You are on page 1of 57

Kemajuan ilmu kedokteran tak mungkin secepat sekarang bila pembiusan tak diketemukan.

Hampir semua cabang ilmu kedokteran klinik kini punya sangkut paut dengan anestesi. Maka dapat dikatakan bahwa tanpa anestesi, sarana praktek medis belumlah lengkap. Dalam nomor ini disajikan tulisan -tulisan dari Kursus Seminggu Anestesi 11, tanggal 19 Nopember 1983, di Surabaya. Dalam garis besarnya, tulisan-tulisan tersebut terbagi dalam anestesi untuk pembedahan darurat, anestesi pada seksio cesaria, dan anestesi pada adenotonsilektomi. Selain itu dimuat juga artikel menarik tentang budaya dan kesehatan, tes kehamilan, penatalaksanaan batuk darah, amebiasis dan sebagainya. Artikel mengenai Dokter dan Pengikianan kami sajikan untuk teman-teman sejawat renungkan. Sekedar untuk membuka cakrawala baru mengenai masalah pengiklanan ini; masalah yang tak dijumpai oleh kolega - kolega kita di jaman dulu. Bila sejawat membaca CDK nomor ini, mungkin anda sedang menjalani puasa. Sedang sejawat yang di daerahdaerah mungkin baru menerima CDK ini setelah lebaran. Maka sebagai akhir kata, kami mengucapkan "Selamat berpuasa, Selamat berlebaran." Redaksi

Artikel

Anestesi Untuk Pembedahan Darurat


dr. T.B. Zuchradi Bagian Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Pajajaran/RS. Dr. Hasan Sadikin, Bandung

PENDAHULUAN Untuk operasi yang direncanakan secara elektif tersedia waktu berhari-hari untuk pemeriksaan klinik dan laboratorik, serta persiapan operasinya. Teknik anestesi dapat direncakan dalam keadaan tidak terburu-buru. Jalan dan luasnya operasi sudah dapat direncanakan. Untuk diagnosis yang belum jelas, ahli anestesi dapat menyiapkan cara-cara anestesi untuk kebutuhan bedah. Dengan kata lain : waktu untuk operasi elektif terdapat di pihak ahli anestesi. Pada bedah gawat darurat, faktor waktu yang sangat berharga ini tidak ada lagi. Dokter anestesi dihadapkan kepada tugas dengan waktu persiapan yang sangat singkat, mungkin 1 jam atau kurang. Sehingga harus dicapai kompromi antara pendekatan ideal ; dan kondisi anestesi optimal yang dapat diberikan untuk menunjang intervensi bedah gawat darurat ini. Banyak bedah gawat darurat masih dapat ditangguhkan selama 1 jam atau lebih untuk persiapan yang lebih baik, kecuali 5 keadaan ini : 1. Kegawatan janin 2. Perdarahan yang tidak terkendalikan 3. Gangguan pernafasan yang sangat berat
4. Cardiac arrest

MASALAH MASALAH ANESTESI UNTUK PEMBEDAHAN DARURAT I. Lambung berisi penuh Aspirasi isi lambung sewaktu induksi anestesi atau sewaktu akan sadar kembali harus sejauh mungkin dicegah. Waktu pengosongan memanjang oleh makanan berlemak tinggi (810 jam), gangguan emosionil, dan obat narkotik. Interval waktu makan terakhir dengan awal sakit sangat penting sebab lambung berhenti bekerja waktu timbulnya nyeri. Hiperventilasi atau gangguan pernafasan, menyebabkan penderita menelan udara sehingga timbul perut kembung, yang memudahkan regurgitasi atau muntah. Sekalipun telah dipasang maagslang, pengosongan lambung secara lengkap melalui slang tidak dapat dijamin. Wanita dalam proses partus harus dianggap seakan-akan lambung berisi penuh. Partus, rasa nyeri dan takut memperpanjang waktu pengosongan lambung. Partus yang lama menyebabkan jumlah cairan lambung bertambah. Isi perut terdorong ke arah kepada, menekan sfingter kardia dan memudahkan regurgitasi atau muntah. Pasien dalam keadaan coma atau setengah sadar, mudah aspirasi. Bila akan menguras lambung maka jalan pernafasan harus diamankan dulu dengan tube endotrakeal yang memakai cuff. Sekalipun ada reflek batuk, hal ini tidak menjamin perlindungan terhadap aspirasi. Teknik anestesi pasien yang dicurigai mempunyai lambung penuh. Intubasi dalam keadaan sadar. Dilakukan Crash induction, dengan cara seperti di bawah ini : Posisi Trendelenburg. I. Posisi Trendelenburg dalam, sehingga isi lambung akan turun ke farings daripada ke paru-paru.
Cermin Dunia Kedokteran No. 33, 1984 3

5. Emboli arterial Bila keadaan umum pasien yang kurang baik, manfaat untuk segera dibedah harus dipertimbangkan terhadap resiko penangguhan yang digunakan untuk persiapan yang lebih baik demi keuntungan pasien. Tindakan bedah darurat yang kecil dapat membawa risiko anestesi besar yang tidak terlihat dengan jelas pada permulaan. Penilaian klinis yang baik, serta kemampuan untuk mengenal dan mempersiapkan diri untuk situasi - situasi yang berbahaya adalah sangat berharga. Walaupun dokter anestesi biasanya dibantu oleh perawat anestesi untuk memelihara peralatan dan pengadaan obat, namun ahli anestesi tetap bertanggung jawab agar peralatannya terpelihara dan berfungsi baik.

2. Oksigenasi minimal 5 menit 3. Tubokurarin 3 mg atau pankuronium 1 mg disuntikkan secara intravena untuk mencegah fasikulasi yang menaikkan tekanan intragastrik dan menimbulkan regurgitasi. 4. Obat induksi anestesi disuntikkan dengan cepat, diikuti oleh suksinilkolin (bila tidak ada kontra indikasi). 5. Jangan diventilasi, dan pembantu harus menekan trakhea secara keras terhadap esofagus segera setelah pasien tidur. 6. Segera setelah otot lemas maka tube endoktrakheal harus dimasukkan ke dalam, dan balonnya segera ditiup. 7. Syarat penting bahwa alat pengisap disiapkan setiap saat. Posisi anti Trendelenburg. Pasien diposisikan dalam anti Trendelenburg yang sangat, sehingga larings berada 40 cm di atas sfmgter kardiogastrik. Ikuti tindakan-tindakan (2) sampai (6) diatas tadi. Pengobatan/terapi aspirasi. Beratnya efek aspirasi ditentukan oleh : 1. pH cairan (makin asam makin berat pneumoninya) 2. volume cairan 3. partikel-partikel dari bahan aspirasi Terapi pilihan : (a). Segera intubasi, dihisap bersih dan ventilasi. (b). Bronkhi dibilas dengan larutan garam steril, 3 - 5 cc dan diventilasi, selanjutnya dihisap ulang sampai bersih. (c). Antibiotika berspektrum luas (d). Bila terdapat spasme bronkhial. Beri hidrokortison 1 gr I.V; Aminofilin 240 mg dilarutkan dengan 250 cc 5% D/W. Pelan-pelan secara intravena dan segera dihentikan bila timbul aritmia atau hipotensi. Foto rontgen toraks dibuat segera apabila dicurigai adanya aspirasi. Diulang 6 - 8 jam kemudian bila yang pertama negatif karena ada kemungkinan terdapat delayed aspirasi dan terjadinya pneumonia. II. Hipotensi Hipotensi adalah reduksi 30 - 35% dari tekanan darah sistolik normal. Sebab-sebab hipotensi : Hipovolemia Shock kardiogenik Shock neurogenik Sepsis Hipofungsi atau kegagalan adrenal Kekacauan metabolik (misalnya coma diabeticum). Untuk mengetahui kelanjutan pengobatan perlu ada monitoring 1. Tekanan darah dengan cuff biasa atau lebih tepat dengan arteria line dengan pembacaan langsung dari transduser. 2. Kateter CVP : untuk mendiagnosis overload jantung kanan, juga bermanfaat untuk digunakan sebagai pemberian cairan. 3. ECG 4. Temperatur : Hipotermia dan hipertermia dapat menyebabkan masalah-masalah intraoperatif yang serius. Ukur suhu sentral di esofagus atau rektum atau membrana timpani. Kateter vesika urinaria. Output urine menunjukkan keadaan hidrasi dan derajat aliran darah melalui ginjal. Memperta4 Cermin Dunia Kedokteran No. 33, 1984

hankan aliran urine sebanyak 40 - 60 ml/jam akan mengurangi kemungkinan kegagalan ginjal akut pada masa pascabedah. Ginjal membutuhkan minimal tekanan 80 torr untuk mempertahankan derajat aliran ini. Kateter ini mengukur CVP, tekanan arteria pulmoner, tekanan pulmonary wedge (ukuran dari faal jantung kiri). Dengan sedikit modifikasi dapat untuk mengukur cardiac output. Arterial line. Arterial line ini sangat berguna untuk mengukur tekanan darah secara terus menerus, dan mendapatkan contoh gas-gas arteri untuk evaluasi status pulmoner. Arteriaradialis dan brakhialis mudah dicapai. Sebelum kanulasi dari arteria radialis atau ulnaris, harus dilakukan dahulu Allen test. Untuk meyakinkan apakah arteria alternatif masih ,cukup, jika arteria yang dikanulasi kemudian trombosis. Arterial line dapat dipelihara supaya terbuka terus dengan pembilasan berkala larutan 1 unit heparin per cc. III. Kegagalan Pernafasan Sebab-sebab mekanik dan masalah pernafasan : 1. Jalan pernafasan bagian atas (a). Trauma yang mengenai jaringan lunak dan jaringan tulang dari muka dapat menyebabkan obstruksi mekanis dari pernafasan. Bila ada keragu-raguan tentang kemampuan mempertahankan pernafasan sewaktu diinduksi, maka pasien tersebut harus diintubasi sewaktu sadar. (b). Fraktur dari bagian tengah muka berbahaya karena mung kin ada fraktur etmoid. Sedapat mungkin dihindari intubasi nasal, sebab tube nasal dapat membawa infeksi ke dalam otak. Juga ada kemungkinan bahaya tube maagslang melalui fraktura etmoid masuk ke dalam jaringan otak. (c). Mat pengisap yang efektif sangat penting terutama sewaktu intubasi pasien yang mempunyai luka-luka facial atau intra-oral. (d). Trauma muka ada kaitannya dengan trauma terhadap larings (e). Aspirasi korpus alienum. Pasien dewasa yang kooperatif cukup dengan anestesia topikal saja, karena lebih mudah untuk inspeksi airway, untuk melakukan bronkhoskopi dan mengurangi risiko mendorong corpus alienum lebih dalam ke trakheobronkhial. Bila dibutuhkan anestesi umum, harus disiapkan ukuran tube endotrakheal. Biasanya dibutuhkan ukuran yang lebih kecil. Harus diberikan oksigenisasi yang cukup tinggi O 2 , apabila korpus alrenum tadi menyumbat bagian bronkhus, besar. 2. Toraks dan isinya. (a). Trakhea yang sobek, kontusi pm-pm dan pneumotoraks adalah bahaya-bahaya maut yang ada kaitannya dengan trauma tumpul terhadap toraks atau luka-luka menembus Tube Endotrakheal harus dimasukkan melalui sobekan di trakhea kemudian cuffnya ditiup untuk mengamankan jalan pernafasan. Bila kontusinya berat maka tube seperti Robert Shaw atau Carlens diperlukan untuk mengisolasi paru-paru

yang rusak, mencegah masuknya kotoran kedalam paru-paru yang utuh, atau untuk mengempiskan paruparu sewaktu proses perbaikan. (b). Pneumotoraks. Dengan auskultasi, x-ray toraks, inspeksi gerakan pernafasan dan berkembangnya emfisema subkutan, keluhan sesak nafas dan sianosis dari pasien dapat dibuat diagnosa prabedah. Intraoperatif bila terdapat nadi yang kecil, takhiaritmia, hipoksia, compliance yang berkurang dan kemudian berkembangnya emfisema subkutan; semua ini menunjukkan kemungkinan adanya pneumotoraks. Monitoring dengan stetoskop yang ditempelkan di kiri-kanan toraks selama operasi. IV. Tamponade kardiak Tamponade kardiak mungkin disebabkan oleh trauma atau penyakit. Bila berat, kantong perikardial harus dikosongkan sebelum pemberian anestesi. Bila terdapat tamponade, hatihatilah dalam pemberian obat anestesi yang dapat menyebabkan berkurangnya kontraktilitas myocard. Kontraktilitas yan g berkurang akan membatasi cardiac output. Dapat terjadi cardiac arrest, yang dengan resusitasi biasanya akan gagal. Dosis ketamin untuk menidurkan, atau bila perlu N 2 0 amnesia atau kadang-kadang tanpa anestesi dapat dipakai untuk intubasi dengan menggunakan obat-obat pelemas otot. Hati-hatilah menggunakan tubokurarin karena mudah terjadi hipotensi. V. CNS (Central Nervous System) Medula spinalis Pasien dengan kerusakan akut yang menyebabkan kompresi medula spinalis di bagian leher membutuhkan posisi yang sangat hati-hati. Harus ditunjang dengan penunjang leher untuk menghindari paralisis permanen. Apabila pasien kooperatif, suruh pasien menggerakkan kepala dan lehernya sampai titik dia merasa tidak enak. Ini akan memberikan informasi pada ahli anestei sampai mana dibolehkan gerakan pasien, bila pasien sudah ditidurkan. Tiap posisi dari pasien dengan kemungkinan kerusakan medula spinalis harus dikerjakan dengan perlahan-lahan, hati-hati dan dibantu oleh cukup orang supaya lancar dan mencegah tiap tekanan yang tidak perlu terhadap medula spinalis. Suksinilkolin harus dihindari karena penggunaannya dapat menyebabkan hiperkalemia. Bila terdapat tekanan ICP meninggi, maka obat-obat depolarizer (suksinilkolin) hanya boleh dipakai apabila didahului dengan sedikit obat non depolarizing (tubokurarin atau pankuronium). Penyakit dan trauma intrakranial. Masalah utama yaitu untuk menghindari bertambahnya tekanan ICP. Tekanan ICP dapat meninggi oleh : (a). Posisi kurang tepat dari pasien. Obstruksi dari venous return akan meninggikan tekanan

CSF. (b). Fasikulasi oleh obat depolarisasi. (c). Hiperkapnia oleh karena vasodilatasi serebral. (d). Penggunaan N2 O apabila terdapat udara bebas di dalam kotak kranial. Udara yang digunakan pada pneumoencephalography dapat tinggal sampai melebihi 36 jam. (e). Pasien mengejan atau bergerak sebelum kranium terbuka. (f). Hidrasi yang berlebihan. VI. Kedaruratan Ortopedi Keadaan-keadaan darurat ini biasanya terbatas kepada fraxrur infeksi akut. Biasanya tidak terdapat kelainan lain yang membutuhkan anestesi segera, maka operasi-operasi seperti ini dapat ditangguhkan sampai ada kesempatan persiapan yang lebih baik, dan untuk memperbaiki keadaan umumnya. Kehilangan darah dalam fraktura tertutup dapat diestimasi sebagai berikut : 1. Fraktur dari telapak kaki dengan sedikit bengkak 250500 ml. 2. Fraktur bagian bawah dari kaki dengan sedikit bengkak 500 - 1000 ml. 3. Fraktur tungkai femur 500 - 2000 ml. 4. Fraktur persendian patella sampai 2000 ml. 5. Fraktur antebrakhii 500 - 750 ml. 6. Fraktur humerus dan bahu sampai 2000 ml. Mengestimasi kehilangan darah dengan adanya kerusakankerusakan jaringan lunak. Digunakan standar volume dari suatu tinju tangan laki-laki sebesar suatu volume jaringan yang rusak, maka pedoman berikut ini dapat dipakai. (a). Kurang dari 1 tinju tangan 10 - 20% dari volume darah. (b). 1 2 tinju tangan 20 - 40% volume darah. (c). 3 - 5 tinju tangan sampai 40% volume darah. TEKNIK-TEKNIK ANESTESI UNTUK BEDAH GAWAT DARURAT Teknik yang terbaik adalah teknik yang dikuasai dengan baik oleh ahli anestesi. Keadaan darurat bukanlah kesempatan untuk mencoba-coba cara-cara baru. 1. Untuk anestesi umum tidak ada kontra indikasi absolut. 2. Anestesi konduksi baik sekali untuk operasi-operasi di lengan bawah, tangan dan kaki. Ada kontra indikasi untuk anestesi regional atau spinal, yaitu : (a). Infeksi di daerah yang harus dimasuki jarum. (b). Gangguan perdarahan. (c). Hipovolemia lebih dari 20% volume darah, apabila akan digunakan anestesi spinal atau epidural, kecuali apabila telah dikoreksi sebelum pemberian anestesi. Ini adalah bukan kontra indikasi absolut. 3. Pasien dengan lambung penuh sebaiknya diberi anestesi regional. Anestesi spinal atau epidural tidak memberikan proteksi absolut terhadap aspirasi. Regurgitasi adalah mungkin terutama bila tidak terdapat tonus otot abdominal sehingga mungkin tidak dapat memberikan proteksi terhadap larings oleh batuk. Pada pasien shock, dosis anestetikum apa saja harus jauh lebih (Bersambung ke halaman 26)
Cermin Dunia Kedokteran No. 33. 1984 5

Anestesi Untuk Pembedahan Darurat


Bagian

dr. Eddy Rahardjo, dr. Puger Rahardjo dan dr. Hardy Sulistyono Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RS dr. Soetomo, Surabaya

I. PERTIMBANGAN UMUM Perbedaan -perbedaan pokok dari anestesi untuk pembedahan elektif (terencana) dengan anestesi untuk pembedahan darurat adalah : (1) bahaya aspirasi dari lambung yang berisi; (2) gangguan-gangguan pernafasan, hemodinamik dan kesadaran yang tidak selalu dapat diperbaiki sampai optimal; (3) terbatasnya waktu persiapan untuk mencari baseline data dan perbaikan fungsi tubuh. Penundaan pembedahan akan membahayakan jiwa atau menyebabkan kehilangan anggota badan. Seorang dokter anestesi hams memeriksa sendiri penderita dan berusaha memperoleh sebanyak mungkin informasi tentang keadaan penderita dalam waktu pendek yang tersedia. II. POLA KERJA PREOPERATIF A. EVALUASI FUNGSI VITAL Segera dilakukan waktu penderita datang : B 1 : Breath = pernafasan B 2 Bleed = hemodinamik B 3 : Brain = otak dan kesadaran Pada kesempatan pertama dokter penerima penderita melakukan evaluasi cepat tanpa alat dengan pola sbb. : (lihat skema 1) Peranan dokter anestesi dalam fase ini jelas tidak dapat dielakkan lagi, karena ketrampilannya dalam bidang support nafas dan sirkulasi menjadi tumpuan keselamatan penderita. Stabilisasi fungsi pernafasan meliputi : terapi oksigen, nafas buatan, punksi pneumotoraks, intubasi endotrakheal atau krikotirotomi . Life support diberikan tanpa menggantungkan diri pada pemeriksaan-pemeriksaan rumit yang membuang-buang waktu. Time saving is life saving. Always err on the safe side. Terlewat satu punksi tensionpneumothorax tanpa menunggu X-photo dengan basil negatif, masih lebih balk dari pada terlewat

satu tension pneumothorax karena menunggu X-photo dengan basil penderita cardiac arrest. B. STABILISASI HEMODINAMIK
Bagian terbesar penderita bedah darurat mengalami gangguan hemodinamik berupa perdarahan atau fluid loss misalnya pada : peritonitis, ileus, diare, kombusio. 1. Secara umum kehilangan darah 10% dari Estimated Blood Volume dapat ditolerir tanpa perubahan-perubahan yang serius (EBV dewasa 70 cc/kg BB, anak-

Cermin Dunia

Kedokteran No. 33, 1984

anak < 2 th 80 cc/kg BB). 1, 2 Kehilangan > 10% memerlukan penggantian berupa Ringer Laktat. Batas penggantian darah dengan Ringer Laktat adalah sampai kehilangan 20% EBV atau Hematokrit 28% atau Hemoglobin 8 gr%. 1,3,4 Jumlah cairan masuk harus 24 x jumlah perdarahan. Cara hemodilusi begini bukan un-

tuk menggantikan tempat transfusi darah, tetapi untuk : a. Tindakan sementara, sebelum darah datang. b. Mengurangi jumlah transfusi darah sejauh transpor oksigen masih memadai. c. Menunda pemberian transfusi darah sampai saat yang lebih baik (misalnya : pemberian transfusi perlahanlahan/postoperatif setelah penderita sadar, agar observasi lebih baik kalau-kalau terjadi reaksi transfusi). d. Cairan Ringer Laktat mengembalikan sequestrasi/third space loss yang terjadi pada waktu perdarahan/shock. Jumlah darah yang hilang tidak selalu dapat diukur namun dengan melihat akibatnya pada tubuh penderita, jumlah darah yang hilang dapat diperkirakan sbb. : preshock : kehilangan s/d 10% shock ringan : kehilangan 10 - 20%. Tekanan darah turun, nadi naik, perfusi dingin, basah, pucat. shock sedang : kehilangan 20 - 30%. Tekanan darah turun sampai 70 mmHg. Nadi naik sampai diatas 140. Perfusi buruk, urine berhenti. shock berat : kehilangan lebih dari 35% : Tekanan darah sampai tak terukur, nadi sampai tak teraba.

Berdasarkan tanda-tanda itu maka perkiraan besarnya defisit adalah sebagai berikut : 1. Tanda-tanda intersisial minimal : defisit 4% dari berat badan. 2. Tanda-tanda intersisial dan tanda plasma sedang : defisit 7% dari berat badan. 3. Tanda-tanda intersisial dan plasma berat : defisit 10% dari berat badan. 4. Shock : defisit 15% dari berat badan. Perkiraan defisit itu tidak harus tepat. Yang penting adalah berdasar perkiraan tersebut terapi mulai dapat dilakukan dan monitoring yang ketat keadaan penderita selama terapi dilakukan.
Cara terapi dan monitoring

1. Apabila defisit berat berikan 20 ml/kg Ringer Laktat atau 0,9% NaCl cepat. Jika setelah itu shock belum dapat diatasi, ulangi lagi. Tujuan tindakan pertama ini adalah memulihkan volume darah/plasma dan mengatasi shock. 2. Berikutnya dalam 8 jam pertama 50% dari defisit yang diperhitungkan diberikan. 16 jam berikutnya diberikan sisa 50% dari defisit. Setelah shock dapat diatasi, cairan maintenance dapat diberikan bersama-sama dengan terapi defisit. Cairan maintenance : dewasa 50 cc/kg BB dengan Natrium 2 - 4 mEq/lg BB; sisanya sebagai larutan dextrosa. 3. Jika produksi urine sudah ada, kalau perlu dapat diberikan Kalum 1 - 2 mEq/kg dalam 24 - 36 jam. 4. Adakan evaluasi keadaan penderita secara berkala tiap 4-6 jam. 5. Sebagai tanda bahwa sirkulasi dan perfusi sudah baik adalah telapak tangan atau kaki hangat, merah dan kering (sebagai kebalikannya pada waktu defisit dingin, kelabu dan lembab). 6. Bila dapat dipasang CVP kateter, maka dilakukan "52 fluid challenge. sampai hemodinamik terbaik dengan CVP yang optimal. Cara ini sangat bermanfaat pada kasus-kasus sulit (tua, sakit jantung dan sebagainya). 6 (lihat skema 2)

C. PENCEGAHAN ASPIRASI

2. Untuk fluid lose pada kasus-kasus abdomen akut diberikan Ringer Laktat dengan pedoman5,6 Berkurangnya volume cairan intersisial menyebab-

kan terjadinya tanda-tanda interssisial yaitu : turgor kulit jelek, mata cekung, ubun-ubun cekung, selaput lendir kering. Berkurangnya volume plasma menyebabkan terjadinya "tanda-tanda plasma" yaitu : takhikardia, oliguria, hipotensi, shock.

Meskipun lazimnya dianut puasa 6 jam, hal ini perlu diteliti dalam kaitan penyakit penderita. Puasa 6 jam tidak menjamin lambung kosong, karena adanya faktorfaktor penghambat peristaltik (nyeri, trauma, partus, narkotik. 1,7,8 Bila menunggu 6 jam justru memperberat penyakitnya, maka waktu menunggu harus diperpendek. Contoh : reposisi dislokasi panggul atau bahu yang menjadi lebih sukar karena edema. infeksi pada luka terbuka dengan kontaminasi. perdarahan ulang atau perdarahan yang memburuk bila ditunggu.
Cermin Dunia Kedokteran No. 33, 1984 7

9 1 si dan keasaman cairan lambung yang akan keluar. '

D. PEMERIKSAAN LABORATORIK Dasar : hemoglobin, lekosit, toraks foto, ECG. Pelengkap : v/d Bergh, SGOT, SGPT, BUN, kreatinin, elektrolit, gas darah. Seperti lazimnya pada operasi elektif, indikasi pemeriksaan juga diubah sesuai kebutuhan dan indikasi. Seorang dewasa muda dengan fraktura kruris terbuka tanpa penyulit lain tentu tak perlu toraks foto dan ECG, gas darah dan sebagainya. III. ANESTESI 1. PENCEGAHAN ASPIRASI 1,7,8 Posisi head down selama trakhea tidak di intubasi. Posisi head down juga setelah trakhea di intubasi, kecuali bila ada trauma kapitis atau kenaikan tekanan intrakranial. Tube nasogastrik diisap bersih lalu dilepas sebelum induksi, dipasang kembali setelah intubasi dan cuff terpasang. Siap suction yang kuat, bekerja baik dan kateter besar. Induksi : head up crash intubation (40) untuk tenaga yang sudah trampil intubasi. Penderita dengan trauma maksilofasial yang sukar jalan nafasnya dan berdarah terus menerus jangan memakai cara ini. Periode head up diusahakan sependek mungkin karena : Jarang hemodinamiknya penderita mampu bertahan pada posisi securam ini. Perfusi otak sangat terganggu. Tujuan utama adalah kenaikkan tekanan intragastrik oleh suksinilkolin (bisa mencapai 20 cmH 2 O). Bila fasikulasi selesai; cepat periksa relaksasi rahang, cepat intubasi; pasang cuff; kembali head down; nafas buatan. Selama intubasi dan cuff belum terpasang, jangan berikan nafas buatan kecuali intubasi gagal, segera robah head down dan beri nafas buatan untuk mengatasi hipoksia. 1 Intubasi head down merupakan pilihan lainnya jika cara head up tidak dapat dilakukan. Ingat bila perlu penderita tidur miring dulu, baru ditelentangkan waktu akan laringoskopi. Ada yang muntah dan aspirasi masif baik pada cara head down maupun head up. Tak satupun cara yang aspiration-proof. Pada trauma maksilofasial atau kesulitan jalan nafas, pertimbangkan intubasi sadar. Boleh spray lidokain 2% pada lidah dan farings, tetapi jangan kena plika vocalis. Diazepam 0,10,2 mg/kg iv dapat diberikan untuk mengurangi stres penderita dan memudahkan intubasi. 2. OBAT DAN TEKNIK A. ANESTESI UMUM Oksigenasi 10 liter/menit selama minimal 3 menit. Pentotal 3 - 5 mg/kg BB, suksinilkoline 1 - 2 mg/kg BB (jangan terlalu sedikit suksinilkolin). Kompresi krikoesofageal dilakukan saat ini. Bila terlalu pagi justru merangsang muntah. Diazepam 0,2 mg/kg BB IV sebagai ganfi Pentotal bila tekanan darah labil atau pada penderita asma bronkhiale. Ketamin 1 - 2 mg/kg BB pada penderita dengan shock atau trauma status III asalkan tidak ada kenaikan tekanan intrakrapial.

