You are on page 1of 9

SEKILAS KEGAWAT-DARURATAN ORTHOPAEDI

Posted on Sunday, 14 March 2010 by Alloen Endonesia Kegawatdaruratan ortopedi merupakan keluhan yang sering disampaikan sekitar 30% dari jumlah kunjungan pasien. Pengetahuan dasar mengenai cedera ortopedi, pola fraktur, dislokasi, teknik reduksi, dan teknik bidai, dibutuhkan untuk mengelola cedera. Pemahaman radiologi, membuat dan menginterpretasi sebuah film radiologi, juga dibutuhkan. Memperoleh riwayat yang seksama tentang mekanisme cedera bisa membantu mengidentifikasi cedera ortopedi. Misalnya, riwayat medis yang telah lalu, medikasi, dan cedera sebelumnya. Pemeriksaan fisik cedera ortopedi pada departemen kegawatdaruratan berdasarkan pada proses 4 langkah sederhana, yaitu: 1. Palpasi cedera untuk deformitas dan kerapuhan 2. Menilai ROM/range of motion (aktif dan pasif) tulang yang terkena, juga mempertimbangkan sendi diatas dan dibawah tulang yang cedera 3. Inspeksi (deformitas, pembengkakan, diskolorasi) 4. Pemeriksaan neurovaskular Cedera < 24 jam harus diberikan kompres es atau kompres dingin yang diaplikasikan sebelum pemasangan bebat. Terapi dingin mengeraskan kolagen dan mengurangi kecenderungan ligamen dan tendon untuk berdeformitas. Dan juga mengurangi spasme otot, aliran darah (membatasi perdarahan dan edema), meningkatkan ambang nyeri dan mengurangi inflamasi. Kompres es harus diaplikasikan dalam 30 menit sekaligus (mencegah cedera frostbite), dan terbatas pada 24-48 jam pertama; setelahnya, dingin dapat bertentangan dengan penyembuhan jangka-panjang.

GAMBARAN RADIOLOGI
Tipe fraktur, apakah transversum, oblique, spiral, segmental, dan kominutif. Pada pediatri, tipe fraktur ada: Salter-Harris, torus/buckle, greenstick. Dapat delaskan lokasi fraktur dan juga dislokasi berupa penyusutan, angulasi dan rotasi. Fraktur tulang panjang dibagi atas 3: proksimal, medial dan distal.

FRAKTUR PEDIATRI
Fraktur Salter-Harris melibatkan epifisis, atau lempeng pertumbuhan epifisis kartilagenus, dekat ujung tulang panjang pada anak-anak. Dinamakan Salter-Harris, setelah dua dokter yang menyusun sistem klasifikasi untuk memberi nama fraktur-fraktur tersebut. Materi tulang baru dibutuhkan untuk elongasi tulang selama masa pertumbuhan yang disediakan oleh sel

khusus dalam epifisis. Ketika pertumbuhan lengkap, transformasi fisis menjadi tulang pun terjadi, akhirnya menyatukan tulang di sekitarnya. Fraktur Salter-Harris tidak bisa terjadi pada orang dewasa. Kerusakan lempeng epifisis selama pertumbuhan tulang dapat merusak semua atau sebagian kemampuan lempeng tersebut untuk membentuk tulang baru. Hal ini mengakibatkan pemberhentian atau deformasi pertumbuhan tulang tersebut. Semakin dini fraktur SalterHarris muncul semakin mungkin kesempatan deformitas muncul. Kira-kira 15% fraktur lempeng pertumbuhan akan mengalami gangguan pertumbuhan tulang jangka panjang. Pola fraktur juga merupakan faktor penting dalam perkembangan sebuah deformitas.

PATOFISIOLOGI FRAKTUR
Penyembuhan fraktur memiliki 3 fase berbeda:

