You are on page 1of 23

UAS Perekonomian Indonesia

Dilematika ACFTA dalam Globalisasi Pasar Domestik Terhadap Ketahanan Sosial dan Ekonomi Indonesia

Andistya Oktaning Listra NIM/Absen : 0910210022/06 Kelas : AC Jurusan Ilmu Ekonomi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Persaingan global merupakan momok yang paling mengerikan bagi para pengusaha industri terutama industri menengah dan industri kecil di seluruh Asia Tenggara dan China. Dengan adanya ACFTA ini, hal ini menjadi monster yang menyeramkan karena ACFTA ini digambarkan akan meningkatkan pengangguran, membuat barang barang dalam negeri kalah bersaing dengan produk luar negeri, dan sebagainya (Scribd.com: 2011). Perjanjian perdagangan bebas antara negara-negara ASEAN dan China mulai berlaku tanggal 1 Januari 2010. Perjanjian tersebut sebenarnya telah ditandatangani pada tahun 2002. Pemerintah tampaknya tidak akan mengundur berlakunya atau pelaksanaan perjanjian ACFTA tersebut sesuai pernyataan Menteri Perdagangan, Marie Elka Pangestu (Scribd.com: 2011). ACFTA merupakan akronim dari Asean-China Free Trade Agreement. Secara umum, ACFTA didefinisikan sebagai kesepakatan

perdagangan antara negara-negara ASEAN dengan negara dengan penduduk terbesar yaitu China. Atau bisa didefinisikan juga ACFTA adalah suatu kemudahan China untuk menjual barang-barang dagangannya ke negara-negara ASEAN.

Adapun tahapan peristiwa yang akhirnya mencetuskan ACFTA dimana mempengaruhi kesepakatan pemerintah Indonesia terhadap perdagangan bebas dengan ASEAN - Cina seperti yang tertera pada tabel dibawah ini,

Tabel 1.1 Waktu


1991 1996 1997 (Desember) 2000 (November) 2001 (Maret) 2002 (November) 2003 2003 2004 (November) 2007 2008 (Desember)

Peristiwa
Kesepakatan Asean FTA (AFTA) (lalu dipercepat jadi 2001) The PRC secara resmi menjadi mitra dialog Asean Joint Statement kepala negara: Asean- The PRC sebagai sahabat dan mitra yang saling percaya songsong abad 21 Pada KTT Asean-The PRC para kepala negara menyepakati gagasan pembentukan ACFTA Pembentukan Asean-The PRC Economic Expert Group Pada KTT Asean-China para kepala negara tandatangani Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between Asean and the PRC Perundingan ACFTA dimulai, selesai Juni 2004 Bali Concord (proposal Indonesia "Asean Community" diterima): AFTA menjadi bagian dari AEC Kesepakatan ACFTA untuk barang ditandatangani (2004-10) Kesepakatan Asean Charter dan AEC Blue Print ditandatangani Asean Charter berlaku

(Sumber : kompasiana.com/faisalbasri)

Dalam hal ini, perjalanan ACFTA hingga disetujui pemerintah Indonesia sebenarnya cukup lama yaitu dimulai pada tahun 1991, ketika ASEAN menyepakati China sebagai rekan saing dalam perdagangan bebas. Secara tidak langsung, kesepakatan ini mengarahkan sistem ekonomi negara anggota ASEAN bertransformasi ke sistem ekonomi liberalis China. Kenyataannya, kesepakatan ASEAN di tahun 1991 tidak terealisasikan di Indonesia khususnya pada Era Orde Baru di masa kepemimpinan Soeharto yang terkenal anti liberalis China namun sangat mendukung berkembangnya liberalisme barat terutama dalam penanaman modal asing (PMA) Amerika dan Jepang di sektor pertambangan seperti proyek Freeport dan Natuna. Adapun hambatan lain yang dirasakan pasar China di rezim Soeharto saat itu seperti penetapan bea masuk yang tinggi bagi produk China dan adanya regulasi ketat mengenai impor produk China ke Indonesia, hal ini tentu saja merugikan kubu China dimana eksistensi pasar mereka semakin terpinggirkan. Adapun gambaran wilayah cakupan ACFTA seperti yang terlihat dibawah ini, Gambar 1.1

