You are on page 1of 5

Pemicu 4 / Modul Respirasi 2010-2011

Tuberkulosis Paru (TB Paru)


oleh Evan Regar, 0906508024
pidemiologi
Sebelum membahas mengenai epidemiologi TB, istilah penyakit TB dan inIeksi
TB perlu dibedakan terlebih dahulu. Seseorang yang terinIeksi TB tidaklah harus
mengalami penyakit TB. Berdasarkan pemahaman ini, logis bila dikatakan bahwa jumlah
penderita TB jauh lebih sedikit daripada jumlah orang yang terinIeksi TB di seluruh
belahan dunia.
1
Hal ini semakin diperkuat dengan tulisan G. Bacelli yakni Il bacilo non
e ancora tutta la tuberculosi` yang jika diterjemahkan artinya Bakteri tuberkulosis
memang diperlukan, namun tidaklah cukup untuk menyebabkan penyakit tuberkulosis`.
Secara global diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinIeksi
Mycobacterium tuberculosis (selanjutnya disingkat sebagai MTb). Meskipun demikian,
'hanya sekitar 10 dari yang terinIeksi TB akan berkembang menjadi penyakit TB.
Seiring dengan berjalannya waktu situasi TB di dunia kian memburuk dengan
peningkatan kasus TB yang tidak berhasil disebutkan. Di Indonesia sendiri TB
merupakan masalah utama kesehatan masyarakat.
2
Indonesia mencatatkan diri sebagai
negara dengan jumlah ke-3 terbanyak pasien TB setelah India dan Cina. Jumlah di
Indonesia ini menyumbang kurang lebih 10 jumlah total pasien TB di dunia. Demikian
pula di Asia Tenggara mencatat 1/3 kasus TB di seluruh dunia.
3

Gambar 1 - aktor risiko kejadian TB beserta perjalanannya
2

Kematian akibat TB diperkirakan mencapai 8000 orang per hari dan 2-3 juta
orang per tahun. Laporan WHO pada tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah kematian
TB terbesar di dunia tercatat di Asia Tenggara, yakni sebayak 625.000 kasus/tahun (39
per 100.000 penduduk).
3

Terkini di tahun 2009, data yang dilansir oleh WHO mengungkapkan 9,4 juta
insidens (137 kasus per 100.000 penduduk), sebagian besar disumbang oleh negara-
negara yang digolongkan oleh WHO sebagai 22 ig-burden countries (di antaranya
Brazil, Cina, India, Rusia, Thailand, dan Vietnam).
Di tahun-tahun belakangan ini terjadi peningkatan insidens MDR-TB (multi-
drug resistant TB) dan XDR-TB (extensively-drug resistent TB) yang semakin
meningkat kasusnya. Pada tahun 2008 ditemukan 440.000 kasus MDR-TB (penyumbang
terbesar: Cina, India, Rusia, AIrika Selatan). Di bulan Juli 2010, 58 negara paling tidak
melaporkan terdapat satu kasus XDR-TB pernah terdeteksi di negaranya.
4
Dipelajari pula
bahwa risiko munculnya penyakit TB pada penderita HIV/AIDS mencapai 10 per
tahunnya (bukan 10 selama hidupnya!)
1