Inflamasi o Setelah fraktur awal, pembuluh darah mikro yang melewati garis fraktur terputus; hal ini menyebabkan iskemia sampai kehancuran ujung tulang. o Ujung tulang yang mengalami kerusakan menjadi nekrosis, yang kemudian memicu respon inflamasi. o Fase inflamasi ini singkat, namun menciptakan respon inflamasi. Reparatif o Fase reparasi dimulai dengan jaringan ganulasi yang menginfiltrasi daerah fraktur. o Jaringan granulasi berisi sel-sel yang mensekresikan dan membentuk kolagen, kartilago dan tulang; jaringan ini membentuk callus, yang dengan cepat mengelilingi ujung fraktur tulang. o Callus bertanggungjawab untuk menstabilkan ujung tulang yang fraktur. o Seiring menyembuhnya fraktur, callus mengalami mineralisasi dan sangat padat. o Batas nekrotik fragmen fraktur diserang oleh osteoklas, yang menyerap tulang. Remodelling o Remodelling merupakan fase akhir penyembuhan tulang. o Tulang perlahan-lahan memperoleh kembali bentuk, kontur dan kekuatan aslinya. o Remodelling memakan waktu bertahun-tahun. o Callus diserap, tulang baru muncul oleh osteoblas. o Trabekula, densitas linear mudah terlihat pada tulang normal, merupakan hasil akhir proses fisiologis yang membentuk kembali tulang dan memberi kekuatan maksimum sehubungan dengan jumlah tulang yang digunakan. o Keberhasilan remodelling tulang bergantung pada beberapa faktor: Anak-anak memiliki kapasitas remodelling lebih besar dibandingkan dengan orang dewasa. Besar dan arah angulasi yang tidak direduksi, dan lokasi fraktur pada tulang. Keremajaan. Dekatnya fraktur pada ujung tulang.

Arah angulasi ketika dibandingkan dengan taraf gerakan sendi alami. Keputusan mengenai reduksi fraktur membutuhkan pengetahuan fisiologi penyembuhan tulang dan hubungannya dengan usia pasien.

PEMBEBATAN (SPLINTING)
Pengobatan awal adalah pembebatan. Fungsinya: mengontrol nyeri dan pembengkakan, mengurangi deformitas/dislokasi, dan imobilisasi fraktur, keseleo atau cedera. Tujuan pembebatan dan imobilisasi adalah: membebaskan nyeri, meningkatkan penyembuhan, stabilisasi fraktur, mencegah cedera lebih lanjut. Pembebatan dan imobilisasi fraktur merupakan andalan pada kegawatdaruratan ortopedi. Kebanyakan fraktur dapat diimobilisasi dengan bebat sederhana. Tujuan imobilisasi fraktur adalah melindungi kerusakan tulang, dengan menjaganya pada posisi anatomi; hal ini akan memfasilitasi penyembuhan tanpa defek anatomi. Imobilisasi memfasilitasi proses penyembuhan dengan mengurangi nyeri dan melindungi ekstremitas dari cedera berikutnya. Bebat mempertahankan garis arah tulang. Bebat juga mengurangi gerakan; dengan membatasi mobilitas dini, edema dapat dikurangi. Keuntungan bebat dibanding gips: mudah diaplikasikan, imobilisasi jangka pendek, memungkinkan pembengkakan berlanjut untuk mencegah komplikasi pada pemindahan pasien. Indikasi pembebatan : fraktur, laserasi dalam/aberasi luas, laserasi tendon, penyakit inflamasi (gout, tenosinovitis), infeksi ruang dalam (tangan, kaki, sendi), trauma multipel. Kebanyakan cedera ekstremitas atas dapat ditangani dengan menggunakan bebat posterior long arm. Cedera pada jari ditangani dengan bebat jari busa atau bebat plastik kaku. Cedera bahu dapat ditangani dengan sebuah selempang/balutan gendong, atau imobiliser bahu. Cedera ekstremitas bawah dapat ditangani dengan imobiliser lutut atau bebat cetak posterior.

Prinsip pembebatan

Pertama, nilai ABC dan situasi yang membahayakan jiwa Identifikasi dan nilai struktur neurovaskular yang memiliki resiko Konsultasi ortopedi awal untuk fraktur terbuka atau dislokasi fraktur Pilih teknik imobilisasi yang tepat Buktikan dan balut luka terbuka Lepaskan semua pakaian dan perangkat sempit dari ekstremitas (berlian, cincin) Luruskan fraktur angulasi berat Lindungi bagian menonjol dari tulang Nilai status neurovaskular dengan segera sebelum dan sesudah pembebatan Jika dibutuhkan perawatan luka perodik, perhatikan bebat yang mudah dilepaskan