(Sumber: googleimage.com) Pada tahun 1996 dan Desember 1997 komitmen ASEAN terhadap China semakin dipererat karena The PRC telah diresmikan menjadi mitra dialog ASEAN hingga terjadilah Joint Statement kepala negara : ASEAN dan The PRC sebagai sahabat dan mitra yang saling percaya menyongsong abad 21. Namun karena di tahun 1996 dan 1997 terjadi pergolakan masyarakat dan krisis moneter di Indonesia maka komitmen yang diambil ASEAN terhadap China tidak bisa terealisasikan kembali. Dilihat dari sisi lain, hal ini merupakan keputusan terbaik karena bila komitmen ini disetujui, pergolakan masyarakat pun akan semakin membabi buta dan restrukturisasi ekonomi akibat krisis moneter Indonesia semakin terhambat sehingga tingkat kemiskinan, pengangguran, dan kriminalitas semakin sulit dihentaskan pemerintah. Catatan kelam Indonesia di tahun 1997 pun akhirnya usai seiring maraknya demonstrasi terhadap rezim Orde Baru dimana akhirnya menjatuhkan posisi Soeharto yang tak pernah tergantikan selama 32 tahun. Setelah Era Orde Baru usai maka Era Demokrasi pun dimulai, puncaknya bukan terjadi di masa kepemimpinan B.J Habibie yang relative singkat namun pada masa kepemimpinan K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Meskipun masa kepemimpinan Gus Dur relative singkat pula seperti yang dialami B.J Habibie namun transformasinya lebih terasa, hal ini dikarenakan banyak regulasi pemerintah yang diubah terutama dalam diplomasi China di Indonesia seperti 5

diberlakukannya kesetaraan hak WNI keturunan etnis Tionghoa, diperbolehkannya perayaan Imlek dan Barongsai, dan transparansi akses impor produk China ke Indonesia yang selama ini terdiskriminasi di Era Orde Baru. Terbukanya akses China pun semakin marak seiring diadakannya KTT ASEAN China (November, 2000) yang akhirnya menelurkan konsep ACFTA, pembentukan ASEAN The PRC Economic Expert Group (Maret, 2001), KTT ASEAN China para kepala negara (November, 2002) dalam penandatangan Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between ASEAN and The PRC, dimulainya perundingan ACFTA (2003 Juni 2004), Bali Concord (2003) dimana proposal Indonesia ASEAN Community diterima, kesepakatan ACFTA untuk barang

ditandatangani (November, 2004), kesepakatan Asean Charter dan AEC Blue Print ditandatangani (2007), pemberlakuan ASEAN Charter dimana, sampai akhirnya ACFTA pada tahun 2010 terealisasikan di Indonesia di masa Kabinet Indonesia Bersatu. 1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah pengaruh ACFTA dalam metamorfosis sistem ekonomi di Indonesia? 2. Bagaimanakah dominasi produk China setelah pemberlakuan ACFTA di pasar domestik? 3. Bagaimanakah dilematika ACFTA terhadap ketahanan sosial dan ekonomi di Indonesia? 4. Bagaimanakah strategi pemerintah menyatukan pro kontra ACFTA di masyarakat?

1.3 Tujuan 1. Mengetahui pengaruh ACFTA dalam metamorfosis sistem ekonomi di Indonesia 2. Mengetahui dominasi produk China setelah pemberlakuan ACFTA di pasar domestik 3. Mengetahui dilematika ACFTA terhadap ketahanan sosial dan ekonomi di Indonesia 4. Mengetahui strategi pemerintah menyatukan pro kontra ACFTA di masyarakat

