You are on page 1of 132

GEOLOGI DAN POTENSI SUMBERDAYA NIKEL PADA BATUAN ULTRABASA, DAERAH HUKURILA DAN SEKITARNYA, KECAMATAN LEITIMUR SELATAN,

PROVINSI MALUKU.

SKRIPSI

Oleh : YOLANDA M.TITAWAEL 111.070.051

JURUSAN TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN YOGYAKARTA 2011

HALAMAN PENGESAHAN GEOLOGI DAN POTENSI SUMBERDAYA NIKEL PADA BATUAN ULTRABASA, DAERAH HUKURILA DAN SEKITARNYA, KECAMATAN LEITIMUR SELATAN, PROVINSI MALUKU.

Oleh: Yolanda M. Titawael 111 070 051

Yogyakarta, 22 Agustus 2011

Pembimbing 1,

Pembimbing 2,

Prof.Dr. Ir. C. Danisworo, M,Sc NIP: 03013445743

Ir. H. Achmad Rodhi,M.T. NIP: 19540511 198303 1 001

Mengetahui, Ketua Jurusan Teknik Geologi UPN Veteran Yogyakarta,

Ir. H. Sugeng Raharjo, M.T. NIP: 19581208 1992031 001

UCAPAN TERIMA KASIH


Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Adapun judul skripsi ini adalah Geologi Dan Potensi Sumberdaya Nikel Pada Batuan Ultrabasa, Daerah Hukurila Dan Sekitarnya, Kecamatan Leitimur Selatan, Provinsi Maluku . Penulis sangat berterima kasih pada dosen pembimbing 1,

Prof.Dr.Ir.C.Danisworo, M.Sc dan pembimbing 2 Ir.H. Achmad Rodhi,M.T, yang telah memberikan waktu,ilmu, motivasi dan bimbingan serta petunjuk yang penulis perlukan dalam penulisan laporan tugas akhir ini. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Ir.H. Sugeng Raharjo,M.T, selaku Ketua Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta, yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan pemetaan dalam bentuk skripsi di Pulau Ambon. Ucapan terima kasih juga, penulis sampaikan kepada kedua orang tua tercinta atas motivasi, biaya, semangat yang telah diberikan dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas bantuan bapak Kepala Dinas ESDM, Provinsi Maluku, Ir Abraham Tomasoa, penulis dapat melaksanakan pemetaan di Ambon. Kepada seluruh staf geologist Dinas ESDM, Provinsi Maluku, tak lupa penulis mengucapkan banyak terima kasih atas bimbingan, bantuan, dan dukungannya selama pelaksanaan pemetaan di Ambon. Kedua adik penulis, Jennet Flowrensa Titawael, Grace Vebiola Titawael dan keluarga besar Titawael, yang sangat banyak membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan ini, terima kasih banyak atas semua dukungan dan motivasi. Terima kasih kepada Bang Memet, Mas Rion, dan Kak Steanly, atas semua masukan, dukungan, bantuan, waktu, dan ilmunya yang sudah diberikan kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Pak Heri, Lia Rande, Fransisca Vinda Dinata, Hilda Nindiyah, Freedy Prima Iriano, Jaqualine Olivia Tanati, Tiolina Hutagalung, Novithalia Wijayanti, Dian Candra Dewi, Agnes Mei Sita, Yenni Eva Oktri, Dyah Ayu Anitasari, Niko, Wisnu, Pulung, Nono, Pangea 2007, dan semua

pihak yang tak dapat penulis sampaikan satu-satu, terima kasih atas semua dukungan, motivasi, bantuan, dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Yogyakarta ,22 Agustus 2011

Yolanda M. Titawael

ABSTRACT

Administratively, the location of the survey is included in the Village area Hukurila, South Leitimur District, the city of Ambon. Geographically located between 127 28 '51.2" East Longitude - 128 46' 11.2" east longitude and 2 49 '51.5 "south latitude - 3 33' 39.8" South latitude. The research area is divided into five geomorphic units are: the plains, karst topography, hills, mountains, and volcanic systems. The research area is composed by several rock units from old to young is: the ultramafic rock units, granite, sandstone Kanikeh, volcanic breccia rock, units of coral limestone, and alluvial deposits. Geological structures that develop in the region is robust and fault. Fault structures that develop are : Right Slip Normal Fault. To determine levels of Ni in this area, the authors took samples from drill results by using a hand auger at limonit zone and tested using by AAS method. Ni content of the test results with AAS method, obtained the following results: LP 38A 0.50% Ni, LP 38B levels of 0.32% Ni, LP 38C content of 0.31% Ni, LP 37 Ni 0.081%, LP 36 Ni content of 0.70%, LP 35 levels of Ni 0.34%, LP 34 levels of Ni 0.63%, LP 31 levels of Ni 0.18%, LP 22 levels of Ni 0.23%, LP 20 levels of Ni 0.32 %. And it can be concluded that the levels of Ni in the region telitian greatly influenced by the thickness of the zone limonitnya. The thicker limonitnya zone, the greater its Ni content.

Sari
Secara administratif lokasi survei termasuk dalam wilayah Desa Hukurila, Kecamatan Leitimur Selatan, Kota Ambon. Secara geografis terletak diantara 127 28 51,2 Bujur Timur - 128 46 11,2 Bujur Timur dan 2 49 51,5 Lintang Selatan - 3 33 39,8 Lintang Selatan. Daerah telitian dibagi dalam lima satuan geomorfik ialah : dataran, karst topografi, perbukitan, pegunungan, dan sistem vulkanik. Daerah telitian tersusun oleh beberapa satuan batuan dari tua ke muda adalah: yaitu satuan batuan ultrabasa, satuan batuan granit, satuan batupasir Kanikeh, satuan batuan breksi vulkanik, satuan batugamping terumbu, dan endapan alluvial. Struktur geologi yang berkembang pada daerah telitian adalah kekar dan sesar turun. Struktur sesar yang berkembang adalah: Right Normal Slip Fault. Untuk mengetahui kadar Ni dari daerah telitian, penulis mengambil conto dari hasil bor dengan menggunakan hand auger pada zona limonitnya dan diuji dengan menggunakan metode AAS. Dari hasil pengujian kadar Ni dengan metode AAS, didapatkan hasil sebagai berikut : LP 38A kadar Ni 0,50%, LP 38B kadar Ni 0,32%, LP 38C kadar Ni 0,31%, LP 37 kadar Ni 0,081%, LP 36 kadar Ni 0,70%, LP 35 kadar Ni 0,34%, LP 34 kadar Ni 0,63%, LP 31 kadar Ni 0,18%, LP 22 kadar Ni 0,23%, LP 20 kadar Ni 0,32%. Dan dapat disimpulkan bahwa kadar Ni pada daerah telitian sangat dipengaruhi oleh ketebalan dari zona limonitnya. Semakin tebal zona limonitnya, semakin besar juga kadar Ni-nya.

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN UCAPAN TERIMA KASIH SARI DAFTAR ISI DAFTAR FOTO DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL BAB I. PENDAHULUAN I.1. I.2. I.3. I.4. I.5. I.6. BAB II. Latar Belakang Rumusan Masalah Maksud dan Tujuan Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian Hasil Penelitian Manfaat Penelitian i iii iv vi viii ix 1 1 1 2 3 4 4 5 5 9 10 11 13 19 19 27 29 32 33

METODOLOGI PENELITIAN DAN DASAR TEORI II.1. II.2. II.3. II.4. II.5. Metode Penelitian Pengumpulan Data Bahan dan Alat Peneliti Terdahulu Dasar Teori

BAB III.

TINJAUAN UMUM III.1. III.2. III.3. III.4. III.5. Geologi Regional Kepulauan Maluku Batuan Vulkanik Komposisi Mineral Penyusun Batuan Beku Seri Batuan Beku Magmatisme Busur Kepulauan

BAB IV.

GEOLOGI DAERAH TELITIAN IV.1. Geomorfologi

35 35

IV.2. Stratigrafi IV.3. Struktur Geologi IV.4. Sejarah Geologi BAB V. POTENSI BATUAN ULTRABASA V.1 V.2 V.3. V.4. BAB VI. Petrografis Batuan Ultrabasa Serpentinisasi Mineral Pembentukan Nikel Potensi dan Penyebaran Nikel Laterit

45 64 67 69 71 76 80 85 98 99 102

KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

DAFTAR FOTO
Foto 4.1. Kenampakan dataran pantai , Lokasi Hutumuri, Pantai Lawena. Foto 4.2. Kenampakan singkapan batugamping terumbu, LP 15. Foto 4.3. Satuan geomorfik karst topografi, subsatuan lapies. Foto 4.4. Satuan geomorfik Perbukitan. Foto 4.5. Satuan geomorfik Perbukitan, subsatuan kaki bukit. Foto 4.6. Kenampakan air terjun, Lokasi W.Hosu LP 60. Foto 4.7. Satuan geomorfik pegunungan, subsatuan dataran tinggi. Foto 4.8. Satuan geomorfik sistem vulkanik, punggungan vulkanik. Foto 4. 9. (a),(b), dan (c) Kenampakan batuan peridotit. Foto 4.10. Kenampakan bidang penggerusan dan rekahan-rekahan. Foto 4. 11. (a), (b), dan (c) Foto 4.12. Kenampakan rekahan yang terisi oleh kuasra pada batuan granit. Foto 4.13. Kenampakan batuan granit di desa Soya LP 84. Foto 4.14. Foto conto batuan granit dan kenampakannya pada sayatan tipis. Foto 4.15. Kenampakan kekar pada batuan granit. Foto 4.16. Kenampakan batupasir dan sayatan tipisnya. Foto 4.17. Kenampakan singkapan batupasir di daerah W.Yuri. Foto 4.18. Kenampakan singkapan marmer,Lokasi Desa Rutong, LP 3. Foto 4. 19. Kenampakan breksi di daerah W.Yuri di LP. 100. Foto 4.20. Kenampakan breksi vulkanik di daerah W.Yuri di LP 103 Foto 4.21. Singkapan breksi vulkanik dalam kondisi lapuk pada LP 98 Foto 4.22 Kenampakan head coral pada batugamping terumbu. Foto 4.23. Kenampakan undukan coral pada batugamping terumbu Foto 4.24. Singkapan batugamping terumbu, Lokasi Desa Leahari . Foto 4.25. Kekar pada batuan granit,Lokasi W.Hosu, LP 57. Foto 4.26. Kekar pada batuan granit, Lokasi Hukurila, LP 49. 38 39 39 40 41 42 43 44 47 47 48 50 50 51 51 53 54 55 57 57 58 59 60 60 64 65

Foto 4.27. Kekar pada marmer, Lokasi Rutong, LP 3. Foto 4.28. Kenampakan shear dan gash batuan granit, LP 56. Foto 4.29. Kenampakan zona hancur (breksiasi) pada batuan granit,LP 57. Foto 5.1. Singkapan Nikel Laterit , LP 37. Lokasi G.Tersili Desa Hukurila. Foto 5.2. Singkapan profil nikel laterit LP 37. Foto 5.3. Singkapan profil nikel laterit LP 36. Foto 5.4. Singkapan profil nikel laterit LP 35. Foto 5.5. Singkapan profil nikel laterit LP 34. Foto 5.6. Singkapan profil nikel laterit LP 31. Foto 5.7. Singkapan profil nikel laterit LP 22. Foto 5.8. Pengambilan conto laterit nikel di LP 20.

65 66 66 86 88 89 90 91 92 93 94

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Lokasi Penelitian Gambar 2.1. Bagan Alir Penelitian. Gambar 3.1. Kesebandingan stratigrafi Pulau Ambon. Gambar 3.2. Setting tektonik Pulau Seram dan Pulau Ambon. Gambar 3.3. Skema seri reaksi Bowen. Gambar 4.1. Penunjaman kerak benua dan samudera. Gambar 4.2. Kolom stratigrafi daerah telitian. Gambar 5.1. Kenampakan sayatan tipis batuan ultrabasa, LP 22. Gambar 5.2. Kenampakan sayatan tipis batuan ultrabasa LP 32. Gambar 5.3. Klasifikasi untuk peridotit. Gambar 5.4. Sketsa proses pengayaan nikel. Gambar 5.5. Profil nikel laterit pada LP 38A . Gambar 5.6. Profil nikel laterit pada LP 38B. Gambar 5.7. Profil nikel laterit pada LP 38C. Gambar 5.8. Profil nikel laterit pada LP 37. Gambar 5.9. Profil nikel laterit pada LP 36. Gambar 5.10. Profil nikel laterit pada LP 35. Gambar 5.11. Profil nikel laterit pada LP 34. Gambar 5.12. Profil nikel laterit pada LP 31. Gambar 5.13. Profil nikel laterit pada LP 22. Gambar 5.14. Profil nikel laterit pada LP 20. Gambar 5.15. Peta kontur penyebaran kadar Ni pada daerah telitian. Gambar 5.15. Korelasi zona limonit dari nikel laterit pada daerah telitian.

3 8 23 26 29 35 63 71 73 75 79 87 87 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96

DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Pembagian satuan geomorfologi Tabel 5.1. Hasil Analisa tekMIRA terhadap kadar Ni. 37 84

BAB I PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG PENELITIAN Busur luar Banda didominasi oleh batuan non-volkanik, dengan Timor di sebelah selatan Wetar menunjukkan sisa-sisa prisma akresi dan kompleks tumbukan, dimana terjadi akresi kedalam lempeng kontinen Australia. Keberadaan batuan volkanik di Pulau Ambon merupakan bukti adanya suatu aktivitas vulkanisme yang pernah terjadi. Batuan volkanik di Pulau Ambon terdiri dari batuan granit, batuan ultrabasa, dan breksi vulkanik, hal ini menjadi suatu tanda tanya yang menarik untuk diteliti. Dari segi geologi regional, hal tersebut akan memberikan implikasi terhadap hipotesa tektonik Pulau Ambon yang merupakan bagian dari busur Kepulauan Banda ( Banda arc ) yang membentang dari wilayah Nusa Tenggara sampai ke Maluku, terutama busur kegununganapian ( Volcanic arc ).

I.2. RUMUSAN MASALAH Secara umum permasalahan geologi yang akan dibahas adalah kondisi geologi daerah telitian dengan cara memetakan daerah telitian secara detil dan lebih terperinci, karena selama ini informasi yang digunakan adalah informasi yang sifatnya regional. Secara khusus permasalahan geologi yang akan dibahas adalah mengenai Geologi dan Potensi Sumber Daya Pada Batuan Ultrabasa, di daerah telitian. Berdasarkan hasil penelitian dari beberapa peneliti terdahulu, ada beberapa permasalahan yang diinginkan penulis untuk dibahas : Apa itu batuan ultrabasa dan proses terbentuknya? Bagaimana kondisi geologi daerah telitian? 1. Bagaimana bentuklahan daerah telitian? 2. Bagaimana stratigrafi daerah telitian?

3. Struktur geologi apa saja yang berkembang pada daerah telitian? Bagaimana sistem pembentukan satuan batuan pada daerah telitian? Bagaimana hubungan proses geologi terhadap pembentukan satuan batuan pada daerah telitian? Bagaimana pembentukan nikel laterit pada daerah telitian?

I.3. MAKSUD DAN TUJUAN Maksud dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui kondisi geomorfologi, stratigrafi dan struktur geologi daerah penelitian. 2. Menghimpun data satuan batuan pada daerah telitian, dengan mengambil sample batuan serta data struktur pada daerah telitian. Berdasarkan perolehan data di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui pengaruh struktur geologi terhadap satuan batuan yang terdapat pada daerah telitian, serta mampu menghubunghubungkan data lapangan dengan geologi regional setempat untuk interpretasi kondisi geologi saat batuan terbentuk. 2. Mengetahui aktivitas vulkanisme terhadap pembentukan batuan ultrabasa. 3. Mengetahui hubungan antara iklim, topografi, dan potensi terbentuknya nikel laterit. I.4. Lokasi Penelitian dan Kesampaian Daerah Telitian Secara administratif lokasi survei termasuk dalam wilayah Desa Hukurila, Kecamatan Leitimur Selatan, Kota Ambon. Dan secara geografis terletak diantara 127 28 51,2 Bujur Timur - 128 46 11,2 Bujur Timur dan 2 49 51,5 Lintang Selatan - 3 33 39,8 Lintang Selatan.(Gambar 1.1) Pencapaian lokasi daerah telitian dari Yogyakarta adalah sebagai berikut: 1. Bandara Adisutjipto Yogyakarta-Bandara Juanda Surabaya menggunakan pesawat dengan waktu tempuh 1jam.

2.

Bandara Juanda Surabaya Bandara Hasanudin Makasar menggunakan pesawat dengan waktu tempuh 1,5 jam.

3.

Bandara Hasanudin Makasar Bandara Pattimura Ambon menggunakan pesawat dengan waktu tempuh 1,5 jam.

4. 5.

Bandara Pattimura Ambon Basecamp, dengan waktu tempuh 1jam. Basecamp Daerah telitian, dengan waktu tempuh 20 menit.

Sumber : Atlas Maluku,1998 Gambar 1.1. Lokasi Penelitian

I.5 Hasil Penelitian Hasil penelitian berupa : 1.5.1 Peta Lokasi Pengamatan a. Mengetahui lokasi singkapan litologi yang ada di permukaan. b. Mengetahui lokasi struktur geologi yang ada di permukaan.

1.5.2 Peta Geomorfologi a. Mengetahui satuan geomorfik dan subsatuan geomorfik daerah telitian. b. Mengetahui hubungan satuan geomorfik dan satuan batuan di daerah telitian. c. Mengetahui hubungan satuan geomorfik dan struktur geologi di permukaan daerah telitian.

1.5.3 Peta Geologi a. Mengetahui litologi dan penyebaran dari setiap satuan batuan. b.Mengetahui hubungan stratigrafi dari setiap satuan batuan.

I.6 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini secara umum adalah untuk mengetahui kondisi geologi yang meliputi geomorfologi, stratigrafi, dan struktur geologi di daerah telitian. Secara khusus adalah untuk mengetahui hubungan geologi, baik itu struktur geologi yang berkembang dan aktivitas vulkanisme pada daerah telitian, sehingga dapat memahami potensi sumberdaya nikel, terhadap batuan ultrabasa.

