You are on page 1of 24

SYIRKAH DAN MUDHARABAH

MAKALAH Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mengikuti Ujian Akhir Semester Pendidikan Agama Islam VII A

Disusun Oleh: ATIYAH BULAN KURNIA FITRI LUKMAN HAKIM Dosen Pembimbing Drs. ZULKIFLI, M.Pd

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH TANGERANG (UMT)

KOTA TANGERANG 1432 H./ 2011 M.


KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil`alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat taufik dan Inayah-Nya kepada kita, khususnya bagi penulis. Sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Makalah ini diperuntukkan bagi Mahasiswa Fakultas Pendidikan Agama Islam. Diantara tujuan penulisan makalah ini adalah untuk tugas Fiqih. Kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penulisan makalah ini, penulis ucapkan terima kasih. Akhirnya penulis menyadari bahwa makalah ini bukanlah merupakan hasil akhir dan terbaik serta proses dari sebuah penulisan. Tetapi merupakan langkah awal yang masih banyak memerlukan perbaikan dan pasti banyak terdapat kesalahan akan tetapi penulis ingin berusaha untuk menyuguhkan segala sesuatunya dengan semaksimal mungkin. Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi peningkatan dan perbaikan penulisan karena penulis menyadari bahwa penulisan masih banyak kekurangan serta kesalahan-kesalahan. Dan pada akhirnya semoga makalah ini dapat bermanfaat dan dapat memberikan kaca perbandingan ataupun informasi yang mana diperlukan bagi semua pihak yang berkepentingan.

Tangerang, 8 November 2011 M 10 Dzulhijjah 1432 H Penulis

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Allah menciptakan manusia makhluk yang berinteraksi sosial dan saling membutuhkan satu sama lainnya. Ada yang memiliki kelebihan harta namun tidak memiliki waktu dan keahlian dalam mengelola dan mengembangkannya, di sisi lain ada yang memiliki skill kemampuan namun tidak memiliki modal. Dengan berkumpulnya dua jenis orang ini diharapkan dapat saling melengkapi dan mempermudah pengembangan harta dan kemampuan tersebut. Untuk itulah Islam memperbolehkan syarikat dalam usaha diantaranya Syirkah dan Mudharabah. Dengan hal ini sesungguhnya adalah kerja sama, gotong-royong dan demokrasi ekonomi menuju kesejahteraan umum. Kerja sama dan gotong-royong ini sekurangkurangnya dilihat dari dua segi. Dalam syirkah misalnya, modal awal dikumpulkan dari semua anggota-anggotanya. Mengenai keanggotaan dalam koperasi berlaku asas satu anggota, satu suara. Karena itu besarnya modal yang dimiliki anggota, tidak menyebabkan anggota itu lebih tinggi kedudukannya dari anggota yang lebih kecil modalnya.

B. Rumusan Masalah Adapun perumuskan masalah dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaiman pengertian syirkah? 2. Ada berapa macam bentuk syirkah?
3. Apa rukun dan syarat Syirkah?

4. Apa yang di maksud Al Mudharabah?

BAB II SYIRKAH

A. Pengertian Syirkah

Menurut arti asli bahasa Arab (makna etimologis), syirkah berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sedemikian rupa sehingga tidak dapat lagi dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya. Adapun menurut makna syariat, syirkah adalah suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan. Syirkah atau perseroan dalam bahasa Indonesia memiliki makna penggabungan dua atau lebih yang tidak bisa lagi dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya. Dalam istilah syariah, syirkah adalah transaksi antara dua orang atau lebih, dimana mereka saling bersepakat untuk melakukan kerja yang bersifat finansial dan mendatang keuntungan (profit). Syirkah menurut bahasa berarti percampuran. Sedangkan menurut istilah syirkah berarti kerja sama antara dua orang atau lebih dalam berusaha yang keuntungan dan kerugiannya ditanggung bersama. Allah berfirman:

Mereka bersekutu dalam sepertiga (QS. An-Nisa:12)

Dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini (QS. Shad: 24).

B. Macam-Macam Syirkah

Menurut ulama Hanabilah, yang sah hanya empat macam, yaitu: syirkah inn, abdan, mudhrabah, dan wujh. Menurut ulama Malikiyah, yang sah hanya tiga macam, yaitu: syirkah inn, abdan, dan mudhrabah. Menurut ulama Syafiiyah, Zahiriyah, dan Imamiyah, yang sah hanya syirkah inn dan mudhrabah.