BAB II PEMBAHASAN 2.1 ACFTA dan Metamorfosis Sistem Ekonomi Indonesia Globalisasi bisa dikatakan merupakan sebuah era dimana kehidupan manusia berangsur-angsur berubah menurut keadaan dunia internasional (fhmi_globalisasi dan lokalisme_facebook.com: 2011). Menurut Faisal Basri (2002:195) Globalisasi tidak bisa digeneralisasikan sebagai fenomena yang memiliki sisi baik bagi segala aspek kehidupan karena globalisasi cenderung mementingkan ekspansi kekayaan (wealth), bukan mengalokasikannya. Dalam hal ini globalisasi mempengaruhi metamorfosis sistem ekonomi Indonesia pada kabinet Indonesia Bersatu dalam tempo

kepemimpinannya. Isu isu mengenai neo liberalisme yang kontroversial di masyarakat semakin kontras semenjak pemerintah menyetujui pemberlakuan ACFTA pada tanggal 1 Januari 2010. ACFTA merupakan langkah pemerintah memberlakukan perdagangan bebas antara ASEAN dan Cina yang secara tidak langsung mempengaruhi kebijakan ekonomi dalam negeri khususnya pada penetapan harga yang mulai dialihkan ke mekanisme pasar. Pada prinsipnya pasar bebas merupakan bagian dari paket liberalisasi ekonomi. Liberalisasi ekonomi, selain berarti menghilangkan peran dan tanggung jawab 8

pemerintah dalam sektor ekonomi, kemudian menyerahkan semuanya kepada individu dan mekanisme pasar (kekuatan penawaran dan permintaan) (Syabab.com: 2011). Liberalisme sendiri merupakan sistem ekonomi gagal yang pernah diterapkan di Indonesia pada tahun 1950 1957 akibat demokrasi yang terlalu liberal sehingga kebijakan ekonomi sangat tidak efektif dan menciptakan delegitimasi pemerintahan (Bataviase.co.id: 2011). Selain itu, penerapan liberalisme kala itu menciptakan ketimpangan sosial, inflasi tinggi, dan meningkatnya pengangguran akibat kelesuan ekonomi yang tercipta. Adapun metamorfosis sistem ekonomi Indonesia menuju liberalisme sebenarnya melanggar UU Pasal 33 ayat 2 mengenai basis ekonomi kerakyatan yang tercermin pada eksistensi industri lokal dan UKM yang kini semakin terpinggirkan semenjak ACFTA diberlakukan. Indonesia sendiri yang hingga kini dikategorikan sebagai negara berkembang tentu saja akan kesulitan menghadapi rintangan globalisasi pasar domestik, beda dengan negara maju yang rata rata menganut sistem ekonomi liberalis guncangan ekonomi akibat arus perdagangan bebas bukanlah hambatan utama karena masyarakat industri di negara tesebut telah mampu membuat manajemen industri dan perusahaan yang modern, berpromosi secara global, berinovasi, menghasilkan output dengan kualitas maksimal dan seefisien mungkin sehingga kekuatan ekonomi mereka tetap kokoh meskipun akhirnya sempat tumbang akibat krisis global pada masa kepemimpinan George W. Bush yang dialami seluruh benua Eropa dan Amerika. Namun keterpurukan sistem ekonomi liberal barat pada tahun 2008 sepertinya tidak akan berdampak pada sistem ekonomi liberal yang dibawa Cina, terbukti kekuatan Cina dalam pasar output dan modal asing semakin memegang kendali di hampir setiap 9

perusahaan di seluruh dunia. Tentu saja keberadaan China menjadi bumerang bagi negara industri maju yang kini sedang terpuruk dalam krisis global seperti Amerika dan Jepang apalagi sejak diberlakukannya ACFTA di negara negara anggota ASEAN maka eksistensi China semakin tak diragukan lagi di kancah internasional. Oleh karena itu, merembaknya sistem ekonomi liberalis China saat ini harus tetap dibatasi dengan sosialisasi mengenai pentingnya kecintaan masyarakat terhadap produk dalam negeri serta memberikan pemahaman pengusaha industri lokal dan UKM mengenai pentingnya klasifikasi harga menurut kualitas, inovasi, promosi, dan tampilan produknya terutama dalam menciptakan ciri khas produk lokal agar mudah dikenali daripada produk China sebagai contoh, letak perbedaan pada batik khas Pekalongan dengan batik China adalah modelnya yang tidak seragam satu sama lain, jenis kain, dan kualitas gambarnya pun jauh lebih baik karena pengerjaannya masih secara manual sehingga minat membeli batik di kalangan konsumen lokal dan luar negeri tetap tidak berkurang. 2.2 Dominasi Produk Cina Setelah Pemberlakuan ACFTA Dominasi produk China semenjak pemberlakuan ACFTA semakin terlihat terutama dalam persaingan dengan produk di pasar domestik. Menurut keterangan Ernovian G Ismy (Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia), kekhawatiran atas pemberlakukan perdagangan bebas ASEAN-Cina di antaranya terjadinya perubahan pola usaha yang ada dari pengusaha menjadi pedagang. Intinya, jika berdagang lebih menguntungkan karena faktor harga barang-barang impor yang lebih murah, akan banyak industri nasional dan lokal yang gulung tikar hingga akhirnya berpindah menjadi pedagang saja (Scribd.com: 2011). 10