Tindakan-tindakan aktif lain untuk mencegah aspirasi hendaknya dilakukan dengan atau tanpa puasa 6 jam tersebut. 1. Pengosongan lambung dengan tube gastrik no. 20 atau lebih besar, dihisap berkala, terakhir isap sebelum oksigenasi preoperasi lalu dicabut sebelum induksi: Boleh dipasang lagi bila intubasi sudah berhasil masuk dan cuff terpasang. Dengan pemberian nasal decongestant, Lidokain spray ke hidung dan lubrikan (KY) jelly yang water base, maka pemasangan tube nasogastrik tidak mengerikan penderita lagi. Prognosis aspirasi tergantung juga pada volume. Batas bahaya 0,5 - 0,6 cc/kg BB. 9 ' 10 Pada penderita ileus obstruktif, cairan yang keluar bisa berliterliter 2. Antasid magnesium trisilikat 15 cc akan berguna menetralisir sisa-sisa asam cairan lambung. Diberikan minimal 30 menit sebelum induksi. Pemberian rutin dilakukan pada kasus-kasus obstetrik. Antasida tidak akan menetralisir asam semua penderita sebab tergantung faktor faktor mixing, volume cairan lambung, pH isi lambung. Dalam keraguan; pasang tube nasogastrik dulu, hisap sampai habis, beri antasida. pH dibawah 2,5 sangat buruk akibatnya pada paru-paru. l,7,811,12 Perlu dicatat bahwa bendabenda padat tidak bisa keluar lewat tube nasogastrik, Benda padat juga berbahaya pada aspirasi. Antaside sendiri bisa menyebabkan pneumonitis jika teraspirasi. Namun sejauh ini Mg trisilikat menurut percobaan hewan Taylor Pryse Davies cukup aman, dan pengalaman kami juga menyokong pendapat ini. Simetidin tidak berguna karena obat ini hanya mengurangi produk-

Cermin Dunia Kedokteran No. 33, 1984

Metode prekurarisasi dapat saja digunakan asal semua caracara tersebut diatas tidak dikurangi/diubah. Hilangnya kesadaran akan disertai penurunan tonus simpatis dan hipotensi. Karena itu sedapat mungkin jangan mulai anestesi, bila volume replacement masih belum cukup. Salah satu cara untuk menilai adalah tilt test (Methomy D, 1968). Bila penderita head up 30 0 ; tensi turun >10 mmHg dan nadi naik, penderita masih hipovolemik, bahkan sampai 20% EBV. Lidokain spray tidak dipakai untuk plika vokalis maupun trakhea, karena retleks protektif jalan nafas tidak boleh hilang. Kecuali pada pembedahan intrakranial. Eter sebagai obat anestesi tunggal masih merupakan pilihan yang baik untuk operasi perut bagian bawah dan ortopedik. Halotan disertai suplement narkotik intra vena merupakan alternatif lain, dan merupakan obat pilihan untuk torakotomi bila hemodinamik mengizinkan. Karena halotan menyebabkan relaksasi uterus, hati-hati dengan bahaya hemorhagia postpartum pada Sectio Cesaria, forceps ekstraksi dan lain-lain. Ketamin selain untuk induksi juga dapat dipakai sebagai obat maintenance (IV 12 - 1 mg/kg BB tiap 10 - 15 menit). Merupakan pilihan yang baik pada keadaan dimana gangguan hemodinamik tidak dapat diatasi sebelum/selama pembedahan. Kecuali untuk penderita dengan kenaikkan tekanan intrakranial/kraniotomi, sebab ketamin menaikkan tekanan intrakranial. N 2 0 -- 0 2 dipakal hanya untuk kraniotomi, dengan suplement narkotik, pentotal atau diazepam, droperidol. Semua diberikan secara intra vena. Untuk torakotomi mutlak dipakai O2 100%. Relaksan dipakai dalam kombinasi dengan salah satu obat anestesi diatas. Dosisnya diatur agar tidak terjadi 100% blok supaya reversal nanti mudah. Semua kasus diberikan reversal. Prostigmin, Atropin dengan perbandingan 2 : 1 dalam satu semprit disuntikkan IV perlahan-lahan (2 - 3 menit). Untuk kraniotomi diberikan suksinilkolin (100 mg IV pada orang dewasa), pada waktu kepala akan dibalut dan ekstubasi. Nafas buatan diberikan perlahan - lahan, awasi kemungkinan regurgitasi (disini risiko aspirasi diletakkan dibawah risiko edema otak dan herniasi otak), bila perlu dipakai tube nasofarings. Setelah nafas spontan kembali, reversal diberikan untuk menghilangkan sisa relaksan. Siap suction yang kuat. Kecuali pada kraniotomi, maka semua ekstubasi dilakukan setelah penderita sadar/cukup sadar untuk menjaga jalan nafasnya dari aspirasi. Minimal bisa melakukan head lift selama 5 detik setelah muscle relaxant diberi antidote. B. ANESTESI REGIONAL Bila teknik telah dikuasai dengan baik, anestesi regional merupakan pilihan yang baik. Bila dilakukan tanpa sedasi, bahaya aspirasi jauh berkurang. Flerniotomi scderhana (tenpa reseksi usus), fraktura kaki dan tangan seksio cesaria, apendektumi dapat dilakukan dengan blok. Kontra indikasi cara ini adalah hemodinamik yang tidak

stabil anemia berat dan ketidak pastian jenis dan lamanya prosedur pembedahan. Kenaikan tekanan intrakranial, hipertensi yang tidak diregulasi, dan kelainan anatomis tulang belakang juga merupakan kontra indikasi. Brachial plexus block, axillary block dan intravenous regional dapat dipakai untuk operasi sampai setinggi 12 lengan atas. Spinal subaraknoid atau epidural untuk perut dibawah umbilikus kebawah. Subarachnoid block tidak diberikan pada penderita yang akan dirawat jalan/segera dipulangkan karena resiko spinal headache. Dmikian juga supra clavicular brachial plexus block karena risiko pneumotoraks. Untuk anestesi regional pilihan kami adalah Lidocain 12% untuk nerve block dan Lidokain 5% (Lidodex) larutan hiperbarik untuk subaraknoid. IV. KASUS-KASUS KHUSUS Penderita dengan penyakit - penyakit khusus sebagai penyulit dari masalah bedahnya sering juga dijumpai. 1. Penyakit jantung koroner : Usahakan oxygen demand tidak meningkat oleh infeksi, gelisah, nyeri, eksitasi. Usahakan perfusion pressure tidak berkurang/turun banyak (tekanan darah stabil seperti waktu sadar 10 - 20 mmHg). ECG continuous monitoring. Awasi segmen ST, arah gelombang T dan timbulnya aritmia yang berbahaya. Perubahan arah dari T atau ST merupakan tanda perfusi koroner yang memburuk. Chest lead V 5 memberi informasi yang baik untuk ini semua. 2. Penyakit jantung dekompensasi : Usahakan depresi myocard seringan tnungkin dengan menghindari halotan konsentrasi tinggi. Usahakan perfussion pressure tidak berkurang/turun banyak. Pada Mitral Stenosis yang sempit, takhikardia dapat mentrigger dekompensasi. Usahakan nadi senormal mungkin. Pasanglah CVP kateter. Digitalisasi cepat preoperasi harus diusahakan. 3. Diabetes Mellitus : Periksa kadar gula darah, korelasikan dengan reduksi urine yang sedang menetes dari kateter. Pemberian dosis insulin hendaknya err on the low side. Hiperglikemia lebih aman daripada hipoglikemia. Kadar gula darah diusahakan 150 - 200 mg%. Jangan berusaha membuat "normal" 4. Asma Bronkhiale : Anamnesis yang teliti tentang berapa berat sakitnya. berapa sering serangan, kapan terakhir serangan. obat apa yang biasa dipakai. Berl Aminotilin IV. Kadang-kadang penambahan oradexon I ampul IV dapat banyak membantu. Jangan iniubasi sebelum retleks hiking. Pentotal suksinil kurang tepat disini. Kalau bisa, anestesi di dalamkan dengan halotan sampai refleks jalan nafas hiking, baru di intubasi. Ekstubasi juga dilakukan scbeluin refleks timbul lagi. Posisi head down.
Cermin Dunia Kedokteran No. 33, 1 984 9

10

Cermin Dunia Kedokteran No. 33, 1984

Analgesia Subaraknoid Pada Seksio Cesaria


dr. Gunawarman Basuki Bagian Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSCM, Jakarta.

PENDAHULUAN Analgesia subaraknoid sudah lama dikenal. Pertama kali ia dikemukakan oleh J Leonard Corning yang menyuntikkan kokain ke dalam ruangan subaraknoid pada tahun 1885. Kemudian Bier pertama mencoba untuk pembedahan pada tahun 1899 dan Kreis melakukan tehnik ini untuk menghilangkan nyeri persalinan pada tahun 1900. 1 Pada tahun 1979 di Amerika Serikat analgesia subaraknoid dan epidural adalah teknik yang sering dilakukan (62%) pada tindakan seksio cesaria dan analgesia subaraknoid menjadi pilihan nasional. 2 Keuntungan -keuntungannya adalah : perubahan fisiologi, pencegahan dan penanggulangan penyulitnya telah diketahui dengan baik; analgesia dapat diandalkan; sterilitas dijamin; pengaruh terhadap bayi sangat minimal; pasien sadar sehingga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya aspirasi; dan tangisan bayi yang baru dilahirkan merupakan kenikmatan yang ditunggu oleh seorang ibu. disertai jalinan psikologik berupa kontak mata antara ibu dengan anak. 1 5 Perubahan kardiovaskuler pada ibu Yang pertama kali diblok pada analgesi subaraknoid yaitu serabut saraf preganglionik otonom, yang merupakan serat saraf halus (serat saraf tipe B). Akibat denervasi simpatis ini akan terjadi penurunan tahanan pembuluh tepi, sehingga darah tertumpuk di pembuluh darah tepi karena terjadi dilatasi arterial, arteriol dan post-arteriol. 1 3 Pada umumnya serabut preganglionik diblok dua sampai empat segmen dikranial dermatom sensoris yang diblok. Besarnya perubahan kardiovaskular tergantung pada banyaknya serat simpatis yang mengalami denervasi. Bila terjadi hanya penurunan tahanan tepi saja, akan timbul hipotensi yang ringan. Tetapi bila disertai dengan penurunan curah jantung akan timbul hipotensi berat. 6 Perubahan hemodinamik pada pasien yang menjalani seksio cesaria dengan blok subaraknoid telah diselidiki oleh Ueland.7 Pada posisi terlentang terjadi penurunan rata-rata tekan-

an darah dari 124/72 mmHg menjadi 67/38 mmHg; penurunan rata-rata curah jantung 34% (dari 5400 menjadi 3560 ml/ menit) dan isi sekuncup 44% (62 menjadi 35 ml). Sedangkan denyut jantung mengalami kenaikan rata-rata 17% (90 menjadi 109 kali/menit). Pengaruh pengeluaran bayi terhadap hemodinamik menunjukkan kenaikan rata-rata curah jantung 52% (2880 ml/menit) dan isi sekuncup 67% (42,2 ml); sedangkan denyut jantung menurun 11 kali/menit, disertai kenaikan rata-rata tekanan sistolik 21,8 mmHg, diastolik 6,3 mmHg, kenaikan tekanan vena sentral dari 4,9 menjadi 6,75 cm H2 O. Keadaan ini disebabkan karena masuknya darah dari sirkulasi uterus ke dalam sirkulasi utama akibat kontraksi uterus. Menurut laporan Wollmann8 setelah induksi pada pasien yang berbaring lateral tanpa akut hidrasi sebelumnya, tekanan arteri rata-rata turun dari 89,2 3,3 menjadi 64,0 3,6 mmHg, tekanan vena sentral rata-rata turun dari 6,0 0,9 menjadi 2,0 0,9 cm H 2 O. Setelah bayi lahir tekanan arteri rata-rata menjadi 86,0 13 mmHg dan tekanan vena sentral menjadi 12,6 2,0 cm H2 O (hipotensi yang telah diatasi dengan akut hidrasi memakai 1000 ml cairan dekstrosa 5% di dalam laktat atau Ringer). Pasien tersebut diblok setinggi T 2 T 6 Hipotensi Insidensi hipotensi (tekanan sistolik turun di bawah 100 mmHg, atau penurunannya lebih dari 30 mmHg dari pada sebelum induksi) dapat mencapai 80%. 9 -12 Keadaan ini antara lain disebabkan oleh karena 6,13 Pada posisi pasien terlentang terjadi kompresi parsial atau total vena kava inferior dan aorta oleh masa uterus (beratnya kurang lebih 6 kg). 90% pasien yang mengalami kompresi parsial tidak menunjukkan gejala hipotensi. Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme kompensasi dengan kenaikan venokonstriktor neurogenik. Sedangkan 10% sisanya dapat menderita hipotensi berat (tekanan sistolik bisa sampai 70 mmHg); dan hampir 75% mengalami gangguan darah balik, sehingga curah jantung berkurang sampai 50% 6,13
Cermin Dunia Kedokteran No. 33, 1984 11

rah jantung berkurang sampai 50%. 6,13 Pengaruh terhadap bayi Pengaruh langsung zat analgetik lokal yang melewati sawar uri terhadap bayi dapat diabaikan. Menurut Giasi 14 pemberian 75 mg lidokain secara intratekal akan menyebabkan kadar obat 0,32 mikrogram/ml di dalam darah pasien. Protein plasma dan eritrosit akan mengikat 70% lidokain di dalam darah. Selain itu efek uterine vaskular shunt akan menyebabkan lebih sedikit lagi konsentrasi lidokain di dalam bayi. 13 Bonnardot15 melaporkan, konsentrasi morfin di dalam bayi sangat kecil bilamana diberikan secara intratekal sebanyak 1 mg morfin untuk mengurangi rasa nyeri karena persalinan. Penyebab utama gangguan terhadap bayi pasca seksio cesaria dengan analgesia subaraknoid yaitu hipotensi yang menimbulkan berkurangnya arus darah uterus dan hipoksia maternal. Besarnya efek tersebut terhadap bayi tergantung pada berat dan lamanya hipotensi. 1,2,3,6,13,16 Penurunan arus darah uterus akan sesuai dengan penurunan tekanan darah rata-rata. Bila tekanan darah rata-rata turun melebihi 31%, arus darah uterus turun sampai 17%. Sedangkan penurunan tekanan darah rata-rata sampai 50%, akan disertai dengan penurunan arus darah uterus sebanyak 65%. 6 Banyak penulis melaporkan efek hipotensi terhadap bayi berupa perubahan denyut jantung, keadaan gas darah, skor Apgar dan sikap neurologi bayi. Gambaran deselerasi lambat denyut jantung bayi terjadi bila tekanan sistolik mencapai 100 mmHg lebih dari 4 menit 6,13 bradikardia selama 10 menit, 13 atau 'tekanan sistolik mencapai 80 mmHg lebih dari 4 menit. 11,12,17 Beberapa penulis melaporkan bahwa pada pasien yang mengalami hipotensi karena analgesia subaraknoid pada tindakan seksio cesaria, sering dijumpai bayi dengan skor Apgar yang rendah serta interval mulai menangis yang panjang 16,18,19 Menurut Moya 10 skor Apgar yang rendah ditemukan pada ibu yang mengalami penurunan tekanan sistolik, yang mencapai 90 - 100 mgHg selama 15 menit. Beberapa penyelidik mengemukakan bahwa bayi yang baru dilahirkan sedikit lebih asidotik pada pasien yang mengalami hipotensi. Faktor lamanya hipotensi lebih besar pengaruhnya daripada besarnya hipotensi, terutama pada pasien yang menderita diabetes. 10,11,12,16 Pencegahan dan terapi hipotensi Sebelum melakukan tindakan analgesia subaraknoid seharusnya dilakukan evaluasi Minis volume darah pasien. Sebaiknya tidak melakukan teknik ini kalau pasien dalam keadaan hipovolemia, atau keadaan yang menjurus hipovolemia selama persalinan (misalnya plasenta previa), atau pasien yang mengalami sindroma hipotensi terlentang yang manifes pada waktu persalinan. 2,3,6 Pencegahan dapat dilakukan dengan hidrasi akut, mendorong uterus kekiri, pemberian vasopresor, dan pemberian oksigen. Hidrasi akut Sebelum induksi harus dipasang infus intravena dengan kanula atau jarum yang besar, sehingga dapat memberikan cairan dengan cepat. 1011,12,16,19,20 Hidrasi akut dengan mem12 Cermin Dunia Kedokteran No. 33, 1984

berikan cairan kristaloid sebanyak 1000 - 1500 ml tidak menimbulkan bahaya overhidrasi; tekanan darah, denyut jantung dan nadi dalam batas-batas normal . 10,11,16,19,21 Menurut Woll8 man pemberian cairan kristaloid sebanyak 1000 ml hanya menaikkan tekanan vena sentral sebanyak 2 cm air dan nilainya masih dalam batas normal. Akhir-akhir ini beberapa penulis menganjurkan cairan kristaloid yang tidak mengandung dektrosa. 12,22 Karena menurut Mendiola, 20 infus dekstrosa 20 g/jam atau lebih sebelum melahirkan menimbulkan hipoglikemia pada bayi 4 jam setelah dilahirkan. Ini disebabkan karena pankreas bayi yang cukup umur akan menaikkan produksi insulin sebagai reaksi atas glukosa yang melewati sawar an . Kenepp 22 melaporkan bahwa terjadi asidemia laktat pada bayi yang dilahirkan yang mendapat hidrasi akut dengan cairan dektrosa 5%. Keadaan ini disebabkan oleh hipotensi, insufisiensi plasenta, dan atau terjadi glikolisis dalam keadaan hipoksia. Mendorong Uterus ke kiri Dengan mendorong uterus ke kiri paling sedikit 10 dapat dihindari bahaya kompresi vena kava inferior dan aorta, sehingga dapat dicegah sindroma hipotensi terlentang. 1,2,3,8,23,24 Menurut Ueland7 mengubah posisi pasien dari terlentang menjadi lateral dapat menaikkan isi sekuncup 44,1%, menurunkan denyut jantung sebanyak 4,5%, dan menaikkan curah jantung 33,5%. Maka pasien yang akan dioperasi harus dibawa pada posisi miring. Dan kalau pada observasi fungsi vital terjadi manifestasi sindroma hipotensi terlentang yang tidak dapat dikoreksi dengan mendorong uterus ke kiri, hal ini merupakan indikasi kontra tindakan analgesia regional. 2 Pemberian Vasopresor : Efedrin Pencegahan dengan akut hidrasi dan mendorong uterus ke kiri dapat mengurangi insidensi hipotensi sampai 50-60%. 11,24 Pemberian vasopresor, seperti efedrin, sering sekali dipakai untuk pencegahan maupun terapi hipotensi pada pasien kebidanan 2,11,12,24,25,26 Keuntungan pemakaian efedrin ialah menaikan kontraksi miokar, curah jantung, tekanan darah dampai 50%, tetapi sedikit sekali menurunkan vasokonstriksi pembulu darah uterus. 2,13,2 'Menurut penyelidikan Wreight. 28 efedrin dapat melewati plasenta dan menstimulasi otak bayi sehingga menghasilkan skor Apgar yang lebih tinggi. Guthe 25 menganjurkan pemberian efedrin 25 - 50 mg IM sebelum dilakukan induksi. Ini dapat mengurangi insidensi hipotensi sampai 24%. Tetapi cara ini sering menimbulkan hipertensi postpartum karena efedrin bekerja sinergistik dengan obat oksitosik. 29 Penulis lain menganjurkan pemberian efedrin cara intravena kalau terjadi hipotensi atau sudah terjadi penurunan tekanan darah 10 mmHg; dosisnya 10 mg yang diulang sampai tekanan darah kembali ke awa1. 10,12,16 Bayi yang dilahirkan dengan cara ini mempunyai skor Apgar sangat baik; pemeriksaan dan sikap pH dan base-excessnya dalam batas normal, 10, 12,16 neurologi bayi setelah 4 - 24 jam dilahirkan sangat baik. 16

TEKNIK Tinggi analgesia yang diperlukan untuk seksio cesaria yaitu setinggi dermatom toraks 4 - 6, walaupun insisi kulit hanya mencapai dermatom toraks 10. Ini untuk mengurangi mual karena rangsangan peritoneum dan alat viseral. 2,3 Dosis analgetika yang diperlukan untuk mencapai ketinggian dermatom ini 50% - 70% daripada dosis yang diperlukan pada pasien yang tidak hamil. Ini disebabkan karena pembesaran pembuluh vena di ruangan epidural menimbulkan penyempitan ruangan epidural dan subaraknoid. 2 Obat analgetika yang lazim dipergunakan yaitu 9 : tetrakain 6 - 10 mg, lama analgesia 112 - 2 jam lidokain 50 - 100 mg, lama analgesia 45 - 60 menit bupivakain 7 - 9 mg, lama analgesia 2 - 3 jam Sprague 30 menganjurkan punksi dura dilakukan pada posisi lateral kanan, kemudian pasien dibaringkan ke posisi semi lateral kiri. Keuntungan cara ini yaitu dapat mencegah kompresi aorto-caval dan memperoleh sensori analgesia yang adekuat. Pemberian oksigen terhadap pasien sangat bermanfaat karena (a) memperbaiki keadaan asam-basa bayi yang dilahirkan, (b) dapat memperbaiki pasien dan bayi pada saat episode hipotensi, (c) sebagai preoksigenasi kalau anestesia umum diperlukan. 11,12 Dengan menaikkan FiO 2 maka tekanan arteri oksigen (pO2 ) akan meningkat. Kenaikkan pO 2 dapat diperkirakan dengan kenaikan FiO 2 , menurut kaidah sebagai berikut :

an daerah operasi dapat dilakukan bilamana tinggi dermatom analgesia sudah mencapai toraks 6 3 PENUTUP Demi keselamatan pasien dan bayi, pada tindakan seksio cesaria dengan analgesia subaraknoid perlu persiapan alat dan obat resusitasi yang lengkap. Indikasi kontra analgesia subaraknoid : perdarahan antepartum, tindakan yang harus segera dilakukan, sindroma hipotensi terlentang yang tidak dapat diatasi dengan perubahan posisi. Harus melakukan monitoring yang ketat terhadap sistem kardiovaskular dan fungsi vital lainnya.
KEPUSTAKAAN 1. Aboulesh EA. Pain control in obstetries, JB Lippincott Comp. Philladelphia-Toronto: 1977; 305 - 341. 2. Shnider SM, Levinson G. Anesthesia for cesarean section. In Shnider SM, Levinson G, Eds Anesthesia for obstetric, Baltimore: The William & Wilkin Comp 1979; 254 - 275. 3. Bonica JJ. Obstetric analgesia and anesthesia, World Federation of Societies of Anaesthesiologist, Amsterdam: 1980; 162 - 173. 4. Hodgkinson R, Bhatt M, Kim SS, Grewel G, Marx GH. Neonatal neurobehavioral test following cesarean section under general and spinal anesthesia. Am J Obstet Gynecol 1978; 132 - 670. 5. Holmes HI, Jouppila R, Koivesto M, Maata L, Pihlajaniemi R, Puuka M, Rantakyila P. Neurologic aktivity of infants following anesthesia for cesarean section. Anesthesiology 1978; 48 : 350. 6. Levinson G, Shnider SM. Vasopressor in obstetrics. Clin Anesth 1973; 10 : 78. 7. Ueland K, Gills R, Hansen JM. Maternal cardiovascular dynamics. Am J Obstet Gynecol. 1968; 100: 42. 8. Weaver JB, Pearson JF, Rosen M. Posture and epidural block in pregnant woman at term. Anaesth. 1975; 30 : 752. 9. Datta S. Analgesia for cesarean section. In : 32 nd Annual refresher course lectures 1981; 218A. 10. Datta S, Alper MH, Ostheimer GW, Weiss JB. Method of ephedrine administration and nausea and hypotension during spinal anesthesia for cesarean section. Anesthesiology 1982; 56 : 68. 11. Datta S, Brown WU. Acid-base status in diabetic mothers and their infantsfollowing general or spinal anesthesia for cesarean section. Anesthesiology 1977; 47 : 272. 12. Datta S, Kitzmiller Jl, Naulty JS, Ostheimer GW, Weiss JB. Acidbase status of diabetic mothers and their infants following spinal anesthesia for cesarean section. Anesth Analg 1982; 61 : 662. Ralston DH, Shnider SM. The fetal and neonatal effects of regional anesthesia in obstetrics. Anesthesiology 1978; 48, 34. Giasi RM, D'Agostino E, Covino BG. Absorption of lidocaine following subarachnoid and epidural administration. Anesth Analg 1979;58 : 360. Bonnardat JP, Mallet M, Calau JC, Millot F, Deligue. Maternal and fetal concentration of morphine after intrathecal administration during labour. Br J Anaesth 1982; 54 : 487. Corke BC, Datta S, Ostheimer GW, Weiss JB, Alper MH. Spinal anaesthesia for caesarion section. Anaesth. 1982; 37 : 658. Datta S, Alper MH, Ostheimer GW, Brown WU, Weiss JB. Effect of maternal position on epidural anesthesia for cesarion section, acid-base status, and bupicaine consentrations at delivery. Anesthesiology 1979;50 : 205. Moya F, Smith B. Clinical anesthesia for cesarean section; clinical and biochemical studies of effect on maternal physiology. JAMA 1962; 179 : 609. Wollmann SB, Marx GF. Acute hydration for preventing of hypotension of spinal analgesia in parturients. Anesthesiology, 1968; 29 : 374. Mendiola J, Grylock LI, Scanlon JW. Effect of intrapartum ma-

13. 14.

Monitoring tekanan darah harus dilakukan setiap menit selama 20 menit setelah induksi, kemudian 5 menit sekali selama analgesia. Bila terjadi penurunan tekanan sistolik 10 mmHg segera diberikan 10 mg-efedrin, dapat diulangi sampai tekanan sama dengan sebelumnya, dan pemberian infus dipercepat. 10,12,16 Sebelum dimulai operasi, tinggi analgesia harus dinilai dengan rangsangan nyeri. Bila analgesia kurang tinggi, meja operasi diubah menjadi posisi Trendelenburg 5, dan dinilai tinggi analgesia setiap 30 detik sampai dermatom yang diinginkan. Jangan melakukan posisi anti Trendelenburg untuk mengatasi difusi analgetika lokal karena dapat menimbulkan penurunan darah balik, dan akibatnya terjadi hipotensi yang berat, iskemia otak, bahkan henti jantung. 3 Desinfeksi dan penutup-

15.

16. 17.

18.

19.

20.

Cermin Dunia Kedokteran No. 33, 1984

13

21.

22. 23. 24.

25.

26. 27.

ternal glucose infusion on the normal fetus and new born. Anesth Analg 1982; 61 : 32. Mathru M, Rao TLK, Kartha RK, Shanmaghan M. Jacobs HK. Intravenous albumin administraion for prevention of spinal hypotension during cesarean section. Anesth Analg 1980; 59 : 655. Kenepp NB, Shelley WC, Kumar S. Dextrose hydration in cesarean section patients. Anesthesiology 1980; 53 : S304. Bulky RJ, Downing JW, Brock-Utne JG, Cuerden C. Right versus left lateral tilt for cesarian section. Br J Anaesth 1977; 49 : 1009. Clark RB, Thomson DS, Thomson CH. Prevention of spinal hypotension associated with cesarion section. Anesthesiology 1976; 45 : 670. Guthe K, Gill RE, Hensen JM. Prophylactic ephedrine preceding spinal anesthesia for cesarean section. Anesthesiology 1976; 45: 462. Shnider SM. Uterine blood flow. In : 32 nd Annual refresher course lectures. 1981; 107. Ralston DH, Shnider SM. Effect on equipotent ephedrine, metara -

28.

29.

30. 31.

32.

minol, mephentermine and metho xamme on uterine blood flow in pregnant ewe. Anesthesiology 1974; 40 : 354. Wright RG, Robin SH, Shnider SM, Levinson G. Maternal adininistration of ephedrine increases fetal hearth rate and variability. In : American Society of Anesthesiologist. Annual meeting 1977; S 131. Cassady GN, Moore DC Bridenbaugh LD. Post partum hypertension after the use vascontrictor and oxytoxic drugs, JAMA 1960; 172: 1011. Sprague DH. Effects of position and uterine displa cement on spinal anesthesia for cesarean section. Anesthesiology 1976; 44 : 164. Johnson GN, palahnink RJ, Tweed WA, Jones MV, Wade JG. Regional cerebral blood flow changes during servere fetal asphyxia by slow partial umbilical cord compression Am J Obs Gynecol 1979; 135 : 48. Jouppilla R, Jouppilla P, Kulkka J, Hollmen A. Placental blood flow during caesarean section under lumbar extradural analgesia. Br J Anaesth 1978; 50 : 275.