1. Syirkah Inn Syirkah inn adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing memberi konstribusi kerja (amal) dan modal (ml). Syirkah ini hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah dan Ijma Sahabat. Contoh syirkah inn: Fandi dan Rip berprofesi sebagai Akuntan Publik. Fandi dan Rip sepakat membuka praktek pelayanan jasa Akuntan Publik. Masing-masing memberikan konstribusi modal sebesar Rp 350.000,00 dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut. Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqd); sedangkan barang (urdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya (qmah al-urdh) pada saat akad. Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syark) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masingmasing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%. Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jmi, bahwa Ali bin Abi Thalib ra. pernah berkata, Kerugian didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah).

2.

Syirkah Abdan Syirkah abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan konstribusi kerja (amal), tanpa konstribusi modal (ml). Konstribusi

kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti pekerjaan arsitek atau penulis) ataupun kerja fisik (seperti pekerjaan tukang kayu, tukang batu, sopir, pemburu, nelayan, dan sebagainya). Syirkah ini disebut juga syirkah amal. Contohnya: A dan B keduanya adalah nelayan, bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan. Mereka sepakat pula, jika memperoleh ikan dan dijual, hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%. Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah abdan terdiri dari beberapa tukang kayu dan tukang batu. Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan halal. Tidak boleh berupa pekerjaan haram, misalnya, beberapa pemburu sepakat berburu babi hutan. Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan; nisbahnya boleh sama dan boleh juga tidak sama di antara mitra-mitra usaha (syark). Syirkah abdan hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah (An-Nabhani, 1990: 151). Ibnu Masud ra. pernah berkata, Aku pernah berserikat dengan Ammar bin Yasir dan Saad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada Perang Badar. Saad membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun. [HR. Abu Dawud dan alAtsram]. Hal itu diketahui Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam dan beliau membenarkannya dengan taqrr beliau.

3.

Syirkah Wujh Syirkah wujh disebut juga syirkah ala adz-dzimam (Al-Khayyath, AsySyarkt f asy-Syarah al-Islmiyyah, 2/49). Disebut syirkah wujh karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujh) seseorang di tengah masyarakat.

Syirkah wujh adalah syirkah antara dua pihak (misal A dan B) yang sama-sama memberikan konstribusi kerja (amal), dengan pihak ketiga (misalnya C) yang memberikan konstribusi modal (ml). Dalam hal ini, pihak A dan B adalah tokoh masyarakat. Syirkah semacam ini hakikatnya termasuk dalam syirkah mudhrabah sehingga berlaku ketentuan-ketentuan syirkah mudhrabah padanya (An-Nabhani, 1990: 154). Bentuk kedua syirkah wujh adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang ber-syirkah dalam barang yang mereka beli secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, tanpa konstribusi modal dari masing-masing pihak (AnNabhani, 1990: 154). Misal: A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B ber-syirkah wujh, dengan cara membeli barang dari seorang pedagang (misalnya C) secara kredit. A dan B bersepakat, masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang). Dalam syirkah wujh kedua ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan kesepakatan. Syirkah wujh kedua ini hakikatnya termasuk dalam syirkah abdan. Hukum kedua bentuk syirkah di atas adalah boleh, karena bentuk pertama sebenarnya termasuk syirkah mudhrabah, sedangkan bentuk kedua termasuk syirkah abdan. Syirkah mudhrabah dan syirkah abdan sendiri telah jelas kebolehannya dalam syariat Islam (An-Nabhani, 1990: 154). Namun demikian, An-Nabhani mengingatkan bahwa ketokohan (wujh) yang dimaksud dalam syirkah wujh adalah kepercayaan finansial (tsiqah mliyah), bukan

semata-semata ketokohan di masyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkah yang dilakukan seorang tokoh (katakanlah seorang menteri atau pedagang besar), yang dikenal tidak jujur, atau suka menyalahi janji dalam urusan keuangan. Sebaliknya, sah syirkah wujh yang dilakukan oleh seorang biasa-biasa saja, tetapi oleh para pedagang dia dianggap memiliki kepercayaan finansial (tsiqah mliyah) yang tinggi, misalnya dikenal jujur dan tepat janji dalam urusan keuangan.

4.

Syirkah Mufwadhah Syirkah mufwadhah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah di atas (syirkah inn, abdan, mudhrabah, dan wujh) (An-Nabhani, 1990: 156; Al-Khayyath, 1982: 25). Syirkah mufwadhah dalam pengertian ini, menurut An-Nabhani adalah boleh. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah ketika berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis syirkah lainnya. (An-Nabhani, 1990: 156). Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkah-nya; yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika berupa syirkah inn), atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah mudhrabah), atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang dimiliki (jika berupa syirkah wujh). Contoh: A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B dan C, dua insinyur teknik sipil, yang sebelumnya sepakat, bahwa masing-masing berkonstribusi kerja. Kemudian B dan C juga sepakat untuk berkonstribusi modal, untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada B dan C. Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah abdan, yaitu ketika B dan C sepakat masing-masing ber-syirkah dengan memberikan konstribusi kerja saja. Lalu,

ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka bertiga terwujud syirkah mudhrabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing memberikan konstribusi modal, di samping konstribusi kerja, berarti terwujud syirkah inn di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujh antara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah mufwadhah.