Gefala dan Tanda Kas
Tuberkulosis dapat menunjukkan gejala dan tanda yang sangat luas sehingga
menyebabkan tantangan dalam menegakkan diagnosis TB jikalau hanya bergantung
kepada gejala klinis saja. Dibandingkan dengan orang dewasa, gejala yang timbul pada
anak-anak lebih tidak khas.
5
Selain menggabungkan gejala dan tanda, sebelum
mendiagnosis TB seseorang klinisi harus menilai dengan index of suspicion yang disertai
dengan pertanyaan sederhana, 'apakah TB merupakan penyakit pada pasien ini?, yang
membuat klinisi akan mencari tahu dengan pemeriksaan mikrobiologi, histopatologi,
serta radiologi sebagai konIirmasi diagnosis TB
1. Riwayat kontak dengan penderita tuberkulosis
Setiap orang, khususnya anak-anak terinIeksi MTb terutama melalui kontak
dengan orang yang menderita TB. Riwayat kontak dengan keluarga atau orang
yang tinggal serumah dapat menjadi indikasi yang kuat. Jika tidak diketahui ada
orang yang menderita TB, curigalah kepada orang-orang yang memiliki batuk
persisten (kronik) atau tanda/dan gejala yang mengarah ke TB.
2. Gejala sistemik seperti demam, keringat malam (night sweat), mudah lema dan
letih, kehilangan naIsu makan, kehilangan berat badan, atau amenorrhea. Gejala
lain seperti demam dan takikardia mungkin juga ditemukan. Perlu diingat bahwa
Pemicu 4 / Modul Respirasi 2010-2011
TB pulmoner sering diikuti oleh TB ekstrapulmoner. Oleh karena itu
pemeriksaan menyeluruh perlu pula dilakukan. Keringat malam merupakan
tanda yang tidak khas karena banyak kondisi yang dapat menyebabkan night
sweat, termasuk menopause, keganasan, konsumsi obat-obatan, hipoglikemia,
maupun kondisi neurologik. Keringat malam akibat inIeksi tuberkulosis
disebabkan oleh gejala demam itu sendiri yang disebabkan oleh inIeksi.

3. Gejala sistem respiratori, seperti batuk, sputum, nyeri dada, hemoptisis, dan
sesak napas. Hemoptisis sering diakibatkan kavitas yang mengerosi pembuluh
darah paru (satu kavitas kecil bahkan dapat menyebabkan hemoptisis). Nyeri
dada biasany diakibatkan inIlamasi paru, terutama apabila permukaan pleura
terkena. Sesak napas jarang ditemukan, namun apabila ditemukan biasanya
menggambarkan penyakit paru yang ekstensiI serta komplikasi seperti
pneumotoraks, eIusi pleura, maupun endobronkitis.
5

Batuk merupakan simptom yang cukup sensitiI bagi penyakit TB. Oleh karena
itu batuk kronik yang terjadi lebih dari 2-3 minggu harus dicurigai dan diperiksa
untuk menyingkirkan diagnosis TB. Walaupun sensitiI, batuk adalah gejala yang
kurang spesiIik mengingat banyak penyakit paru yang bermaniIestasi sebagai
batuk.

4. Tanda-tanda tuberkulosis ekstrapulmoner, seperti:
O imfadenopati tuberkulosis - sering mengenai kelenjar getah bening
servikal, aksila, dan inguinal). LimIadenopati tuberkulosis ditandai dengan
pembengkakan yang lebih besar dari 4 cm, asimetris, progresiI cepat,
cenderung tidak nyeri, dan disertai dengan gejala sistemik seperti demam
serta kehilangan berat badan
O fusi pleura, perikardial, dan peritoneal Lebih sering terjadi pada
pengidap HIV/AIDS positiI, disertai dengan nyeri dada dan sesak napas,
auskultasi yang abnormal, serta gambaran radiologis yang spesiIik
O Tuberkulosis meningitis yang mampu mencapai otak melalui bagian dari
tuberkulosis miliaris lewat jalur hematogen. Tampak gejala meningitis yakni
kaku kuduk.
O Tuberkulosis tulang belakang (Pott disease), menampilkan gibbus
(deIormitas tulang belakang)
iagnosis
Diagnosis TB dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan Iisik,
pemeriksaan bakteriologi, radiologi, serta pemeriksaan penunjang lainnya.
3