14

Cermin Dunia Kedokteran No. 33, 1984

Anestesi Spinal pada Seksio Cesaria


Bagian Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Pajajaran/RS Dr. Hasan Sadikin, Bandung

dr. Afifi Ruchili

PENDAHULUAN Tahun 1973 di Inggris terdapat 50 kematian ibu. Kebanyakan kematian ibu ini sehubungan dengan anestesi umum, 50% diantaranya karena aspirasi isi lambung. Tabun 1980 di Inggris terdapat 29 kematian ibu dengan anestesi umum, 16 orang di antaranya disebabkan aspirasi isi lambung, sedangkan yang 11 orang mengalami cardiac arrest karena kesukaran intubasi. Dengan anestesi regional ibu masih dalam keadaan sadar, refleks protektif masih ada, sehingga kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung kecil sekali. Ibu tidak menerima banyak macam obat dan perdarahannya lebih sedikit. Dari segi janin, anestesi regional ini bebas daripada obat-obat yang mempunyai efek depresi terhadap janin. Tahun 1970, menurut American College of Obstetric and Gynecologists untuk Sectio caesarea elektif 50% digunakan anestesi spinal. Sampai tahun 1975 di klinik-klinik swasta masih banyak digunakan anestesi spinal dibandingkan dengan analgesi epidural. Di dalam tulisan ini kami melakukan anestesi spinal pada penderita-penderita yang akan dioperasi sectio caesarea dengan pemikiran bahwa : Analgesi epidural lebih banyak membutuhkan waktu dan ketrampilan, juga adanya stimulasi alat-alat dalam yang menimbulkan perasaan tidak enak pada waktu manipulasi (terutama manipulasi segmen bawah uterus) serta adanya kegagalan-kegagalan walaupun dilakukan oleh seorang ahli (1,4% Bromage 1954; 6% Bonica 1957). Sedangkan anestesi spinal lebih mudah dilakukan, onset lebih cepat, blokade sarafnya meyakinkan, kemungkinan toksisitas tidak ada karena dosis yang rendah, dan karena adanya blokade saraf sakral yang sempurna, perasaan tidak enak seperti pada anestesi epidural tidak ada. Teknik apapun yang dipakai, agar keadaan ibu dan anak tetap baik. Usahakan : mempertahankan kestabilan sistim kardiovaskuler oksigenisasi yang cukup

mempertahankan perfusi placenta yang cukup. Pemberian cairan pre-operatif, pencegahan aortacaval compression (tilting, uterine displacement), oksigenisasi dan pemberian efedrin merupakan hal-hal yang penting sekali dilakukan. ANESTESI SPINAL (SUB ARACHNOID NERVE BLOCK) Anestesi spinal merupakan teknik anestesi regional yang baik untuk tindakan-tindakan bedah, obstetrik, operasi operasi bagian bawah abdomen dan ekstremitas bawah. Teknik ini baik sekali bagi penderita-penderita yang mempunyai kelainan paru-paru, diabetes mellitus, penyakit hati yang difus dan kegagalan fungsi ginjal, sehubungan dengan gangguan metabolisme dan ekskresi dari obat-obatan. Bagian motoris dan proprioseptis paling tahan terhadap blokade ini dan yang paling dulu berfungsi kembali. Sedangkan saraf otonom paling mudah terblokir dan paling belakang berfungsi kembali. Tingginya blokade saraf untuk otonom dua dermatome lebih tinggi daripada sensoris, sedangkan untuk motoris dua-tiga segemen lebih bawah. Secara anatomis dipilih segemen L2 ke bawah pada penusukan oleh karena ujung bawah daripada medula spinalis setinggi L2 dan ruang interegmental lumbal ini relatif lebih lebar dan lebih datar dibandingkan dengan segmen-segmen lainnya. Lokasi interspace ini dicari dengan menghubungkan crista iliaca kiri dan kanan. Maka titik pertemuan dengan segmen lumbal merupakan processus spinosus L4 atau L45 interspace. Ligamenta yang dilalui pada waktu penusukan yaitu : Ligamentum supraspinosus Ligamentum interspinosus Ligamentum flavum Pada orang tua biasanya terjadi kalsifikasi legamentum teratas, sehingga menyulitkan penusukan. Untuk mengatasi hal ini, kita sarankan penusukan paramedian, dimana jarum hanya melalui otot dan fascia kemudian ligamentum flavum. MidCermin Dunia Kedokteran No. 33, 1984 15

line approach yaitu apabila kita menusukkan jarum tepat di garis yang menghubungkan processus spinosus satu dengan yang lainnya, pada sudut 80 0 dengan punggung. Sedangkan paramedian approach penusukan 1 jari lateral dari garis jarum diarahkan ke titik tengah pada garis median dengan sudut sama dengan midline approach. Pada penusukan mungkin yang keluar bukan liquor tapi darah, sebab di bagian anterior maupun posterior medulla spinalis terdapat sistim arteri dan vena. Apabila setelah 1 menit liquor yang keluar masih belum jernih sebaiknya jarum dipindahkan ke segmen yang lain. Bila liquor tidak jernih, sebaiknya anestesi spinal ini ditunda dan dilakukan analisa dari liquor. Adapun jarum yang dipakai paling besar ukuran 22, kalau mungkin pakai jarum 23 atau 25. Makin kecil jarum yang kita pakai, makin kecil kemungkinan terjadinya sakit kepala sesudah anestesi (post spinal headache). Obat spinal anestesi yang paling menonjol adalah tetrakain dan dibukain, yang mempunyai efek kuat dan kerjanya lebih lama. Di bagian Anestesi Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin yang ada hanya xilokain 5% hiperbarik, buatan Astra dengan B.D. 1,030 - 1,035. Onsetnya cepat, kurang dari 4 menit dengan lama kerjanya antara 60 - 90 menit. Dosis untuk wanita hamil 25% - 30% lebih rendah dari wanita yang tidak hamil. Rata-rata dipakai 1,25 - 1,50 cc. Tingginya lebel anestesi tergantung dari : Posisi penderita waktu penyuntikkan dan sesudahnya. Tingginya segemen yang dipilih pada penusukkan, makin ke arah kranial makin tinggi. Volume dari obat yang disuntikkan, makin banyak makin tinggi. Kekuatan dan kecepatan penyuntikkan. Hal-hal tersebut diatas dapat kita atur, tetapi ada faktor lain di luar kemampuan kita, yaitu keinginan mengejan waktu persalinan. Apabila pada saat dimasukkan obat anestesi ataupun segera setelah obat masuk liquor, wanita mengejan, maka tinggi level anestesi akan bertambah yang kadang-kadang sangat jauh sampai th. 4, sehingga penderita akan mengalami hipotensi yang hebat dan kesukaran bernafas, bahkan sampai menimbulkan sianosis. Pemberian Oksigen Pada akhir kehamilan akan terjadi kenaikan alveolar ventilation sampai 70%, untuk mengimbangi kenaikan konsumsi oksigen sekitar 20% atau lebih. Hal ini mengakibatkan turunnya pCO 2 sampai 30 - 32 mmHg. Pada persalinan hiperventilasi terjadi lebih hebat lagi, disebabkan rasa sakit dan konsumsi oksigen dapat naik sampai 100%. Oleh karena itu apabila terjadi hipoventilasi baik oleh obat-obat narkotika, anestesi umum maupun lokal, maka akan mudah terjadi hipoksemia yang berat. Faktor-faktor yang menyebabkan hal ini, yaitu : turunnya FRC sehingga kemampuan paru-paru untuk menyimpan 0 2 menurun. naiknya konsumsi oksigen airway closure turunnya cardiac output pada posisi supine. Maka mutlak pemberian oksigen sebelum induksi, dan selama operasi.
16 Cermin Dunia Kedokteran No. 33, 1984

Letak Penderita Kompresi dari pembuluh-pembuluh darah besar di pinggiran pelvis merupakan hal yang berbahaya bagi ibu dan anak. Kompresi aortokaval ini terutama terjadi apabila penderita dalam keadaan supine terlentang. Karena perfusi plasenta sangat tergantung pada tensi, maka penurunan cardiac output yang berakibat penurunan tensi akan mengakibatkan penurunan perfusi plasenta yang menyebabkan terjadinya depresi fetal. Apalagi kalau seandainya penderita mendapat blokade simpatis oleh regional anestesi, maka tonus vena di ekstremitas bawah makin berkurang, venous return akan lebih kurang lagi berarti cardiac output juga akan rendah sekali, sehingga terjadi hipotensi yang berat dan perfusi plasenta akan lebih buruk lagi. Begitu posisi diubah menjadi letak miring, kompresi pada vena cava inferior berkurang, venous return kembali normal, maka cardiac output dan tensipun akan baik kembali. Jadi, semua penderita yang akan di sectio caesarea dengan anestesi spinal harus diletakkan miring ke kiri dengan jalan memberi bantal pada bokong penderita. Teknik Anestesi Spinal : Infus Dextrosa/NaCl/Ringer laktat sebanyak 500 - 1500 ml. Oksigen diberikan dengan masker 6 - 8 L/mt. Posisi lateral merupakan posisi yang paling enak bagi penderita. Kepala memakai bantal dengan dagu menempel ke dada, kedua tangan memegang kaki yang ditekuk sedemikian rupa sehingga lutut dekat ke perut penderita. L3 - 4 interspace ditandai, biasanya agak susah oleh karena adanya edema jaringan. Skin preparation dengan betadin seluas mungkin. Sebelum penusukan betadin yang ada dibersihkan dahulu. Jarum 22 - 23 dapat disuntikkan langsung tanpa lokal infiltrasi dahulu, juga tanpa introducer dengan bevel menghadap ke atas. Kalau liquor sudah ke luar lancar dan jernih, disuntikan xylocain 5% sebanyak 1,25 - 1,5 cc. Penderita diletakan terlentang, dengan bokong kanan diberi bantal sehingga perut penderita agak miring ke kiri, tanpa posisi Trendelenburg. Untuk skin preparation, apabila penderita sudah operasi boleh mulai. Tensi penderita diukur tiap 2 - 3 menit selama 15 menit pertama, selanjutnya tiap 15 menit. Apabila tensi turun dibawah 100 mmHg atau turun lebih dari 20 mmHg dibanding semula, efedrin diberikan 10 - 15 mgl.V. Setelah bayi lahir biasanya kontraksi uterus sangat baik, sehingga tidak perlu diberikan metergin IV oleh karena sering menimbulkan mual dan muntah-muntah yang mengganggu operator. Syntocinon dapat diberikan per drip. Setelah penderita melihat bayinya yang akan dibawa ke ruangan, dapat diberikan sedatif atau hipnotika. Hasilnya Cukup memuaskan. Bahkan ada penderita yang tadinya ge-

Cermin Dunia Kedokteran No. 33. 1984

17

Anestesi pada Adenotonsilektomi


Bagian Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Pajajaran/RS. Dr. Hasan Sadikin, Bandung

dr. Marsudi Rasman

Masih banyak anggapan bahwa Adenotonsilektomi hanyalah operasi kecil yang cukup dinarkose secara "ROES " . Hal ini mungkin karena perkembangan anestesi sendiri khususnya di Indonesia yang belum mampu menjangkau atau memang karena tidak mudah mengubah anggapan dan kebiasaan yang sudah berlangsung lama. Karena anggapan inilah, tidak jarang menyebabkan kelengahan, sehingga timbul komplikasi yang dapat berakibat fatal.
PERSIAPAN Persiapan yang perlu adalah 1. Rutin : Hemoglobine, lekosit, urine. 2. Reaksi alergi. 3. Gangguan perdarahan, pembekuan. 4. Pemeriksaan lain atas indikasi (Ro foto, EKG, BUN, gula darah, elektrolit, dan sebagainya. Satu malam sebelumnya penderita harus menginap di Rumah Sakit dan sebelum operasi diberi obat tidur. PREMEDIKASI Sulfas atropin/Skopolamin Sedatif (Luminal, Valium, Droperidol, Phenergan) Petidin/Morfin, yang diberikan I jam sebelum operasi. ANESTESI Bermacam-macam cara anestesi yang masih digunakan sampai sekarang : 1. Lokal anestesi + Tranquilizer, untuk penderita yang koope-ratif . Keuntungan : Komplikasi anestesi umum tidak ada. Perdarahan lebih sedikit. Kerugian Penderita harus kooperatif Tidak enak bagi penderita. 2. Ether open drops Eter + Halolan (OMV + EMO)
18 Cermin Dania Kedokteran No. 33, 1984

Trilen + N 2 O
+ insuilasi.

Keuntungan : Cocok untuk prosedur yang singkat. Trauma larings kurang. Kerugian Kemungkinan aspirasi besar. Waktu operasi terburu-buru, atau diteruskan dengan insuflasi. Tidak dapat menggunakan diathermi. 3. Endotrakheal. Keuntungan : Jalan napas lebih terjamin. Kemungkinan aspirasi kurang. Waktu operasi tidak terburu-buru. Kerugian Perlu ketrampilan intubasi endotrakheal. Komplikasi dari intubasi endotrakheal. Ruang operasi sempit (pada orotrakheal). Jadi masing -masing cara mempunyai keuntungan dan kerugiannya. Yang penting adalah memilih cara yang benar-benar dikuasai, bukan hanya sekedar menyesuaikan dengan kebiasaan.

PERAWATAN PASCABEDAH 1. Ekstuhasi dilakukan apahila aktivitas retleks telah kembali.


Terus diberikan 02 sampai sadar penuh. 2. Posisi : Post Tonsillectomy Position dan sedikit Trendelenhurg. 3. Slap sedia dengan alat pengisap. 4. Monitoring tanda vital dan perdarahan. 5. Begitu sadar dan tidak muntah dapat dicoba minum. Air es dapat mengurangi rasa Sakit. 6. Analgetik (non narkolik).

PERDARAHAN PASCAADENOTONSILEKTOMI Keadaan ini biasanya cukup menyulitkan karena : 1. Penderita sering kembali ke kamar operasi dalam keadaan belum sadai penuh, masih ada pengaruh anestesi yang ter-

dahulu. 2. Kemungkinan hipovolemia, hipotensi, hipoksia sampai shock. 3. Darah di dalam mulut dan sebagian sudah tertelan. Tindakan pertama adalah memasang infus dengan mempertimbangkan kemungkinan pemberian darah. Kalau ada kemungkinan gangguan perdarahan, berilah transfusi darah segar. KESIMPULAN
1.

2. Teknik anestesi hendaklah dipilih yang benar-benar dikuasai. Intubasi endotrakheal bukan suatu keharusan. 3. Pemasangan infus sangat dianjurkan. 4. Monitoring selama masa pemulihan adalah penting. 5. Perdarahan pascaadenotonsilektomi menimbulkan masalah tersendiri bagi anestesi.
KEPUSTAKAAN 1. Monow WAK, Morrison JD. Anaesthesia for Eye, Nose and Throat Surgery. 1975. 2. Paparella, Shmrick. Otolaryngology, 1980; Vol III. 3. Keuskamp DHG. Anesthesie en Reanimatie.

Meskipun operasi Adentotonsilektomi dianggap sebagai operasi kecil, anestesi harus tetap waspada dan bekerja sesuai dengan standar yang telah ditentukan.

Cermin Dunia Kedokteran No. 33, 1984

19

Anestesi Untuk Adenotonsilektomi ( ATE ) di Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang


dr. Witjaksono,dr. Susanto Hadi, dr. Pristiwadji
Bagian Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/RS Dr. Kariadi, Semarang

PENDAHULUAN Operasi adenotonsilektomi (ATE) yang kelihatannya singkat, sederhana dan langsung, ternyata dapat memberikan problema yang besar dan mendadak berupa obstruksi jalan nafas, perdarahan dan aritmia kordis. Operasi ini tidak boleh dibilang operasi kecil saja, maka hanya bedah THT dan ahli anestesi yang terlatih yang boleh mengerjakannya.1 Tate dkk. (Inggris 1964), Alexander dkk. (Amerika Serikat, 1965), Roesli Thaib dan Said A Latief (1980), menunjukkan bahwa angka kematian pada ATE adalah 1 : 10.000 penderita. Mengingat bahwa penyebab kematian utama adalah tidak adekuatnya oksigenasi dan perdarahan, yang sebenarnya dapat dicegah. Maka kematian pada operasi yang sifatnya elektif (direncanakan) tersebut diatas adalah tragedi.1,2

ENDOTRAKHEAL ANESTESI

M Roesli Thaib (1981) menyatakan : anestesi tanpa intubasi untuk tonsilektomi dapat dipertanggungjawabkan dengan mempergunakan anestesi eter dan dilakukan oleh ahli THT dan ahli anestesi yang terlatih. 3 Davies (1964) dengan pengalaman 28.700 kasus, melaporkan bahwa adenotonsilektomi pada anak-anak di bawah insufIasi dietil eter itu aman. Ia menyatakan bahwa ketrampilan dan kewaspadaan yang terus menerus dari ahli anestesi lebih penting daripada cara anestesinya. 2 Morrow WFK (1975) menyatakan, teknik guielotine pada tonsilektomi masih tetap praktis pada beberapa senter, endotesi endotrakheal tidak selalu perlu pada prosedur yang singkat. 4 Tetapi banyak ahli anestesi berpendapat, pada operasi ATE sangat sukar untuk menilai secara baik dan menyeluruh tentang jalan nafas penderita tanpa tube endotrakheal di dalamnya. Tanpa tube endotrakheal, jalan nafas menjadi sangat rawan karena perdarahan, manipulasi ahli bedah THT atau karena prosedur itu sendiri. Dengan intubasi, jalan nafas penderita terjamin, bantuan atau kontrol pernapasan dengan mudah
20 Cermin Dunia Kedokteran No. 33, 1984

dapat dikerjakan, saturasi oksigen dapat diperbaiki, kedalaman anestesi lebih mudah dikontrol, oozing berkurang. Shalom (1964) menunjukkan bahwa 84% anak-anak yang mengalami tonsilektomi dan adenoidektomi, kehilangan darah sebanyak rata-rata 100 ml, dan 2/5 dari anak-anak tersebut membutuhkan penggantian cairan. 5 Penelitian Holden dan Mesher (1965) menunjukkan bahwa kehilangan darah pada ATE setelah anestesi dengan halotan dan eter rata-rata 128 ml, 18% dari kasus mengalami kehilangan darah diatas 10% volume darah total. 6 Dari penelitian Elka Hardi dkk. di RS. Dr. Kariadi Semarang, ternyata perdarahan pada ATE dengan anestesi eter rata-rata 75 ml (18,67 - 263,51 ml), 74% kurang dari 5% volume darah total, 24% antara 5 - 10% volume darah dan hanya 2% adalah 10 - 15% volume darah. 7 Kehilangan darah 10% dari volume darah total (volume darah total dihitung 75% ml/Kg ml/ Kg BB), dipakai sebagai indikasi pemberian cairan infus intravena. 4, 7 Penulis berpendapat sebaiknya cairan infus terpasang pada penderita yang akan mengalami ATE,untukmengganti kekurangan cairan tubuh sebelum operasi (akibat puasa), selama operasi (akibat perdarahan dan trauma jaringan), setelah operasi (akibat oozing) dan penderita tak dapat minum. Pemasangan cairan infus intravena adalah bagian dari antisipasi terhadap problema-problema operasi ATE. 8

KUNJUNGAN PREOPERASI DAN PREMEDIKASI


Pemeriksaan preoperasi umumnya dikerjakan sehari sebelum operasi. Kunjungan ini dipakai untuk mempersiapkan orang tua dan penderita untuk menerima operasi tersebut, mendapatkan kontak simpatik dari anak (penderita) sehingga pemberian obat sedatip hanya diperlukan sebagai penambah saja. Dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorik standar. Anamnesis pada orang tua penderita juga meliputi riwayat gangguan perdarahan pada keluarga dan penderita sendiri, misalnya setelah ekstraksi gigi. Bila pada anam-

nesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorik (waktu perdarahan, waktu pembekuan) menunjukkan hal-hal yang meragukan, sebaiknya dilakukan konsultasi dengan ahli hematologi untuk pemeriksaan lebih lanjut. Juga ditanyakan riwayat operasi yang lalu dan reaksi sensitivitas terhadap obat tertentu. Operasi dilakukan bila hemoglobine di atas 10 gr% atau hematokrit di atas 28 - 30% dan tidak terdapat gangguan pembekuan darah. Banyak jenis obat-obat premedikasi yang dapat digunakan pada operasi ATE. Pada anak di bawah 5 tahun diperlukan sedasi karena sukar melakukan komunikasi dan memberikan pengertian pada anak tersebut. Umumnya keadaan yang ingin dicapai adalah premedikasi yang ringan saja, termasuk penggunaan analgetik narkotik. Digunakan : diazepam 0,2 mg/kg BB diberikan secara oral 4 jam sebelum operasi bersama sedikit air. Sulfas atropin 0,01 mg/kg BB atau beladona yang lain untuk mengurangi sekresi kelenjar jalan nafas (efek vagolitik). Petidin 0,3 - 1 mg/kg BB merupakan analgetik narkotik yang digunakan untuk menambah analgesi. Dengan dosis tersebut di atas diharapkan refleks batuk dan bernafas. cepat aktif kembali setelah operasi. INDUKSI DAN INTUBASI ENDOTRAKHEAL Terdapat 2 keadaan yang berbeda pada penderita/anak selama induksi. Pada anak yang kooperatif, semua teknik (intravena atau inhalasi) dapat diterima sehingga anestesi berjalan lancar. Induksi dapat dimulai dengan inhalasi nitrous oxide-oksigen dan penambahan halotan secara bertahap. Mula-mula bahan anestesi dialirkan dengan gaya berat, kemudian secara hati-hati face mask ditempelkan pada muka. Intubasi dilakukan setelah pemberian suxametonium 1 mg/kg BB. Bisa juga dengan pemberian pentotal dengan dosis minimal, yakni 3 - 5 mg/kg BB, suxametonium 1 mg/kg BB. Pada anak yang nonkooperatif induksi harus dikerjakan dengan kasih sayang dan lebih bijaksana. Dapat dimulai dengan ketamin 3 mg/kg BB IM (stunning dose). Setelah itu infus line dibuat atau inhalasi anestesi dapat dimulai. Intubasi dapat dikerjakan pada anestesi halotane yang dalam atau setelah pemberian suxametonium.

dengan penambahan halotan. Pengawasan terhadap respirasi eksternal dikerjakan lewat penilaian gerakan balon/bag, serta gerkan toraks dan abdomen bagian atas. Sebagian dari jari tangan/kaki perlu diperlihatkan secara terbuka untuk menilai oksigenasi dan capillary filling. Pengawasan terus menerus terhadap jantung dikerjakan dengan memasang elektrokardioskop, atau stetoskop prekordial. Tetapi dengan meraba denyut nadi radial, seringkali didapat informasi yang cukup tentang cardiac output, denyut jantung dan tekanan darah. PEMULIHAN ANESTESI Setelah operasi, pharyngeal pack dapat diambil. Daerah farings, terutama nasofarings yang seringkali dilupakan, segera dibersihkan dari gumpalan darah dan sekret yang ada. Debris yang mungkin ada di dalam trakhea dibersihkan lewat tube endotrakheal. Kemudian diberikan oksigenasi lewat tube endotrakheal,. Ekstubasi dikerjakan bila refleks-refleks farings seperti refleks menelan dan refleks batuk sudah mulai timbul. Refleks-refleks tersebut akan menjaga jalan nafas penderita dari kemungkinan aspirasi. Laringospasme adalah problema yang mungkin timbul terutama pada anak-anak. Karena itu sebaiknya ekstubasi dikerjakan saat penderita bernafas teratur. Tube Orofaringeal dapat dipasang dan penderita dikirm keruang pemulihan. Penderita dibaringkan dalam posisi semiprone atau posisi tonsil sehingga drainase sekret dan darah ke luar rongga mulut. Oksigenasi terus diberikan sampai penderita dapat mengontrol respirasinya, dan tingkat kesadarannya penuh. Observasi yang ketat selama 2 jam dilakukan di kamar pemulihan, dan sebelum penderita dikeluarkan dari kamar pemulihan, farings penderita kembali diperiksa. PERDARAHAN SETELAH ATE Perdarahan setelah ATE adalah problema yang serius. Ini umumnya terjadi 2 jam pertama setelah operasi. Perdarahan dapat diduga bila terlihat perdarahan lewat hidung dan mulut, atau refleks menelan yang terus menerus selama di kamar pemulihan. Kemunduran keadaan umum, takhikardia dan penurunan tekanan darah adalah tanda obyektif pula. Pada keadaan ini, induksi sangat dipengaruhi oleh beberapa keadaan antara lain; hipovolemia dan hipotensi, efek residual dari anestesi yang pertama, adanya darah dalam rongga mulut, hidung, farings, esofagus dan lambung. Dipasang tube lambung yang cukup besar untuk mengeluarkan bekuan darah. Alat pengisap (suction apparatus) yang cukup kuat disiapkan. Kalau perdarahan minimal, setelah orofarings dianggap bersih, induksi dan intubasi dikerjakan. Lebih disukai memilih anestasi inhalasi . Tetapi kalau menggunakan intravena, maka dosisnya harus kecil untuk menghindari akumulasi obat didalam tubuh. BEBERAPA DATA-DATA DI RUMAH SAKIT Dr. KARIADI SEMARANG Umumnya dilakukan 1250 - 1500 operasi ATE/tahun di bagian THT Rumah sakit Dr. Kariadi Semarang. Selama bulan Agustus - September 1983 hanya tercatat 165 penderita. Kalau diperhatikan umur penderita, maka dekade ke 2 adalah keCermin Dunia Kedokteran No. 33, 1984 21

Tube yang digunakan sebaiknya bersifat non-kinking (Armoured tube). Ini lebih sering dianjurkan. Balon dari tube endotrakheal dikembangkan secukupnya. Untuk menghindari kebocoran dan aspirasi, sebaiknya dipasang pharyngeal pack disekitar tube tersebut. Bagian kepala dari meja operasi diletakkan pada posisi trendelenburg 30 Dengan posisi ini diharapkan lapangan operasi menjadi lebih jelas serta pengambilan darah dan mukus lebih mudah. PEMELIHARAAN ANESTESI DAN PENGAWASAN. Bagian penting pada pemeliharaan anestesi adalah saat kuretase adenoid (adenoidektomi) dan tonsilektomi. Ini harus dilakukan pada kedalaman anestesi yang cukup sehingga refleks menelan dan kontraksi otot farings tidak terdapat. Kontraksi otot farings akan mengganggu operator otot farings atau uvula dapat terpotong,pengambilan jaringan limfoid tidak adekkuat sehingga perdarahan hebat dapat terjadi. Untuk pemeliharaan anestesi dapat digunakan nitrous oxide dalam oksigen

lompok terbanyak.

dilakukan tonsilektomi cara Guillotine. Sedang untuk teknik deseksi pada ATE, anestesi umum dengan intubasi endotrakheal telah lama digunakan di RS Dr. Kariadi Semarang.

