You are on page 1of 15

LEMBAGA KETAHANAN NASIONAL RI _ NARASUMBER _

KONGKRITISASI NILAI-NILAI PANCASILA DALAM MEMPERTAHANKAN KELANGSUNGAN HIDUP BANGSA DAN NEGARA
Mengamalkan Nilai-nilai Spritual Pancasila secara utuh, akan mencegah seseorang dalam perbuatan melanggar hukum

Marsma TNI (Purn) H. A. Gani Jusuf, S.IP Narasumber Lemhannas RI

A.

PENDAHULUAN Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia, digali dari nilai-nilai

luhur bangsa, baik nilai budaya, adat istiadat, nilai agama, maupun nilai-nilai perjuangan, terutama nilai-nilai dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, melepaskan diri dari belenggu penjajahan yang berlangsung ratusan tahun lamanya. Keterpaduan nilai yang mengkristal dalam rumusan lima sila yang saling jiwa menjiwai mulai dari sila ke satu sampai dengan sila kelima, merupakan satu sistem nilai dalam sistem filsafat kemanusiaan. Suatu nilai yang bersifat abstrak yang melekat pada diri setiap anak bangsa Indonesia, dimana unsur-unsur inti mutlak yang secara keseluruhan dan bersama-sama merupakan kesatuan dan menjadikan Pancasila ada. Untuk kongkritnya, Pancasila adalah dasar filsafat, asas kehormatan, ideologi bangsa dan negara Republik Indonesia (Prof. Drs. Sunarjo Wiroksosuhardjo / ilmu Pancasila Yuridis Kenegaraan). Sebagai ideologi, Pancasila merupakan keterpaduan dari diri manusia sebagai mahluk individu yang tidak dapat dipisahkan dengan dirinya sebagai mahluk 1

sosial, yang menjadikan Pancasila terpisah dan berbeda dengan liberalisme, terpisah dan berbeda dengan komunisme, terpisah dan berbeda dengan kapitalisme. Keterkaitan manusia sebagai mahluk individu dalam Pancasila, mencerminkan asas hidup yang berpangkal pada tingkat hubungan kodrat kemanusiaan yaitu hubungan manusia dengan Tuhan (sila kesatu), hubungan manusia dengan manusia (sila kedua), dan hubungan manusia dengan alam sekitar lingkungan (sila ketiga). Ketiga hubungan itu merupakan azas hidup, karena ketiganya adalah prasyarat untuk seseorang ada dan hidup.Sedang manusia sebagai mahluk sosial dalam Pancasila, mencerminkan hubungan kodrati dalam dinamika kehidupan yaitu hubungan manusia dengan berbagai perbedaan dan permasalahan yang harus dipecahkan dan diselesaikan secara demokratis (sila ke empat), dan hubungan manusia dengan ke-Khalifaan atau kepemimpinan, mengharuskan peran pemimipin yang adil dalam berbagai pengambilan keputusan (sila kelima). Guna menjamin kelangsungan hidup Bangsa dan Negara dimasa depan, kepada Pemimpin dan Negarawan dituntut dan diharuskan meresapi, memanifestasikan dan mengatualkan nilai-nilai kodrati sendiri, yaitu nilai-nilai Pancasila. Untuk memudahkan peresapan, maka nilai-nilai Pancasila itu disarikan kedalam 45 butir bahan Penataran, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila (P-4) sesuai Tap MPR no.II/1978. Suatu keharusan bagi setiap Pemimpin/ Negarawan Untuk mengejawantahkan tiga dimensi nilai Pancasila tersebut, antara lain dengan kemampuan dan kemauan mengamalkan 45 butir P-4 dalam 3 aspek kehidupan sekaligus, dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara Pemahaman, penghayatan dan pengamalan Pancasila, pada dasarnya sangat ditentukan oleh adanya kesamaan persepsi tentang makna/arti dari suatu Nilai dimana Nilai adalah sifat atau kualitas yang melekat pada obyek. Dengan kata lain, nilai-nilai Pancasila pada hakekatnya melekat pada diri setiap pribadi manusia Indonesia dalam sistem nilai Filsafat kemanusiaan. Terdapat tiga nilai yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan dalam Pancasila yang merupakan margin of appresiation,yaitu : 1.

