) untuk menjadi kekayaan bersama Melakukan review terhadap materi yang berhasil memberikan komentar untuk kebutuhan produksi katalog dikumpulkan,
Mendistribusikan informasi tentang kekayaan yang dimiliki, terutama lewat web-site, dan bila dimungkinkan juga penyebaran katalog Memfasilitasi interkoneksi antar kelompok/institusi, yang membutuhkan dengan yang memiliki (berfungsi sebagai hub, misalnya antara lembaga yang membutuhkan materi/ketrampilan melakukan pendidikan politik dengan yang memang memiliki materi/ketrampilan tersebut), lewat berbagai jenis komunikasi/interaksi (email, telepon, penyediaan kesempatan bertemu). Menyelenggarakan pertemuan-pertemuan yang berfungsi sebagai media pembelajaran bersama dalam rangka menguatkan kapabilitas yang sudah ada Menyusun dan memproduksi pembelajaran yang berasal dari pengalaman-pengalaman anggota dan mengemasnya menjadi jurnal untuk didistribusikan secara meluas
Lokasi
Halaman 43
Potensi sharing dan pembelajaran bersama akan lebih mudah dan murah dilakukan bila dilakukan pada tataran regional. Oleh karena itu disarankan untuk membuka Center yang bersifat regional, dengan pembagian wilayah: Sumatera, Sulawesi dan Maluku, Kalimantan, Jawa, wilayah kepulauan BaliNTB-NTT, dan Papua. Selain soal ongkos, pemecahan Center semacam ini juga potensial memunculkan kreatifitas dari regio masing-masing dan makin memperkaya koleksi materi, dan khususnya metode yang didorong di tiap-tiap regio. Selain di tingkat regio, masih dibutuhkan sebuah Center tingkat nasional, yang lebih berfungsi sebagai simpul pendinamisir hubungan antar regional. Center tingkat nasional bertugas memperlancar proses sharing & learning antar regional. Disamping itu, Center di tingkat nasional juga dapat berfungsi untuk memproses kesepakatan-kesepakatan bersama tentang nilai, prinsip-prinsip dasar, bahkan baku mutu bagi materi-materi pokok tentang V/E/C Education. Meski diusulkan bahwa center setidaknya ditempatkan pada level regional, bila dimungkinkan (dari sudut sumber-sumber daya), perlu dipikirkan upaya untuk membentuk sebuah center di tingkat Kabupaten/Kota. Sebuah center akan semakin efektif termanfaatkan oleh komunitas yang ingin dilayaninya ketika berjarak cukup dekat. Fungsi sebagai clearing-house, sekaligus sebagai hub untuk pembentukan peer of learning bagi dan antar komunitas, terutama dalam rangka memperkuat sistem representasi dan akuntabilitas, akan makin meningkat bila center ada di tataran Kabupaten/Kota. Siapa terlibat? Setting multi-stakeholder penting bagi sebuah Center yang mendorong penguatan kualitas V/E/C Education. Beberapa pihak yang dianggap pokok untuk terlibat adalah Lembaga Pemerintah terkait (nasional dan regional) seperti KPU, Depdagri, Depdikbud; Civil Society Organizations (OMS); dan Akademisi/Experts. Mengingat bahwa KPU memiliki mandat untuk mengkoordinasikan segala upaya V/E/C Education, patut ditinjau peluang lembaga ini dalam hal mendorong terbentuknya center. Bentuk organisasi Berbasis ke-anggota-an, dimana anggota berkewajiban untuk berbagi materi dan keahlian V/E/C Education untuk bisa dimanfaatkan oleh Center, dan untuk itu mereka berhak memperoleh pelayanan berupa kesempatan memperluas relasi dan memperbesar potensi kolaborasi. Dimungkinkan pula bagi Center untuk memberi pelayanan pada bukan anggota, namun tentu dengan beberapa keterbatasan (misal: anggota tak membayar pelayanan, non-anggota membayar pelayanan; anggota memperoleh akses tak terbatas terhadap informasi organisasi, non-anggota hanya memperoleh akses terhadap informasi yang sudah dinyatakan milik publik).
Halaman 44
Pendanaan Mengingat bahwa V/E/C Education sebenarnya merupakan tanggung-jawab Pemerintah, maka diupayakan agar sebagian besar pendanaan berasal dari Anggaran Negara. Jenis-jenis pendanaan lain yang bisa diusahakan berasal dari: perusahaan (dari program-program yang bernuansa Corporate Social Responsibility), kontribusi OMS, maupun dari lembaga-lembaga donor/organisasi internasional.