C. Rukun Dan Syarat Syirkah

1) Rukun syirkah Rukun Syirkah yang pokok ada 3 (tiga) yaitu :


a. Akad (ijab-kabul), disebut juga shighat;

b. Dua pihak yang berakad (qidni), syaratnya harus memiliki kecakapan (ahliyah).
c. Obyek akad (mahal), disebut juga maqd alayhi, yang mencakup pekerjaan (amal)

dan/atau modal (ml)

2) Syarat-syarat umum syirkah


a. Jenis usaha fisik yang dilakukan dalam syirkah ini harus dapat diwakilkan kepada

orang lain. Hal ini penting karena dalam kenyataan, sering kali satu patner mewakili perusahaan untuk melakukan dealing dengan perusahaan lain. Jika syarat ini tidak ada dalam jenis usaha, maka akan sulit menjalankan perusahaan dengan gesit.

b. Keuntungan yang didapat nanti dari hasul usaha harus diketahui dengan jelas.

Masing-masing patner harus mengetahui saham keuntungannya seperti 10 % atau 20 % misalnya. c. Keuntungan harus disebar kepada semua patner. 3) Syarat-syarat khusus
a. Modal yang disetor harus berupa barang yang dihadirkan. Tidak diperbolehkan modal

masih berupah utang atau uang yang tidak dapat dihadirkan ketika akad atau beli. Tidak disyaratkan modal yang disetor oleh para patner itu dicampur satu sama lain. Karena syirkah ini dapat diwujudkan dengan akad dan bukan dengan modal. b. Modal harus berupa uang kontan. Tidak diperbolehkan modal dalam bentuk harta yang tidak bergerak atau barang. Karena barang-barang ini tidak dapat dijadikan ukuran sehingga akan menimbulkan persengketaan di kemudian hari karena keuntungan yang dihasilkannya juga menjadi tidak jelas proporsinya dengan modal yang disetor akibat sulitnya dinilai. Adapun menurut An-nabani, syarat sah akad ada 2 (dua) yaitu: (1) obyek akadnya berupa tasharruf, yaitu aktivitas pengelolaan harta dengan melakukan akadakad, misalnya akad jual-beli; (2) obyek akadnya dapat diwakilkan (wakalah), agar keuntungan syirkah menjadi hak bersama di antara para syark (mitra usaha).

BAB II MUDHARABAH
A. Pengertian Al Mudharabah

Syarikat Mudharabah memiliki dua istilah yaitu Al Mudharabah dan Al Qiradh sesuai dengan penggunaannya di kalangan kaum muslimin. Penduduk Irak menggunakan

istilah Al Mudharabah untuk mengungkapkan transaksi syarikat ini. Disebut sebagai mudharabah karena diambil dari kata dharb di muka bumi yang artinya melakukan perjalanan yang umumnya untuk berniaga dan berperang, Allah berfirman:

Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah, dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari alQuran. (Qs. Al Muzammil: 20)

Ada juga yang mengatakan diambil dari kata: dharb (mengambil) keuntungan dengan saham yang dimiliki. Dalam istilah bahasa Hijaaz disebut juga sebagai qiraadh, karena diambil dari kata muqaaradhah yang arinya penyamaan dan penyeimbangan. Seperti yang dikatakan Dua orang penyair melakukan muqaaradhah, Yakni saling membandingkan syair-syair mereka. Disini perbandingan antara usaha pengelola modal dan modal yang dimiliki pihak pemodal, sehingga keduanya seimbang. Ada juga yang menyatakan bahwa kata itu diambil dari qardh yakni memotong. Tikus itu melakukan qardh terhadap kain, yakni menggigitnya hingga putus. Dalam kasus ini, pemilik modal memotong sebagian hartanya untuk diserahkan kepada pengelola modal, dan dia juga akan memotong keuntungan usahanya. Sedangkan dalam istilah para ulama Syarikat Mudhaarabah memiliki pengertian: Pihak pemodal (Investor) menyerahkan sejumlah modal kepada pihak pengelola untuk diperdagangkan. Dan berhak mendapat bagian tertentu dari keuntungan. Dengan kata lain Al Mudharabah adalah akad (transaksi) antara dua pihak dimana salah satu pihak menyerahkan harta kepada yang lain agar diperdagangkan dengan pembagian keuntungan diantara keduanya sesuai dengan kesepakatan. Sehingga Al Mudharabah adalah bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak dimana pemilik modal (Shahib Al Mal/Investor) mempercayakan

sejumlah modal kepada pengelola (Mudharib) dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan. Bentuk ini menegaskan kerja sama dengan kontribusi 100% modal dari Shahib Al Mal dan keahlian dari Mudharib.