BAB II METODOLOGI DAN DASAR TEORI

II.1. Metode Penelitian Pemetaan geologi yang dilakukan bersifat pemetaan permukaan melalui observasi lapangan yang menggunakan jalur lintasan tertentu. Observasi yang dilakukan di lapangan meliputi orientasi medan, pengamatan morfologi, pengamatan singkapan dan batuan, pengukuran, dan pengambilan sampel batuan. Sebelum melakukan observasi ke lapangan, terlebih dahulu melakukan analisis data sekunder yang didapatkan dari pustaka dan sumber yang lain yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan sebelum melakukan observasi lapangan secara detil. Setelah mendapatkan data dari hasil observasi lapangan, langkah selanjutnya adalah melakukan analisis data tersebut yang kemudian disusun sebagai laporan.(Bagan 2.1) Adapun beberapa metodologi yang dipergunakan dalam penelitian dan pembuatan laporan geologi ini adalah sebagai berikut :

a. Studi Pustaka Studi pustaka mempelajari geologi daerah Maluku dan daerah penelitian berdasarkan publikasipublikasi dan literaturliteratur yang telah dibuat oleh peneliti terdahulu. Hal ini sangat penting untuk mengetahui geologi dan aspek aspek teoritis dalam ilmu geologi yang berguna sebagai dasar pemikiran dalam penyelesaian masalah geologi yang dihadapi di lapangan. Tahapan ini dilakukan sebelum penelitian lapangan dilaksanakan. b. Pemetaan Awal Pemetaan awal ini sangat berguna untuk mengetahui geomorfologi daerah telitian, keadaan geologi pada daerah telitian, meliputi struktur geologi yang berkembang, serta litologi yang tersebar pada daerah telitian. Kegiatan semacam ini sangat berguna untuk menentukan jalur dan kegiatan penelitian.

c. Pemetaan Detail Pemetaan detail ini meliputi : pengamatan jenis batuan, hubungan antar jenis batuan, struktur geologi, struktur sedimen, maupun gejalagejala geologi lainnya. Apabila mendapatkan kesulitankesulitan dalam tahapantahapan ini, maka diadakan diskusi bersama teman satu team dan pembimbing lapangan dalam mencari penyelesaian masalahnya. Kemudian dievaluasi dengan penyebaran lateral geologi dengan daerah yang bertampalan dan bila dianggap perlu diadakan penelitian lapangan bersama-sama. d. Tahapan Pemeriksaan Ulang Tahapan ini dilakukan bersama-sama dengan dosen pembimbing yang bertujuan untuk memecahkan masalah-masalah dan kesulitan-kesulitan geologi yang penulis hadapi selama melakukan penelitian di lapangan. e. Analisa Tahapan analisa ini meliputi berbagai macam kegiatan laboratorium. diantaranya adalah : - Tahap analisis geomorfologi Meliputi analisis data lapangan, pengelompokan dan pemerian satuan geomorfologi, analisis sungai, analisis stadia daerah dan morfogenesis. - Tahap deskripsi petrografi Melakukan pengamatan sayatan tipis batuan yang meliputi pengamatan struktur, tekstur dan komposisi mineralogi/materi penyusun batuan dengan bantuan mikroskop polarisasi dengan tujuan mengklasifikasikan batuan dan membantu interpretasi petrogenesa batuan. - Tahap analisis struktur geologi Melakukan analisis data struktur geologi dengan bantuan metode-metode yang ada (diagram roset, stereonet) dan merekonstruksi struktur geologi dengan mengacu pada teori dan model yang sudah ada. f. Sintesa Tahapan ini adalah kelanjutan dari tahapan analisa yang selanjutnya penulis mencoba untuk menerapkan konsep atau model serta teori-teori geologi yang

ada dalam memecahkan fenomena-fenomena geologi yang ada pada daerah penelitian. g. Pembuatan Laporan Pembuatan laporan merupakan kegiatan paling akhir setelah tahapan-tahapan tersebut di atas dilakukan dan selanjutnya nanti dipresentasikan.

Bagan Alir Penelitian

Kajian Pustaka

Pengambilan Data

Data Primer

Data Sekunder

Pengamatan lapangan/data Diskripsi litologi Pengukuran lintasan semi-detil Pengamatan morfologi Data pengukuran struktur geologi Pengambilan conto batuan

Peta Topografi 1:25000 Peta Geologi Regional Foto Udara Data AAS

Analisis data pengukuran semi detil Analisis Struktur Geologi Analisis Sayatan Petrografis Analisis data AAS

Peta lokasi Pengamatan Peta geologi Peta geomorfologi

Analisis dan interpetasi data

Potensi Sumber Daya Nikel (Ni) Pada Batuan Ultrabasa

Laporan Skripsi

Gambar 2.1. Bagan Alir Penelitian

II.2.

Pengumpulan Data

II.2.1 Sumber Data Sumber data diperoleh dari hasil survai lapangan (data primer) dan data yang diperoleh melalui survai instansional (data sekunder), yaitu: 1. Data primer adalah data yang langsung diambil dari lapangan, yaitu: a. Data bentuklahan (morfografi, morfometri dan morfogenesa) dan

hubungannya dengan sebaran daerah telitian. b. Data geologi (litologi, stratigrafi dan struktur geologi) di lokasi penelitian c. Data pengukuran-pengukuran kedudukan batuan dan kedudukan struktur geologi di lapangan. 2. Data sekunder adalah data yang diambil secara tidak langsung, yaitu: a. Data peta geologi berikut laporan yang diperoleh dari instansi terkait seperti Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral Provinsi Maluku. b. Data hasil analisa laboratorium dari sampel yang sudah diambil di lokasi penelitian untuk mengetahui besarnya kadar dan kualitas mineral yang terkandung.

II.2.2 Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data diperoleh dengan dua cara, yaitu: 1. Pengumpulan data sekunder, diperoleh dari: a. Peta rupabumi dari Bakosurtanal di outlet Bakosurtanal b. Peta Geologi regional dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral, Kota Ambon, Provinsi Maluku. c. Hasil analisa laboratorium yang berasal dari laboratorium terkait.

2. Pengumpulan data primer diperoleh dari: a. Pemetaan geologi terkait dengan potensi sumber daya pada batuan ultrabasa, melalui pemetaan semi detail pada skala 1:25.000 yang dilakukan langsung di lapangan b. Pengamatan langsung di lapangan, meliputi aspek geologi (batuan, geomorfologi, dan struktur geologi) II.3. Bahan dan Alat Beberapa peralatan dan bahan yang dipergunakan untuk kelancaran penelitian geologi ini adalah sebagai berikut :

a) Peta Topografi berskala 1 : 25.000 yang merupakan hasil pembesaran dari peta rupa bumi sekala 1 : 50.000 terbitan Bakosurtanal. b) Peta geologi permulaan lembar Ambon berskala 1 : 250.000, oleh Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral, Provinsi Maluku c) Palu geologi. Digunakan untuk mengambil conto batuan yang ada di titik pengamatan. d) Lup. Digunakan untuk mengamati sampel batuan yang diambil serta untuk mengamati komposisi penyusun batuan tersebut. e) Kompartor komparator lithologi, ukuran butir batuan f) Kantong sampel Digunakan sebagai tempat conto untuk digunakan pada saat analisa laboratorium g) Kompas geologi. Digunakan untuk melakukan orientasi medan/pengeplotan titik pengamatan, mengukur kelerengan morfologi dan untuk mengukur data struktur baik struktur primer maupun sekunder. h) Buku catatan lapangan. Digunakan untuk mencatat data yang ada pada saat melakukan observasi lapangan. i) Clipboard. serta klasifikasi penamaan

Digunakan untuk tempat alas peta topografi dan sebagai alat bantu dalam melakukan pengukuran data di lapangan. j) Alat tulis. Digunakan sebagai alat untuk tulis-menulis di lapangan. k) Penggaris dalam berbagai bentuk. Digunakan sebagai alat bantu untuk melakukan pengeplotan titik pengamatan. l) Busur derajat. Digunakan untuk melakukan pengeplotan titik pengamatan pada peta topografi dan untuk mengukur besar sudut data struktur yang ada di lapangan. m) Kamera. Digunakan untuk mengambil data berupa gambar yang ada di lapangan. n) HCl 0,1 M. Digunakan untuk mengetes ada tidaknya kandungan karbonat dalam suatu batuan o) Tas/ransel/backpack. Digunakan sebagai tempat untuk menyimpan semua peralatan yang digunakan di lapangan.

II.4. Peneliti Terdahulu

Sebelum peneliti melakukan penelitian di Ambon, telah diteliti sebelumnya oleh para peneliti terdahulu. Dimulai dari Tjokrosapoetro, dkk (1982), membahas mengenai tektonik Banda dan pembentukan Pulau Timor. Tjokrosapoetro juga membahas mengenai ofiolit di Pulau Seram dan Pulau Ambon. Setelah Tjokrosapoetro dkk, pada tahun 1984 Nurlela,dkk beserta Suparka,dkk melakukan penelitian di Pulau Ambon, dengan topik telitian yang berbeda. Nurlela,dkk meneliti mengenai tata airtanah di Pulau Ambon yang sifatnya labil, dan memberi kesimpulan terhadap penelitiannya bahwa adanya indikasi tentang air airtos pada kedalama 90m, dengan muka pizometri positif. Sedangkan Suparka, dkk meneliti

mengenai batuan kegunungapian yang terdapat di Pulau Ambon, dan menyimpulkan bahwa batuan yang banyak dijumpai di daerah Lei Timor Ambon adalah terdiri dari

kumpulan batuan kegunungapian yang mengandung kordierit (kumpulan batuan Ambonit). Selang waktu 3 tahun dari penelitian sebelumnya, pada tahun 1987 Sutarna melakukan penelitian di teluk Ambon, dan membahas ekologi perairan Indonesia, yang memiliki keanekaragaman jenis karang batu, serta jenis-jenis karang batu yang terdapat di perairan Teluk Ambon. Tahun 1988 Dwiyanto,dkk melakukan penelitian di Pulau Ambon, dan secara khusus, meneliti penyebaran dan kelimpahan foraminifera berdasarkan karakteristik sedimen permukaan di perairan Teluk Ambon. Tahun 1991, Damayanti,dkk melakukan penelitian di Pulau Ambon, yang membahas mengenai struktur yang berkembang pada Daerah Passo dan sekitarnya. Dan disimpulkan bahwa struktur yang berkembang pada daerah telitian adalah struktur sesar naik, sesar turun, dan sesar mendatar. Selanjutnya, Kemp,dkk pada tahun 1995 membahas mengenai pembentukan forearc Banda yang merupakan hasil tektonik pada Masa Mezosoik, dan merupakan potensi hidrokarbon di P.Seram.

II.5.

Dasar Teori

Mineral

merupakan

sumberdaya

alam

yang

proses

pembentukannya

memerlukan waktu jutaan tahun dan sifatnya adalah tidak terbaharukan (unrenewable). Pemanfaatan mineral dapat sebagai bahan baku dalam industri atau produksi. Bahan galian atau sering disebut bahan tambang adalah suatu mineral, atau kumpulan mineral ,atau batuan yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan umat manusia. Bahan galian dapat terdapat di dalam bumi maupun di permukaan bumi. Mengingat pentingnya arti pemanfaatan mineral, maka pemerintah Republik Indonesia melalui Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 2010 ditujukan pada pelaksanaan usaha penambangan mineral dan/batubara untuk melaksanakan kebijakan dalam mengutamakan penggunaan mineral dan/atau batubara untuk kepentingan dalam negeri, maka dibagi dalam 5 ( lima ) komoditas tambang, yaitu : Mineral radioaktif meliputi radium, thorium, uranium, monasit, dan bahan galian radioaktif lainnya; Mineral logam meliputi litium, berilium, magnesium, kalium, kalsium, emas, tembaga, perak, timbal, seng, timah, nikel, mangaan, platina, bismuth, molibdenum, bauksit, air raksa, wolfram, titanium, barit, vanadium, kromit, antimoni, kobalt, tantalum, cadmium, galium, indium, yitrium, magnetit, besi, galena, alumina, niobium, zirkonium, ilmenit, khrom, erbium, ytterbium, dysprosium, thorium, cesium, lanthanum, niobium, neodymium, hafnium, scandium, aluminium, palladium, rhodium, osmium, ruthenium, iridium, selenium, tellurid, stronium, germanium, dan zenotin; Mineral bukan logam meliputi intan, korundum, grafit, arsen, pasir kuarsa, fluorspar, kriolit, yodium, brom, klor, belerang, fosfat, halit, asbes, talk, mika, magnesit, yarosit, oker, fluorit, ball clay, fire clay, zeolit, kaolin, feldspar, bentonit, gipsum, dolomit, kalsit, rijang, pirofilit, kuarsit, zirkon, wolastonit, tawas, batu kuarsa, perlit, garam batu, lempung, dan batu gamping untuk semen; Batuan meliputi pumice, tras, toseki, obsidian, marmer, perlit, tanah diatome, tanah serap (fullers earth), slate, granit, granodiorit, andesit, gabro, peridotit, basalt, trakhit, leusit, tanah liat, tanah urug, batu apung, opal, kalsedon, chert,

kristal kuarsa, jasper, krisoprase, kayu terkersikan, gamet, giok, agat, diorit, topas, batu gunung quarry besar, kerikil galian dari bukit, kerikil sungai, batu kali, kerikil sungai ayak tanpa pasir, pasir urug, pasir pasang, kerikil berpasir alami (sirtu), bahan timbunan pilihan (tanah), urukan tanah setempat, tanah merah (laterit), batugamping, onik, pasir laut, dan pasir yang tidak mengandung unsur mineral logam atau unsur mineral bukan logam dalam jumlah yang berarti ditinjau dari segi ekonomi pertambangan; dan Batubara meliputi bitumen padat, batuan aspal, batubara, dan gambut.

Nikel merupakan salah satu unsur penting dalam industri pertambangan, dapat berupa nikel sulfida atau nikel primer dan nikel laterit atau nikel sekunder. Nikel laterit dihasilkan oleh proses pelindihan (leaching) dari batuan ultra basa yang sering dikenal dengan istilah pengkayaan supergen (supergen enrichmen). Setelah mengalami proses pelindihan (leaching) nikel akan terakumulasi dan berasosiasi dengan mineral Garnierit. Hingga saat ini eksplorasi endapan bijih laterit khususnya nikel laterit masih belum banyak dikenal. Cara terbentuknya sangat tergantung dari musim yang akan berpengaruh pada tinggi atau rendahnya permukaan air tanah, sehingga geometri dari bentuk endapan tidak beraturan.

II.5.1.

Defenisi Laterisasi Nikel Pada umumnya endapan nikel terdapat dalam dua bentuk yang berlainan, yaitu

berupa nikel sulfida dan nikel laterit. Endapan nikel laterit merupakan bijih yang dihasilkan dari proses pelapukan batuan ultrabasa yang ada di atas permukaan bumi. Istilah Laterit sendiri diambil dari bahasa Latin later yang berarti batubata merah, yang dikemukakann oleh Buchanan (1807), yang digunakan sebagai bahan bangunan di Mysore, Canara dan Malabr yang merupakan wilayah India bagian selatan. Material tersebut sangat rapuh dan mudah dipotong, tetapi apabila terlalu lama kontak degan atmosfer, maka akan cepat sekali mengeras dan sangat kuat (resisten). Smith (1992) mengemukakan bahwa laterit merupakan regolith atau tubuh batuan yang mempunyai kandungan Fe yang tinggi dan telah mengalami pelapukan, termasuk di dalamnya profil endapan material hasil transportasi yang masih tampak batuan asalnya.

Sebagian besar endapan laterit mempunyai kandungan logam yang tinggi dan dapat bernilai ekonomis tinggi, sebagai contoh endapan besi, nikel, mangan dan bauksit. Dari beberapa pengertian bahwa laterit merupakan suatu material dengan kandungan besi dan aluminium sekunder sebagai hasil proses pelapukan yang terjadi pada iklim tropis dengan intensitas pelapukan tinggi. Di dalam industri pertambangan nikel laterit atau proses yang diakibatkan oleh adanya proses lateritisasi sering disebut sebagai nikel sekunder.

II.5.2.

Syarat Pembentukan Laterit

Di permukaan bumi banyak tempat dengan intensitas pelapukan tinggi, tetapi tidak semua tempat tersebut dapat terbentuk nikel laterit, karena intensitas pelapukan yang tinggi bukan satu-satunya syarat terbentuknya nikel laterit. Syarat-syarat pembentukan nikel laterit : o Terdapatnya batuan ultrabasa yang telah tersingkap di permukaan, mengandung banyak mineral olivin/piroksen, magnesium dan besi dan pada umumnya mengandung nikel 0,30%. o Iklim tropis, dengan adanya iklim tersebut maka pelapukan akan berlangsung intensif. o Curah hujan tinggi, hal ini berhubungan dengan kondisi iklim tropis, sebagian besar daerah dengan iklim tropis akan mempunyai curah hujan yang tinggi. Curah hujan tinggi akan menghasilkan air yang besar sebagai sarana proses pelindihan/leaching bijih nikel yang terkandung dalam batuan.

Ketiga syarat tersebut di atas akan didukung dengan faktor tatanan geologi tentang keberadaan batuan ultrabasa.

II.5.3.

Zona Profil Laterit

Profil Nikel laterit pada umumnya adalah terdiri dari 4 zona gradasi sebagai berikut : 1. Tanah Penutup atau Top soil (biasanya disebut Iron Capping) Tanah residu berwarna merah tua yang merupakan hasil oksidasi yang terdiri dari masa hematit, geothit serta limonit. Kadar besi yang terkandung sangat tinggi dengan kelimpahan unsur Ni yang sangat rendah. 2. Zona Limonit Berwarna merah coklat atau kuning, berukuran butir halus hingga lempungan, lapisan kaya besi dari limonit soil yang menyelimuti seluruh area. 3. Zona lapisan antara atau Silica Boxwork Zona ini jarang terdapat pada batuan dasar (bedrock) yang serpentinisasi. Berwarna putih orange chert, quartz, mengisi sepanjang rekahan dan sebagian menggantikan zona terluar dari unserpentine fragmen peridotit, sebagian mengawetkan struktur dan tekstur dari batuan asal. Terkadang terdapat mineral opal, magnesit. Akumulasi dari garnierit-pimelit di dalam boxwork mungkin berasal dari nikel ore yang kaya akan silika. 4. Zona Saprolit Merupakan campuran dari sisa sisa batuan, bersifat pasiran, saprolitic rims, vein dari garnierite, nickeliferous quartz, mangan dan pada beberapa kasus terdapat silika bozwork, bentukan dari suatu zona transisi dari limonit ke bedrock. Terkadang terdapat mineral quartz yang mengisi rekahan, mineral mineral primer yang terlapukan, chlorit. Garnierite dilapangan biasanya diidentifikasi sebagai colloidal talk dengan lebih atau kurang nickeliferous serpentine. Struktur dan tekstur batuan asal masih terlihat. 5. Batuan dasar (Bedrock) Tersusun atas bongkahan atau blok dari batuan induk yang secara umum sudah tidak mengandung mineral ekonomis (kadarnya sudah mendekati atau sama dengan batuan dasar). Bagian ini merupakan bagian terbawah dari profil laterit.

II.5.4.

Proses Pembentukan Laterit

Proses pembentukan nikel laterit diawali dari proses pelapukan batuan ultrabasa, dalam hal ini peridotit dan serpentinit. Batuan ini banyak mengandung olivin, piroksen, magnesium silikat dan besi, mineral-mineral tersebut tidak stabil dan mudah mengalami proses pelapukan. Menurut Bateman (1981), endapan jenis konsentrasi sisa dapat terbentuk jika batuan induk yang mengandung bijih mengalami proses pelapukan, maka mineral yang mudah larut akan terusir oleh proses erosi, sedangkan mineral bijih biasanya stabil dan mempunyai berat jenis besar akan tertinggal dan terkumpul menjadi endapan konsentrasi sisa. Air permukaan yang mengandung CO2 dari atmosfer dan terkayakan kembali oleh material material organik di permukaan meresap ke bawah permukaan tanah sampai pada zona pelindihan, dimana fluktuasi air tanah berlangsung. Akibat fluktuasi ini air tanah yang kaya akan CO2 akan kontak dengan zona saprolit yang masih mengandung batuan asal dan melarutkan mineral mineral yang tidak stabil seperti olivin / serpentin dan piroksen. Selanjutnya terjadi proses pelapukan dan lateritisasi yang menghasilkan limonit dan saprolit. Batuan asal yang mengandung unsure-unsur Ca, Mg, Si, Cr, Mn, Ni dan Co akan mengalami dekomposisi. Air tanah yang kaya CO2 dari udara dan hasil pembusukan tumbuh-tumbuhan merupakan pelarut yang baik. Dari unsur-unsur tersebut di atas, yang pertama-tama terlarut adalah unsur Ca dan Mg Alkalin yang disusul dengan penghancuran senyawa-senyawa silika sebagai koloid. Semua hasil penghancuran ini terbawa oleh larutan yang turun ke bagian bawah mengisi celah-celah dan pori-pori batuan. Proses laterisasi adalah proses pencucian pada mineral yang mudah larut dan silika pada profil laterit pada lingkungan yang bersifat asam dan lembab serta membentuk konsentrasi endapan hasil pengkayaan proses laterisasi pada unsur Fe, Cr, Al, Ni dan Co.