Bagaimana memproses? Sebuah proses konsultasi yang relatif meluas perlu dilakukan sebelum mengerucutkan ide pembentukan Center ini. Refleksi atas penyelenggaraan program-program V/E/C untuk Pemilu 2009 bisa menjadi wahana dalam memproses konsultasi ide pembentukan Center. Bila ide ini diterima secara meluas, perlu dilanjutkan dengan pertemuan untuk membahas platform bersama dan tindak-lanjut, dengan melibatkan organisasi-organisasi yang sudah mengembangkan dan memiliki pengalaman dalam melakukan V/E/C Education. Bila tak memungkinkan untuk mengundang seluruh pihak sampai ke tingkat lokal, cukup mengupayakan kehadiran wakil-wakil yang dipercaya oleh tiap regional dan jaringan nasional dari berbagai mitra lokal. Proses diatas sangat penting dilakukan, sebagai upaya agar ide pembentukan Center menjadi milik banyak pihak dan didorong sebagai gagasan bersama. Pemanfaatan Center secara efektif akan sangat tergantung dari penerimaan banyak pihak, sejak gagasan ini digulirkan.
Halaman 45
Lampiran 1: Substansi dan Strategi Penyampaian Pesan V/E/C Education di Pemilu 2009
Output Content Targets Approach/methods Period of Deliver y 2 bulan sebelum Hari H Pemilu 2009 Potential organizers
1. Meningkatnya pemahaman warga negara mengenai perubahan Sistem Pemilu dan menguatnya ketrampilan mereka untuk memilih dalam Pemilu dan mengawasi jalannya Pemilu sesuai Peraturan Perundangan yang berlaku (VOTER EDUCATION)
1.1 Standard information on Election, i.e: Prosedur pendaftaran, pencoblosan dan penghitungan suara; waktu penyelenggaraa n Pemilu; Lokasi TPS
Masyaraka t umum
Media campaign melalui: iklan layanan di koran (daerah), radio sampai radio komunitas, televisi. Untuk media radio dan televisi, harus dipastikan bahwa iklan layanan disisipkan pada prime-time. Text-messaging di TV dan ad-lips radio, dalam acara-acara yang relatif digemari masyarakat Poster dan brosur yang dipasang di (atau disebarkan lewat) RT/RW, Kantor Desa/Dusun, organisasi masa, serikat-serikat (seperti: serikat buruh, serikat petani, aliansi masyarakat adat) Produksi CD yang dipasang (atau disebarkan lewat) RT/RW, Kepala Desa/Dusun, organisasi masa, serikat-serikat; selain itu juga dipasang sebagai bagian dari pemutaran film keliling, terutama di wilayah pedesaan yang jarang bisa dijangkau oleh media lain. Untuk produksi CD ini, KPU berkewajiban untuk memberikan pengarahan khusus tentang penggunaan CD kepada institusi-institusi yang diminta membantu dalam penyebarannya (Membuat diskusi khusus, dimana CD ditayangkan, dan diberi kesempatan tanya-jawab. Proses ini juga didokumentasikan dengan baik, dalam bentuk CD). Bagi serikat dan organisasi masa, cukup mengundang afiliasi tingkat nasional mereka,
Halaman 46
sementara bagi Kepala Desa/Dusun, bisa berkumpul di tingkat kecamatan, dan kemudian mereka bertanggung-jawab mengumpulkan RT/RW di wilayahnya. Pemilih Pemula Simulasi di sekolah-sekolah, yang dilanjutkan dengan diskusi tentang simulasi tersebut. Simulasi ini bisa dinegosiasikan menjadi bagian dari kurikulum pendidikan yang sejenis. Semacam tryout dari pendidikan demokrasi di sekolah-sekolah 2 bulan sebelum Hari H Pemilu 2009
OMS yang
memang sudah memiliki education programs for youth Depdikbud ( ijin khusus voter education sebagai bagian dari kurikulum pendidikan)
Simulasi di pusat pemerintahan terdekat (dusun, kampung, gampong, dll), yang dilanjutkan dengan diskusi tentang simulasi tersebut. Khusus untuk perempuan, bisa juga dilakukan simulasi pada kumpulan-kumpulan pengajian atau kantor koperasi/credit union perempuan Selain pemasangan/penyebaran poster dan brosur, perlu ditambah dengan penyediaan pusat informasi Pemilu yang relatif dekat dengan lokasi wilayah mereka yang bisa memberikan jawaban bila ada pertanyaan Pemasangan CD memanfaatkan kegiatan kolektif yang biasa dilakukan tiap-tiap kelompok marjinal dikampung/komunitasnya (seperti: pengajian, musyarawarah kelompok, pertemuan kampung, dan sebagainya)