Komplikasi

Iskemia Luka bakar plaster Luka tekanan

Infeksi Dermatitis Kaku sendi

DISRUPSI CINCIN PELVIS


Disrupsi cincin pelvis merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas pada pasien cedera multipel. Dimana kefatalannya disebabkan oleh perdarahan retroperitoneal dan cedera-cedera lain sehubungan dengannya. Fraktur bisa jadi sangat mematikan jika muncul dalam kombinasinya bersama dengan cedera penting pada sistem organ mayor. Karena daya yang tinggi penting untuk disrupsi cincin pelvis pada pasien dewasa muda, tidaklah mengejutkan kalau sampai 80% pasien ini juga mendapat cedera muskuloskeletal. Angka mortalitas pada pasien cedera cincin pelvis berkekuatan-tinggi rata-rata 15-20%. Kematian ini umumnya disebabkan oleh cedera yang umumnya sehubungan dengan pola cedera. Mortalitas meningkat hampir 13 kali jika pasien mengalami hipotensi. Ketika berkombinasi dengan cedera kepala atau cedera abdomen yang membutuhkan intervensi bedah, mortalitas meningkat sampai 50%. Jika kedua prosedur diperlukan, mortalitas meningkat sampai 90%. Klasifikasi Ahli bedah ortopedi dan ahli traumatologi secara luas mengklasifikasikan disrupsi cincin pelvis kedalam dua kelompok mayor : stabil dan tidak stabil. Pelvis yang stabil didefenisikan sebagai sesuatu yang dapat tetap bertahan dari gaya fisiologis tanpa dislokasi. Stabilitas ini bergantung pada integritas struktur ligamen dan tulang (Gambar 1). Instabilitas umumnya dibagi atas komponen rotasional dan vertikal (Gambar 2). Dislokasi ini dapat dinilai pada screening radiografi AP awal. Cedera stabil termasuk fraktur non-dislokasi cincin pelvis dan dislokasi anterior < 2,5 cm. Instabilitas rotasional ditandai dengan melebarnya simfisis pubis atau dislokasi fraktur rami pubis > 2,5 cm. Dasar instabilitas vertikal adalah pemindahan superior hemipelvis melalui fraktur sacrum atau ilium dan disrupsi sendi sacroiliaca > 1 cm. Karena pelvis merupakan struktur cincin sebenarnya, dislokasi anterior penting harus dibarengi dengan disrupsi posterior yang bersesuaian. Disrupsi cincin pelvis biasanya merupakan sebuah kombinasi fraktur dan cedera ligamen.

Perdarahan pada Fraktur Pelvis


Biasanya penyebab perdarahan pada fraktur pelvis adalah dari pleksus vena pelvis posterior dan perdarahan yang menghapus permukaan tulang. Sekitar < 10% kasus perdarahan, disebabkan dari perdarahan arteri yang cukup dikenal (Gambar 3). Pengobatan awal harus berfokus pada kontrol perdarahan vena. Reduksi dan stabilisasi pada dislokasi cincin pelvis membantu mencapai pengontrolan tersebut. Reduksi akan mengurangi volume pelvis dan lakukan tampon pembuluh darah yang mengalami perdarahan dengan cara kompresi viscera dan hematom pelvis. Stabilisasi mempertahankan reduksi dan mencegah pergerakan hemipelvis, mengurangi nyeri dan membatasi disrupsi gumpalan terorganisir. Reduksi dan stabilisasi saja biasanya mengontrol perdarahan vena, maka pasien yang tidak merespon manuver ini lebih mungkin mendapat perdarahan arteri.

SINDROMA KOMPARTEMEN

Pengenalan dan pengobatan dini sindroma kompartemen penting pada pasien trauma untuk mencegah kematian, amputasi dini, dan disfungsi tungkai. Volkmann adalah orang pertama yang menguraikan tentang akibat kontraktur paska-iskemik pada lebih dari 1 abad yang lalu. Dia menghubungkan kontraktur otot permanen dengan trauma, pembengkakan, dan perban yang ketat. Seddon dan rekan meninjau ulang komplikasi akhir sindroma kompartemen ekstremitas superior dan inferior dan menekankan pentingnya pengenalan awal dan fasciotomi. Kegagalan mendiagnosa dan menangani sindroma kompartemen pada pasien trauma mengakibatkan sejumlah kasus morbiditas yang sebenarnya dapat dicegah. Berbagai sindroma kompartemen telah diuraikan untuk kedua ekstremitas atas dan bawah. Uraian tersebut termasuk sindroma kompartemen pada bahu, lengan atas, lengan bawah, tangan, bokong, paha, tungkai bawah, dan kaki. Penyebab sindroma kompartemen beragam dan termasuk, jika tidak dibatasi, fraktur terbuka dan fraktur tertutup, cedera arteri, luka tembak, gigitan ular, kompresi tungkai, dan luka bakar.