Nilai Spritual Pancasila. Merupakan nilai yang melekat pada 2

diri manusia Indonesia dalam dimensi pemikiran idealis yang dijadikan sebagai nilai dasar Pancasila yang dirumuskan / tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.

2. nilai

Nilai Material Pancasila. Merupakan kongkritisasi dari nilaispritual Pancasila sebagai nilai Instrumental, dalam dimensi

pemikiran fleksibilitas, yang dirumuskan dalam berbagai norma / peraturan perUndang-Undangan (Peraturan Per-UU-an). 3. Nilai Vital Pancasila. Merupakan ketaatan atau kepatuhan

terhadap norma (peraturan/per-UU-an), sebagai nilai praksis dalam dimensi pemikiran realitas, yang tercermin dalam perbuatan atau perilaku (etika dan moral). Pada hakekatnya, keterpaduan hubungan kodrati dalam filosofi pancasila merupakan filosofi yang memandang manusia secara kodrati mengemban tugas untuk melaksanakan nilai-nilai hidup dan nilai-nilai yang memandu upaya (Lima Sila). Hal ini karena nilai-nilai itu menjadi dasar keberadaan sekaligus penjamin kelangsungan keberadaanya, baik sebagai mahluk individu maupun sebagai. mahluk social. Oleh karena itu, nilai-nilai pancasila sangat penting ditanamkan pada diri setiap warga/rakyat secara kodrati menerima dan mengemban amanat hidup dengan nilai-nilai kodrati yang di anugrahkan tersebut, sebagai pedomannya (Given). B. NILAI SPRITUAL PANCASILA (NILAI DASAR) Pancasila sebagai suatu sistem Nilai dalam sistem filsafat kemanusiaan diyakini sebagai suatu kebenaran hakiki oleh seluruh anak Bangsa Indonesia, dalam kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Suatu sistem filsafat kemanusiaan yang memadukan keberadaan manusia sebagai makhluk individu yang tidak dipisahkan dengan keberadaannya sebagai mahluk sosial, yang didalam dirinya mengandung nilai-nilai Spritual Pancasila yang harus dipahami, dihayati, dan diamalkan. Suatu nilai yang merupakan kristalisasi dari nilai- nilai 3

luhur bangsa, terutama nilai-nilai yang bersumber dari ajaran agama yang dimiliki bangsa Indonesia, yang melekat pada setiap sila, mulai dari Sila pertama sampai dengan Sila kelima.

1.

Sila Pertama ( Ketuhanan Yang Maha Esa ) Kunci dan titik sentral pemikiran dari kelima sila ada pada sila

pertama, yaitu Ke-Tuhanan, karena Tuhan adlah dasar keberadaan bagi makluk pemberian kekuatan oleh oleh-Nya, merupakan syarat bagi setiap gerakan, upaya, dan perubahan pada mahluk-Nya. Semua agama di NKRI ini, meyakini keberadaan Tuhan. Tuhan Maha Besar, Maha Pencipta, Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Segala sesuatu yang ada dan terjadi dalam kehidupan ini, adalah ciptaan dan atas kehendak Tuhan. Kaum Kristiani menyatakan bahwa Tuhan ada dalam diri setiap orang. Kaum Hindu/Budha menyatakan, bahwa diri manusia merupakan rumah Tuhan yang harus dijaga kebersihannya dan dijauhkan dari halhal yang bertentangan dengan agama. Sedang kaum Islam, sesuai dengan Firman Tuhan (Allah) dinyatakan, bahwa Allah ada sangat dekat dengan dirimu, tidak lebih dari kedua urat nadi lehermu. Keberadaan dan keesahan Tuhan ini, mendasari suatu kesepakatan untuk menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai Sila Pertama, yang menjiwai semua sila-sila dibawahnya. (Belief in God). 2. Sila Kedua ( Kemanusiaan yang adil dan beradab ) Semua agama meyakini, bahwa manusia adalah mahluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna, lebih sempurna dari binatang. Kalau

binatang diberi makanan, cenderung rebutan bahkan cakar-cakaran. Sedang manusia sebagai mahluk yang diberi kelebihan akal, akan membaginya secara adil. Binatang bila telah besar (dewasa) mau menggauli induknya, sedang manusia sebagai mahluk yang beradab tak akan mungkin sebiadab yang dilakukan binatang. Sehubungan