Anamnesis
Walaupun paling sederhana dan terkesan tidak sensitiI maupun spesiIik, anamnesis
merupakan hal terpenting untuk mendiagnosis TB. Gejala klinis (baik lokal maupun
sistemik). Gejala lokal sistem respirasi sangat bervariasi antarpasien (mulai dari tak
bergejala hingga gejala yang berat).
Pemeriksaan isik
Pada TB paru kelainan amat bergantung pada struktur paru. Pada awal keadaan
sangat sulit menemukan kelainan akibat TB melalui P. Kelianna biasanya ditemukan di
lobus superior (apeks) dan segmen posterior, serta apeks lobus inIerior. Di daerah ini
dapat saja ditemukan suara napas bronkial, amoIrik, melemah, ronki basah, tanda
penarikan paru, diaIragma, serta mediastinum.
Jika terjadi pleuritis pemeriksaan perkusi menampakkan suara pekak di daerah yang
rongga pleuranya terisi cairan, serta pada auskultasi tampak suara napas yang melemah
atau bahkan tak terdengar. Apabila terjadi limIadenitis tuberkulosis, periksa di daerah
leher dan daerah ketiak.
Pemeriksaan Bakteriologi
Pemeriksaan ini juga memiliki arti yang sangat penting untuk menegakkan diagnosis.
Pemeriksaan dapat diperoleh dari sputum, cairan pleura, likuor serebrospinal, bilasan
bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin,
Ieses, serta jaringan biopsi (termasuk NAB).
1. Pulasan Basil Tahan Asam (BTA)
Setelah anamnesis, pengujian sputum untuk MTb dapat dilakukan. Bagi pasien
dengan batuk produktiI, sampel untuk pengujian dapat diambil sebanyak tiga
kali dengan teknik SPS (sewaktu sewaktu kunjungan; pagi pasien pulang dan
keesokan harinya mengambil sputum; sewaktu pasien menyerahkan spesimen
dan di tempat penyerahan kembali mengeluarkan sputum). Jika tidak dapat
mengeluarkan sputum, kadang-kadang dilakukan koleksi sputum menggunakan
sampel bilasan lambung (meraih sputum yang teraspirasi) atau bilasan
bronkoalveolar, serta biopsi transbronkial. Uji ini merupakan uji yang murah,
Pemicu 4 / Modul Respirasi 2010-2011
cepat, serta relatiI mudah dilakukan dengan sensitivitas rata-rata 30-40 dan
meningkat hingga 65-80 apabila dilakukan pengambilan sampel secara
multipel (misal: SPS). Uji ini cenderung positiI apabila TB telah ekstensiI dan
banyak terjadi kavitas. Permasalahan yang timbul adalah ketidakmampuan
membedakan MTB dengan mikroorganisme Mycobacteria lainnya.
6

Dari hasil pemeriksaan sputum ini, istilah BTA positif merujuk kepada 3 hasil
positiI atau 2 hasil positiI 1 hasil negatiI. Jika hasil 1 kali positiI 2 kali
negatiI, ulang BTA sebanyak 3 kali lalu perhatikan kembali hasilnya. Jika
minimal 1 hasil positiI maka dikatakan sebagai BTA positif, sedangkan bila 3
kali negatiI maka digolongkan sebagai BTA negatif.
Interpretasi hasil positiI dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis, yakni
menurut skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung
Disease), yakni jika:
2,3
a. Tidak ditemukan BTA negatiI
b. 1-9 BTA / 100 LP ditulis jumlah kuman yang ditemukan
c. 10-99 BTA / 100 LP positiI 1 (1)
d. 1-10 BTA / 1 LP positiI 2 (2)
e. 10 BTA / 1 LP positiI 3 (3)

. Kultur .4-,.907:2
Kultur dikatakan lebih sensitiI dan spesiIik dibandingkan dengan uji
mikroskopis. Medium yang digunakan adalah egg-based media Lowenstein-
Jensen, Ogawa, serta Kudoh; dan agar-based media seperti middle brook.
Bakteri yang timbuh di media LJ berwarna kecoklatan dan granular. Kultur di
media ini membutuhkan waktu yang sangat lama (biasanya empat minggu)
akibat kemampuan replikasi MTb yang sangat lambat (membelah menjadi dua
dalam waktu 15-20 jam). Selain untuk melihat pertumbuhan MTb, medium LJ
digunakan pula untuk uji suseptibilitas antibiotik, serta membedakan spesies
MTb dengan Mycobacterium lain/MOTT (berdasarkan koloni, laju pertumbuhan,
karakteristik biokimia seperti produksi niasin, pengayaan gliserol, serta piruvat
melalui tes nikotinamid, niasin, serta pencampuran dengan sianogen bromida).

