You are on page 1of 19

a) Pertempuran bersenjata 1.

Insiden bendera di Surabaya(19 sept 1945) Setelah munculnya maklumat pemerintah tanggal 31 Agustus 1945 yang menetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Merah Putih dikibarkan terus di seluruh Indonesia, gerakan pengibaran bendera makin meluas ke segenap pelosok kota. Di berbagai tempat strategis dan tempat-tempat lainnya, susul menyusul bendera dikibarkan. Antara lain di teras atas Gedung Kantor Karesidenan (kantor Syucokan, gedung Gubernuran sekarang, Jl Pahlawan) yang terletak di muka gedung Kempei Tai (sekarang Tugu Pahlawan), di atas gedung Internatio, disusul barisan pemuda dari segala penjuru Surabaya yang membawa bendera merah putih datang ke Tambaksari (lapangan Gelora 10 Nopember) untuk menghadiri rapat raksasa yang diselenggarakan oleh Barisan Pemuda Surabaya. Saat itu lapangan Tambaksari penuh lambaian bendera merah putih, disertai pekik 'Merdeka' mendengung di angkasa. Walaupun pihak Kompeitai melarang diadakannya rapat tersebut, namun mereka tidak berdaya menghadapi massa rakyat yang semangatnya tengah menggelora itu. Klimaks gerakan pengibaran bendera di Surabaya terjadi pada insiden perobekan bendera di Yamato Hoteru/Hotel Yamato atau Oranje Hotel, Jl Tunjungan 65 Surabaya. Mula-mula Jepang dan Indo-Belanda yang sudah keluar dari interniran menyusun suatu organisasi, Komite Kontak Sosial, yang mendapat bantuan penuh dari Jepang. Terbentuknya komite ini disponsori oleh Palang Merah Internasional (Intercross). Namun, berlindung dibalik Intercross mereka melakukan kegiatan politik. Mereka mencoba mengambil alih gudang-gudang dan beberapa tempat telah mereka duduki, seperti Hotel Yamato. Pada 18 September 1945, datanglah di Surabaya (Gunungsari) opsir-opsir Sekutu dan Belanda dari Allied Command (utusan Sekutu) bersama-sama dengan rombongan Intercross dari Jakarta. Rombongan Sekutu oleh Jepang ditempatkan di Hotel Yamato, Jl Tunjungan 65, sedangkan rombongan Intercross di Gedung Setan, Jl Tunjungan 80 Surabaya, tanpa seijin Pemerintah Karesidenan Surabaya. Dan sejak itu Hotel Yamato dijadikan markas RAPWI (Rehabilitation of Allied Prisioners of War and Internees). Karena kedudukannya merasa kuat, sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr W.V.Ch Ploegman pada sore hari tanggal 18 September 1945, tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda(Merah-Putih-Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan hari ketika arek Surabaya melihatnya, seketika meledak amarahnya. Mereka menganggap Belanda mau menancapkan kekuasannya kembali di negeri Indonesia, dan dianggap melecehkan gerakan pengibaran bendera yang sedang berlangsung di Surabaya. Begitu kabar tersebut tersebar di seluruh kota Surabaya, sebentar saja Jl. Tunjungan dibanjiri oleh rakyat, mulai dari pelajar berumur belasan tahun hingga pemuda dewasa, semua siap untuk menghadapi segala kemungkinan. Massa terus mengalir hingga memadati halaman hotel serta halaman gedung yang berdampingan penuh massa dengan luapan amarah. Agak ke belakang halaman hotel, beberapa tentara Jepang tampak berjaga-jaga. Situasi saat itu menjadi sangat eksplosif. Tak lama kemudian Residen Sudirman datang. Kedatangan pejuang dan diplomat ulung yang waktu itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, menyibak kerumunan massa lalu masuk ke hotel. Ia ingin berunding dengan Mr Ploegman dan kawan-kawan. Dalam perundingan itu Sudirman meminta agar bendera Belanda Triwarna segera diturunkan. Ploegman menolak, bahkan dengan kasar mengancam, "Tentara Sekutu telah menang perang, dan karena Belanda adalah anggota Sekutu, maka sekarang Pemerintah Belanda berhak menegakkan kembali pemerintahan Hindia Belanda. Republik Indonesia? Itu tidak kami akui." Sambil mengangkat revolver, Ploegman memaksa Sudirman untuk segera pergi dan membiarkan bendera Belanda tetap berkibar. Melihat gelagat tidak menguntungkan itu, pemuda Sidik dan Hariyono yang mendampingi Sudirman mengambil langkah taktis. Sidik menendang revolver dari tangan Ploegman. Revolver itu terpental dan meletus tanpa mengenai siapapun. Hariyono segera membawa Sudirman ke luar, sementara Sidik terus bergulat dengan Ploegman dan mencekiknya hingga tewas. Beberapa tentara Belanda menyerobot masuk karena mendengar letusan pistol, dan sambil menghunus pedang panjang disabetkan ke arah Sidik. Sidik pun tersungkur. Di luar hotel, para pemuda yang mengetahui kejadian itu langsung merangsek masuk ke hotel dan terjadilah perkelahian di ruang muka Hotel. Sebagian yang lain, berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang semula bersama Sudirman turut terlibat dalam pemanjatan tiang bendera. Akhirnya ia bersama Kusno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek yang biru, dan mengereknya ke puncak tiang kembali. Massa rakyat menyambut keberhasilan pengibaran bendera merah putih itu dengan pekik "Merdeka" berulang kali, sebagai tanda kemenangan, kehormatan dan kedaulatan negara RI. Kemudian meletuslah pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara Inggris pada 27 Oktober 1945. Serangan-serangan kecil itu ternyata dikemudian hari berubah menjadi serangan umum yang hampir membinasakan seluruh tentara Inggris, sebelum akhirnya Jenderal D.C. Hawthorn meminta bantuan Presiden Sukarno untuk meredakan situasi. 1. Pertempuran Lima Hari di Semarang(15-20 oktober 1945)

Dengan menyerahnya Jepang terhadap Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945, dan disusul dengan diproklamarkan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, maka seharusnya tammatlah kekuasaan Jepang di Indonesia. Dan ditunjuknya Mr Wongsonegero sebagai Penguasa Republik di Jawa Tengah dan pusat pemerintahannya di Semarang, maka adalah kewajiban Pemerintah di Jawa Tengah mengambilalih kekuasaan yang selama ini dipegang Jepang, termasuk bidang pemerintahan, keamanan dan ketertibannya. Maka terbentuklah Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang kemudian menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR).

Di beberapa tempat di Jawa Tengah telah terjadi pula kegiatan perlucutan senjata Jepang tanpa kekerasan antara lain di Banyumas, tapi terjadi kekerasan justru di ibu kota Semarang. Kido Butai (pusat Ketentaraan Jepang di Jatingaleh) nampak tidak memberikan persetujuannya secara menyeluruh, meskipun dijamin oleh Gubernur Wongsonegoro, bahwa senjata tersebut tidak untuk melawan Jepang. Permintaan yang berulang-ulang cuma menghasilkan senjata yang tak seberapa, dan itu pun senjata-senjata yang sudah agak usang. Kecurigaan BKR dan Pemuda Semarang semakin bertambah, setelah Sekutu mulai mendaratkan pasukannya di Pulau Jawa. Pihak Indonesia khawatir Jepang akan menyerahkan senjata-senjatanya kepada Sekutu, dan berpendapat kesempatan memperoleh senjata harus dimanfaatkan sebelum Sekutu mendarat di Semarang. Karena sudah pasti pasukan Belanda yang bergabung dengan Sekutu akan ikut dalam pendaratan itu yang tujuannya menjajah Indonesia lagi. Pertempuran 5 hari di Semarang ini dimulai menjelang minggu malam tanggal 15 Oktober 1945. Keadaan kota Semarang sangat mencekam apalagi di jalan-jalan dan kampung-kampung dimana ada pos BKR dan Pemuda tampak dalam keadaan siap. Pasukan Pemuda terdiri dari beberapa kelompok yaitu BKR, Polisi Istimewa, AMRI, AMKA (Angkatan Muda Kereta Api) dan organisasi para pemuda lainnya. Dapat pula kita tambahkan di sini, bahwa Markas Jepang dibantu oleh pasukan Jepang sebesar 675 orang, yang mereka dalam perjalanan dari Irian ke Jakarta, tapi karena persoalan logistik, pasukan ini singgah di Semarang. Pasukan ini merupakan pasukan tempur yang mempunyai pengalaman di medan perang Irian. Keadaan kontras sekali, karena para pemuda pejuang kita harus menghadapi pasukan Jepang yang berpengalaman tempur dan lebih lengkap persenjataannya, sementara kelompok pasukan pemuda belum pernah bertempur, dan hampir-hampir tidak bersenjata. Juga sebagian besar belum pernah mendapat latihan, kecuali diantaranya dari pasukan Polisi Istimewa, anggota BKR, dari ex-PETA dan Heiho yang pernah mendapat pendidikan dan latihan militer, tapi tanpa pengalaman tempur. Pertempuran lima hari di Semarang ini diawali dengan berontakan 400 tentara Jepang yang bertugas membangun pabrik senjata di Cepiring dekat Semarang. Pertempuran antara pemberontak Jepang melawan Pemuda ini berkobar sejak dari Cepiring (kl 30 Km sebelah barat Semarang) hingga Jatingaleh yang terletak di bagian atas kota. Di Jatingaleh ini pasukan Jepang yang dipukul mundur menggabungkan diri dengan pasukan Kidobutai yang memang berpangkalan di tempat tersebut. Suasana kota Semarang menjadi panas. Terdengar bahwa pasukan Kidobutai Jatingaleh akan segera mengadakan serangan balasan terhadap para Pemuda Indonesia. Situasi hangat bertambah panas dengan meluasnya desas-desus yang menggelisahkan masyarakat, bahwa cadangan air minum di Candi (Siranda) telah diracuni. Pihak Jepang yang disangka telah melakukan peracunan lebih memperuncing keadaan dengan melucuti 8 orang polisi Indonesia yang menjaga tempat tersebut untuk menghindarkan peracunan cadangan air minum itu. Dr Karyadi, Kepala Laboratorium Pusat Rumah Sakit Rakyat (Purasara) ketika mendengar berita ini langsung meluncur ke Siranda untuk mengecek kebenarannya. Tetapi beliau tidak pernah sampai tujuan, jenazahnya diketemukan di jalan Pandanaran Semarang, karena dibunuh oleh tentara Jepang (namamya diabadikan menjadi RS di Semarang). Keesokan harinya 15 Oktober 1945 jam 03.00 pasukan Kidobutai benar-benar melancarkan serangannya ke tengah-tengah kota Semarang. Markas BKR kota Semarang menempati komplek bekas sekolah MULO di Mugas (belakang bekas Pom Bensin Pandanaran). di belakangnya terdapat sebuah bukit rendah dari sinilah di waktu fajar Kidobutai melancarkan serangan mendadak terhadap Markas BKR. Secara tiba-tiba mereka melancarkan serangan dari dua jurusan dengan tembakan tekidanto (pelempar granat) dan senapan mesin yang gencar. Diperkirakan pasukan Jepang yang menyerang berjumlah 400 orang. Setelah memberikan perlawanan selama setengah jam, pimpinan BKR akhirnya menyadari markasnya tak mungkin dapat dipertahankan lagi dan untuk menghindari kepungan tentara Jepang, pasukan BKR mengundurkan diri meninggalkan markasnya. Kemudian pasukan Jepang bergerak membebaskan markas Kempeitai yang sedang dikepung para Pemuda. Setelah mematahkan para Pemuda pasukan Jepang menuju ke markas Polisi Istimewa di Kalisari dan berhasil menduduki markas tersebut. Di sini terjadi pembunuhan kejam yang dilakukan oleh tentara Jepang terhadap anggota Polisi Istimewa yang tidak berhasil meloloskan diri dari pengepungan. Juga di depan markas Kempeitai terjadi pertempuran sengit antara pasukan Jepang melawan para Pemuda yang bertahan di bekas Gedung NIS (Lawang Sewu) dan di Gubernuran (Wisma Perdamaian). Pasukan gabungan yang terdiri dari BKR, Polisi Istimewa dan AMKA melawan secara gigih, sehingga banyak jatuh korban di kedua belah pihak. Meskipun dalam pertempuran tahap pertama pihak Jepang bagian timur dapat berhasil menduduki beberapa tempat penting, mereka tidak dapat bertahan karena selalu mendapat serangan dari BKR dan Pemuda. Terpaksa mereka meninggalkan tempat-tempat tersebut, yang kemudian dikuasai kembali oleh para Pemuda. Demikianlah pasukan silih berganti antara Jepang dan pemuda menempati posisi strategis. Selain menangkap Mr Wongsonegoro, Jepang juga menangkap pimpinan Rumah Sakit Purusara yaitu Dr Sukaryo, Komandan Kompi BKR ialah ex-Sudanco Mirza Sidharta dan banyak pimpinan-pimpinan lainnya. Untuk menuntut balas, bantuan dari luar kota terus berdatangan yang menggabungkan diri dengan para Pemuda yang ada dalam kota. Pasukan BKR dan para pemudanya dari Pati bergabung dengan pasukan Mirza Sidharta dan mengadakan serangan balasan terhadap Jepang yang telah menguasai tempat-tempat penting dalam kota, sehingga berlangsung dengan sengitnya. Taktik gerilya-kota dapat dilaksanakan dengan menghindari pertempuran terbuka, dengan tiba-tiba menyerang dan segera menghilang. Sekalipun belum ada komando terpusat, namun datangnnya serangan terhadap Jepang selalu bergantian dan bergelombang. Keberanian mereka benar-benar patut dibanggakan, sehingga menyulitkan Jepang menguasai kota. Markas Jepang di Jatingaleh pun tak luput dari serangan BKR dan para pemudanya yang menimbulkan korban yang tidak sedikit kepada pihak Jepang. Gerak maju Jepang selanjutnya tidak berjalan lancar, karena tertahan di depan kantor PLN, bahkan sempat dipukul mundur.