BAB III TINJAUAN UMUM

III.1. Geologi Regional Kepulauan Maluku III.1. 1. Geomorfologi Secara fisiografi wilayah Kepulauan Maluku ditandai oleh rangkaian pulau pulau besar maupun keil yang terpisah satu sama lain oleh lekukan ( basin ), parit laut, dan pegunungan bwah laut ( ridges ). Wilayah Maluku di bagi menjadi dua yaitu Maluku Utara yang mencakup Sistem Sangihe, Sistem Ternate dan Halmahera, Sedangkan Maluku meliputi Pulau Ambon dan sekitarnya. Maluku bagian selatan lazim disebut sebagai busur banda, wilayah kepulauan ini terdiri dua rangkaian pulau pulau besar dan kecil yang agak sejajar, dan mengitari lekukan pada Laut Banda sebagai sistem orogenesa (sistem pembentukan pegunungan). Pulau Ambon yang termasuk dalam Busur Banda Dalam yang bergunungapi, terlentang hampir sejajar dengan Busur Banda Luar, mulai dari P. Ambalau melalui , P. Banda, Gunungapi Serua, P. Wetar sampai P. Flores. Busur Banda Luar yang tidak bergunungapi terbentang mengelilingi Laut Banda mulai dari P. Buru, Melalui P. Seram, Kepulauan Tanimbar, P. Timor sampai P. Sumba. Pulau Ambon diapit oleh 2 (dua) lautan yang cukup dalam, yaitu pada bagian selatan dipisahkan oleh Laut Banda dengan kedalaman mencapai 7000 meter dan bagian utara dipisahkan oleh Laut Seram dengan kedalaman mencapai lebih 3000 meter. Morfologi lembar Ambon dapat dibagi menjadi enam satuan yaitu : pegunungan bertonjolan kasar, pegunungan bertonjolan halus, topografi karst, perbukitan bergelombang, perbukitan kasar dan dataran rendah. Pegunungan bertonjolan kasar, umumnya dibentuk oleh batuan malihan yaitu sekis, genesis, amfibolit dan pualam(marmer). Dilapangan morfologi ini sangat mudah dibedakan dengan yang lainnya. Satuan ini berketinggian lebih dari 1000m, dengan puncak tertinggi Gunung Taunusa (1331m), umumnya berpuncak runcing, berlereng terjal dengan lembah sempit, banyak air terjun.

Pegunungan bertonjolan halus umumnya tidak begitu terjal dan litologi penyusun terdiri dari filit, batusabak, serpih dan batupasir, yang umumnya telah mengalami pelapukan yang cukup kuat, dengan pola pengaliran dendritik. Topografi Karst terdapat di bagian utara Seram Barat, hal ini disebabkan oleh adanya sungai bawah tanah, dolena dan banyaknya gua gamping. Perbukitan bergelombang, biasanya menempati daerah pinggiran (kaki) pegunungan berketinggian antara 100-700m di atas permukaan laut. Morfologi ini pada umumnya membentuk perbukitan bergelombang landai. Litologi penyusun adalah batuan klastika seperti batupasir, batulempung, konglomerat. Perbukitan kasar terdapat di Pulau Ambon dan di bagian barat Pulau Haruku. Ketinggian 100 900 m di atas permukaan air laut. Morfologi ini dibentuk oleh batuan gunungapi muda yaitu lava, breksi gunungapi, dan batuan terobosan. Dataran rendah terdapat di bagian barat laut Seram Barat, daerah Kairatu setelah selatan piru dan bagian timur daerah Pulau Boano. Morfologi ini disusun oleh endapan alluvial yang sebagian berupa rawa, batugamping terumbu dan konglomerat berumur Kuarternari.

III.1.2. STARATIGRAFI PULAU AMBON Van Bemmelen ( 1949 ) Sejarah geologi ambon menurut Van Bemmelen (1949) dimulai dengan pengendapan batupasir greywacke, serpih, batugamping dan radiolaria pada Zaman Trias Atas, satuan ini terlipat kuat. Kemudian proses geologi berikutnya didomonasi oleh kegiatan plutonik dan vulkanik di mana tidak selaras di atas satuan batuan tertua (intrusi peridotit) yang diikuti oleh naiknya magma granitik pada fase pengangkatan geantiklin. Granit diduga berumur Neogen sedangkan batuan volkanik yang mengandung kordierit (Ambonite), diekstrusikan pada akhir Tersier. Kegiatan paling akhir yang dihasilkan adalah Satuan Batuan Melafir yaitu bagian dari Ambonit yang terekstrusikan di bawah laut menghasilkan lava basalt berstruktur bantal (Pillow Lava). Berikutnya terjadi penurunan pulau tetapi kegiatan kegunungapian masih berlangsung,

diperlihatkan dengan adanya selang-seling batu apung dan napal. Pada Zaman Kuarter terjadi pengangkatan berkala, yang mengakibatkan terbentuknya

batugamping terumbu tidak selaras di atas lapisan lebih tua disertai dengan pengendapan hasil rombakan (Suprapto, Geologi Tinjau Lei Timor, LGPN LIPI, 1984). (Gambar 3.1)

Berdasarkan telitian dari Tjokrosapoetra ( 1989 ) Satuan tertua adalah Satuan Ultrabasa, berdasarkan ditemukannya

kepingan peridotit didalam greywacke, Umur satuan ini belum dapat dipastikan secara pasti namun diperkirakan berkisar antara Perm sampai Karbon. Tidak selaras diatasnya adalah Formasi Knikeh ( TRjk ), yang terlipat kuat dan terdiri dari selingan batupasir, serpih, lanau, dan batugamping, nama formasi ini diajukan oleh Tjokosapoetra, dkk ( 1989 ) dengan lokasi tipe di sungai Kanikeh di seram tengah. Audley Charles ( 1976 ), berdasarkan fosil Halobia sp, Lovcenopura vinassai GIATT,Monilivaltha sp,WANNER yang dijumpai di Seram Barat menunjukkan formasi ini dari Trias Akhir Jura, selain kontak ketidakselarasan dengan satuan tertua sering pada dijumpai sebagai kontak sesar. Tidak selaras di atasnya adalah satuan batuan Gunungapi Ambon ( Tpav ) yang terdiri dari lava dasit, lava andesit, lava basalt, breksi gunung api, breksi tuf dan tuf. Dasar penamaan diambil dari nama Pulau Ambon dimana tersingkap dengan baik dan penyebaran yang luas. Satuan ini diekstrusikan pada Kala Pliosen bersamaan dengan terjadinya penerobosan granit ( Tpag ) ke dalam batuan Paleozoikum Atas dan Mezosoikum. Pada Kala Plistosen, terjadi pengendapan batugamping terumbu ( Qcl ) secara selaras, selanjutnya endapan aluvial ( Qaal ) terbentuk sejak Holosen hingga sekarang. (Gambar 3.1)

Direktorat Geologi Tata Lingkungan ( 1989 ), juga pernah melakukan penelitian di daerah Lei Timor.

Satuan peridotit dan serpentinit (Prdt) merupakan batuan tertua sebagai batuan dasar dengan umur Pra Perm ( dimungkinkan Devon ), tidak selaras di atasnya Satuan Batupasir ( Mbps ) yang terdiri dari batupasir, sisipan serpih lanau, konglomerat dan batugamping terumbu. Umur satuan ini diperkirakan Perm.

Bersamaan dengan diintrusikannya granit ( Pgmt ) pada kala Perm atas. Kemudian tidak selaras di atasnya adalah Satuan batuan melafir ( Tmta ), yang terdiri dari lava basalt yang telah mengalami ubahan. Umur satuan batuan ini adalah Miosen. Selanjutnya tidak selaras diatasnya adalah Satuan Andesit ( Tamd ) yang berumur Miosen Atas. Pada kala Pliosen , Satuan Tuf ( Tvol ) yang terdiri dari tuf, breksi volkanik dan lava andesit diendapkan selaras di atas satuan Andesit. Pengendapan batugamping terumbu terjadi pada Kala Plestosen secara selaras, yang diikuti dengan pembentukan Aluvial ( Qal ). (Gambar 3.1)

Gambar 3.1. Keseban dingan stratigr afi Pulau Ambon (Van Bemmel en,1949; Tjokosa poetro, dkk 1989 ; Direkto rat Geologi Tata Lingkun gan, 1989 )

III.1.3. Struktur Geologi Regional Sesar yang dijumpai di daerah ini adalah sesar turun, sesar geser dan sesar naik. Sesar turun umumnya berarah barat laut tenggara dan timur laut barat daya, terdapat di Desa Larike Desa Wakasihu dan Desa Soya Desa Latuhalat serta Desa Mamala Desa Poka.. Sesar geser umumnya berarah timur laut barat daya dan barat laut tenggara terdapat di Desa Hatu Desa Durian Patah serta Desa Galala Desa Hukurila. Mulai Miosen Tengah sampai Pliosen terjadi proses tektonik yang sangat kuat di daerah ini sebagai akibat pembenturan kerak samudera Laut Seram dengan Pulau Seram. Tektonik ini menyebabkan terjadinya batuan gunungapi pada jalur magma Uliaser (Ambon, Haruku, Saparua dan Nusalaut) di atas jalur benioff, serta timbulnya batuan basa ultrabasa. Batuan Gunungapi Kelang diduga keluar melalui jalur rekahan dalam karena letaknya terpisah dari jalur magma Uliaser. Unsur-unsur struktur yang terbentuk akibat proses tektonik tersebut adalah sesar naik, sesar mendatar dan sesar turun. Beberapa cekungan kecil muncul akibat ketidakseragam gerak yaitu Cekungan Buano, Cekungan Piru dan Kairatu. Pada Kala Pliosen Atas kegiatan tektonik akibat penunjam tersebut berkurang secara mencolok sehingga kegiatan magma juga terhenti, hal ini mungkin karena adanya pengaruh Sesar Tarera Aiduna yang memanjang dari Irian Jaya sampai selatan Pulau Seram dan mulainya pembentukan antara Pulau Seram dengan kerak benua Australia Irian Jaya yang menyebabkan jalur Benioff kurang dari 100 Km, sehingga kegiatan magma terhenti. (Gambar 3.2) Proses tektonik yang terjadi pada Kuater tidak sekuat pada Miosen TengahPliosen. Proses ini menyebabkan batugamping Plistosen terangkat lebih 350 m seperti terdapat di Desa Siwang. Terban Teluk Ambon diduga terbentuk pada Zaman Kuarter dan masih aktif hingga kini. Gaya kompresi dari tektonik ini cukup kuat sehingga granit ambon tersesarkan ke atas batuan ultrabasa.

III.1.4. Tektonik Busur Banda Pulau Ambon merupakan hasil interaksi konvergen tiga lempeng, sehingga menghasilkan tatanan geologi yang komplek. Busur punggungan non volkanik bagian utara Busur Banda terdiri dari komplek melange berumur Tersier, dapat dijumpai di

Pulau Seram dan Pulau Buru, sedangkan Pulau Ambon sebagai busur vulkaniknya ( Hamilton, 1979 ). Secara Regional Pulau Ambon baik stratigrafi maupun struktur masih banyak dikaitkan dengan pulau-pulau besar yang berdekatan dalam hal ini dengan Pulau Seram yang berada di sebelah utaranya, dan kesamaan dalam proses pembentukan dengan Pulau Timor. Katili (1975), menggambarkan perkembangan evolusi Busur banda termasuk Timor, mempunyai dua tahap yang berbeda, pada tahap awal lempeng samudra Hindia Australia menunjam di bawah lempeng oceanic Banda, pada tahap berikutnya adalah menunjamnya kerak kontinen Australia ke dalam zona penunjaman Banda yang telah terbentuk sebelumnya, sebagai gerak kontinen Australia ke arah utara, mengakibatkan menurunnya aktivitas zona subduksi yang telah terbentuk sebelumnya, dibuktikan dengan sedikitnya gunungapi aktif di Busur Banda dalam. Pergerakan lempeng samudra pasifik ke arah barat menyebabkan sesar geser trunscurent mengakhiri membuat Busur Banda lebih jauh bergeser ke arah barat. Busur Banda memiliki sistem penunjaman aktif yang terdiri dari palung, punggungan dan cekungan busur laut serta busur magmatik yang posisinya konsentris dan hampir mengelilingi Laut Banda. Busur punggungan non volkanik, Busur Banda bagian utara umumnya terdiri dari kompleks Melange berumur Tersier terdapat di Pulau Seram dan Pulau Buru. Dengan demikian lingkungan pembentukan batuan juga akan menunjukkan ciri yang berbeda. Hal ini terutama akan terlihat pada bagian sedimen-sedimen berumur Tersier, sedangkan lain tempat dan kumpulan batuan yang ada akan dikontrol oleh proses tektonik yang mengikutinya seperti sesar naik, sesar mendatar, dan sesar turun. (Gambar 3.2)

Sumber : Nilandaroe, dkk, dalam Proceding Indonesian Petroleum Assosiation, 2006 28th Annual Convetion and Exhibition. Gambar 3.2. Setting tektonik Pulau Seram dan Pulau Ambon

III.2. Batuan Vulkanik Batuan vulkanik menurut Schieferdecker (1959) dalam Sutikno Brunto (2006) adalah batuan yang terbentuk sebagai hasil aktivitas gunung api baik langsung maupun tidak langsung. Aktivitas gunungapi diartikan sebagi proses erupsi atau keluarnya magma dari dalam bumi ke permukaan melalui kaldera / kawah dalam berbagi bentuk dan kegiataannya. Pengertian langsung di sini bahwa bahan erupsi gunungapi setelah mendingin / mengendap kemudian membantu di tempat itu juga (in situ). Sedangkan pengertian tidak langsung menunjukkan bahwa endapan batuan tersebut tealh mengalami perombakan atau deformasi baik oleh aktivitas vulkanisme yang lebih baru, proses sedimentasi kembali maupun aktifitas tektonika. Beberapa peneliti terdahulu ( Inockolds dan Allen 1953,1956; dan Tilley, 1962 ) telah memisahkan batuan vulkanik menjadi dua seri utama yaitu seri alkali dan non alkali, di mana seri alkali dibedakan anatara seri toleit dan seri kalk alkali. Untuk membedakan seri alkali dan non alkali menggunakan hubungan antara seri SiO2 dan kandungan alkali total ( Na2O dan K2O ), perbandingan K2O vs Na2O dan Na2O terhadap SiO2. Sedangkan untuk membedakan seri toleit dan kalk alkali menggunakan variasi hubungan antara MgO, FeO ( FeO total ) dan alkali ( Na2O + K2O ) dan hubungannya antara SiO2 terhadap FeO/MgO. Berdasarkan aktivitas gunungapi dapat dipahami bahwa: Pada perjalannya kepermukaan bumi magma dapat benar benar keluar atau sebagian keluar atau sebagian membeku di dekat permukaan atau seluruhnya membeku di dekat permukaan. Pada perjalanannya ke permukaan, magma membeku sangat cepat sehingga sebagian bahkan seluruhnya membentuk gelas gunungapi ( volcanic glass ) pembekuaan sangat cepat itu terjadi karena magma yang bertemperatur antara 9000- 1200 C secara cepat keluar ke permukaan bumi yang mempunyai temperatur di bawah 300 C. Bahkan di bawah dasar laut dalam atau daerah temperatur di bawah 00 C. Gelas gunungapi ini sebenarnya adalah mineral yang tidak berbentuk kristal ( amorf ), berasal dari magma dan merupakan bahan

silika atau oksida SiO2. Di dalam bahan silikat masih ada unsur atau oksida lain, seperti aluminium ( Al2O3 ), Magnesium ( MgO ), ( FeO dan Fe2O3 ), Calcium ( CaO), Titanium ( TiO2 ), Mangan ( MnO), Natrium ( Na2O), Kalium ( K2O ). Mineral yang mengkristal pada umumnya mempunyai waktu pendinginan sangat cepat karen pertumbuhannya sangat terganggu oleh proses pendinginan. Hal ini dicirikan antara lain dengan struktur zoning, fibrous structure, skeletal crystal, embayment corrison, banded microcrystalline, rekahan pada kristal dan yang di dalamnya mengandung inklusi gunungapi. Di bagian luar tubuh gungunapi biasanya terdapat lubang bekas keluarnya gas gunungapi ( vesikular structure) dan perekahan yang terjadi selama proses pergerakan ke permukaan ( high llevel intrusive ) atau sudah keluar ke permukaan secara meleleh ( effusive eruptions ) membentuk lava koheren yang pada akhirnya menjadi batuan beku masif. Sedangkan magma yang keluar ke permukaan secara meletus ( eksplosive eruptions ) menghasilkan batuan beku terfragmentasi yang disebut pyroclast, berasal dari kata pyro artinya api, clast berarti butiran, fragmen, kepingan. Jadi pyroclast adalah butiran batuan pijar yang dilontarkan keluar atau ( ejected material ) dari lubang kawah pada saat letusan gunungapi. Pyroclast atau istilah lain ejected ini mempunyai berbagai ukuran, mulai dari butiran halus ( abu / debu gunungapi mm ), berbutir sedang ( lapili 2 64 mm ) sampai dengan berbutir kasar ( block / bom gunungapi, > 64 mm ). Batuan ini secra khusus disebut batuan piroklastik dan secara umum membetuk batuan gunungapi bertekstur ( volcaniclastika rocks ). Dengan demikian secara deskripsi batuan gunungapi mempunayi ciri ciri khas di dalam tekstur dan komposisi, sebagai berikut: 1. Tekstur hipokristalin porfiritik, gelas, baik didalam lava koheren maupun sebagai komponen bahan klastika. 2. Komposisi selalu mengandung gelas gunungapi; kristal yang terbentuk pada umumnya menunjukkan tekstur dan struktur pendinginan magma sangat cepat; komponen fragmen batuan kebanyakan terdiri dari fragmen batuan beku ( luar ). Seperti basalt, andesit, dasit atau riolit. Namun demikian tidak menutup

kemungkinan terdapat fragmen batuan samping dan batuan dasar ikut terlontar keluar sebagi bahan aksesoris dan accidental material. Warna batuan gunungapi sangat beragam berpengaruh oleh komposisi kimia dan mineral penyusunnya, mulai dari warna gelap umumnya untuk batuan berkomposisi basa, abu abu untuk batuan berkomposisi menegah dan warna terang batuan berkomposisi asam. III.3 Komposisi Mineral Penyusun Batuan Beku Membahas tentang komposisi mineral pada batuan beku akan sangat berhubungan dengan reaksi Bowen. Seri reaksi Bowen merupakan suatu skema yang menunjukkan urutan kristalisai dari mineral mineral pembentuk batuan beku. (Gambar 3.3)

Gambar 3.3. Skema seri reaksi Bowen

Dalam proses pendinginan magma dimana itu tidak langsung semuanya membeku, tetapi mengalami penurunan temperatur secara perlahan bahkan mungkin cepat. Penurunan ini disertai mulainya pembentukan dan pengendapan mineral-mineral tertentu yang sesuai dengan temperaturnya. Pembentukan mineral dalam magma karena penurunan temperatur telah disusun oleh Bowen dalam suatu skema yang disebut dengan Bowens reaction series.

