You are on page 1of 10

PENELITIAN RADIKALISME RELEGIO POLITIK DI JAWA TENGAH Abu Hapsin dkk Balitbang Prov.

Jateng bekerjasama dengan IAIN Walisongo Jl.Imam Bonjol 190 Semarang RINGKASAN Pendahuluan Redikalisme dalam konteks Indonesia, khususnya Jawa Tengah adalah pandangan yang belum atau telah menjadi ideologi bagi orang atau sejumlah orang baik sebagai individu, kelompok atau organisasi yang mengarah kepada upaya-upaya terbentuknya Negara Islam dan dengan keinginan untuk menggunakan syariat Islam di dalam tatanan sosial dan negara. Upaya-upaya untuk mewujudkan keinginan itu dilakukan kedalam bentuk-bentuk damai atau kekerasan, dengan menggunakan berbagai saluran baik formal atau informal. Desakandesakan seperti itu dilakukan secara terencana dan berkesinambungan di berbagai daerah di Indonesia, khususnya di Jawa Tengah meskipun para pelakunya memehami bahwa Indonesia adalah Negara yang berlandaskan Pancasila dan Negara yang memiliki tingkat pluralitas yang tinggi baik dari segi suku, agama, ras, dan antar-golongan. Munculnya pandangan yang diikuti dengan gerakan untuk melakukan perubahan ideologi Negara yaitu Negara Pancasilais ke dalam negara yang Islamis dalam satu segi, dan realitas penduduk Indonesia yang pluralis dalam segi yang lain, seringkali menghadirkan kecemasan dan kekhawatiran munculnya konflik-konflik yang ekspretatif di berbagai daerah di Jawa Tengah. Atas dasar fenomena kemunculan pandangan-pandangan yang diikuti dengan gerakangerakan yang terencana yang menekankan arti pentingnya perubahan dasar-dasar Negara yang dan diberlakukan syariat Islam di Indonesia inilah yang menelatarbelakangi perlunya penelitian redikalisme religio-politik di Jawa Tengah dilakukan. Masalah yang menjadi focus kajian pada intinya ialah bagaimana cirri-ciri dari pandngan yang diikuti dengan gerakan-gerakan radikalisme itu, apa latarbelakangnya, di

mana lahan-lahan subur tumbuhnya radikalisme itu, serta bagaimana memperlakukan dan mengantisipasi kemunculan gerakan radikalisme dimaksud. Diharapkan dari hasil kajian ini diperoleh pemahaman yang memadahi dan selanjutnya berbagai pihak terutama pemerintah bisa melihat dan memperlakukan gerakan redikalisme tersebut secara tepat sehingga tidak merugikan semua pihak. Metodologi Penelitian redikalisme religio-politik di Jawa Tengah ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan atau metodologi kualitatif. Di dalam penelitian radikalisme religiopolitik dengan pendekatan kualitatif, landasan berfikir yang digunakan adalah bukan kepada gejala-gejala sosial-keagamaan sebagai bentuk-bentuk yang nampak di permukaan tetapi lebih pada makna-makna yang terdapat di balik tindakan-tindakan berpola. Oleh karena itu, untuk memahami makna dalam suatu gejala sosial-keagamaan, seorang peneliti harus bisa menempatkan dirinya dalam peranannya sebagai para pelaku yang ditelitinya untuk dapat mencapai tingkat pemahaman yang sempurna mengenai makna-makna yang terwujud dalam gejala-gejala sosial-keagamaan yang diamatinya (Suparlan, 1996). Cara mengambil posisi seperti ini, dekenal dengan perspektif emik. Kalau dalam perspektif etik, peneliti memposisikan diri sebagai orang luar, sedang dalam perspektif emik, peneliti menempatkan diri sebagai orang-dalam. Metodologi penelitian kualitatif yang digunakan di dalam penelitian ini ditekankan pada wawancara berpedoman disertai dengan metode pengamatan terhadap sejumlah kegiatan yang relevan dan yang terjadi saat peneliti berada di lapangan. Di luar itu juga dilakukan penyimakan atau pengkajian terhadap dokumen-dokumen yang dimiliki oleh ormas atau orsospol yang dipelajari. Kelompok sasaran atau kelompok kajian yang menjadi dan dijadikan sumber informasi, dalam penelitian Radikalisme Religio-Politik ini, terdiri dari dua kategori. Kategori pertama, adalah (pengurus dan warga) dari institusi keagamaan yang menunjukan kecenderungan pada semangat radikal atau fundamental, dan institusi polotik (partai politik) yang secara resmi berazaskan Islam, bukan pancasila. Kategori kedua adalah institusi keagamaan yang bercorak moderat dan adaptif terhadap kemjemukan ideologi, serta 2