Akibat serangan Jepang yang membabi buta, petugas PMI tidak dapat bergerak leluasa, yang menyebabkan korban pertempuran sangat menyedihkan. Mereka yang menderita luka-luka tidak dapat perawatan yang semestinya dan mayat-mayat bergelimpangan di beberapa tempat sampai membusuk, karena tidak segera dikubur. Petugas lain yang sangat besar jasanya yang bermarkas di Hotel du Pavillion (Dibya Puri) ialah dapur umum dimana para pemuda memperoleh makanannya, tetapi setelah pertempuran meluas, selanjutnya para pemuda mendapat bantuan dari rakyat dengan bergotong royong menyediakan makannya, walaupun mereka sendiri saat itu juga kekurangan. Tapi solidaritas rakyat dalam hal ini patut dibanggakan dan jangan dilupakan. Diperkirakan 2.000 pasukan Jepang terlibat dalam pertempuran besar-besaran melawan pemuda-pemuda kita. Senjata-senjata modern dan lengkap dilawan semangat joang yang menyala-nyala dari rakyat Semarang. Di tempat yang paling seru pertempuran terjadi di simpang lima (Tugu Muda). Puluhan Pemuda yang terkepung oleh Jepang dibantai dengan kejamnya oleh pasukan Kidobutai itu. Pemuda dan pasukan rakyat dari luar kota sekitar Semarang menunjukkan kesetia-kawanannya. Bala-bantuan mengalir terus ke kota Semarang. Mereka yang baru datang, langsung terjun terus ke kancah pertempuran. Setelah BKR berhasil mengadakan konsolidasi dan mendapat bantuan dari daerah lain di Jawa Tengah, situasi menjadi berbalik pada saat Jepang berada dalam keadaan kritis. Untuk mengatasi situasi itu serangan makin diperhebat. Banyaknya korban di kalangan penduduk telah meninggikan para pemuda untuk menuntut balas. Diperkirakan 2000 pasukan rakyat kita gugur dalam pertempuran besar-besaran ini, sedangkan dari pihak Jepang tak kurang dari 500 orang kedapatan tewas. Jepang kembali mendekati MR Wongsonegoro yang didesak untuk segera meghentikan pertempuran. Dari hasil peninjauan dapat diketahui banyak rakyat yang tidak berdosa tewas dalam pertempuran kedua belah pihak. Oleh karena desakan Jepang untuk menghentikan pertempuran, diterima oleh Mr Wongsonegoro. Pertimbangan lain adalah untuk menyusun kembali kekuatan dalam menghadapi musuh yang sebenarnya, ialah tentara Sekutu yang diboncengi tentara Belanda yang segera akan mendarat di Semarang. Dalam perundingan dengan Jepang, Jepang menghendaki agar senjata-senjata yang dirampas oleh orang Indonesia dikembalikan lagi kepada Jepang. Tapi Mr Wongsonegoro menolak tuntutan itu, karena selain tak menjamin penyerahan senjata itu, pun tak diketahui siapasiapa yang memegang senjata itu. lagi pula apa si pemegang senjata akan menyerahkan senjata itu kembali kepada Jepang? Akhirnya Jepang menerima pendirian Mr Wongsonegoro itu soal penyerahan senjata, dan demikian tercapailah persetujuan gencatan senjata dengan pihak Jepang. Pada umumnya para pemuda kecewa atas gencetan senjata itu, karena banyak kawan-kawan yang telah gugur dan mereka menghendaki menuntut balas. Setelah Sekutu mendarat di Semarang pada tanggal 19 Oktober 1945, maka berakhir pulalah pertempuran dengan pihak Jepang yang selama 5 hari itu. Kesimpulan pertempuran lima hari di Semarang itu mempunyai nilai tersendiri, khususnya bagi rakyat Jawa Tengah. Peristiwa itu menunjukkan kebulatan tekad rakyat untuk mengambil alih kekuasaan dari Jepang. Tindakan kekerasan harus diambil, karena cara berunding dan diplomasi diabaikan oleh Jepang. 2. Pertempuran di surabaya (10 November 1945)

Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya (Mayor Jenderal Mansergh) mengeluarkan ultimatum yang merupakan penghinaan bagi para pejuang dan rakyat umumnya. Dalam ultimatum itu disebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi tanggal 10 November 1945. Ultimatum tersebut ditolak oleh Indonesia. Sebab, Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri (walaupun baru saja diproklamasikan), dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) sebagai alat negara juga telah dibentuk. Selain itu, banyak sekali organisasi perjuangan yang telah dibentuk masyarakat, termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar. Badan-badan perjuangan itu telah muncul sebagai manifestasi tekad bersama untuk membela republik yang masih muda, untuk melucuti pasukan Jepang, dan untuk menentang masuknya kembali kolonialisme Belanda (yang memboncengi kehadiran tentara Inggris di Indonesia). Pada 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan besar-besaran dan dahsyat sekali, dengan mengerahkan sekitar 30 000 serdadu, 50 pesawat terbang, dan sejumlah besar kapal perang. Berbagai bagian kota Surabaya dihujani bom, ditembaki secara membabi-buta dengan meriam dari laut dan darat. Ribuan penduduk menjadi korban, banyak yang meninggal dan lebih banyak lagi yang luka-luka. Tetapi, perlawanan pejuang-pejuang juga berkobar di seluruh kota, dengan bantuan yang aktif dari penduduk. Pihak Inggris menduga bahwa perlawanan rakyat Indonesia di Surabaya bisa ditaklukkan dalam tempo 3 hari saja, dengan mengerahkan persenjataan modern yang lengkap, termasuk pesawat terbang, kapal perang, tank, dan kendaraan lapis baja yang cukup banyak. Namun di luar dugaan, ternyata para tokoh-tokoh masyarakat yang terdiri dari kalangan ulama' serta kyai-kyai pondok jawa seperti KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai pesantren lainnya mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat umum (pada waktu itu masyarakat tidak begitu patuh kepada pemerintahan tetapi mereka lebih patuh dan taat kepada para kyai) juga ada pelopor muda seperti Bung Tomo dan lainnya. Sehingga perlawanan itu bisa bertahan lama, berlangsung dari hari ke hari, dan dari minggu ke minggu lainnya. Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran besar-besaran ini memakan waktu sampai sebulan, sebelum seluruh kota jatuh di tangan pihak Inggris.

Peristiwa berdarah di Surabaya ketika itu juga telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat yang menjadi korban ketika itulah yang kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan.

4.

Pertempuran Ambarawa(21 nov 1945)

Pada tanggal 20 Oktober 1945, tentara Sekutu di bawah pimpinan Brigadir Bethell mendarat di Semarang dengan maksud mengurus tawanan perang dan tentara Jepang yang berada di Jawa Tengah. Kedatangan sekutu ini diboncengi oleh NICA. Kedatangan Sekutu ini mulanya disambut baik, bahkan Gubernur Jawa Tegah Mr Wongsonegoro menyepakati akan menyediakan bahan makanan dan keperluan lain bagi kelancaran tugas Sekutu, sedang Sekutu berjanji tidak akan mengganggu kedaulatan Republik Indonesia. Namun, ketika pasukan Sekutu dan NICA telah sampai di Ambarawa dan Magelang untuk membebaskan para tawanan tentara Belanda, justru mempersenjatai mereka sehingga menimbulkan amarah pihak Indonesia. Insiden bersenjata timbul di kota Magelang, hingga terjadi pertempuran. Di Magelang, tentara Sekutu bertindak sebagai penguasa yang mencoba melucuti Tentara Keamanan Rakyat dan membuat kekacauan. TKR Resimen Magelang pimpinan M. Sarbini membalas tindakan tersebut dengan mengepung tentara Sekutu dari segala penjuru. Namun mereka selamat dari kehancuran berkat campur tangan Presiden Soekarno yang berhasil menenangkan suasana. Kemudian pasukan Sekutu secara diam-diam meninggalkan Kota Magelang menuju ke benteng Ambarawa. Akibat peristiwa tersebut, Resimen Kedu Tengah di bawah pimpinan Letnan Kolonel M. Sarbini segera mengadakan pengejaran terhadap mereka. Gerakan mundur tentara Sekutu tertahan di Desa Jambu karena dihadang oleh pasukan Angkatan Muda di bawah pimpinan Oni Sastrodihardjo yang diperkuat oleh pasukan gabungan dari Ambarawa, Suruh dan Surakarta. Tentara Sekutu kembali dihadang oleh Batalyon I Suryosumpeno di Ngipik. Pada saat pengunduran, tentara Sekutu mencoba menduduki dua desa di sekitar Ambarawa. Pasukan Indonesia di bawah pimpinan Letnan Kolonel Isdiman berusaha membebaskan kedua desa tersebut, Letnan Kolonel Isdiman gugur. Sejak gugurnya Letkol Isdiman, Komandan Divisi V Banyumas, Soedirman merasa kehilangan perwira terbaiknya dan ia langsung turun ke lapangan untuk memimpin pertempuran. Kehadiran Kolonel Sudirman memberikan nafas baru kepada pasukan-pasukan RI. Koordinasi diadakan diantara komando-komando sektor dan pengepungan terhadap musuh semakin ketat. Siasat yang diterapkan adalah serangan pendadakan serentak di semua sektor. Bala bantuan terus mengalir dari Yogyakarta, Solo, Salatiga, Purwokerto, Magelang, Semarang, dan lain-lain. Tanggal 23 Nopember 1945 ketika matahari mulai terbit, mulailah tembak-menembak dengan pasukan Sekutu yang bertahan di kompleks gereja dan pekuburan Belanda di Jalan Margo Agung. Pasukan Indonesia antara lain dari Yon Imam Adrongi, Yon Soeharto dan Yon Sugeng. Tentara Sekutu mengerahkan tawanan-tawanan Jepang dengan diperkuat tanknya, menyusup ke kedudukan Indonesia dari arah belakang, karena itu pasukan Indonesia pindah ke Bedono. Pada tanggal 11 Desember 1945, Kolonel Soedirman mengadakan rapat dengan para Komandan Sektor TKR dan Laskar. Pada tanggal 12 Desember 1945 jam 04.30 pagi, serangan mulai dilancarkan. Pertempuran berkobar di Ambarawa. Satu setengah jam kemudian, jalan raya Semarang-Ambarawa dikuasai oleh kesatuan-kesatuan TKR. Pertempuran Ambarawa berlangsung sengit, Kolonel Soedirman langsung memimpin pasukannya yang menggunakan taktik gelar supit urang, atau pengepungan rangkap sehingga musuh benar-benar terkurung. Suplai dan komunikasi dengan pasukan induknya terputus sama sekali. Setelah bertempur selama 4 hari, pada tanggal 15 Desember 1945 pertempuran berakhir dan Indonesia berhasil merebut Ambarawa dan Sekutu dibuat mundur ke Semarang. Kemenangan pertempuran ini kini diabadikan dengan didirikannya Monumen Palagan Ambarawa dan diperingatinya Hari Jadi TNI Angkatan Darat atau Hari Juang Kartika. 5. Pertempuran Medan Area 1 Desember 1945

Pada tanggal 9 Oktober 1945 tentara Inggris yang diboncengi oleh NICA mendarat di Medan. Mereka dipimpin oleh Brigjen T.E.D Kelly. Awalnya mereka diterima secara baik oleh pemerintah RI di Sumatra Utara sehubungan dengan tugasnya untuk membebaskan tawanan perang (tentara Belanda). Sebuah insiden terjadi di hotel Jalan Bali, Medan pada tanggal 13 Oktober 1945. Saat itu seorang penghuni hotel (pasukan NICA) merampas dan menginjak-injak lencana Merah Putih yang dipakai pemuda Indonesia. Hal ini mengundang kemarahan para pemuda. Akibatnya terjadi perusakan dan penyerangan terhadap hotel yang banyak dihuni pasukan NICA. Pada tanggal 1 Desember 1945, pihak Sekutu memasang papan-papan yang bertuliskan Fixed Boundaries Medan Area di berbagai sudut kota Medan. Sejak saat itulah Medan Area menjadi terkenal. Pasukan Inggris dan NICA mengadakan pembersihan terhadap unsur Republik yang berada di kota Medan. Hal ini jelas menimbulkan reaksi para pemuda dan TKR untuk melawan kekuatan asing yang mencoba berkuasa kembali. Pada tanggal 10 Agustus 1946 di Tebingtinggi diadakan pertemuan antara komandan-komandan pasukan yang berjuang di Medan Area. Pertemuan tersebut memutuskan dibentuknya satu komando yang bernama Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area. 6. Bandung Lautan Api