Adapun hal negative yang kian membayangi industri lokal dan UKM di Indonesia akibat ACFTA yaitu merebaknya produk-produk Cina yang illegal. Hingga kini tercatat produk Cina yang mendaftar di BPOM hanya 20%. Untuk mengatasi defisit perdagangan dengan Cina, Indonesia telah melakukan langkah-langkah strategis, dengan melakukan kebijakan safe guard dan anti dumping terhadap 5 sektor industri yang terkena dampak ACFTA (kbrn@rri.co.id: 2011). Namun kenyataannya setelah diteliti lebih lanjut terdapat 10 sektor industri lokal yang benar benar merasakan dampaknya seperti yang tertera pada tabel dibawah ini, Tabel 2.1

(Sumber : kompasiana.com/faisalbasri)

11

Serbuan produk asing terutama dari Cina dapat mengakibatkan kehancuran sektor-sektor ekonomi yang diserbu. Padahal sebelum tahun 2009 saja Indonesia telah mengalami proses deindustrialisasi (penurunan industri). Berdasarkan data Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, peran industri pengolahan mengalami penurunan dari 28,1% pada 2004 menjadi 27,9% pada 2008. Diproyeksikan 5 tahun ke depan penanaman modal di sektor industri pengolahan mengalami penurunan US$ 5 miliar yang sebagian besar dipicu oleh penutupan sentra-sentra usaha strategis IKM (industri kecil menegah). Jumlah IKM yang terdaftar pada Kementrian Perindustrian tahun 2008 mencapai 16.806 dengan skala modal Rp 1 miliar hingga Rp 5 miliar. Dari jumlah tersebut, 85% di antaranya akan mengalami kesulitan dalam menghadapi persaingan dengan produk dari Cina (Scribd.com: 2011). Hal yang sangat dikhawatirkan mengenai dominasi Cina terhadap Indonesia juga disampaikan Menteri Perindustrian MS Hidayat. Menurut Hidayat, dalam kerangka ACFTA yang berlatar belakang semangat bisnis, China bisa berbuat apa pun untuk mempengaruhi Indonesia mengingat kekuatan ekonominya jauh di atas Indonesia (Scribd.com: 2011). Pelaku pasar di sektor usaha kecil memahami dan merasakan betul risiko dan dampak dari perdagangan bebas ini. Sekitar 1.000 orang pelaku usaha kecil dan menengah yang tergabung dalam komunitas UMKM DI Yogyakarta mendatangi mendesak DPRD, DPR dan pemerintah pusat melindungi produk-produk UMKM yang terancam produk-produk Cina seperti batik, tekstil, kerajinan, jamu dan lainnya (Scribd.com: 2011). Dalam hal ini kekhawatiran masyarakat tentu saja diiringi alasan yang kuat yaitu sejak ACFTA diberlakukan di Indonesia pada tahun 2010, persentase 12

tarif bea masuk yang ditetapkan pemerintah pun mengalami penurunan seperti yang terlihat pada Tabel 2.2 sehingga kompetisi harga di pasar domestik semakin sengit, Tabel 2.2

(Sumber : kompasiana.com/faisalbasri)