B. Hukum Al Mudharabah Dalam Islam Ibnu Hazm menyatakan: Semua bab dalam fiqih selalu memiliki dasar dalam Al Quran dan Sunnah yang kita ketahui -Alhamdulillah- kecuali Al Qiraadh (Al Mudharabah ). Kami tidak mendapati satu dasarpun untuknya dalam Al Quran dan Sunnah. Namun dasarnya adalah ijma yang benar. Yang dapat kami pastikan bahwa hal ini ada dizaman shallallahualaihi wa sallam, beliau ketahui dan setujui dan seandainya tidak demikian maka tidak boleh. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengomentari pernyataan Ibnu Hazm di atas dengan menyatakan: Ada kritikan atas pernyataan beliau ini: Bukan termasuk madzhab beliau membenarkan ijma tanpa diketahui sandarannya dari Al Quran dan Sunnah dan ia sendiri mengakui bahwa ia tidak mendapatkan dasar dalil Mudharabah dalam Al Quran dan Sunah. Beliau tidak memandang bahwa tidak adanya yang menyelisihi adalah ijma, padahal ia tidak memiliki disini kecuali ketidak tahuan adanya yang menyelisihinya. Beliau mengakui persetujuan Nabi shallallahualaihi wa sallam setelah mengetahui sistem muamalah ini. Taqrier (persetujuan) Nabi shallallahualaihi wa sallam termasuk satu jenis sunnah, sehingga (pengakuan beliau) tidak adanya dasar dari sunnah menentang pernyataan beliau tentang taqrir ini. Jual beli (perdagangan) dengan keridhaan kedua belah fihak yang ada dalam Al Quran meliputi juga Al Qiradh dan Mudharabah. Demikian juga Syaikh Al Albani mengkritik pernyataan Ibnu Hazm diatas dengan menyatakan: Ada beberapa bantahan (atas pernyataan beliau), yang terpenting bahwa asal

dalam Muamalah adalah boleh kecuali ada nas (yang melarang) beda dengan ibadah, pada asalnya dalam ibadah dilarang kecuali ada nas, sebagaimana dijelaskan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Al Qiradh dan Mudharabah jelas termasuk yang pertama. Juga ada nash dalam Al Quran yang membolehkan perdagangan dengan keridhoan dan ini jelas mencakup Al Qiraadh. Ini semua cukup sebagai dalil kebolehannya dan dikuatkan dengan ijma yang beliau akui sendiri. Dalam kesempatan lain Ibnu Taimiyah menyatakan: Sebagian orang menjelaskan beberapa permasalahan yang ada ijma padanya namun tidak memiliki dasar nas, seperti Al Mudharabah, hal itu tidak demikian. Mudharabah sudah masyhur dikalangan bangsa Arab di jahiliyah apalagi pada bangsa Quraisy, karena umumnya perniagaan jadi pekerjaan mereka. Pemilik harta menyerahkan hartanya kepada pengelola (umaal). Rasulullah SAW sendiri pernah berangkat membawa harta orang lain sebelum kenabian sebagaimana telah berangkat dalam perniagaan harta Khadijah. Juga kafilah dagang yang dipimpin Abu Sufyan kebanyakannya dengan sistem mudharabah dengan Abu Sufyan dan selainnya. Ketika datang Islam Rasulullah SAW menyetujuinya dan para sahabatpun berangkat dalam perniagaan harta orang lain secara Mudharabah dan beliau shallallahualaihi wa sallam tidak melarangnya. Sunnah disini adalah perkataan, pebuatan dan persetujuan beliau, ketiak beliau setujui maka mudharabah dibenarkan dengan sunnah. Kaum muslimin sudah terbiasa melakukan akad kerja sama semacam itu hingga zaman kiwari ini di berbagai masa dan tempat tanpa ada ulama yang menyalahkannya. Ini merupakan konsensus yang diyakini umat, karena cara ini sudah digunakan bangsa Quraisy secara turun temurun dari jaman jahiliyah hingga zaman Nabi SAW, kemudian beliau mengetahui, melakukan dan tidak mengingkarinya. Tentulah sangat bijak, bila pengembangan modal dan peningkatan nilainya merupakan salah satu tujuan yang disyariatkan. Sementara modal itu hanya bisa

dikembangkan dengan dikelola dan diperniagakan. Sementara tidak setiap orang yang mempunyai harta mampu berniaga, juga tidak setiap yang berkeahlian dagang mempunyai modal. Maka masing-masing kelebihan itu dibutuhkan oleh pihak lain. Oleh sebab itu Mudharabah ini disyariatkan oleh Allah demi kepentingan kedua belah pihak.