Patofisiologi
Meningkatnya tekanan pada ruang fascia tertutup menyebabkan menurunnya tekanan perfusi dan pada akhirnya cedera sel dan kematian neuron dan jaringan otot. Mekanismenya sebagai berikut: hipoksia menyebabkan cedera sel, melepaskan mediator, dan meningkatkan permeabilitas endotel yang menyebabkan oedem, selanjutnya meningkatkan tekanan kompartemen, pH jaringan menurun, lalu terjadi nekrosis, dan terlepasnya mioglobin. Tekanan jaringan lebih besar dari tekanan kapiler; biasanya terlihat pada > 30 mmHg tekanan intra-kompartemen. Waktu iskemik: nervus < 4 jam, otot < 4 jam; beberapa mengatakan sampai 6 jam.

Gambaran Klinis

Nyeri yang melebihi kapasitas cedera Pemeriksaan fisik: bukti ketegangan kompartemen, menurunnya perfusi (pengisian kembali kapiler, nyeri) dan kehilangan fungsi jaringan (mati rasa dan lemah; nervus dan otot terlibat pada kompartemen yang terinfeksi)

Diagnosis

Sindroma kompartemen klasik: o Misal : sekunder akibat luka bakar, pembengkakan jaringan lunak, balutan ketat, iskemis reperfusi, kompresi berkepanjangan, infiltrasi intravena, perdarahan, cedera vaskuler, kejang, dan trauma. o Kenali 6 P: Pain (nyeri), Pallor (pucat), Pulselessness (tidak ada pulsasi), Parasthesia (tidak ada rasa), Paralysis (lumpuh) dan Poikilothermic (1) o Iskemia dan nekrosis dapat muncul bahkan jika masih terdapat pulsasi. o Nervus sensorik yang lebih dulu terkena, diikuti oleh motorik. o Waktu: gejala dapat muncul dalam beberapa jam sampai beberapa hari setelah cedera. Diagnosa pasti dengan mengukur tekanan kompartemen.

Penatalaksanaan

Singkirkan penyebab kompresi O2 Pertahankan ekstremitas setinggi jantung Konsultasi ortopedi atau bedah darurat Fasciotomi: o Indikasi sindroma kompartemen akut: tekanan kompartemen > 30 mmHg o Ahli bedah harus melakukan fasciotomi; bagaimanapun, pada tungkai yang tekanannya meningkat atau terdapat penundaan pembedahan, fasciotomi kegawatdaruratan mungkin perlu dilakukan di departemen kegawatdaruratan o Pendekatan dua-insisi fasciotomi pada tungkai bawah merupakan prosedur langsung dan dapat dipercaya, mengingat bahwa anatominya mudah dipahami.

Komplikasi
Kerusakan nervus permanen, mionekrosis, deformitas, infeksi, kehilangan tungkai, rabdomiolisis, kontraktur iskemik Volkmann, dan kematian.

FRAKTUR TERBUKA
Fraktur terbuka merupakan kegawatdaruratan bedah. Komplikasi jangka panjang adalah terancamnya tungkai, dan dalam kasus infeksi sistemik, mengancam jiwa. Tantangan penatalaksanaan yang sulit pada fraktur terbuka telah dikenal selama berabad-abad. Amputasi telah menjadi pengobatan menetap sampai pertengahan abad ke 18, dimana teknik antiseptik mulai digunakan. Antiseptik, bersama dengan debridement semua jaringan yang terkontaminasi dan devitalisasi, membuktikan reduksi pertama pada mortalitas. Kemajuan serentak pada profilaksis antibiotik, debridement agresif dan manajemen luka terbuka, flap otot rotasional, transfer jaringan bebas, dan teknik cangkok tulang memperlihatkan peningkatan yang dramatis pada kemampuan kita untuk menangani fraktur terbuka berat sebagai akibat dari kecelakaan kendaraan bermotor dan luka tembak.