2.3 Dilematika ACFTA Terhadap Ketahanan Sosial dan Ekonomi Indonesia Dalam hal ini ACFTA adalah perjanjian yang sangat dilematis bila dilihat dari ketahanan sosial dan ekonomi di Indonesia. Dari ketahanan sosial, ACFTA yang merupakan bentuk globalisasi di pasar domestik menimbulkan perilaku liberalis dalam masyarakat heterogen seperti Indonesia, perilaku seorang liberal hingga kini bukanlah cermin masyarakat Indonesia yang selama ini menjunjung tinggi asas gotong royong dan kekeluargaan. Dalam hal ini, perilaku liberal yang dasarnya terlahir di dunia barat, kini mulai merasuk ke dalam tubuh sistem ekonomi Asia semenjak merancahnya perdagangan bebas di komunitas ASEAN dimana akhirnya menyebarkan benih benih

13

individualistis, materialistis, anti empati, dan egoismesentris akibat minimnya adaptasi masyarakat khususnya di lingkungan industri lokal dan UKM. Secara tidak langsung penyerapan perilaku ini masih bertahap selama dampak negatif ACFTA belum terlalu signifikan. Namun ketika dampak negatifnya telah membesar maka bukan sekedar perilaku liberalis yang muncul, disintegrasi, autarki, unilateralisme, isolasi, dan eksploitatif pun dapat terjadi dimana hal tersebut melanggar asas asas positif yang tercermin dalam UU 1945 dan Pancasila. Hal ini tentu saja menuntun masyarakat memilih jalan yang cenderung negatif untuk memperkaya diri atau lebih mengedepankan prinsip utilitarian yaitu terfokus pada hasil dan mengabaikan niat positif untuk orang lain. Adapun sebagai akibatnya pergerakan tenaga kerja yang tidak terakomodasikan dari liberalisasi dewasa ini membuat beban sosial yang diemban Indonesia semakin bertambah akibat kemampuan social safety nets semakin berkurang (Faisal Basri, 2002:196). Namun bila dilihat dari sisi positifnya dalam ketahanan sosial ACFTA mendorong masyarakat industri dan UKM yang independen, membuka pemikiran baru masyarakat yang masih tertutup oleh lingkup internasional, sebagai ajang barter hal hal positif dari negara industri maju seperti Cina. Bahkan bila ditelisik lebih dalam, ACFTA juga mendorong perwujudan people centered dan socially responsible yang akhirnya menciptakan solidaritas dan persatuan antara komunitas Indonesia, ASEAN, dan Cina melalui penguatan identitas bersama dan pembentukan a caring and sharing society yang inklusif dan harmonis dimana kesejahteraan, kemakmuran, dan perikehidupan masyarakat meningkat. 1

Oratmangun, Djauhari. ASEAN Baru Dalam Tatanan Kerjasama Global dan Regional. 16 Juni 2011. Scribd.com

14

Dilihat dari sisi negatif ketahanan ekonomi ACFTA seakan mendiskriminasi eksistensi produk lokal, mengakibatkan kehancuran sektor sektor ekonomi khususnya industri lokal dan UKM yang baru berkembang, terjadinya gejala deindustrialisasi dini lokal dan UKM seperti yang tertera pada ketiga gambar dibawah ini, karena banyaknya pengusaha lokal yang pailit sehingga berpindah usaha dari produsen menjadi importir atau pedagang saja. Gambar 2.1

(Sumber: kompasiana.com/faisalbasri) Menurut (kompasiana.com/faisalbasri: 2011) gejala deindustrialisasi dini ditandai dengan: a. Net entry negatif untuk indusri manufaktur menengah dan besar. b. Alokasi kredit perbankan ke sektor industri manufaktur merosot tajam

15

c. Daya saing industri manufaktur melemah d. Konsumsi listrik ke industri negatif e. Indonesia tersisih dari regional production networks Ledakan pengangguran dan pendapatan real masyarakatnya berkurang karena inflasi yang membumbung. Hal ini dikarenakan persaingan ekonomi yang semakin ketat menciptakan peran produksi terutama sektor industri manufaktur dan Industri Kecil Menengah dalam pasar nasional akan terpangkas dan digantikan impor. Dampaknya, ketersediaan lapangan kerja semakin menurun. Padahal setiap tahun angkatan kerja baru bertambah lebih dari 2 juta orang, sementara pada periode Agustus 2009 saja jumlah pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 8,96 juta orang sehingga angka pengangguran pun akan meningkat. 2