dengan ini, pada dasarnya manusia adalah mahluk yang adil dan beradab, yang taat dan patuh pada ajaran agama, serta norma yang

berlaku yang telah disepakati bersama yang tidak bertentangan dengan ajaran agama. Didasarkan pada pemikiran ini, Bangsa Indonesia bersepakat, merumuskan Kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai Sila Kedua. Bangsa Indonesia sangat menentang ketidakadilan dan perbuatan yang tidak manusiawi, serta menentang penjajahan dalam bentuk apapun (Nationalism). 3. Sila Ketiga ( Persatuan Indonesia ) Pada umumnya semua agama meyakini, bahwa kehadiran manusia di dunia ini, semata-mata bertugas untuk menyembah dan mencintai Pencipta. Hal ini sesuai Firman Tuhan dalam salah satu Kitab Suci (Al-Quran), mengatakan Tiada Ku ciptakan Jin dan Manusia selain untuk beribadah kepada KU. Sehubungan dengan ini, manusia diharuskan berjuang mempertahankan hidup, bersama-sama manusia lainnya secara rukun, tentram dan damai, sehingga dengan tenang beribadah menyembah dan mencintai Pencipta. Untuk ini, Tuhan menganugerahkan Alam dengan segala isinya, yang dapat dikelola dan dimanfaatkan bersama. Nikmat dan Anugerah Tuhan yang sangat

besar ini, harus dijaga, dipelihara, dan dimanfaatkan sebaik-baiknya, serta jangan sampai terjadi pengrusakan terhadap alam ciptaan Tuhan. Agar tidak terjadi kerusakan maka bangsa ini harus bersatu, tidak memperebutkan ruang hidup diatas nikmat Tuhan yang memberikan sumber kehidupan bagi bangsa Indonesia dan bangsa-bangsa lain di dunia. Adanya ketentraman, kedamaian dan kerukunan dalam hidup ini, memungkinkan Bangsa ini dapat beribadah dengan tenang dan khusuk menyembah dan mencintai Pencipta (Tuhan). Dasar pemikiran ini, secara filosofis dituangkan dalam rumusan

Persatuan Indonesia sebagai Sila Ketiga. Bangsa Indonesia cinta akan bangsanya dan seluruh bangsa di dunia (Internationalism). 4. Sila Keempat (Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat

kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan). Firman Tuhan dalam salah satu Kitab Suci (Al-Quran), yang

intinya mengatakan bahwa Manusia sengaja diciptakan Tuhan berbedabeda, supaya saling mengenal. Tidak dapat dipungkiri, bahwa dengan adanya perbedaan, pasti ada ketidaksesuaian, ada gesekan, bahkan bisa meluas pada pertengkaran atau permusuhan. Sebagai manusia yang Ber-Tuhan dan beradab, yang menginginkan persatuan dan kesatuan dalam kebhinekaan, ketentraman, kedamaian dan kerukunan hidup bersama, seyogianya dalam setiap menghadapi berbagai masalah sekecil apapun, diselesaikan secara musyawarah, demi tetap utuhnya persatuan Indonesia dan kesatuan. Hitorogenitas aspirasi masyarakat dan atau rakyat telah

dengan

beragam

kepentingan,

menempatkan penyelesaian secara musyawarah menjadi sangat penting, terutama dalam memelihara Persatuan dan Kesatuan Bangsa. Bertolak dari pemikiran ini, dengan mempertimbangkan kemajemukan dari bangsa Indonesia dan menempatkan kedaulatan berada di tangan rakyat, maka dirumuskan Sila Keempat, yaitu Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Dari rakyat diputuskan oleh rakyat dalam bentuk peraturan perUUan, dan dikembalikan kepada rakyat untuk ditaati (Democracy). 5. Sila Kelima (Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia) Pada hakekatnya manusia diciptakan Tuhan dimuka bumi adalah sebagai Khalifah atau pemimpin yang bertugas mengelola alam dengan segala isinya, sehingga berada dalam kehidupan yang aman, tenteram, dan damai, yang memungkinkan manusia melaksanakan kewajibannya dengan khusyuk dalam menyembah dan mecintai pencipta/Tuhan. Khalifah/pemimpin yang memiliki kemampuan dan kemauan untuk memecahan dan menyelesaikan berbagai masalah secara musyawarah, terhadap beragam macam kebutuhan manusia, baik kebutuhan sebagai mahluk individu maupun sebagai mahluk sosial. Dalam hal ini diperlukan pemimpin yang mampu dan mau mangambil keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak sengan keputusan yang seadil-adilnya tanpa keberpihakkan. Didasarkan pada pemikiran ini, bangsa Indonesia bersepakat secara filosofis merumuskan Keadilan

Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Semua keputusan yang telah disepakati bersama, ditaati sebagai produk hukum yang harus ditegakkan dan dikenakan tindakan tegas/keras bagi siapa yang melanggarnya (Social Justice).

C.

NILAI MATERIAL PANCASILA ( NILAI INSTRUMENTAL ) Rumusan lima sila yang secara harfiah tertuang dalam Pembukaan UUD

1945, pada hakekatnya merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai spritual Pancasila kedalam nilai-nilai material Pancasila, sebagai sumber dasar hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan UUD 1945 (Pasal-pasal UUD 1945) sebagai sumber hukumnya. Kongkritisasi dari nilai-nilai material Pancasila dirumuskan dalam berbagai Peraturan perUU-an sebagai hasil pemikiran yang luwes dan fleksibel, disesuaikan dengan pandangan Geopolitik dan Geostrategi serta perkembangan kemajuan Iptek yang relatif berubah dengan cepat. Dalam hal ini, sangat diperlukan adanya pemimpin penentu kebijakan (pilihan rakyat), yang dalam dirinya melekat nilai nilai spritual Pancasila, yang mampu dan mau membuat aturan, menerapkan aturan, dan menguji aturan yang didalamnya melekat Nilai-nilai Material Pancasila sebagai Nilai Instrumental. Menyikapi pengaruh arus globalisasi dan situasi dalam negeri yang cenderung mengarah pada pembusukan ideologi Pancasila, bahkan terdapat sebagian golongan tertentu yang masih menginginkan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII), sangat diperlukan adanya pedoman baku yang jelas dan tegas dalam bentuk peraturan per-UU-an yang didalamnya memancarkan nilai-nilai material Pancasila. Hal ini bisa terjadi, apabila para penentu kebijaksanaan betul - betul memahami nilai dasar Pancasila dalam dimensi pemikiran idealis, maupun nilai insrumental Pancasila dalam dimensi pemikiran fleksibilitas sebagai landasan Ideal dalam membuat peraturan per-UU-an. Dalam hal ini mau tidak mau untuk menghadapi Indonesia dimasa depan, kita butuhkan dan kita harus menyiapkan untuk memiliki pemimpin / negawaran yang Pancasilais yang dalam dirinya melekat nilai-nilai Pancasila. Suatu nilai yang terpatri dalam diri setiap anak bangsa, yang ditanamkan sejak dini, melalui pendidikan,

pengajaran maupun pelatihan, baik melalui kegiatan formal, non formal maupun informal, terutama mulai dari organisasi terkecil dalam keluarga. Nilainilai spritual Pancasila dengan 45 butir bahan P-4 seharusnya di tanamkan dari usia dini sebagai suatu kebiasaan atau habit yang akhirnya menjadi suatu karakter, yang dengan sendirinya mudah memahami, menghayati dan mengamalkan Pancasila sebagai jati diri bangsa Indonesia. Ke 45 butir bahan P-4 ini bukan merupakan suatu ukuran salah benarnya perbuatan seseorang, akan tetapi ke 45 butir ini melekat pada diri setiap orang yang membuatnya terhindar dari perbuatan melanggar hukum atau melanggar peraturan per-UU-an) yang didalamnya memancar nilai-nilai material Pancasila. Dengan kata lain : Mengamalkan nilai-nilai Spritual Pancasila secara utuh, akan mencegah seseorang dalam perbuatan melanggar hukum. Terkait dengan pembangunan karakter setidaktidaknya terdapat 6 (enam) unsur pokok kebiasaan atau habit yang perlu ditanamkan dan dilatihkan kepada setiap anak bangsa sejak usia dini, yang sesuai atau tidak bertentangan dengan ajaran agama, antara lain ; 1. Karakter baik, adalah ; a. b. c. 2. Orang yang jujur, tidak bohong. Orang yang rendah hati, tidak sombong. Orang yang bertanggung jawab.