Terjadinya peristiwa Bandung Lautan Api diawali dari datangnya Sekutu pada bulan Oktober 1945. Peristiwa ini dilatarbelakangi oleh ultimatum Sekutu untuk mengosongkan kota Bandung. Pada tanggal 21 November 1945, Sekutu mengeluarkan ultimatum pertama isinya kota Bandung bagian Utara selambat-lambatnya tanggal 29 November 1945 dikosongkan oleh para pejuang. Ultimatum tersebut tidak ditanggapi oleh para pejuang. Selanjutnya tanggal 23 Maret 1946 Sekutu mengeluarkan ultimatum kembali. Isinya hampir sama dengan ultimatum yang pertama. Menghadapi ultimatum tersebut para pejuang kebingungan karena mendapat dua perintah yang berbeda. Pemerintah RI di Jakarta memerintahkan agar TRI mengosongkan kota Bandung. Sementara markas TRI di Yogyakarta menginstruksikan agar Bandung tidak dikosongkan. Akhirnya para pejuang mematuhi perintah dari Jakarta. Pada tanggal 23-24 Maret 1946 para pejuang meninggalkan Bandung. Namun, sebelumnya mereka menyerang Sekutu dan membumihanguskan kota Bandung. Tujuannya agar Sekutu tidak dapat menduduki dan

memanfaatkan sarana-sarana yang vital. Peristiwa ini dikenal dengan Bandung Lautan Api. Sementara itu para pejuang dan rakyat Bandung mengungsi ke luar kota. 7. Puputan Margarana 20 November 1946

Perang Puputan Margarana di Bali diawali dari keinginan Belanda mendirikan Negara Indonesia Timur (NIT). Letkol I Gusti Ngurah Rai, Komandan Resimen Nusa Tenggara, berusaha menggagalkan pembentukan NIT dengan mengadakan serangan ke tangsi NICA di Tabanan tanggal 18 Desember 1946. Konsolidasi dan pemusatan pasukan Ngurah Rai (yang dikenal dengan nama pasukan Ciung Wanara) ditempatkan di Desa Adeng Kecamatan Marga. Belanda menjadi gempar dan berusaha mencari pusat kedudukan pasukan Ciung Wanara. Pada tanggal 20 November 1946 dengan kekuatan besar Belanda melancarkan serangan dari udara terhadap kedudukan Ngurah Rai di desa Marga. Dalam keadaan kritis, Letkol I Gusti Ngurah Rai mengeluarkan perintah Puputan yang berarti bertempur sampai habis-habisan (fight to the end). Letkol I Gusti Ngurah Rai gugur beserta seluruh anggota pasukan dalam pertempuran tersebut. Jenazahnya dimakamkan di desa Marga. Pertempuran tersebut terkenal dengan nama Puputan Margarana. Gugurnya Letkol I Gusti Ngurah Rai telah melicinkan jalan bagi usaha Belanda untuk membentuk Negara Indonesia Timur. Serangan Umum 1 Maret 1949

Dalam agresi militer II, Belanda berhasil menangkap para pemimpin politik dan menduduki ibukota RI di Yogyakarta. Belanda ingin menunjukkan kepada dunia bahwa pemerintahan RI telah dihancurkan dan TNI tidak memiliki kekuatan lagi. Menghadapi tindakan Belanda tersebut, TNI menyusun kekuatan untuk melawan Belanda. Puncak serangan TNI adalah serangan umum terhadap kota Yogyakarta pada tanggal 1 Maret 1949, yang dipimpin oleh Letkol Soeharto. Sebelumnya, Letkol Soeharto mengadakan koordinasi terlebih dahulu dengan Sri Sultan Hamengku Buwono IX selaku Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam serangan ini, TNI memakai sistem wehrkreise.Untuk memudahkan penyerangan, maka dibentuk beberapa sektor yaitu: a.sektor Barat dipimpin oleh Mayor Ventje Sumual, b. sektor Selatan dan Timur dipimpin oleh Mayor Sardjono, c. sektor Utara dipimpin oleh Mayor Kusno, d. sektor Kota dipimpin oleh Letnan Amir Murtono dan Letnan Masduki. Pada malam hari menjelang serangan umum, pasukan-pasukan telah merayap mendekati kota dan melakukan penyusupan-penyusupan. Pagi hari tanggal 1 Maret 1949 sekitar pukul 06.00 WIB tepat sirene berbunyi, serangan dilancarkan dari segala penjuru kota. Letkol Soeharto langsung memimpin penyerangan dari sektor Barat sampai batas Jalan Malioboro. Rakyat membantu memperlancar jalannya penyerangan dengan memberikan bantuan logistik. Dalam waktu enam jam kota Yogyakarta berhasil dikuasai TNI. Pada pukul 12.00 WIB tepat, pasukan TNI mengundurkan diri. Hal ini sesuai dengan rencana yang ditentukan sejak awal. Bersamaan dengan itu bantuan Belanda tiba dengan kendaraan lapis baja serta pesawat terbang. Belanda melakukan serangan balasan.

Meskipun Berikut a. Ke dalam

demikian, ini

tujuan

serangan

Serangan

umum

Umum

telah

mencapai Maret

tujuannya. 1949.

1) Mendukung perjuangan 2) Meninggikan moral rakyat dan TNI yang sedang bergerilya. b. Ke luar 1) Menunjukkan kepada dunia 2) Mematahkan moral pasukan Belanda. internasional bahwa

yang

dilakukan

secara

diplomasi.

TNI

mempunyai

kekuatan

untuk

mengadakan

ofensif.

Untuk mengenang para pejuang dan peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 maka pemerintah Yogyakarta membangun Monumen Yogya Kembali. b) Perjuangan Diplomasi 1. Perundingan Linggarjati

Perundingan Linggarjati atau kadang juga disebut Perundingan Linggajati adalah suatu perundingan antara Indonesia dan Belanda di Linggarjati, Jawa Barat yang menghasilkan persetujuan mengenai status kemerdekaan Indonesia. Hasil perundingan ini ditandatangani di Istana Merdeka Jakarta pada 15 November 1946 dan diratifikasi kedua negara pada 25 Maret 1947. Latar Belakang Masuknya AFNEI yang diboncengi NICA ke Indonesia karena Jepang menetapkan status quo di Indonesia menyebabkan terjadinya konflik antara Indonesia dengan Belanda, seperti contohnya Peristiwa 10 November, selain itu pemerintah Inggris menjadi penanggung jawab untuk menyelesaikan konflik politik dan militer di Asia, oleh sebab itu, Sir Archibald Clark Kerr, diplomat Inggris, mengundang Indonesia dan Belanda untuk berunding di Hooge Veluwe, namun perundingan tersebut gagal karena Indonesia meminta Belanda mengakui kedaulatannya atas Jawa, Sumatera dan Madura, namun Belanda hanya mau mengakui Indonesia atas Jawa dan Madura saja. Misi pendahuluan Pada akhir Agustus 1946, pemerintah Inggris mengirimkan Lord Killearn ke Indonesia untuk menyelesaikan perundingan antara Indonesia dengan Belanda. Pada tanggal 7 Oktober 1946 bertempat di Konsulat Jenderal Inggris di Jakarta dibuka perundingan Indonesia-Belanda dengan dipimpin oleh Lord Killearn. Perundingan ini menghasilkan persetujuan gencatan senjata (14 Oktober) dan meratakan jalan ke arah perundingan di Linggarjati yang dimulai tanggal 11 November 1946. Jalannya perundingan Dalam perundingan ini, Indonesia diwakili oleh Kabinet Sjahrir III yang dipimpin oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan tiga anggota: Mohammad Roem, Susanto Tirtoprodjo, dan AK Gani. Belanda diwakili oleh tim yang disebut Komisi Jendral dan dipimpin oleh Schermenhorn dengan anggota Max Van Poll, F de Boer, dan HJ Van Mook. Lord Killearn dari Inggris bertindak sebagai mediator dalam perundingan ini. Hasil perundingan terdiri dari 17 pasal yang antara lain berisi:

1. 2. 3. 4.

Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia, yaitu Jawa, Sumatera dan Madura. Belanda harus meninggalkan wilayah RI paling lambat tanggal 1 Januari 1946. Pihak Belanda dan Indonesia Sepakat membentuk negara RIS. Dalam bentuk RIS Indonesia harus tergabung dalam Commonwealth /Persemakmuran Indonesia-Belanda dengan mahkota negeri Belanda debagai kepala uni.

2.Perjanjian Renville

Perjanjian Renville adalah perjanjian antara Indonesia dan Belanda yang ditandatangani pada tanggal 17 Februari 1948 di atas geladak kapal perang Amerika Serikat sebagai tempat netral, USS Renville, yang berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Perundingan dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 dan ditengahi oleh Komisi Tiga Negara (KTN), Committee of Good Offices for Indonesia, yang terdiri dari Amerika Serikat, Australia, dan Belgia. DelegasiDelegasi Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Amir Syarifuddin Harahap. Delegasi Kerajaan Belanda dipimpin oleh Kolonel KNIL R. Abdul Kadir Wijoyoatmojo.

Gencatan senjata Pemerintah RI dan Belanda sebelumnya pada 17 Agustus 1947 sepakat untuk melakukan gencatan senjata hingga ditandatanganinya Persetujuan Renville, tapi pertempuran terus terjadi antara tentara Belanda dengan berbagai laskar-laskar yang tidak termasuk TNI, dan sesekali unit pasukan TNI juga terlibat baku tembak dengan tentara Belanda, seperti yang terjadi antara Karawang dan Bekasi. Kesepakatan Kesepakatan yang diambil dari Perjanjian Renville adalah sebagai berikut : 1. Disetujuinya pelaksanaan gencatan senjata Disetujuinya sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan di Jawa Barat dan Jawa Timur ke daerah Indonesia di Yogyakarta

2. 3.

Pasca perjanjian Sebagai hasil Persetujuan Renville, pihak Republik harus mengosongkan enclave (kantong-kantong) yang dikuasai TNI, dan pada bulan Februari 1948, Divisi Siliwangi hijrah ke Jawa Tengah. Tidak semua pejuang Republik yang tergabung dalam berbagai laskar, seperti Barisan Bambu Runcing dan Laskar Hizbullah/Sabillilah di bawah pimpinan Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo, mematuhi hasil Persetujuan Renville tersebut. Mereka terus melakukan perlawanan bersenjata terhadap tentara Belanda. S.M. Kartosuwiryo, yang menolak jabatan Menteri Muda Pertahanan dalam Kabinet Amir Syarifuddin, kemudian mendirikan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Hingga pada 7 Agustus 1949, di wilayah yang masih dikuasai Belanda waktu itu, Kartosuwiryo menyatakan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII). 4.konferensi inter-Indonesia 19 Juli 1949. Hari ini, 58 tahun silam, digelar Konferensi Inter-Indonesia di Yoyakarta. Konferensi yang merupakan tindak lanjut dari Perjanjian Roem-Royen ini dihadiri delegasi pemerintah Republik Indonesia dan delegasi dari Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO). BFO yang didirikan di Bandung pada 29 Mei 1948 merupakan lembaga permusyawaratan dari negara-negara federal yang memisahkan dari RI. Perdana Menteri negara Pasundan, Mr. Adil Poeradiredja, dan Perdana Menteri Negara Indonesia Timur, Gde Agung, memainkan peran penting dalam pembentukan BFO. BFO yang dibentuk di Bandung tentu saja tak bisa dilepaskan dari strategi van Mook mendirikan negara boneka di wilayah Indonesia yang dimulai sejak 1946. Beberapa negara federal yang tergabung dalam BFO masih menyisakan jejak-jejak van Mook. Tetapi tidak berarti BFO sepenuhnya dikendalikan oleh van Mook atau Belanda. Bahkan dalam beberapa hal, BFO dan van Mook berseberangan sudut pandang. BFO yang lahir di Bandung bergerak dalam kerangka negara Indonesia yang merdeka, berdaulat dan berbentuk negara federal. BFO ingin agar badan federasi inilah yang kelak juga menaungi RI di bawah payung Republik Indonesia Serikat. Ini berbeda titik pijak dengan van Mook yang jusrtu berharap BFO bisa menjadi pintu masuk untuk meniadakan pemerintah Indonesia, persisnya Republik Indonesia. Kegagalan mengendalikan sepenuhnya BFO inilah yang menjadi salah satu penyebab mundurnya van Mook sebagai orang yang ditunjuk oleh pemerintah Belanda guna mengusahakan kembalinya tatanan kolonial. Alasan itu menjadi penyebab Wakil Tinggi Pemerintah Belanda di Jakarta, Beel, juga mengundurkan diri dari jabatannya.