Pada akhirnya, hal ini berkorelasi terhadap sensitifitas inflasi akibat peningkatan angka KHM (Kebutuhan Hidup Manusia) yang lebih tinggi dibandingkan kenaikan UMR (Upah Minimum Regional) sehingga UMR yang semakin tidak bisa memenuhi KHM (Faisal Basri, 2002: 226). Adapun dampak negative lain seperti menciptakan karakter ekonomi yang dependen dan lemah karena segalanya bergantung pada impor sehingga sektor sekto vital ekonomi dalam negeri juga sudah dirambah dan dikuasai asing, penurunan GDP akibat berkurangnya konsumsi masyarakat terhadap produk lokal, kanibalisme antar ekonomi masyarakat; dalam arti konsumen Indonesia secara tidak langsung akan

membunuh ekonomi masyarakat industri lokal dan UKM lain akibat mengkonsumsi lebih banyak produk Cina daripada lokal dimana hal ini dilatar belakangi oleh kualitas produk
2

Yantri Hayumita., dkk. Indonesia di Tengah ASEAN China Free Trade Area (ACFTA). 16 Juni 2011. Scribd.com

16

Cina yang tak jauh berbeda dengan produk lokal namun harganya jauh dibawah harga pasaran produk lokal namun bila kebiasaan konsumen lokal mengkonsumsi produk China berlanjut maka resesi ekonomi pun dapat terjadi. Sisi positifnya dalam ketahanan ekonomi seperti membuka peluang investasi asing, meningkatkan volume perdagangan internasional, barter ilmu dan teknologi antara industri lokal dan UKM dengan Cina sehingga kemampuan industri lokal dan UKM akan meningkat sehingga mampu bersaing dan menghasilkan produk secara efisien dan semakin berkualitas, memotivasi industri lokal dan UKM untuk gencar berpromosi dan berinovasi. Adapun pengaruh positif pada proyeksi laba BUMN 2010 secara aggregat, namun disamping itu faktor laba bersih, presentase pay out ratio atas laba juga menentukan besarnya dividen atas laba BUMN. Keoptimisan tersebut, karena dengan adanya ACFTA, BUMN akan dapat memanfaatkan barang modal yang lebih murah dan dapat menjual produk ke Cina dengan tarif yang lebih rendah pula.3

2.4 Strategi Pemerintah Menyatukan Pro Kontra ACFTA di Masyarakat Strategi terbaik untuk menyatukan pro kontra ACFTA di masyarakat yaitu, menegosiasikan ulang isi perjanjian ACFTA tersebut sampai industri lokal siap untuk bersaing, adanya perbaikan infrastruktur guna menekan biaya produksi serta memberikan kelancaran distribusi barang dan jasa yang dapat meminimalisir biaya angkut. Kemudian diberlakukannya kembali tarif bea masuk/ bea impor bagi produk Cina yang sebelumnya sempat dihapuskan pemerintah. Selain itu, pemerintah juga harus partisipatif dalam mensosialisasikan manajemen industri dan UKM yang modern
3