Anestesi dengan trilin digunakan untuk cara Guillotine sampai Februari/Maret 1982. Karena trilen kemudian tidak diproduksi, anestesi tanpa intubasi dengan eter kemudian diperkenalkan/digunakan sampai November/Desember 1982. Induksi dimulai dengan pentotal intravena, kemudian dilanjutkan anestesi eter dengan face mask sampai ke dalam anestesi stadium III plane 2 awal, dan face mask dibuka untuk siap

22

Cermin Dania Kedokteran No. 33, 1984

Beberapa Masalah Anestesi Pada Pembedahan Adenotonsilektomi


Bagian Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSCM, Jakarta

dr. M Roesli Thaib

PENDAHULUAN Orang awam atau beberapa kalangan kedokteran lain masih beranggapan bahwa operasi Adenotonsilektomi merupakan operasi kecil. Tetapi dari segi anestesiologi tidak ada ketentuan mengenai anestesi "kecil", karena setiap tindakan anestesia selalu mengandung risiko. Risiko yang terburuk adalah kematian dimeja operasi. Berat atau ringannya risiko anestesi ditentukan oleh kelainan sistemik sebelumnya, obat-obatan yang pernah didapat dan ketrampilan ahli anestesi yang bersangkutan. ANGKA KEMATIAN DAN KOMPLIKASI Kematian pada pembedahan adenotonsilektomi umumnya disebabkan oleh hal-hal yang seharusnya dapat diatasi, yaitu hipoksia karena obstruksi jalan nafas dan perdarahan yang tidak teratasi. 1 '2 Banyak penulis mengemukakan angka kematian pembedahan adenotonsilektomi, seperti : kecil, 0,5 mg/kg untuk suplemen selama anestesi terutama kalau mempergunakan halotan dan N 2O saja. Untuk induksi, dapat dipergunakan obat intravena seperti tiopenton (3 - 5 mg/kg), atau ketamin (1 - 2 mg/kg), atau inhalasi langsung dengan halotan dan N 2 O. Suksinilkolin (1 - 2 mg/ kg) dipergunakan untuk intubasi. Pemeliharaan anestesia umumnya dipakai halotan dan N 2 0 atau eter. Ventilasi dapat spontan atau dibantu sesuai dengan kebutuhan. JALAN NAFAS DAN LAPANGAN OPERASI Cara yang paling aman untuk mempertahankan jalan nafas selama pembedahan adalah teknik intubasi endotrakheal. Kalau pipa endotrakheal dalam rongga mulut mengganggu operasi, pipa endotrakheal non-kinking yang menggunakan spiral dapat ditaruh pada saluran blade dari Boyle Davis mouth gag. Ekstubasi pipa endotrakheal, dianjurkan setelah semua refleks pulih dan penderita mulai bangun. 3 -6 Akan tetapi harus kita pertimbangkan kemungkinan lepasnya ikatan luka operasi kalau terjadi batuk waktu ekstubasi. Karena itu dapat dibenarkan kalau selesai pembedahan pipa endotrakheal dicabut walaupun stadium anestesia masih dalam tetapi pengawasan penderita di kamar-pulih harus lebih ditingkatkan. 3, 7
Cermin Dunia Kedokteran No. 33, 1984 23

Selama tahun 1979 - 1980, Roesli Thaib dan kawan-kawan telah melakukan anestesi pada 9164 kasus adenotonsilektomi di Klinik Panti Rahardja, Jakarta. Tehnik anestesi mempergugunakan cara intubasi, dan teknik operasi dengan metode diseksi. Didapatkan 1 kematian karena shock yang tak teratasi. 3 Penyulit yang bisa dijumpai : (Lihat Tabel ) OBAT PREMEDIKASI DAN ANESTETIKA Sulfas atropin 0.01-0.02 mg/kg, atau preparat beladona lain harus diberikan sebagai premedikasi terutama kalau mempergunakan eter, untuk mengurangi sekresi kelenjar jalan nafas.3 6 Akan tetapi untuk mencegah refleks vagus diperlukan dosis 2 - 3 kali lebih besar. Narkotika petidin diberikan dengan dosis

PERDARAHAN Dari 9164 kasus adenotonsilektomi yang kami lakukan ternyata perdarahan selama operasi sekitar 3 - 5% dari volume darah. Selalu disiapkan vena terbuka (open venous line) seperti memasang jarum bersayap (wing needle) untuk pemberian obat-obat intravena. Perdarahan pascabedah merupakan salah satu penyulit yang terbanyak dari kasus-kasus yang kami lakukan. Teknik anestesi yang berbeda turut menentukan angka kekerapan perdarahan pascabedah. Nikmah Rusmono membuktikan secara statistik pada 1238 kasus adenotonsilektomi dan tensilektomi di Bagian THT RS. Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta (1973), bahwa teknik anestesi dengan intubasi membe3,8 rikan penyulit perdarahan yang lebih sedikit. Pengelolaan penderita dengan perdarahan pascabedah yang perlu pengikatan dengan anestesi merupakan masalah yang harus ditangani dengan sungguh-sungguh, karena kita menghadapi penderita dengan keadaan umum yang lembah dan akan memburuk kalau disertai hipoksia. Penatalaksanaan anestesia sama jika menghadapi penderita dengan lambung penuh yang kemungkinan berisi bekuan darah. KOMBINASI ANAGESIA LOKAL DAN ANALGESIA-NEUROLEPTIK Susman Iskandar (1979) melaporkan 37 penderita dengan variasi umur 5 - 62 tahun yang dilakukan tindakan tonsiloadenoidektomi/tonsilektomi di RS Gatot Subroto, Jakarta, dengan teknik analgesia lokal yang dikombinasi dengan analgesia neuroleptik. Analgesia lokal mempergunakan suntikan lidokain atau topikal, sedangkan analgesia neuroleptik mempergunakan suntikan droperidol (0,1 mg/kg), petidin (1 mg/kg) atau fentenil (0,002 mg/kg). Teknik operasi adalah guilotin dan penghentian perdarahan dilakukan hanya dengan menekan bekas luka tonsil dengan kasa. Hasilnya, 7 penderita menjadi gelisah, tetapi operasi masih dapat diselesaikan. 9 Cara ini dapat dipertanggungjawabkan kalau analgesia lokal yang diberikan adekuat. RINGKASAN
Dari segi anestesiologi, pembedahan adentonsilektomi bu-

kan merupakan anestesia kecil tetapi selalu mengandung risiko. Besar kecilnya risiko ditentukan oleh kondisi penderita, saran klinik atau rumah sakit, dan ketrampilan ahli anestesiologi maupun ahli bedah Jalan nafas yang bebas merupakan faktor yang sangat penting, karena itu teknik intubasi endotrakheal merupakan tehnik yang paling aman dan telah dibuktikan kekerapan perdarahan pascabedah lebih kecil.

24

Cermin Dunia Kedokteran No. 33, 1984

Budaya dan Kesehatan

Bila ditanya contoh hubungan antara kebudayaan dan kesehatan, banyak tenaga kesehatan akan menunjukkan bagaimana di dalam suatu masyarakat desa yang sederhana dapat bertahan cara pengobatan tertentu sesuai dengan tradisi mereka. Kebudayaan (kultur) dapat membentuk kebiasaan dan respons terhadap kesehatan dan penyakit dalam segala masyarakat, tanpa memandang tingkatannya. Karena itulah penting bagi tenaga kesehatan untuk tidak hanya mempromosikan kesehatan, tetapi juga membuat mereka mengerti mengenai proses terjadinya suatu penyakit. Ini harus dicamkan dan dipelajari baik-baik oleh setiap tenaga kesehatan, demi tercapainya Health for all by the year 2000. Apakah kebudayaan itu? Mungkin semua orang mengerti apa kebudayaan itu, tapi tidak setiap orang dapat menjelaskannya. Kebudayaan itu, katanya, adalah sikap hidup yang khas dari sekelompok individu, yang dipalajari secara turun temurun. Tetapi sikap hidup ini ada kalanya malah mengundang risiko bagi timbulnya suatu penyakit. Kebudayaan tidak dibatasi oleh suatu batasan yang sempit, tetapi mempunyai struktur-struktur yang luas, sesuai dengan perkembangan dari masyarakat itu sendiri. Mata rantai antara kebudayaan dan kesehatan. Di dalam masyarakat sederhana, kebiasaan hidup dan adat istiadat dibentuk untuk mempertahankan hidup diri sendiri, dan kelangsungan hidup suku mereka. Berbagai kebiasaan dikaitkan dengan kehamilan, kelahiran, pemberian makanan bayi, yang bertujuan supaya reproduksi berhasil, ibu dan bayi selamat. Dari sudut pandangan modern, tidak semua kebiasaan itu baik. Ada beberapa yang kenyataannya malah merugikan. Kebiasaan menyusukan bayi yang lama pada beberapa masyarakat, merupakan contoh baik kebiasaan yang bertujuan melindungi bayi. Tetapi bila air susu ibu sedikit, atau pada ibu-ibu lanjut usia, tradisi budaya ini dapat menimbulkan masalah tersendiri. Dia berusaha menyusui bayinya, dan gagal.

Bila mereka tidak mengetahui nutrisi mana yang dibutuhkan bayi (biasanya demikian), bayi dapat mengalami malnutrisi dan mudah terserang infeksi. Menjadi sakit memang tidak diharapkan oleh semua orang apalagi penyakit-penyakit yang berat dan fatal. Masih banyak masyarakat yang tidak mengerti bagaimana penyakit itu dapat menyerang seseorang. Ini dapat dilihat dari sikap mereka terhadap penyakit itu sendiri. Ada kebiasaan dimana setiap orang sakit diisolasi dan dibiarkan saja. Kebiasaan ini mungkin dapat mencegah penularan dari penyakit-penyakit infeksi seperti cacar atau TBC. Bentuk pengobatan yang diberikan biasanya hanya berdasarkan anggapan mereka sendiri tentang bagaimana penyakit itu timbul. Kalau mereka anggap penyakit itu disebabkan oleh hal-hal yang supernatural atau magis, maka digunakan pengobatan secara tradisional. Pengobatan modern dipilih bila mereka duga penyebabnya faktor alamiah. Ini dapat merupakan sumber konflik bagi tenaga kesehatan, bila ternyata pengobatan yang mereka pilih berlawanan dengan pemikiran secara medis. Di dalam masyarakt industri modern, iatrogenic disease merupakan problema. Budaya modern menuntut merawat penderita di rumah sakit, padahal rumah sakit itulah tempat ideal bagi penyebaran kuman-kuman yang telah resisten terhadap antibiotika. Kebudayaan dan perubahannya. Tentu saja kebudayaan itu tidak statis, kecuali mungkin pada masyarakat pedalaman yang terpencil. Hubungan antara kebudayaan dan kesehatan biasanya dipelajari pada masyarakat yang terisolasi di mana cara-cara hidup mereka tidak berubah selama beberapa generasi. Walaupun mereka merupakan sumber data-data biologis yang penting dan model antropologi yang berguna, lebih penting lagi untuk memikirkan bagaimana mengubah kebudayaan mereka itu. Pada negara-negara di dunia ke-3, laju perkembangan ini cukup cepat, dengan berkembangnya suatu masyarakat perkotaan dari masyarakat pedesaan. Ide-ide tradisional yang turun

Cermin Dunia Kedokteran No. 33, 1984

25

temurun, sekarang telah dimodifikasi dengan pengalamanpengalaman dan ilmu pengetahuan baru. Sikap terhadap penyakit pun banyak mengalami perubahan. Kaum muda dari pedesaan meninggalkan lingkungan mereka menuju ke kota. Akibatnya tradisi budaya lama di desa makin tersisih. Meskipun lingkungan dari masyarakat kota modern dapat dikontrol dengan teknologi, setiap individu di dalamnya adalah subyek daripada tuntutan-tuntutan ini, tergantung dari kemampuannya untuk beradaptasi. Hubungan yang selaras antara faktor budaya dan biologis, yang mungkin berkembang sebagai hasil dari faktor lingkungan, dapat dilukiskan dengan contoh-contoh dari Papua Nugini dan Nigeria ini. " Pig bel " , sejenis penyakit diare berat yang dapat menimbulkan kematian, disebabkan oleh kuman Clostridium perfringens type C. Penduduk Papua Nugini yang tinggal di daratan tinggi biasanya sedikit makan daging. Oleh sebab itu, cenderung untuk menderita kekurangan enzim protease dalam usus. Bila suatu perayaan tradisional diadakan, mereka makan daging babi dalam jumlah yang banyak, tetapi tungku tempat masaknya tidak cukup panas untuk memasak daging itu dengan baik, sehingga kuman Clostridia masih dapat berkembang. Makanan pokok mereka yaitu kentang, mengandung tripsin inhibitor. Oleh sebab itu racun dari kuman yang seharusnya terurai oleh tripsin, menjadi terlindung. Tripsin inhibitor juga dihasilkan oleh cacing Ascaris yang banyak terdapat pada penduduk tersebut. Kuman dapat juga berkembang dalam daging yang kurang dicernakan, dan secara bebas mengeluarkan racunnya. Faktor budaya adalah perayaan tradisional; faktor lingkungan adalah makanan pokok kentang dan cacing Ascaris; faktor biologis adalah kuman Clostridia. Tetapi masing-masing faktor berhubungan satu dengan lainnya. Wanita-wanita Hausa yang tinggal sekitar Zaria di Nigeria Utara, secara tradisi memakan garam karang selama periode nifas, untuk meningkatkan produksi air susunya. Mereka juga menganggap hawa dingin sebagai penyebab penyakit. Oleh sebab itu mereka memanasi tubuhnya paling kurang selama 40 hari setelah melahirkan. Diet garam yang berlebihan dan hawa panas (baik dari api yang digunakan untuk memanasi tubuh dan dari udara yang beriklim tropis), merupakan penyebab timbulnya kegagalan jantung. Faktor budaya di sini adalah kebiasaan makan garam yang berlebihan dan memanasi tubuh; faktor lingkungan adalah iklim tropis; faktor biologis adalah peristiwa kelahiran; interaksi semua faktor-faktor itu menyebabkan timbulnya kegagalan jantung. Problema dalam menganalisa perubahan kebudayaan faktor kebudayaan itu tidak dapat diukur, meskipun akibatnya sering-sering dapat terlihat. Contoh yang baik adalah kenaikan tekanan darah pada penduduk yang berimigrasi ke kota. Kenyataan ini tidak dapat ditentang. Tetapi apakah penyebabnya? Kebudayaan? Lingkungan? atau biologis? Masih merupakan tanda tanya. Bilamana kebudayaan itu berubah, suatu survival dan adaptasi yang sukses tidak hanya tergantung daripada faktor ling26 Cermin Dunia Kedokteran No. 33, 1984

kungan dan biologis. Kemampuan untuk memodifikasi beberapa segi budaya juga penting. Kebudayaan dan sistim pelayanan kesehatan. Bila suatu bentuk pelayanan kesehatan baru diperkenalkan ke dalam suatu masyarakat di mana faktor-faktor kebudayaan masih kuat, biasanya dengan segera mereka akan menolak dan memilih cara pengobatan tradisional sendiri. Apakah mereka akan memilih cara baru atau lama, akan memberi petunjuk kepada kita akan kepercayaan dan harapan pokok. Mereka lambat laun akan sadar apakah cara pengobatan baru itu berfaedah, sama sekali tidak berfaedah, atau lambat mendatangkan manfaat. Namun mereka lebih menyukai cara-cara pengobatan tradisional karena berhubungan erat dengan dasar kehidupan mereka. Maka cara baru itu digunakan secara sangat terbatas atau untuk kasus-kasus tertentu saja. Pelayanan Kesehatan yang modern, oleh sebab itu, harus disesuaikan dengan kebudayaan setempat. Akan sia-sia jika ingin memaksakan sekaligus cara-cara modern dan menyapu semua cara-cara tradisional. Bila tenaga kesehatan berasal dari lain suku atau bangsa, sering mereka merasa asing dengan penduduk setempat. Ini tidak akan terjadi jika tenaga kesehatan itu berusaha mempelajari kebudayaan-kebudayaan mereka, dan menjembatani jarak yang ada di antara mereka. Dengan sikap yang tidak simpatik serta tangan besi, maka jarak tersebut akan semakin lebar. Setiap masyarakat mempunyai caracara pengobatan tradisional. Sedikit usaha untuk mempelajari kebudayaan mereka, akan mempermudah memberikan gagasan-gagasan baru yang sebelumnya tidak mereka terima. Pemuka-pemuka di dalam masyarakat itu harus diyakinkan, sehingga mereka dapat memberikan dukungan, dan yakin bahwa cara-cara baru tersebut bukan untuk melunturkan kekuasaan mereka. Seperti telah diuraikan di atas, pilihan pengobatan dapat menimbulkan kesulitan. Misalnya bila pengobatan tradisional biasanya menggunakan cara-cara yang menyakitkan seperti mengiris-iris bagian tubuh atau dengan me manasi, penderita akan merasa tidak puas bila diberi pil untuk diminum. Ini adalah masalah yang sering timbul, dan kegagalan cukup sering. Tetapi secara bertahap, berbulan-bulan bahkan bertahuntahun, suatu usaha yang sungguh-sungguh tentu akan mendatangkan hasil.(KRIS)
E.H.O. Parry. World Health Forum 1984; 5 : 49 - 52.

(Sambungan halaman 5)

kecil, karena terdapat perubahan perfusi sehingga terdapat shunting darah ke jantung, otak, ginjal dan hepar. Apabila terdapat perbaikan dari dinamika peredaran, mungkin dapat ditambahkan obat-obat lain untuk mempertahankan anestesinya. 1. Pemberian obat jangan intramuskuler atau subkutan, apabila pasien dalam keadaan hipotensi dan karena absorbsinya tidak dapat diandalkan. 2. Pemberian obat intra vena adalah jalan yang terbaik dengan perubahan dosis sesuai menurut keadaan pasien.

Sebelum Datang Haid Sudah Tahu Hamil


dr. Agus Purwadianto , Jakarta.

Test Kehamilan Masa Kini :

Biasanya seorang wanita yang akan menjadi calon ibu, baru bisa tahu setelah ia tak datang haid berikutnya. "Sudah berapa lama telat haidnya sih ?", begitu pertanyaan utama yang mesti dijawab calon ibu tadi, baik yang dilontarkan suaminya, dokter yang memeriksanya sampai ke orang-orang yang ingin tahu kepastian adanya si mungil dalam kandungannya. Perlu diketahui, bahwa sebentar lagi pandangan umum tadi akan berubah, Kenapa ? Karena dunia kedokteran telah menemukan dan sedang memasyarakatkan suatu tes kehamilan yang amat sensitif, sehingga mampu mendeteksi hormon yang berperan dalam kehamilan awal 7 9 hari setelah pembuahan sel telur wanita oleh sel mani lelaki. Pembuahan umumnya terjadi pada masa subur. Sel telur wanita akan keluar saat itu (ovulasi), yang pada wanita bersiklus normal (28 - 30 hari) terjadi 14 hari sebelum haid berikutnya. Berarti bila pembuahan terjadi saat itu, test kehamilan mutakhir mampu mendeteksi pada hari ke 21 - 23 setelah hari pertama haid sebelumnya . Jadi sebelum haid berikutnya (pada hari ke 28 - 30 haid). Tak ada lagi istilah telat haid yang dihubungkan dengan kehamilan kelak. Rantai beta. HCG (human chorionic gonadotropin) yang berperan dalam kehamilan awal pertama dihasilkan oleh trofoblast, lapisan sel terluar dari sel pembuahan (zygote) yang kemudian digantikan oleh sel chorion dan uri (plasenta). Hormon ini dikeluarkan lewat air seni wanita hamil dan berkadar maksimal pada pagi hari untuk kian siang dan sore kian menurun dan menghilang. Karenanya test kehamilan mempergunakan air seni pagi hari, pertama kali begitu ingin buang air kecil. Fenomena ini sudah diketahui Ascheim-Zondek sejak 51 tahun lalu ketika mereka menyuntikkan air seni ini ke tikus muda. Setelah 100 jam mereka membedah tikus itu, menemukan pembentukan badan-badan kekuningan di telur tikus itu disertai beberapa perdarahan yang terlihat dengan mata telanjang ataupun dengan mikroskop. Metode bioassay ini kemudian diikuti oleh

Friedman yang menyuntikkan air seni itu ke kelinci betina dan ditunggu 48 jam kemudian untuk melihat hal yang mina. Galli dan Mainini dengan kodok jantan dengan percobaan serupa menemukan fenomena keluarnya sel benih lelaki setelah 3 jam. Metode diatas, selain mesti menunggu cukup lama juga dirasakan cukup mahal karena mesti memelihara binatang terlebih dulu. Hasilnya tergantung pula pada musim yang mempengaruhi binatang tadi dan kadang tak tahan setelah disuntik air kencing wanita hamil. Saat melakukan test-pun mesti menunggu lama kehamilan antara 14 - 28 hari setelah telad haid. Jadi metode "kuno" ini kemudian ditinggalkan dengan digantikan oleh metode imunoassay, dengan menempatkan HCG sebagai benda asing yang sanggup bereaksi dengan zat anti yang khas. HCG termasuk glikoprotein sehingga mempunyai daya antigenik tinggi. Terdiri dari polipeptida rantai alfa dan beta. Hormon lain yang mirip HCG, baik secara kimia maupun imunologis adaah LH (luteinizing hormone), hormon yang dihasilkan kelenjar hipofisa otak dan berkadar maksimal disaat ovulasi (puncak masa subur, 2 minggu sebelum haid berikutnya). Terutama rantai beta-nya. Sehingga untuk metoda imunoassay, pengambilan air seni wanita dekat masa pembuahan (setelah lewat beberapa hari dari masa subur), bisa terjadi reaksi positif semu akibat bekerjanya LH. Inilah hambatan terpenting dari penemuan test kehamilan mutakhir, karena berusaha mengambil contoh bahan air seni sebelum atau pada saat haid berikutnya dimana HCG sudah bisa dideteksi, sekaligus LH menghilang atau tak terdeteksi lagi. Endapan dan darah domba. Boleh dikata, tes kehamilan mutakhir ini merupakan generasi kedua dari metoda imunoassay. Generasi pertama adalah kelompok reaksi seperti aglutinasi SDM (sel darah merah) langsung, hambat aglutinasi SDM, hambat aglutinasi lateks, dan sejenisnya yang kini diterapkan pada hampir semua laboCermin Dunia Kedokteran No. 33, 1984 27

ratorium klinik di negara kita. Yang paling populer adalah hambat aglutinasi SDM yang terdiri dari dua bentuk utama, cara memakai slide (kaca tipis) seperti merek Gravindex atau Pregnosticon dan cara memakai tabung seperti Event Test. Kadar HCG yang bisa dideteksi cara slide sekitar 2 - 5 unit internasional (UI)/ml yang setara dengan telat haid 7 - 14 hari, sementara cara tabung jauh lebih peka karena mampu menginterpretasi HCG sebesar 0,75 - 1 UI/ml yang setara dengan telat haid 3 hari. Namun keunggulan cara slide adalah praktis, mudah dilakukan dan segera bisa diketahui oleh wanita yang memeriksakan air seninya 1 - 2 menit kemudian. Namun menginterpretasikan hasilnya perlu suatu ketajaman mata khusus yang tak setiap orang awam mengetahuinya. HCG ditemukan (jadi wanita itu hamil) bila tak terjadi aglutinasi (penggumpalan) reagensia yang dipakai, sehingga larutan campuran dengan air seni tadi nampak homogen tanpa endapan. Hasil negatif (tidak hamil) sebaliknya, yakni nampak endapan halus dalam larutan tadi. Manakala dengan mata telanjang kurang bisa dilihat ada tidaknya penggumpalan, harus dilihat di mikroskop. Sebaliknya, metode tabung yang lebih sensitif, harus butuh waktu 112 - 2 jam untuk membaca hasilnya, sehingga tak bisa ditunggu penuh dag-dig-dug oleh wanita yang bersangkutan. Namun dalam membaca hasil testnya, lebih mudah. Hasil positif menunjukkan cincin berwarna pada bagian bawah cairan dalam tabung yang merupakan endapan yang kasat mata. Hal inilah yang mendorong satu merek test kehamilan dijual bebas di apotik. Kendati demikian, untuk mengatasi kemungkinan diutak -utiknya tabung oleh wanita yang tidak sabaran ini, test ini dilengkapi rak tabung yang bisa menjamin bebas getaran, sehingga endapan mudah terbentuk (bila positif hamil). Perlu diketahui bahwa kedua cara diatas diilhami cara aglutinasi SDM langsung. Disini HCG sebagai antigen sengaja diserapkan ke permukaan SDM domba dan direaksikan dengan zat anti yang berbentuk larutan. Kesemuanya dikembangkan sejak tahun 1950-an. Isotop. Generasi kedua imunoassay dimulai tahun 1970-an, diawali dengan metode RIA (radioimunoassay) untuk mendeteksi HCG. Sebagian HCG di "label" dengan isotop seperti hidrogen, karbon atau iodium. HCG berisotop ini labil sehingga mudah diusir oleh HCG murni, yang kemudian akan berikatan dengan zat anti yang semula diikat oleh HCG berisotop. Aktivitas isotop ini dideteksi pada permukaan larutan dan sejajar dengan kadar HCG. Tahun 1972, Vaitukaitis berhasil memurnikan rantai beta HCG sehingga tak ada interferensi dengan LH. Cara RIA ini selain bisa menganalisa HCG air seni, juga bisa HCG darah dan daya deteksinya hingga 7 - 9 hari setelah pembuahan. Cara inilah yang kelak mengubah istilah telat haid sebagai patokan kehamilan wanita. Cara RIA disempurnakan dengan RRA (radioreceptorassay) yang lebih mengarah ke analisa HCG kuantitatif karena bahan dari wanita yang ditest dibandingkan dengan HCG kontrol. Kadar yang terdeteksi jauh lebih kecil lagi, cuma 0,2 UI/ml serum. RRA yang memakai "badan kuning" (korpus luteum)
28 Cermin Dunia Kedokteran No. 33, 1984

sapi sebagai penangkap HCG, positif (hamil) bila bahan wanita kadarnya melebihi kontrol dan sebaliknya. Bila hasilnya sama, test diulang 1 - 2 hari lagi. Test yang dikembangkan sejak 1977 ini masih "diganggu" oleh adanya LH. Perkembangan berikut ditahun 1980-an, dikedepankan cara EIA (enzymeimunoassay) yang setara sensitifnya dengan RIA. EIA yang memakai enzim kuda yang dilabel HCG ini mampu memunculkan perubahan warna yang kemudian dideteksi spektrofotometer. Manakala perbandingan antara bahan dari wanita dengan kalibrator yang ada lebih besar dari 1,05 berarti hamil. Sementara bila hasilnya kurang dari 0,95 tidak hamil. Hasil diantara 0,95 dan 1,05 meragukan, dan harus diulang 2 hari lagi bahan dari wanita yang ditest. Kelemahan test kehamilan mutakhir ini, menjadi relatif rumit karena mempergunakan isotop dan memakan tempo yang lama daripada cara slide atau tabung yang sudah dikenal. Kecenderungan perkembangan uji kehamilan ini kini ada tiga pedoman, yakni : 1) menggabungkan metode RIA/RRA dengan cara slide/tabung sehingga hasilnya mudah dibaca dan praktis; 2) memakai bahan non isotop; dan 3) memakai antibodi monoklonal Hamil anggur. Penggabungan RIA/RRA dengan cara slide/tabung dikabarkan sudah bisa dilakukan, lewat cara aglutinasi SDM pasif dalam tabung atau aglutinasi lateks dalam slide, mengahsilkan daya deteksi HCG sebesar 0,2 UI/ml, yang kira-kira seta ra dengan beberapa hari menjelang haid, atau paling maksimal tepat di saat haid berikutnya (bila datang). Pemakaian bahan non isotop, seperti chemiluminescence akan membuat uji kehamilan jadi murah dan tanpa dihantui bahaya radioaktif. Yang paling mengesankan adalah penggunaan antibodi monoklonal, karena selain mampu mengeliminir interferensi LH, bisa dihasilkan dua cara sekaligus, yakni antibodi terhadap rantai alfa dan beta HCG, sehingga hasilnya lebih bisa dipercaya (tak seperti test RIA ataupun aglutinasi dimana penggunaan zat anti dititikberatkan pada rantai beta HCG). Keunggulan metode terakhir ini, walaupun belum dipasarkan, adalah kemampuannya mendeteksi HCG semungil 0,05 UI/ml dalam waktu 35 - 60 menit, tanpa peralatan ataupun isotop yang rumit, bersifat khas dan memakai peralatan yang tahan lama. Dari sejak jaman bioassay Ascheim - Zondek 50 tahun berselang yang diperkirakan hanya menangkap kadar HCG 400500 UI/ml pada wanita "telat haid" lebih dari 2 minggu, penemuan antibodi monoklonal ini jelas merupakan revolusi. Dengan penemuan monoklonal yang mampu membawa sifat super khas ini, kini tengah dicoba membedakan HCG normal yang terjadi pada kehamilan biasa, dengan HCG lainnya yang dihasilkan pada mola hidatidosa (kehamilan anggur) ataupun khoriokarsinoma (kanker ganas trofoblast), kanker ganas yang sering dijumpai pada wanita selain kanker rahim dan payudara. Pada kedua keadaan terakhir ini, HCG meningkat begitu tinggi sehingga banyak test kehamilan mutakhir menjadi kurang berguna karena sebentar saja menjadi positif. Untuk diagnosa keduanya, dipakai test Galli Mainini. Itupun

urine wanita yang diduga mengidapnya mesti diencerkan beberapa ratus kali. Test kehamilan mutakhir biasanya digunakan untuk pengawasan lanjut wanita pasca hamil anggur, agar tidak menjadi kanker ganas trofoblast. Menghadapi ledakan tahnologi mutakhir ini, dunia internasional merasa perlu mengawasi kualitas HCG yang dipakai untuk standar uji. Sejak 1964 para ahli sepakat menera HCG dengan satuan UI (unit internasional). HCG harus ditera seluruh aktivitas biologiknya, bukan hanya pada bagian-bagiannya

(seperti rantai beta saja). Jadi dalam bentuk molekulnya yang utuh, dan sempurna . Ketidakmurinian HCG dan variasi cara mendapatkannya senantiasa diawasi dunia internasional, khususnya pada metoda bioassay yang dijadikan tolok ukur metode imunoassay. Tabun 1975 sudah disepakati pula bahwa sediaan patokan internasional HCG untuk metode imunoassay ditentukan sebesar 650 UI per ampul sebagai dasar kalibrasi metode bioassay (percobaan binatang).