Sebelah kiri dari Bowens reaction series mewakili mineral-mineral mafik. Yang pertama kali terbentuk dalam temperatur sangat tinggi adalah olivin akan tetapi jika magma tersebut jenuh oleh SiO2 maka piroksenlah yang akan terbentuk pertama kali. Olivin dan piroksen merupakan pasangan incongruent melting , setelah pembentukan olivin akan beraksi dengan larutan sisa membentuk piroksen. Temperatur menurun terus dan pembentukan mineral mineral berjalan sesuai dengan temperaturnya. Mineral yang terakhir terbentuk adalah biotit yang dibentuk dalam temperatur. Sebelah kanan Bowens reaction series diwakili oleh mineral kelompok plagioklas, karena mineral ini paling banyak terdapat dan tersebar luas. Anorthit adalah mineral yang pertama kali terbentuk pada suhu yang tinggi dan banyak terdapat pada batuan beku basa seperti gabro atau basalt. Andesin terbentuk pada suhu menengah dan terdapat pada batuan beku diorit atau andesit, sedangkan mineral yang terbentuk pada suhu rendah adalah albit, mineral ini banyak tersebar pada batuan asam seperti granit atau riolit. Reaksinya berubahnya komposisi plagioklas ini erupakan deret Solid Solution yang merupakan reaksi continue, artinya kristalisasi plagioklas Ca-plagioklas Na, jika reaksi seimbang akan berjalan menerus. Dalam hal ini anorthit adalah jenis plagioklas yang kaya Ca, sering disebut juga Calcic Plagioclas sedangkan albit adalah plagioklas kaya Na (Sodic Plagioklas Alkali Plagioklas).

Pada dasarnya komposisi mineral pada suatu batuan dikelompokkan menjadi tiga kelompok mineral yaitu : 1. Mineral utama Mineral mineral ini terbentuk langsung dari kristalisasi magma dan kehadirannya sangat menentukan dalam penamaan batuan. Berdasarkan dan densitasnya dikelompokkan menjadi dua yaitu: a. Mineral felsik ( mineral berwarna terang dengan densitas rata rata 2,5 2,7), yaitu : - Kwarsa ( SiO2)

- Kelompok feldspar, terdiri dari seri feldspar alkali ( K2Na ) AlSi2O3. Seri feldspar alkali terdiri dari sanidin, ortoklas, anortoklas, adularia dan mikroklin. Seri plagioklas terdiri dari albit, oligoklas, andesin, labradorit, dan anortit. - Kelompok feldspatoid terdiri dari nafelin, sodalit, leusit. b. Mineral mafik ( mineral mineral feromagnesia dengan warna gelap dan densitas rata rata 3,0 3,5 ), yaitu : - Kelompok olivin terdiri fayalit dan forsterit - Kelompok piroksen terdiri dari hipersten, augit, diopsid - Kelompok mika terdiri dari biotit, muskovit - Kelompok amphibole terdiri hornblende, tremolit, aktinolit.

2. Mineral sekunder Merupakan mineral-mineral ubahan dari mineral utama, dapat dari hasil pelapukan reaksi hidrothermal maupun hasil metamorfisme terhadap mineral-mineral utama. Dengan demikian mineral mineral ini tak ada hubungannyadengan pembekuan magma ( non pirogenik ). Mineral mineral ini terdiri dari : 1. Kelompok kalsit ( kalsit, dolomit, magnesit, siderit ) dapat terbentuk dari hasil ubahan mineral plagioklas. 2. Kelompok serpentin ( antigorit dan krisotil ), umumnya terbentuk dari ubahan mineral mafik ( terutama kelompok olivin dan piroksen ). 3. Kelompok klorit ( proktor, penin, talk ) umumnya terbentuk dari hasil ubahan mineral kelompok plagioklas 4. Kelompok serisit sebagai ubahan dari plagioklas. 3. Mineral tambahan Merupakan mineral mineral yang terbentuk pada kristalisasi magma, magma umumnya dalam jumlah sedikit. Apabila hadir dalam jumlah cukup banyak tetap tidak mempengaruhi penamaan batuan, tetapi hal ini bisa mempunyai nilai ekonomis. Termasuk dalam golongan ini antara lain: hematit, spene, muskovit, rutile, magnetit, zeolit, apatit, dan lain lain.

III.4. Seri Batuan Beku Berdasarkan kandungan senyawa kimianya batuan beku dapat dibagi menjadi seri toleit, kalk alkali, kalk alkali kaya kalium, dan alkali atau sosonitik. Dalam sayatan tipis batuan dalam seri ini dapat diamati dengan baik apalagi didukung dengan data lapangan. Dengan memperhatikan kemelimpahan batuan tersebut di lapangan, tekstur, dan komposisi mineralnya. Adapun ciri ciri batuannya adalah sebagi berikut : Seri kalk alkali : Andesit hadir secara melimpah Bertekstur porfiritik kuat, fenokrisnya melimpah Fenokris plagioklas sangat umum Fenokris hipersten, augit, hornblende, dengan sesekali biotit, olivine, dan sanidin adalah umum. Plagioklas dan kuarsa biasanya ditemukan sebagai fenokris pada anggota batuab beku asam. Olivin membentuk reaction rim dan hipersten. Zonasi komposisi normal, terbalik, maupun oskilatori umum didapati. Hipersten muncul pada semua anggota riolit. Masa dasar anggota basa berupa kristalin. Kehadiran magnetit pada anggota basa melimpah berikutnya semakin sedikit pada anggota intermediate dan asam. Seri andesit Basalt dan basaltik andesite hadir secara melimpah. Bertekstur porfiritik lemah hingga afirik. Olivin piroksen adalah mineral mafik yang utama Hornblende dan biotit hadir sanagt sedikit dan bahkan sering tidak ada. Dibandingkan pada anggota basa dan asamnya kehadiran magnetik dan ilemnit pada anggota intermediate lebih melimpah.

Seri alkali Hadir hematit dan fonolit Pada anggota basa, plagioklas merupakan fenokris utama berupa bitownit dan labradorit. Pada anggota asamnya berupa oligoklas. Umumnya hadir ada feldspar alkali ( ortoklas dan sanidin ) sebagai fenokris utamanya. Pada anggota basa olivin hadir berupa forsterit dan berupa fayalit pada trakit. Pada anggota basa piroksen klino kaya Ca hadir, sedangkan pada trakit hadir berupa henasenbergit. Amfibol dan biotit hadir pada anggota basanit dan fonolit, sedangkan pada trakit hadir sebagai masa dasar. Nefelin mengkristal pada anggota basanit hingga fonolit, ada kemungkinan bergabung deangan sodalit. Iienit hadir pada anggota basanit hingga fonolit dan alkali basalt hingga trakit. Sebagi mineral asesori dapat hadir sebagi fenokris ataupun masa dasar.

III.5. Magmatisme Busur Kepulauan Gunungapi yang muncul dibatas lempeng konvergen atau di daerah sebduksi menghasilkan batuan volkaniik orogenik. Salah satu cirinya adalah hampir selalu jenuh atau sangat jenuh silika, kecuali pada beberapa gunungapi yang muncul pada posisi belakang busur. Klasifikasi lava orogenik berdasrkan kandungan SiO2 dan K2O dapat mengindentifikasikan empat seri lava ( Peccerillo & Taylor, 1976; Maury, 1984 ): seri toleitik busur kepulauan, seri kalkalkali potassik dan seri shosonitik. Batuan volkanik orogenik pada umumnya sangat porfiritik dengan volume fenokris 20 50 % plagioklas klasik umumnya menunjukkan zonasi optik maupun kimiawi dan mengkristaol sejak awal bersama olivin pada batuan basltik dan bersama sama dengan piroksen pada batuan andesit. Piroksen hadir pada batuan basltik hingga dasitik, augit, dan pigeonit pada seri toleotik busur kepulauan, dan hipersten dalam seri yang lain. Karena berevolusi dalam keadaan fugaeiti oxygene tinggi dan tekanan air kuat, maka seri alkali, kalk alkali

potassik, shosonitik sering mengandung fenokris titanomagnetit, amphibol, dan mika ( Maury, 1984 ). Secara geokimia lava orogenik pada umumnya kaya kan Al2O3 ( > 16 % ) dan miskin titan ( TiO2 < 1,2 % ), ( Pearce, 1982; Mauri, 1984 ). Batuan basaltik lebih miskin nikel ( 14 50 ppm ) dan chrome ( 100 160 ppm ) dibanding basalt tholeite dan basalt alkali intra plate ( Pearce, 1982 ). Pada gambar di atas magma toleitik dapat dijumpai di : sub oceanic ridge oceanic island, arc trench, magmtic arc, dan back arc. Magma kalk alkali dikemukan active continental margin atau pada daerah yang berhubungan dengan subduksi. Pada busur magmatis yang belum dewasa (immature) maka komponen batuannya adalah toleit, karena kerak masih tipis sehingga partial melting (pelelehan sebagian) lebih banyak terpengaruh oleh samudera sehingga dihasilkan tholeit. Apabila busur kepulauan semakin tebal (lempeng semakin tebal) maka terbentuk kalk alkali dan alkali. Pada back arc terjadi spreading yang kecil ( minor spread center ) dan terjadi aktivitas vulkanisme.

BAB IV GEOLOGI DAERAH TELITIAN IV.1. Geomorfologi Secara fisiografis kepulauan Maluku ditandai oleh rangkaian pulau pulau besar maupun kecil yang terpisah satu sama lain oleh lekukan (basin), parit laut (through), dan punggungan bawah laut (ridge). Wilayah Maluku dibagi menjadi dua bagian, yaitu Maluku Utara yang mencakup Sistem Sangihe, Sistem Ternate, dan Halmahera. Sedangkan Maluku Selatan meliputi Pulau Ambon dan sekitarnya. Maluku bagian selatan lazim disebut busur banda, wilayah kepulauan ini terdiri dari rangkaian pulaupulau besar dan kecil yang agak sejajar, dan mengitari lekukan dalam Laut Banda sebagai suatu sistim orogenesa (sistim pembentukan pegunungan). Banda Basin Central atau Lekukan Banda mempunyai kedalaman lebih kurang 5000 meter dan dikelilingi oleh dua busur kepulauan yang sejajar satu sama lain, yaitu :

Gambar 4.1. Penunjaman Kerak Benua dan Samudera

Busur Banda Luar , merupakan Busur banda non vulkanis, termasuk di antaranya adalah Pulau Boano, Pulau Kelang, Pulau Manipa, dan Pulau Seram bagian barat.

Busur Banda Dalam, merupakan busur vulkanis dan termasuk dalam orogen Maluku (Westerveld, 1952). Termasuk di antaranya adalah Pulau Ambon dan Pulau Haruku. Morfologi Lembar Ambon dibagi dalam 6 (enam) satuan yaitu :

Pegunungan Bertonjolan Kasar ( rugged mountains ), umumnya dibentuk oleh batuan malihan yaitu : sekis, geneis, amfibolit, dan pualam. Baik dari foto udara maupun di lapangan, morfologi ini sangat mudah dibedakan dengan yang lainnya. Satuan ini berketinggian lebih dari 1000 meter, dengan pucak tertinggi adalah Gunung Taunusa ( 1331 m ), umumnya berpuncak runcing, berlereng terjal dengan lembah sempit, banyak air terjun.

Pegunungan Bertonjolan Halus, menempati bagian terbesar di bagian tengah Seram Barat, ketinggian antara 1000 1240 meter. Dicirikan oleh puncak halus, berlereng tidak begitu terjal. Litologi penyusun terdiri dari filit, batusabak, serpih, dan batupasir pada umumnya telah mengalami pelapukan cukup kuat. Pola aliran sungai Dendritik.

Topografi Karst, terdapat di bagian utara Seram Barat dan bagian barat Pulau Boano. Morfologi ini dicirikan dengan adanya sungai bawah tanah, dolena , dan banyaknya gua gamping.

Perbukitan bergelombang, biasanya menempati darah pinggiran ( kaki ) pegunungan berketinggian antara 100 700 meter diatas permukaan air laut. Morfologi ini umumnya membentuk perbukitan bergelombang dan berlereng landai. Litologi penyusun adalah sedimen klastika seperti batupasir,

batulempung, konglomerat. Perbukitan kasar, terdapat di Pulau Ambon dan bagian barat Pulau Haruku. Ketinggian antara 100 900 meter di atas permukaan air laut. Morfologi ini dibentuk oleh batuan gunungapi muda yaitu : lava, breksi gunungapi dan batuan terobosan. Umumnya membentuk perbukitan terjal dengan lembah yang sempit ( bentuk V ). Dataran rendah terdapat di bagian barat laut Seram Barat, di daerah Kairatu, sebelah selatan Piru dan di bagian timur Pulau Boano. Morfologi ini disusun oleh endapan alluvial yang sebagian berupa rawa, batugamping terumbu, dan konglomerat berumur Kuarter. Ketinggian dari beberapa meter sampai puluhan meter di atas permukaan air laut. Sungai sungai yang mengalir di daerah ini umumnya berlembah lembah dan berkelok kelok (Meandering).

IV.1.1. Geomorfologi Daerah Telitian Secara Umum daerah telitian merupakan daerah berbukit bukit hingga datar, dengan kemiringan lereng 2 17% , dengan ketinggian dari permukaan air laut antara 0 556 meter. Daerah tertinggi berada pada puncak Gunung Tersii, daerah terendah dijumpai di sepanjang pantai saerah telitian. Penelitian di lapangan menunjukkan sebagian besar daerah telitian terdiri atas litologi batuan ultrabasa dan sebagian tersusun oleh batuan beku yang berupa intrusi granit serta batuan vulkanik, yang masing-masing menunjukkan morfologi yang khas dan banyak dipengaruhi oleh resistensi batuan, serta dipengaruhi oleh struktur yang bekerja pada daerah telitian. Dalam pembagian satuan geomorfik pada daerah penelitian, penulis mengacu pada klasifikasi yang dibuat oleh Desaunettes ( 1972 ), pembagiannya berdasarkan : besarnya lereng atau slope, sifat sifat bentang alam. Daerah penelitian dapat dibagi menjadi lima satuan geomorfik dan tujuh subsatuan geomorfik, berikut adalah tabel pembagian satuan geomorfik daerah telitian.
Tabel 4.1 Pembagian satuan geomorfologi Daerah Hukurila dan sekitarnya berdasarkan klasifikasi Dessaunettes (1972)

Satuan Geomorfik Dataran Karst Topografi

Subsatuan Geomorfik Dataran Pantai Lapies Punggungan Karst Perbukitan Kaki Bukit Dataran Tinggi Pumggungan Vulkanik

Perbukitan Pegunungan Sistem Vulkanik

IV.1.1.1. Satuan Geomorfik Dataran IV.1.1.1a. Dataran Pantai Subsatuan ini menempati daerah dengan morfologi yang relatif datar, yang membentang pada bagian tenggara dari daerah telitian, meliputi Desa Rutong dan Desa Leahari. Ekspresi litologi, memperlihatkan bentuk topografi hampir datar, dengan kelerengan < 2%, dan ketinggiannya 0 12,5m dari permukaan air laut. Endapan yang menyusun satuan ini terdiri dari material material lepas

(transported) dari batuan asal yang berukuran pasir sampai kerikil dan juga tersingkap batugamping terumbu di sepanjang bibir pantai. (Foto 4.1) Satuan morfologi dataran ini juga sebagai salah satu wisata pantai yang ada di daerah telitian.

Foto 4.1. Kenampakan dataran pantai , Lokasi Hutumuri, Pantai Lawena.

IV.1.1.2. Satuan Geomorfik Karst Topografi IV.1.1.2a. Sub Satuan Geomorfik Lapies Daerah ini membentuk pola khusus yaitu pola daerah karst dan berbentuk lapies. Sub Satuan ini membentuk kurang lebih 18 % dari luas daerah penelitian. Kemiringan lerengnya 3 16% dari permukaan air laut dengan ketinggian 12,5 - 150 meter. (Foto 4.3) Tersusun oleh batugamping terumbu, dan marmer di mana penyebaran sub satuan ini menyebar secara luas di bagian tenggara dari dearah telitian meliputi Desa Rutong, sampai dengan tanjung leahari. (Foto 4.2)

Foto 4.2. Kenampakan singkapan batugamping terumbu, Lokasi Desa Leahari, Pantai Leahari, LP 15.

Foto 4.3. Satuan geomorfik karst topografi, subsatuan lapies yang memperlihatkan morfologi yang khas, Lokasi Desa Hutumuri.

IV.1.1.3. Satuan Geomorfik Perbukitan IV.1.1.3a. Sub Satuan Geomorfik Perbukitan Sub Satuan ini menempati daerah yang cukup luas yaitu kurang lebih 22% dari luas daerah penelitian. Merupakan bentang alam yang berbukit bukit dengan alur lembah yang cukup dalam. Daerah ini banyak terdapat pemukiman penduduk berupa perkampungan setempat setempat di mana antara kampung dihubungkan hanya dengan jalan setapak yang melalui bukitbukit yang bergelombang. Perkampungan tersebut adalah Kilang, Naku, Hatalai , dan Soya. ( Foto 4.4) Litologi penyusun sub satuan geomorfik ini sebagian besar adalah tubuh intrusi granit. Mempunyai lereng yang terjal bergelombang ( 20 55% ).

Foto 4.4. Satuan geomorfik perbukitan, subsatuan perbukitan yang memperlihatkan morfologi yang khas , Lokasi Soya dengan arah foto N65E.

IV.1.1.3b. Sub Satuan Geomorfik Kaki Bukit Sub satuan ini menempati daerah yang paling luas yaitu 18% dari luas keseluruhan daerah penelitian. Merupakan bentang alam yang bergelombang sampai landai dan merupakan bagian kaki ( bawah ) dari suatu sistem perbukitan. (Foto 4.5) Mempunyai kemiringan lereng 5 25% dengan ketinggian 100 200 meter. Yang termasuk wilayah ini adalah Daerah Soya Bawah, dan W. Rohu. Sub Satuan Geomorfik ini didominasi oleh batuan ultrabasa dan granit.

Foto 4.5. Satuan geomorfik perbukitan, subsatuan kaki bukit yang memperlihatkan morfologi yang khas , Lokasi Kayu Putih ,dengan arah foto N056E.