C. Hikmah Disyariatkannya Al Mudharabah Islam mensyariatkan akad kerja sama Mudharabah untuk memudahkan orang, karena sebagian mereka memiliki harta namun tidak mampu mengelolanya dan disana ada juga orang yang tidak memiliki harta namun memiliki kemampuan untuk mengelola dan mengembangkannya. Maka Syariat membolehkan kerja sama ini agar mereka bisa saling mengambil manfaat diantara mereka. Shohib Al Mal (investor) memanfaatkan keahlian Mudhorib (pengelola) dan Mudhorib (pengelola) memanfaatkan harta dan dengan demikian terwujudlah kerja sama harta dan amal. Allah Taala tidak mensyariatkan satu akad kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak kerusakan.
D. Jenis Al Mudharabah

Para ulama membagi Al Mudharabah menjadi dua jenis:


1. Al Mudharabah Al Muthlaqah (Mudharabah bebas)

Pengertiannya adalah sistem mudharabah dimana pemilik modal (investor/ Shohib Al Mal) menyerahkan modal kepada pengelola tanpa pembatasan jenis usaha, tempat dan waktu dan dengan siapa pengelola bertransaksi. Jenis ini memberikan kebebasan kepada Mudhorib (pengelola modal) melakukan apa saja yang dipandang dapat mewujudkan kemaslahatan.

2. Al Mudharabah Al Muqayyadah (Mudharabah terbatas)

Pengertiannya pemilik modal (investor) menyerahkan modal kepada pengelola dan menentukan jenis usaha atau tempat atau waktu atau orang yang akan bertransaksi dengan Mudharib. Jenis kedua ini diperselisihkan para ulama keabsahan syaratnya, namun yang rajih bahwa pembatasan tersebut berguna dan tidak sama sekali menyelisihi dalil syari, itu hanya sekedar ijtihad dan dilakukan dengan kesepakatan dan keridhoan kedua belah pihak sehingga wajib ditunaikan. Perbedaan antara keduanya terletak pada pembatasan penggunaan modal sesuai permintaan investor.

E. Rukun Al Mudharabah

Al Mudharabah seperti usaha pengelolaan usaha lainnya memiliki tiga rukun: o Adanya dua atau lebih pelaku yaitu investor (pemilik modal) dan pengelola (mudharib). o Objek transaksi kerja sama yaitu modal, usaha dan keuntungan. o Pelafalan perjanjian.

1. Rukun pertama: adanya dua atau lebih pelaku. Kedua pelaku kerja sama ini adalah pemilik modal dan pengelola modal. Disyaratkan pada rukun pertama ini keduanya memiliki kompetensi beraktifitas (Jaiz Al Tasharruf) dalam pengertian mereka berdua baligh, berakal, Rasyid dan tidak dilarang beraktivitas pada hartanya. Sebagian ulama mensyaratkan bahwa keduanya harus muslim atau pengelola harus muslim, sebab seorang muslim tidak ditakutkan melakukan perbuatan riba atau perkara haram. Namun sebagian lainnya tidak mensyaratkan hal tersebut, sehingga diperbolehkan bekerja sama dengan orang kafir yang dapat dipercaya dengan syarat harus terbukti adanya pemantauan terhadap aktivitas pengelolaan modal dari pihak muslim sehingga terlepas dari praktek riba dan haram.

2. Rukun kedua: objek Transaksi.

Objek transaksi dalam Mudharabah mencakup modal, jenis usaha dan keuntungan. a. Modal Dalam sistem Mudharabah ada empat syarat modal yang harus dipenuhi: Modal harus berupa alat tukar/ satuan mata uang (Al Naqd) dasarnya adalah ijma atau barang yang ditetapkan nilainya ketika akad menurut pendapat yang rojih. Modal yang diserahkan harus jelas diketahui. Modal yang diserahkan harus tertentu. Modal diserahkan kepada pihak pengelola modal dan pengelola menerimanya langsung dan dapat beraktivitas dengannya. Jadi dalam Mudharabah disyaratkan modal yang diserahkan harus diketahui dan penyerahan jumlah modal kepada Mudharib (pengelola modal) harus berupa alat tukar seperti emas, perak dan satuan mata uang secara umum. Tidak diperbolehkan berupa barang kecuali bila ditentukan nilai barang tersebut dengan nilai mata uang ketika akad transaksi, sehingga nilai barang tersebut yang menjadi modal Mudharabah. Contohnya seorang memiliki sebuah mobil toyota kijang lalu diserahkan kepada Mudharib (pengelola modal), maka ketika akad kerja sama tersebut disepakati wajib ditentukan harga mobil tersebut dengan mata uang, misalnya Rp 80 juta; maka modal Mudharabah tersebut adalah Rp 80 juta. Kejelasan jumlah modal ini menjadi syarat karena menentukan pembagian keuntungan. Apabila modal tersebut berupa barang dan tidak diketahui nilainya ketika akad, bisa jadi barang tersebut berubah harga dan nilainya seiring berjalannya waktu, sehingga memiliki konsekuensi ketidakjelasan dalam pembagian keuntungan.