Cermin Dunia Kedokteran No. 33, 1984

29

Gambaran dan Penatalaksanaan Batuk Darah di Biro Pulmonologi RSMTH


dr. Amirullah R Karo Pulmonologi Rukmital dr. Mintoharjo, Jakarta

PENDAHULUAN Batuk darah (hemoptysis) adalah ekspektorasi darah atau dahak yang bercampur darah yang berasal dari saluran nafas dibawah glotis. Batuk darah masif merupakan keadaan gawat dalam bidang kedokteran, dan tidak ada kegawatan penyakit paru yang lebih dramatis dan mengerikan dari batuk darah masif. Batuk darah masif dapat merenggut nyawa penderita oleh karena : 1. Asfiksia. 2. Kehilangan darah banyak dalam waktu singkat. 3. Penyebaran penyakit kebagian-bagian paru yang sehat. Di dalam kepustakaan, kriteria batuk darah masif masih terdapat perbedaan pada tiap sentrum Rumah Sakit, terutama dalam hal menentukan berapa jumlah darah yang dikeluarkan dalam periode waktu tertentu. Kriteria yang paling banyak dipakai ialah : 1. Bila penderita batuk darah kurang lebih 600 cc dalam 24 jam, dan dalam pengamatan batuk darah tidak berhenti. 2. Bila penderita batuk darah kurang dari 600 cc per 24 jam tetapi lebih dari 250 cc per 24 jam. Kadar HB kurang dari 10 gr%, sedangkan batuk darah berlangsung terus. 3. Batuk darah kurang dari 600 cc tetapi lebih dari 250 cc per 24 jam pada pemeriksaan HB lebih dari 10 gr%, dari pengamatan selama 48 jam ternyata batuk darah tidak berhenti. Kriteria ini adalah kriteria yang juga dipergunakan di FKUI/ RS Persahabatan. BEDA BATUK DARAH (HEMOPTISIS) DENGAN MUNTAH DARAH (HEMATEMESIS) Perlu diperhatikan apakah penderita mengalami batuk darah atau muntah darah. Pada beberapa penderita kadang-kadang dikacaukan antara batuk darah dan muntah darah. Un* Dibacakan pada Kongres Nasional ke III IDPI, Medan 1983. 30 Cermin Dania Kedokteran No. 33, 1984

tuk membedakannya dapat digunakan patokan sebagai berikut.

PATOGENESIS Penyebab terbanyak batuk darah masif adalah tuberkulosis paru. Perdarahan dapat timbul karena pecahnya suatu aneurisma pada dinding kavitas yang disebut "Rassmussens aneurisma ". Penyebab lain terjadinya perdarahan ialah ulserasi pada dinding kavitas yang baru terbentuk dimana penuh dengan jaringan granulasi yang kaya dengan pembuluh darah dan juga dapat disebabkan ulserasi pada mukosa bronkhus. Kecuali tuberkulosis paru, penyakit-penyakit lain yang dapat menyebabkan batuk darah masif ialah:Bronkiektasis, abses paru, karsinoma paru, pneumonia baktenal kadang-kadang mitral stenosis dan lain-lain. PENATALAKSANAAN 1. Pembedahan 2. Konservatif. Pembedahan Di dalam kepustakaan dikatakan, dengan terapi pembedahan angka kematian dari batuk darah masif dapat diturunkan menjadi 0 - 2,3%. Sayangnya tidak semua pasien dapat diberi

terapi pembedahan, oleh karena tidak terdapatnya fasilitas bedah toraks dan tidak semua penderita mempunyai toleransi terhadap pembedahan. Sebelum dilakukan pembedahan harus terlebih dahulu diperiksa fungsi paru dan diketahui asal dari perdarahan (dengan pemeriksaan bronkoskopi). Pembedahan bisa segmentektomi, lobektomi, pneumonektomi. Konservatif Penatalaksanaan batuk darah masif di Biro Pulmologi Rumkital dr. Mintohardjo dengan cara Konservatif. Dasar-dasar pengobatan yang diberikan sebagai berikut : 1. Mencegah penyumbatan saluran nafas. 2. Memperbaiki keadaan umum penderita. 3. Menghentikan perdarahan. 4. Mengobati penyakit yang mendasarinya (underlying
disease).

yang merawat.

Mengobati penyakit -penyakit


ing disease).

yang

mendasarinya (Underly-

Pada penderita tuberkulosis, disamping pengobatan tersebut diatas selalu diberikan secara bersama tuberkulostatika. Kalau perlu diberikan juga antibiotika yang sesuai.
DATA-DATA DARI BIRO PULMONOLOGI RSAL MINTO-

HARDJO. Data-data penderita batuk darah dan batuk darah masif dirawat di Biro Pulmonologi RSAL Mintohardjo selama periode 1 Januari 1982 sampai dengan 31 Desember 1982 adalah sebagai berikut :
yang

Mencegah penywnbatan saluran nafas. Penderita yang masih mempunyai refleks batuk baik dapat diletakkan dalam posisi duduk, atau setengah duduk dan disuruh membatukkan darah yang terasa menyumbat saluran nafas. Dapat dibantu dengan pengisapan darah dari jalan nafas dengan alat pengisap. Jangan sekali-kali disuruh menahan batuk. Penderita yang tidak mempunyai refleks batuk yang baik, diletakkan dalam posisi tidur miring kesebelah dari mana diduga asal perdarahan, dan sedikit trendelenburg untuk mencegah aspirasi darah ke paru yang sehat. Kalau masih dapat penderita disuruh batuk bila terasa ada darah di saluran nafas yang menyumbat, sambil dilakukan pengisapan darah dengan alat pengisap. Kalau perlu dapat dipasang tube endotrakeal. Batuk-batuk yang terlalu banyak dapat mengakibatkan perdarahan sukar berhenti. Untuk mengurangi batuk dapat diberikan Codein 10 - 20 mg. Penderita batuk darah masif biasanya gelisah dan ketakutan, sehingga kadang -kadang berusaha menahan batuk. Untuk menenangkan penderita dapat diberikan sedatif ringan (Valium) supaya penderita lebih kooperatif. Memperbaiki Keadaan Umum Penderita. Bila perlu dapat dilakukan : Pemberian oksigen. Pemberian cairan untuk hidrasi. Tranfusi darah. Memperbaiki keseimbangan asam dan basa. Menghentikan Perdarahan. Pada umumnya hemoptisis akan berhenti secara spontan. dalam kepustakaan dikatakan hemoptisis rata-rata berhenti dalam 7 hari. Pemberian kantongan es diatas dada, hemostatiks, vasopresim (Pitrissin)., ascorbic acid dikatakan khasiat nya belum jelas. Apabila ada kelainan didalam faktor - faktor pembekuan darah, lebih baik memberikan faktor tersebut dengan infus. Di Biro Pulmologi RSAL Mintohardjo masih memberikan Hemostatika (Adona & Decynone) intravena 3 - 4 x 100 mg/ hari atau per oral. Walaupun khasiatnya belum jelas, paling sedikit dapat memberi ketenangan bagi pasien dan dokter
Di

Batuk darah yang disebabkan oleh tuberculosis paru 88% yang disebabkan bronkiektasis 12%. Cermin Dunia Kedokteran No. 33, 1984 31

di RS Persahabatan. Pada seri ini penderita laki-laki (67%) lebih banyak dari peilderita perempuan (33%). Ini mungkin disebabkan oleh karena lebih aktif dan lebih mudah untuk dianjurkan masuk perawatan. Di dalam kepustakaan dikatakan batuk darah akan berhenti dengan spontan dalam waktu 7 hari. Pada seri ini perdarahan berhenti rata-rata antara 5 - 10 hari. Nampaknya pemberian hemostatika tidak banyak menolong. Angka kematian dari batuk darah masif didalam kepustakaan sebesar 32% (Nir wan Arif). Angka kematian di Biro Pulmonologi RSMTH sedikit lebih rendah 20%. KESIMPULAN Penderita batuk darah yang dirawat di Biro Pulmonologi RSMTH dalam periode 1 Januari 1982 s/d 31 Desember 1982 sebanyak 26% dari seluruh penderita yang dirawat. 24% daripadanya adalah penderita batuk darah masif. Umur penderita batuk darah terbanyak berkisar antara 31 - 40 tahun. Seks Ratio laki-laki 67%, wanita 33%. Lamanya batuk darah rata-rata antara 5 - 7 hari. Pemberian kemostatika nampaknya tidak banyak memberikan manfaat bila dibandingkan dengan kepustakaan. Angka kematian batuk darah di Biro Pulmonologi RSMTH (20%) lebih rendah dari RS Persahabatan (32%). Penyebab batuk darah 87% TBC paru, 13% bronkiektasis. PEMBICARAAN Jumlah penderita batuk darah yang dirawat dalam periode 1 Januari 1982 s/d 31 Desember 1982 = 82 orang (26% dari seluruh penderita yang dirawat di Biro Pulmonologi RSMTH). Jumlah penderita batuk darah masif yang dirawat 20 orang (24% dari seluruh batuk darah yang dirawat). Penderita batuk darah/batuk darah masif umumnya masih dalam usia produktif (31 - 40 tahun). Ini sesuai dengan kepustakaan dan sesuai dengan yang ditemukan oleh Nirwan Arif
KEPUSTAKAAN 1. Arief N Hemoptysis Simposium Darurat Pam Jakarta; 3 - 11 - 1982. 2. CRR DT. Hemoptysis Medclin Nort Amer 1954; 38 : 945 - 948. 3. Hinshow. Deseases Of the Chest, 3 th Ed SAunders Co Philadelphia 1973;635 - 651. 4. Middleton JR. Death Producing Hemoptysis In Tuberculosis. 1977; Chest 72 : 601, 604. 5. Pety TL. Intensive and Rehabilitatif Respiratory care 2 nd Ed 1974. 6. Shibel EM. Respiratory Emergencies Mosby Co 1972. 7. Smiddy. The Evaluation of Hemoptysis Through Bronchoscopy. 1973; Chest, 64 : 158, 162.

32

Cermin Dunia Kedokteran No. 33, 1984

Penatalaksanaan Amebiasis
Staf Bagian Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar

dr. Ketut Ngurah

PENDAHULUAN 1,2 Kasus amebiasis masih sering dijumpai, baik di Minik-klinik maupun dalam praktek sehari-hari. Tetapi penanganannya kadangkala kurang memadai, sehingga kemungkinan akan terjadi komplikasi sangat besar. Pembagian amebiasis secara klinis : (1) amebiasis asimtomtomatik, (2) amebiasis simtomatik. Yang simtomatik dibagi lagi : (a). amebiasis intestinalis, (b). amebiasis ekstraintestinalis. Amebiasis intestinalis bisa berupa disentri, kolitis nondisenteri, ameboma dan apendistitis amebika. Sedangkan amebiasis ekstraintestinalis yang paling sering adalah abses hati amebika. Dalam menangani amebiasis, beberapa faktor perlu diperhatikan yakni : (1). ketelitian dalam mendiagnosis secara laboratorim, (2). ketepatan dalam memilih obat, dan (3). penerapan prinsip-prinsip terapi secara benar. Jika diagnosisnya tepat dan pengobatannya memadai, kasus-kasus amebiasis dapat disembuhkan dengan baik. PENATALAKSANAAN 1. Diagnosis 3,4 Diagnosis amebiasis ditegakkan berdasarkan gejala -gejala klinis dan pemeriksaan laboratorim. Oleh karena gejala Minis amebiasis mirip penyakit-penyakit lain, diagnosis sulit ditegakkan hanya berpedoman pada gejala klinisnya. Seperti misalnya disenteri basiler, Crohn 's disease (regional enteritis) dan kolitis ulseratif nonspesifik, gejalanya mirip amebiasis intestinalis akut (disenteri akut). Ameboma sering dikacaukan oleh tumor-tumor di usus besar, dan abses hati amebika sering dikelirukan oleh tumor-tumor hepar. Karena itu, diagnosis laboratorim sangat memegang peranan. Untuk mendiagnosis amebiasis pada dasarnya dapat dikerjakan pemeriksaan mikroskopis dari bahan tinja, aspirasi, kerokan maupun biopsi. Selain itu, pemeriksaan serologis juga

bisa membantu menegakkan diagnosis. Termasuk pemerik-. saan mikroskopis yaitu sediaan basah langsung, konsentrasi dan pengecatan permanen. Namun, yang paling praktis dan murah adalah sediaan basah langsing. Sedian basah langsung (direct smear) bisa dibuat dari tinja encer ataupun tinja padat. Untuk tinja encer dibuat sediaan dengan larutan garam fisiologik (NaCl 0,9%). Yang dicari ialah trofozoit Entameba histolytica dalam keadaan bergerak. Tanda-tandanya : gerakan aktif, progresif, ke arah tertentu (direktional), pseudopodia dan ektoplasma jernih, inti tak jelas. Ciri yang paling menyokong ialah bila ada eritrosit di dalam sitoplasmanya dengan ukuran bervariasi, membias cahaya dan berwarna kehijauan (trofozoit hematofagos). Trofozoit hematofagos merupakan ciri patognomonis pada disenteri amebik akut. Namun harus teliti membedakannya dengan Entameba coli dan makrofag yang berisi eritrosit. Pada tinja padat, pemeriksaan bisa dikerjakan dengan memakai garam faal, tapi lebih baik menggunakan larutan lugol. Tujuannya ialah untuk menemukan kista E. histolytica. Dalam larutan garam fisiologik, kista nampak sebagai sel bulat, membias cahaya, inti tidak jelas. Jika ada badan kromotoid, kelihatan seperti bentuk cerutu. Sedangkan dalam larutan lugol, kista berwarna coklat kekuningan dan struktur inti tampak lebih jelas. Sebelum melakukan pemeriksaan mikroskopis, persyaratan dalam pengambilan specimen (bahan sediaan) penting diperhatikan. Tinja. harus ditampung dengan tempat yang bersih dan kering. Tidak kering. Tidak boleh tercampur air atau kencing, karena akan merusak bentuk trofozoit. Penderita yang mendapat pengobatan barium, bismuth maupun antibiotika, tinjanya harus diperiksa sebelum atau satu minggu sesudah pengobatan. Juga pemberian kaolin, antasida, magnesiumhidroksida, harus dihindari menjelang pemeriksaan. Tinja encer (tipe disenteri) harus diperiksa secepatnya, paling lambat 30 menit setelah tinja dikeluarkan, agar trofozoit
Cermin Dunia Kedokteran No. 33, 1984 33

tidak berubah bentuk. Bila pemeriksaan terpaksa ditunda, tinja bisa diawetkan dengan polivinil alkohol (PVA) atau mertiolat iodin formaldehid (MIF). Kedua pengawet ini sangat baik untuk trofozoit dan kista. Formalin 5% juga baik untuk mengawetkan kista dalam tinja padat. Korelasi klinis amebiasis dengan bentuk-bentuk ameba dalam tinja penderita, perlu dipahami dalam mendiagnosis secara mikroskopis, yakni : a. Pembawa ameba tanpa gejala : tinja pada dan mengandung kista. Fungsi usus normal. b. Pembawa ameba dengan gangguan perut : tinja lembek dan mengandung ameba-ameba kecil. c. Disenteri akut : tinja encer dengan darah dan lendir tanpa pus, mengandung ameba-ameba hematofagos. d. Amebiosis ringan atau kronis : tinja bisa padat atau lembek, mengandung kista atau ameba-ameba kecil. Secara global, pada kasus-kasus amebiasis mungkin didapatkan : (a). penderita dengan tinja encer yang mengandung trofozoit-trofozoit hematofagos, (b) penderita dengan tinja lembek pada kasus ringan atau kronis, mengandung trofozoit atau kista, dan (c). penderita dengan tinja padat, asimtomatik, mengandung kista. Penderita ini disebut pembawa kista (cyst passer). Pada kasus peralihan, mungkin bentuk kista dijumpai bersama trofozoit di dalam tinja. Diagnosis lebih dapat dipercaya bila pada pemeriksaan ditemukan E. histolytica, baik trofozoit maupun kistanya. Jika ameba tidak ditemukan, gejala-gejala klinis dan pemeriksaan serologik bisa membantu menegakkan diagnosis terutama pada abses hati amebika. 2. Pengobatan 37 Tujuan pengobatan amebiasis ialah utnuk mencapat kesembuhan baik secara Minis maupun parasitologis, dalam arti gejala-gejala klinisnya hilang dan penderita bebas dari ameba. Amebiasis dengan gejala, harus diobati dengan baik, untuk membunuh trofozoit-trofozoit dalam lumen dan jaringan serta mencegah komplikasinya. Begitu pula pembawa kista, harus diobati untuk mencegah penularan atau kemungkinan menjadi amebiasis akut, ataupun komplikasi ke hati. Untuk amebiasis berat, selain obat amebisida, diperlukan pengobatan suportif yaitu pemberian cairan, elektrolit dan kadang-kadang darah untuk memperbaiki keadaan umum. Pertama diberikan obat amebisida jaringan yang efektif, kemudian diikuti obat amebisida yang bekerja di lumen. Pemakaian emetin masih dianjurkan karena efektif terhdap trofozoit dalam jaringan dan juga cepat mengatasi diarenya. Selain itu, sangat membantu pada keadaan kritis atau penderita tidak bisa menelan. Pada amebiasis asimtomatik, ameba-ameba berada di lumen usus. Yang masuk kejaringan sedikit sekali dan superfisial sehingga tidak ada gangguan fungsi usus. Pilihan pertama ialah obat amebisida yang bekerja di lumen. Dapat pula ditambahkan obat amebisida jaringan untuk mencegah komplikasi ke hati. Sedangkan amebiasis ringan diobati dengan amebisida yang bekerja di lumen dan jaringan. Untuk mencegah komplikasi ke hati biasanya dipakai klorokuin.
34 Cermin Dunia Kedokteran No. 33, 1984

Macam-macam obat amebisida menurut tempat kerjanya : a. Amebisida bekerja langsung, terutama di lumen usus. derivat kuinolin : diiodohidroksikuin, iodoklorhidroksikuin, kiniofon. derivat arsenikal : karbason, asetarsol, glikobiarsol. golongan amida : klefamid, diloksanid furoat. alkaloid : emetin bismuth-iodid. b. Amebisida bekerja tak langsung, di lumen usus dan dinding usus melalui pengaruhnya terhadap bakteri. Contohnya : tetrasiklin, eritromisin dB. c. Amebisida jaringan. bekerja terutama di dinding usus dan hati : emetin, dehidroemetin. bekerja terutama di hati : klorokuin. d. Amebisida bekerja di lumen dan jaringan. Derivat-derivat nitroimidazol : niridazol, metronodazol, tinidazol, ornidazol dan seknidazol (turunan terbaru). Dalam penanganan amebiasis, efek samping obat-obat perlu diperhatikan. Emetin dan dehidroemetin toksik terhadapat otot jantung. Sedangkan iodoklorhidroksikuin, pemakaiannya dilarang secara resmi di berbagai negara, karena menyebabkan Subakut Mielo Optik Neuropati (SMON). Derivatderivat nitroimidazol, khasiatnya sangat baik untuk semua jenis amebiasis, namun akhir-akhir ini terbukti mempunyai efek karsinogenik pada mencit dan mutagenik pada bakteri. Walaupun demikian, tidak perlu dikhawatirkna. Hal itu justru menekankan kepada kita agar lebih teliti dalam mendiagnosis amebiasis dan lebih berhati-hati dalam memberikan pengobatan. Regimen-regimen obat untuk amebiasis menurut keadaan Minis masing-masing : a. Amebiasis asimtomatik. Pilihan utama : diloksanid furoat 500 mg tiga kali sehari selama 10 hari, atau diiodohidroksikuin 650 mg tiga kali sehari selama 21 hari. Alternatif : diloksanid furoat atau diiodohidroksikuin dengan dosis dan waktu seperti di atas, ditambah oksitetrasiklin 250 mg empat kali sehari selama 10 hari, ditambah klorokuin 500 mg (garam) dua kali sehari selama 2 hari, kemudian 250 mg dua kali sehari selama 12 hari. b. Amebiasis intestinalis ringan (disenteri ringan). Pilihan utama : diloksanid furoat, ditambah oksitetrasiklin dan klorokuin, dengan dosis dan waktu seperti di atas. Alternatif : metronidazol 750 mg tiga kali sehari selama 10 hari, diikuti diloksanid furoat 500 mg tiga kali sehari selama 10 hari, atau diiodohidroksikuin 650 mg tiga kali sehari selama 21 hari. c. Amebiasis intestinalis berat (disenteri berat) Pilihan utama : emetin 1 mg/kg SC atau IM (maksimum 65 mg sehari), atau dehidroemetin 1 mg/kg SC atau IM tiap hari (maksimum 100 mg sehari). Lama pengobatan biasanya 3 - 5 hari, maksimum 10 hari, ditambah diiodohidroksikuin 650 mg empat kali sehari selama 21 hari, atau diloksanid furoat 500 mg tiga kali sehari selama 10 hari, diikuti klorokuin 500

mg (garam) dua kali sehari selama 2 hari, kemudian 250 mg RINGKASAN dua kali sehari elama 12 hari. Alternatif : metronidazol 750 Telah dibicarakan penatalaksanaan amebiasis secara umum. mg tiga kali sehari selama 10 hari, diikuti diiodohidroksikuin Diagnosik ditegakkan berdasarkan gejala -gejala klinis dan pe650 mg empat kali sehari selama 21 hari, atau diloksanid meriksaan laboratorium. Pemeriksaan mikroskopis lebih mefuroat, 500 mg tiga kali sehari selama 10 hari. megang peranan. Bila ditemukan E. histolytica, diagnosik d. Granuloma amebika (ameboma) lebih dapat dipercaya. Andaikata pemeriksaan mikroskopis Pilihan utama : metronidazol, diikuti diiodohidroksikuin, hasilnya tetap negatif, namun gejala klinis amat menyokong, atau diloksanid furoat dengan dosis dan waktu sama seperti maka pemeriksaan serologik bisa membantu menegakkan diagad c. Alternatif : emetin atau dehidroemetin, ditambah oksi- nosik. tetrasiklin dan diidohidroskuin, atau dioksanid furoat dengan Kalau pengobatannya memadai, amebiasis pada umumnya dosis dan waktu seperti ad c. dapat sembuh dengan baik. Prinsipnya ialah mencapai kesembuhan baik secara klinis maupun parasitologik, artinya gejala e. Abses hati amebika Pilihan utama : metronidazol 750 mg tiga kali sehari selama 10 klinisnya hilang dan penderita bebas dari ameba. Untuk memehari, diikuti diiodohidroksikuin 650 ng empat kali sehari se- nuhi tujuan ini, setelah terapi perlu dilakukan pemeriksaan lama 21 hari, atau diloksanid furoat 500 mg tiga kali sehari lanjutan secara teliti dan disiplin. selama 10 hari, ditambah klorokuin 500 mg (garam) dua kali KEPUSTAKAAN sehari selama 2 hari, dilanjutkan 250 mg dua kali sehari selama 1. Lotanio AA. Treatment of Amoebiasis. Reminders and Pitfalls. 12 hari. Alternatif : emetin 1 mg/kg SC atau IM (maksimum Medical Progress. 1976; Vol 3, No 2 : 13. 65 sehari) selama 10 hari, atau dehidroemetin 1 mg/kg IM atau 2. Wilcocks, Manson-Bahr. Manson's Tropical Diseases. Seventeenth SC selama 10 hari (maksimum 100 mg sehari), ditambah kloed. London : The English Language Book Society and Bailliere Tindall 1972; 162. rokuin 500 mg (garam) dua kali sehari selama 2 hari, kemudian 250 mg dua kali sehari selama 26 hari, ditambah diiodo- 3. dr. Putra RT. Amoebiasis Intestinalis. Naskah Lengkap Seminar Penyakit Tropis. Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD Denpasar: hidroksikuin 650 mg tiga kali sehari selama 21 hari, atau dilok4 Juni 1983; 217. sanid furoat 500 mg tiga kali sehari selama 10 hari. 4. dr. Sutisna P dkk. Diagnosis dan Pengobatan Amoebiasis Usus. Meskipun metronidazol efektif pada pemakaian secara tunggal, namun perlu diikuti pemberian obat yang bekerja di lumen seperti diloksanid furoat dan diiodohidroksikuin. Belakangan ini, pemakaian seknidazol (Flagentyl) untuk amebiasis semakin populer. Telah banyak dicoba, baik pada amebiasis intestinalis maupun amebiasis hepatik. Nampaknya punya sedikit keuntungan dibandingkan dengan metronidazol, karena seknidazol bisa diberikan dalam dosis tunggal sehari atau dua hari. Dosisnya : 2 gram dosis tunggal untuk amebiasis intestinalis, dan 500 mg tiga kali sehari selama 5 hari pada amebiasis hepatik. Dengan pengobatan yang memadai, prognosis amebiasis intestinalis pada umumnya baik. Tetapi kalau terjadi komplikasi seperti perdarahan hebat, abses otak atau abses hati yang pecah, prognosisnya menjadi buruk. 3. Pemeriksaan lanjutan (follow up) 3,4 Setelah pengobatan, pada amebiasis intestinalis perlu pemeriksaan tinja minimal 6 kali dengan interval beberapa hari. Pemeriksaan tinja setelah pemberian urus-urus akan memberikan hasil lebih baik. Sesudah 3 bulan, dilakukan pemeriksaan ulang tinja. Kalalu perlu dapat dikerjakan pemeriksaan endoskopi. Pada amebiasis hepatik, selain pemeriksaan tinja juga dilakukan pemeriksaan radiologis, dan bila fasilitas cukup, pemeriksaan serologis sangat membantu. 4. Pencegahan2 '3 Untuk mengurangi insiden amebiasis, dapat dilakukan usaha-usaha seperti berikut : (a). Mengobati pembawa ameba (carrier), (b). Meningkatkan kebersihan lingkungan dan individual serta kebersihan makanan dan minuman.
Naskah Lengkap Seminar Penyakit Tropis. Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD Denpasar: 4 Juni 1983; 94. 5. Bunnag D, Harinasuta T. Chemotherapy of Intestinal Parasites in Southeast Asia. The Southeast Asian Journal of Tropical Medicine and Public Health. September 1981; 12, 3, 422. 6. Goldsmith RSMd DMT & H. Infectious Diseases : Protozoal. Current Medical Diagnosis & Treatment. Lange Medical Publications : 1978; 862. 7. Hunter, Swartswelder, Clyde. Tropical Medicine. Fifth Ed. Philadelphia, London-Toronto : W.B. Saunders Company 1976; 323.