institusipolitik yang dilahirkan oleh kelompok muslim tetapi berazaskan Pancasila serta bersifat terbuka. Penelitian ini dilakukan di tiga daerah, yang masing-masing daerah ini dilihat dari areal budayanya mewakili masyarakat Jawa Negarigung, masyarakat Jawa Mancanegarai, dan masyarakat Jawa Pesisiran. Hasil dan Pembahasan Dari hasil temuan lapangan menunjukkan bahwa latar belakang kemunculan gerakan radikalisme ini adalah karena teks suci keagamaan (Al Quran dan Hadist) bersifat terbuka, bisa ditafsirkan secara literal dan kontekstual, sehingga memunculkan berbagai kelompok keagamaan (moderat, radikal, fundamentalis, dsb) yang pada akhirnya melahirkan in group dan out group feeling dan evaluasi sepihak. Sering terjadi overlapping antara kepentingan agama dan kepentingan komunitas keagamaan. Kenyataan menunjukkan bahwa agama mampu membangkitkan emosi yang paling dalam sering dijadikan sebagai alat mobilisasi sosial. Kekerasan dengan kemasan agama menjadi sangat mungkin. Model-model perjuangan yang dipilih terkait dengan pencitraan keagamaan, dominasi budaya masyarakat, kekuatan dukungan sosial dan peran media. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Radikalisme religio politik mudah tumbuh dalam berbagai kondisi sebagai berikut. Pertama, kondisi dimana ruang-ruang untuk lahirnya sikap kritis dan peluang untuk mengkritisi keadaan baik untuk lingkup sosial maupun pemerintahan/Negara terbuka lebar. Kampus terutama kampus-kampus (dari pendidikan umum) merpakan lahan yang paling mudah timbulnya kelompok maupun gerakan redikalisme ini. Organisasi keagamaan lahir dikampus-kampus. Kedua, dalam situasi dimana kesenjangan sosial-politik dan ekonomi telah menggejala secara meluas, sebagai akibat dari pemerintahan yang korup dan tidak adil, sehingga menumbuhkan perasaan frustasi di antara kaum terpelajar dan aktivist keagamaan terhadap keadaan itu.

Dalam kondisi seperti ini, mereka akan dengan mudah terbawa kepada kebutuhan perubahan dan sekaligus karena berlaku dan diberlakukan syariat Islam. Ketiga, ketika tumbuh ketidak percayaan kepada tokoh-tokoh agama,ormas-ormas keagamaan, dan orsospol yang membawa-bawa nama agamatetapi didalam tindakannya dianggap telah menyimpang jauh dari spirit dan moralitas Islam. Akibatnya, memunculkan adanya pemikiran alternative yang bisa diusung oleh kelompok idialis. Berkumpulnya kaum idealist ini memungkinkan terakomodasinya pemikiran dan gerakan radikal dalam rangka mengembalikan spirit keagamaan yang baru. Munculnya ideology-ideologi dan gerakan-gerakan radikalisme hamper selalu ditandai oleh (a) suatu keadaan yang semakin jauh dari kondisi yang diidealkan menurut faham keagamaan; (b) tersumbatnya komunikasi antara kelompok-kelompok pemanggil keputusan (penguasa) dengan kelompok-kelompok kritis karena masing-masing di antara mereka sudah tertanam perasaan kecurigaan, kekhawatiran, dan ancaman; dan (c) melunturkan kewibawaan terutama tokoh-tokoh agama karena sikap dan tindakan yang lebih berpihak kepada penguasa, sehingga generasi muda mulai kehilangan kepercayaan dalam satu segi dan keinginan untuk mengekspresikan perasaan tidak puas secara kolektif sambil mengharapkan tumbuhnya semangat baru Islam. Untuk mengeleminasi tumbuh-berkembangnya aliran dan gerakan radikalisme religio politik, bisa ditempuh dengan cara-cara sebagai berikut. Pertama, perlunya ada kebijakankebijakan yang berpihak kepada kaum lemah, sekaligus perlakuan yang adil bagi setiap warga di muka hukum. Kedua, jika kelahiran radukalisme disebabkan antara lain oleh tersumbatnya komunikasi maka pemerintah harus mulai terbuka dan membuka diri untuk dapat terjadinya komunikasi guna mencegah persoalan kebangsaan secara partisipasif. Ketiga, para tokohtokoh agama harus mulai memberi contoh yang baik dan konsisten, sehingga mereka terutama kaum muda tumbuh kepercayaannya lagi untuk mengikuti jejaknya. Keempat, perlu penyadaran kepada mereka bahwa Indonesia adalah Negara yang pluralistic baik dari segi etnis maupun agama-agama yang dipeluk. Penyadaran itu penting untuk menyadarkan bahayanya dominasi mayoritas, tirani minoritas.

