You are on page 1of 7

MANAJEMEN SAMPAH YANG TIDAK FORMAL

MUHAMMAD RIDHA ANSHARY


Program Studi Teknik Lingkungan, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Indonesia.

Abstrak Pada umumnya, manajemen persampahan di negara-negara berkembang merupakan masalah yang pelik dan rumit. Segala upaya telah dilakukan pemerintah untuk mengatur dan mengendalikan sampah yang terus bertambah seiring meningkatnya jumlah penduduk. Rendahnya kesadaran masyarakat akan membuang sampah pada tempatnya menyebabkan segala yang dilakukan pemerintah menjadi terhambat. Di lain pihak, sebenarnya terdapat ribuan orang yang menggantungkan hidup mereka dari mengais dan mengumpulkan sampah kemudian menyerahkannya kepada pengumpul. Pekerjaan ini bukanlah hal yang mudah dan apabila tidak terjadi komunikasi yang baik antara pemulung dan pemerintah maka dikhawatirkan akan terjadi masalah baru. Tulisan ini dibuat untuk menjelaskan bahwa satu masalah yang cukup penting adalah bagaimana bekerja sama dengan baik dengan para pemulung agar manajemen persampahan yang tidak formal ini akan berlangsung teratur dan tujuan masing-masing pihak (pemerintah dan pemulung) dapat tercapai. Kata Kunci : Manajemen, sampah, tidak formal.

Pendahuluan Di dalam konsep manajemen persampahan, terdapat dua istilah yaitu manajemen sampah secara formal dan manajemen persampahan secara tidak normal. Manajemen sampah secara formal ini dapat diartikan sebagai pengelolaan sampah yang memiliki konsep, perencanaan, didukung teknologi serta telah diuji dan dijalankan oleh instansi pemerintah yang terkait seperti dinas kebersihan dan sejenisnya. Sedangkan manajemen persampahan yang tidak formal adalah

pengelolaan sampah yang dilakukan oleh sekelompok orang atau golongan yang bukan dari instasi pemerintah, bersifat kepentingan pribadi, dilakukan tanpa perencanaan dan bersifat tidak teratur atau acak, serta dengan peralatan seadanya. Dengan kata lain, yang berperan aktif dalam manajemen persampahan yang tidak formal ini adalah para pemulung yang memanfaatkan barang bekas atau sampah yang dibuang oleh masyarakat. Semuanya dilakukan untuk mendapatkan keuntungan pribadi yakni untuk memperoleh makan atau kebutuhan pribadi lainnya. Di negara-negara berkembang, dimana kebijakan pemerintah dalam bidang ekonomi yang belum matang menyebabkan adanya kesenjangan sosial di masyarakat. Disana terdapat ribuan orang kaya, namun disana juga terdapat ribuan orang miskin. Dan diantara orang-orang miskin itu, banyak yang melakukan pekerjaan sebagai pemulung, yakni mengais sampah dan memilahnya yang kemudian sampah yang sudah dipilah itu akan dijual kepada para pengumpul (Ahmed, 2004). Pekerjaan mengais sampah oleh pemulung ini dilakukan karena kurangnya lapangan kerja yang disediakan pemerintah dan tingginya persaingan dalam memperoleh pekerjaan. Para pemulung umumnya terdiri dari orang-orang yang dulunya tidak mengenal bangku sekolah sehingga pengetahuan mereka terbatas dan mereka susah mencari pekerjaan bahkan susah menjadi buruh karena diperlukan keterampilan yang hanya diajarkan di sekolah. Martin Medina (1997) mengatakan disana terdapat beberapa ciri khas dari pemulung itu yang diantaranya adalah :

Para pemulung adalah orang miskin; Para pemulung memiliki status sosial yang rendah; Para pemulung kebanyakan berasal dari desa yang melakukan urbanisasi atau para transmigran; Memulung merupakan respon dari kemelaratan yang melanda warga; Para pemulung menyerahkan hasil dari memulung ke pengumpul atau industri daur ulang.