Ralat
Pada CDK No. 32/84 terdapat salah cetak sebagai berikut : Hal 56 : Kolom 1, alinea 4 baris ke-3. Dalam artikel Pengobatan dengan kortikosteroid yang berbunyi : kortison 25 mg seharusnya : kortison 25 Hal.58 : kolom 2 pada Tabel DOSIS KORTIKOSTEROID yang berbunyi : ) sindrom Ramsay-Hunt mencegah neuralgia posher- ) 3 X 10 mg prednison petik pada usia lanjut ) seharusnya 3 X 20 mg prednison sindrom Ramsay-Hunt mencegah neuralgia posherpetik pada usia lanjut 3 X 10 mg prednison Demikian kesalahan diperbaiki.

Cermin Dunia Kedokteran No. 33, 1984

35

Berbagai Jenis Keracunan Yang Dirawat Pada Empat Rumah Sakit di Palembang Selama Periode 3% Tahun (Januari 1980 sampai dengan Juni 1983)
dr. Sjamsuir Munaf, dr. Syahril Aziz, dr. Jusup Chaidir, dr. Leilani F.Y. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, Palembang

PENDAHULUAN Yang dimaksud dengan keracunan (Poisoning) dalam penelitian ini ialah suatu keadaan penyakit akut yang diakibatkan oleh obat atau zat kimia lain yang masuk/mengenai tubuh manusia secara berlebihan (over dosage) baik dengan sengaja maupun tidak, yang dapat membahayakan jiwa. Keracunan dapat di timbulkan berbagai macam zat yang terdapat dalam lingkungan sehari-hari : seperti obat-obatan, makanan, pestisida dan lain-lain. Sebab-sebab terjadinya keracunan ini dapat dibagi atas 3 golongan yaitu keracunan karena kecelakaan/tidak di sengaja, keracunan karena di sengaja untuk maksud bunuh diri dan keracunan kriminil atau tindak kejahatan. Untuk meningkatkan usaha dalam pencegahan maupun dalarn penanggulangan kasus-kasus keracunan serta lebih meningkatkan kewaspadaan akan bahaya penyakit -penyakit atau kematian perlu adanya data-data tentang keracunan, terutama di Palembang khususnya dan di Indonesia umumnya; dimana data statistik tersebut di Indonsia masih kurang. 1 Insiden keracunan di beberapa rumah saint di Jakarta selama periode 1971-1972 dilaporkan sebesar 34 per 10.000 penderita yang dirawat dengan angka kematian 4,2%.1 Dari 437 kasus keracunan yang dilaporkan, penyebab utama yang terbanyak adalah jengkol dan minyak tanah di susul oleh barbiturat dan salisilat, sedangkan pestisida menduduki tempat kelima. 1 Dalam penelitian dari Bagian Penyakit Dalam Rumah Sakit DR. Karyadi Semarang selama periode 1972 -1974 dilaporkan dari 100 penderita akibat keracunan yang dirawat terlihat bahwa penyebab utama dari keracunan adalah pestisida (25%), obat penenang (24%), salisilat (7%), keracunan makanan (19%) dan zat kimia lain (26%). Latar belakang keracunan ialah tidak di sengaja (36%), bunuh diri (64%) sedangkan keracunan dengan tindakan kriminil tidak di dapatkan. 2 Dalam penelitian pada dua Rumah Sakit di Medan selama 5
36 Cermin Dunia Kcdokteran No. 33, 1984

tahun (1963 - 1968) terdapat 197 kasus keracunan yang mana 6 diantaranya meninggal, sedangkan penyebab yang terbanyak adalah minyak tanah (41%), jamur (16%) dan keracunan singkong (12%). 3 Bertitik tolak dari hal-hal diatas dan makin banyak kasuskasus keracunan yang terjadi di Indonsia umumnya dan di Palembang khususnya maka di lakukanlah penelitian ini, untuk mengetahui jumlah penderita keracunan di pelbagai Rumah Sakit di Palembang, dan jenis racun yang digunakan. BAHAN DAN CARA KERJA Penelitian di kerjakan secara retrospektif, pada penderita rawat di 4 Rumah Sakit di Palembang. Dari semua status penderita yang dirawat di setiap Rumah Sakit dipisahkan statusstatus penderita dengan keracunan mulai 1 Januari 1980 s/d 30 Jun 1983. Data-data yang diperoleh dari status penderita keracunan di pindahkan kedalam Kartu Data untuk kemudian diolah secara tabulasi. Yang di teliti ialah semua kasus-kasus keracunan, baik yang disebabkan oleh obat-obat dalam dosis berlebihan, maupun oleh zat-zat kimia lain yang bersifat racun. Jadi dalam penelitian ini tidak dimasukkan reaksi -reaksi alergi, seperti shok anafilaktik alergi terhadap makanan dan lain-lain. Latar belakang keracunan dibedakan atas 3 bagian yaitu karena kecelakaan (tidak sengaja), ingin bunuh diri, dan tindak kejahatan (kriminal). Disamping itu distribusi umur, jenis kelamin, jenis bahan penyebab dipisahkan secara lebih terperinci. HASI L Jumlah penderita dengan keracunan yang dirawat di 4 rumah sakit selama periode 1980-1981, 1982, 1983 (6 bulan) berturut-turut adalah : 43,22,70 dan 46 dengan jumlah total 181 kasus. Frekwensi keracunan adalah 13 per 10.000 pende-

Cermin Dunia Kedokteran No. 33. 1984

37

Latar belakang terjadinya keracunan yang terbanyak adalah karena tidak kesengajaan/kecelakaan, yaitu 116 kasus (65%), selebihnya karena ingin bunuh din 65 kasus (35%) sedangkan karena tindak kriminil tidak di dapatkan. Keracunan akibat kecelakaan banyak terjadi berturut-turut adalah pada kelompok umur 05 tahun (30 kasus), 30 39 tahun (22 kasus), 20 29 tahun (19 kasus), 10 19 tahun (18 kasus). Sedangkan keracunan dengan latar belakang ingin bunuh diri paling banyak terjadi pada umur 20 29 tahun (35 kasus), umur 10 19 tahun (22 kasus). (Tabel 5.).

Berdasarkan jenis "poisons" yang digunakan maka terlihat bahwa pestisida termasuk disini golongan karbamat (Baygon dan Startox) menduduki pe;sentase tertinggi (27,62%) kemudian berturut-turut disusul dengan keracunan bahan-bahan kimia (24,31%), jengkol (16,57%), " makanan" (15,47%), obatobatan (14,36%) dan keracunan yang tidak jelas penyebabnya (1,66%). DISKUSI
Dari hasil penelitian ini terlihat bahwa penyebab keracunan yang paling banyak adalah pestisida golongan karbamat (Baygon/Startox) terutama untuk usaha bunuh diri. Menurut Goodman and Gilman penyebab keracunan yang paling sering adalah golongan barbiturat. 4 Darmansyah, I, dkk., 1972; dalam penelitiannya pada beberapa Rumah Sakit di Jakarta selarna periode 1971 - 1972 melaporkan bahwa jengkol dan minyak tanah merupakan penyebab utama keracunan.1 Sugiri dkk., 1978, melaporkan bahwa kasus-kasus keracunan yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam Rumah Sakit DR. Karyadi Semarang periode 1972 - 1974 ternyata pestisida dan obat penenang merupakan penyebab utama keracunan. 2 Berbeda dengan Jo Kian Tjaij dkk., 1971, yang meneliti dua Rumah Sakit di Medan mengenai kasus-kasus keracunan maka terlihat sebagian besar disebabkan oleh minyak tanah dan jamur. 3 Melihat hasil penelitian diatas maka kemungkinan pemakaian pestisida sebagai usaha bunuh diri pada 3 tahun ini menunjukkan tendensi meningkat, walaupun faktor ke tidak sengajaan juga tidak bisa dikesampingkan. Hal ini kemungkinan besar disebabkan karena pemakaian pestisida ini sudah sangat
38 Cermin Dunia Kedokteran No. 33, 1984

meluas dan mudah didapat di mana korban mengetahui bahwa pestisida golongan karbamat ini sering dipakai untuk usaha bunuh diri. Penderita mungkin mengetahui dari teman, tetangga, media massa dan lain-lain; terutama terjadi pada dewasamuda yang emosinya masih labil atau karena faktor sosial lainnya seperti putus cinta, tidak lulus ujian ataupun keadaan keluarga yang tidak harmonis. Keracunan bahan kimia dan jengkol terlihat masih menduduki tempat kedua dan ketiga serta hampir semua kasus tersebut termasuk dalam kelompok ketidak sengajaan. Keracunan "makanan " dan obat-obatan menduduki urutan keempat dan kelima, yang mana seperti sebelumnya hamnir semua kasus termasuk dalam kelompok tidak sengaja. "Keracuan-makanan" , mungkin karena ma memang sudah kanan tersebut bersifat racun atau menjadi beracun karena pengaruh -pengaruh tertentu dari luar, misalnya kontaminasi Clostridium botulinum. Keracunan sebagai akibat obat -obatan bila dibandingkan dengan di Amerika Serikat yang pada tahun 1976 menunjukkan sebagian besar (60%) oleh barbiturat, sedangkan pada penelitian ini faktor obat -obatan tidak banyak sebagai penyebab utama keracunan. Mungkin ini terjadi karena umumnya obat-obat hampir di dapat dari dokter atau paramedis sehingga angka keracunan obat-obatan tidak tinggi. Adanya keracunan obat dapat karena korban mengetahui dari teman, dari obat-obatan promosi, atau karena salah dalam cara pemakaiannya. Umumnya keracunan obat tergolong dalam kelompok tidak sengaja. Minyak tanah dan bahan-bahan kimia lainnya umumnya masuk dalam kelompok tidak sengaja karena kelalaian dari korban sendiri. Kelompok tindak kejahatan tidak di temukan dalam penelitian ini. Di tinjau dari distribusi umur terlihat bahwa umur 20 - 29 tahun dan umur 10 - 19 tahun menduduki tempat teratas, disusul oleh umur 0 - 5 tahun dan umur 30 - 39 tahun. Latar belakang keracunan terutama karena pestisida yang tampak pada umur 20 - 29 tahun dan 10 - 19 tahun lebih banyak kearah kelompok bunuh diri. Sedangkan umur 30 - 39 tahun dan umur 0 - 5 tahun hampir sebagian besar karena kecelakaan. Secara keseluruhan tidak berbeda banyak dibandingkan dengan penelitian di Jakarta tahun 1971 - 1972.
KESIMPULAN

Jumlah kasus keracunan yang diternukan pada 4 Rumah Sakit di Palembang selama periode 3 tahun (Januari 1980 Juni 1983) adalah 181 kasus, dimana angka rata-rata kematian kasus sebesar 6% dan frekwensi keracunan adalah 13 dari 10.000 penderita yang dirawat. Jumlah Pria dan Wanita hampir sama banyak (1:1,03). Penyebab keracunan yang terbanyak adalah pestisida (27,62%), kemudian di susul oleh bahan-bahan kimia lainnya

(24,31%), jengkol (16,57%), "makanan " (15,47%), obat-obatan (14,36%), dan keracunan yang tidak dapat di identifikasi (1,66%). Keracunan akibat kecelakaan 64% dan untuk maksud bunuh diri sebanyak 36%, sedangkan keracunan untuk maksud pembunuhan tidak di dapatkan. Hampir semua kelompok usaha bunuh diri terdapat pada usia kurang dari 29 tahun dengan distribusi umur terbesar pada usia 20 - 29 tahun dengan zat racun yang digunakan umumnya adalah pestisida. Keracunan yang tidak sengaja terdapat pada semua usia dengan distribusi umur terbesar pada usia 10 - 19 tahun dengan 0 - 5 tahun yang sebagian besar disebabkan oleh bahan kimia dan "makanan" UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih yang sebesar - besarnya kami sampaikan kepada Direktur Rumah Sakit Umum Palembang, Direktur Rumah Sakit Tjekyan, Direktur Rumah Sakit AK. Gani dan Direktur Rumah Sakit RK. Charitas dan juga pada Bagian Ilmu Kese-

hatan Anak dan Bagian Ilmu Yenyakit Dalam RSU/FK. UNSRI, atas segala bantuan dan fasilitas yang di berikan kepada kami sehingga memungkinkan terlaksananya penelitian ini. Tak lupa kami ucapkan juga terima kasih kepada dr. Suryadi Tjekyan, DTM&H, MPH, yang telah membantu penyempurnaan kertas kerja ini.
PERPUSTAKAAN 1. Darmansyah I, Handoko T, Sintasari M. Poisoning admissions in Jakarta Hospitals during 1971. Obat dan Pembangunan Masyarakat Sehat, Kuat dan Cerdas, Kumpulan Naskah Konas IKAFI II, Jakarta 1974, Bagian Farmakologi FKUI 1978; 469 481. 2. Sugiri, et al. Macam-macam intoksikasi di Bagian Penyakit Dalam Rumah Sakit DR. Karyadi 1972 - 1974. Obat dan Pembangunan Masyarakat Sehat, Kuat, Cerdas. Bagian Farmakologi FKUI, 1978; 452 455. 3. Jo Kian Tjaij et al. Accidental oral Poisonings in two hospitals in Medan. 1971. Paediatrica Indonesia 1971; 11 : 47. 4. Goodman LS, Gilman A. The Pharmacological Basis of Therapeutics, 6th ed., New York : MacMillan Pub Co., 1980; 1607 1608. Cermin Dunia Kedokteran No. 33, 1984 39

Peranan Prostaglandin Pada Ductus Arteriosus


dr Dasril Daud dan dr B.J.M.Ch. Pelupessy Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang

PENDAHULUAN Ductus arteriosus seperti halnya dengan foramen ovale selama masa intrauterin tetap terbuka dan merupakan struktur yang melaksanakan sirkulasi janin. Ternyata tetap terbukanya ductus arteriosus itu bukan akibat strukturnya yang pasif, tetapi pengaruh suatu bahan yang aktif. 1,2 Bahan ini kemudian dikenal sebagai prostaglandin. Daya kerja prostaglandin pada ductus arteriosus mula-mula dilaporkan oleh Coceani dan Olley pada tahun 1972. Ia mempunyai daya relaksans yang potent terhadap ductus arteriosus baik secara invitro maupun secara invivo. 1,3 SEGI ANATOMIS, FISIOLOGIS DAN HISTOLOGIS DUCTUS ARTERIOSUS Secara anatomis ductus arteriosus Botalli pada jantung janin mempunyai arti yang penting sebab menghubungkan bifurcatio a. pulmonalis dengan aorta descenden dekat percabangan a. subclavia kiri. Secara fisiologis sebagian besar darah output ventrikel kanan (90%) yang tiba dalam a. pulmonalis akan mengalir melalui ductus tersebut kedalam aorta descendens untuk seterusnya memperdarahi alat-alat dalam perut dan anggota gerak bawah. Jadi ductus ini pada masa intrauterin mempunyai peranan penting dalam sirkulasi janin. 1,2 Dalam keadaan normal segera setelah lahir terjadi penutupan ductus arteriosus secara fungsionil yaitu konstriksi ductus. Ini terjadi karena 1,3 (a) kadar prostaglandin menurun, (b) tekanan oksigen meningkat. Dengan menurunnya kadar prostaglandin berarti daya relaksans berkurang sampai menghilang terhadap ductus dengan akibat terjadi konstriksi. Karena dinding ductus mengandung filament-filament kontraktil yang sangat peka terhadap oksigen, maka peninggian tekanan oksigen segera setelah lahir akan menyebabkan ductus menutup. Penutupan fungsionil menjadi sempurna pada 10 - 15 jam setelah kelahiran, sementara itu penutupan secara anatomis mulai berlangsung. Proses ini berlangsung terus dan penutupan permanen tercapai ketika
40 Cermin Dunia Kedokteran No. 33, 1984

bayi berumur 2 - 3 minggu. Akhirnya ductus berobliterasi menjadi ligamentum arteriosus Botalli. Secara histologis ductus arteriosus menyerupai arteri sedang (arteri type muscularis). Berbeda dengan a. pulmonalis dan aorta maka ductus arteriosus mengandung lebuh banyak serabut otot sirkuler dan sedikit sekali serabut-serabut elastik. Gambaran histologis ductus arteriosus dibagi dalam 4 stadium 4,5 Stadium I : Berlangsung pada masa intrauterin. Dinding ductus terdiri atas 3 lapisan, dari dalam ke luar : 1). tunika intima tipis lamina elastika interna yang berombak dan teratur 2). tunika media : serabut otot serabut elastik sel intermediet dan perisit yang mengandung filament kontraktil. 3). tunika adventitia/serosa.

Stadium II : Mulai terjadi penutupan fungsionil : konstriksi dinding penebalan-penebalan kecil pada tunika intima (bantalan intima).

sebagai dilator yang potent. Ini dibuktikan pada penelitian tahun-tahun terakhir yaitu 2,4,6-9 kadar prostaglandin pada janin jauh lebih tinggi daripada neonatus neonatus dengan ductus arteriosus yang masih terbuka mempunyai kadar prostaglandin yang lebih tinggi daripada neonatus normal pada umur yang sama ternyata pemberian prostaglandin synthetase inhibitor pada janin menyebabkan penutupan ductus arteriosus dalam kandungan ductus arteriosus yang telah konstriksi dapat membuka kembali setelah pemberian prostaglandin.

PGE dibentuk pada berbagai jaringan tubuh terutama paruparu, ginjal, jantung plasenta, dan ductus arteriousus sendiri. PGE dimetabolisir dalam paru-paru (90%) oleh enzim PG dehidrogenase dan PG reduktase. Kadar PGE sesaat sebelum lahir ialah 1400 pg/ml. Segera setelah lahir kadarnya menurun dan pada 48 - 72 jam kemudian sudah menjadi 200 pg/m1. 9 Penurunan kadar terjadi karena katabolisme PGE yang meningkat di paru-paru yang sudah berkembang/berfungsi, dan karena produksi PGE yang berkurang. Walaupun diketahui PGE secara langsung menyebabkan vasodilatasi ductus arteriosus dengan jalan menghilangkan tonus dindingnya, namun mekanisme kerjanya belum diketahui dengan pasti. Diduga PGE bekerja pada filament -filament kontraktil yang terdapat pada tunika media dinding ductus, sehingga menghambat kesanggupan ductus untuk konstriksi. Selain itu PGE juga menghambat proliferasi sel fibroblast. 10 Pengaruh PGE ini tidak bergantung pada besarnya tekanan oksigen.7,10 PENGGUNAAN PGE DALAM KLINIK Secara normal, setelah lahir ductus arteriosus akan menutup secara spontan. Kadang -kadang pada beberapa keadaan ductus ini perlu dipertahankan tetap terbuka, misalnya pada Ductus dependent cardiac malformations. Disini ductus diperlukan untuk pengaliran darah ke sirkulasi paru-paru atau sirkulasi sistemik sambil menanti saat untuk pembedahan. Ductus dependent cardiac malformations dibagi dalam 2 kelompok : 1. Kelainan jantung bawaan dengan sirkulasi paru-paru tergantung pada ductus arterious misalnya : pulmonary stenosis, pulmonary atresis, tetralogy of Fallot dan lain-lain. 2. Kelainan jantung bawaan dengan sirkulasi sistemik tergantung pada ductus arteriosus misalnya : coarctatio aortae, interrupsi arcus aorta, aorta stenosis dan lain-lain. Penutupan dengan cepat ductus arteriosus pada bayi-bayi dengan kelainan -kelainan tersebut diatas akan mengakibatkan hipoksemia, gangguan perfusi dan asidemia progresif. Bila keadaan ini berlarut-larut maka akan menyebabkan kematian. Walaupun pengobatan pada bayi-bayi demikian ialah dengan tindakan pembedahan, namun tidak mungkin dikerjakan segera karena risiko kematian yang tinggi. Untuk mengatasi keadaan darurat tersebut dapatlah dipakai PGE. PGE merupakan dilator yang potent yang dapat membuka kembali ductus arteriosus yang telah konstriksi.
Cermin Dunia Kedokteran No. 33, 1984 41

Prostaglandin dibagi dalam beberapa kelompok berdasar pada jumlah ikatan rangkap pada sisi rantai-rantainya : Prostaglandin E (PGE), Prostaglandin F (PGF), Prostaglandin I (PGI), Prostaglandin A (PGA) dan lain-lain. Yang paling penting dalam mempertahankan terbukanya ductus arteriosus ialah prostaglandin E (PGE) yang berkerja

Bila PGE diberikan dengan cepat maka dapat terjadi peninggian saturasi oksigen, perbaikan perfusi perifer dan mengatasi asidemia. Pitlick 8 melaporkan bahwa pengaruh path ductus arteriosus mulai nampak 15 menit setelah pemberian PGE. Lewis7 menjumpai perbaikan hemodinamik dan metabolik 10 menit setelah pemberian PGE. Dosis PGE yang dianjurkan ialah 0.1 ug/kg BB/menit, diberikan secara kateterisasi melalui intravena atau intraaorta dan di tempatkan dekat muara ductus arteriosus, kemudian dapat dilanjutkan melalui vena perifer. 7 '8,11 Pemberian PGE hanya berhasil bila belum terjadi penutupan anatomis/permanen, sehingga dianjurkan pemberian sedini mungkin. 2 Lewis7 melaporkan bahwa PGE akan memberi hasil yang memuaskan bila diberikan pada bayi umur kurang daripada 4 hari. Ductus arteriosus dapat dipertahankan terbuka terus selama masih diberikan PGE dan akan mengalami konstriksi kembali 1 - 2 jam setelah pemberian PGE dihentikan. Selama 5 tahun terakhir telah banyak digunakan PGE pada kasus kasus Ductus dependent cardiac malformations. Perubahan histologis yang dapat ditemukan pada ductus arteriosus setelah pemberian PGE ialah Weakening effect berupa5 (a) laserasi tunika intima, (b) lamina elastika interna terputusputus, (c) tunika media : oedem dan komponennya terpisahpisah. Gambaran ini disebabkan oleh 2 faktor : regangan, dan derasnya aliran darah.
PDA DAN PG SYNTHETASE INHIBITOR

keadaan ini maka harus diusahakan ductus menutup. Hasil penyelidikan-penyelidikan menunjukkan bahwa PGE merupakan bahan yang bertanggung jawab untuk mempertahankan pembukaan ductus arteriosus pada janin dan neonatus preterm. Sekarang telah mulai diusahakan penutupan PDA secara farmakologis yaitu dengan menggunakan prostaglandin synthetase inhibitor (PG synthetase inhibitor) misalnya salisilat, indomethacin dan lain-lain. Bahan tersebut bekerja menghambat pembentukan PGE dengan akibat terjadi penutupan ductus arteriosus.
Kaplan1 melaporkan bahwa penutupan ductus arteriosus pada PDA mulai nampak 18 jam sejak pemberian indomethacin. Karena PG synthetase inhibitor dapat melewati plasenta, maka salisilat atau indomethacin yang diminum oleh ibu hamil dapat juga menyebabkan penutupan dini ductus arteriosus (pada janin) dan konstriksi arteriole -arteriole paru-paru. Keadaan ini dapat menimbulkan Postnatal persistent pulmonary hypertension. 2,3 RESPIRATORY DISTRESS DAN PDA

PDA ialah ductus arteriosus yang tidak menutup setelah kelahiran. Secara histologis ada 2 bentuk 4 : 1. PDA dengan gambaran histologis seperti pada stadium I. Bentuk ini hampir selalu ditemukan pada bayi-bayi preterm dengan kadar PGE yang masih tinggi. 2. PDA dengan gambaran histologis seperti pada stadium III. Pada keadaan ini terlihat adanya lamina elastika abnormal yang dinamakan lamina elastika subendothelial yaitu suatu lamina elastika tambahan yang tebal mengelilingi lumen dan terdapat pada permukaan tunika intima. Kelainan ini merupakan defek primer yang menghambat penutupan anatomis ductus arteriosus setelah lahir. Umumnya bentuk PDA ini terdapat pada bayi-bayi aterm dan disebut juga Permanent PDA.

Seringkali ductus arteriosus yang sudah konstriksi terbuka kembali pada bayi-bayi baru lahir dengan respiratory distress. Hal ini disebabkan oleh 2 faktor3 : kadar PGE meninggi, hipoksia berat. Pada keadaan respiratory distress kadar PGE meningkat karena katabolisme yang berkurang pada paru-paru dan produksi yang meninggi. Clyman 3 dalam penyelidikannya mendapatkan bahwa kadar PGE 5 - 7 kali lebih banyak pada neonatus dengan respiratory distress daripada neonatus normal pada umur yang sama. Pada keadaan hipoksia berat filament-filament kontraktil pada ductus arteriosus tidak mempunyai kesanggupan untuk konstriksi. Telah diketahui bahwa PDA dan respiratory distress sering ditemukan pada neonatus preterm. Dengan pemberian glucocorticoid (betamethasone) pada masa prenatal dapat mencegah/mengurangi frekwensi PDA pada bayi-bayi tersebut. 14 Ini disebabkan karena glucocorticoid : mengurangi kepekaan jaringan ductus arteriosus terhadap PGE mengurangi kemungkinan terjadinya respiratory distress merangsang maturasi ductus arteriosus.
KEPUSTAKAAN 1. Kaplan S, Gaum WE, Benzing G. Pharmacologic manupulation of the ductus arteriosus. The Pediatric Clinics of North America 1978; 25 : 898. 2. Stevenson JG. Patent ductus arteriosus. The Pediatric Clinics of North America 1978; 25 : 752. 3. Clyman RI, Mauray F, Roman C, Rudolph AM and Heymann MA. Circulating prostaglandin E2 concentrations and Patent ductus arteriosus in fetal and neonatal lambs. J Pediatr 1980; 97 : 455. 4. Gittenberger AC, Erbruggen I, Moulaert A, Harinck E. The ductus arteriosus in the preterm infant : Histologic and clinical observations. J Pediatr 1980; 96 : 88. 5. Gittenberger AC, Moulaert A, Harinck E, Becker Ae. Histopathology of the ductus arteriosus after prostaglandin El administration in ductus dependent cardiac anomalies. Br Heart J 1978; 40 : 215. 6. Lang P, Freed M, Rosenthal A, Castaneda AR. Nadas AS. The use

Klinis, PDA disertai shunt kiri ke kanan yang besar seringkali menyebabkan Cardiopulmonary distress. Untuk mengatasi
42 Cermin Dunia Kedokteran No. 33, 1984

Cermin Dunia Kedokteran No. 33. 1984

43

Iklan dan Profesi Kedokteran

Kehidupan modern memungkinkan dokter berhubungan dengan masyarakat luas dalam berbagai cara, secara langsung maupun tidak. Ini menyebabkan timbulnya masalah -masalah baru, yang tidak dikenal oleh dokter- dokter di masa-masa yang lalu. Kini masyarakat umum banyak yang tertarik akan ilmu kedokteran. Banyak informasi medis disebarluaskan lewat media radio, TV, koran, majalah dan sebagainya. Ini semua menuntut agar dokter lebih berhati-hati, karena etika profesinya mengutuk pengildanan dan publisitas bagi dirinya sendiri. Tapi di mana batas-batasnya? Kode etik kedokteran di Indonesia masih sangat lemah. Cuma sedikit sekali masalah ini dibahas. Oleh sebab itu mungkin ada baiknya kita menengok pada negara lain, ke Inggris, untuk melihat apa yang dibatasi di negara itu. Berikut ini adalah lampiran laporan tahunan Ikatan Dokter Inggris (BMA) dalam sidangnya pada tahun 1981-1982 : Pengiklanan (1) Kata "pengiklanan" dalan hubungannya dengan profesi dokter harus diartikan dalam arti yang luas, mencakup semua cara agar seseorang itu dikenal oleh masyarakat. Ini dapat dilakukan oleh orang itu sendiri, atau oleh orang lain, tanpa keberatan dari dirinya, dengan suatu cara yang dapat kita anggap bertujuan mendapatkan pasien atau menguntungkan profesi dokternya. (2) Beberapa kebiasaan tertentu sudah demikian umum dilakukan sehingga tidaklah dapat disebut bahwa itu untuk menguntungkan diri sendiri. Misalnya, memasang papan nama dengan mencantumkan spesialisasinya. Tapi ini pun dapat disalahgunakan dengan memberinya berbagai tambahan serta hiasan. Pencegahan publisitas (3) Setiap publisitas yang dilakukan oleh, atau buat, atau dibiarkan oleh seorang dokter yang bertujuan mengiklankan diri sendiri sangatlah tidak diharapkan, tidak etis, dan bertentangan dengan disiplin profesi.
44 Cermin Dunia Kedokteran No. 33, 1984

(4) Oleh sebab itu setiap dokter praktek tidak boleh mengambil tindakan-tindakan aktif untuk mendapatkan publisitas, selain yang akan diuraikan di bawah ini. Seorang dokter harus mengambil semua tindakan untuk menghindari atau mencegah publisitas yang tak perlu, atau hanya untuk menguntungkan dirinya sendiri sebagai dokter.