Saran rekomendasi 1. Rekomendasi umum a. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan yang menangani secara langsung Problematika politik keagamaan di masyarakat, hendaknya lebih responsive terhadap aspirasi yang berkembang yang muncul dan dimunculkan dalam masyarakat, serta tidak bersikap apiori terhadap kebijakan yang telah ditetapkan. Sebagai contoh adalah tuntutan sebagian masyarakat kepada pemerintah dan wakil rakyat untuk menutup tempat tempat hiburan, lokalisasi dan sejenisnya selama umat Islam menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Sebuah kebijakan dibuat untuk dapat dilaksanakan menurut situasi, kondisi dan tergantung kepada perubahan yang terjadi di masyarakat. b. Pemerintah hendaknya mengubah pola pendekatan dari yang bersifat repressif Pendekatan yang bersifat emotif dan humanistic. Pendekatan keamanan yang repressif akan menimbulkan sikap antipati masyarakat kepada pemerintah, dan pada gilirannya akan menghadirkan corak polaritatif. Berkesan pemerintah berhadapan face to face dengan kelompok-kelom[pok keagamaan yang dikategorikan radikal. Sebaliknya, pendekatan yang santun dan manusiawi sesuai dengan corak dan karakteristik masyarakat akan lebih mudah diterima. Satu hal yang tidak kalah pentingnya adalah melibatkan elemen masyarakat untuk ikut serta dalam memecahkan permasalahan mereka sendiri. c. Lebih selektif dalam memberikan informasi kepada masyarakat baik melalui Media cetak maupun elektronik. Karenanya terhadap penyiaran dan penerbitan dari media yang cenderung pornoaksi dan pornografi dalam setiap program, pemerintah hendaknya bersifat proaktif dalam menangani media tertentu yang bersifat provokatif dalam menyiarkan dan pempublikasian hasil liputan. Membiarkan mass media mengumbar bebas pornografi dan pornoaksi akan mudah ditanggapi sebagai melecehkan peranan Islam dan ormas-ormas serta tokoh-tokoh Islam. d. Mengingat posisi pemerintah sebagai pelayan masyarakat, maka hendaknya Paradigma untuk melayani perlu dikedepankan, sehingga landasan kooperatif dan akomodatif kepada masyarakat dalam menangani beberapa masalah yang 5

berkaitan langsung dengan kepentingan orang banyak sangat diperlukan. Hal ini dilakukan tidak hanya pada event-event tertentu seperti Pemilu, dimana kepentingan elit lebih dominant, akan tetapi sedapat mungkin pada setiap keputusan yang berkaitan langsung dengan kawula alit, melibatkan masyarakat menjadi suatu keniscayaan. e. Pemerintah hendaknya dapat bersikap adil dalam bertindak dan tidak diskriminatif terhadap kelompok aliran, suku ataupun agama tertentu dalam menyelesaikan beberapa persoalan yang terjadi di masyarakat sesuai dengan peraturan yang berlaku. Hal ini pada gilirannya menuntut adanya penegakan hukum yang lebih berfihak kepada rakyat ketimbang pejabat. 2. Rekomendasi khusus a. Pemerintah Pusat (1) (2) (3) Pemerintah hendaknya membuat kebijakan yang tidak bertabrakan dengan Sedapat mungkin mengurangi ijin-ijin berbagai tayangan dan amusement yang Menggiatkan kegiatan yang bisa mengarahkan kesadaran warga bangsa nilai-nilai ajaran Islam. bisa mengarah kepada dekadensi moral warga bangsa. terhadap kondisi plural masyarakat Indonesia, baik dari segi etnis maupun keagamaan sehingga terbentuk kehidupan masing-masing pemeluk agama secara harmonis dan toleran serta saling menghormati tanpa mengabaikan akidah (kepercayaan) keagamaannya. Hal ini bisa ditempuh dengan cara : a. Memberi peran kepada lembaga-lembaga keagamaan seperti MUI untuk lebih menggiatkan dialog keagamaan dalam konteks kehidupan masyarakat yang pluralistic. b. Mengarahkan kepada Departemen Pendidikan Nasional terutama dalam kaitannya dengan pelajaran keagamaan, agar menekankan pada pengajaran agama dalam konteks pluralitas. Dengan demikian, daerah-daerah subur pertumbuhan radikalisme yang selama ini terjadi di kampus-kampus umum bisa terkurangi. c. d. Memberlakukan hukum secara adil dan tegas tanpa pandang bulu. Menindak tegas pejabat yang korup. 6