Organisasi yang memayungi radio komunitas OMS yang sudah lama melakukan pengorganiasian di komunitas marginal dan memiliki jaringan kerja cukup luas Bekerja-sama dengan Kepala Desa/Dusun/ Gampong
Halaman 47
selalu disertai dengan caption bahasa isyarat Brosur khusus berbahasa braile yang disebarkan lewat RT/RW dan organisasi yang khusus memberikan pelayanan pada kelompok Difabel
Output
Content
Targets
Approach/methods
Potential organizers
1. Meningkatnya pemahaman warga negara mengenai perubahan Sistem Pemilu dan menguatnya ketrampilan mereka untuk memilih dalam Pemilu dan mengawasi jalannya Pemilu sesuai Peraturan Perundangan yang berlaku (VOTER EDUCATION)
1.2 Tupoksi organisasiorganisasi yang menyelenggarakan/ terlibat dalam Pemilu dan hak-hak warga untuk mendaftar dan memantau pelaksana-an Pemilu dan penghitungan suara. Kemana harus melaporkan hasil pantauan dan seperti apa tindak-lanjut dari laporan warga
Masyarakat umum
Media campaign melalui: - Ad-lips radio yang berskala nasional - Ad-lips televisi - Talkshow radio dan televisi Brosur yang disebarkan lewat lewat RT/RW dan Kepala Desa/Dusun, juga melalui forum-forum warga yang sudah ada selama ini, dan organisasi-organisasi masa dan serikat-serikat (serikat buruh, serikat petani, aliansi masyarakat adat, dan sebagainya) Penyelenggaraan dialog-dialog publik dan forum-forum warga, yang berkaitan dengan hak warga memantau proses penyelenggaraan Pemilu Pembuatan CD tentang Tupoksi dan hak warga memantau penyelenggaraan Pemilu, disebarkan sebagaimana brosur diatas, juga lewat pemutaran film keliling khusus untuk wilayah pedesaan yang kurang memiliki akses terhadap jenis hiburan lain
penyelenggara Pemilu di berbagai wilayah Organisasiorganisasi yang terkait dengan media masa Organisasi payung bagi pengusahapengusaha film keliling Organisasi jaringan berskala nasional, seperti federasi, organisasi masa, serikat-serikat, dan sebagainya
Halaman 48
Pemilih Pemula
Media campaign seperti diatas, dengan perbedaan: adlips radio dilakukan di radio-radio lokal yang digemari oleh anak muda (dibawakan penyiar kesayangan mereka) adlips televisi, dibawakan oleh group band/penyanyi kegemaran mereka di acara-acara televisi (misal: manfaatkan acara Peter Pan live); talk-show televisi dan radio, dengan pembicara adalah group band/penyanyi/artis kegemaran anak muda Penyebaran brosur khusus via sekolah-sekolah. Brosur dengan warga dan design yang unik akan lebih disukai Diskusi-diskusi disekolah dan training/simulasi khusus pemantauan Pemilu, menggantikan materi tentang PMP
Organisasi yang terkait dengan media masa OMS yang memang sudah memiliki education programs for youth Depdikbud
Media campaign melalui ad-lips radio, terutama di radio-radio lokal/radio komunitas Penyebaran brosur khusus dengan bahasa daerah setempat lewat pengorganisasian komunitas dan lewat organisasi komunitas yang sudah ada (misal: serikat tani, PKK) Dialog-dialog kampung khusus maupun memanfaatkan pertemuan-pertemuan kampung yang sudah ada/terjadwal, seperti musyawarah desa, pengajian, pertemuan koperasi desa. CD bisa diputar disini Training/simulasi khusus tentang apa-apa saja yang bisa dipantau selama penyelenggaraan Pemilu dan kemana hasil pantauan bisa
Organisasi yang terkait dengan media masa OMS yang sudah lama melakukan pengorganiasian di komunitas marginal dan memiliki jaringan kerja cukup luas Bekerja-sama dengan Kepala Desa
Halaman 49