. Pemeriksaan lain dengan BACTEC, PCR, serta serologi (ESLIA, ICT,
Mycodot, PAP, serta IgG TB).
Pemeriksaan Radiologi
Posisi standar yang digunakan adalah Ioto toraks PA dan atas indikasi adalah
Ioto lateral, top-lordotik (melihat khusus bagian apeks paru), oblik, serta CT-scan. TB
pada umumnya memberikan gambaran bermacam bentuk.
InIeksi primer dapat menampakkan gambaran tuberkulosis primer, seperti Iokus
Gohn dan kompleks Ranke. Kompleks Gohn tampak seperti nodul padat berbatas tegah
yang terkalsiIikasi, sementara itu kompleks Ranke sering menampakkan kalsiIikasi nodul
berbatas tegas dengan kalsiIikasi kelenjar getah bening yang khas. Gambaran ini adalah
lesi yang inaktiI meskipun organisme dapat saja tetap hidup dan dapat menjadi situs
reaktivasi apabila keadaan tertentu memicunya (seperti deIisiensi sistem imun).
5

Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi paru aktiI (biasanya akibat
inIeksi sekunder kecuali pada anak-anak dan penderita HIV/AIDS) adalah bayangan
berawan/nodular di apikal dan posterior lobus atas paru serta superior lobus bawah,
(suatu konsolidasi), kavitas (dapat lebih dari 1) yang dikelilingi bayangan opak, berawan,
atau nodular, bayangan bercak milier, eIusi pleura unilateral. Gambaran radiologi
sebagian lesi tak aktiI antara lain Iibrotik, kalsiIikasi, atau schwarte (penebalan pleura).
3

Perlu diingat bahwa diagnosis TB sebaiknya tidak dilakukan dengan Ioto toraks semata
mengingat banyak penyakit yang dapat menampakkan citra radiologi serupa.

Gambar kiri: kompleks ranke; kanan: gambaran konsolidasi disertai dengan kavitas
di bagian paru atas
7
Pemeriksaan Lain
Pemicu 4 / Modul Respirasi 2010-2011
Selain pemeriksaan di atas, pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan
adalah analisis cairan pleura (uji Rivalta) dengan kesan cairan pleura eksudat dan
dominan sel limIosit serta glukosa yang rendah; histopatologi jaringan (NAB KGB,
pleura, jaringan paru, lesi organ di luar paru yang dicurigai TB); pemeriksaan darah rutin
(walau kurang menunjang namun dapat terlihat peningkatan LED yang menandakan
proses aktiI, serta limIosit yang agaknya kurang spesiIik); serta uji tuberkulin.
Uji tuberkulin positiI menunjukkan terdapat inIeksi tuberkulosis, walaupun
belum tentu menggambarkan penyakitnya. Dengan prevalensi TB yang sangat tinggi di
Indonesia, uji ini menjadi kurang spesiIik dan bermakna terutama pada orang dewasa. Uji
ini hanya bermakna bila ditemukan konversi, bula, atau kepositiIan yang sangat besar.
Kelemahan uji ini adalah menunjukkan hasil positiI palsu (misal: akibat inIeksi MOTT
dan baru mendapat vaksin BCG) serta hasil negatiI paru (pada pasien imunokompromi
serta malnutrsi berat).
3
Berdasarkan uji-uji di atas, penyakit TB dapat digolongkan menjadi beberapa
macam, yakni:
1. TB paru (tak termasuk pleura) dan TB non-paru
2. TB paru BTA positiI dan BTA negatiI
3. TB paru BTA negatiI Ioto toraks positiI dan Ioto toraks negatiI
4. Berdasarkan kasus sebelumnya: baru, kambuh (relaps), putus berobat, gagal,
pindahan, serta kasus lain
Agar lebih memahami prinsip diagnosis TB, alur diagnosis TB di halaman
samping dapat digunakan sebagai acuan (guideline). Alur ini terutama digunakan apabila
Iasilitas diagnostik terbatas (hanya dibutuhkan pemeriksaan sederhana Ioto toraks dan
pulasan BTA). Untuk sebagian besar kasus Ioto toraks tidak dibutuhkan namun menjadi
diperlukan apabila hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS yang positiI, spesimen dahak
tetap negatiI tanpa disertai perbaikan klinis pasien selepas pemberian obat antibiotika
non-OAT, serta terdapat komplikasi berat seperti sesak napas yang membutuhkan
penangan khusus (misal: pneumotoraks, pleuritis eksudatiI, eIusi pleura dan eIusi
perikardial).