BFO ikut pula memainkan peran penting dalam membebaskan para petinggi RI yang ditangkap Belanda pada Agresi Militer II. Para pemimpin BFO mengambil sikap yang tak diduga oleh Belanda tersebut menyusul Agresi Militer II yang diangap melecehkan kedaulatan sebuah bangsa di tanah airnya. Agresi Militer II tak cuma melahirkan simpati dunia internasional, melainkan juga simpati negara-negara federal yang sebelumnya memisahkan dari RI. Selain membahas aspek-aspek mendasar hingga teknis perencanaan membangun dan membentuk RIS, Konferensi Intern-Indonesia juga digunakan sebagai konsolidasi internal menjelang digelarnya Konferensi Meja Bundar yang dimulai pada 23 Agustus 1949. Bagi pemerintah RI sendiri, kesediaan menggelar Konferensi Inter-Indonesia bukan semata karena ketiadaan pilihan lain yang lebih baik, melainkan juga karena pemerintah RI menganggap BFO tidak lagi sama persis dengan BFO yang direncanakan van Mook. Soekarno menyebut konferensi ini sebagai trace baru bagi arah perjuangan Indonesia. Konferensi yang berlangsung hingga 22 Juli itu banyak didominasi perbincangan mengenai konsep dan teknis pembentukan RIS, terutama mengenai susunan kenegaraaan berikut hak dan kewajiban antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Salah satu keputusan yang penting lainnya yang diambil adalah sikap BFO yang menyokong tuntutan Republik Indonesia agar Belanda dan dunia internasional mengakui kedaulatan Indonesia. Untuk itulah BFO dan pemerintah RI pada Konferensi Intern-Indonesia itu ikut merumuskan bentuk kerja sama antara RIS dengan pemerintah kerajaan Belanda. Konsensus yang dibangun melalui Konferensi Intern-Indonesia ini menjadi modal berharga bagi pemerintah RI, terutama delegasi Indonesia yan dtunjuk untuk berunding dengan Belanda pada Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Keberadaan BFO dan sikap tegas Gde Agung untuk menolak intervensi Belanda membuat pemerintah Indonesia memiliki legitimasi yang makin kuat untuk berunding dengan Belanda di KMB. Ketika KMB telah selesai, yang menghasilkan pengakuan kedaulatan bagi Indonesia dan konsensus mengenai RIS, wakil-wakil BFO dan pemerintah Indonesia kembali bertemu di Pejambon, Jakarta Pusat, pada 14 Desember 1949. Dari pertemuan inilah disepakati UUD RIS berikut struktur negara federal di lingkungan RIS. 4. Perundingan Rum-royen Tanggal 6 Agustus 1948, Dr. Willem Drees dari Partij van de Arbeid (Partai Buruh), menjadi Perdana Menteri kabinet koalisi bersama Partai Katolik (Katholieke Volkspartij). Dia menggantikan Dr. L.J.M. Beel, yang kemudian diangkat menjadi Hooge Vertegenwoordiger van de Kroon (Wakil Tinggi Mahkota) Belanda di Indonesia. Beel menggantikan posisi van Mook sebagai Wakil Gubernur Jenderal. Jabatan Gubernur Jenderal dan Wakil Gubernur Jenderal dihapus. Willem Drees, pernah menjadi Menteri Sosial di kabinet Schermerhorn dan kemudian di kabinet Beel. Drees menjadi Perdana Menteri Belanda dari tahun 1948 1958. Pengangkatan Dr. Beel menjadi Wakil Tinggi Mahkota menunjukkan, betapa pentingnya masalah Indonesia bagi Belanda. Dengan demikian setelah Profesor Schermerhorn, Dr. Beel adalah mantan Perdana Menteri Belanda kedua yang dipercayakan untuk menyelesaikan masalah Indonesia.

Van Mook

Schermerhorn

Dr. L.J.M. Beel

Berbeda dengan Profesor Schermerhorn yang sosialis, Beel termasuk kelompok garis keras dan dekat dengan kalangan pengusaha di Belanda, yang tidak ingin memberikan konsesi apa pun kepada pihak Republik. Dengan pengangkatan Dr. Beel, Belanda telah menunjukkan sikap kerasnya, dan Letnan Jenderal Spoor yang memang ingin menghancurkan TNI, mendapat dukungan politik. Sementara itu, Belanda konsisten dalam usaha memecah belah bangsa Indonesia dan mengadakan pendekatan kepada orang-orang Indonesia yang bersedia bekerja untuk Belanda. Di Jawa Timur, van der Plas mengganti pejabat-pejabat daerah, terutama para Bupati yang mendukung Republik dan digantikan oleh kakitangan Belanda. Setelah sebelumnya mengadakan pembersihan di daerah-daerah sekitar Bondowoso, tanggal 16 November 3 Desember 1948, van der Plas menggelar Konferensi Dewan Kabupaten se-Jawa Timur di Bondowoso dan sekali lagi berhasil mendirikan satu negara boneka baru, yang dinamakan Negara Jawa Timur dan mengangkat R.T.P. Achmad Kusumonegoro, Bupati Banyuwangi, sebagai Wali Negara. Dalam perundingan dengan pihak Republik, Belanda mulai dengan sengaja mengajukan tuntutan-tuntutan ekstrim, yang tentu akan ditolak oleh pihak Republik antara lain adalah pembubaran TNI dan pembentukan Angkatan Perang Negara Indonesia Serikat dengan basis tentara KNIL. Jelas usulan ini ditolak dengan tegas oleh pihak Indonesia. Dengan cara-cara seperti ini, Belanda merekayasa sehingga perundingan antara Belanda dan Indonesia yang berlangsung di Kaliurang, difasilitasi oleh KTN Komisi Tiga Negara), mengalami kebuntuan. Selain itu, Beel mengumumkan akan segera membentuk pemerintahan interim, yang dinamakannya Pemerintah Peralihan di Indonesia (Bewindvoering Indonesie in Overgangstijd BIO), dan tanggal 11 Desember, Dr. Beel menyatakan bahwa Belanda tidak bersedia melanjutkan perundingan dan memaksa pimpinan Republik untuk menjadi anggota pemerintahan interim. Namun hal itu jelas mendapat penolakan dari para pemimpin Republik. Pada hari yang sama, pimpinan militer Republik menerima laporan, bahwa tentara Belanda sedang mengadakan konsentrasi besar-besaran di garis demarkasi. Untuk mengantisipasi serangan Belanda, pimpinan TNI merencanakan akan mengadakan latihan perang pada 19 Desember 1948. Pada 11 Desember 1948 Belanda menyatakan tidak bersedia lagi melanjutkan perundingan dengan pihak Republik, dan pada 13 Desember 1948, Belanda mengumumkan berdirinya BIO yang rencananya hanya terdiri dari negara- negara boneka, yang tergabung dalam Bijeenkomst voor Federaale Overleg BFO- (Musyawarah Negara Federal), tanpa ikutsertanya Republik Indonesia.

Dengan ikut dikerahkannya pasukan Siliwangi untuk menumpas pemberontakan Muso di Madiun, kekuatan pertahanan Republik Indonesia di Ibukota Yogyakarta dengan sendirinya melemah. Sebagian kekuatan militer di Divisi I (Jawa Timur) dan Divisi II (Jawa Tengah bagian timur) juga dikerahkan untuk menumpas kekuatan bersenjata pendukung Muso yang berpusat di Madiun. Perkiraan, bahwa Belanda akan memanfaatkan situasi tersebut ternyata akan segera terbukti. Namun hal itu tidak mengejutkan pimpinan TNI, karena telah diantisipasi jauh sebelumnya dan telah melakukan persiapan yang sangat matang. Dalam suatu sidang kabinet, sesuai dengan hasil pembicaraan dalam sidang Dewan Siasat Militer beberapa waktu sebelumnya, diputuskan untuk segera memberangkatkan Presiden Sukarno ke India. Untuk tidak menimbulkan kecurigaan Belanda, alasan yang akan dikemukakan adalah suatu kunjungan resmi kenegaraan. Hal tersebut disampaikan kepada Wakil India di Yogyakarta, Mr. Yunus, yang segera meneruskan kepada Perdana Menteri India. Perdana Menteri Nehru menyetujuinya dan bahkan mengirim pesawat terbang untuk menjemput Presiden

Sukarno.

Direncanakan, Presiden Sukarno akan berangkat ke India tanggal 15 Desember 1948 dan akan ditemani antara lain oleh Komodor Udara Suriadarma, namun pesawat yang dikirim oleh Perdana Menteri India, ditahan oleh Belanda di Jakarta dan tidak diizinkan melanjutkan penerbangan ke Yogyakarta. Malam sebelumnya, Presiden Sukarno bahkan telah mengucapkan pidato perpisahan.

Tanggal 17 Desember, melalui Ketua KTN Merle Cochran, yang sejak bulan Oktober 1948 menggantikan Dubois, Wakil Presiden Hatta yang juga ketua delegasi Indonesia, mengirim surat kepada Dr. Beel, yang berisi jawaban pihak Indonesia atas permintaan Belanda mengenai rencana pembentukan BIO. Karena penyakit paru yang dideritanya, sejak bulan Oktober 1948 Panglima Besar harus dirawat di rumah sakit, sehingga tugas sehari-hari dilaksanakan oleh para Wakil Kepala Staf Angkatan Perang. Namun firasat Sudirman yang kuat, mendorongnya pada 18 Desember 1948 untuk menyatakan, bahwa mulai hari itu, dia mengambil alih kembali komando Angkatan Perang Republik Indonesia. Simatupang mencatat: Pada tanggal 18 Desember pagi saya mengunjungi Pak Dirman yang sejak tiga bulan tidak dapat lagi bangun dari tempat tidurnya. Pada kesempatan itu saya laporkan kepada Pak Dirman bahwa pada satu pihak kita menganggap keadaan cukup genting, tetapi pada pihak lain menurut anggapan pimpinan politik, secara politis Belanda belum dapat memulai serangan selama surat-menyurat melalui wakil Amerika Serikat dalam KTN belum putus. Penyerangan oleh pihak Belanda dalam keadaan seperti itu merupakan politik gila, demikian pendapat di kalangan-kalangan politik. Walau pun begitu rupanya Pak Dirman telah mempunyai firasat bahwa Belanda akan menyerang juga. Pada hari itu Pak Dirman mengeluarkan pengumuman bahwa beliau telah memegang kembali komando.

Dan ternyata firasat Panglima Besar lebih tepat dibandingkan pertimbangan dan perhitungan beberapa politisi Republik, yang selalu terkecoh oleh taktik Belanda, dan sebelumnya, terkecoh oleh Inggris. Pimpinan pemerintahan Republik melihat, bahwa tanggal 17 Desember, Merle Cochran, Ketua KTN yang ditunjuk oleh Amerika Serikat baru berangkat ke Jakarta membawa surat Wakil Presiden Hatta untuk disampaikan kepada WTM Dr. Beel, sehingga dengan demikian menurut perhitungan mereka, apabila Belanda memulai agresi militernya, berarti akan menampar muka Amerika Serikat, sehingga para politisi Republik yakin, Belanda tidak akan melakukan politik gila seperti itu. Dan sejarah mencatat, bahwa memang Belanda melakukan politik gila yang menjadi suatu tamparan bagi Amerika Serikat, yang kemudian benar menjadi bumerang bagi Belanda sendiri. Tanggal 18 Desember 1948 pukul 23.30, siaran radio dari Jakarta menyebutkan, bahwa besok pagi Wakil Tinggi Mahkota Belanda, Dr. Beel, akan mengucapkan pidato yang penting. Sementara itu Jenderal Spoor yang telah berbulan-bulan mempersiapkan rencana pemusnahan TNI memberikan instruksi kepada seluruh tentara Belanda di Jawa dan Sumatera untuk memulai penyerangan terhadap kubu Republik. Operasi tersebut dinamakan Operasi Kraai. Pukul 2.00 pagi 1e para-compagnie (pasukan para I) KST di Andir memperoleh parasut mereka dan memulai memuat keenambelas pesawat transportasi, dan pukul 3.30 dilakukan briefing terakhir. Pukul 3.45 Mayor Jenderal Engles tiba di bandar udara Andir, diikuti oleh Jenderal Spoor 15 menit kemudian. Dia melakukan inspeksi dan mengucapkan pidato singkat. Pukul 4.20 pasukan elit KST di bawah pimpinan Kapten Eekhout naik ke pesawat dan pukul 4.30 pesawat Dakota pertama tinggal landas. Rute penerbangan ke arah timur menuju Maguwo diambil melalui Lautan Hindia. Pukul 6.25 mereka menerima berita dari para pilot pesawat pemburu, bahwa zona penerjunan telah dapat dipergunakan. Pukul 6.45 pasukan para mulai diterjunkan di Maguwo (baca Operasi Gagak ). Seiring dengan penyerangan terhadap bandar udara Maguwo, pagi hari tanggal 19 Desember 1948, WTM Beel berpidato di radio dan menyatakan, bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan Renville . Penyerbuan terhadap semua wilayah Republik di Jawa dan Sumatera, termasuk serangan terhadap Ibukota RI, Yogyakarta, yang kemudian dikenal sebagai Agresi II telah dimulai. Belanda konsisten dengan menamakan agresi militer ini sebagai Aksi Polisional. Penyerangan terhadap Ibukota Republik, diawali dengan pemboman atas lapangan terbang Maguwo, di pagi hari. Pukul 05.45 lapangan terbang Maguwo dihujani bom dan tembakan mitraliur oleh 5 pesawat Mustang dan 9 pesawat Kittyhawk. Pertahanan TNI di Maguwo hanya terdiri dari 150 orang pasukan pertahanan pangkalan udara dengan persenjataan yang sangat minim, yaitu beberapa senapan dan satu senapan anti pesawat 12,7. Senjata berat sedang dalam keadaan rusak. Pertahanan pangkalan hanya diperkuat dengan satu kompi TNI bersenjata lengkap. Pukul 06.45, 15 pesawat Dakota menerjunkan pasukan KST Belanda di atas Maguwo. Pertempuran merebut Maguwo hanya berlangsung sekitar 25 menit. Pukul 7.10 bandara Maguwo telah jatuh ke tangan pasukan Kapten Eekhout. Di pihak Republik tercatat 128 tentara tewas, sedangkan di pihak penyerang, tak satu pun jatuh korban.

