Belum habis ingatan pada penyelesaian krisis 1997/1998 yang meninggalkan beban BLBI, kasus Century yang penyelesaiannya bertele-tele, membuat DPR menilai bahwa pengawasan bank, nonbank dan pasar modal masih kurang kuat sehingga realisasi RUU Otoritas Jasa Keuangan pun menjadi mengemuka. Di sisi lain, penyelesaian kasus-kasus pasar modal dan lembaga nonbank juga masih mengundang pertanyaan seperti kasus Sarijaya, Optima, dan Antaboga. Masyarakat korban penawaran investasi produk pasar modal, nonbank dan pasar modal yang dijual secara langsung melalui perusahaan sekuritas/manajer investasi maupun dijual lewat bank juga tak mau disalahkan jika mereka rugi karena kekurangtelitian, ataukah memang pengelola dananya yang beriktikad buruk. Ditambah dengan 'bumbu' politik, maka regulasi dan pengawasan sektor keuangan dinilai krusial melihat potensi pelanggaran yang dapat dilakukan oleh lembaga keuangan. Bagaimanapun, perkembangan kompetisi di sektor keuangan mendorong institusi individu untuk terus melakukan inovasi produk. Namun, inovasi yang dilakukan terkadang melanggar ketentuan karena desakan kompetisi dan keserakahan. Pelanggaran potensial lainnya meliputi laporan yang tidak transparan, insider trading, dan pencucian uang. Apalagi praktik arbitrase peraturan dilakukan oleh lembaga keuangan dengan menciptakan produk yang regulasi pengawasannya lebih longgar atau parsial. Hadirnya beberapa lembaga pengawas berpotensi menciptakan arogansi sektoral (turI wars) dan pengalihan tanggung jawab (pass the buck), sehingga penerapan peraturan tidak eIektiI. Selain itu, duplikasi proses pengambilan dan pengolahan data menyebabkan penerapan aturan yang tidak eIisien antara lembaga pengawas. Pengalihan wewenang/pengalihan kesalahan juga dapat muncul apabila terdapat beberapa lembaga pengawas keuangan sekaligus. Oleh karena itu, pembentukan lembaga pengawasan ditujukan untuk meningkatkan netralitas persaingan antarlembaga pengawas. Namun, netralitas bukan berarti pengawasan harus disatukan. Kemudian terdapat pandangan bahwa praktik keuangan di Indonesia sudah seperti negara- negara yang memiliki universal banking. Di mana produk-produknya merupakan produk hibrida antara produk bank dan lembaga keuangan lain sehingga pengawasan lembaga keuangan menjadi krusial untuk berada dalam satu atap karena produk-produk yang dihasilkan lembaga-lembaga keuangan sudah sedemikian menyatu, sehingga sulit menentukan apakah suatu produk keuangan termasuk produk keluaran perbankan atau nonperbankan. Sementara itu, di Indonesia, data menunjukkan bahwa mayoritas bank adalah bank komersial dan jikapun terdapat produk hibrida, jumlahnya masih sedikit dibanding dana di sektor perbankan. manat UU Dalam dua seri diskusi terbatas dan tertutup, salah satu anggota DPR dan wakil pemerintah yang sama-sama mengurusi RUU OJK menegaskan bahwa pemerintah membuat RUU OJK tersebut tak lain karena alasan amanat UU dan demikian pula pembahasan oleh DPR yang kini membentuk Pansus OJK. Struktur pengawasan sistem keuangan berdasarkan industri Negara Populasi (dalam juta) Perbankan suransi Pasar modal Keterlibatan bank sentral Bangladesh 162,22 CB CB S Jerman 81,76 FSA FSA FSA Ya Prancis 65,45 FSA FSA FSA Ya Inggris 62,04 CPMA CPMA CPMA Ya Italia 60,34 CB I S Ya Spanyol 46,03 CB I S Ya Australia 22,38 FSA FSA FSA Belanda 16,62 CB IS IS Ya Belgia 10,83 BSS IS BSS Ya Portugis 10,64 CB I S Ya Swedia 9,35 FSA FSA FSA Ya Austria 8,37 FSA FSA FSA Ya Denmark 5,54 FSA FSA FSA Tidak Finlandia 5,36 BSS IS BSS Ya Singapura 4,99 FSA FSA FSA Tidak Irlandia 4,46 CB G CB Ya Luksemburg 0,50 BS I BS Tidak Sumber: Darlap & Grnbichler (2003) Ket.: FSAPengawasan Terpadu, CBBank