b. Jenis Usaha

Jenis usaha di sini disyaratkan beberapa syarat: Jenis usaha tersebut di bidang perniagaan. Tidak menyusahkan pengelola modal dengan pembatasan yang menyulitkannya, seperti ditentukan jenis yang sukar sekali didapatkan, contohnya harus berdagang permata merah delima atau mutiara yang sangat jarang sekali adanya. Asal dari usaha dalam Mudharabah adalah di bidang perniagaan dan bidang yang terkait dengannya yang tidak dilarang syariat. Pengelola modal dilarang mengadakan transaksi perdagangan barang-barang haram seperti daging babi, minuman keras dan sebagainya.

c. Keuntungan Setiap usaha dilakukan untuk mendapatkan keuntungan, demikian juga Mudharabah. Namun dalam Mudharabah disyaratkan pada keuntungan tersebut empat syarat: Keuntungan khusus untuk kedua pihak yang bekerja sama yaitu pemilik modal (investor) dan pengelola modal. Seandainya disyaratkan sebagian keuntungan untuk pihak ketiga, misalnya dengan menyatakan: Mudharabah dengan pembagian 1/3 keuntungan untukmu, 1/3 untukku dan 1/3 lagi untuk istriku atau orang lain, maka tidak sah kecuali disyaratkan pihak ketiga ikut mengelola modal tersebut, sehingga menjadi qiraadh bersama dua orang.[29] Seandainya dikatakan: separuh keuntungan untukku dan separuhnya untukmu, namun separuh dari bagianku untuk istriku, maka ini sah karena ini akad janji hadiyah kepada istri. Pembagian keuntungan untuk berdua tidak boleh hanya untuk satu pihak saja. Seandainya dikatakan: Saya bekerja sama Mudharabah denganmu dengan keuntungan sepenuhnya untukmu maka ini dalam madzhab Syafii tidak sah. Keuntungan harus diketahui secara jelas. Dalam transaksi tersebut ditegaskan prosentase tertentu bagi pemilik modal (investor) dan pengelola. Sehingga

keuntungannya dibagi dengan persentase bersifat merata seperti setengah, sepertiga atau seperempat. Apa bila ditentuan nilainya, contohnya dikatakan kita bekerja sama Mudharabah dengan pembagian keuntungan untukmu satu juta dan sisanya untukku maka akadnya tidak sah. Demikian juga bila tidak jelas persentase-nya seperti sebagian untukmu dan sebagian lainnya untukku. Dalam pembagian keuntungan perlu sekali melihat hal-hal berikut: Keuntungan berdasarkan kesepakatan dua belah pihak, namun kerugian hanya ditanggung pemilik modal. Ibnu Qudamah dalam Syarhul Kabir menyatakan: Keuntungan sesuai dengan kesepakatan berdua. Lalu dijelaskan dengan pernyataan: Maksudnya dalam seluruh jenis syarikat dan hal itu tidak ada perselisihannya dalam Al Mudharabah murni. Ibnul Mundzir menyatakan: Para ulama bersepakat bahwa pengelola berhak memberikan syarat atas pemilik modal 1/3 keuntungan atau atau sesuai kesepakatan berdua setelah hal itu diketahui dengan jelas dalam bentuk persentase. Pengelola modal hendaknya menentukan bagiannya dari keuntungan. Apabila keduanya tidak menentukan hal tersebut maka pengelola mendapatkan gaji yang umum dan seluruh keuntungan milik pemilik modal (investor). Ibnu Qudamah menyatakan: Diantara syarat sah Mudharabah adalah penentuan bagian (bagian) pengelola modal karena ia berhak mendapatkan keuntungan dengan syarat sehingga tidak ditetapkan kecuali dengannya. Seandainya dikatakan: Ambil harta ini secara mudharabah dan tidak disebutkan (ketika akad) bagian pengelola sedikitpun dari keuntungan, maka keuntungan seluruhnya untuk pemilik modal dan kerugian ditanggung pemilik modal sedangkan pengelola modal mendapat gaji umumnya. Inilah pendapat Al Tsauri, Al Syafii, Ishaaq, Abu Tsaur dan Ashhab Al Rai (Hanafiyah).