Klasifikasi
Tipe Fraktur Deskripsi I Kulit terbuka < 1 cm, bersih; paling mungkin lesi dalam daripada luar; kontusio otot minimal, fraktur transversum atau oblique yang sederhana II Laserasi > 1 cm dengan kerusakan jaringan lunak luas, flap, atau avulsi; kehancuran minimal sampai sedang; fraktur transversum atau oblique pendek yang sederhana dengan kominutif minimal III Kerusakan jaringan lunak luas, termasuk otot, kulit dan struktur neurovaskular; seringnya cedera kecepatan-tinggi dengan komponen kehancuran yang berat III A Laserasi luas, mencakup tulang adekuat; fraktur segmental, cedera tembak III B Kerusakan jaringan lunak luas dengan terkupasnya periosteal dan ekspos tulang, biasanya berhubungan dengan kontaminasi luas III C Cedera vaskular membutuhkan perbaikan

Manajemen
Irigasi dini dan debridement adalah penatalaksanaan tetap. Sekali pasien berada di ruang operasi, balutan dapat diangkat bersama dengan semua debris yang lepas. Debridement merupakan pengangkatan dan reseksi yang sangat teliti terhadap seluruh material asing dan tidak dapat terus hidup dari sebuah luka. Tujuannya adalah untuk mengurangi jumlah bakteri dengan hanya menyisakan jaringan yang dapat terus hidup yang bersih pada luka. Luka dieksplorasi secara agresif karena zona cedera selalu lebih besar dibandingkan yang tampak pada awalnya. Kompartemen fascial tidak selalu dihilangkan sepenuhnya oleh fraktur terbuka. Karenanya, fasciotomi secara bebas dilakukan selama debridement. Kemudian dilakukan irigasi dengan larutan saline berlimpah. Debridement ulangan dilakukan dalam 4872 jam berikutnya, sebagaimana jaringan mungkin terbatas dan nekrose. Insisi bedah yang digunakan untuk memperbesar luka ketika eksplorasi kemudian ditutup. Bekas luka sebenarnya yang diakibatkan cedera biasanya dibiarkan terbuka. Larutan saline balutan yang tergenang diaplikasikan dan diganti sekurangnya setiap hari. Berlawanan dengan balutan sementara yang diaplikasikan pada pemindahan dari departemen kegawatdaruratan, balutan manajemen luka yang pasti seharusnya tidak digenangi dalam povidone-iodine karena hal ini bisa menyebabkan destruksi jaringan. Perencanaan penanganan luka dimulai pada awal debridement. Konsultasi bedah plastik awal akan membantu dan memainkan peran kuci dalam menetapkan waktu dan metode rekonstruksi jaringan lunak. Jika pencangkokan kulit atau coverage flap otot diperlukan, maka seharusnya dilakukan dalam minggu pertama sebelum kolonisasi sekunder dan fibrosis luka sempat terbentuk. Keinginan untuk mencegah infeksi nosokomial telah mendorong kebiasaan baru penanganan segera luka fraktur terbuka.

Penatalaksanaan
Stabilisasi skeletal terlihat penting pada penyembuhan jaringan lunak. Jika dibandingkan dengan gips dan bebat, fiksasi internal atau eksternal memberi akses lebih besar pada perawatan luka dan lebih efektif dalam mengontrol nyeri selama mobilisasi. Pada tingkat seluler, respon inflamasi diperpendek dan penyebaran bakteri dikurangi. Keputusan mengerjakan suatu model fiksasi bergantung pada pola fraktur, derajat kontaminasi, dan pilihan ahli bedah sendiri. Metode fiksasi yang secara luas diterima adalah fiksasi eksternal. Kemajuan dalam disain telah membuat alat-alat ini, lebih stabil, dan lebih mudah untuk diaplikasikan. Fiksasi eksternal meminimalisir diseksi tambahan dan mencegah penyisipan implan metalik besar dengan memanfaatkan pin yang disisipkan perkutan yang saling terhubung dengan alat stabilisasi eksternal. Fiksasi ekternal mudah dilepaskan, diganti, dan disesuaikan, dan dapat dikombinasikan dengan fiksasi jenis lainnya. Fiksator eksternal bukannya tidak bermasalah. Osteomielitis pin tract mulai jarang dengan perubahan pada disain dan teknik penyisipan pin. Namun, infeksi superfisial dengan drainase muncul kira-kira 30% dari keseluruhan pasien. Karena ukuran dan lokasinya, debridement dan penanganan berikutnya menjadi sulit. Pada tibia, misalnya, penyisipan pin melalui batas anteromedial subkutan mengurangi infeksi pin tract namun sering menyebabkan obstruksi terhadap akses bedah plastik dan rekonstruktif. Pada kasus lainnya, pola fraktur yang lebih luas mungkin membutuhkan kerangka lebih kompleks dengan gagasan akses terbatas berikutnya. Meskipun efektif dalam memberikan stabilisasi skeletal selama rekonstruksi