Sekitar pukul 9.00, seluruh 432 anggota pasukan KST telah mendarat di Maguwo, dan pukul 11.00, seluruh kekuatan Grup Tempur M sebanyak 2.600 orang termasuk dua batalyon, 1.900 orang, dari Brigade T- beserta persenjataan beratnya di bawah pimpinan Kolonel D.R.A. van Langen telah terkumpul di Maguwo dan mulai bergerak ke Yogyakarta. Serangan terhadap Yogyakarta juga dimulai dengan pemboman serta menerjunkan pasukan payung di kota Yogyakarta. Di daerah-daerah lain di Jawa antara lain di Jawa Timur, dilaporkan bahwa penyerangan bahkan telah dilakukan sejak tanggal 18 Desember malam hari. Segera setelah mendengar berita bahwa tentara Belanda telah memulai serangannya, Panglima Besar mengeluarkan perintah kilat yang dibacakan di radio tanggal 19 Desember 1948 pukul 08.00: PERINTAH No. Kita Pada tanggal KILAT I/P.B./D/1948 diserang. terbang Maguwo. Senjata. Belanda. tempat 1948 08.00 Perang Indonesia

19

Desember Belanda Perang

1948

Angkatan

Perang

telah Belanda menyerang membatalkan yang telah 19 di -

kota

Yogyakarta

dan

lapangan

Pemerintah Semua Angkatan

telah menjalankan rencana Besar

persetujuan ditetapkan untuk

Gencatan menghadapi serangan

Dikeluarkan Tanggal Jam Panglima Republik Letnan Jenderal Sudirman

Desember Angkatan

Setelah itu, Jenderal Sudirman berangkat ke Istana Presiden, di mana kemudian dia didampingi oleh Kolonel Simatupang, Komodor Suriadarma serta dr. Suwondo, dokter pribadinya. Kabinet mengadakan sidang dari pagi sampai siang hari. Karena merasa tidak diundang, Jenderal Sudirman dan para perwira TNI lainnya menunggu di luar ruang sidang. Setelah mempertimbangkan segala kemungkinan yang dapat terjadi, akhirnya Pemerintah Indonesia memutuskan untuk tidak meninggalkan Ibukota. Mengenai hal-hal yang dibahas serta keputusan yang diambil adalam sidang kabinet tanggal 19 Desember 1948, Hatta menulis dalam buku Memoir sebagai berikut: 1. Apakah Presiden dan Wakil Presiden akan pergi ke luar kota dan melaksanakan perang gerilya? Pada waktu itu sudah diketahui, bahwa Panglima Besar Sudirman memutuskan akan melakukan perang gerilya. Ia datang ke kepresidenan jam 7 pagi untuk pamitan dengan presiden. Berhubung dengan keadaannya masih sakit, Presiden berusaha membujuk dia, supaya tinggal dalam kota, tetapi Sudirman menolak. Simatupang mengatakan sebaiknya Presiden dan Wakil Presiden ikut bergerilya. Ini akan memperkuat perjuangan rakyat dan tentara. Tetapi apabila Presiden dan Wakil Presiden pergi perang gerilya ke luar kota, sekurang-kurangnya satu batalyon tentara harus menjadi pengawal. Dan tentara itu tidak ada, sebab semuanya sudah ke luar kota. Menteri Laoh mengatakan bahwa sekarang ternyata pasukan yang akan mengawal tidak ada. Jadi Presiden dan Wakil Presiden terpaksa tinggal dalam kota. Itu tidak merugikan, sebab Presiden dan Wakil Presiden selalu dapat berhubungan dengan KTN sebagai alat United Nations. Setelah dipungut suara, hampir seluruh Menteri yang hadir mengatakan, Presiden dan Wakil Presiden tetap dalam kota. Semua menyetujui, bahwa Wakil Presiden yang merangkap Menteri Pertahanan menganjurkan dengan perantaraan radio supaya tentara dan rakyat melaksanakan perang gerilya melawan tentara Belanda. Wakil Presiden membuat teks pidato yang tidak perlu panjang, cukup beberapa kalimat saja dan teks itu dibacakan oleh seorang penyiar radio. 3. Presiden dan Wakil Presiden mengirim kawat kepada Syafruddin Prawiranegara di Bukittinggi, bahwa ia diangkat sementara membentuk satu kabinet dan mengambil alih Pemerintah Pusat.

2. 3.

Dengan demikian Pemerintah Republik Indonesia memutuskan, untuk tetap tinggal di Ibukota Yogyakarta, setelah memperhitungkan, bahwa keamanan akan lebih terjamin, dibandingkan apabila pergi ke luar kota dan ikut bergerilya. Kemungkinan untuk tewas tertembak dalam kemelut serangan tentara Belanda tentunya sangat besar; begitu juga apabila ikut bergerilya, di mana tentara Belanda tentu akan memanfaatkan situasi perang, untuk menembak mati para pimpinan sipil dan militer Republik. Hal ini terbukti dengan tewasnya seorang Menteri Republik, yang ikut bergerilya, yaitu Supeno, Menteri Urusan Pemuda dan Pembangunan. Presiden Sukarno menyampaikan pidato melalui RRI, yang kemudian disiarkan berulang-ulang oleh Radio Suara Indonesia Merdeka dari stasiun pemancar di daerah gerilya. Isi pidato tersebut sebagai berikut: Rakyat Indonesia, Bangsaku yang tercinta! Pada hari ini, Minggu tanggal 19 Desember 1948 pada jam enam pagi, Belanda telah mulai dengan serangan atas Yogyakarta dan sekitarnya. Dengan tindakannya ini nyata bahwa Belanda mulai lagi dengan perang kolonialnya untuk menghancurkan Pemerintah dan Negara RI agar mereka dapat menjajah kembali seluruh tanah air dan bangsa Indonesia. Setelah kita berbulan-bulan berusaha dengan segala kebulatan hati untuk menyelesaikan pertikaian dengan Belanda secara damai, sekonyong-konyong mereka dengan tidak memberitahu lebih dulu mempergunakan alat senjatanya yang asa pada mereka untuk melakukan kehendak mereka itu dengan paksaan. Dengan tidak mengindahkan adanya KTN di Yogyakarta, dengan tidak memperdulikan adanya perjanjian gencatan senjata, mereka telah memutuskan segala kemungkinan untuk mencapai penyelesaian secara damai. Kami percaya, bahwa seluruh rakyat Indonesia yang berada di daerah Republik atau pun yang berada di daerah yang diduduki Belanda serentak akan berdiri di belakang Pemerintah Republik untuk menentang tindakan yang melanggar perikemanusiaan ini dengan segala alat lahir dan batin yang ada pada kita. Kami mengetahui bahwa dengan kekuatan senjata, Belanda mungkin akan dapat merebut dan menduduki beberapa tempat yang penting, akan tetapi tidak mungkin mereka dapat mematahkan semangat perjuangan kita, tidak dapat menghilangkan atau mengurangkan kemerdekaan kita, Bangsa Indonesia, yang telah kita insyafkan dan pertahankan selama tiga tahun ini. Kemerdekaan yang telah kita proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan telah meresap dalam jiwa kita, mustahil dapat ditindas dengan kekerasan. Marilah

Bangsaku, kita pertahankan tanah air dan kemerdekaan kita dengan segala tenaga yang ada pada kita. Teruskan perjuangan kita dan percayalah bahwa kemerdekaan pasti akan ada pada kita, insya Allah. Yogyakarta, Presiden (Sukarno) Sesuai dengan rencana yang telah dipersiapkan oleh Dewan Siasat, yaitu basis pemerintahan sipil akan dibentuk di Sumatera, maka Presiden dan Wakil Presiden membuat surat kuasa yang ditujukan kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran yang sedang berada di Bukittinggi. Isi Surat Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta adalah sebagai berikut: 19 Republik Desember 1948 Indonesia

Kami Presiden RI memberitahukan bahwa pada hari Minggu, tanggal 19 Desember 1948, pukul 6 pagi, Belanda telah memulai serangannya atas Ibukota Yogyakarta. Jika dalam keadaan Pemerintah tidak dapat menjalankan kewajibannya lagi, kami menguasakan pada Mr. Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran Republik Indonesia untuk membentuk Pemerintah Darurat di Sumatera. Yogyakarta, Presiden Sukarno Mohammad Hatta 19 Wakil Desember 1948 Presiden

Selain itu, untuk menjaga kemungkinan bahwa Syafruddin tidak berhasil membentuk pemerintahan di Sumatera, juga dibuat surat untuk Duta Besar RI untuk India, dr. Sudarsono, serta staf Kedutaan RI, L.N. Palar dan Menteri Keuangan Mr. A.A. Maramis yang sedang berada di New Delhi yang isinya: Pro: dr. Sudarsono/Palar/Mr. Maramis. New Delhi. Jika ikhtiar Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatra tidak berhasil, kepada Saudara-saudara dikuasakan untuk membentuk Exile Government of the Republic of Indonesia di India. Harap dalam hal ini berhubungan dengan Syafruddin di Sumatra. Jika hubungan tidak mungkin, harap diambil tindakan-tindakan seperlunya. Yogyakarta, Wakil Mohammad Hatta Agus Salim Presiden 19 Menteri Desember Luar 1948 Negeri

Mengenai detik-detik agresi militer Belanda tanggal 19 Desember 1948, yang dialaminya, dalam biografinya Sukarno menuturkan kepada Cindy Adams sebagai berikut: Dua jam sebelum pendaratan, Panglima Besar TNI Jenderal Sudirman yang masih berumur 30 tahun, membangunkanku. Setelah menyampaikan informasi yang diterimanya terlebih dahulu, dia mendesak, Saya minta dengan sangat, agar Bung Karno turut menyingkir. Rencana saya hendak meninggalkan kota dan masuk hutan. Ikutlah Bung Karno dengan saya. Sambil mengenakan pakaianku cepat-cepat aku berkata: Dirman, engkau seorang prajurit. Tempatmu di medan pertempuran dengan anak buahmu. Dan tempatmu bukanlah pelarian bagi saya. Saya harus tinggal di sini, dan mungkin bisa berunding untuk kita dan memimpin rakyat kita semua. Kemungkinan Belanda mempertaruhkan kepala Bung Karno. Jika Bung Karno tetap tinggal di sini, Belanda mungkin menembak saya. Dalam kedua hal ini saya menghadapi kematian, tapi jangan kuatir. Saya tidak takut. Anak-anak kita menguburkan tentara Belanda yang mati. Kita perang dengan cara yang beradab, akan tetapi Sudirman mengepalkan tinjunya: Kami akan peringatkan kepada Belanda, kalau Belanda menyakiti Sukarno, bagi mereka tak ada ampun lagi. Belanda akan mengalami pembunuhan besar-besaran. Sudirman melangkah ke luar dan dengan cemas melihat udara. Ia masih belum melihat tanda-tanda, Apakah ada instruksi terakhir sebelum saya berangkat? tanyanya. Ya, jangan adakan pertempuran di jalanan dalam kota. Kita tidak mungkin menang. Akan tetapi pindahkanlah tentaramu ke luar kota, Dirman, dan berjuanglah sampai mati. Saya perintahkan kepadamu untuk menyebarkan tentara ke desa-desa. Isilah seluruh lurah dan bukit. Tempatkan anak buahmu di setiap semak belukar. Ini adalah perang gerilya semesta". "Sekali pun kita harus kembali pada cara amputasi tanpa obat bius dan mempergunakan daun pisang sebagai perban, namun jangan biarkan dunia berkata bahwa kemerdekaan kita dihadiahkan dari dalam tas seorang diplomat. Perlihatkan kepada dunia bahwa kita membeli kemerdekaan itu dengan mahal, dengan darah, keringat dan tekad yang tak kunjung padam. Dan jangan ke luar dari lurah dan bukit hingga Presidenmu memerintahkannya. Ingatlah, sekali pun para pemimpin tertangkap, orang yang di bawahnya harus menggantikannya, baik ia militer maupun sipil. Dan Indonesia tidak akan menyerah!