diberikan People with different abilities (Difabel) Media campaign sama dengan untuk masyarakat umum, dengan kekekhusuan: Penyediaan caption bahasa isyarat untuk semua jenis campaign via televisi Ad-lips radio di radio-radio lokal selalu juga disertai materi yang menyangkut hak yang sama bagi difabel Penyebaran brosur khusus huruf braile untuk yang buta Dialog-dialog dengan Difabel, memanfaatkan pengorganisasian oleh kelompok-kelompok ini sendiri (misal: ada Yayasan Netra yang khusus didirikan untuk memperkuat kemampuan penderita tuna-netra) 6 bulan sebelum Hari H Organisasi yang terkait dengan media masa OMS yang sudah cukup lama melakukan pengorganisasia n di komunitas difabel Bekerja sama dengan RT/RW/Kepala Desa untuk pendataan
Output
Content
Targets
Approach/methods
Potential organizers
Masyarakat Umum
jaringan kerja cukup luas berskala nasional (catatan: jaringan kerja belum
Halaman 50
tentu dari organisasi yang sama) Organisasi yang terkait dengan media masa (koalisi media, dan sebagainya) 6 bulan sebelu m Hari H
Pemilih Pemula
Diskusi di sekolah-sekolah, dengan mendatangkan artis/penyanyi/group band kesayangan mereka sebagai penarik diskusi. Produksi poster khusus dan/atau pin (dengan design gambar lebih banyak dari kata-kata) yang disebarkan saat melakukan diskusi Training/simulasi tentang proses pemantauan Pemilu dan melaporkan hasilnya
menayangkan talkshow radio di radio-radio lokal/radio komunitas Dialog-dialog kampung/komunitas dan dialogdialog khusus bagi perempuan, memanfaatkan pertemuan-pertemuan/ acara komunitas yang memang sudah eksis (misal: banjar, forum warga bulanan, musyawarah desa, pengajian, pertemuan koperasi) Produksi poster berbahasa daerah setempat
Jaringan radio lokal/radio komunitas OMS yang memiliki basis pengorganisasian jelas
Output
Content
Targets
OMS yang sudah cukup lama melakukan pengorganisasian di komunitas difabel Bekerja sama dengan RT/RW/Kepala Desa untuk pendataan Potential organizers
2. Menguatnya
2.2 Sistem
Masyarakat
sebelu m Hari H
jaringan kerja cukup luas berskala nasional (catatan: jaringan kerja belum tentu dari organisasi yang sama) Organisasi yang terkait dengan media masa (koalisi media, dan sebagainya)
Pemilih Pemula
sudah memiliki education programs for youth Depdikbud OMS yang memiliki basis pengorganisasian jelas
Dialog-dialog kampung/komunitas dan dialogdialog khusus bagi perempuan, memanfaatkan pertemuan-pertemuan/ acara komunitas yang memang sudah eksis (misal: banjar, forum warga bulanan, musyawarah desa, pengajian, pertemuan koperasi). Akan baik bisa menghadirkan KPUD Simulasi tentang sistem representasi sebagai bagian dari dialog Dialog-dialog dengan kelompok Difabel Penyebaran brosur khusus berhuruf braile Penyediaan fasilitas khusus sebagai pusat informasi, tempat bertanya (mendidik secara khusus fasilitator dari komunitas masingmasing sebagai pengelola pusat informasi) Approach/methods
Potential organizers
2. Menguatnya
2.3 Makna
Masyarakat
sebelu m Hari H
jaringan kerja cukup luas berskala nasional (catatan: jaringan kerja belum tentu dari organisasi yang sama) Organisasi yang terkait dengan media masa (koalisi media, dan sebagainya)
Pemilih Pemula
Halaman 53
sampai ke regional (daerah pemilihan) tertentu untuk menyusun/merumuskan secara jelas problem dasar yang dihadapi warga dan demand terhadap peserta Pemilu Event khusus, menggabungkan antara bazaar dengan exhibition, dan meminta warga yang hadir untuk menulis demandnya dalam spanduk yang sangat panjang atau dalam lembaran daun-daun yang kemudian dibentuk menjadi pohon harapan. Dilanjutkan dengan pressconference dan press-release oleh Panitia Penyelenggara untuk memastikan harapanharapan itu dimuat di media masa. Fasilitasi kelompok-kelompok dalam membuat kontrak politik dengan peserta Pemilu Media campaign berbentuk: Dialog dengan Parpol dan calon Presiden/Wakil Presiden tanggapan terhadap pohon/spanduk harapan Penyiaran harapan Idem atas yang dimulai dari sekolah dan kemudian antar sekolah
jaringan kerja cukup luas berskala nasional (catatan: jaringan kerja belum tentu dari organisasi yang sama) Organisasi yang terkait dengan media masa (koalisi media, dan sebagainya)