Sentral B, I, Spengawas khusus untuk perbankan (B), asuransi (I) dan pasar modal (S) bisa kombinasi ketiganya, G departemen pemerintah CPMA Consumer Protection and Market Authority Mereka mengakui bahwa sebenarnya amanat UU tersebut bukan harga mati dan dapat dikaji kembali jika dikaitkan dengan kondisi terakhir pascapembubaran OJK di Inggris dan penguatan Iungsi pengawasan bank di beberapa negara maju lainnya. Adalah UU No. 23/1999 dan kemudian disempurnakan melalui UU No. 3/2004 yang mengamanatkan Iungsi pengawasan perbankan akan dialihkan ke Lembaga Pengawas Jasa Keuangan (LPJK) independen atau sering disebut dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sesuai dengan UU 3/2004, OJK harus terbentuk selambat-lambatnya 31 Desember 2010 sebagai lembaga independen yang mengawasi lembaga keuangan, baik bank maupun bukan bank, seperti perusahaan sekuritas, anjak piutang, sewaguna usaha, modal ventura, perusahaan pembiayaan, reksa dana, asuransi, dan dana pensiun serta lembaga lain yang berkegiatan mengumpulkan dana masyarakat. Pembentukan OJK tidak terlepas dari situasi di perekonomian dunia pada saat terjadi krisis ekonomi di tahun 1997/1998. Bank Indonesia dipandang tidak optimal dalam melakukan Iungsi pengawasan karena pada saat itu terbukti banyak bank kolaps karena salah urus dan salah awas. Data menunjukkan bahwa ada lima bentuk pengawasan perbankan, nonbank dan pasar modal yaitu institusional (berdasarkan status badan hukum dari yang akan diawasi), Iungsional (berdasarkan transaksi bisnis), integrasi (pengawasan tunggal), twin peaks (berdasarkan objektiI) dan bentuk perkecualian seperti AS. Kelima bentuk struktur pengawasan yang ada dan telah diterima secara global meskipun tidak ada contoh negara yang menerapkan sama persis sesuai dengan pendekatan tersebut. Setiap pendekatan tersebut distrukturisasi berdasarkan keunikan sejarah, politik, budaya, perkembangan ekonomi, dan struktur bisnis lokalnya. Maka, keeIektiIan dalam penerapannya untuk setiap negara lebih didasarkan pada ke-unikan Iaktor-Iaktor lokalnya. Konsensus yang berlaku menyatakan bahwa pemilihan pendekatan mana yang sesuai dalam pembentukan struktur model pengawasan sistem keuangan haruslah berdasarkan pada: (i) kebutuhan untuk mengkonsolidasi dan meringkas sebuah struktur yang kompleks, (ii) penekanan pada kejelasan prinsip-prinsip dasar regulasi, (iii) kebutuhan untuk menjalankan koordinasi internasional terkait dengan standar dan regulasi, (iv) adanya peraturan yang Ileksibel untuk mengadaptasi jenis institusi baru dan instrumen keuangan baru, (v) adanya independensi antarpolitik antara pasar dalam otorisasi regulasi nasional, (vi) peran bank sentral dalam penciptaan stabilitas keuangan harus didukung oleh otoritas dan kapasitas yang cukup, (vii) kualitas sumber daya manusia yang memiliki integritas dan kompetensi. Martinez dan Rose (2003) membuat penelitian dan menunjukkan bahwa negara dengan penduduk tidak besar seperti Kanada dan negara-negara skandinavia menerapkan pengawasan tunggal, sedangkan negara dengan penduduk besar menerapkan pengawasan nontunggal. Selain itu Kawai dan Pomerleano (2010) mengungkapkan ada 28 negara yang menerapkan pengawasan tunggal, 54 lainnya pengawasan nontunggal. eban & risiko Pembentukan OJK tidak terlepas dari persiapan biaya yang dibutuhkan baik biaya pendirian, operasional maupun biaya transaksi. Biaya transaksi tersebut meliputi biaya legalitas, sumber daya (manusia dan teknologi), dan Iaktor eksternal. Sebagai contoh, penyatuan lembaga memerlukan peraturan perundangan, standard operating procedure, dan rule oI the game yang baru. Peralihan sumber daya manusia dan teknologi dari BI dan