Demikian perintah yang disampaikan oleh Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta, selaku Kepala Pemerintah dan sekaligus Menteri Pertahanan. Empat Menteri yang ada di Jawa namun sedang berada di luar Yogyakarta sehingga tidak ikut tertangkap adalah Menteri Dalam

Negeri, dr. Sukiman, Menteri Persediaan Makanan, Mr. I.J. Kasimo, Menteri Pembangunan dan Pemuda, Supeno, dan Menteri Kehakiman, Mr. Susanto. Mereka belum mengetahui mengenai Sidang Kabinet pada 19 Desember 1948, yang memutuskan pemberian mandat kepada Mr. Syafrudin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintah Darurat di Bukittinggi, dan apabila ini tidak dapat dilaksanakan, agar dr. Sudarsono, Mr. Maramis dan L.N. Palar membentuk Exile Government of Republic Indonesia di New Delhi, India. Pada 21 Desember 1948, keempat Menteri tersebut mengadakan rapat dan hasilnya disampaikan kepada seluruh Gubernur Militer I, II dan III, seluruh Gubernur sipil dan Residen di Jawa. Isi surat tersebut adalah: Demikian pembagian kerja yang diputuskan oleh keempat Menteri yang berada di Jawa. I. II. III. IV. Dipermaklumkan bahwa dalam rapat Dewan Menteri tanggal 16 Desember ybl. Telah diputuskan, bahwa selama P.Y.M. Presiden dan Wakil Presiden berhalangan, pimpinan Pemerintah Pusat diserahkan kepada 3 orang Menteri, yaitu: 1. Menteri Dalam Negeri, 2. Menteri Kehakiman, 3. Menteri Perhubungan. Dari 3 Menteri tersebut tadi pada waktu ini 2 orang yaitu Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kehakiman berada di suatu tempat di luar daerah Yogyakarta. Selain daripada beliau-beliau itu di tempat tersebut juga berada Menteri Persediaan Makanan dan Menteri Pembangunan dan Pemuda. Berhubung dengan sejak tanggal 19 Desember 1948 hubungan dengan Yogyakarta terputus, maka 2 orang Menteri tersebut di atas juga duduk dalam pimpinan Pemerintahan Pusat, menganggap perlu mengusahakan agar pemerintahan dapat terus berjalan seperti biasa. Untuk keperluan ini, selama Menteri yang bersangkutan berhalangan mengerjakan tugasnya, diadakan pembagian pekerjaan sebagai berikut:

Mendengar berita bahwa tentara Belanda telah menduduki Ibukota Yogyakarta dan menangkap sebagian besar pimpinan Pemerintahan Republik Indonesia, tanggal 19 Desember sore hari, Mr. Syafruddin Prawiranegara bersama Kol. Hidayat, Panglima Tentara dan Teritorium Sumatera, mengunjungi Mr. T. Mohammad Hassan, Ketua Komisaris Pemerintah Pusat di kediamannya, untuk mengadakan perundingan. Malam itu juga mereka meninggalkan Bukittinggi menuju Halaban, perkebunan the di selatan kota Payakumbuh. Di Sumatera Barat, tentara Belanda dapat menduduki Kota Padang Panjang pada 21 Desember 1948, dan sehari kemudian masuk ke Bukittinggi.

Rumah ketua PDRI Sjafroedin Prawiranegara di Bidar Alam yang dipergunakan juga untuk kantor pemerintahan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), dengan susunan sebagai berikut:

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Mr. Syafruddin Prawiranegara, Ketua PDRI/Menteri Pertahanan/ Menteri Penerangan/Menteri Luar Negeri a.i. Mr. T. M. Hassan, Wakil Ketua PDRI/Menteri Dalam Negeri/Menteri PPK/Menteri Agama, Mr. St. M. Rasyid, Menteri Keamanan/Menteri Sosial, Pembangunan, Pemuda, Mr. Lukman Hakim, Menteri Keuangan/Menteri Kehakiman, Ir. M. Sitompul, Menteri Pekerjaan Umum/Menteri Kesehatan, Ir. Indracaya, Menteri Perhubungan/Menteri Kemakmuran.

Kapten Dartoyo, Kepala Perhubungan MBT Yogyakarta, menuturkan, berita mengenai pemberian mandat tersebut dikirim melalui radiogram melalui pemancar radio AURI di Wonosari, karena pemancar radio MBT telah dibom Belanda pada pagi hari itu. Panglima Besar Jenderal Sudirman mendukung penuh berdirinya PDRI. Sekitar satu bulan setelah agresi militer Belanda, dapat terjalin komunikasi antara pimpinan PDRI dengan keempat Menteri yang berada di Jawa. Mereka saling bertukar usulan untuk menghilangkan dualisme kepemimpinan di Sumatera dan Jawa. Akhirnya, menanggapi usulan PDRI, Mr. Susanto mengirim kawat kepada Prawiranegara yang isinya: 1. 2. 3. Menarik kawat Y.M. kepada Menteri Kasimo tanggal 14 Maret No. 243, kami sampaikan pendapat kami seperti berikut. Pada umumnya kami setujui rencana susunan Kabinet dan pembagian pekerjaan yang termuat dalam kawat tersebut. Hanya beberapa perobahan kami usulkan ialah:

Setelah konsultasi jarak jauh dengan pimpinan Republik di Jawa, maka pada 31 Maret 1948 Prawiranegara mengumumkan penyempurnaan susunan pimpinan Pemerintah Darurat Republik Indonesia sebagai berikut: 1. 2. 3. Mr. Syafruddin Prawiranegara, Ketua merangkap Menteri Pertahanan dan Penerangan, Mr. Susanto Tirtoprojo, Wakil Ketua merangkap Menteri Kehakiman dan Menteri Pembangunan dan Pemuda, Mr. Alexander Andries Maramis, Menteri Luar Negeri (berkedudukan di New Delhi, India).

4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.

dr. Sukiman, Menteri Dalam Negeri merangkap Menteri Kesehatan. Mr. Lukman Hakim, Menteri Keuangan. Mr. Ignatius J. Kasimo, Menteri Kemakmuran/Pengawas Makanan Rakyat. Kyai Haji Masykur, Menteri Agama. Mr. T. Moh. Hassan, Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. Ir. Indracahya, Menteri Perhubungan. Ir. Mananti Sitompul, Menteri Pekerjaan Umum. Mr. St. Moh. Rasyid, Menteri Perburuhan dan Sosial.

Pejabat di bidang militer: a. b. c. d. e. f. Letnan Jenderal Sudirman, Panglima Besar Angkatan Perang RI. Kolonel Abdul Haris Nasution, Panglima Tentara & Teritorium Jawa. Kolonel R. Hidayat Martaatmaja, Panglima Tentara & Teritorium Sumatera. Kolonel Nazir, Kepala Staf Angkatan Laut. Komodor Udara Hubertus Suyono, Kepala Staf Angkatan Udara. Komisaris Besar Polisi Umar Said, Kepala Kepolisian Negara. tanggal 16 Mei 1949, dibentuk Komisariat PDRI untuk Jawa dikoordinasikan oleh Mr. Susanto Tirtoprojo, dengan susunan sbb.: Mr. Susanto Tirtoprojo, urusan Kehakiman dan Penerangan. Mr. Ignatius J. Kasimo, urusan Persediaan Makanan Rakyat. R. Panji Suroso, urusan Dalam Negeri.

Kemudian yang 1. 2. 3.

Selain dr. Sudarsono, Wakil RI di India, Mr. Alexander Andries Maramis, Menteri Luar Negeri PDRI yang berkedudukan di New Delhi, India, dan Lambertus N. Palar, Ketua delegasi Republik Indonesia di PBB, adalah tokoh-tokoh yang sangat berperan dalam menyuarakan Republik Indonesia di dunia internasiona,l sejak Belanda melakukan Agresi II. Dalam situasi ini, secara de facto, Mr. Syafruddin Prawiranegara adalah Kepala Pemerintah Republik Indonesia. Penangkapan terhadap pimpinan pemerintah Indonesia serta serangan terhadap pasukan Indonesia, dilakukan oleh tentara Belanda di seluruh wilayah Republik Indonesia waktu itu, yaitu di Sumatera, Jawa dan Madura. Seluruh perwira dan prajurit TNI serta laskar-laskar yang belum sempat diintegrasikan ke dalam TNI, segera ke luar kota, demikian juga di Yogyakarta. Masing-masing satuan menuju ke tempat yang telah dipersiapkan sebelumnya. Perintah yang tertuang dalam Siasat No. 1 dilaksanakan, yaitu sambil mundur ke wilayah pegunungan, bumi hangus segera dilakukan, terutama menghancurkan jembatan-jembatan agar supaya tidak dapat dilalui kendaraan militer Belanda. Perang gerilya dimulai! Perlawanan bersenjata dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia serta berbagai laskar di Jawa, Sumatera serta beberapa daerah lain. PDRI menyusun perlawanan di Sumatera. Tanggal 1 Januari 1949, PDRI membentuk 5 wilayah pemerintahan militer di Sumatera: 1. Gubernur Wakil 2. Gubernur Wakil 3. Gubernur Wakil 3. Gubernur Wakil 4. Gubernur Wakil Aceh, Militer Gubernur Tapanuli Militer Gubernur termasuk : Militer dan Militer Militer Militer : : Teuku Langkat : M. dan Letnan Daud Tanah di Kolonel Bagian Lumban Evert Karo. Bereueh Askari Selatan. Tobing Kawilarang Utoyo Basri Barat. Rasyid Ibrahim Selatan. Gani Simbolon.

Sumatera dr. Letnan Riau :

Timur Ferdinand Kolonel

Alex R.M. Kolonel

Gubernur Militer Gubernur Militer Gubernur

Letnan Sutan

Hasan

Militer

: :

Sumatera Mr. Letnan dr.

Kolonel

Mohammad Dahlan Kapau Maludin

Sumatera Militer

Letnan

Bagian Adnan Kolonel

Kol. Hidayat Martaatmaja baru dapat menyampaikan pengangkatan secara resmi kepada Dr. Tobing di daerah gerilya -somewhere- di tengah hutan pada tanggal 3 Maret 1949. Pada waktu itu, Kol Hidayat dalam perjalanan menuju Aceh. Letnan Kolonel Alex Evert Kawilarang, Komandan Sub Teritorial VII, selain sebagai Wakil Gubernur Militer untuk Tapanuli dan Sumatra Timur Selatan, juga merangkap menjadi Wakil Gubernur Militer Aceh untuk Tanah Karo. Mengenai peran PDRI, Nasution mencatat: Umum mengerti dan mengetahui bahwa promotor perjuangan formil adalah PDRI, semenjak Belanda menduduki Yogyakarta, jadi richtpunkt dari perjuangan menjadi kepada PDRI.

Dengan difasilitasi oleh UNCI, tanggal 14 April 1949 dimulai perundingan antara Delegasi Republik Indonesia yang dipimpin oleh Mr. Mohammad Rum dengan Delegasi Belanda yang dipimpin oleh Dr. Jan H. van Royen. Tanggal 22 April 1949, delegasi BFO, dipimpin oleh Anak agung Gde Agung, menemui Presiden Sukarno di Bangka. Kelihatannya BFO mencoba memperoleh konsesi dari Republik. Tanggal 25 April, Wakil Presiden M. Hatta tiba di Jakarta dari Bangka dan Hamengku Buwono juga tiba di Jakarta dari Yogyakarta. Tanggal 7 Mei 1949, ditandatangani kesepakatan yang dinamakan Perjanjian Rum-Royen. Dalam perundingan tersebut, Mr. Mohammad Rum menyampaikan sikap Republik sebagai berikut:

Statement (Diucapkan

oleh

Delegasi

Mr.

Republik

Moh.

Indonesia Rum)

Sebagai Ketua Delegasi Republik, saya diberi kuasa oleh Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta untuk menyatakan kesanggupan mereka sendiri (persoonlijk), sesuai dengan Resoludi Dewan Keamanan tertanggal 28 Januari 1949 dan petunjuk-petunjuknya tertanggal 23 Maret 1949 untuk memudahkan tercapainya: 1. pengeluaran perintah kepada pengikut-pengikut Republik yang bersenjata untuk menghentikan perang gerilya; 2. kerjasama dalam hal mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan, dan 3. turut serta pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag dengan maksud untuk mempercepat penyerahan kedaulatan yang sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat, dengan tidak bersyarat. Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta akan berusaha mendesak supaya politik demikian diterima oleh Pemerintah Republik Indonesia selekas-lekasnya setelah dipulihkan di Yogyakarta.