Gambar 3 Algoritma tatalaksana suspek TB untuk menegakkan diagnosis TB atau
menyingkirkannya
2

Tatalaksana dan ;aluasi Pengobatan
Pengobatan TB terbagi menjadi dua Iase, yakni pengobatan Iase intesiI (antara
2-3 bulan) dan Iase lanjutan (antara 4 7 bulan). ase awal ini dilakukan dengan pasiem
mendapat obat setiap hari dan sebaiknya diawasi langsung. Sebagian besar pasien TB
BTA positiI menjadi BTA negatiI (konversi) dalam waktu 2 bulan. Pada tahap lanjutan
pasien mendapat obat yang lebih sedikit namun lebih lama dengan tujuan membunuh
kuman yang persisten sehingga dapat mencegah kekambuhan. Total waktu pengobatan
yang panjang ini mengakibatkan keberhasilan penaganan TB sangat bergantung kepada
keinginan pasien untuk sembuh serta kepatuhan pasien dalam meminum obat. Sejarah
Pemicu 4 / Modul Respirasi 2010-2011
mengungkapkan bahwa Streptomisin merupakan OAT pertama yang eIektiI.
Berdasarkan uji klinis akjhirnya didapatkan aksioma bahwa pengobatan TB
membutuhkan sekurang-kurangnya dua OAT yang eIektiI dan pengobatan jangka
panjang sangat diperlukan untuk mencegah rekurensi.
8

