You are on page 1of 2

Jakarta - Letjen Marciano Norman akan menduduki posisi Kepala BIN menggantikan Sutanto.

Sepak terjang Marciano di dunia intelijen pun dinilai bukan suatu hal yang baru. "Itu pasti sudah jadi pertimbangan. Tentu Pak Marciano bukan orang baru lagi di lingkungan intelijen," kata pengamat intelijen Wawan Purwanto saat dihubungi detikcom, Senin (17/10/2011). Menurut Wawan, keapikan Marciano di bidang intelijen bukan hanya karena Marciano sudah punya pendidikan khusus mengenai intelijen di TNI. Tapi Marciano juga pernah menjabat sebagai Pangdam Jaya. "Apalagi dia kan juga sudah pernah jadi Pangdam Jaya. Itu kan bukan sembarang menaruh posisi itu," jelasnya. Jika dilihat dari prestasi di bidang intelijen, lanjut Wawan, publik tentu tidak bisa melihatnya. Karena yang mengetahui kemampuan dan prestasi bidang intelijen itu sendiri adalah atasan langsungnya. "Intelijen itu kan tidak tampak. Namanya prestasi yang nilai atasannya. Tidak lantas secara terbuka ke publik. Bukan konsumsi publik," jelasnya. Wawan menilai tidak ada yang salah dengan pemilihan Marciano sebagai Kepala BIN. Seluruh pergantian menteri dan pejabat setingkat menteri merupakan hak prerogatif presiden. Sutanto digantikan bukan karena kebobolan dalam kasus bom Cirebon dan bom Solo. "Barangkali ada tugas khusus lain yang bakal diterima Pak Sutanto. Kepemimpinan Sutanto juga bagus selama ini. Bisa menggolkan UU intelijen. Bukan karena bobol. Intelijen kan hanya support information bukan menangkap," terangnya. Intelejen Indonesia, paling tidak di masa Orde Baru, menggunakan teknik pemecah belahan masyarakat untuk menciptakan situasi sosial yang rapuh agar kekuasaan rezim, dalam hal ini Soeharto, bisa dipertahankan. Caranya, menggunakan teknik Joko Tingkir, legenda sejarah seorang tokoh yang menyumpal telinga kerbau, hingga kerbau mengamuk. Seolah-olah hanya dia yang bisa menjinakkan kerbau yang mengacau, padahal pelaku kekacauan itu tak lain buatannya sendiri. Melaui teknik ini, sejarah bisa merekam sejumlah operasi intelejen Orde Baru seperti operasi penumpasan Komando Jihad yang menciptakan karakter Imron. Hal itu yang antara lain muncul pada diskusi bedah buku hasil disertasi Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqoddas, berjudul Hegemoni Rezim Intelijen di kampus Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang (UM), Minggu (9/10/2011).

Busyro antara lain mengungkapkan ketidakyakinannya bahwa karakter ciptaan intelijen Orde Baru seorang petinggi Komando Jihad telah tewas, dalam operasi itu. Imron sejak semula dikenal tinggal di Arab Saudi, dan waktu itu ada info yang mengatakan Imron masih hidup di sana. "Bahkan saat Ali Murtopo berada di Arab, Imron ada diantara orang Indonesia yang hadir dalam pertemuan itu, yang artinya dekat dengan petinggi intelijen," katanya. Teori Joko Tingkir didukung oleh Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang Prof Dr Haryono yang juga pakar ilmu sejarah. Model operasi intelijen Joko Tingkir ini yang kemudian sukses menciptakan ketegangan antara sesuatu yang diistilahkan ekstrim kiri dan ekstrim kanan ciptaan Orde Baru pada awal 1980-an, yang menunjukkan seolaholah ada ancaman orang-orang kiri terhadap orang-orang kanan dan sebaliknya. "Inilah hantu-hantu yang diciptakan, yang disebut hantu jihad dan hantu komunis. Padahal yang sebenarnya terjadi, melalui ketegangan itu kemudian intelijen bisa mengetahui siapa yang berideologi yang mana, sehingga kedua-duanya ditumpas, bukan untuk kepentingan negara. Melainkan untuk kepentingan kelanggengan kekuasaan Orde Baru," katanya. Kedua hantu ini menjadi sumber ketakutan, dan menutupi hantu sebenarnya, seperti diungkap John Perkins," kata Haryono, dalam buku Confessions of Economic Hitman yakni pengurasan sumber daya ekonomi pertambangan dan perkayuan oleh kekuatan asing. Operasi intelijen mengabdi pada hedonisme penguasa, menciptakan ketakutan yang membuat operasi pertambangan asing seperti Freeport atau Newmont bisa leluasa berkuasa di tengah kemiskinan rakyat di sekitar situs pertambangan. Menurut Busyro, ada informasi yang menyebut sebelum ini ABB dikenal dekat dengan para petinggi intelijen. Demikian pula hubungan antara petinggi Negara Islam Indonesia (NII) di Jawa Barat yang justru berhubungan dekat dengan mantan petinggi lembaga intelijen. "Meski dengan pemandangan demikian gamblang, namun kita lihat sendiri tak ada tindakan hukum terhadap NII dan orang-orangnya yang sudah terungkap luas, sampai hari ini. Jangan heran bahkan seorang Panglima Kodam, pernah bicara dengan saya usai wisuda anaknya bahwa ia berterima kasih pada saya karena setelah kuliah di kampus Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, anaknya itu yang terpengaruh NII bisa kembali ada orang tuanya. Lho ini seorang Pangdam saja tak berdaya mengahadapi NII," kata Busyro. Melalui itu, Busyro menegaskan, para aktivis dan masyarakat luas hendaknya berusaha terus mengkritisi tiga RUU yang sedang diupayakan untuk segera disahkan, yakni RUU Intelijen, RUU Rahasia Negara dan RUU Pertahanan, yang dapat mengancam demokrasi. "Mari kita kembalikan intelijen bukan sebagai milik kekuasaan, melainkan milik negara dan milik rakyat. Intelijen bekerja untuk menjaga kepentingan negara, bukan kepentingan rezim berkuasa," katanya.

You might also like