Pernyataan tanpa izin dari dokter di dalam media masa, dapat menempatkan seorang dokter dalam situasi yang kikuk dan kritis.

Surat kabar, radio, televisi (5) Masyarakat punya minat yang sah akan kemajuan-kemajuan dalam ilmu dan seni kedokteran. Akan menguntungkan bila informasi kedokteran dapat mencapai masyarakat lewat media-media semacam itu, sebagai petunjuk umum bagi orang awam yang ingin tabu dan untuk "pendidikan kesehatan".

(6) Perlu sangat berhati-hati dalam diskusi terbuka mengenai teori dan pengobatan penyakit, karena dapat disalahartikan oleh masyarakat awam. Presentasi yang sensasional bagaimanapun juga harus dihindari. Diskusi mengenai masalah ke-

dokteran yang kontroversial, terutama yang berhubungan dengan pengobatan, lebih sesuai untuk jurnal kedokteran atau kalangan profesi. (7) Para dokter yang punya pengetahuan yang diperlukan serta punya bakat dapat ikut serta dalam presentasi dan diskusi mengenai topik-topik kedokteran atau semi-kedokteran lewat media-media tersebut. (8) Penting untuk tidak mencantumkan nama bila dokter itu membicarakan caranya pribadi mengelola suatu masalah klinik tertentu. Tradisi profesi ini harus diteruskan, untuk menghindarkan risiko tuduhan mengiklankan diri. (9) Dokter yang ikut serta dalam presentasi dan diskusi masalah kedokteran lewat media-media tersebut harus mengambil segala tindakan untuk menghidarkan rujukan yang bersifat pujian pada apa yang telah dicapainya dalam profesinya. Sedapat mungkin harus dihindarkan rujukan pada nama seorang dokter yang ahli dalam oentuk pengobatan tertentu, atau ahli menggunakan alat tertentu, atau ahli melakukan ope-

Kehadiran di depan ratu atau orang penting lainnya. (14) Bila menghadap ratu atau orang penting lainnya, sering nama dokter itu disebut-sebut - misalnya dalam buletin. Ini secara tradisi dapat diterima dan tak dapat dihindarkan. Wawancara pers (15) Seorang dokter praktikus harus sangat berhati-hati bila menyetujui wawancara pers. Perkataan yang tampaknya tak berarti dapat disalahartikan dan menjadi headline yang merugikan. Ini dapat mendudukkan dokter itu dalam posisi yang kikuk atau berbahaya. Dalam beberapa hal mungkin lebih baik menjanjikan pernyataan tertulis daripada wawancara langsung. Atau, bila wawancara dilakukan juga, mintalah kesempatan untuk menyetujui tulisan tersebut lebih dahulu sebelum dipublikasikan. (16) Perlu diketahui bahwa Ikatan Dokter Inggris telah menunjuk seorang petugas humas pada setiap divisi (ikatan dokter ahli). Tugasnya antara lain sebagai penghubung antara profesi dan masyarakat, termasuk pers, mengenai semua masalah yang mempengaruhi relasi profesi dan masyarakat. Jasanya dapat digunakan untuk kesempatan yang sesuai. Membiarkan publisitas di pers (17) Kadang kala, dalam laporan pers, artikel, atau rubrik sosial ("Apa & Siapa" dan sejenisnya.Red) ada pemyataanpernyataan yang ditulis tanpa ijin terlebih dahulu, memuji aktivitas profesi atau kesuksesan dokter-dokter. Pernyataanpernyataan ini dapat menempatkan dokter tersebut dalam situasi yang kikuk dan kritis; ini tak boleh dibiarkan berlalu begitu saja. Dalam kasus semacam ini dokter tersebut harus me ngirimkan surat protes kepada redaksi dengan catatan "Tidak untuk Dipublikasikan", menuntut agar di masa mendatang pernyataan-pernyataan mengenai aktivitas profesinya tidak dipublikasikan tanpa persetujuan sebelumnya. Surat seperti di atas tidak boleh diberikan pada pers awam untuk dipublikasikan.

Dokter tak boleh berkorespondensi dengan masyarakat awam sebagai kelanjutan dari presentasinya.

rasi tertentu. Adalah penting untuk selalu berendah hati bila membicarakan diri sendiri dan menghormat bila membicarakan teman sejawat. Bila keahlian seorang dokter diberikan, ini tak boleh ditekankan secara berlebihan- misalnya dengan huruf yang besar atau tebal. Bila tampil di depan publik, tianjurkan untuk menghubungi lebih dulu ketua, atau pewawancaranya, agar berhati-hati dalam merujuk status profesi atau apa yang telah dicapainya dalam kata-kata pendahuluannya. Ini terutama penting bila pers hadir. (10) Dokter tak boleh berkorespondensi dengan masyarakat awam sebagai lanjutan dari presentasinya. (11) Banyak masalah-masalah yang tak berhubungan dengan, atau sangat jauh hubungannya dengan, praktek kedokteran di mana seorang dokter punya keahlian. Tidak ada keberatan bila nama dokter itu disebutkan. Tapi dalam pengumuman atau presentasi itu tidak boleh ada hal-hal yang dapat dianggap menguntungkan profesinya. (12) (13) Harus dijaga agar lembaga swasta dimana dokter itu bernaung tidak dapat diidentifikasikan dalam presentasi itu, baik secara langsung atau melalui iklan yang menyusul.

Foto seorang dokter yang muncul sehubungan dengan wawancara atau artikel yang dimuat dalam pers awam mengenai masalah profesi, adalah bentuk publisitas yang sangat tidak dikehendaki. Cermin Dunia Kedokteran No. 33, 1984 45

Reportase kejadian sosial dan pertemuan-pertemuan. (18) Biasanya tak dapat dihindari bahwa nama seorang dokter ditulis dalam reportase peristiwa atau pertemuan-pertemuan. Lebih terkenal orang itu, lebih sering namanya dicantumkan. Meskipun demikian, nama yang selalu muncul, kadang kala di tempat yang tak sesuai, dapat dicurigai. Ambisi dapat mengaburkan naluri dan kerendahan hati. Pemegang jabatan di masyarakat (10) Menjadi kewajiban seorang dokter untuk ikut serta sebagai warga dalam kehidupan masyarakat, dan memegang jabatan di masyarakat bila ia mau. Tapi penting bahwa jabatan itu tidak digunakannya sebagai alat untuk mengiklankan dirinya sebagai dokter. Dokter kesehatan masyarakat (20) Publisitas itu penting dalam melaksanakan tugas kesehatan lingkungan dan tugas-tugas tertentu lainnya dari petugas kesehatan masyarakat atau orang yang memegang jabatan dalam pelayanan masyarakat. Asalkan tidak digunakan untuk kepentingan pribadinya, ini diperbolehkan. Foto (21) Foto seorang dokter yang muncul sehubungan dengan wawancara atau artikel yang dimuat dalam pers awam mengenai masalah profesi, adalah bentuk publisitas yang sangat tidak dikehendaki. Harus dijaga benar-benar agar foto semacam itu tidak dipublikasikan.
Kalau dibiarkan tanpa peraturan, pengiklanan dapat menjurus seperti ini.

Contoh dari dokter senior (23) Ada suatu tugas khusus bagi dokter yang menduduki jabatan tinggi, atau punya kekuasaan, untuk mengikuti petunjuk-petunjuk di atas, karena contoh dari mereka pasti akan mempengaruhi teman sejawat yang lain. (24)

Umum (25) Masih ada banyak lagi cara-cara publisitas yang dapat dianggap bertentangan dengan jiwa pamflet ini. Badan ini (Ikatan Dokter) yakin bahwa dengan mengambil sikap yang teIklan di pers awam (22) Penggunaan kolom advertensi di pers awam untuk gas melawan cara-cara publikasi yang tak diharapkan itu, ia mempublikasikan aktivitas profesional seorang dokter tidak- bertindak demi kepentingan umum serta profesi kedokteran. lah etis-meski tidak mencantumkan nama sekalipun (misalnya Pengiklanan oleh profesi pada umumnya pasti akan merusakmemakai PO Box). Salah satu bentuk pengiklanan demikian kan tradisi wibawa dan harga diri yang telah memberi profesi kedokteran Inggris status yang tinggi itu. Oleh sebab itu ialah dengan memberikan pada pers, langsung atau melalui Ikatan ini meminta perhatian dari profesi akan bahaya-bahaya perantara, informasi mengenai kegiatan pribadi, berlibur, penunjukkan menjadi pejabat tertentu dan sebagainya untuk cara-cara yang tidak diharapkan tersebut, dan menekankan pada setiap anggota profesi untuk menghindarinya. dipublikasikan.

46

Cermin Dunia Kedokteran No. 33, 1984

Pencegahan Penyakit Gondong


"Gondong (mumps) adalah penyakit yang dapat dicegah. Mengapa setiap anak harus mengalaminya ?" tanya seorang pembicara dalam suatu konperensi 10 tahun yll. Di Amerika Serikat vaksin gondong yang sudah dilemahkan (Jeryl-Lynn strain) telah beredar sejak tahun 1967 dan lebih dari 4 juta dosis telah didistribusikan. Vaksin gondong tsb, diberikan tersendiri atau dalam kombinasi dengan vaksin campak & rubela, mampu menghasilkan serum penolak yang memuaskan. Reaksi klinik hampir tak ada dan dapat memberikan perlindungan atau kekebalan sampai selama 12 tahun. Di Amerika Serikat vaksin gondong-campak-rubela diberikan secara rutin kepada anak lelaki maupun wanita pada usia 15 bulan. Di Amerika Serikat catatan resmi mengenai gondong belum seragam. Tapi di Massachusetts kampanye vaksin gondong yang dimulai tahun 1969 menghasilkan penurunan kasus sebesar 99%. Sedang di Settle King County, Washington, peningkatan pemberian vaksin pada anak prasekolah dan usia sekolah pada tahun 1976 menyebabkan penurunan insidensi gondong sampai tingkat paling rendah yang pernah tercatat pada anak-anak usia 5 - 9 tahun. Secara keseluruhan, insidensi penyakit gondong di Amerika telah berkurang sebesar 90%. Penggunaan vaksin gondong dianjurkan oleh Tim Penasihat Pelaksana Imunisasi Amerika Serikat terhadap semua anak, remaja, dan orang dewasa yang rentan, bila tak ada kontraindikasi kerentanan dianggap ada kecuali bila dokter telah mendiagnosis gondong pada individu tsb atau ada bukti kekebalan berdasarkan pemeriksaan laboratorium. Haruskah vaksin gondong digunakan di Inggris ? Vaksin gondong yang monovalen telah dapat diperoleh sejak tahun 1971, tapi vaksin campuran belum ada, meskipun dapat diperoleh dari Amerika Serikat. Di Inggris penyakit gondong tidak harus dilaporkan, dan insidensi maupun infektivitasnya tidak diketahui karena 40% dari kasus asimptomatik. Jarang sekali timbul korban kematian; antara tahun 1968 - 1978 hanya dilaporkan 48 orang yang meninggal, 28 di antaranya berusia lebih dari 64 tahun. Komplikasi-komplikasi gondong al meningitis (biasanya tidak parah dan sembuh sendiri), orchitis kurang lebih pada seperlima dari anak-anak setelah pubertas, dan encephalitis, yang meski lebih jarang menyertai gondong daripada penyakit-penyakit virus lain, prognosisnya lebih buruk. Dalam penyelidikan retrospektif terhadap 2484 kasus gondong yang dirawat di rumah sakit antara tahun 1958 sampai 1969, separuhnya berusia 15 tahun atau lebih. Pada 22% dari kasus ini susunan saraf pusat terserang, namun kerusakan permanen hanya didapatkan pada 5 pasien dengan kerusakan saraf ke 8 (tuli), 4 di antaranya adalah orang dewasa. Satu dari 4 pasien lelaki menderita orchitis, tapi

sequelae tak dilaporkan. Penyelidikan ini menyimpulkan bahwa secara relatif gondong merupakan penyakit enteng dan dirasa tidak mendesak untuk memberikan vaksinasi kepada seluruh penduduk. Mungkin kita bertanya : apakah pemberian vaksin lain pada bayi dapat dibenarkan ? Mungkin gabungan vaksin merupakan jawabannya. Sekarang vaksin campak diberikan secara rutin meskipun tidak semua mau divaksinasi pada usia 15 bulan; ini dapat dikombinasikan dengan vaksin gondong. Kini separuh dari orang tua menyetujui pemberian vaksin campak pada bayi mereka; apakah mereka juga akan bersedia menerima vaksin gabungan ? Apakah vaksin gabungan tadi justru akan lebih populer ? Vaksin gabungan dapat juga diberikan pada waktu masuk sekolah bagi mereka yang belum pernah menderitanya. Secara ideal orang dewasa yang rentan harus dicari dan diberi vaksin. Tapi walaupun screening dengan hemolisis radial dapat dilakukan dengan cepat, murah, dan dapat dipercaya, belumlah realistik untuk melakukannya secara rutin. Kemungkinan lain penggunaan vaksin ini ialah untuk melindungi individu yang mungkin ketularan karena telah berdekatan dengan penderita gondong; bagi mereka hiperimun gamaglobulin tidak mengurangi kemungkinan terserang dan juga tidak mencegah timbulnya komplikasi. Namun demikian kemampuan vaksin gondong dalam keadaan tsb masih diragukan. Sebabnya antara lain, virus telah diekskresikan beberapa hari sebelum gejala-gejala tampak, sehingga saat exposure sulit ditentukan. Akhirnya, pemberian vaksinasi akan sangat berharga bagi kelompok orang dewasa yang rentan, pada lingkungan terbatas, misalnya pada anggota-anggota militer. Bagaimana kira-kira pengaruh kampanye pemberian vaksin gabungan gondong-campak pada anak-anak usia 15 bulan ? Kurang percayanya masyarakat Inggris terhadap vaksin-vaksin baru mungkin akan menyebabkan tingkat penerimaan rendah, kecuali kalau ini dapat diatasi oleh ketakutan akan orchitis (yang sebenarnya kurang beralasan). Bagaimanapun juga hasilnya mungkin akan mengubah pola penyakit tsb, meningkatkan jumlah orang dewasa yang rentan. Di Amerika Serikat di mana penerimaan vaksin itu cukup baik, ada kecenderungan pergeseran distribusi umur penderita ke arah usia lebih tua. Bagi orang yang seronegatif, vaksin itu boleh jadi merupakan anugerah. Tapi bagi penduduk pada umumnya mungkin malah kebalikannya, karena pola infeksi alamiah yang kini menyebabkan kekebalan 95% orang dewasa, mungkin berubah. Penyakit ini meskipun menyakitkansaat ini jarang yang berbahaya. Usaha pencegahan secara besar-besaran mungkin malah meningkatkan insidensi penderita dewasa, disertai segala kesulitan, komplikasi dan bahayanya.
Br Med J 1980 ; 281 : 1231

Cermin Dunia Kedokteran No. 33. 1984

47

Di rumah sakit, bila diperlukan antibiotika parenteral, beberapa dokter cenderung memberikannya secara intravena (IV), meskipun pemberian intramuskuler (IM) lebih mudah dan lebih murah. Praktek ini perlu dikaji kembali. Memang ada beberapa antibiotika dan anti-virus yang tak bisa diberikan secara IM, misalnya vankomisin, metronidazol, amfoterisin B, vidarabin, dan asildovir (semuanya sulit larut) serta karbenisilin dan tikarsilin (dosisnya terlalu besar). Tak ada masalah dengan preparat di atas. Namun antibiotika yang sering diberikan, misalnya penisilin, aminoglikosid, klindamisin, eritromisin, dan (mungkin) kloramfenikol, dapat diberikan IV maupun IM. Ada beberapa keadaan klinik yang lebih baik memakai IV. Misalnya, kegagalan sirkulasi dapat menghambat absorbsi obat dari tempat suntikan; demikian juga diatesa hemoragik, aidbat terbentuknya hematoma pada tempat suntikan; pada pasien diabetes, absorbsi obat IM biasanya jelek; pada bayi neo natus, indurasi pada tempat suntikan berkali-kali dapat menghambat absorbsi obat beberapa hari kemudian; dan akhirnya, ada beberapa pasien yang perlu pemberian antibiotika IV seperti pasien dengan sepsis pascabedah. Namun secara keseluruh dapat dikatakan bahwa terapi M itu sama efektifnya. Keunggulan nyata dari pemberian secara IV ialah tak perlu injeksi berkali-kali yang menyakitkan. Adakah keuntungan lain? Tidak banyak penelitian yang membandingkan kedua cara pemberian obat itu. Pada suatu penelitian, pemberian ampisilin IV maupun IM sama efektifnya untuk pengobatan meningitis meningokokus. Pada .tahun 1960-an, hasil yang memuaskan diperoleh dengan pemberian benzilpenisilin IM pada penderita meningitis meningokokus dan pneumokokus. Di Papua Nugini suatu pendekatan baru dicoba oleh Shann dan Germer. Mereka memperoleh hasil yang memuaskan pada pasien meningitis bakterialis dengan penambahan probenesid oral, di samping bensilpenisilin IM setiap 6 jam. Dengan cara ini dosis bensilpenisilin dapat ditekan menjadi separuhnya. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengkonfirmasikan hasil di atas, dan untuk mengetahui bagaimana probenesid mempengaruhi farmakokinetika bensilpenisilin dalam otak. Antibiotika beta-laktam dan aminoglikosid kebanyakan diabsorbsi dengan cepat dan sempurna setelah injeksi IM. Bioavailabilitasnya sering mencapai 90%. Bila Obat-obat tadi diberikan secara IV pelan-pelan (2 - 30 menit), kadar puncak serum dan waktu-paruh terminalnya sama dengan yang dicapai oleh pemberian IM dengan dosis yang sama. Bila injeksi IV dipercepat (3 - 5 menit), kadar puncaknya lebih tinggi, tapi waktu-paruh terminalnya lebih pendek. Tak jelas mana yang lebih efektif dalam pengobatan. Namun berdasarkan pengalaman, injeksi bolus, injeksi 20 - 30 menit, ataupun infus kontinyu, semuanya sama baiknya. Maka kita boleh menduga bahwa pemberian IM pun juga sama baiknya. Tapi kloramfenikol mungkin suatu kekecualian. Setelah pemberian Idoramfenikol suksinat secara IM, Dupont dkk. menemukan bahwa kadar dalam serumnya cuma separuh dari kadar yang dicapai setelah pemberian oral dengan dosis yang sama ! Semenjak munculnya laporan ini, kloramfenikol jarang dipakai secara IM. Namun
48 Cermin Dunia Kedokteran No. 33, 1984

semua ini cuma didasarkan pada satu penelitian. Dan farmakokinetika pemberian IV tidak dipelajari untuk dibandingkan dengan yang IM. Beberapa ahli klinik terdahlu mendapatkan hasil yang cukup memuaskan dengan pemberian kloramfenikol IM pada meningitis Hemophilus influenzae. Maka farmakokinetika kloramfenikol IM perlu diterliti lebih lanjut dengan cara-cara modem yang kini tersedia. Di samping menyakitkan, injeksi IM dapat mengakibatkan nekrosis otot, abses, dan kontraktur. Bahaya trauma pada nervus sciatica telah kita kenal, sehingga kita menyuntik di kuadran lateral atas bokong. Komplikasi yang berbahaya, meskipun jarang, dapat muncul akibat injeksi intraarterial (tak sengaja) penisilin prokain dan benzatin : oleh distribusi retrograde, obat yang kental itu dapat masuk ke pembuluh yang mensuplai sumsum tulang belakang, menyumbat pembuluh tersebut dan mengakibatkan mielitis transversal. Apa saja komplikasi pemberian obat secara IV? Yang paling terkenal ialah tromboflebitis kimiawi, sepsis lokal, dan septi kemia. Extravasasi obat juga dapat menyebabkan kerusakan jaringan atau bahkan nekrosis. Ini ditemukan misalnya pada penyuntikan nafsilin. Untuk menghindari komplikasi tersebut dokter dan perawat perlu berhati-hati. Jarum baja lebih baik daripada kanula plastik; dan idealnya ia diganti setiap 48 jam. Perlengkapan lainnya sebaiknya juga diganti bersamaan dengan itu. Percobaan klinik untuk menilai manfaat antibiotika IM pada infeksi berat perlu dilakukan. Di negara berkembang, karena kekurangan staf dan peralatan, pemberian IM mungkin masih memadai dan dapat menyelamatkannyawa bila pemberian N tak memungkinkan. Pemberian IM juga berguna pada bayi-bayi yang venanya terlalu kecil; pada remaja korban adiksi yang venanya telah rusak. Di rumah sakit perlu kita ingat juga bahwa pemberian IM lebih murah daripada IV. Namun kita tentu saja tidak menganjurkan pemberian IM untuk semua pasien. Pasien dengan endokarditis Strep. faecalis yang dirawat selama enam minggu tentu tak layak disuntik berkali-kali dengan injeksi IM dosis besar benzilpenisilin plus gentamisin. Namun banyak kasus infeksi berat - misalnya pneumonia, osteomielitis, selulitis - di mana kemoterapi parenteral cuma diperlukan sebentar saja sampai pasien siap dengan pemberian oral. Kebanyakan antibiotika itu dapat dicampur dengan lignokain, untuk mengurangi nyeri injeksi. Beberapa beta -laktam yang baru - misalnya seforanid dan seftriakzon waktu paruhnya lama: maka dapat diberikan setiap 12 jam. Seftriakzon sekali sehari mungkin cukup efektif untuk kebanyak infeksi.
Lancet 1984; i : 660 - 2

Peptida-peptida usus & exorfin : pengendali rasa lapar ?


Sejak awal mula peradaban manusia giat mencari, mengolah, dan menyantap makanan. Tapi baru akhir-akhir ini manusia meneliti dengan saksama masalah nafsu makan dan pengendalian intake makanan. Pengendalian intake makanan itu amat sangat kompleks.

Faktor psikologik (rasa, aroma, penampilan), refleks-refleks, bentuk molekul yang mana yang dilepas ke dalam darah? Bepusat-pusat hipotalamus, semua ikut berperan. Juga signal-sig- rapa jumlahnya? Selain itu pada beberapa orang percobaan, nal dari serabut saraf aferen vagus yang terangsang akibat dis- injeksi kolesistokinin menyebabkan diare, kramp perut, atau tensi lambung/usus, produk -produk makanan yang diabsorb- rasa meriang. Ini efek yang tidak diharapkan, bila kita anggap si, juga zat-zat kimia (chemical messenger) termasuk hormon- bahwa hormon tadi diberikan pada dosis yang " fisiologis". hormon saluran cerna semua ikut berperan. Dengan begitu Perhatian akan kontrol hormonal atas nafsu makan kini banyak faktor, jelaslah sulit untuk meneliti satu faktor saja tetap berkembang. Banyak zat kimia transmiter lain yang tanpa mempengaruhi faktor yang lain. mungkin berperan. Maka usaha mencari satu zat tunggal pePusat kontrol utama terletak di hipotalamus. Hipotalamus ngendali nafsu makan tampaknya akan sia sia. Demikian juga, lateral tampaknya berhubungan dengan rasa lapar dan dorong- meskipun ada faktor predisposisi untuk obesitas, faktor lingan untuk makan; sedang hipotalamus bagian ventromedial kungan dan psikologik mungkin lebih berperan dalam epidemi dengan penghambatan proses makan- " pusat rasa kenyang". obesitas di negara-negara makmur. Bila hipotalamus ini kita anggap sebagai satu unit, maka peObesitas bukanlah suatu konsekuensi yang tak dapat disan-pesan dapat mencapai unit ini via aliran darah atau susun- hindari dari kemakmuran. Ia memang lebih banyak terdapat an saraf. pada negara yang kaya dibandingkan negara miskin. Tapi di Bila lambung atau usus halus terisi makanan, pesan pengnegara kaya, obesitas paling sering dijumpai pada golongan hambat makan mencapai otak dan merangsang pusat rasa ke- sosioekonomi rendah. Dalam suatu penelitian di Amerika, nyang. Diduga beberapa pesan ini berupa hormon gastroin- 30% penduduk sosio -ekonomi rendah mengalami obesitas. testinal yang dilepas ke dalam darah waktu kita makan. Sedang pada kelompok sosio -ekonomi tinggi hanya 5%. Oleh Sebagian stimulus ini tampaknya bersifat fisik, akibat distensebab itu dapat dikatakan bahwa obesitas itu lebih diakibatsi usus. Inilah sebabnya, bila sama energinya, makanan yang kan oleh faktor sosial faripada faktor metabolisme atau pemekar lebih membuat kenyang daripada yang ringkas. Tapi ngendalian nafsu makan oleh hormon -hormon usus atau laindengan volume yang sama, makanan yang berenergi lebih me- lainnya. ngenyangkan daripada makanan yang tak mengandung enerNamun akhir-akhir ini beberapa penelitian menunjukkan gi. Vagotomi lambung dan usus hanya mengurangi sebagian kemungkinan lain dalam hubungan antara obesitas dan pepefek mengenyangkan makanan; oleh karena itu diduga faktor tida-peptida usus. Beberapa jenis makanan ternyata menganhormonal ikut memegang peranan dalam pengendalian rasa dung peptida yang secara biologik aktif. Beberapa di antaralapar dan kenyang. nya tampaknya identik, atau mirip sekali, dengan yang ditemuPada tahun 1973 hormon peptida usus kolesistokinin - pan- kan di usus atau otak, atau kedua-duanya. Beberapa peptida itu kreozimin (yang dilepas bila makanan masuk ke usus halus) mirip sekali dengan endorfin, zat mirip morfin endogen di dadibuktikan dapat menghambat nafsu makan bila disuntikkan lam badan kita. Maka, dengan analogi, zat tadi disebut exorpada tikus. Sejak itu banyak penelitian memberikan hasil fin. Ada yang menduga bahwa endorfin ikut menyebabkan serupa pada hewan maupun manusia. Tapi bagaimana kolesis- rasa kenyang. Tapi exorfin sebaliknya, tampaknya tidak batokinin bekerja? Masih diperdebatkan. Sebagai hormon penge- nyak mempengaruhi rasa lapar/kenyang. Ia cuma memperlama nyang, seharusnya kolesistokinin mencapai hipotalamus. waktu transit usus halus. Waktu transit yang lama ini mungJadi harus menembus batas otak -darah. Tapi karena otak itu kin menyebabkan absorbsi lebih baik dan lebih sempurna. sebelumnya sudah mengandung sejumlah besar kolesistokiOleh sebab itu makanan yang mengandung exorfm mungkin nin, apakah masih perlu tambahan lagi? Oleh sebab itu ada lebih mudah menyebabkan obesitas dibandingkan dengan mayang menduga bahwa hormon pengenyang itu bekerja di kanan lain yang isoenergi. perifer, bukan di pusat. Ini didukung oleh beberapa peneliBila obesitas banyak dipikirkan oleh peneliti di negara matian yang menunjukkan bahwa efek mengenyangkan tadi daju, kita justru masih harus lebih memikirkan anak-anak yang pat dikurangi dengan vagotomi. Masalah lain ialah : lambung kurus. Mungkinkah penelitian tentang exorfin ini membantu tampaknya juga mengeluarkan hormon yang mengurangi naf- kita? Mungkin ada makanan -makanan tertentu yang, meskisu makan - tapi bukan kolesistokinin, karena zat ini tak terpun isokalori, lebih banyak mengandung exorfin. Ini dapat dapat di lambung. Oleh sebab itu "hormon-hormon penge- (mungkin) mempercepat pertambahan berat badan anak-anak nyang" lain mungkin ikut bekerja, termasuk glukagon, somakurus tadi, dengan memberikan lebih banyak energi yang ditostatin, bombesin. Tapi sampai kini masih belum ada bukti serap. apakah hormon somatostatin dan bombesin tadi benar-benar Brit Med J 1983; 287 : 1572 - 3 dilepaskan ke dalam darah bila kita makan. Tak diragukan lagi, kolesistokinin itu secaraprimer rnerangsang kontraksi kandung empedu dan sekresi pankreas. Tapi kolesistokinin di dalam badan ini terdapat dalam berbagai Untuk segala surat -surat, pergunakan alamat : bentuk yang secara kuantitatif maupun kualitatif berbedabeda kerjanya. Untuk mengukur kadar hormon ini, ada dua Redaksi Majalah Cermin Dunia Kedokteran cara standarisasi biologik yang berbeda (unit anjing Ivy atau P.O. Box 3105 Jakarta 10002 unit Crick, Harper, Raper). Ekivalensi kedua unit itu masih belum jelas. Kontroversi ini dilanjutkan lagi dengan masalah :
Cermin Dunia Kedokteran No. 33, 1984 49