Terdapat dua golongan obat yang digunakan, yakni obat Lini 1 (INH-H,
riIampisin-R, pirazinamid-Z, streptomisin-S, ethambutol-E) dan Lini 2 (kanamisin,
amiksin, kuinolon, makrolid, koamkosiklav, dan golongan yang belum tersedia di
Indonesia seperti deriIat riIampisin baru, PAS, sikloserin, dan kapreomisin). Secara
kemasan obat Lini 1 banyak yang dikemas menjadi kombinasi dosis tetap / DC (Iixed
dose combination) sehinga memudahkan pasien dan dapat meningkatkan komplians
pasien dalam mengonsumsi obat.
O Pasien dengan TB paru (kasus baru), BTA positiI, atau tampak lesi aktiI dan
luas pada Ioto toraks dianjurkan: 2RHZE/4RH atau 2RHZE/6HE atau
2RHZE/4R3H3. Pengobatan sebaiknya dispesiIikkan dengan antimikrobial
tertentu apabila terdapat Iasilitas uji resistensi.
O Pasien dengan TB paru, BTA negatiI, serta lesi radiologi toraks minimal
dianjurkan menggunakan: 2 RHZE/4RH atau 6RHE atau 2RHZE/4R3H3
O Pasien dengan TB paru kasus relaps jika belum memiliki hasil uji resistensi
diberikan 2RHZES/1RHZE, sedangkan Iase lanjutan disesuaikan dengan
hasil uji resistensi
O Pasien dengan gagal pengobatan selalu perlu dipertimbangkan lini 2
sebelum ada uji resistensi. Tindakan bedah dapat pula dipertimbangkan
serta merujuk ke dokter spesialis paru.
O TB paru karena putus berobat serta kasus kronik memiliki pedoman sendiri
tergantung parameter seperti waktu kapan putus berobat.
Catatan: kode regimen standar TB memiliki cara pembacaan tertentu. Sebagai contoh, 2
RHZE/4(RH)
3
memiliki makna durasi awal 2 bulan dan dilakukan setiap hari dengan obat-
obatan riIampisin, INH, pirazinamid, dan ethambutol; sedangkan Iase lanjutan diterapi
selama 4 bulan dengan obat riIampisin dan isoniazid sebanyak 3 kali per minggu. 4RH
menggambarkan penggunaan riIampisin dan isoniazid selama 4 bulan setiap hari.
Perawatan non-Iarmakologis seperti pengobatan suportiI dan simptomatis
membutuhkan makanan untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau obat untuk
mengatasi gejala/keluhan. Pembedahan dapat pula dipertimbangkan untuk indikasi
mutlak pasien mendapat OAT adekuat namun sputum tetap positiI BTA, pasien batuk
darah masiI dan tidak dapat ditangani secar akonservatiI, serta pasien dengan Iistula
bronkopleura serta empiema yang tak dapat ditangani secara konservatiI.
3,5
Evaluasi klinis dilakukan setiap 2 minggu / bulan pertama, dan pantauan setiap
bulan untuk bulan-bulan berikutna; evaluasi radiologi dilakukan sebelum pengobatan,
akhir 2 bulan pengobatan, dan akhir pengobatan. Evaluasi komplians konsumsi obat
dapat dilakukan dengan memberikan obat secara berkala dan mengharuskan pasien
kembali ke rumah sakit atau dokter untuk memperoleh obat untuk minggu/bulan
berikutnya. Pasien dinyatakan sembuh apabila BTA negatiI dua kali saat akhir
pengobatan adekuat, Ioto toraks menampakkan gambaran radiologi perbaikan, serta jika
ada Iasilitas biakkan menampakkan hasil negatiI. Setelah dinyatakan sembuh, evaluasi
harus dilakukan dalam 2 tahun pertama untuk mengetahui kekambuhan dengan evaluasi
BTA dan Ioto toraks.

Referensi
1. Bezuidenhout J, Schneider JW. Pathology and pathogenesis oI tuberculosis. In:
SchaII HS, Zumla A, editors. Tuberculosis. A comprehensive clinical reIerences.
Amsterdam: Elsevier Saunders; 2009
2. Aditama TY, Kamso S, Basri C, Surya A, editors. Pedoman nasional
penanggulangan tuberkulosis. Edisi 2. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia; 2007
3. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: Pedoman diagnosis dan
penatalaksanaan di indonesia. Jakarta: PDPI; 2006
4. WHO. Global tuberculosis control: WHO report 2010. Geneva: WHO Press; 2010
5. Maher D. Clinical Ieatures and index oI suspicion oI tuberculosis in adults. In:
SchaII HS, Zumla A, editors. Tuberculosis. A comprehensive clinical reIerences.
Amsterdam: Elsevier Saunders; 2009
6. Lam PK, Catanzaro A, Perry S. Diagnosis oI pulmonary and extrapulmonary
tuberculosis. In: Raviglione MC, editor. Tuberculosis: The essentials. 4
th
edition.
New York: InIorma Healthcare; 2010
7. Daley CL, Gotway M. Imaging oI tuberculosis in adults. In: SchaII HS, Zumla A,
editors. Tuberculosis. A comprehensive clinical reIerences. Amsterdam: Elsevier
Saunders; 2009
8. Raviglione MC, O`Brein RJ. Tuberculosis. In: auci AS, Kaspesr DL, Longo DL,
Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL. Harrisson`s principles oI internal medicine.
17
th
edition. New York: McGraw Hill; 2008

You might also like