Bapepam- LK ke OJK akan mengeluarkan biaya. Selain biaya transaksi yang tinggi, Martinez dan Rose (2003) menunjukkan biaya waktu yang dihadapi oleh lembaga pengawas di 14 negara yaitu waktu menyangkut penetapan struktur organisasi, kerangka hukum, rencana strategik, penyatuan sistem IT, alokasi pegawai, integrasi proses penganggaran, dan penetapan pemimpin di setiap divisi. Proses penggabungan tidak mudah karena muncul masalah demoralisasi pegawai, biaya IT yang mahal dan biaya operasional lainnya. Waktu penyesuaian penyatuan lembaga pengawas berada pada kisaran 0,7 tahun sampai dengan 2 tahun. Menurut Seelig (2009) pada umumnya ada dua risiko yang terkait erat dengan pembentukan OJK, yaitu risiko pada masa transisi dan risiko penanganan krisis. Pelaksanaan pengalihan Iungsi pengaturan dan pengawasan bank dari BI kepada OJK perlu dilakukan saksama agar tidak menimbulkan gangguan pada kontinuitas pelaksanaan pengawasan bank. Masalah terkait SDM menjadi kunci penting dalam masa transisi terutama terkait dengan bentuk organisasi yang baru, kesetaraan jabatan, remunerasi, jenjang karir dan pengembangan kompetensi. Selain itu, eIisiensi dan arus inIormasi pelaporan harus menjadi hal yang diperhatikan dalam masa transisi pengalihan Iungsi pengawasan dari BI kepada OJK. Hal yang sama untuk Bapepam-LK. Pada saat lembaga baru belum mapan dan terjadi kejutan eksternal, sektor keuangan akan mendapatkan dampak buruk. RUU OJK menyebutkan masa transisi selama 3 tahun dengan catatan selama 2 tahun APBN akan menanggung biaya pengeluaran pengawasan nonbank, dan pasar modal selama 2 tahun dan BI menanggung biaya pengawasan bank selama 3 tahun. Selanjutnya OJK akan dibiayai iuran dari industri yang diawasi. Teori yang dapat menjelaskan pemberlakuan iuran oleh OJK adalah theory oI clubs. Pada awal kemunculannya, teori tersebut mempelajari ukuran optimal suatu kelompok yang mengonsumsi barang atau jasa secara bersamaan dan penyediaan optimal dari barang dan jasa tersebut. Konsumsi barang atau jasa secara bersamaan dapat menciptakan economies oI scale bagi penyedia. Di lain pihak, konsumsi tersebut menimbulkan biaya yang ditanggung bersama oleh kelompok tersebut. ManIaat dan biaya yang muncul dan ditanggung bersama merupakan sebuah network eIIects (Lacker, 2006). Dalam konteks sektor keuangan, lingkup lembaga keuangan saat ini menciptakan economies oI scale bagi OJK dalam menjalankan kegiatan. Biaya yang timbul dari pengawasan sektor keuangan akan ditanggung oleh lembaga keuangan. Namun, apa manIaat yang dapat diperoleh konsumen? Pertanyaan tersebut muncul karena besar kemungkinan konsumen ikut menanggung beban iuran lembaga keuangan kepada OJK. Tentu saja manIaat yang diperoleh konsumen adalah investasinya aman atau meminimalkan risiko kegagalan lembaga keuangan akibat kesalahan struktural maupun sistemik. Dengan demikian diperlukan kajian mengenai model pendanaan yang sesuai dengan harapan industri maupun kon-sumen/masyarakat yaitu model pem-biayaan yang memi-nimalisasikan penyalahgunaan. Iuaran adalah hal yang sensitiI dan dari awal ditentukan sehingga semua industri dapat membuat prakiraan. Pertimbangan Tidak dapat dimungkiri ada pertimbangan ekonomis dan politik dalam mengurusi lembaga pengawas keuangan dan dalam praktiknya pembentukan lembaga pengawas akan menemui hambatan seperti yang diidentiIikasi oleh Abrams dan Taylor (2000) bahwa, pertama, terdapat praktik kekuatan politik yaitu politikus yang memiliki kekuatan politik kuat cenderung menilai pembentukan lembaga pengawas sebagai sebuah kesempatan untuk meningkatkan pengaruhnya di pemerintahan. Oleh karena itu, politikus itu berusaha untuk mendapatkan jabatan