Pola Pengaliran Yang Berkembang Pada Satuan Geomorfik Perbukitan Pada Satuan Geomorfik perbukitan ini, berdasarkan pola pengaliran yang bekerja pada daerah telitian. Penulis menyimpulkan bahwa pola pengalirannya adalah subparalel ( Howard,1966 ) . Pola pengaliran subparalel ini adalah modifikasi dari pola pengaliran paralel. Bentuk sungai mulanya lurus dan sejajar telah mulai membelok dan bercabang

yang dikontrol oleh perbedaan resistensi batuan dan struktur yang bekerja di daerah telitian. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya sesar normal yang terdapat pada daerah telitian, serta disusun oleh batuan ultrabasa dan granit. Struktur yang bekerja di daerah telitian sangat terlihat dengan adanya pembelokan sungai secara tiba-tiba dan banyak ditemukannya air terjun. ( Foto 4.6 )

Foto 4.6. Kenampakan air terjun, Lokasi W.Hosu LP 60

IV.1.1.4. Satuan Geomorfik Pegunungan IV.1.1.4a. Sub Satuan Geomorfik Pegunungan Sub satuan ini merupakan daerah yang tertinggi di daerah penelitian dengan ketinggian mencapai 100 - 556 meter dari permukaan air laut , dengan kelerengan 30 100%. Berdasarkan data geologi tersusun oleh batuan beku ultrabasa yang cukup resisten yang merupakan bagian dari Satuan Serpentinit. Menempati kurang lebih 9% dari luas penelitian.

Foto 4.7. Satuan geomorfik pegunungan, subsatuan Pegunungan yang memperlihatkan morfologi yang khas , Lokasi Hukurila ,dengan arah foto N235E.

Pola Pengaliran Yang Berkembang Pada Satuan Geomorfik Pegunungan Pada Satuan Geomorfik pegunungan ini, berdasarkan pola pengaliran yang bekerja pada daerah telitian. Penulis menyimpulkan bahwa pola pengalirannya adalah paralel ( Howard, 1966 ) . Pola aliran ini relatif sejajar satu sama yang lain, dan mengontrol daerah yang berlereng sedang sampai dengan terjal, merupakan transisi dari pola pengaliran dendritik dan trellis.

IV.1.1.5. Satuan Geomorfik Sistem Vulkanik IV.1.1.5a. Sub Satuan Geomorfik Punggungan Vulkanik Sub satuan ini menempati daerah dengan kemiringan lereng lebih besar dari 16% , membentuk topografi hilly ( Miring Sedang ). Ketinggian terendah 150 meter, tertinggi 300 m dari permukaan laut. Alur alur dan lembah sungai berkembang baik, berbentuk huruf V , tersusun atas litologi batuan breksi vulkanik dan batupasir kuarsa,

menempati 15% dari daerah penelitian , meliputi daerah W.Yuri dan W.Wakauli. ( Foto 4.8 )

Foto 4.8. Satuan geomorfik sistem vulkanik, punggungan vulkanik , Lokasi W.Yuri, arah foto N 045E.

IV.2. Stratigrafi Van Bemmelen ( 1949 ), menyimpulkan urutan staratigrafi P. Ambon

berdasarkan berbagai tulisan dan laporan peneliti terdahulu adalah sebagai berikut : Sejarah geologi ambon dimulai dengan pengendapan batupasir greywacke, serpih, batugamping dan radiolaria pada Zaman Trias Atas, satuan ini terlipat kuat. Kemudian proses geologi berikutnya didomonasi oleh kegiatan plutonik dan vulkanik di mana tidak selaras di atas satuan batuan tertua ( intrusi peridotit ) yang diikuti oleh naiknya magma granitik pada fase pengangkatan geantiklin. Granit diduga berumur Neogen sedangkan batuan volkanik yang mengandung kordierit ( Ambonite ), diekstrusikan pada akhir Tersier. Kegiatan paling akhir yang dihasilkan adalah Satuan Batuan Melafir yaitu bagian dari Ambonit yang terekstrusikan di bawah laut menghasilkan lava basalt berstruktur bantal ( Pillow Lava ). Berikutnya terjadi penurunan pulau teteapi kegiatan kegunungapian masih berlangsung, diperlihatkan dengan adanya selang seling batu apung dan napal. Pada Zaman Kuarter terjadi pengangkatan berkala, yang mengakibatkan terbentuknya batugamping terumbu tidak selaras di atas lapisan lebih tua disertai dengan pengendapan hasil rombakan ( Suprapto, Geologi Tinjau Lei Timor, LGPN LIPI, 1984 ). Berdasarkan Uraian Uraian dari Tjokrosapoetra ( 1989 ), urutan stratigrafi dari tua ke muda adalah sebagai berikut : Satuan tertua adalah Satuan Ultrabasa, berdasarkan ditemukannya kepingan peridotit di dalam greywacke, Umur satuan ini belum dapat dipastikan secara pasti namun diperkirakan berkisar antara Karbon sampai Perm. Tidak selaras di atasnya adalah Formasi Knikeh ( TRjk ), yang terlipat kuat dan terdiri dari selingan batupasir, serpih, lanau, dan batugamping, nama formasi ini diajukan oleh S. Tjokosapoetro, dkk ( 1989 ) dengan lokasi tipe di sungai Kanikeh di Seram Tengah. Audley Charles ( 1976 ), berdasarkan fosil Monilivaltha sp,WANNER yang dijumpai di Seram Barat menunjukkan formasi ini dari Trias Akhir Jura, selain kontak ketidakselarasan dengan satuan tertua sering pada dijumpai sebagai kontak sesar. Tidak selaras di atasnya adalah satuan batuan Gunungapi Ambon ( Tpav ) yang terdiri dari lava dasit, lava andesit, lava basalt, breksi gunung api, breksi tuf dan tuf. Dasar penamaan diambil dari nama Pulau

Ambon dimana tersingkap dengan baik dan penyebaran yang luas. Satuan ini diekstrusikan pada Kala Pliosen bersamaan dengan terjadinya penerobosan granit ( Tpag ) ke dalam batuan Paleozoikum dan Mezosoikum. Pada Kala Plestosen, terjadi pengendapan batugamping terumbu (Qcl) secara selaras, selanjutnya endapan aluvial ( QAl ) terbentuk sejak Holosen hingga sekarang.

IV.2.1. Stratigrafi Daerah Telitian Secara umum litologi yang tersingkap di daerah penelitian terdiri atas tujuh satuan batuan ultrabasa, Satuan batuan granit, satuan batupasir, satuan marmer, satuan batuan breksi vulkanik, satuan batugamping terumbu, dan endapan alluvial. IV.2.1. Satuan Ultrabasa A. Dasar Penamaan. Satuan ini diusulkan pertama kali oleh Verbeek (1905) sebagai satuan peridotit. Kemudian digunakan pula oleh Valk ( 1945 ). Suparka dan kawan kawan (1984) menamakan satuan ini sebagai satuan ultrabasa (Ub) begitu juga dengan Tjokrosaputro dan kawan kawan (1989). Daniel Napitupulu (1989) menamakan Satuan peridotit dan serpentinit (Prdt) untuk satuan ini. Adapun dasar penamaan satuan ini ditinjau dari penyebaran batuan ini yang luas dan baik di wilayah Seram Barat sampai ke Ambon. B. Pemerian Litologi Satuan Ultrabasa. Satuan ultrabasa ini terdiri dari batuan peridotit dan serpentinit. Secara umum sangat sulit membedakan keduanya, karena kenampakan fisiknya di lapangan hamper serupa, yaitu mempunyai warna abu-abu kehijauan, massif, holokristalin, fanerik kasar, euhedral, equigranular panidiomorfik, komposisi mineral : piroksen, hornblende.(Foto 4.9)

(a)

(c)

(b)

Foto 4. 9

(a) Kenampakan batuan serpentinit. (b) Kenampakan batuan serpentinit yang

terkekarkan dan terisi oleh mineral serpentin, yang berwarna putih kehijau-hijauan hasil ubahan mineral mafik. (c) Kenampakan secara umum singkapan batuan peridotit di lapangan, yang telah mengalami pelapukan dan berpotensi sebagai longsoran.

Foto 4.10. Kenampakan bidang penggerusan serta rekahan rekahan yang terisi oleh mineral serpentin.

Secara umum kenampakan batuan ultrabasa di lapangan banyak dijumpai bidang penggerusan yang menunjukkan bahwa adanya deformasi yang sangat kuat terjadi pada

daerah telitian, sehingga sangat berpotensi menghasilkan ubahan ubahan dari mineral mafik menjadi mineral serpentin dan kadang menjadi serpentin yang mengisi rekahanrekahan pada batuan peridotit.

(a)

(b)

(c)
Foto 4. 11. ( a ) Kenampakan rekahan-rekahan yang terbentuk pada batuan serpentinit akibat deformasi yang berkembang pada daerah telitian. ( b ) Singkapan batuan serpentinit serta conto batuan serpentinit, dalam kondisi lapuk. ( c ) Kenampakan singkapan dari batuan serpentinit yang terisi oleh mineral serpentin di lapangan.

Umumnya batuan peridotit banyak mengandung unsur besi sehingga banyak dijumpai dalam keadaan yang sangat lapuk, karena mudah teroksidasi. C. Penyebaran Satuan Batuan Satuan ini menempati sebagian besar daerah telitian dengan luas penyebaran pada peta kurang lebih 35%. Sebagian besar berada di bagian tenggara sampai dengan bagian barat daya daerah telitian. Tersingkap dengan baik di Gunung tersili serta bukit bukit sekitarnya. D. Umur Satuan Batuan Ultrabasa Umur satuan ini secara pasti belum diketahui, karena belum adanya dating yang dilakukan oleh peneliti terdahulu untuk dipakai sebagai kesebandingan. Verbeek ( 1898 ) menentukan batuan ini berumur Pra Perm, dimungkinkan Devon. Sedangkan Tjokrosapoetro dan kawan kawan ( 1989 ) mengatakan bahwa umur satuan ini diperkirakan Perm, dengan ditemukannya kepingan peridotit di dalam greywacke, pada Formasi Kanikeh di Seram Barat, sedangkan umur Formasi Kanikeh berdasarkan fosil Halobia sp, Montlivaltia molukkana WANNER adalah Trias Akhir sampai Yura. Berdasarkan acuan posisi stratigrafi peneliti terdahulu bahwa satuan di atasnya Satuan Ultrabasa adalah Formasi Kanikeh, maka dapat di perkirakan bahwa Satuan Ultrabasa ini lebih tua dari umur Formasi Kanikeh. Diperkirakan Karbon sampai Perm. E. Hubungan Stratigrafi Satuan Batuan Ultrabasa ini merupakan batuan tertua di daerah penelitian. Hubungan satuan ini dengan batuan di atasnya yaitu Formasi Kanikeh adalah hubungan ketidak selarasan dengan jenis Nonconformity yang merupakan hubungan

ketidakselaran antara batuan beku dan batuan sedimen. Hal ini didukung karena didapatkan adanya kontak tektonik yang berupa sesar turun dengan batuan lainnya, sehingga satuan tertua ini muncul di permukaan. (Gambar 4.2)

IV.2.2. Satuan Granit A. Dasar Penamaan Granit Suparka ( 1984 ) menyebut satuan ini sebagai Satuan Batuan Granit, Tjokosapoetro menyebutnya sebagai satuan Granit Ambon ( Tpag ), Direktorat Geologi Tata

Lingkungan ( 1989 ) menyebut sebagai Satuan Granit ( Pgrnt ). Penamaan Satuan Granit didasarkan pada kenampakan lapangan di mana granit besifat intrusif, memiliki penyebaran yang cukup luas di daerah telitian. B. Pemerian Litologi Granit Granit yang dijumpai pada satuan ini secara megaskopis berwarna putih keabu abuan bersifat keras dan kompak, umunya dijumpai urat kuarsa.

Foto 4.12. Kenampakan rekahan yang terisi oleh kuasra pada batuan granit di daerah Hukurila LP 49.

Foto 4.13. Kenampakan batuan granit di desa Soya LP 84.

Batuan granit yang dijumpai bertekstur kasar sampai sedang, dengan ciri sebagai berikut : Putih keabu abuan , masif, kompak, holokristalin, equigranular hipidiomorfik granular, fanerik sedang, subhedral, komposisi mineral : K- Feldspar, kuarsa, biotit, plagioklas. Biotit Biotit

Plagioklas

Kuarsa

Foto 4.14. Foto conto batuan granit dan kenampakannya pada sayatan tipis.

(a)

(b)

Foto 4.15. Kenampakan kekar pada batuan granit (a) Desa kilang Ema LP 56 ( b ) Desa Hukurila , LP 49.

Pada foto di atas dapat disimpulkan bahwa kekar sangat berkembang baik di daerah telitian.

C. Penyebaran Satuan Batuan Intrusi granit ini memiliki penyebaran yang cukup luas di daerah penelitian, menempati kurang lebih dari 24% dari seluruh daerah telitian menyebar di bagian barat daya sampai barat daerah telitian, meliputi daerah Soya, Hukurila, Ema, Naku, dan Kilang. D. Lingkungan Pengendapan Intrusi Granit Seperti telah diketahui bahwa batuan granitik merupakan batuan yang berasal dari kerak benua, merupakan tubuh intrusi discordan berbentuk stock, dengan penyebaran yang cukup luas di permukaan bumi.

IV.2.3. Satuan Batupasir Kanikeh A. Dasar Penamaan Batupasir Kanikeh Dasar penamaan satuan batupasir Kanikeh ini, didasarkan pada peneliti terdahulu, serta penyebaran batuan penyusun satuan ini di daerah telitian. Penyusun dari satuan batuan ini adalah perselingan batupasir dengan tuf. Formasi Kanikeh diajukan pertama kali oleh Tjokrosapoetro dan kawan kawan (1989) dan Wakuku Beds merupakan sebutan lain untuk formasi ini oleh Audley Charles (1976). Keduanya mempunyai lokasi tipe, yang sama yaitu di Sungai Kanikeh Seram Tengah, dimana batuan ini tersingkap cukup baik dan luas. B. Litologi Penyusun Satuan Batuan Batuan penyusun satuan batuan ini tersususn oleh batupasir dengan perselingan tuf. (Foto 4.16)

Batupasir Tuf
Foto 4.16. Kenampakan batupasir dan sayatan tipisnya di daerah W.Wakauli, LP 105.

Kenampakan batupasir di daerah telitian dengan ciri ciri : abu abu , laminasi, pasir sedang ( 0,25 0,5mm ), subangular, terpilah baik, kemas tertutup, Komposisi : Fragmen : Kuarsa ; Matrik : Hornblende ; Semen : Silika.

C. Penyebaran Satuan Batuan Satuan batupasir Kanikeh ini menempati kurang lebih 6% pada daerah telitian. Pada daerah telitian, singkapan batupasir yang ditemukan memiliki dimensi panjang 1,5 m dengan lebar singkapan 0,4m. Pada daerah telitian satuan batupasir menyebar di daerah W.Yuri. Di daerah W.Yuri, dilakukan pengukuran kedudukan batupasir, dan hanya mengambil satu pengukuran ( N 358 E / 68 ), dikarenakan singkapan batupasir yang ditemui berdimensi kecil dan tidak menyebar di daerah lain.

Foto 4.17. Kenampakan singkapan batupasir di daerah W.Yuri, LP 105 dengan arah aliran sungai searah strike.

D. Umur Satuan Batuan Secara umum, peneliti melakukan hubungan kesebandingan serta mengacu pada peneliti terdahulu dalam menentukan umur satuan batupasir Kanikeh, dalam stratigrafi regional Tjokrosapoetro(1989), satuan batupasir Kanikeh secara tidak selaras menindih satuan ultrabasa. Ini disebabkan karena peneliti tidak menemukan indikasi adanya fosil, baik itu fosil foraminifera palankton maupun foraminifera besar. Oleh sebab itu dengan mengacu kepada geologi regional dan peneliti terdahulu bahwa satuan batupasir ini berumur Trias Akhir sampai Yura Awal. Umur satuan ini di perkemukakan pertama kali oleh Audley Charles ( 1976 ), berdasarkan fosil Halobia sp, Lovcenopura vinassai GIATT, Montlivaltia sp WANNER, yang dijumpai di Seram Barat.

E. Hubungan Stratigrafi Satuan batupasir Kanikeh ini memiliki hubungan tidak selaras (Disconformity), dengan gap time yang sangat jauh. Dari Zaman Yura ke Kala Pliosen, dengan hubungan ketidak selarasan di atasnya diendapkan marmer. (Gambar 4.2) IV.2.4. Satuan Marmer A. Dasar Penamaan Satuan Dasar penamaan satuan batugamping ini didasarkan atas dominasi marmer yang ditemukan pada daerah telitian. B. Litologi Penyusun Satuan Batuan Secara umum satuan ini didominasi oleh marmer. Deskripsi marmer : warna putih , nonfoliasi_granulusa, kristaloblastik_granuloblastik, kalsit.

Foto 4.18. Kenampakan singkapan marmer,Lokasi Desa Rutong, LP 3. Pengambilan conto batuan, dengan hasil sayatan tipis dengan perbesaran 30x.

C. Penyebaran Satuan Batuan Satuan marmer ini menempati kurang lebih 9% pada daerah telitian menyebar pada timur dari daerah telitian , meliputi Desa Rutong. D. Umur Satuan Batuan Dalam menentukan umur penulis mengacu pada stratigrafi regional , yang menyatakan umur satuan ini adalah Pliosen akhir, dengan indikasi bahwa

batuan asalnya adalah batugamping terumbu yang kemudian terkena intrusi akibat aktivitas vulkanisme yang terjadi pada kala tersebut. Pada satuan ini sudah sangat sulit untuk menemukan foram plankton dalam memastikan kebenaran umurnya, karena batuan ini telah mengalami metamorfosa batuan. E. Hubungan Stratigrafi Hubungan satuan marmer sangat jelas memiliki hubungan tidak selaras dengan satuan batupasir, karena memiliki gape time yang sangat jauh. Sedangkan terhadap batugamping terumbu dan breksi volkanik adalah selaras. (Gambar 4.2)

IV.2.5. Satuan Breksi Vulkanik A. Dasar Penamaan Satuan Batuan Satuan ini oleh Verbeek ( 1905 ) disebut sebagai Ambonit , Van Bemmelen (1945) menyebutnya sebagai Satuan Batuan Vulkanik Ambonit, dan Tjokosapoetro (1989) menyebutnya sebagai Satuan Batuan Gunungapi Vulkanik. Berdasarkan dasar penamaan oleh para peneliti terdahulu serta keterdapatan batuan pada daerah telitian, maka penulis menyebut satuan ini adalah breksi

vulkanik. Batuan penyusun satuan batuan ini adalah sebagian besar terdiri dari breksi vulkanik, dengan fragmen dari breksi yang beragam ( Polimik ), yang merupakan produk vulkanisme.(Foto 4.20) B. Litologi Penyusun Satuan Batuan Secara umum satuan ini didominasi oleh breksi vulkanik. Fragmen breksi vulkanik terdiri atas basalt. Deskripsi Fragmen basalt : warna abu-abu gelap, hipokristalin, fanerik halus, subhedral, inequigranular vitroferik, plagioklas, piroksin, masa gelas. (Foto 4.19)

Fragmen

Foto 4. 19. Kenampakan breksi di daerah W.Yuri di LP. 100

Foto 4.20. Kenampakan breksi vulkanik di daerah W.Yuri di LP 103

Foto 4.21. Singkapan breksi vulkanik dalam kondisi lapuk pada LP 98

C. Penyebaran Satuan Batuan Satuan breksi vulkanik ini menempati kurang lebih 18% pada daerah telitian menyebar dari barat laut sampai ke timur laut, meliputi daerah W. Yuri sampai ke W. Wakauli. (Foto 4.20 dan Foto 4.21) D. Umur dan Lingkungan Pembentukan Dalam menentukan umur penulis mengacu pada stratigrafi regional yang dibuat oleh Direktorat Geologi Tata Lingkungan ( 1989 ), yang menyatakan umur satuan ini adalah Plistosen. Pada satuan batuan breksi vulkanik ini tidak dijumpai adanya fosil plankton. E. Hubungan Stratigrafi Hubungan satuan breksi vulkanik memiliki hubungan selaras dengan kontak batugamping terumbu. (Gambar 4.2)

IV.2.6. Satuan Batugamping terumbu A. Dasar Penamaan Dasar Penamaan satuan batugamping terumbu didasarkan atas dominasi batuan penyususn satuan tersebut yang sebagian besar adalah batugamping terumbu (Foto 4.23). Batugamping terumbu ini memiliki penyebaran yang setempat-setempat. B. Litologi Penyusun Satuan Batuan Batuan penyusun satuan ini tersusun oleh batugamping terumbu, sehingga sulit dalam melakukan pengukuran. Batugamping terumbu dengan ciri ciri : putih, amorf, dan monomineralik karbonat ( CaCO3 ). (Foto 4.22)

Foto 4.22. Kenampakan head coral pada batugamping terumbu, Lokasi Desa Hutumuri.