Medina juga memperkirakan disana terdapat 2% dari total jumlah penduduk di negara berkembang yang memiliki profesi sebagai pemulung. Hal ini berarti terdapat ribuan orang yang terlibat dalam proses permulungan.

Dukungan dan Perlunya Campur Tangan Pemerintah Banyak orang yang mengatakan bahwa pemulung banyak memberi dampak negatif namun dibalik semua itu, dampak negatif yang dibawa dapat ditekan dan manajemen sampah yang tidak formal yang dilakukan oleh pemulung sebenarnya memiliki potensi yang amat besar apabila didukung oleh campur tangan pemerintah dan instansi yang terkait sehingga permasalahan sampah yang kerap menimpa dapat diatasi tanpa membawa efek negatif terhadap masyarakat dan pemulung itu sendiri. Adapun dukungan dan campur tangan yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah:

Menyediakan industri/pabrik yang menggunakan barang-barang bekas dari hasil memulung sebagai bahan mentah;

Menyediakan perantara (middlemen) atau pihak netral yang menjadi mediator antara para pemulung dengan pengumpul dan industri swasta agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan;

Memperhatikan kesejahteraan dan kesehatan dari pemulung itu sendiri;

Mengadakan kerjasama dengan pihak asing dan interaksi dengan pemerintah daerah agar segala permasalahan dapat diatasi dengan lancar.

Poin pertama memaparkan bagaimana pemerintah sebagai penyedia lahan pekerjaan harus bisa menyediakan beberapa pabrik/industri yang mengolah barang

bekas hasil buangan yang masih baik mutunya untuk diolah kembali menjadi barang baru yang memiliki nilai guna dan jual. Umumnya barang yang digunakan berupa bahan-bahan plastik atau botol-botol bekas. Disini pemerintah memiliki dua keuntungan yakni murahnya bahan atau material karena mengambil dari barang bekas tanpa harus mengeksploitasi sumber daya alam yang baru dan dapat mengurangi jumlah sampah plastik dan botol yang umumnya dibuang sembarangan. Sehingga terjadilah proses daur ulang dimana kemungkinan pembuangan sampah yang baru dapat ditekan karena sampah yang dibuang merupakan sampah terdahulu yang didaur ulang. Poin kedua memaparkan bagaimana diperlukannya seorang perantara (middlemen) yang bersifat netral yang menjadi mediator antara pemulung dengan pengumpul atau industri daur ulang yang bersifat swasta. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi kesalahan dalam permintaan barang dan jumlah harga yang harus dibayarkan kepada para pemulung sebanding dengan jumlah sampah berupa barang bekas yang berhasil dikumpulkannya, sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Hal ini semata-mata dilakukan untuk melindungi para pemulung yang umumnya memiliki tingkatan sosialnya rendah dan lemah hukum. Poin ketiga memaparkan bagaimana pemerintah harus memperhatikan kesejahteraan dan kesehatan para pemulung itu. Setiap hari, pemulung harus bergelut di tengah tumpukan sampah yang penuh dengan bibit penyakit. Sebagian dari pemulung merupakan kelompok orang-orang yang memiliki kualitas gizi rendah yang rentan terserang penyakit. Hal ini tidak hanya merugikan mereka namun juga orangorang disekeliling mereka karena berpotensi terjadinya penularan penyakit. Oleh karena itu pemerintah harus memberikan layanan kesehatan yang layak bagi mereka karena biarpun mereka adalah pemulung mereka tetap warga negara yang harus diperhatikan hidupnya. Poin keempat memaparkan bagaimana pemerintah dapat melakukan interaksi dengan pihak luar/asing dari sesama negara berkembang yang telah mampu

menyelesaikan masalah manajemen persampahan mereka untuk dimintai pendapat mengenai pengalaman mereka dalam menyelesaikan masalah manajemen persampahan secara tidak formal yang melibatkan pemulung ini. Kemudian pemerintah juga harus menjalin kerja sama dengan pemerintah daerah agar penanganan masalah ini dapat diselesaikan secara matang, tepat dan merata. Semua dukungan yang diberikan pemerintah harus bersifat konsisten, permanen, jujur dan adil karena ini berkaitan dengan kehidupan masyarakat banyak. Oleh karena itu diharapkan dukungan tidak hanya dari pemerintah sendiri namun juga dari masyarakat itu sendiri. Dukungan yang dapat dilakukan masyarakat adalah dengan menerapkan pola hidup sehat dan membuang sampah pada tempatnya.