Jadi dalam pernyataan tersebut, Delegasi Republik menyampaikan kesanggupan Sukarno-Hatta sehubungan dengan perintah gencatan senjata, apabila mereka telah kembali ke Yogyakarta. Sehingga dengan demikian, delegasi Republik mengalah dengan memberikan konsesi tersebut. Belanda merasa tidak kehilangan muka. Oleh sebab itu, atas statement Delegasi Indonesia, Delegasi Belanda memberikan jawaban dalam bentuk statement juga yang berbunyi: Statement (Dibacakan Delegasi Pemerintah Belanda Royen)

oleh

Dr.

van

1. Delegasi Belanda diberi kuasa menyatakan bahwa berhubung dengan kesanggupan yang baru saja diucapkan oleh Mr. Rum, ia menyetujui kembalinya Pemerintah Republik Indonesia di Yogyakarta. Delegasi Belanda selanjutnya menyetujui pembentukan panitia bersama atau lebih di bawah auspices UNCI (KPBBI) dengan maksud:
a. mengadakan penyelidikan dan persiapan yang perlu sebelum kembalinya Pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta. b. Mempelajari dan memberi nasehat tentang tindakan-tindakan yang akan diambil untuk melaksanakan penghentian perang gerilya dan kerjasama dalam hal mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan.

2. Pemerintah Belanda setuju bahwa Pemerintah Republik Indonesia harus bebas dan leluasa melaksanakan pekerjaannya yang sepatutnya dalam satu daerah yang meliputi Karesidenan Yogyakarta dan bahwa ini adalah satu langkah yang dilakukan sesuai dengan maksud petunjuk-petunjuk Dewan Keamanan tanggal 23 Maret 1949. 3. Pemerintah Belanda menguatkan sekali lagi kesanggupannya untuk menjamin penghentian segera dari semua gerakan-gerakan militer dab membebaskan dengan segera dan tidak bersyarat semua tahanan politik yang ditangkapnya sejak 17 Desember 1948 dalam Republik Indonesia. 4. Dengan tidak mengurangi hak bagian-bagian bangsa Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri sebagai yang diakui dalam asas-asas Linggajati dan Renville, Pemerintah Belanda tidak akan mendirikan atau mengakui negara-negara atau daerah-daerah di atas daerah yang dikuasai oleh Republik sebelum tanggal 19 Desember 1948 dan tidak akan meluaskan negara atau daerah dengan merugikan daerah Republik tersebut. 5. Pemerintah Belanda menyetujui adanya Republik Indonesia sebagai satu staat yang nanti akan duduk dalam Negara Indonesia Serikat. Apabila suatu Badan Perwakilan Sementara untuk Indonesia dibentuk dan karena itu perlu ditetapkan jumlah perwakilan Republik dalam Badan tersebut, jumlah itu ialah separuh dari jumlah anggota-anggota semua, di luar anggota-anggota Republik. 6. Sesuai dengan maksud dalam petunjuk Dewan Keamanan tanggal 23 Maret 1949 yang mengenai Konferensi Meja Bundar di Den Haag, supaya perundingan-perundingan yang dimaksud oleh Resolusi Dewan Keamanan tanggal 28 Januari 1949 dapat diadakan selekaslekasnya, maka Pemerintah Belanda akan berusaha sesungguh-sungguhnya supaya konferensi itu segera diadakan sesudahnya Pemrintah Republik kembali ke Yogyakarta. Pada konferensi itu, perundingan-perundingan akan diadakan tentang cara bagaimana mempercepat penyerahan kedaulatan yang sungguh-sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat sesuai dengan asasasas Renville. 7. Berhubung dengan keperluan kerjasama dalam hal pengembalian perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan, Pemerintah Belanda setuju bahwa di semua daerah di luar Karesidenan Yogyakarta, di mana pegawai sipil, polisi dan pegawai Pemerintah Indonesia (Pemerintah Belanda di Indonesia) lainnya sekarang tidak bekerja, maka pegawai sipil, polisi dan pegawai Republik lainnya masih terus bekerja, akan tetapi dalam jabatan mereka.

Dengan sendirinya pembesar-pembesar Belanda membantu Pemerintah Republik dalam hal keperluan-keperluan yang dikehendakinya menurut pertimbangan yang pantas untuk perhubungan dan konsultasi dengan segala orang di Indonesia, terhitung juga mereka yang bekerja dalam jabatan sipil dan militer Republik, dan detail-detail tehnik akan diselenggarakan oleh kedua belah pihak di bawah pengawasan UNCI. Setelah disampaikan janji Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta, yang akan mengeluarkan perintah kepada gerilyawan untuk menghentikan pertempuran, setelah Pemerintah Republik dipulihkan di Yogyakarta, Belanda tidak mempunyai alasan lagi untuk menunda pelaksanaan Resolusi Dewan Keamanan tertanggal 28 Januari tersebut. Dengan dicapainya kesepakatan Rum-Royen, maka pintu menuju perundingan antara Republik dengan Belanda, telah terbuka. Namun, dalam fase menjelang perundingan dengan Belanda, nampaknya PDRI serta pimpinan tertinggi TNI sama sekali tidak dilibatkan, atau pun ditanyakan pendapatnya. Disadari atau tidak, yaktik Belanda untuk memecah-belah Republik membuahkan hasil. Beberapa kalangan di pihak Republik menilai, bahwa kesediaan untuk dilakukan perundingan dengan Belanda yang menghasilkan Persetujuan RumRoyen, telah mengingkari kesepakatan antara pimpinan sipil dan militer Republik, yaitu:

"Tidak akan melakukan pembicaraan apapun, sebelum para pemimpin Republik dibebaskan, serta Pemerintah Republik dipulihkan di Yogyakarta" Selain itu formulasi yang digunakan oleh Mr. M. Rum dalam butir satu dari statement-nya, yaitu: "pengeluaran perintah kepada pengikut-pengikut Republik yang bersenjata untuk menghentikan perang gerilya", telah menimbulkan kemarahan besar di pihak TNI, yang sangat kecewa, bahwa Mr. M. Rum tidak menggunakan kata Angkatan Perang Republik Indonesia atau Tentara Nasional Indonesia, melainkan hanya menggunakan "pengikut-pengikut Republik yang bersenjata." Ini adalah formulasi yang selalu dipergunakan oleh Belanda -dan juga Inggris- sejak semula, karena Belanda tidak mau mengakui adanya Angkatan Perang Republik Indonesia atau TNI. Sehubungan dengan hal ini, tanggal 22 Juni 1949, Panglima Besar Sudirman mengirim nota protes yang berbunyi: 1. Kami, Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia, yang telah mengeluarkan komunike Markas Besar Angkatan Perang tanggal 11 Maret '49, di mana dinyatakan, bahwa APRI masih tegak berdiri dengan teratur dan lengkap, baik di Jawa maupun Sumatera, yang sewaktu-waktu dapat dibuktikan oleh siapapun juga, memajukan protes keras terhadap keluarnya statement delegasi Republik di Jakarta tanggal 7 Mei '49 yang mempergunakan pengikut-pengikut Republik yang bersenjata dalam fatsal satu. Karena dengan mempergunakan perkataan tersebut, seolah-olah delegasi kita tidak mengakui lagi adanya APRI, yang sampai saat ini masih tetap meneruskan perjoangan, sehingga dengan tetapnya perjoangan APRI itu, dunia internasional masih tetap mengakui adanya pemerintah dan negara Republik Indonesia pula bersimpati pada perjoangannya. 2. Kami mengusulkan, supaya PDRI dengan segera memberi perintah kepada ketua delegasi, untuk dalam statement fatsal satu dengan perkataan APRI atau perkataan Tentara. 3. Untuk menjamin selamatnya perjoangan kita bersama yang telah memakan banyak korban, maka hendaknya ketua delegasi diperingatkan agar senantiasa berhati-hati dalam tindakannya. Panglima Letnan Jenderal Sudirman Besar Angkatan Perang RI

Sejak pembentukan PDRI tanggal 22 Desember 1948, Pemerintah Belanda dan BFO tidak pernah mau mengakuinya. Demikian juga sikap Belanda terhadap TNI, dan selalu menyebutkan TNI hanya sebagai pengikut Republik yang bersenjata. Langkah pimpinan Republik yang dalam fase penting ini mengabaikan PDRI dan pimpinan TNI, tentu sangat gegabah dan menimbulkan tentangan keras, baik dari pimpinan militer di Jawa maupun di Sumatera. Pimpinan sipil menyadari, bahwa apabila TNI tidak mendukung hasil persetujuan Rum-Royen, perundingan selanjutnya tentu tidak dapat dilakukan. Kemarahan Panglima Besar dan TNI tersebut segera dilaporkan kepada Presiden Sukarno di Pangkalpinang, yang segera mengirim surat kepada Panglima Besar Sudirman, yang isinya sebagai berikut: Pangkalpinang, Kepada Yang di Tempat 23 Mulia Mei Panglima 1949 Besar

Merdeka! Seperti Yang Mulia telah mengetahui, pada tanggal 7 bulan ini oleh delegasi kita dan delegasi Belanda telah ditandatangani sebuah persetujuan mengenai pemulihan Pemerintah Republik ke Yogyakarta. Untuk melaksanakan pemulihan itu telah dibentuk dua panitia, antara lain satu panitia yang diketuai oleh YM Dr. Leimena dan yang berkewajiban membicarakan soal-soal tentang pemberhentian permusuhan (gencatan senjata dan sebagainya). Oleh karena pekerjaan ini mengenai banyak fihak militer, maka perlulah panitia ini dapat bantuan dari fihak militer kita. Sebab dari itu kami minta kepada YM supaya selekas-lekasnya membentuk satu Panitia Militer, yang terdiri dari beberapa ahli, misalnya Kolonel Simatupang dan 2 atau 3 orang lagi, yang berkewajiban membantu Panitia Leimena tersebut. Selain daripada itu, kami mendengar bahwa YM sudah sembuh dan sekarang dapat bekerja dengan giat. Berita ini tentu saja menggembirakan hati kami. Supaya kami, jika Pemerintah Republik sudah kembali di Yogyakarta, lekas dapat berhubungan sehari-hari dengan YM dan YM dapat lekas masuk ke dalam kota, maka saya harap sudilah YM sekarang mendekati kota Yogyakarta. Juga untuk menjaga kesehatan YM kami kira lebih baik YM lekas kembali ke Yogyakarta, jika Pemerintah Republik sudah ada di dalam kota itu. Wassalam Ttd Ttd (Mohammad Hatta) (Sukarno)

Mr. M. Rum, yang menyadari kesalahannya tersebut, juga mengirim suratkepada HB IX untuk membantu meredakan kemarahan Panglima Besar. Dalam suratnya tanggal 25 Mei kepada Hamengku Buwono IX, Rum meminta agar HB IX segera menghubungi Panglima Besar, guna menunjuk Kolonel Simatupang menjadi penasihat militer dalam delegasi Indonesia. Surat Rum kepada HB IX isinya sebagai berikut: Jakarta, 25 Mei 1949

Assalamu'alaikum w.w. YM Saudara Sri Sultan. Saudara Juanda membawa surat dari Bung Karno untuk Panglima Besar, di mana diusulkan untuk menunjuk Kolonel Simatupang dan satu atau dua lain opsir TNI untuk menjadi penasihat ahli dalam urusan militer dalam perundingan permulaan ini. Kami sendiri merasa tidak senang mengadakan perundingan, sekalipun bersifat meninjau atau orientasi dengan tidak hadirnya penasihat-penasihat militer. Tempo sebelum pemerintah kembali ke Yogya ini memang harus dipergunakan untuk mengadakan discussions tentang hal-hal mengenai cease fire dan Ronde Tafel Conferentie.

Berhubung dengan itu sudilah YM saudara memberi bantuannya supaya Delegasi Republik selekas mungkin mendapat penasihat militer, yaitu Kolonel Simatupang dan lain-lainnya satu atau dua orang yang akan ditunjuk oleh Panglima Besar. Tentang kondisi dari Belanda, selama dalam perjalanan mereka akan memberi faciliteiten, sampai mereka datang di Jakarta, sehingga dapat dirundingkan dengan lanjut. Ini mengenai keberatan Belanda memakai tanda-tanda TNI jika ada di luar meeting, untuk menghindarkan incidenten, selama belum ada cease fire. Atas Merdeka Ttd. Mr. Rum. bantuan YM saya mengucap banyak terima kasih.