Pemilih Pemula
Idem atas
sudah memiliki education programs for youth Organisasi yang terkait dengan media masa
basis pengorganisasian jelas Organisasi yang terkait dengan media masa Idem atas
Idem atas untuk tiap-tiap kelompok difabel dan berjenjang dari tingkat desa sampai daerah pemilihan tertentu
Halaman 54
peserta Pemilu berdasarkan daerah pemilihannya, dan kemudian tiap-tiap daerah pemilihan membahas calon-calon yang spesifik berasal dari wilayah pemilihan tersebut Media campaign berbentuk: Sisipan khusus dalam koran lokal Ulasan calon secara berseri di televisi dan radio lokal Debat peserta Pemilu secara berseri untuk mengetengahkan program-program pembangunan yang akan diluncurkan Dialog-dialog warga, membahas tentang sisipan khusus maupun berita tentang ulasan calon di televisi dan radio lokal Media campaign, memanfaatkan acara yang digemari dan mengundang peserta Pemilu yang ikut perdebatan, dan mendatangkan first-time voters untuk mengajukan pertanyaanpertanyaan yang lebih fokus Dialog di sekolah, membahas peserta Pemilu, dan merumuskan pertanyaan-pertanyaan pokok yang harus diajukan ketika bertemu dengan peserta Pemilu tersebut Dialog warga dengan simulasi memanfaatkan indikator untuk mengukur potensi calon-calon. Sekaligus mendiskusikan pertanyaanpertanyaan kunci yang harus diajukan pada peserta Pemilu Mengajak peserta Pemilu untuk langsung berdialog dengan warga tentang program kerja mereka
Kolaborasi antar OMS yang melayani daerah pemilihan tertentu (masing-masing punya target untuk mengulas peserta tertentu, dan hasilnya dikumpulkan, diverifikasi secara bersama, sampai betulbetul mendapat informasi yang valid
Pemilih Pemula
Hasil dari kolaborasi diatas dimanfaatkan oleh OMS yang secara khusus punya pengalaman dengan youth
Hasil dari kolaborasi diatas dimanfaatkan oleh OMS yang memang memiliki basis yang jelas dengan komunitas marginal tertentu
Halaman 55
Output
Content
3. Berkembang -nya kapasitas warga negara untuk berpartisipa si dalam prosesproses politik, termasuk dalam pengambila n keputusan publik dan pengemban gan rencana pembangun an daerah yang mempengar uhi kehidupann ya (CIVIC
3.1 Peran-peran warga selepas Pemilu dan berbagai proses/forum pengambilan keputusan yang bisa dimanfaatkan warga untuk berpartisipasi dalam penentuan kebijakan publik 3.2 Kapasitas yang perlu dimiliki oleh warga sehingga mampu berkontribusi (atau memberikan pengaruh) secara signifikan dalam proses penentuan kebijakan dan proses implementasi program-program pembangunan 3.3 Pertanggungjawaban pejabat publik kepada warga negara
People with
different abilities (Difabel) Pemilih Pemula Komunitas Marjinal, temasuk wanita.
Pendidikan politik Dialog-dialog warga Dialog antara warga dengan pejabat dan wakil rakyat setempat Pengorganisasian Pelibatan warga dalam proses-proses menyusun kebijakan daerah
Potential organizers
memiliki program pendidikan politik dan/atau melakukan pengorganisasian basis Department pemerintah terkait (Depdagri) Partai politik
People with
different abilities (Difabel) Pemilih Pemula Komunitas Marjinal, temasuk
memiliki program pendidikan politik dan/atau melakukan pengorganisasian basis Department pemerintah terkait (Depdagri) Partai politik
Media campaign rakyat bertanya, pemimpin menjawab Penyediaan compaint center Dialog-dialog warga Film/sinetron
Halaman 56
People with
different abilities (Difabel) Pemilih Pemula Komunitas Marjinal, temasuk wanita.
basis Department pemerintah terkait (Depdagri) Partai politik Pendidikan politik berjenjang Pengorganisasian kelompok pendukung Dialog-dialog warga Film/Sinetron Setelah Pemilu 2009
People with
different abilities (Difabel)
memiliki program pendidikan politik dan/atau melakukan pengorganisasian basis Department pemerintah terkait (Depdagri) Partai politik
Halaman 57
Halaman 58