b. Pemerintah Propinsi 1). Memberikan kebijakan yang sangat selektif dan bersyaratterhadap berbagai Massa maupun kelompok-kelompok keagamaan yang memiliki tendensi kepada konflik keagamaan maupun memiliki pemikiran atau cita-cita mendirikan Negara Islam. Kebijakan dalam arti model dari penanganan, yaitu tidak langsung represif tetapi dialogis. Model dialogis sebaiknya melibatkan banyak pihak, bukan hanya pemerintah dengan kelompok terkait; 2). kebijakan secara sangat selektif juga perlu dilakukan oleh pemerintah propinsi terhadap berbagai amusement yang mengarah kepada kemaksiatan. Hiburan-hiburan malam, lokalisasi pelacuran, perjudian, sampai pada kebijakan pengaturan minuman keras, betul-betul diperhatikan dampaknya secara sosial. Dengan kata lain, jangan sampai berbagai kebijakan hanya karena pertimbangan peradaban pemasukan yang pajak bercorak untuk pemerintah yang ataupun paradigma semua global sekuler menempatkan

amusement itu sebagai syarat eksistensi suatu kota. Terjebag kedalam paradigma yang keliru, akan melahirkan kebijakan dan implementasi yang keliru pula, dan hal itu akan menjadi bom waktu untuk lahirnya keresahan sosial yang masih bahkan sampai akan memunculkan kekerasan sosial karena rakyat frustasi kepada pemerintah. 3). Kebijakan-kebijakan yang berseberangan dengan nilai-nilai moral agama, Akan memudahkan muncul dan tersebarnya faham dan ideologi radikalisme yang anti terhadap pluralisme. c. Pemerintah Kabupaten/Kota 1). Membentuk forum lintas agama sehingga berbagai masalah yang terkait dengan masalah keagamaan yang terjadi di daerahnya masing-masing, bisa lebih dahulu dikaji oleh para tokoh agama yang berbeda-beda. Agar ada keseimbangan dalam berdialog dan pengkajiannya, perlu melibatkan lembaga keagamaan seperti MUI serta lembaga perguruan tinggi, termasuk perlu melibatkan akademikus/pakar yang selama ini diketahui memiliki konsern terhadap kerukunan keagamaan. 7

2).

Pemerintah daerah kabupaten atau kota, perlu secara rutin

mengadakan kunjungan atau pertemuan kepada tokoh-tokoh ormas keagamaan. Disamping dimaksudkan sebagai ajang silaturahmi juga perlu mendengarkan sekaligus memonitor perkembngan kehidupan keagamaan didaerahnya masingmasing. 3). Apabila ada issue atau fenomena munculnya gerakan yang mengaarah pada penyelesaian masalah sosial dengan kekerasan, pemerintah kebupaten atau kota, tidak perlu tergesa-gesa lalu menentukan kebijakan secara sepihak. Perlu diingat bahwa setiap gerakan seperti itu, mengfungsikan perguruan tinggi yang ada di daerahnya masing-masing untuk melakukan kajian ilmiah, adalah suatu pilihan yang sangat baik, bukan saja untuk terjadinya kerjasama antara pemerintah daerah dengan perguruan tinggi, tetapi juga untuk kepentingan keputusan yang bijak dan dapat dipertanggung jawabkan. 4). Para aparatur pemerintah perlu memberikan contoh yang baik bagi warganya, bukan sebaliknya, berlaku sewenang-wenang.Perlu diingat bahwa jika rakyat sudah mulai kehilangan kepercayaan kepada pemerintah (baik eksekutif, legislative, maupun yudikatif) maka bukan saja rakyat akan frustasi, lalu cenderung menyelesaikan masalah dengan kekerasan tetapi juga gerkan radikalisme keagamaan akan mendapatkan lahan baru dan tumbuh subur dalam kondisi seperti itu. d. Ormas-ormas keagamaan (1) (2) Sosialisasi kepada para kader ormas keagamaan akan perlunya hidup rukun dan menghormati akan faham dan aliran ormas keagamaan lain. Tidak segera menyalahkan atau memojokan apalagi cenderung memetikan hak hidup kelompok faham atau aliran keagamaan yang tidak sejalan dengan aliran yang diyakininya. (3) Membuka forum-furum dialog dengan berbagai faham dan aliranm keagamaan yang berkembang dimasyarakat untuk menemukan titik temu yang bisa dikembangkan secara bersama-sama.