Karakter kuat, adalah ; a. b. c. Orang yang berani dalam kebenaran. Orang yang disiplin dalam keteraturan. Orang yang memengang teguh komitmen.

Karakter baik dan kuat semacam ini, sulit untuk diajarkan dan ditanamkan kepada orang dewasa, apalagi sudah berada dalam posisi kekuasaan, karena otaknya atau pikirannya sudah terpolusi oleh lingkungan, kecuali dilaksanakan dalam suatu pendidikan dan latihan yang relatif keras dan

terarah, dengan merubah mind set (pola pikir) atau merubah kebiasaan ke arah karakter yang diharapkan seperti selama ini dilaksanakan TNI / POLRI pada awal-awal pendidikan. Namun demikian bisa saja terjadi di lapangan, adanya ketidak sesuaian dengan karakter yang telah dibangun, karena pengaruh dari watak yang dibawa sejak lahir, akan mempengaruhi dan bisa muncul pada setiap saat yang terdesak. Berbagai macam cara dapat dilaksanakan dalam membangun karakter, terkait dengan ditanamkannya nilai-nilai spritual Pancasila (45 butir bahan P-4) dalam diri setiap anak bangsa, antara lain seperti yang dicontohkan oleh seorang Ibu rumah tangga asal Pare-Pare (Sulawesi Selatan). Seorang ibu (single Parent) yang berstatus janda, yang relatif tidak sempat mengikuti pendidikan formal, namun mampu spritual dan berhasil menanamkan nilai-nilai

kepada 15 orang anaknya, sebagai modal dasar dan bekal dalam

perjuangan hidup didunia dan akhirat kelak. Sebagai seorang Ibu yang beragama Islam, kepada setiap anak pada usia sampai dengan 6 (enam) tahun, ditanamkan untuk khatam kitab suci (Al-Qur-an). Dari usia 6 tahun sampai 12 tahun selama Sekolah Dasar (SD) ditanamkan adanya kejujuran. Lanjut ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) ditanamkan kesabaran dan selama di Sekolah Menengah Atas (SMA) ditanamkan adanya disiplin yang kuat. Kemudian selesai SMA, dengan bermodalkan kejujuran, kesabaran dan disiplin setiap anak mengembangankan sendiri bakatnya, yang dengan sendirinya mampu dan mau memahami, menghayati dan mengamalkan Pancasila. Alhamdulillah kesemuanya berhasil dalam mengabdikan diri bagi bangsa dan negara melalui profesinya masing-masing, dimana salah satu diantaranya ada yang jadi profesor/Guru Besar. (Kick Andy / Metro TV). D. NILAI-NILAI VITAL PANCASILA (NILAI PRAKSIS) Ketaatan terhadap semua peraturan perUUan yang didalamnya melekat Nilai-nilai material Pancasila, merupakan suatu perwujudan nyata dari pengamalan nilai-nilai spiritual Pancasila kedalam nilai-nilai vital atau nilai praksis Pancasila yang tercermin dalam berbagai perbuatan atau perilaku (etika dan moral). Suatu perilaku yang menggambarkan pengejawantahan dari

pengamalan Kelima Sila secara utuh dan terpadu yang pada setiap sila mengandung butir-butir Pancasila yang terdiri dari :

1.

Sila Pertama, Ketuhanan yang Maha Esa : a. Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan dan

ketaqwaanya terhadap Tuhan Yang Maha Esa. b. Manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang

Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masingmasing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. c. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan

bekerjasama antara pemeluk agama dan pengamat kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha esa. d. Membina kerukunan hidup diantara sesama umat beragama

dan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa e. Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa

adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa yang dipercayai dan diyakininya. f. Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan

menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing. g. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap

Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain. 2. Sila Kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab : a. Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat

dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. b. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban

asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya.

10

c. d. e. lain. f. g. h. i.