jaringan lunak, fiksasi eksternal tidak ideal untuk mencapai union/penyatuan fraktur. Pembedahan tambahan, termasuk pencangkokan tulang atau konversi menjadi fiksasi internal, biasanya penting.

DISLOKASI
Dislokasi sendi didefinisikan sebagai dislokasi permukaan artikular tulang yang normalnya bertemu pada sendi. Subluksasi sendi, sebagai perbandingan, adalah ketika permukaan artikular tidak-saling berdekatan, pada derajat manapun. Dislokasi merupakan bentuk paling ekstrim dari subluksasi. Dislokasi sendi besar (misal, bahu, siku, panggul, lutut, mata kaki) dianggap sebagai kegawatdaruratan ortopedi. Dislokasi berkepanjangan membawa perkembangan pada kematian sel kartilago, artritis paska trauma, cedera neurovaskular, ankylosis, dan nekrosis avaskular. Cedera-cedera ini, yang lebih mungkin muncul pada pasien muda dan aktif, bisa memiliki akibat mematikan. Kebanyakan dislokasi memiliki temuan fisik khusus. Setelah terjadi dislokasi, otot-otot di sekitar sendi secara khas menjadi spasme, terbatasnya range of motion. Hal ini sering menyebabkan tungkai mengambil posisi berbeda. Pada dislokasi panggul posterior, paha dipertahankan pada posisi fleksi dan berotasi secara internal. Tungkai yang terkena biasanya memendek dan tidak dapat diulurkan secara pasif. Dislokasi bahu anterior menyebabkan rotasi dan aduksi ektsternal posisi lengan. Dislokasi siku dan lutut (paling sering posterior) mengakibatkan ekstermitas terkunci pada ekstensi. Sebagaimana halnya semua cedera ekstermitas, pemeriksaan neurovaskular yang teliti harus dilakukan dan dicatat sebelum dan sesudah melakukan manipulasi. Dislokasi paha membutuhkan diskusi khusus karena akibat ekstrim dari kegagalan mengenali dan mengalamatkan mereka tepat waktu. Cedera nervus panggul, kematian sel kartilago, dan nekrosis avaskular merupakan akibat dari tertundanya pengobatan terhadap jenis cedera ini. Dari semua ini, nekrosis avaskular merupakan yang paling berbahaya karena kecenderungannya menyebabkan kolapsnya caput femoris dan perkembangan penyakit sendi degenaratif berikutnya. Masalah ini menggiring pada penggantian panggul total atau fusi panggul pada usia muda. Setelah menjalani prosedur ini, operasi rekonstruktif mayor multipel menjadi umum selama masa hidup pasien. Nekrosis avaskular biasanya berkembang dalam bentuk tergantung waktu. Pada posisi dislokasi, ketegangan pada pembuluh darah kapsular membatasi aliran darah ke caput femoris. Jika pinggul tetap berdislokasi selama 24 jam, nekrosis avaskular akan berakibat pada 100% kasus. Terdapat sebuah aksioma bahwa: semakin lama sebuah sendi mengalami dislokasi, makin sulit melakukan reduksi nantinya. Reduksi dislokasi selalu membutuhkan sedasi intravena untuk mengurangi spasme otot pada sendi. Jika sebuah sendi tidak dapat direduksi oleh metode tertutup dengan sedasi yang cukup, maka anestesi umum dibutuhkan. Berbagai usaha dilakukan untuk mereduksi sendi dengan teknik tertutup di dalam ruang operasi dengan staf yang siap sedia melakukan reduksi terbuka jika prosedur teknik tertutup ini gagal.

Tujuan jangka panjang reduksi adalah untuk mengembalikan posisi anatomi dan fungsi normal. Reduksi juga meringankan nyeri akut, membebaskan pembuluh darah dan ketegangan nervus, dan bisa mengembalikan sirkulasi pada ekstremitas yang tidak terdapat pulsasi.

You might also like