Manajemen Persampahan Yang Tidak Formal di Bandung, Indonesia Indonesia merupakan salah satu dari negara berkembang yang memiliki masalah terhadap pengelolaan sampah. Banyak kota-kota besar di Indonesia yang setiap harinya menghasilkan berton-ton sampah, salah satunya kota adalah Bandung, yang merupakan ibukota dari Provinsi Jawa Barat. Bisa dibayangkan setiap harinya, di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di kota Bandung, truk-truk pembawa sampah datang dan membongkar muatan sampah dan tak lama kemudian para pemulung langsung mengerumuni sampah yang baru saja diturunkan dari truk tersebut. Kemudian mereka pindah lagi ke lokasi baru di areal yang sama dimana truk pembawa sampah kembali membongkar muatan sampah. Mereka mengumpulkan sampah-sampah yang terdiri dari sampah plastik, botol bekas dan barang bekas lainnya yang dapat di daur ulang sepanjang hari. Setelah waktu telah menunjukkan pukul 5 sore, maka pengumpul yang telah ditunjuk oleh perantara (middlemen) datang dan menukarkan barang bekas yang dikumpulkan oleh pemulung dengan sejumlah uang sesuai dengan jumlah sampah dan barang bekas yang mereka kumpulkan.

Kemudian pengumpul membawa sampah-sampah yang dapat didaur ulang tersebut ke tempat pengelolaan dan daur ulang sampah. Disini sampah-sampah yang akan didaur ulang dipilah dan dikelompokkan terlebih dahulu sebelum didaur ulang. Setelah proses pemilahan selesai, baru bahan itu diserahkan ke industri/pabrik pendaur ulang untuk dilakukan proses daur ulang menjadi barang-barang yang memiliki nilai guna dan jual. Setelah barang selesai di produksi, barulah barang-barang tersebut siap dilepas ke pasaran dan di distribusikan ke konsumen. Apabila diantara barang-barang tersebut ada yang rusak dan dibuang maka akan di ambil oleh pemulung dan kembali mengalami proses daur ulang. Apabila hal di atas terus terjadi, maka peningkatan sampah akan dapat ditekan karena kurangnya produksi sampah yang baru karena sebagian besar sampah yang dibuang berasal dari sampah yang sebelumnya di daur ulang dan kemudian akan didaur ulang lagi dan begitulah seterusnya. Kesimpulan Seperti yang kita ketahui, penelitian mengenai permodelan manajemen sampah yang tidak formal sangat terbatas. Namun dengan adanya dukungan dari pemerintah, maka penelitian itu dapat terus dilanjutkab dikembangkan. Dalam hal manajemen persampahan yang tidak formal ini, pemerintah memegang banyak peranan penting yang hanya bisa dilakukan oleh pemerintah sendiri, yakni seperti pengadaan lapangan kerja berbasis pabrik daur ulang, interaksi dengan peemerintah daerah dan luar negeri, perlindungan sosial dan perhatian akan kesehatan terhadap para pemulung yang banyak berperan dan menghabiskan waktunya di tengah tumpukkan sampah melawan rasa lapar, dahaga, penyakit dan waktu.

Referensi Ahmed, A. S., & Ali, M. (2004). Partnerships for solid waste management in developing countries: Linking theories to realities. Habitat International, 28(3), 467 479. Medina, M.: 1997, Informal Recycling and Collection of Solid Wastes in Developing Countries: Issues and Opportunities, UNU/IASWorking Paper No. 24, Tokyo, United Nations University/Institute of Advanced Studies, July 1997. Nas, Peter J.M : 2003, Informal Waste Management: Shifting The Focus From Problem To Potential, CNWS Research School, Leiden University, Netherlands. Wilson, David C.: 2006, Role of informal sector recycling in waste management in developing countries, Imperial College, London.

You might also like