Foto 4.23. Kenampakan undukan coral pada batugamping terumbu, Lokasi Desa Hutumuri, Pantai Lawena

Foto 4.24. Singkapan batugamping terumbu, Lokasi Desa Leahari, Pantai Leahari, LP 15.

C. Penyebaran Satuan Batuan Satuan batugamping terumbu tersingkap sangat baik pada daerah telitian, dan menempati luas kurang lebih 8% di daerah telitian. Tersebar secara merata di bagian timur sampai tenggara dari daerah telitian, meliputi daerah Hutumuri dan Leahari. (Foto 4.24) D. Umur dan Lingkungan Pengendapan Dalam menentukan umur dan lingkungan pengendapan penulis mengacu kepada peneliti terdahulu yaitu Tjokosapoetro, dkk ( 1984 ) di mana umur satuan batuan ini adalah Plistosen dan Lingungan pengendapannya adalah laut terbuka, hal ini dibuktikan dengan fosil foraminifera bentos yang didominasi oleh golongan Legenidae. E. Hubungan Stratigrafi Satuan batugamping terumbu ini secara selaras menindih satuan batuan volkanik. Hal ini dibuktikan dengan kenampakan yaitu selaras dengan batugamping dan juga tidak adanya selang waktu pengendapan antara kedua satuan ini. Dan memiliki hubungan ketidakselaran dengan satuan batuan yang lebih tua, meliputi Satuan Batuan Ultrabasa, Satuan Batupasir Kanikeh, dan Satuan Granit. Sedangkan dengan endapan alluvial adalah hubungan tidak selaras. (Gambar 4.2)

IV.2.7. Endapan Alluvial A. Dasar Penamaan Dasar penamaan endapan alluvial ini didasarkan atas dominasi material material lepas ( transported ) dari batuan asal yang berukuran pasir sampai kerikil, dengan ketinggiannya dari permukaan air laut 0 2 m, dan relatif datar. B. Penyebaran Satuan Batuan Endapan alluvial ini menempati 2% pada daerah telitian, dengan penyebarannya meliputi daerah pesisir pantai. C. Umur dan Lingkungan Pembentukannya Endapan alluvial ini berumur resen dan sampai sekarang masih berlangsung proses endapannya, serta terbentuk pada lingkungan darat. D. Hubungan Stratigrafi Hubungan endapan alluvial dengan satuan di bawahnya adalah hubungan tidak selaras. (Gambar 4.2)

Gambar 4.2. Kolom stratigrafi daerah telitian

IV.3. Struktur Geologi IV.3.1. Struktur Geologi Pada Daerah Penelitian Penentuan struktur geologi pada pengamatan , pegukuran di lapangan dan analisis pola kontur serta korelasinya pada peta geologi regional. Struktur geologi yang ada di daerah telitian adalah struktur kekar, dan struktur sesar, IV.3.1.1. Kekar Kekar adalah sebutan untuk struktur rekahan dalam batuan yang belum atau tidak mengalami pergeseran. Kekar dapat terbentuk baik secara primer ( bersamaan dengan pembentukan batuan, misalnya kekar kolom dan kekar melembar pada batuan beku ) maupun secara sekunder ( setelah proses pembentukan batuan, umumnya merupakan kekar tektonik ). Berdasarkan pengamatan lapangan, struktur kekar ini terdapat pada batuan granit. Kekar pada daerah telitian mempunyai kedudukan yang tegak atau hampir tegak. (Foto 4.25 dan Foto 4.26)
Foto 4.25. Kekar pada batuan granit,Lokasi W.Hosu, LP 57, dengan arah umum N245E.

Foto 4. 26. Kekar pada batuan granit, Lokasi Hukurila, LP 49, dengan arah umum N255E.

Foto 4.27. Kekar pada marmer, Lokasi Rutong, LP 3, dengan arah umum N215E.

IV.3.1.2. Sesar Sesar yang ditemukan oleh penulis di daerah W. Hosu, memanjang dari arah barat timur. Dan memiliki arah umum N 245 E.(Foto 4.29)

Foto 4.28. Kenampakan shear dan gash batuan granit,Lokasi W. Hosu,LP 56.

Foto 4.29. Kenampakan zona hancur (breksiasi) pada batuan granit,Lokasi W. Hosu, LP 57, dengan arah umum N245E

Dari hasil analisa penelitian

terhadap struktur yang berkembang dan analisa data lapangan, maka didapatkan hasil sebagai berikut : Kedudukan bidang sesar Net Slip Rake Gash fracture Shear fracture : N 245 E / 48 : 58, N 47 E : 31 : N 268 E / 61 : N 144 E / 63

Berdasarkan analisa struktur secara stereografis dapat disimpulkan sesar yang berkembang pada daerah telitian adalah Right Normal Slip Fault. (Rickard, 1972).

IV.4. Sejarah Geologi Satuan batuan ultrabasa dan granit adalah satuan yang paling tertua pada daerah telitian. Umur satuan ini belum dapat diketahui secara pasti, namun dapat diperkirakan Karbon Perm, terdiri dari peridotit yang telah terubah menjadi serpentinit. Secara tidak selaras diatasnya diendapakan satuan batupasir Kanikeh, dengan gape time yang sangat jauh. Formasi Kanikeh ini merupakan formasi yang tertranspot ke P.Ambon, dan berasal dari Australia. Ini diakibatkan karena pergerakan Benua Hindia dan Australia relatif kearah utara yang terdorong ke barat oleh pola sesar sorong. Perkembangan tektonik ini mengakibatkan terbentuknya sesar turun yang melibatkan batuan dasar dan batuan sedimen Formasi Kanikeh, sehingga tersingkap di permukaan. Sesar turun yang membatasi teluk Ambon ini mempunyai arah umum Timur Laut Barat Daya yang merupakan jalur terban yang cukup besar. Selama mengalami pergerakan antara Benua Hindia dan Australia, batugamping terumbu telah tumbuh pada P.Ambon. Pada kala Miosen Tengah sampai dengan Pliosen, terjadi proses tektonik yang sangat kuat, akibat dari tumbukan lempeng benua Australia dengan lempeng benua Eurasia, kemudian terbentuk subduksi, dengan arah subduksinya ke tenggara dan kemudian mengakibatkan terjadi vulkanisme.

Aktivitas vulkanisme ini berlanjut dan menghasilkan satuan marmer dan satuan breksi vulkanik pada Pliosen Akhir, dengan kedudukan pada penampang stratigrafi menindih batupasir kanikeh secara tidak selaras. Pada saat terbentuknya Pulau Ambon, batugamping terumbu telah terbentuk, sehingga ketika terbentuknya subduksi batugamping terumbu yang telah terbentuk tesebut, terintrusi dan menghasilkan marmer. Peneliti mengasumsikan bahwa, marmer yang terbentuk ini akibat adanya aktivitas vilkanisme pada Pliosen Akhir. Namun di daerah telitian, peneliti tidak menemukan indikasi adanya intrusi. Kemudian pada Kala Plistosen ini, satuan batugamping terumbu kembali lagi tumbuh dan berkembang sampai sekarang. Setelah itu terjadi proses tektonik berupa pengangkatan dan tersingkap di permukaan.Erosi dan denudasi terus berlanjut dan membentuk kenampakan morfologi seperti sekarang ini.

BAB V POTENSI SUMBERDAYA NIKEL

Proses terbentuknya nikel adalah dimulai dari batuan ultramafik dengan komposisi penyusunnya adalah mineral-mineral mafik (Ferromagnesia). Mineral mafik adalah mineral yang mengandung gugusan senyawa besi (Fe) dan magnesia (Mg), dimana mineral-mineral yang termasuk didalamnya adalah olivin, piroksen, hornblenda. Akumulasi endapan nikel pada batuan dasar terjadi proses serpentinisasi dan pelapukan. Sebagian besar batuan ultramafik adalah batuan ultrabasa, tetapi tidak semua batuan ultrabasa adalah batuan ultramafik. Menurut Hughes (1982) batuan beku ultrabasa adalah batuan yang kurang akan kandungan SiO2. Batuan ultrabasa adalah batuan beku yang kandungan silikanya rendah (< 45 %), kandungan MgO > 18 %, tinggi akan kandungan FeO, rendah akan kandungan kalium dan umumnya kandungan mineral mafiknya lebih dari 90 %. Batuan ultrabasa umumnya terdapat sebagai opiolit. KLASIFIKASI BATUAN ULTRAMAFIK A. Dunit Menurut Achmad (2002), dunit merupakan batuan ultramafik monomineral yang hampir semuanya mengandung olivin (umumnya magnesia). Kandungan olivine dalam batuan ini adalah 90%. Mineral-mineral penyerta dalam batuan dunit seperti kromit, magnetit, ilmonit, dan spinel. Sedangkan dalam William (1954) , bahwa dunit merupakan batuan yang yang hampir murni olivin 90-100%, umumnya hadir dalam forsterit atau krisolit. B. Piroksenit Merupakan batuan ultramafik monomineral yang seluruhnya mengandung piroksen (>90%). Selanjutnya batuan piroksenit diklasifikasikan menjadi orthorombik piroksen, yang disebut sebagai orthipiroksenit dan monoklin piroksen yang disebut sebagai klinopiroksenit Orthopiroksenit : bronzitit Klinopiroksenit : diopsidit

C. Hornblendit Merupakan batuan ultamafik monomineral yang seluruhnya mengandung mineral hornblenda (>90% hornblenda). D. Serpentinit Merupakan batuan ultramafik monomineral yang seluruhnya mengandung mineral serpentin, yang kaya akan mineral mafik. Tetapi batuan ini dapat terbentuk dari batuan dunit yang terserpentinisasi, atau dari hornblendit atau peridotit (Ahmad,2002). Serpentinit merupakan batuan hasil alterasi hidrotermal dari batuan ultramafic, dimana mineral-mineral olivin dan piroksen jika teralterasi akan membentuk mineral serpentin. E. Peridotit Merupakan batuan ultramafik yang mengandung lebih banyak mineral olivin tetapi juga mengandung mineral-mineral mafik lainnya dalam jumlah yang signifikan. Berdasakan kandungan mineral-mineral mafik, batuan peridotit dapat diklasifikasikan menjadi : Piroksenperidotit Hornblenda peridotit Mika peridotit

Klasifikasi Batuan Peridotit. Salah satu batuan peridotit yang dikelompokkan berdasarkan mineral mafik, yaitu piroksen peridotit. Berdasarkan dari tipe piroksen, maka piroksen peridotit dapat diklasifikasikan menjadi 3 yaitu: Harzburgite : olivin + orthopiroksen Wehrlite : olivine + klinopiroksen (diopsid) Lherzolite : olivin + orthopiroksen + klinopiroksin. Kelompok batuan peridotit tidak umum tersingkap dipermukaan dan sangat tidak stabil. Umumnya batuan peridotit yang tersingkap telah terubah menjadi serpentinit, dimana mineral pyroksen dan olivin terubah menjadi mineral serpentin dan amfibol, proses perubahan ini (hydrasi) diikuti dengan perubahan volume yang mengakibatkan terjadinya perubahan (deformasi) dari tekstur awalnya.

V.1. Petrografis Batuan Ultrabasa Batuan beku ultrabasa yang tersingkap pada daerah telitian adalah batuan peridotit. Umumnya di lapangan sangat sulit dibedakan antara peridotit maupun serpentinit. Kedua batuan ini secara megaskopis sangat sulit dibedakan karena memiliki warna yang sama yaitu warna hijau tua kehitaman. Namun setelah dilakukan analisa petrografis, didapatkan bahwa hasil sayatan tipis batuan ultrabasa pada daerah telitian adalah serpentinit. Seperti telah dijelaskan di atas, umumnya batuan peridotit yang tersingkap telah terubah menjadi serpentinit. Ini disebabkan karena kelompok batuan peridotit tidak umum tersingkap di permukaan dan sangat tidak stabil. A. Hasil Petrografis Batuan Ultrabasa LP 22 Nomor sayatan Perbesaran : 12 : 30 x

Serpentin

Nikol Silang

Kromit

Nikol Paralel

Gambar 5.1. Kenampakan sayatan tipis batuan ultrabasa, Lokasi Hukurila LP 22

PEMERIAN PETROGRAFIS : Sayatan batuan serpentin, batuan hasil ubahan dari batuan ultra basa Peridotite, warna abu-abu kekuningan-kehijauan, komposisi mineral didominasi oleh serpentin hasil ubahan dari mineral Olivin dan piroksen, menampakkan mash texture (struktur jaring), dengan ukuran mineral 0,1-0,5mm, bentuk subhedral-anhedral.

KOMPOSISI MINERAL Serpentine (99%), tidak berwarna-hijau pucat, relief rendah, n>nKb, bias rangkap lemah, hadir sebagain mineral ubahan dari mineral olivine dan piroksen Kromit (1%), hitam-coklat, submetalik, relief tinggi, berukuran 0,1 1,2mm

Penamaan Petrografis: Serpentinit

B. Hasil Petrografis Batuan Ultrabasa LP 32 Nomor sayatan Perbesaran :1 : 40 x

Serpentin

Nikol Silang

Nikol Paralel Gambar 5.2. Kenampakan sayatan tipis batuan ultrabasa, yang menunjukan adanya ubahan dari mineral olivin dan piroksin. Lokasi Hukurila LP 32

PEMERIAN PETROGRAFIS : Sayatan batuan serpentin, batuan hasil ubahan dari batuan ultra basa Peridotite, warna abu-abu kekuningan-kehijauan, komposisi mineral didominasi oleh serpentin hasil ubahan dari mineral Olivin dan piroksen, menampakkan mash texture (struktur jaring), dengan ukuran mineral 0,1-0,5mm, bentuk subhedral-anhedral. KOMPOSISI MINERAL Serpentine (90%), tidak berwarna-hijau pucat, relief rendah, n>nKb, bias rangkap

lemah, hadir sebagain mineral ubahan dari mineral olivine dan piroksen Kromit (10%), hitam-coklat, submetalik, relief tinggi, berukuran 0,1 1,3mm

Penamaan Petrografis: Serpentinit

V.2. Serpentinisasi Mineral Pada daerah telitian, berdasarkan analisa petrografis, penulis menyimpulkan bahwa batuan ultrabasa yang dijumpai adalah serpentinit. Serpentinit ini merupakan hasil ubahan dari batuan asal yang telah mengalami serpentinisasi. Proses serpentinisasi ini merupakan salah satu jenis dari alterasi. Serpentinisasi : Umumnya sebagai akibat proses magmatik akhir yang mengubah mineral nonaluminous feromagnesian menjadi agregat mineral serpentin. Talk dapat juga terbentuk. Pada daerah telitian, batuan induknya telah terubah menjadi serpentinit. Dari hasil analisa petrografis yang dilakukan oleh penulis, mineral yang dominan telah mengalami perubahan adalah mineral olivin dan piroksen. ( Gambar 5.1 dan 5.2 ) Secara umum dominan olivin dibandingkan dengan piroksen. Oleh sebab itu penulis menyimpulkan batuan induk dari daerah telitian adalah peridotit, berdasarkan diagram klasifikasi batuan beku, yang mana dijelaskan bahwa presentasi mineral olivinnya adalah kurang dari 90%. ( Gambar 5.4 )

Gambar 5.3. Klasifikasi untuk peridotit yang diusulkan oleh Streickeisen (1979 dalam Best, 1982)

V.2.1. Mineral Olivin A. Pembentukan Olivin Olivin merupakan kelompok yang merupakan mineral penting pada batuan. Dan banyak terbentuk pada batuan beku basa maupun batuan beku ultrabasa. Batuan basa maupun ultrabasa umumnya mengandung olivin yang kaya akan magnesian. Sedangkan olivin yang kaya akan besi umumnya ditemukan pada batuan sedimen yang telah mengalami metamorfosis. Olivin merupakan mineral mafik, yang pertama kali mengkristal dari magma basa. Magma memiliki kandungan silika yang tinggi dan yang pertama kali terbentuk adalah olivin, kemudian selanjutnya akan terbentuk piroksen. B. Nikel Dalam Olivin Kandungan olivin dapat mencapai 0,41% dalam NiO. Kebanyakan dari nikel yang terkandung adalah pengganti atom magnesian dengan atom nikel yang memiliki ukuran yang sama. Umumnya rasio Mg : Ni sama dengan magma yang bersifat basa. Masuknya nikel ke dalam struktur olivin. Ni : Mg , kedua rasio ini , nikel mengalami pergantian beberapa unsur besi dalam olivin. ( Besi dalam olivin ini mengalami penurunan akibat stabilitas suhunya ). Nikel dalam nickelferous magnetite juga awalnya berasal dari nickelferous olivin. C. Alterasi dan Pelapukan olivin Mineral mineral dalam kelompok olivine (Forsterit , Fayalit, Krisolit), sangat rentan terhadap alterasi baik itu akibat proses hidrotermal maupun akibat proses pelapukan. Alterasi dalam hal ini melibatkan hidrasi, silifikasi, oksidasi, dan karbonasi. Umumnya olivine mengalami proses alterasi membentuk mineral serpentin, klorit, amphibole, karbonat, mineral oksidasi, dan talc.

Mineral forsterit dapat terubah secara langsung menjadi serpentin dengan temperatur 200C - 500C. Temperaturnya tidak kurang dari 200C dan tidak lebih dari 500C, karena mineral serpentin tidak stabil dan tidak dapat dibentuk.

Pada temperatur 500C - 625C, forsterit mengalami perubahan menjadi talc. Pada temperature 625C - 800C, forsterit berubah menjadi enstatit sampai talc. Temperature yang lebih dari 800C, forsterit ini akan langsung terubah menjadi enstatit dan tidak mungkin ada mineral hidrous yang terbentuk.