F. Syarat Dalam Mudharabah Pengertian syarat dalam Al Mudharabah adalah syarat-syarat yang ditetapkan salah satu pihak yang mengadakan kerjasama berkaitan dengan Mudharabah. Syarat dalam Al Mudharabah ini ada dua: 1. Syarat yang shahih (dibenarkan) Yaitu syarat yang tidak menyelisihi tuntutan akad dan tidak pula maksudnya serta memiliki maslahat untuk akad tersebut. Contohnya Pemilik modal mensyaratkan kepada pengelola tidak membawa pergi harta tersebut keluar negeri atau membawanya keluar negeri atau melakukan perniagaannya khusus dinegeri tertentu atau jenis tertentu yang gampang didapatkan. Maka syarat-syarat ini dibenarkan menurut kesepakatan para ulama dan wajib dipenuhi, karena ada kemaslahatannya dan tidak menyelisihi tuntutan dan maksud akad perjanjian mudharabah.

2. Syarat yang fasad (tidak benar) Syarat yang meniadakan tuntutan konsekuensi akad, seperti mensyaratkan tidak membeli sesuatu atau tidak menjual sesuatu atau tidak menjual kecuali dengan harga modal atau dibawah modalnya. Syarat ini disepakati ketidak benarannya, karena menyelisihi tuntutan dan maksud akad kerja sama yaitu mencari keuntungan. Syarat yang bukan dari kemaslahatan dan tuntutan akah, seperti mensyaratkan kepada pengelola untuk memberikan Mudharabah kepadanya dari harta yang lainnya. Syarat yang berakibat tidak jelasnya keuntungan seperti mensyaratkan kepada pengelola bagian keuntungan yang tidak jelas atau mensyaratkan keuntungan satu dari dua usaha yang dikelola, keuntungan usaha ini untuk pemilik modal dan yang satunya untuk pengelola atau menentukan nilai satuan uang tertentu sebagai keuntungan. Syarat

ini disepakati kerusakannya karena mengakibatkan keuntungan yang tidak jelas dari salah satu pihak atau malah tidak dapat keuntungan sama sekali. Sehingga akadnya batal.

3. Berakhirnya Usaha Mudharabah Mudharabah termasuk akad kerjasama yang diperbolehkan. Usaha ini berakhir dengan pembatalan dari salah satu pihak. Karena tidak ada syarat keberlangsungan terus menerus dalam transaksi usaha semacam ini. Masing-masing pihak bisa membatalkan transaksi kapan saja dia menghendaki. Transaksi Mudharabah ini juga bisa berakhir dengan meninggalnya salah satu pihak transaktor, atau karena ia gila atau idiot. Imam Ibnu Qudamah (wafat tahun 620 H) menyatakan: Al Mudharabah termasuk jenis akad yang diperbolehkan. Ia berakhir dengan pembatalan salah seorang dari kedua belah pihak -siapa saja-, dengan kematian, gila atau dibatasi karena idiot; hal itu karena ia beraktivitas pada harta orang lain dengan sezinnya, maka ia seperti wakiel dan tidak ada bedanya antara sebelum beraktivitas dan sesudahnya. Sedangkan Imam Al Nawawi menyatakan: Penghentian qiraadh boleh, karena ia diawalnya adalah perwakilan dan setelah itu menjadi syarikat. Apabila terdapat keuntungan maka setiap dari kedua belah pihak boleh memberhentikannya kapan suka dan tidak butuh kehadiran dan keridoan mitranya. Apabila meninggal atau gila atau hilang akal maka berakhir usaha terbut. Apabila telah dihentikan dan harta (modal) utuh, namun tidak memiliki keuntungan maka harta tersebut diambil pemilik modal. Apabila terdapat keuntungan maka keduanya membagi keuntungan tersebut sesuai dengan kesepakatan. Apabila berhenti dan harta berbentuk barang, lalu keduanya sepakat menjualnya atau membaginya maka diperbolehkan, karena hak milik kedua belah pihak. Apabila pengelola minta menjualnya sedang pemilik modal menolak dan tampak dalam usaha tersebut ada keuntungan, maka penilik modal dipaksa menjualnya; karena

hak pengelola ada pada keuntungan dan tidak tampak decuali dengan dijual. Namun bila tidak tampak keuntungannya maka pemilik modal tidak dipaksa.