Dewi Anggraeni, Leni. ACFTA. 2 Juni 2011. Scribd.com

17

serta mengajarkan makna pentingnya inovasi produk yang kiranya dapat memikat kembali konsumen lokal. Dalam pelaksanaan sosialisasi ini pemerintah diharapkan juga dapat memberikan bantuan biaya R & D (research & development) agar dapat mengembangkan bahan baku dan sumber sumber dalam negeri lainnya (Iskandar Alisjahbana, 1973: 264). Pemerintah juga harus mengganti regulasi mengenai industri lokal dan UKM yang sekiranya memberatkan. Terakhir adalah kebijakan pemerintah yang paling dominan untuk menyatukan pro dan kontra dalam dua perspektif yaitu pemberian subsidi yang semestinya untuk produsen produsen yang tersangkut, demi perbaikan kedudukan kompetisi industri dalam negeri tersebut. Proteksi semacam ini juga memberikan proteksi kepada konsumen karena harga barang tidak bisa dinaikkan. Menurut Iskandar Alisjahbana (1973: 265) keadaan dimana proteksi macam subsidi ini sebaiknya diberikan adalah sebagai berikut: a. Jika output dari industri dalam negeri yang baru berdiri, hanya dapat mensuplai sebagian kecil dari kebutuhan dalam negeri seluruhnya b. Jika industri yang menggunakan barang yang diberikan proteksi tadi, adalah suatu industri yang tergantung dari harga internasional c. Jika barang yang diberi proteksi tadi, adalah bahan baku untuk suatu rentetan aktivitas produksi lainnya, yang akhirnya didistribusi ke masyarakat luas.

18

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN Persaingan global merupakan momok yang paling mengerikan bagi para pengusaha industri terutama industri menengah dan industri kecil di seluruh Asia Tenggara dan China. Dalam hal ini, perjanjian perdagangan bebas antara negara-negara ASEAN dan China mulai berlaku tanggal 1 Januari 2010. Perjalanan ACFTA hingga disetujui pemerintah Indonesia sebenarnya cukup lama yaitu dimulai pada tahun 1991, ketika ASEAN menyepakati China sebagai rekan saing dalam perdagangan bebas namun tidak bisa terealisasikan di Era Orde Baru yang sangat memproteksi produk lokal dari produk impor China. Secara tidak langsung, kesepakatan ini mengarahkan sistem ekonomi negara anggota ASEAN bertransformasi ke sistem ekonomi liberalis China. Pada prinsipnya pasar bebas merupakan bagian dari paket liberalisasi ekonomi. Liberalisasi ekonomi, selain berarti menghilangkan peran dan tanggung jawab pemerintah dalam sektor ekonomi, kemudian menyerahkan semuanya kepada individu dan mekanisme pasar (kekuatan penawaran dan permintaan). Adapun metamorfosis sistem ekonomi Indonesia menuju liberalisme sebenarnya melanggar UU Pasal 33 ayat 2 mengenai basis ekonomi kerakyatan yang tercermin pada eksistensi industri lokal dan UKM yang kini semakin terpinggirkan semenjak ACFTA diberlakukan. Dominasi produk China semenjak pemberlakuan ACFTA semakin terlihat terutama dalam persaingan dengan produk di pasar domestik. Serbuan produk asing terutama dari Cina dapat mengakibatkan kehancuran sektor-sektor ekonomi yang diserbu. Padahal 19

sebelum tahun 2009 saja Indonesia telah mengalami proses deindustrialisasi (penurunan industri). Adapun kekhawatiran atas pemberlakukan perdagangan bebas ASEAN-Cina di antaranya terjadinya perubahan pola usaha yang ada dari pengusaha menjadi pedagang. Intinya, jika berdagang lebih menguntungkan karena faktor harga barang-barang impor yang lebih murah, akan banyak industri nasional dan lokal yang gulung tikar hingga akhirnya berpindah menjadi pedagang saja. Dalam hal ini ACFTA adalah perjanjian yang sangat dilematis bila dilihat dari ketahanan sosial dan ekonomi di Indonesia. Dari ketahanan sosial, ACFTA yang merupakan bentuk globalisasi di pasar domestik menimbulkan perilaku liberalis dalam masyarakat heterogen seperti Indonesia dimana akhirnya menyebarkan benih benih individualistis, materialistis, anti empati, dan egoismesentris akibat minimnya adaptasi masyarakat khususnya di lingkungan industri lokal dan UKM. Namun bila dilihat dari sisi positifnya dalam ketahanan sosial ACFTA mendorong masyarakat industri dan UKM yang independen, membuka pemikiran baru masyarakat yang masih tertutup oleh lingkup internasional, sebagai ajang barter hal hal positif dari negara industri maju seperti Cina, mendorong perwujudan people centered dan socially responsible yang akhirnya menciptakan solidaritas dan persatuan antara komunitas Indonesia, ASEAN, dan Cina. Dilihat dari sisi negatif ketahanan ekonomi ACFTA seakan mendiskriminasi eksistensi produk lokal, mengakibatkan kehancuran sektor sektor ekonomi khususnya industri lokal dan UKM yang baru berkembang, terjadinya deindustrialisasi, ledakan pengangguran, karakter ekonomi yang dependen dan lemah, penurunan GDP, kanibalisme antar ekonomi masyarakat, hingga timbulnya resesi ekonomi. Adapun sisi positifnya dalam ketahanan ekonomi seperti membuka peluang investasi asing, meningkatkan volume perdagangan 20