Namun kesalahan yang baru belakangan disadari, hanya menambah panjang rangkaian perlakuan buruk para politisi terhadap militer. Baik surat Presiden Sukarno, mau pun dari HB IX, belum dapat meredakan amarah Panglima Besar, yang menolak keikutsertaan militer dalam perundingan selanjutnya. Atas surat Mr. M. Rum tersebut, Panglima Besar menulis surat kepada Simatupang tanggal 6 Juni 1949 (baru diterima oleh Simatupang tanggal 19 Juni): Markas Republik No. Hal Sifat Lamp. Kepada Pt. Kol. Di Merdeka, Besar : 1 Wk. T.B. Sangat helai Angkatan Perang Indonesia 29/PB/49 delegasi/perundingan rahasia surat. Yth. KSAP Simatupang tempat

Surat-surat pt. (= paduka tuan. Lazim digunakan pada waktu itu -pen.) yang bersifat pandangan dan tinjauan politik/ militer/ ekonomi dsb. Telah saya terima dan telah saya baca dengan penuh perhatian dan saya merasa mendapat bahan pertimbangan yang sangat berharga. Saya beritakan pada pt. Bahwa baru-baru ini saya menerima surat dari Y.M. Mr. Rum lewat Sri Paduka Sultan, yang maksudnya minta supaya saya pada saat ini (dengan segera mengirimkan wakil-wakil militer ke Jakarta dan di antaranya diminta pt. Sendiri. Permintaan itu saya tolak karena tidak sesuai lagi dengan ketentuan-ketentuan semula yang tercantum dalam surat-surat resmi dan perslag perundingan voor Conf. Jakarta yang telah lama saya terima. Untuk jelasnya pt. Dapat membaca surat balasan saya pada Y.M. Mr. Rum lewat Sri Paduka Sultan, yang saya lampirkan. Hendaknya pt. Juga teguh dalam pendirian seperti dinyatakan dalam surat pt. Sendiri, bahwa segala sesuatu itu dimasak di Yogya, tidak di Jakarta. Semoga Tuhan melindungi kita bersama sehingga kita dapat segera berjumpa dalam keadaan selamat. Amin. Di Panglima Cap/ttd. Pada No. KEMENTERIAN STAF Dari Kepada Pokok : : Kepala YM 27 Juni 1949, Simatupang 83 menjawab tempat, 6 Besar surat (SK) ANGKATAN Staf Panglima Sekitar Angkatan Besar Panglima Besar yang isinya sebagai Juni '49 APRI berikut: RAHASIA PERTAHANAN PERANG Perang APRI perundingan

GASP/49

Surat YM No. 29/PB/49, tertanggal 6 Juni 1949, telah saya terima dan saya baca dengan penuh perhatian. Pada bulan Maret tahun ini saya telah menuju ke Timur untuk menemui YM; waktu saya ada di daerah Lawu, perundingan-perundingan di Dewan Keamanan telah selesai dan telah terang besar kemungkinan perundingan di Jakarta segera akan dimulai. Berhubung dengan itu terpaksa saya tergesa-gesa menuju ke daerah Yogya agar supaya saya dapat mengikuti perundingan, walaupun dari jarak jauh, dan menyampaikan berita-berita tentang keadaan yang sebenarnya di luar kota-kota yang diduduki oleh Belanda. Pada tingkat permulaan, maka terutama saya minta dari Delegasi supaya Delegasi hanya bersedia untuk kembali ke Yogyakarta dengan tidak bersyarat dan tidak terikat, dan apabila tuntutan itu tidak dapat diterima oleh Belanda, supaya soal Indonesia dikembalikan saja ke Lake Success (tempat Dewan Keamanan bersidang waktu itu). Delegasi sendiri pada permulaannya mempunyai pendirian seperti yang tersebut di atas, tetapi rupa-rupanya setelah beberapa waktu PYM Wakil Presiden dan delegasi berpendapat bahwa suatu pendirian yang agak berlainan akan lebih menguntungkan. Demikianlah lahir persetujuan Rum van Royen.

Waktu saya menerima teks dari persetujuan itu telah terang bagi saya bahwa persetujuan bahwa persetujuan tsb. Akan menimbulkan kesulitan-kesulitan yang besar, dan bahwa hanya kebijaksanaan yang besar dari semua orang yang bertanggung jawab dapat menghindarkan malapetaka berupa perpecahan. Dalam surat saya yang pertama kepada delegasi, setelah saya menerima teks persetujuan, telah saya minta, agar delegasi hanya bersedia membicarakan soal-soal penghentian permusuhan setelah pemerintah kembali di Yogyakarta. Kemudian saya menrima kabar bahwa Panitia yang harus membicarakan soal penghentian permusuhan telah diadakan, dan bahwa pembicaraan hanya bersifat tidak resmi. Akan tetapi menurut pengalaman, pembicaraan-pembicaraan yang disebut tidak resmi itu pada akhirnya mengikat juga, dan kepada delegasi saya berikan anjuran, di mana Panitia Penghentian permusuhan telah diasakan, supaya pembicaraan di dalamnya diulur-ulur saja sampai persiapan pengembalian Yogyakarta selesai, paling tinggi dibicarakan hanya dasar-dasar politik bagi penghentian permusuhan. Demikianlah pembicaraan-pembicaraan dalam Panitia penghentian permusuhan maju dengan lambat, sampai rupa-rupanya akhir-akhir ini timbul semacam krisis dalam perundingan oleh karena Belanda mengulur pengembalian Yogyakarta sebagai jawab terhadap penguluran kita dalam pembicaraan penghentian permusuhan. Berita-berita yang terakhir belum saya terima, tetapi kemarin dulu radio Jakarta menyiarkan bahwa telah ada persetujuan tentang penghentian permusuhan. Mengingat surat-surat yang terakhir dan dokumen-dokumen yang saya terima dari dr. Leimena, maka ada kemungkinan bahwa rencanarencana Cochran telah disetujui kedua pihak, mungkin diubah di sana-sini. Menurut surat dr. Leimena dokumen-dokumen itu akan dimajukan nanti kepada kabinet dan pimpinan Angkatan Perang. Kemudian kabinet dan pimpinan angkatan Perang akan menentukan sikapnya. Pada waktu ini ada berbagai bagai pendirian di kalangan Angkatan Perang. Saya sebut sebagai contoh: Kolonel Hidayat waktu bertemu dengan PYM Wakil Presiden di Kotaraja, menurut kabar menerangkan akan menjalankan segala putusan, dan hanya akan berhenti apabila telah terbukti bahwa putusan itu tidak dapat dijalankan. Kolonel Nasution mengusulkan untuk mencari jalan menghindarkan diri dari penghentian permusuhan, karena menurut perhitungannya, apabila pertempuran diteruskan, dalam bulan September yang akan datang Belanda akan demikian lemahnya, sehingga dia akan terpaksa menrima semua tuntutan kita. Letnan Kolonel Abimanyu berpendirian, penghentian permusuhan hanya mungkin setelah penyelesaian politik, akan tetapi apabila Pemerintah memerintahkan penghentian permusuhan akan dituruti juga. Hanya dia minta supaya Belanda hanya tinggal di kota-kota dan bumi hangus mau diteruskannya. Letnan Kolonel Yani berpendapat: sanggup menjalankan perjuangan lama, cuma soal peluru dan jaminan keluarga haruslah diurus oleh atasan. Mayor Sudarsono khawatir, apabila ada penghentian permusuhan, bantuan rakyat akan berkurang, anggota-anggota Angkatan Bersenjata kita tidak mempunyai pekerjaan, sehingga mungkin semangatnya merosot, kesulitan-kesulitan politik di dalam negeri akan bertambah sedangkan sebaliknya Belanda terus akan mendidik kader. Dan memang menurut kabar yang diterima dari negeri Belanda di sana masih dididik kader untuk Indie. Dari Jawa Timur belum saya dengar reaksi.

Untuk menetapkan satu rencana dan sikap yang tegas bagi seluruh Angkatan Perang, sedapat mungkin sesuai dengan politik pemerintah, saya kira soal-soal ini harus dibicarakan masak-masak dalam Dewan Siasat Militer. Saya sendiri berpendapat bahwa perundingan tidak akan dapat berlangsung lebih dari 3 a 4 bulan; sesudah itu agaknya akan ada peperangan lagi atau penyelesaian umum. Soal bagi kita ialah apakah kita selama 3 a 4 bulan itu dapat memperkuat kedudukan pemerintahan ke luar dan menyusun kekuatan dan memelihara persatuan ke dalam. Dokumen-dokumen yang dikirim dari Jakarta saya anggap dapat dipergunakan demikian, sehingga hal-hal yang di atas tercapai. Kalau sesudah 3 a 4 bulan peperangan muali lagi, haruslah kita dalam 3 a 4 bulan itu telah memperbaiki perlengkapan, susunan kita, dan lain-lain. Kalau setelah 3 a 4 bulan itu tercapai persetujuan umum, haruslah persetujuan itu memuaskan bagi golongan-golongan yang terbesar di Indonesia. Dalam hal itu, tentu kita akan menghadapi banyak soal, antaranya bagi kita yang penting: (a) bagaimana caranya membentuk Angkatan Perang untuk seluruh Indonesia; (b) bagaimana caranya mengakhiri akibat-akibat perjuangan dengan cara yang konstruktif untuk negara (soal pelajar-pelajar, dan lain-lain). Mudah-mudahan saya segera akan dapat menemui YM dalam keadaan sehat wal'afiat untuk menjelaskan hal-hal yang di atas lebih lanjut. Wakil Cap/ttd. (T.B. II Kepala Simatupang, Jenderal Staf Angkatan Perang Kolonel) AP

Tembusan: 1. Inspektur 2. Panglima Yentara dan Teritorium Jawa

Semula, Syafruddin Prawiranegara enggan datang ke Jakarta, namun M. Natsir berhasil meyakinkan Prawiranegara untuk datang ke Jakarta, menyelesaikan dualisme pemerintahan RI, yaitu PDRI yang dipimpinnya, dan Kabinet Hatta, yang secara resmi tidak dibubarkan. Setelah Persetujuan Rum-Royen ditandatangani, pada 13 Juli 1949, diadakan sidang antara PDRI dengan Presiden Sukarno, Wakil Presiden Hatta serta sejumlah menteri kedua kabinet. Pada sidang tersebut, Pemerintah Hatta mempertanggungjawabkan peristiwa 19 Desember 1948. Wakil Presiden Hatta menjelaskan 3 soal, yakni hal tidak menggabungkan diri kepada kaum gerilya, hal hubungan Bangka dengan luar negeri dan terjadinya Persetujuan Rum-Royen. Sebab utama Sukarno-Hatta tidak ke luar kota pada tanggal 19 Desember sesuai dengan rencana perang gerilya, adalah berdasarkan pertimbangan militer, karena tidak terjamin cukup pengawalan, sedangkan sepanjang yang diketahui dewasa itu, seluruh kota telah dikepung oleh pasukan payung Belanda. Lagi pula pada saat yang genting itu tidak jelas tempat-tempat yang telah diduduki dan arah-arah yang diikuti oleh musuh. Dalam rapat di istana tanggal 19 Desember 1948 antara lain KSAU Suaryadarma mengajukan peringatan pada pemerintah, bahwa pasukan payung biasanya membunuh semua orang yang dijumpai di jalan-jalan, sehingga jika para beliau itu ke luar haruslah dengan pengawalan senjata yang kuat. Pada sidang tersebut, secara formal Syafruddin Prawiranegara menyerahkan kembali mandatnya, sehingga dengan demikian, M. Hatta, selain sebagai Wakil Presiden, kembali menjadi Perdana Menteri. Setelah serah terima secara resmi pengembalian Mandat dari PDRI, tanggal 14 Juli, Pemerintah RI menyetujui hasil Persetujuan Rum-Royen, sedangkan KNIP baru mengesahkan persetujuan tersebut tanggal 25 Juli 1949. 5.Konferensi Meja Bundar

Konferensi Meja Bundar adalah sebuah pertemuan antara pemerintah Republik Indonesia dan Belanda yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda dari 23 Agustus hingga 2 November 1949.[1] Latar belakang Usaha untuk meredam kemerdekaan Indonesia dengan jalan kekerasan berakhir dengan kegagalan. Belanda mendapat kecaman keras dari dunia internasional. Belanda dan Indonesia kemudian mengadakan beberapa pertemuan untuk menyelesaikan masalah ini secara diplomasi, lewat perundingan Linggarjati, perjanjian Renville, perjanjian Roem-van Roijen, dan Konferensi Meja Bundar. Hasil konferensi Hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) adalah:

Serahterima kedaulatan dari pemerintah kolonial Belanda kepada Republik Indonesia Serikat, kecuali Papua bagian barat. Indonesia ingin agar semua bekas daerah Hindia Belanda menjadi daerah Indonesia, sedangkan Belanda ingin menjadikan Papua bagian barat negara terpisah karena perbedaan etnis. Konferensi ditutup tanpa keputusan mengenai hal ini. Karena itu pasal 2 menyebutkan bahwa Papua bagian barat bukan bagian dari serahterima, dan bahwa masalah ini akan diselesaikan dalam waktu satu tahun.[2][3][4][5] Dibentuknya sebuah persekutuan Belanda-Indonesia, dengan monarch Belanda sebagai kepala negara Pengambil alihan hutang Hindia Belanda oleh Republik Indonesia Serikat Keradjaan Nederland menjerahkan kedaulatan atas Indonesia jang sepenuhnja kepada Republik Indonesia Serikat dengan tidak bersjarat lagi dan tidak dapat ditjabut, dan karena itu mengakui Republik Indonesia Serikat sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat. Republik Indonesia Serikat menerima kedaulatan itu atas dasar ketentuan-ketentuan pada Konstitusinja; rantjangan konstitusi telah dipermaklumkan kepada Keradjaan Nederland. Kedaulatan akan diserahkan selambat-lambatnja pada tanggal 30 Desember 1949


1. 2. 3.

Pembentukan RIS Tanggal 27 Desember 1949, pemerintahan sementara negara dilantik. Soekarno menjadi Presidennya, dengan Hatta sebagai Perdana Menteri membentuk Kabinet Republik Indonesia Serikat. Indonesia Serikat telah dibentuk seperti republik federasi berdaulat yang terdiri dari 16 negara yang memiliki persamaan persekutuan dengan Kerajaan Belanda.

You might also like