V.2.2. Serpentinisasi Dari Olivin Serpentin merupakan mineral dengan komposisi H4Mg3Si2O9, yang merupakan hasil dari alterasi hidrotermal mineral ferromagnesian seperti olivin, piroksin, dan amphibol. Serpentin magnesian murni mengandung 12,9% air kristalisasi yang dikeluarkan pada temperature yang tinggi dan mencapai lebih dari 800C. Serpentinit adalah hasil ubahan dari batuan peridotit yang terbentuk akibat serpentinisasi oleh proses hidrotermal. Umumnya ada beberapa faktor dalam alterasi hidrotermal yang menyebabkan perubahan olivin menjadi serpentin. Ada 3 asal pembentukan serpentin , yaitu : Dalam kondisi yang stabil terbentuk krisotil dengan struktur berserabut. Dalam kondisi dibawah tekanan, terbentuk antigorite dengan struktur berlapis. Berdasarkan hasil analisa petrografis tekMIRA, terdapat ubahan dari serpentin yaitu antigorite. Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa terbentuknya karena adanya tekanan. ( Gambar 5.3 ). Dalam kondisi tertentu, terbentuk serpophit dengan structureless.

Proses serpentinisasi olivin membutuhkan: Sejumlah air Leaching dari magnesia (atau sejumlah silika) Pelepasan besi (Mg,Fe) dalam olivin

Perubahan dari pengurangan besi dari ferrous menjadi ferri membentuk magnetit berbutir halus. Pada umumnya batuan yang terserpentinisasi membentuk magnetit.

Pada dasaranya serpentinisasi olivine ini melibatkan penambahan air , penambahan silica, dan pemindahan magnesia. Genetik pembentukan serpentin, dapat disebabkan oleh kondisi dan lingkungan yang berkerja di lapangan : Proses hidrotermal metamorfosis dari kerak samudera. ini mungkin mekanisme yang paling umum untuk menghasilkan serpentinit dalam jumlah yang besar. Karena berasosiasi dengan subduksi melange dan jalur orogenik.

Tektonik yang meliputi sesar dan zona kekar Sesar dan zona kekar menjadi salah satu akses yang mudah untuk terjadinya hidrotermal.

Serpentin sekunder dalam profil laterit Meskipun jelas serpentin adalah hasil pembentukan dari proses hidrotermal, dengan temperatur lebih dari 200C, serpentin ini juga besifat sekunder yang mana mineral tersebut berkembang pada lingkungan laterit.

V.3. Pembentukan Nikel V.3.1. Genesa Mineral Nikel Inti bumi diperkirakan terdiri atas besi dengan kandungan nikel sekitar 7%. Zona diantara kerak bumi dan inti bumi, yaitu yang disebut mantel ( mantle ), diperkirakan tebalnya 2.898 km dan mengandung 0,1%-0,3% nikel. Deposit nikel pada umumnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu nickel-copper sulfide, nickel silicate dan nickel laterites and serpentines. Dalam uraian selanjutnya, pembahasan hanya dibatasi pada laterit. Bijih nikel laterit merupakan hasil proses pelapukan ( weathering ) batuan ultrabasa peridotit yang terdapat diatas permukaan bumi. Proses pelapukan terjadi karena pergantian musim panas dan dingin silih berganti, sehingga batuan menjadi pecah-pecah dan mengalami pelapukan.

Gambar 5.4. Sketsa proses pengayaan nikel (sumber: buletin khusus No.2-85- Pusat Pengembangan Teknologi Mineral, dalam thesis Rumpuin 2007, UGM)

Pembentukan endapan nikel laterit dikontrol oleh beberapa faktor yang saling terkait, dan diketahui ada 3 faktor yang berperan penting dalam pembentuk endapan nikel laterit, yaitu:

Batuan Induk Proses terbentuknya nikel dimulai dari batuan yang mengandung mineralmineral mafik (ferromagnesian), dengan gugusan senyawa Fe dan Mg, dimana mineral yang termasuk didalamnya adalah olivine, piroksen, dan hornblenda. Akumulasi endapan nikel pada batuan dasar terjadi karena serpentinisasi dan pelapukan.

Proses Serpentinisasi Serpentinisasi adalah suatu proses ubahan yang terjadi pada batuan ultramafic karena adanya deformasi. Mineral-mineral ferromagnesian seperti olivin dan piroksen merupakan mineral yang mengalami serpentinisasi menjadi mineral serpentin.

Proses Pelapukan Pelapukan adalah proses disintegrasi fisik dan dekomposisi fraksi batuan yang ada di permukaan atau dekat permukaan bumi. Proses pelapukan dan sirkulasi air tanah terutama yang relatif bersifat asam pada batuan ultrabasa akan, menyebabkan terjadinya penguraian magnesian, nikel, besi, dan silika pada mineral olivin, piroksen, maupun serpentin dan akan membentuk larutan yang kaya akan unsur-unsur tersebut.

V.3.2. Laterisasi Nikel A. Definisi Pada umumnya endapan nikel terdapat dalam dua bentuk yang berlainan, yaitu berupa nikel sulfida dan nikel laterit. Endapan nikel laterit merupakan bijih yang dihasilkan dari proses pelapukan batuan ultrabasa yang ada di atas permukaan bumi. Istilah Laterit sendiri diambil dari bahasa Latin later yang berarti batubata merah, yang dikemukakann oleh Buchanan (1807), yang digunakan sebagai bahan bangunan di Mysore, Canara dan Malabr yang merupakan wilayah India bagian selatan. Material tersebut sangat rapuh dan mudah dipotong, tetapi apabila terlalu lama terekspos, maka akan cepat sekali mengeras dan sangat kuat (resisten) Smith (1992) mengemukakan bahwa laterit merupakan regolith atau tubuh batuan yang mempunyai kandungan Fe yang tinggi dan telah mengalami pelapukan,

termasuk di dalamnya profil endapan material hasil transportasi yang masih tampak batuan asalnya. Sebagian besar endapan laterit mempunyai kandungan logam yang tinggi dan dapat bernilai ekonomis tinggi, sebagai contoh endapan besi, nikel, mangan dan bauksit. Dari beberapa pengertian bahwa laterit dapat disimpulkan merupakan suatu material dengan kandungan besi dan aluminium sekunder sebagai hasil proses pelapukan yang terjadi pada iklim tropis dengan intensitas pelapukan tinggi. B. Syarat Pembentukan Laterit Di permukaan bumi banyak tempat dengan intensitas pelapukan tinggi, tetapi tidak semua tempat tersebut dapat terbentuk nikel laterit, karena intensitas pelapukan yang tinggi bukan satu-satunya syarat terbentuknya nikel laterit. Syarat-syarat pembentukan nikel laterit : Terdapatnya batuan ultrabasa yang telah tersingkap di permukaan, mengandung banyak mineral olivin/piroksen, magnesium dan besi dan pada umumnya mengandung nikel 0,30%. Iklim tropis, dengan adanya iklim tersebut maka pelapukan akan berlangsung intensif. Curah hujan tinggi, hal ini berhubungan dengan kondisi iklim tropis, sebagian besar daerah dengan iklim tropis akan mempunyai curah hujan yang tinggi. Curah hujan tinggi akan menghasilkan air yang besar sebagai sarana proses pelindihan/leaching bijih nikel yang terkandung dalam batuan. Ketiga syarat tersebut di atas akan didukung dengan faktor tatanan geologi tentang keberadaan batuan ultrabasa. Menurut Golightly (1979) dan Haldeman et al (1979) , bahwa variasi ketebalan lateritik ini dipengaruhi oleh struktur batuan, sifat kelarutan mineral dan distribusi unsur. Sedangkan distribusi unsur dikontrol oleh penetrasi air tanah, perpindahan massa tanah yang merupakan kesatuan faktor dari iklim, topografi dan sejarah geomorfik. Totok. D (1999) menghubungkan distribusi unsur dan ketebalan diakibatkan proses pelindian batuan peridotit-serpentinit dimana konsentrasi bijih sangat tergantung dari migrasi air tanah.

C. Profil Endapan Laterit Profil nikel laterit menurut Ahmad (2002), menjadi 4 zona (dari atas ke bawah) sebagai berikut : a) Zona limonit (zona oksidasi) Lapisan bagian atas kaya akan mineral geothit, iron capping (ferricrete) yang terbentuk akibat mobilitas limonit yang terbentuk pada kondisi asam dekat permukaan dengan morfologi relative datar. Sering dijumpai mineral-mineral stabil seperti: spinel, magnetit, dan talk primer. Pada bagian dasar limonit terjadi pengkayaan manganis kobalt dan nikel pada pembentukan asbolit atau manganese wad. Zona limonit mewakili zona yang hancur karena beratnya sendiri. Secara umum material-material penyusun zona ini berukuran halus. b) Zona transisi Zona ini adalah zona intermediet antara zona limonit bawah dan zona saprolit atas. Zona ini terdiri dari smectit soft dan kriatal kuarsa yang keras. c) Zona saprolit ( serpentine ore ) Zona ini merupakan alterasi dari bedrock dimana proses-proses pelapukan kimia lebih aktif. Proses kimia dan pelapukan merupakan proses-proses yang terjadi sepanjang kekar dan rekahan-rekahan yang terdapat dalam batuan maupun kekar-kekar kecil dan belahan-belahan dalam kristal. Bongkah-bongkah yang terdapat pada zona saprolit membawa kadar nikel yang tinggi. Struktur dan tekstur batuan induk dapat terlihat.

d) Zona batuan induk Tersusun atas bongkahan atau blok dari batuan induk yang secara umum sudah tidak mengandung mineral ekonomis ( kadarnya sudah mendekati atau sama dengan batuan dasar ). Bagian ini merupakan bagian terbawah dari profil laterit.

V.3.3.Proses Pembentukan Nikel Laterit Proses pembentukan nikel laterit sangat memiliki hubungan erat dengan proses serpentisasi yang terjadi pada batuan peridotit akibat pengaruh larutan hidrotermal yang merubah batuan peridotit menjadi batuan serpentinit. Kemudian dilanjutkan dengan proses fisika dan kimia menyebabkan adanya dekomposisi pada batuan ultrabsa dalam hal ini batuan serpentinit , dan mengalami pelapukan . Batuan ini banyak mengandung olivin, piroksen, magnesium besi dan silikat, mineral-mineral tersebut tidak stabil dan mudah mengalami proses pelapukan. Faktor kedua sebagai media transportasi Ni yang terpenting adalah air. Air tanah yang kaya akan CO2, unsur ini berasal dari udara luar dan tumbuhan, akan mengurai mineral-mineral yang terkandung dalam batuan Serpentinit tersebut. Kandungan olivin, piroksen, magnesium silikat, besi, nikel dan silika akan terurai dan membentuk suatu larutan, di dalam larutan yang telah terbentuk tersebut, besi akan bersenyawa dengan oksida dan mengendap sebagai ferri hidroksida. Endapan ferri hidroksida ini akan menjadi reaktif terhadap air, sehingga kandungan air pada endapan tersebut akan mengubah ferri hidroksida menjadi mineral-mineral seperti

goethite/FeO(OH), hematit/Fe2O3 dan cobalt. Mineral-mineral tersebut sering dikenal sebagai besi karat. Endapan ini akan terakumulasi dekat dengan permukaan tanah, sedangkan magnesium, nikel dan silika akan tetap tertinggal di dalam larutan dan bergerak turun selama suplai air yang masuk ke dalam tanah terus berlangsung. Rangkaian proses ini merupakan proses pelapukan dan pelindihan/leaching. Unsur Ni sendiri merupakan unsur asesoris/tambahan di dalam batuan ultrabasa. Sebelum proses pelindihan berlangsung, unsur Ni berada dalam ikatan serpentine group/kelompok serpentin. Rumus kimia dari kelompok serpentin adalah X2-3 SiO2O5(OH)4, dengan X tersebut tergantikan unsur-unsur seperti Cr, Mg, Fe, Ni, Al, Zn atau Mn atau dapat juga merupakan kombinasinya. Adanya suplai air dan saluran untuk turunnya air, dalam hal berupa kekar, maka Ni yang terbawa oleh air turun ke bawah, lambat laun akan terkumpul di zona air sudah tidak dapat turun lagi dan tidak dapat menembus bedrock. Ikatan dari Ni yang berasosiasi dengan Mg, SiO dan H akan membentuk mineral garnierit dengan rumus

kimia (Ni, Mg) Si4O5(OH)4. Apabila proses ini berlangsung terus menerus, maka yang akan terjadi adalah proses pengkayaan supergen.(Gambar 5.5)

V.4. Potensi dan Penyebaran Nikel Laterit V.4.1. Potensi Nikel Laterit Daerah Telitian

Berdasarkan data analisa tekMIRA terhadap kandungan nikel laterit yang penulis dapatkan dari Dinas ESDM, Provinsi Maluku. Penulis dapat menyimpulkan bahwa relatif kandungan Fe lebih besar dibandingkan dengan kandungan Ni.(Tabel 5.1)
Tabel 5.1. Hasil Analisa tekMIRA terhadap kadar Ni, Lokasi Hukurila.

LOKASI PENGAMATAN LP 38 A LP 38 B LP 38 C LP 37 LP 36 LP 35 LP 34 LP 31 LP 22 LP 20

Fe ( % ) 22,4 9,09 8,22 12,24 11,68 12,59 9,90 5,31 6,60 16,42

Ni ( % ) 0,50 0,32 0,31 0,081 0,70 0,34 0,63 0,18 0,23 0,32

Zn ( % ) 0,027 0,033 0,028 0,15 0,027 0,021 0,015 0,011 0,017 0,019

Pb ( ppm ) tt 28 29 4,2 27 12,3 12,4 22 16,7 20

Metode AAS AAS AAS AAS AAS AAS AAS AAS AAS AAS

Terlihat jelas bahwa kadar Ni di daerah telitian rata-rata mengandung unsur Ni murni 0,081% - 0,70%. Hasil analisa ini menunjukkan batuan dasar daerah telitian adalah batuan ultrabasa peridotit yang telah mengalami proses serpentinisasi. Karena dari pembahasan diatas telah dijelaskan bahwa pada dasarnya peridotit mengandung nikel murni adalah 0,2%. Sangat jelas bahwa batuan peridotit ini mengalami serpentinisasi, karena terbukti pada analisa petrografis ditemukan mineral antigorit, yang merupakan hasil serpentinisasi dari olivine akibat adanya tekanan. Tekanan dalam hal ini dapat dipengaruhi oleh tektonik yang bekerja pada daerah telitian.

Berdasarkan hasil analisa AAS dan petrografi batuan diatas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa jenis batuan yang berpotensi menjadi nikel laterit pada daerah telitian adalah serpentinit. Yang mana batuan ini mengalami serpentinisasi dari batuan asal peridotit, karena terlihat jelas pada (Gambar 5.1, 5.2 & 5.3), mineral olivin mengalami perubahan menjadi mineral serpentin. Mineral olivin yang terubah, dapat dikelompokkan oleh peneliti dalam kelompok fayalit (Fe-olivin).Terlihat pada hasil analisa AAS, berdasarkan conto yang diambil oleh peneliti, daerah telitian mengandung kadar Fe relatif sangat besar dibandingkan dengan lainnya. (Tabel 5.1) Unsur Fe, umumnya hadir sebagai besi primer dalam magnetit, kromit, kristosil olivin, orthopiroksen, klinopiroksen, serta sebagai besi sekunder dalam magnetit setelah serpentinisasi olivin dan piroksen. Ion-ion besi tersebut akan terakumulasi pada permukaan endapan laterit, membentuk lapisan yang sangat keras atau sebagai geothit dan limonit. Unsur Ni, umumnya hadir pada batuan ultrabasa sebagai pengganti ion Mg dan Fe mineral olivin, piroksen dan serpentin. Konsentrasi nikel paling tinggi terdapat pada olivin, kemudian orthopiroksen serta klinopiroksen. Pada serpentin, nikel berasal dari mineral asalnya (olivin dan piroksen). Nikel memiliki sifat kelarutan diantara Si dan Mg yang relatif cepat dalam proses perpindahannya dan Fe yang tidak mudah berpindah tempat. Pada sirkulasi air tanah yang bersifat asam nikel akan larut namun ketika air tanah masuk pada zona saprolit unsur magnesia yang lebih mudah larut akan masuk dan menyebabkan terakumulasinya nikel pada zona tersebut Nikel juga terakumulasi pada zona limonit, yaitu pada geothit. Namun pada pelapukan laterit tingkat lanjut dengan sirkulasi ait tanah yang terus-menerus menyebabkan nikel terlarut kembali dan terakumulasi pada zona saprolit. Kadar nikel pada geothit akan menjadi tinggi pada keadaan proses pembentukan endapan laterit yang belum dewasa (masih muda).

V.4.2. Penyebaran Nikel Laterit Penyebaran Nikel Laterit secara luas tersebar pada daerah telitian. Hampir sebagian besar Desa Hukurila, Gunung Tersili tersingkap nikel laterit. Kembali lagi pada stratigrafi daerah telitian, Gunung Tersili didominasi oleh batuan ultrabasa, dan hampir sebagian besar dari singkapan yang dijumpai telah mengalami serpentinisasi dan proses pelapukan. (Foto 5.1)

Foto 5.1. Singkapan Nikel Laterit , LP 37. Lokasi G.Tersili Desa Hukurila.

A. Profil Laterit Pada Daerah Telitian Lokasi Pengamatan 38

Conto diambil pada lateritnya dengan menggunakan Hand Auger, dan berdasarkan hasil analisa AAS didapatkan hasil sbb : Fe : 22,4%, Ni : 0,50%, Zn : 0,027%

Gambar 5.5. Profil nikel laterit pada LP 38A .

conto diambil pada lateritnya dengan menggunakan Hand Auger, dan berdasarkan hasil analisa AAS didapatkan hasil sbb : Fe : 9,09%, Ni : 0,32%, Zn : 0,033%, Pb : 28 ppm

Gambar 5.6. Profil nikel laterit pada LP 38B.

conto diambil pada lateritnya dengan menggunakan Hand Auger, dan berdasarkan hasil analisa AAS didapatkan hasil sbb : Fe : 8,22%, Ni : 0,31%, Zn : 0,028%, Pb : 29 ppm

Gambar 5.7. Profil nikel laterit pada LP 38C.

Lokasi Pengamatan 37

Gambar 5.8. Profil nikel laterit pada LP 37.

Conto diambil pada zona limonitnya , dan berdasarkan hasil analisa AAS didapatkan hasil sbb : 12,24% 0,081% 0,15% ppm Pb : 4,2 Zn : Ni : Fe :

Foto 5.2. Singkapan profil nikel laterit LP 37.

Profil nikel laterit pada LP 37 ini, dibuat oleh peneliti berdasarkan singkapan yang ditemukan pada daerah telitian.

Lokasi Pengamatan 36

Gambar 5.9. Profil nikel laterit pada LP 36.

Conto diambil pada zona limonitnya , dan berdasarkan hasil analisa AAS didapatkan hasil sbb : Fe : 11,68% Ni : 0,70% Zn : 0,027% Pb : 27 ppm
Foto 5.3. Singkapan profil nikel laterit LP 36.

Profil nikel laterit pada LP 36 ini, dibuat oleh peneliti berdasarkan singkapan yang ditemui pada daerah telitian.

Lokasi Pengamatan 35

Gambar 5.10. Profil nikel laterit pada LP 35.

Conto diambil pada zona limonitnya , dan berdasarkan hasil analisa AAS didapatkan hasil sbb : Fe : 12,59% Ni : 0,34% Zn : 0,021% Pb : 12,3 ppm

Foto 5.4. Singkapan profil nikel laterit LP 35.

Profil nikel laterit pada LP 35 ini, dibuat oleh peneliti berdasarkan singkapan yang ditemui pada daerah telitian.