Sepasang suami istri yang telah menikah sekian tahun belum juga dikarunia anak. Sebagai dokter dari keluarga ini, saudara telah melakukan berbagai pemeriksaan atas pasangan tersebut dan hasilnya ialah : secara obstetrik tidak ditemukan kelainan-kelainan pada si istri. Sedangkan pemeriksaan sperma sang suami berulang kali hasilnya azoospermia. Kepada sang suami saudara telah mengatakan terus terang tentang keadaan dirinya. Untuk tidak menghilangkan sama sekali harapan untuk memperoleh anak, kepada si istri, saudara memberi keterangan bahwa kualitas sperma suaminya memang kurang baik atau lemah, dan agar bersabar berhubung pengobatannya memakan waktu yang cukup lama. Kebijaksanaan ini telah saudara ambil berdasarkan keyakinan bahwa tindakan tersebut paling baik untuk keluarga ini pada saat itu. Setelah sekian waktu berlalu si istri datang lagi kepada saudara dan mengatakan bahwa haidnya terlambat lebih kurang 3 bulan. Pemeriksaan fundus uteri dari urin menunjukkan bahwa ibu ini hamil. Waktu sang suami mendengar tentang keharnilan istrinya, ia datang pada saudara dan mengatakan bahwa tak mungkin ia ayah dari janin tersebut. Saudara melakukan pemeriksaan ulang atas spermanya dan hasilnya tetap azoospermia. Si istri berani bersumpah bahwa ia hamil dari hubungan dengan suaminya dan tidak pernah melakukan hubungan kelamin dengan pria lain. Nah, apa yang saudara harus lakukan sekarang???? Memang dalam benak saudara telah timbul pikiran bahwa si istri mungkin telah hamil dengan pria lain, atau kehamilan tersebut telah terjadi bukan sebagai hubungan badaniah, akan tetapi dengan pertolongan seorang dokter atau tenaga medis lain yang telah mengimpregnasi si istri dengan semen dari seorang donor, akan tetapi saudara yakin bahwa si istri melakukan hal ini demi keutuhan dan kebahagiaan keluarganya Setelah menimbang dan memikirkan kasus ini saudara mengambil keputusan dan menjelaskan kepada pasangan ini sbb : Pada dasarnya pemeriksaan sperma ialah hasil suatu moment-opname yaitu hasil pada suatu waktu tertentu saja, dan tidak tertutup kemungkinan bahwa diantara waktu dua atau lebih pemeriksaan sperma tadi si pria menghasilkan sperma yang cukup berkualitas sehingga dapat membuahi ovum si istri. Oleh karena pada saat ini belum dapat dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan yang sempuma atas janin dalam kandungan maka kalau si suami berkeras hati untuk menetapkan paternitasnya, maka masih dapat dilakukan pemeriksaanpemeriksaan hematologis, serologis, atau tissue-typing bila
50 Cermin Dunia Kedokteran No. 33, 1984

anak telah lahir. Dalam hati saudara berharap bahwa dengan berlalunya waktu dan bila sang "ayah" nanti telah menggendong oroknya maka moga-moga ia dapat menerima anak ini sebagai anaknya sendiri. Menurut saudara, tepatkah tindakan teman sejawat ini? OLH

Komentar :
Biasanya penyakit/kelainan seorang suami tidak boleh diberitahukan kepada istrinya atau sebaliknya. Masing-masing mempunyai rahasianya sendiri dan harus disimpan oleh dokter. Dalam kasus " ingin punya anak " (kinderwens) kiranya rahasia ini tidak mungkin dipertahankan lagi, karena untuk mencapai tujuannya diperlukan "kerja sama" dari kedua pihak. Suami dan istri perlu diajak konsultasi bersama dan diterangkan arti segala pemeriksaan serta prognosisnya secara jujur, oleh karena pasien berhak akan informasi yang benar. Dalam kasus di atas teman sejawat kita membuat kesalahan dengan memakai "moral ganda " , yaitu kepada si suami ia mengatakan yang sebenarnya, sedangkan terhadap si istri ia berbohong. Karena inilah timbul persoalan yang rumit. Jika kemudian teman sejawat itu memberi tahu kepada si suami, bahwa pemeriksaan spermatozoa hanya merupakan suatu moment opname saja dan tidak tertutup kemungkinan ia masih dapat menghamili istrinya, maka teman sejawat itu akan membuat kebohongan baru. Tindakan ini tidak dapat dianjurkan, karena ada kemungkinan membawa konsekuensi hukum yang lebih berat. Perlu dicatat bahwa untuk inseminasi buatan dengan spermatozoa dari seorang donor, diperlukan persetujuan tertulis dari suami-istri itu. Tinjauan yuridis : 1. Menurut hukum pidana Hukum pidana kita mengikuti azas yang dituangkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana pasal 1 ayat (1) yang berbunyi : "Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu terjadi. " Dalam KUH Pidana kita, saya tidak menjumpai suatu pasal yang deskripsi deliknya (delictsomschrijving) cocok dengan kasus di atas. Satu-satunya pasal yang mengancamkan pidana bagi orang yang berbohong adalah KUH Pidana pasal

242, yaitu orang yang menjadi saksi/ahli dan menyatakan sesuatu yang tidak benar atas sumpah dapat dituntut karena melakukan sumpah palsu. Untuk menuntut si dokter karena membocorkan rahasia si suami kepada si istri (tanpa pengetahuan si suami) menurut KUH Pidana pasal 322 juga tidak mungkin, karena dokter itu justru mengatakan yang bukan sebenarnya kepada si istri. 2. Menurut hukum perdata Untuk menuntut dokter itu berdasarkan Kitab Undangundang Hukum Perdata pasal 1365, yaitu menerbitkan kerugian kepada orang lain karena kesalahannya, kiranya juga tidak mungkin karena jika toh timbul kerugian (perceraian dan sebagainya) hal itu terjadi bukan karena dokter yang berbohong tadi, melainkan karena tindakan dari si istri sendiri (mungkin berzinah). Jika si istri itu tidak berbuat apa-apa, maka tidak akan timbul kerugian. Tuntutan terhadap " wanprestatie " menurut KUH Perdata pasal 1239 jo. pasal 1243 juga tidak tepat, oleh karena di sini "hasilnya melebihi apa yang dijanjikan oleh dokter". dr. Handoko Tjondroputranto Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, Jakarta

Tinjauan dari Etika Kedokteran Menurut hemat saya kebijaksanaan sejawat tersebut dapat dibenarkan secara etis. Pertimbangannya adalah sebagai berikut : 1. Karena si istri berani sumpah bahwa ia hamil dari hubungan dengan suaminya dan tidak pernah melakukan hubungan kelamin dengan pria lain, maka kiranya tidak ada alasan dari sejawat tersebut untuk tidak mempercayainya, kecuali bila dimasa yang lalu sejawat tersebut telah pernah dibohongi. 2. Disamping itu, kita juga tahu bahwa ilmu kedokteran bukan ilmu exakta, jadi tidak ada yang pasti atau mutlak.
3. The smallest probability doesn ' t mean nothing!

4. Ada kemungkinan anak yang akan lahir, betul-betul akan mdlengkapi kebahagiaan keluarga tersebut, dan mungkin lebih membahagiakan ketimbang melakukan adposi. Demikianlah, bagaimana pendapat sejawat lain?

dr. H. Masri Rustam


Direktorat Transfusi Darah PMI, IDI Cabang Jakarta Pusat.

Cermin Dunia Kedokteran No. 33, 1984 .

51

Kebanyakan para dokter percaya bahwa pasien-pasien usia " muda" dengan Ca prostat mempunyai prognosis lebih buruk. Tetapi suatu analisa dari 597 pasien di Cambridge menunjukkan bahwa hal ini salah. Pasien yang lebih muda mempunyai kesempatan untuk hidup lebih baik. Five years survival di antara pasien -pasien tersebut adalah : 62& pada usia 50 - 59 tahun, sedangkan pada usia 70 - 79 tahun hanya 52%.
Br J Uro 1983; 55 : 529 - 93.

Rokok dengan kadar tar rendah ternyata menyebabkan kanker paru-paru daripada yang kadarnya tar-nya tinggi. Perokok- perokok yang hanya mengisap rokok dengan kadar tar rendah, risiko untuk menderita kanker paru-paru 70% lebih rendah daripada perokok -perokok yang mengisap rokok dengan kadar tar tinggi. Walaupun demikian, jumlah rokok yang diisap perhari lebih penting daripada kadar tar itu sendiri dalam hal pengaruhnya terhadap kanker paru Dulu mineral- mineral tidak banyak mendapat perhatian, kecuali besi dan kalsium. Kini, setelah efek litium terhadap depresi terbukti, banyak mineral diteliti kembali. Ternyata Mg berguna untuk menurunkan tekanan darah. Pasien hipertensi yang mendapat 15 mmol Mg/hari tekanan darah rata- ratanya turun 18/8 mmHg untuk sistolik/diastolik. Diperkirakan Mg punya pengaruh ini karena mengubah keseimbangan kadar K, Na dan Ca. Kesimpulan : multimineral dan multivitamin yang beberapa waktu yang lalu dicela mungkin berguna ?
Brit Med J 1983; 286 : 1847 J Nat Cancer Institute 1983; 71 : 435 - 7

Sejak tahun 1971, di The Mayo Clinic telah dilakukan


screening dengan pemeriksaan foto rontgen toraks pada pria yang berusia lebih dari 45 tahun dan merupakan

perokok berat. Sekitar 4500 pasien diperiksa dengan sinar X setiap 4 bulan (sedang pada kontrol setahun sekali). Hasilnya dapat dideteksi 92 Ca paru dan pada pemeriksaan ulang, hampir semua pertumbuhan perifer dapat terlihat setelah beberapa bulan atau tahun. Ini1ah gunanya screening secara teratur.
Brit Med J 1983; 287 : 1382.

Ahli penyakit kulit di Jepang menemukan cara pengobatan vitiligo. Obatnya yaitu krim fluorouracil 5% yang dioleskan pada bercak vitiligo tersebut dan ditutup rapat. Lesi menjadi erosif, kemudian terjadi re-epitelialisasi dan akhirnya re-pigmentasi. 18 dari 28 pasien menunjukkan hasil re-pigmentasi yang sempurna atau hampir sempurna. Sedang 5 pasien memperoleh respon yang parsiil. Boleh dicoba !
Arch Dermatol 1983;119 : 722 - 7.

Laki-laki dengan ginekomastia idiopatik merupakan kasus yang sulit diobati. Tetapi dengan penggunaan krim dihidrotestosteron secara topikal selama 7 bulan, didapat hasil yang cukup memuaskan.
Clin Endocrin 1983; 19 : 513 - 20

Apa yang terjadi bila anda melompat dari helikopter setinggi 60 m ke dalam laut ? Kemungkinan besar : trauma berat pada dada, patah tulang iga, pneumotoraks, atau kontusio paru, serta kegagalan pernafasan. Data ini diperoleh dari penyelidikan pada orang-orang yang jatuh dari jembatan di Sidney, Australia (59 m tingginya) yang dibangun tahun 1930. Sejak pembangunannya, 92 orang telah terjatuh dari jembatan tadi. Hanya 14 yang hidup. Sebagian besar menderita cedera dada tadi.
Med J Austral 1983; i : 504

Psikoanalisis ternyata berhasil untuk mengurangi kelebihan berat berat badan pada orang-orang gemuk. Dari 84 orang, ternyata setelah dilakukan psikoanalisis selama 3 - 7 tahun menunjukkan penurunan berat badan rata-rata sebagai berkut : Setelah 33 bulan berat badan menurun 4,5 kg. Pada 18 bulan berikutnya menurun 9,5 kg, dan pada tahap akhir menurun lagi 11,6 kg.
Am J Psychiatry 1983; 140 : 1140 - 4

Bukan hanya dokter Indonesia yang cukup sering di tuduh melanggar etika. Dokter Inggris juga. Sebuah surat anonim pada british Medical Journal melaporkan praktek "dokter kontrak" ala Inggris. Medical representative sebuah perusahaan farmasi mengajak dokter ikut suatu "percobaan klinik". Untuk itu dokter harus menulis resep tertentu bagi pasiennya. Imbalannya 10 tiap resep, kontan. Konon 40 dokter mau ikut. Padahal secara ilmiah, percobaan tersebut sama sekali tidak ada gunanya. (Perusahaan farmasi Indonesia boleh meniru, nih. Mumpung peraturannya belum ketat.)
Brit Med J 1983; 302 : 423 .

52

Cermin Dunia Kedokteran No. 33, 1984

SAKIT MATA Sekarang sedang ramai -ramainya berbincang soal obat-obatan (khususnya antibiotika dan kombinasinya), maka ada pembicaraan antara pasien dengan dokter : Dokter : "Sakit apa ?" Pasien : "Dok, saya tidak mau diberi obat yang mengandung antibiotika." Dokter : "Lho belum diperiksa sudah tidak mau diberi obat. Bagaimana mau sembuh?" Pasien : "Dok, sakit mata apa yang tidak perlu obat-obatan yang mengandung antibiotika?" Dokter, dengan kesal : "Sakit mata keranjang!" dr. Ny. Elly H. Baura Malang

SALAH DENGAR Seorang pasien hamil muda datang dengan wajah murung dan lesu. + "Dok, saya sangat khawatir dengan kehamilan saya ini...........!" "Memangnya kenapa ?" + "Soalnya, sebelum ini saya pernah melahirkan anak seperti tikus sewaktu saya mengalami keguguran di RSUP" " Apakah ibu melihatnya sendiri ?" + "Oh, tidak. Waktu itu saya tidak sadarkan diri. Saya dengar susternya mengatakan itu kepada dokter di sana !" ??? ............................kemudian saya terkenang masa ko-asisten di RSUP. Tatkala itu para suster atau mahasiswa sering menyebut ukuran 'sebesar tikus' untuk janin yang lahir karena abortus komplit. Barangkali pasien ini salah asosiasi : ' sebesar tikus' didengarnya 'seperti tikus' .... ??!
Bag. Parasitologi FK UNUD Denpasar, Bali

dr. Ketut Ngurah

PENGGUNAAN ISTILAH Beberapa istilah Kedokteran sering digunakan untuk keperluan "lain " , karena memang kata-katanya enak didengar, walaupun artinya mungkin jauh berbeda dari penggunaannya. Berikut ini ada beberapa contoh yang pernah saya temui : 1. Vertigo yang kita kenal sebagai salah satu gejala gangguan keseimbangan, ternyata juga dipergunakan oleh seorang pengusaha untuk memberi nama gantungan baju/ kapstok hasil produksinya, Nama/merk lengkar gantungan baju itu adalah "vertigosuper kapstok." Mudah -mudahan saja orang yang menggantung bajunya di Vertigo kapstok tidak ikut jadi Vertigo. 2. Sulfa, ternyata juga merupakan nama sebuah becak diwilayah Jakarta Selatan. Si abang becak entah dapat dari mana istilah Sulfa itu. 3. Belladona, selain yang kita kenal sehari-hari, juga adalah nama sebuah kapal laut milik Dinas Kesehatan Kabupaten Bengkalis - Riau. dr. Tjandra Yoga Aditama Jakarta.

SUPAYA TENANG Seorang pasien harus menjalani operasi. Di kamar operasi, sebelum dokter membiusnya, ia ditanya oleh dokter : " Bapak ada pesan-pesan sebelum operasi dimulai". "Tidak dok. Tapi supaya team dokter ini dapat tenang dalam melakukan operasi, saya akan menulis surat wasiat dulu." ?????? SRI

Cermin Dunia Kedokteran No. 33, 1984

53

KENCING SAYA MANIS, DOK Suatu hari datang seorang ibu Haji ke PUSKESMAS, lalu saya tanyakan apa kabar bu haji ? Bu haji : Kencing saya manis, dok ! Dokter : Dari mana ibu tahu bahwa kencing ibu manis ? Bu haji : Saya rasakan dok (maksudnya kencingnya dicoba/dirasai). Dokter : Wah .... ? Langsung saya suruh ambil urinenya dan ternyata ................. REDUKSI-nya POSITIF +++ (tiga) . . . . bukan main ......................

SALAH SUNTIK Seorang Dokter Muda dari FK sedang melakukan tugas kesehatan di bagian polildinik gigi. Selain terapinya, DM diharuskan dapat menentukan jenis penyakitnya (diagnose). Pada suatu hari ada pasien datang dengan keluhan gigi gerahamnya sakit. Diagnosenya gigi mati, : "Gigi ini perlu dicabut". DM Pasien : "Boleh " . DM menyuntikkan Procain Hcl di bagian kiri. Pasien : "Bibir kiri saya sudah terasa tebal". Waktu akan dicabut, DM baru sadar gigi yang sakit di kanan, lalu disuntik"lagi. Pasien : "Lho ! Kena apa bibir saya terasa tebal/kesemutan seluruhnya . DM : "??????. Biar tidak terlalu sakit !".
dr. Ny. Elly H. Baura Malang

dr. Rusdi Armin Masrie


Puskesmas Benteng Indragiri Hilir - Riau

SALAH BAWA Suatu hari, datanglah seorang kakek membawa seorang bocah yang berumur kira-kira 3 tahun. "Dok, ini cucu saya giginya berek (karies)!" Setelah saya periksa dengan teliti, ternyata giginya tak ada yang rusak satupun. "Gigi yang mana sakit, Gus? " saya bertanya kepada si bocah. " Tidak sakit" , jawab si bocah sambil menggelengkan kepada. Tiba-tiba si kakek justru tampak gugup. "Oh maaf, dokter! Saya tadi buru-buru ke mad. Sebenarnya anak ini tidak sakit. Saya keliru membawanya. Yang sakit sebetulnya adik kembarnya " ................ ???????
dr. Ketut Ngurah Bag. Parasitologi Fakultas Kedokteran Unud, Denpasar, Bali

MENGAPA BARU SEKARANG Sepasang suami istri datang berobat kepada seorang dokter, dan suaminya mengeluh sebagai berikut "Dokter istri saya ini selalu mengigau kalau tidur, bahkan sejak hampir permulaan saya kawin limabelas tahun yang lalu." Dokter : "Tapi mengapa baru sekaran g dibawa ke dokter pak???" Suami : " Justru itu dok, saya bawa karena sudah sejak tiga malam ini istri saya . . . tidak mengigau sama sekali! Saya jadi sulit tidur." Dokter : ?????????????

KEBIASAAN Seorang pasien berobat ke psikiater dan mengemukakan keluhannya, "Dokter, belakangan ini saya sering sukar tidur! " Setelah diadakan anamnesis dan pemeriksaan, dokter tersebut memberikan saran: "Sebelum anda tidur, coba mulai menghitung dari satu sampai sepuluh, maka berangsur-angsur anda akan tertidur pulas." Beberapa hari kemudian pasien tersebut kembali. Dengan sedikit kaget dokter bertanya: " Kelihatannya keadaan saudara tidak bertambah baik.?" "Ya, Dok! Setiap saya menghitung sampai delapan terpaksa saya melompat bangun. Saya seorang petinju , dok."
dr. T. Martono Medan

DIBAWA KEMANA ? Seorang ibu mengantarkan anaknya ke dokter spesialis mata dan dengan keluhan sebagai berikut : " Dokter, saya heran saya perhatikan anak ini makin kabur penglihatannya." Dokter spesialis mata tersebut dengan teliti memeriksa mata anak tersebut, bahkan dengan alat-alat yang serba modern. Dokter : "Anak ibu mesti segera dibawa ke ................." (dokter lama berfikir), Ibu : "Kemana dokter?" tanyanya camas. Dokter : "Ke . . . tukang cukur !!! Sekarang juga !!!" Ibu : "Kena apa dokter? " Dokter : "Rambutnya menutupi matanya !" katanya dengan suara geram dan seram. SRI
54 Cermin Dunia Kedokteran No. 33, 1984

1. Kehilangan darah dalam fraktura tertutup dapat diperkirakan. Fraktura femur biasanya disertai kehilangan darah sebanyak : (a) 100 - 200 m1. (b) 200 - 300 ml. (c) 250 - 400 m1. (d) 500 - 700 ml. (e) 500 - 2000 ml. 2. Untuk keadaan darurat, anestesi regional sering banyak menolong. Yang bukan kontraindikasi untuk anestesi ini ialah : (a) Lambung yang penuh. (b) Infeksi di daerah yang akan dimasuki jarum. (c) Gangguan perdarahan. (d) Hipertensi yang tak terkendalikan. (e) Bukan salah satu dari di atas. 3. Untuk mencegah bahaya aspirasi dilakukan tindakan-tindakan ini kecuali : (a) Puasa 6 jam. (b) Pengosongan lambung dengan pipa lambung. (c) Diberikan antasida magnesium trisilikat. (d) Bukan salah satu dari di atas. 4. Hemoptisis harus dibedakan dari hematemesis. Pada hemoptisis, terdapat tanda-tanda ini, kecuali : (a) Prodromal, rasa tidak enak di tenggorok dan ingin batuk. (b) Warna darah merah kehitaman, tidak berbuih. (c) Darah dapat bercampur dahak. (d) pH alkalis. (e) Ada riwayat penyakit jantung/paru. 5. Pada hemopstisis, tindakan yang khasiatnya jelas-jelas nyata ialah : (a) Pemberian kantong es di dada. (b) Pemberian Adonna/Decynone. (c) Penderita disuruh batuk bila ingin batuk. (d) Pemberian vitamin C. (e) Pemberian vasopresin (Pitresin) 6. Bila kita mencurigai amebiasis, penderita sering kita minta memeriksakan tinjanya. Dalam pengambilan tinja harus diperhatikan syarat ini , kecuali : (a) Tidak boleh tercampur air/kencing karena bentuk trofozoit akan rusak.

(b) Penderita yang memakan antibiotika, tinjanya harus diperiksa sebelum atau satu minggu setelah pengobatan. (c) Tinja encer harus diperiksa paling lambat 30 menit setelah dikeluarkan. (d) Pemberian antasida harus dihindari menjelang pemeriksaan. (e) Bila tinja encer, harus dikeringkan. 7. Di antara zat-zat ini, keracunan yang paling sering terjadi di Indonsia disebabkan oleh : (a) Organoklorin. (b) Organofosfat. (c) Luminal. (d) Karbamat. (e) Racun tikus 8. Mengenai penyakit gondong, yang benar ialah : (a) Tidak dapat menyebabkan meningitis. (b) Sering menyebabkan kerusakan permanen saraf ke 2. (c) Bila saraf terserang, yang rusak permanen biasanya saraf ke 8 (tuli). (d) Tidak dapat menyerang orang di atas 15 tahun. (e) Komplikasi orkhitis selalu disertai kemandulan. 9. Obat yang dikabarkan lebih tinggi kadar serumnya bila diberikan secara oral dibandingkan dengan IM ialah : (a) Penisilin. (b) Kloramfenikol. (c) Eritromisin. (d) Klindamisin. (e) Streptomisin. 10. Obat pada pemberian IM dapat menyebabkan mielitis transversal karena obat kental menyumbat pembuluh darah. Contohnya ialah : (a) Penisilin prokain. (d) Antalgin. (b) Kloramfenikol. (e) CTM. (c) Streptomisin

Cermin Dunia Kedokteran No. 33, 1984

55

APAKAH ASPARTAME SAMA SEKALI BEBAS EFFEK SAMPING ??? Hasil penelitian dari the Massachusetts Institute of Technology, USA menunjukkan bahwa minuman yang mengandung pemanis sintetik, berkalori rendah, Aspartame, dapat menyebabkan perubahan keadaan jiwa (mood) dan gangguan tidur. Aspartame ialah dipeptida yang terdiri dari asam amino fenilalanin dan asam aspartat. Ditemukan oleh peneliti tersebut di atas suatu kenaikkan kadar fenilalain dalam otak tikus yang telah diberi aspartame. Fenilalanin adalah zat pendahulu (precursor) untuk catecholamine, suatu zat aktif yang mempengaruhi nafsu makan, tidur dan keadaan jiwa. FDA dan G.D. SEARLES Co. tidak sepakat dengan penemuan ini. OLH
Science, Nov. 1983

TUKANG -TUKANG KUBUR DALAM MASYARAKAT LEBAH Telah diketahui bahwa para pekerja dalam masyarakat lebah mendapat tugas-tugas khusus seperti membersihkan bilik-bilik dalam sarang memberi makan kepada larvae, mengolah sari bunga, menjaga keamanan dan mencari makanan. Para entomolog kini dapat menunjukkan bahwa selain tugas-tugas yang tersebut diatas terdapat juga pekerja-pekerja yang bertugas khusus sebagai tukang kubur bangkai lebah. Tugas ini ternyata termasuk penting juga, oleh karena bila tidak ada yang melakukannya, maka jumlah bangkai lebah yang terkumpul akan menimbun Ik. 1 liter dalam sebulan dan ini akan dapat menimbulkan penyakit serta dapat juga mendatangkan binatang-binatang pemakan bangkai. Pekerja- pekerja ini dapat "mencium" teman-teman sejenisnya yang sudah mati untuk kemudian diangkatnya dengan mandibula, menarik keluar dari sarang lalu membawanya terbang sejauh 1k. 100 meter sebelum menjatuhkannya. OLH

Science. No. 1 1983

PENGOBATAN PERSISTEN ROTATOR CUFF TENDINITIS DENGAN PULSED ELECTROMAGNETIC FIELD (PEMF) Penyebab nyeri bahu yang biasa pada orang dewasa adalah rotator cuff tendinitis. Pada kelainan ini, pemberian suntikan kortikosteroid lokal atau segala bentuk pengobatan konservatif lainnya sering tidak bermanfaat. Di bagian Rheumatologi Rumah Sakit Adden Brooke, Cambridge, telah dilakukan penelitian terhadap 29 pasien dengan persisten rotator cuff tendinitis secara double blind controlled. Lima belas pasien (kelompok diobati) dipasangi koil dengan 50 lilitan kawat tembaga pada bahu yang sakit. Koil ditempel dengan plester. Setiap kali ia digunakan 1 jam. Setiap hari 5 - 9 kali. Koil itu dialiri listrik dari generator berpulsa (73 2 Hz). Pada 14 pasien lainnya (kelompok kontrol) koil tadi pasif, tak dialiri listrik. Hasil penelitian membuktikan kegunaan terapi PEMF pada pasien dengan rotator cuff tendinitis berat atau persisten, maupun lesi-lesi tendon kronik lainnya. Kemajuan yang maksimum dicapai dalam waktu 4 minggu sejak dimulainya pengobatan. Aliran darah ke tendon pada orang dewasa biasanya buruk, sehingga penyembuhan terhadap lesi di tendon lambat. PEMF, dilaporkan mempercepat perbaikan tulang, regenerasi saraf, penyembuhan ulkus pada kulit, kerusakan jaringan lunak dari persendian dan nekrosis avaskular dari kaput femur. Sebagai tambahan, ia juga meningkatkan pembentukan jaringan kolagen. Penemuan -penemuan inilah yang digunakan sebagai dasar pengobatan rotator cuff tendinitis dengan PEMF. Kini terbukti bahwa medan magnit/medan listrik itu mempengaruhi fungsi -fungsi tubuh. (KRIS)
Lancet 1984; i : 696 - 8
56 Cermin Dunia Kedokteran No. 33, 1984

You might also like