internasional, barter ilmu dan teknologi antara industri lokal dan UKM dengan Cina sehingga kemampuan industri lokal dan UKM akan meningkat sehingga mampu bersaing dan menghasilkan produk secara efisien dan semakin berkualitas, memotivasi industri lokal dan UKM untuk gencar berpromosi dan berinovasi, dan berpengaruh positif pada proyeksi laba BUMN 2010 secara agregat. Adapun strategi terbaik untuk menyatukan pro kontra ACFTA di masyarakat yaitu, menegosiasikan ulang isi perjanjian ACFTA tersebut sampai industri lokal siap untuk bersaing, adanya perbaikan infrastruktur guna menekan biaya produksi serta memberikan kelancaran distribusi barang dan jasa yang dapat meminimalisir biaya angkut. Kemudian diberlakukannya kembali tarif bea masuk bagi produk Cina yang sebelumnya sempat dihapuskan pemerintah. Selain itu, pemerintah juga harus partisipatif dalam

mensosialisasikan manajemen industri dan UKM yang modern serta mengajarkan makna pentingnya inovasi produk yang kiranya dapat memikat kembali konsumen lokal. Selain itu, pemerintah juga harus mengganti regulasi mengenai industri lokal dan UKM yang sekiranya memberatkan. Terakhir adalah kebijakan pemerintah yang paling dominan untuk menyatukan pro dan kontra dalam dua perspektif yaitu pemberian subsidi yang semestinya untuk semua produk lokal. Saran yang saya mengenai kebijakan ACFTA di Indonesia adalah pemerintah harus menegosiasikan kembali ACFTA melalui musyawarah antara pemerintah Cina, pemerintah Indonesia beserta perwakilan pengusaha lokal dan UKM agar mencapai mufakat yang terbaik bagi semua pihak. Agar industri lokal dan UKM di Indonesia tidak terpuruk, pemerintah sebaiknya memberikan kredit lunak tanpa bunga namun melalui sistem bagi hasil (penawaran sistem kredit secara syari) karena hal ini tidak akan mempersulit posisi 21

wirausahawan melalui beban hutang dan bunga yang mereka tanggung. Pemerintah juga harus bisa mengarahkan investasi Cina tidak hanya di sektor perdagangan namun juga di sektor pendidikan sehingga terjadi barter ilmu dan teknologi yang positif.

DAFTAR PUSTAKA Yantri Hayumita,dkk. Indonesia di Tengah ASEAN China Free Trade Area. 16 Juni 2011. Scribd.com

Basri, Faisal. Menyikapi ASEAN China FTA. 11 Juni 2011. kompasiana.com/faisalbasri

Rajagukguk, Erman. ASEAN China Free Trade Agreement dan Implikasinya Bagi Indonesia. Scribd.com

Dewi Anggraeni, Leni. ACFTA. 2 Juni 2011. Scribd.com

Oratmangun, Djauhari. ASEAN Baru Dalam Tatanan Kerjasama Global dan Regional. 16 Juni 2011. Scribd.com

Basri, Faisal. 2002. Perekonomian Indonesia Tantangan dan Harapan bagi Kebangkitan Indonesia. Jakarta : Penerbit Erlangga

Wilayah ACFTA. 16 Juni 2011. Googleimage.com

22

Alisjahbana, Iskandar. 1973. Mencari Bentuk Ekonomi Indonesia Perkembangan Pemikiran 1965 1981. Jakarta : Diterbitkan dengan Kerja Sama Harian Kompas Penerbit PT. Gramedia

23

You might also like