BAB III SIMPULAN Menurut arti asli bahasa Arab (makna etimologis), syirkah berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sedemikian rupa sehingga tidak dapat lagi dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya. Syirkah menurut bahasa berarti percampuran. Sedangkan menurut istilah syirkah berarti kerja sama antara dua orang atau lebih dalam berusaha yang keuntungan dan kerugiannya ditanggung bersama. Menurut An-Nabhani, berdasarkan kajian beliau terhadap berbagai hukum syirkah dan dalil-dalilnya, terdapat lima macam syirkah dalam Ekonomi Islam, yaitu: 1. syirkah inn 2. syirkah abdan 3. syirkah wujh 4. syirkah mufwadhah

Syirkah inn adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing memberi konstribusi kerja (amal) dan modal (ml). Syirkah ini hukumnya boleh berdasarkan dalil asSunnah dan Ijma Sahabat. Syirkah abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan konstribusi kerja (amal), tanpa konstribusi modal (ml). Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti pekerjaan arsitek atau penulis) ataupun kerja fisik (seperti pekerjaan tukang kayu, tukang batu, sopir, pemburu, nelayan, dan sebagainya). Syirkah ini disebut juga syirkah amal. Syirkah wujh disebut juga syirkah ala adz-dzimam (Al-Khayyath, Asy-Syarkt f asy-Syarah al-Islmiyyah, 2/49). Disebut syirkah wujh karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujh adalah syirkah antara dua pihak. Syirkah mufwadhah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah di atas (syirkah inn, abdan, mudhrabah, dan wujh. Rukun Syirkah yang pokok ada 3 (tiga) yaitu : 1. Akad (ijab-kabul), disebut juga shighat; 2. Dua pihak yang berakad (qidni), syaratnya harus memiliki kecakapan (ahliyah). 3. Obyek akad (mahal), disebut juga maqd alayhi, yang mencakup pekerjaan (amal) dan/atau modal (ml)

Pengertian Al Mudharabah Syarikat Mudhaarabah memiliki dua istilah yaitu Al Mudharabah dan Al Qiradh sesuai dengan penggunaannya di kalangan kaum muslimin. Penduduk Irak menggunakan istilah Al Mudharabah untuk mengungkapkan transaksi syarikat ini. Disebut sebagai mudharabah karena

diambil dari kata dharb di muka bumi yang artinya melakukan perjalanan yang umumnya untuk berniaga dan berperang, Allah berfirman:

Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah, dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Quran. (Qs. Al Muzammil: 20)

Islam mensyariatkan akad kerja sama Mudharabah untuk memudahkan orang, karena sebagian mereka memiliki harta namun tidak mampu mengelolanya dan disana ada juga orang yang tidak memiliki harta namun memiliki kemampuan untuk mengelola dan

mengembangkannya. Maka Syariat membolehkan kerja sama ini agar mereka bisa saling mengambil manfaat diantara mereka. Shohib Al Mal (investor) memanfaatkan keahlian Mudhorib (pengelola) dan Mudhorib (pengelola) memanfaatkan harta dan dengan demikian terwujudlah kerja sama harta dan amal. Allah Taala tidak mensyariatkan satu akad kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak kerusakan.

Jenis Al Mudharabah Para ulama membagi Al Mudharabah menjadi dua jenis: Al Mudharabah Al Muthlaqah (Mudharabah bebas). Pengertiannya adalah sistem mudharabah dimana pemilik modal (investor/Shohib Al Mal) menyerahkan modal kepada pengelola tanpa pembatasan jenis usaha, tempat dan waktu dan dengan siapa pengelola bertransaksi Al Mudharabah Al Muqayyadah (Mudharabah terbatas).

Pengertiannya pemilik modal (investor) menyerahkan modal kepada pengelola dan menentukan jenis usaha atau tempat atau waktu atau orang yang akan bertransaksi dengan Mudharib.

Rukun Al Mudharabah Al Mudharabah seperti usaha pengelolaan usaha lainnya memiliki tiga rukun: 1. Adanya dua atau lebih pelaku yaitu investor (pemilik modal) dan pengelola (mudharib). 2. Objek transaksi kerja sama yaitu modal, usaha dan keuntungan. 3. Pelafalan perjanjian. Mudharabah termasuk akad kerjasama yang diperbolehkan. DAFTAR PUSTAKA

Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islm wa Adillatuhu, Al-Jaziri, 1996: 67; Al-Khayyath. Ibnu Qudamah, tahqiq Abdullah bin Abdulmuhsin Al Turki, 1412H Al Mughni, turki: Hajr Syeikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, 1405 H Irwa Al Gholil Fi Takhrij Ahaadits Manar Al Sabil, Baerut: Al maktab Islami Prof. DR Abdullah Al Mushlih , prof. DR. Shalah Al Showi, Maa La Yasau Al Taajir Jahlulu . Basyir, Abu Umar, Fiqh Ekonimi Keuangan Islam, Jakarta: Darul Haq Syafei, Rachmat, MA, 2001, Fiqih Mu`amalah, Bandung: Pustaka setia Diposkan oleh My Diary di 19:53

You might also like