(4) e.

Menjalin kerjasama yang lebih intensif dengan lembaga-lembaga seperti MUI dan Kesbanglinmas untuk membentuk forum dialog linmas agama

Orsospol keagamaan (1) Tidak mendesakkan dan memaksakan Islam sebagai dasar Negara dan memperlakukan syariat agama Islam bagi semua warga bangsa. Ambisi semacam ini akan mengabaikan eksistensi dari agama dan pemeluk agama lain (2) (3) Pencantuman Islam sebagai azas parpol tertentu tidak hanya dijadikan sebagai trade-merk (merek dagang) untuk menarik simpati konstituen. Parpol yang menggunakan azas Islam hendaknya memperlakukan Islam secara substantif yaitu memperjuangkan nilai-nilai Islam yang bercorak universal dalam tatanan kebangsaan dan menghormati adanya nilai-nilai keagamaan lain yang menegaskan arti kemanusiaan. (4) Mengusahakan para politisi parpol berazas Islam kearah tataran moralitas ihsan, yakni sikap hidup bahwa segala apa yang dilakukan pasti dikontrol oleh Tuhan. f. Perguruan Tinggi (1) Perguruan Tinggi harus lebih memberi penekanan pengajaran agama, tidak dalam pemahaman akidah yang sempit tetapi lebih dikembangkan kepada pengenalan agama lewat pendekatan sosilogis di mana masing-masing pemeluk agama memiliki kewajiban sosial menghormati orang dari agama apapun. (2) Dalam rangka pengajarn seperti tersebut diatas, sebaiknya pengajar matakuliah agama dicarikan dari sarjana yang berlatar belakang fakultas/jurusan Perbandingan Agama. (3) Kedua, perguruan tinggi harus bisa menjadi penggerak bagi terselenggaranya dialog dan diakusi dengan elemen-elemen masyarakat. Hal ini karena pemahaman tentang Radikalisme masih sangat beragam dikalangan akademisi. Karenanya perguruan tinggi memiliki ortoritas di satu sisi dan tanggungjawab di sisi lain terhadap pengembangan pemikiran tentang radikalisme melalui berbagai event wacana dan ruang untuk dialog.

(4) Kenetralan perguruan tinggi harus tetap dijaga untuk tetap selalu obyektif dan jujur dalam menelaah berbagai persoalan di masyarakat, terlebih berkaitan dengan masalah radikalisme ini. g. Kesbanglinmas (1) Kesbanglinmas harus bisa memerankan diri sebagai kawan yang baik bagi semua ormas dan orsospol yamg ada. (2) Kesbanglinmas harus bisa menjadi mediator sekaligus fasilitator bagi terbangunnya suatu pemahaman bahkan ideologi keagamaan yang bergerak diatas landasan kebanggaan masyarakat Indonesia yang majemuk. (3) Untuk mewujutkan peran tersebut, kesbanglinmas bisa melakukan kerjasama dangan MUI dan perguruan tinggi serta para pakar yang memiliki latar belakang pemahaman pluaralisme, seperti para antropolog dan ahli perbandingan agama. (4) Menjalin kerjasama dengan lembaga seperti tersebut diatas bisa dalam bentuk kegiatan penelitian, pertemuan ilmiah, maupun training dan kursus penanganan masalah konflik sara. Hak Cipta 2004 Balitbang Prov. Jateng Jl. Imam Bonjol No. 190 Semarang 50132 Telp : (024) 3540025, Fax : (024) 3560505 Email : sekretariat@balitbangjateng.go.id

10

You might also like