di lembaga pengawas tersebut. Apalagi jika lembaga yang baru adalah lembaga independen. Kedua, adanya tarik-menarik kepentingan karena penciptaan lembaga pengawas baru membutuhkan peraturan baru. Penyusunan peraturan baru cenderung diwarnai kesenjangan waktu yang relatiI lama dan tarik-menarik kepentingan politik. Tidak hanya tarik-menarik kepentingan antardepartemen, dalam komisi di dewan perwakilan juga akan melibatkan lintas komisi. Ketiga, adanya potensi kehilangan kapabilitas karena SDM kunci yang menilai proses pembentukan lembaga pengawas adalah sulit dan perlu waktu. Keempat, adanya proses change management yang rumit karena jajaran pimpinan/manajemen mendapatkan tantangan berat dalam proses pembentukan lembaga pengawas tunggal dari beberapa lembaga. Masalah budaya dan lingkungan kerja serta gaya kepemimpinan dapat timbul secara signiIikan. Terlepas dari proses politik maka hendaknya lembaga pengawas keuangan yang dibentuk memiliki empat tujuan yaitu: keamanan dan ketahanan, pencegahan risiko sistemik, keadilan dan eIisiensi pasar, perlindungan terhadap konsumen dan investor. Tujuan pertama dicapai melalui penerapan peraturan yang ketat dan prinsip kehati-hatian yang mengedepankan pendekatan persuasi. Tujuan pencegahan risiko sistemik merupakan tantangan bagi pengawas yang diberi mandat karena penyebab risiko sistemik tidak dapat diprediksi sehingga Iungsi pengawasan makro dan mikro sulit dipisahkan. Pencapaian tujuan ketiga lebih kepada pendekatan penegakan aturan yang meliputi sanksi, denda, pembekuan usaha, pencabutan izin usaha, dan hukuman lainnya. Pendekatan keempat adalah dengan menegakkan perlindungan konsumen. Tampak bahwa tidaklah mudah mengurus pengawasan bank, nonbank dan pasar modal baik itu secara terpisah, semi terpisah maupun secara terintegrasi. (rofikoh.rokhimbisnis.co.id) Oleh #ofikoh #okhim Kepala Bisnis Indonesia Intelligence Unit dan StaI Pengajar FEUI
BI ternyata beranggapan apabila rumusan RUU OJK tersebut diimplementasikan maka akan menimbulkan kerentanan dalam sistem keuangan yang berpengaruh terhadap perekonomian nasional. "Beberapa aspek yang dapat menimbulkan instabilitas sistem keuangan diantaranya yakni kebijakan pengendalian nilai tukar berpotensi meleset disebabkan terbatasnya inIormasi kondisi individual bank dan transaksinya," jelas BI. Hal itu tertuang dalam artikel Pemikiran Bank Indonesia Tentang Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan yang dirilis Bank Indonesia, Senin (23/08/2010) BI juga menilai kebijakan pengendalian inIlasi dapat terganggu karena tidak adanya data cepat, lengkap dan akurat. Bank sentral juga menyatakan jika RUU OJK diimplementasikan maka semakin terbatasnya eIektiIitas kebijakan suku bunga Bank Indonesia untuk mendorong penurunan suku bunga kredit. "Terganggunya Iungsi makroprudensial bank sentral karena keterbatasan akses dan birokrasi terhadap neraca lembaga keuangan (data mikro). Serta timbulnya ego sektoral antara bank sentral dan OJK memicu kegagalan koordinasi sehingga mengganggu penciptaan kebijakan yang cepat-lengkap-tepat khususnya pada saat krisis," papar BI. Ketakutan BI lainnya adalah yakni mengenai Early Warning System yang dinilainya tidak akan eIektiI akibat keterbatasan inIormasi yang siIatnya real-time untuk memonitor simpul- simpul kerawanan. Maka dari itu, Bank Indonesia mengusulkan Iormat struktur pengawasan lembaga keuangan yang dapat menjawab amanat pasal 34 UU BI dan permasalahan implementasi jika RUU-OJK yang diajukan Pemerintah disetujui. "Usulan Bank Indonesia adalah pengalihan pengawasan bank dari Bank Indonesia sesuai pasal 34 UU BI kepada lembaga pengawas perbankan sebagai badan otonom di Bank Indonesia yang dinamakan Dewan Pengawasan Bank yang terpisah dari Dewan Gubernur," tutup BI. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memandang usulan yang disampaikan Bank Indonesia (BI) mengenai skema pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak independen. Padahal pembentukan OJK pada dasarnya untuk membangun independensi dari lembaga pengawas jasa keuangan. Demikian diungkapkan oleh Ketua Pansus OJK Nusron Wahid usai Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Bank Indonesia di Gedung DPR-RI, Senayan, Jakarta, Senin (23/08/2010). "Kita itu pada dasarnya ingin memisahkan dimensi moneter dan perbankan, tapi melihat usulan BI itu sama saja. Pengawasan masih di bawah BI, bagaimana mungkin bisa dibilang independen," ujar Nusron. Menurutnya, jika pengawasan masih di bawah Gubernur BI maka bank sentral tidak akan bisa untuk mementingkan kepentingan moneter. "Namun karena merupakan usulan kita pasti menerima apakah nantinya diterapkan atau tidak akan direnungkan kembali. Intinya usulan tersebut akan menjadi bahan masukan bagi DPR," ungkap Nusron. Lebih lanjut Nusron mengatakan, ada hal yang positiI dari pembicaraan dengan BI. Antara lain, lanjut Nusron yakni pentingnya interkoneksitas antara BI dengan lembaga-lembaga perbankan. "Tapi yang jadi pertanyaan adalah kenapa yang diinginkan BI hanya lembaga perbankan saja, padahal masih banyak kepentingan bank sentral untuk operasi moneter, stabilisasi rupiah hingga sistem pembayaran," tuturnya. Hal tersebut, sambung Nusron akhirnya membuat adanya salah taIsir di mana BI tidak ingin kehilangan otoritas perbankannya sehingga berdalih dengan badan otonom seperti Dewan Pengawas Perbankan. "Jika poinnya adalah interkoneksi, kan di OJK pasti BI diberi kewenangan untuk interkoneksi jadi tidak putus hubungan dengan bank," ungkapnya. Ditempat yang sama Deputi Gubernur BI Muliaman D Hadad menegaskan jika peran Dewan Pengawas Bank yang diusulkan BI sangat independen. "Itu sangat independen (Dewan Pengawas Bank), dan tidak ada conIlict interest karena pengawasan berada other side Dewan Gubernur," ungkap Muliaman. Ia menuturkan adanya Dewan Pengawas Perbankan secara terpisah di BI akan membuat pengawas lebih independen di mana akan menjalankan Iungsinya sendiri karena telah keluar dari Dewan Gubernur. "Pengawasan keluar dari Dewan Gubernur, dan intinya kita punya pengawas sendiri," tukasnya. Pjs Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution menegaskan dirinyalah yang bertanggung jawab dalam penyusunan draI Rancangan Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Mantan Direktur Jenderal Pajak itu juga mengakui adanya perbedaan pendapat ketika menyusun draI RUU OJK dan setelah menduduki jabatan BI-1 yang menolak pelepasan kewenangan pengawasan. "Saya orang yang paling bertanggung jawab dalam menyusun RUU itu (OJK) dan sampai naskah akademisi. Memang perubahan arah dan pendapat itu ada," ujar Darmin dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Panitia Khusus OJK di Gedung DPR-RI, Senayan, Jakarta, Senin (23/08/2010). Perubahan sikap tersebut ditunjukkan Darmin melalui pernyataan bahwa ia mengerti ada sebuah hubungan yang kuat antara bank sentral dan perbankan. "Tidak hanya di bank sentral tetapi juga pada saat saya di Kementerian Keuangan juga ada conIlict interest," tuturnya. Menurut Darmin, jika nantinya pengawasan di bank sentral akan dilepas maka justru akan melahirkan persoalan yang lebih besar. Ia mencontohkan dalam Rapat Dewan Gubernur, pimpinan bidang moneter berbeda pendapat dengan bidang perbankan.Pemerintah dan DPR diminta harus memikirkan besaran premi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang ideal. Langkah tersebut agar premi OJK tidak membebani industri perbankan. "Jumlah dan inplementasinya perlu dibicarakan," ucap ucap Direktur Finance & Strategi Bank Mandiri, Pahala N. Mansyuri, di Jakarta, Selasa (24/8). Seperti yang diketahui, premi OJK direncakan akan dibebankan kepada para pelaku industri perbankan. Langkah tersebut dimaksudkan untuk mengurangi beban Pemerintah. Pemerintah menjamin besaran Premi tersebut di bawah premi Lembaga Penjamin Simpanan. Pahala mengaku tidak berkeberatan dengan premi OJK asalkan membawa banyak manIaat bagi industri perbankan. Untuk besarannya perlu dilakukan studi pada negara-negara lain yang berhasil menerapkan OJK. "Kalau memang memperoleh manIaat dan ada alasan yang jelas, tidak ada sesuatu keberatan. Besarannya bisa lihat negara lain," ucapnya. |hl/hk/BN)
1kI8UNNLWSCCM IAkAk1A AnggoLa anlLla khusus (ansus) CLorlLas !asa keuangan (C!k) u8 8l yang melakukan sLudl bandlng ke korea SelaLan dan !epang melaporkan hasllnya kepada 1rlbunnewscom dl !akarLa kamls (04/11/2010)
AnggoLa ansus 8uu C!k Parry Azhar Azls menylmpulkan model C!k yang dlusulkan emerlnLah dalam 8ancangan undangundang (8uu) C!k leblh mlrlp dengan model C!k korea Model C!k dl korea leblh lndependen darl pada !epang kaLa Parry kepada 1rlbunnewscom
ul[elaskan dalam se[arah !epang fungsl pengawasan perbankan/lndusLrl keuangan Lldak pernah dlpegang 8ank of !apan (8ank SenLral) Lapl oleh kemenLerlan keuangan (kemenkeu) seLempaL
Se[ak 1998 llnanclal Servlces Agency (lSA) !epang dlbenLuk Lerplsah darl kemenkeu ul korea pengawasannya oleh lSC (llnanclal Supervlsory Commlsslon) yang aLLached ke kemenkeu dan lSS (llnanclal Supervlsory Servlces) yang leblh lndependen kaLa Parry
SemenLara dl korea dlpunguL fee Lerhadap lndusLrl keuangan LeLapl dl !epang dlblayal oleh govermenL budgeL
erLanyaan LerkalL 8uu C!k adalah se[auh mana lndependensl C!k sLrukLur organlsaslnya proLokol koordlnasl dengan pemerlnLah dan 8l serLa fee kaLa dla
!uga lan[uL Parry masa Lranslsl pengawasan darl 8l ke C!k harus dlplklrkan dengan haLlhaLl karena prosedur yang Lldak governance agak dapaL menghambaL LugasLugas C!k berlkuLnya 1oplkLoplk lnl LeLap akan men[adl (hoL Loplk) selama pembahasan yang sudah dlmulal kaLa Parry
ualam sebuah dlskusl dl gedung u8/M8 8l beberapa wakLu lalu keLua 8adan engawas asar Modal dan Lembaga keuangan (8apepamLk) luad 8ahmany menllal CLorlLas !asa keuangan (C!k) yang ldeal dl lndonesla blsa menconLoh C!k korea SelaLan dan !epang
ul !epang unLuk regulasl lndusLrl [asa dan keuangan balk unLuk perbankan asuransl dan pasar modal dllakukan oleh !lSA (!apan llnanclal Servlces Agency) khusus unLuk perbankan dllakukan bersama bank senLral 8C! (8ank of !apan)
ul korea SelaLan dua lembaga regulasl [asa dan keuangan unLuk perbankan asuransl dan pasar modal dllakukan oleh dua lnsLlLusl yaknl lSC (llnanclal Servlces Commlslon) dan lSS (llnanclal Supervlsory Servlces)
ulkaLakan luad kedua negara lnl menggunakan pengaLuran dan pengawasan sekLor [asa keuangan yang oleh oLorlLas yang LerlnLegrasl dl bawah saLu lembaga aLau badan yang memlllkl pengaLuran dan pengawasan Lerhadap seluruh sekLor [asa keuangan mencakup perbankan asuransl pasar modal dan lembaga keuangan lalnnya
1 apakah pemlndahan fungsl darl bangsenLral lLu efekLlf? 2 apakah pemlsahan Lldak mempersullL penenLuan kebl[akan monneLer 3 apakah koordlnasl dan komunlkasl mudah dl lakukan anLara pengawas moneLer dan prudenLlsal 4 apakah kehadlran o[k dapaL dlLerlma oleh semua plhak? 3 apakah pelaksanan 6 bagalmana dengan lndependensl C!k?? 7 apakah pemlsahan fungsl Lsb dapaL men[amln sLablllLas keuangan lndefedensl 1fungsl 2 organlsaasl 3 f lnanclal