Mengembangkan sikap saling mencintai sesuatu manusia. Mengembangkan sikap tenggang rasa dan tepu selira. Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang

Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan. Berani membela kebenaran dan keadilan. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh

umat manusia. j. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan

bekerjasama dengan bangsa lain. 3. Sila Ketiga, Persatuan Indonesia : a. Mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta

kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama diatas kepentingan pribadi atau golongan. b. Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan

bangsa, apabila diperlukan. c. d. Mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa. Mengembangkan rasa kebangsaan berkembangsaan dan

bertanah air Indonesia. e. Memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian, abadi dan keadilan sosial. f. Mengembangkan peraturan Indonesia atas dasar Bhinneka

Tunggal Ika. g. 4. Sila Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa. Keempat, Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat

Kebiksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan : 11

a.

Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap

manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama. b. c. Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan

untuk kepentingan bersama. d. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat

kekeluargaan. e. Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang

dicapai sebagai hasil musyawarah. f. Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan

melaksanakan hasil keputusan musyawarah. g. Di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama

diatas kepentingan pribadi atau golongan. h. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan

hati nurani yang luhur. i. Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan

secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan, mengutamakan bersama. j. Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai persatuan dan kesatuan demi kepentingan

untuk melaksanakan permusyawaratan. 5. Sila Kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia : a. Mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan

sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan. b. c. d.

Mengembangkan sikap adil terhadap sesama. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban. Menghormati hak orang lain. 12

e.

Suka memberikan pertolongan

kepada orang lain agar

dapat berdiri sendiri. f. Tidak menggunakan hak milik untuk tanda-tanda yang

bersifat pemerasan terhadap orang lain. g. Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat

pemborosan dan gaya hidup mewah. h. Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang

berkepentingan dengan atau merugikan kepentingan umum. i. j. Suka bekerja keras. Suka menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi

kemajuan dan kesejahteraan bersama. k. Suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan

kemajuan yang merata dan keadilan sosial. Dengan tetap berpedoman pada lima sila yang telah dirinci kedalam 45 butir (lampiran TAP MPR No. II/MPR/1978) sebagai angka yang bersifat simbolik, tidak menutup kemungkinan terdapat beberapa pemahaman pada setiap butir, atau pembulatan beberapa butir penting dan mendesak, yang harus dikedepankan dalam menghadapi masa depan Bangsa Indonesia, terutama yang saat ini telah mengarah pada terjadinya benturan peradaban. Butir-butir ini harus ditanamkan dan dijadikan kebiasaan atau habit dalam diri setiap anak bangsa sebagai suatu karakter yang tidak tergoyahkan oleh pengaruh apapun yang dapat memperkuat jati diri Bangsa sebagai Bangsa yang Pancasilais, terutama kepada seluruh pemimpin yang mendapat amanah dalam mewujudkan rasa aman dan harapan hidup sejahtera bagi seluruh rakyat Indonesia. Pemimpin yang memiliki kemampuan dan kemauan menegakkan hukum yang tegas, konsisten dan tidak memihak sesuai nilai-nilai Pancasila, sebagai pemimpin yang patut diteladani.

13

E.

PENUTUP

Diharapkan tulisan ini, dapat digunakan sebagai sumbangan pemikiran dalam meningkatkan Pemahaman, Penghayatan dan Pengamalan Pancasila yang dewasa ini cenderung terlupakan atau terabaikan. Perlu diyakini oleh seluruh anak bangsa,bahwa keterpaduan hubungan filosofi Pancasila, mengharuskan pentingnya nilai-nilai Pancasila ditanamkan pada diri setiap Pemimpin /Negarawan, untuk menjadikannya sebagai Pemimpin yang beriman dan bertaqwa (sila 1), bermoral dan berakhlak (sila 2), mengutamakan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi atau golongan (sila 3), serta mampu dan mau memecahkan / menyelesaikan masalah secara demokratis (sila 4), mampu dan mau mengambil keputusan yang seadil-adilnya tanpa keberpihakan (sila 5). Untuk itu perlu segera dibentuk satu badan pengganti kantor BP-7, baik berdiri sendiri maupun berada dalam satu Kementrian, yang jelas kedudukan, tugas, fungsi dan tanggung jawabnya, sebagai badan yang mensosialisasikan dan melaksanakan penataran P-4, serta merumuskan materi yang sangat diperlukan dalam pembangunan karakter, termasuk dalam pembentukan jati diri, sebagai bangsa yang Pancasilais.

Semoga bermanfaat

Jakarta,

Mei 2011

Narasumber Lemhannas RI

H. A. GANI JUSUF, SIP MARSMA TNI (PURN)

14

15

You might also like