Lokasi Pengamatan 34

Gambar 5.11. Profil nikel laterit pada LP 34.

Conto diambil pada zona limonitnya , dan berdasarkan hasil analisa AAS didapatkan hasil sbb : Fe : 9,90% Ni : 0,63% Zn : 0,015% Pb : 12,4 ppm

Foto 5.5. Singkapan profil nikel laterit LP 34.

Profil nikel laterit pada LP 34 ini, dibuat oleh peneliti berdasarkan singkapan yang ditemui pada daerah telitian.

Lokasi Pengamatan 31

Gambar 5.12. Profil nikel laterit pada LP 31.

Conto diambil pada zona limonitnya , dan berdasarkan hasil analisa AAS didapatkan hasil sbb : Fe : 5,31% Ni : 0,18% Zn : 0,011% Pb : 22 ppm

Foto 5.6. Singkapan profil nikel laterit LP 31.

Profil nikel laterit pada LP 31 ini, dibuat oleh peneliti berdasarkan singkapan yang ditemui pada daerah telitian.

Lokasi Pengamatan 22

Gambar 5.13. Profil nikel laterit pada LP 22

Conto diambil pada zona limonitnya , dan berdasarkan hasil analisa AAS didapatkan hasil sbb : Fe : 6,60% Ni : 0,23% Zn : 0,017% Pb : 16,7 ppm

Foto 5.7. Singkapan profil nikel laterit LP 22.

Profil nikel laterit pada LP 22 ini, dibuat oleh peneliti berdasarkan singkapan yang ditemui pada daerah telitian.

Lokasi Pengamatan 20

Conto diambil pada lateritnya dengan menggunakan Hand Auger, dan berdasarkan hasil analisa AAS didapatkan hasil sbb : Fe : 16,42%, Ni : 0,32%, Zn : 0,019%, Pb : 20 ppm.

Gambar 5.14. Profil nikel laterit pada LP 20.

Conto yang diambil dengan menggunakan Hand Auger.

Foto 5.8. Pengambilan conto laterit nikel di LP 20.

B. Penyebaran dan Profil Nikel Laterit Pada (Gambar 5.16), peneliti mencoba membuat peta kontur berdasarkan besarnya kandungan Ni dari 8 lokasi pengamatan pada daerah telitian. Peneliti juga membuat korelasi (Gambar 5.17), yang memperlihatkan variasi ketebalan dari zona limonitnya. Berdasarkan peta kontur dan korelasi yang dibuat oleh peneliti, maka peneliti mencoba menggabungkan kedua data tersebut untuk dapat memberikan gambaran mengenai besarnya kadar Ni, dengan ketebalan dari zona limonit. Dari hasil kedua data diatas, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa penyebaran kadar Ni pada daerah telitian sangat dipengaruhi oleh ketebalan dari zona limonitnya. Sangat terlihat jelas pada (Gambar 5.16), kadar Ni yang besar menunjukan ketebalan dari zona limonitnya (Gambar 5.17). Secara umum pada daerah telitian belum dilakukan eksplorasi, dan masih dalam tahap penelitian dan pengujian, guna mengetahui kualitas dari nikel laterit yang tersingkap pada daerah telitian. V.4.3. Kegunaan Nikel Laterit Secara garis besar penggunaan logam nikel ada 2 (dua) macam yaitu : penggunaan langsung dan penggunaan tak langsung. Penggunaan langsung adalah dalam bentuk nikel murni , untuk pembuatan peralatan laboratorium kimia dan fisika, anoda pada baterai penyimpan listrik, dan lampu radio. Penggunaan tak langsung yaitu untuk pembuatan paduan logam, paduan besi dan bukan besi dan berbagai pembuatn senyawa nikel bergantung pada kadar nikelnya.

BAB VI KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian lapangan serta pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka pada daerah telitian dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Daerah telitian dibagi dalam lima satuan geomorfik antara lain: dataran, karst topografi, perbukitan, pegunungan, dan sistem vulkanik. 2. Daerah telitian tersusun oleh beberapa satuan batuan dari tua ke muda adalah: yaitu satuan batuan ultrabasa, satuan batuan granit, satuan batupasir Kanikeh, satuan batugamping, satuan batuan breksi vulkanik, satuan batugamping terumbu, dan endapan alluvial. 3. Struktur geologi yang berkembang pada daerah telitian adalah kekar dan sesar turun. Struktur sesar yang berkembang adalah: Right Normal Slip Fault. (Rickard, 1972). 4. Profil laterit umumnya dibagi menjadi 4 zona (dari atas ke bawah) yaitu: zona limonit, zona transisi, zona saprolit, dan zona batuan dasar. 5. Jenis batuan dasar daerah telitian adalah serpentinit. Yang mana batuan ini mengalami serpentinisasi dari batuan asal peridotit. 6. Kadar Ni pada daerah telitian sangat dipengaruhi oleh ketebalan dari zona limonitnya. Semakin tebal zona limonitnya, semakin besar juga kadar Ni-nya.

DAFTAR PUSTAKA

Achmad,W., 2002, Indonesia. Audley Charles,

Chemistry Mineralogy and Formation of Nickel Laterite, PT Inco

M.G.,

D.J.

Carter.,

A.J.

Barber,

M.S.

Norvick

and

S.

Tjokrosapoetro,1981, Reinterpretation of the Geology of Seram, Implication for the Banda Arcs and Northern Australia, in the Geology of Eastern Indonesia, Barber, A.J., and S. Wiryosuyono, GRDC, Special publication. No. 2, hal.138217. Bateman,A.M. 1981, Deposit Mineral 3rd edition, John Wiley and Sons , New York . Brunto,S., 1996, Fasies Gunungapi dan Aplikasinya, Jurnal Geologi Indonesia, vol 1, No.2 hal. 59-71. Buchanan, F. 1807, A journey from Madras through the Countries of Mysore, Kanara and Malabar. 3 vol, London, pp. 436-437, 89, 251, and 258 in vol 3. Damayanti,Y.T., 1991. Geologi dan Studi Struktur Geologi Daerah Passo, dan sekitarnya, Kec. Baguala, Kodya Ambon, Provinsi Maluku. Skripsi S-1, Fakultas Teknik Geologi, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta, 165h. Daniel Napitupulu, Gutarto, Suyanto., 1989, Laporan Penyelidikan Geologi Lingkungan Perkotaan daerah Kotamadya Ambon, Propinsi Maluku, Departemen

Pertambangan dan Energi, Ditjen Geologi dan Sumber Daya Mineral, Direktorat GTL Bandung. Desaunettes.J.R., 1972, Catalouge of Landsform For Indonesia(Itern Paper),Soil Research Institute Ministry of Argiculture For Research And Development. Dwiyanto,B., Soeprapto dan Hanafi,1988. Laporan Penyelidikan Geologi dan Geofisika Kelautan di Perairan Teluk Ambon, Maluku, Pusat Pengembangan Geologi Kelautan, Bandung.

Golightly,J. P., 1979, Nickeliferous Laterites : A General Description, International Laterite Symposium, New Orleans, Lousiana. D. J. I. Evans et al editors. Pp 323. Haldeman,E. G., Buchan,R., Blowes, J.H., Chandles,T., 1979, Geology of Lateritic Nickel Deposits, Dominican Republic, International Laterite Symposium, New Orleans, Lousiana. D.J.I. Evans et al editors. Pp 57-84. Hamilton, W., 1979, Tectonics of the Indonesian region. United States Geological Survey Profesional Paper 1078, U.S. Geological Survey, Reston, Va. Katili,J.A., 1973, Geotectonic of Indonesia, A Modern View, Direktorat Pertambangan Umum Republik Indonesia, Jakarta. Maury, R.C., 1984, Les Consequences Volcaniques de la Subduction Bull, Soc Geol. France, t. XXVI, n3 : 489-500. Nilandaroe., Mogg., Barraclough., 2001, Characteristic of the fractured carbonate reservoir of the Oseil Field, Seram Island, Indonesia. Proc. 28th Ann. Conv. Idon. Petrol. Assoc., P. 439-456. Peccerillo,A., Taylor,S.R., 1976, Geochemistry of Eocene Calc Alkali Volcanic Rocks From Kastamanu Area Northen Turkey, Centrib Mineral Petrol. Rumpuin, 2007, Laterisasi Nikel di Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku., Thesis S-2 Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Scheiferdecker,A.A.G (Ed.), 1959, Geological Nomenclature. Royal Geol. And Minings Soc of the Netherlands, J. Noorduijn en Zoon N.V., Gorinchem,523h. Smith,R.E., Anand,R.R., Churcward,H.M., Robertson, I.D.M., Grunsky,E.C., Gray,D.J., Wildan,J.E. & Pedrix,J.L. 1992. Laterite geochemistry for detecting concealed mineral deposits, Yilgran Craton, Western Australia Final Report. CSIRO Division of Exploration Geoscience, Restricted Report 236R (Reissued as Open File Report 50, CRC LEMME, Perth, 1998).

Suparka, Jan Sopaheluwakan, S. Siregar., 1984, Geologi Tinjau Daerah Lei Timor, Ambon, Lembaga Geologi dan Pertambangan Nasional, LIPI. Tjokrosapoetro,S., E. Rusmana, Suharsono., 1989, Laporan Geologi Lembar Ambon, Maluku, skala 1:250000, Proyek Pemetaan Geologi dan Interpretasi Foto Udara Bidang Pemetaan Geologi, Puslitbang Geologi. Totok,D., Friedrich,G., 1988. Chormit Potential of the Nickel Laterite Deposits of Gebe, Mollucas (Indonesia). Erzmetali 41 (1988) Nr. 11, pp 564-569. Van Bemmelen, R.W, 1949, The Geology of Indonesia, vol IA, The Haque Martinus Nijhoff. Williams, H., Turner, F.J., Gilbert C. M., 1954, Petrography An In Introduction to the Study of Rocks in the Thin Section, University of California, Berkeley, W.H. Freeman and co, San Fransisco.

LAMPIRAN

Nama/NIM Sayatan no. Perbesaran

: Yolanda Titawael / 111 070 051 :7 : 30 x

Paralel Nikol

Cross Nikol

Keterangan : 1. 4C 2. 6E 3. 5F 4. 1D : Ka Feldspar : Kuarsa : Biotit : Plagioklas

DISKRIPSI PETROGRAFI : Sayatan tipis batuan metamorf ; wana coklat ; struktur : nonfoliasi ; tekstur : - ; disusun oeh : Ka feldspar, kuarsa, biotit, dan plagioklas. Pemerian Komposisi : 1. Ka feldspar (65%): Berwarna coklat, bentuk butiran subhedral, hadir merata dalam sayatan. 2. Kuarsa (20%) : Bewarna coklat, bentuk butiran anhedral, hadir merata dalam sayatan. 4. Biotit (10%) : Bewarna coklat, bentuk butiran anhedral, hadir merata

dalam sayatan 6. Plagioklas (5%) : Bewarna coklat, bentuk butiran anhedral, hadir merata dalam sayatan. NAMA BATUAN : Metagranit

Nama/NIM Sayatan no. Perbesaran

: Yolanda Titawael / 111 070 051 :8 : 30 x

Paralel Nikol Keterangan : 1. 1A 2. 4B 3. 3F 4. 7E 5. 1F 6. 1D : Mud : Kuarsa : Opak : Ka Feldspar : Hornblende : Piroksen

Cross Nikol

DISKRIPSI PETROGRAFI : Sayatan batuan sedimen klastik ; wana coklat; bertekstur klastik; butiran didukung oleh mudsupported, ukuran butir 0,01 0,2 mm, bentuk butiran subrounded rounded, terpilah baik, kemas tertutup, disusun oleh : Mud, kuarsa, opak, K-Feldspar, Hornblende, Piroksen. Pemerian Komposisi : 1. Mud (45%) : Berwarna coklat, hadir menyebar dalam sayatan sebagai matriks. 2. Kuarsa (35%) : Berwarna putih bening, ukuran butir 0,05 0,06 mm, bentuk butiran subrounded rounded, hadir merata dalam sayatan

sebagai semen dan fragmen. 3. Opak (10%) : Berwarna hitam, hadir merata. : Berwarna putih gelap, ukuran butir 0,01 0,02 mm, bentuk butiran subangular subrounded, hadir merata dalam sayatan sebagai matriks. 5. Hornblende (5%) : Berwarna coklat, ukuran butir 0,01 0,02 mm, bentuk butiran matriks. 6. Piroksen (3%) : Berwarna coklat, ukuran butir 0,01mm, bentuk butiran subrounded, hadir menyebar dalam sayatan sebagai matriks. subrounded, hadir merata dalam sayatan sebagai

4. K.Feldspar (5%)

NAMA BATUAN

: Lithic Wacke (Menurut Klasifikasi Gilbert, 1954)

Nama/NIM Sayatan no. Perbesaran

: Yolanda Titawael / 111 070 051 :4 : 30x

Paralel Nikol Keterangan : 1. 8B 2. 5B 3. 2B 4. 8C 5. 6E 6. 3E : Clay : Piroksen : Kuarsa : Kalsit : Opal : Fosil

Cross Nikol

DISKRIPSI PETROGRAFI : Sayatan batuan sedimen klastik ; wana coklat; bertekstur klastik; butiran didukung oleh mud supported, ukuran butir 0,01 0,2 mm, bentuk butiran subrounded rounded, terpilah baik, kemas tertutup, disusun oleh : Clay, piroksen, kuarsa, fosil, opak, kalsit. Pemerian Komposisi : 1. Clay (60%) : Berwarna coklat, hadir menyebar dalam sayatan sebagai matriks. 2. Piroksen (35%) : Berwarna coklat, ukuran butir 0,02 0,06 mm, bentuk butiran subangular subrounded, hadir merata dalam sayatan sebagai semen dan fragmen. 3. Kuarsa (10%) : Berwarna putih bening, ukuran butir 0,03 0,04 mm, bentuk butiran matriks. 4. Kalsit (10%) : Berwarna coklat, ukuran butir 0,01 0,02 mm, bentuk butiran surounded rounded, hadir merata dalam sayatan sebagai semen. 5. Opak (6%) 6. Fosil (3%) : Berwarna hitam, hadir merata. : Berwarna coklat, ukuran butir 0,02-0,03 mm, bentuk butiran subrounded, hadir setempat dalam sayatan. NAMA BATUAN : Sandy Claystone (Menurut Klasifikasi Gilbert, 1975) subrounded, hadir merata dalam sayatan sebagai

Nama/NIM Sayatan no. Perbesaran

: Yolanda Titawael / 111 070 051 : 10 : 30 x

Paralel Nikol

Cross Nikol

DISKRIPSI PETROGRAFI : Sayatan tipis batuan metamorf ; wana coklat ; struktur : nonfoliasi ; tekstur : - ; disusun oeh : Kalsit. Pemerian Komposisi : 1. Kalsit (100%): Berwarna coklat, bentuk butiran subrounded-rounded, hadir merata dalam sayatan.

NAMA BATUAN

: Marmer

Nama/NIM Sayatan no. Perbesaran

: Yolanda Titawael / 111 070 051 :5 : 30 x

Paralel Nikol

Cross Nikol

Keterangan : 1. 4F 2. 7E 3. 3D 4. 8D : Gelas : Plagioklas : Kuarsa : Biotit

DISKRIPSI PETROGRAFI : Sayatan tipis batuan piroklastik ; wana coklat ; struktur : klastiki ; ukuran butir : 0,20,4mm ; bentuk butir : Subrounded-rounded; disusun oleh gelas, plagioklas, kuarsa, dan biotit.

Pemerian Komposisi : 1.Gelas (55%) : Berwarna coklat, bentuk butiran subrounded, hadir merata

dalam sayatan hadir sebagai gelas. 2. Plagioklas (20%) : Berwarna coklat, bentuk butiran subrounded, hadir merata dalam sayatan hadir sebagai kristal. 3. Kuarsa (20%) : Berwarna coklat, bentuk butiran subrounded, hadir merata

dalam sayatan hadir sebagai kristal. 4. Biotit (5%) : Berwarna coklat, bentuk butiran subrounded, hadir merata

dalam sayatan hadir sebagai lithik.

NAMA BATUAN

: Vitric tuff (Menurut Klasifikasi William,1954)

Nomor sayatan Perbesaran Lokasi

: 12 : 30 x : Hukurila

Nikol Silang

Nikol Paralel

Keterangan : 5. 4D 6. 6A : Serpentin : Kromit

PEMERIAN PETROGRAFIS : Sayatan batuan serpentin, batuan hasil ubahan dari batuan ultra basa Peridotite, warna abu-abu kekuningan-kehijauan, komposisi mineral didominasi oleh serpentin hasil ubahan dari mineral Olivin dan piroksen, menampakkan mash texture (struktur jaring), dengan ukuran mineral 0,1-0,5mm, bentuk subhedral-anhedral. KOMPOSISI MINERAL Serpentine (99%), tidak berwarna-hijau pucat, relief rendah, n>nKb, bias rangkap lemah, hadir sebagain mineral ubahan dari mineral olivine dan piroksen Kromit (1%), hitam-coklat, submetalik, relief tinggi, berukuran 0,1 1,2mm

Penamaan Petrografis: Serpentinit

No Sayatan Perbesaran Lokasi

:1 : 40 x : Hukurila

Nikol Silang

Nikol Paralel

Keterangan : 1. 2E 2. 10F : Serpentin : Kromit

PEMERIAN PETROGRAFIS : Sayatan batuan serpentin, batuan hasil ubahan dari batuan ultra basa Peridotite, warna abu-abu kekuningan-kehijauan, komposisi mineral didominasi oleh serpentin hasil ubahan dari mineral Olivin dan piroksen, menampakkan mash texture (struktur jaring), dengan ukuran mineral 0,1-0,5mm, bentuk subhedral-anhedral. KOMPOSISI MINERAL Serpentine (90%), tidak berwarna-hijau pucat, relief rendah, n>nKb, bias rangkap

lemah, hadir sebagai mineral ubahan dari mineral olivin dan piroksen Kromit (10%), hitam-coklat, submetalik, relief tinggi, berukuran 0,1 1,2mm. Penamaan Petrografis: Serpentinit

Tabel 1: Data struktur kekar

Daerah W.Hosu N245E/65 N264E/64 N253E/63 N267E/62 N255E/60 N250E/62 N248E/66 N257E/65 N259E/67 N249E/61 N145E/45 N136E/65 N160E/45 N144E/54

Daerah S. Hukurila N245E/43 N235E/56 N240E/65 N237E/52 N233E/54 N247E/60 N250E/49 N246E/55 N249E/62 N252E/54 N147E/49 N143E/52 N150E/51 N142E/54

Daerah Rutong N220E/41 N211E/39 N223E/33 N216E/38 N220E/39 N219E/35 N218E/38 N215E/35 N221E/42 N213E/40 N158E/52 N171E/45 N151E/50 N146E/49

Tabel 2: Data struktur breksiasi daerah W.Hosu

Shear N250E/60 N269E/67 N259E/67 N263E/58 N270E/60 N268E/57 N269E/66 N257E/65 N259E/67

Gash N144E/65 N149E/63 N155E/75 N140E/62 N154E/73 N145E/64 N150E/69 N153E/71 N147E/65

Analisa arah umum kekar daerah Rutong.

Analisa arah umum kekar daerah W.Hosu.

Analisa arah umum kekar daerah Hukurila.

Analisa sesar daerah W.Huso.

You might also like