Professional Documents
Culture Documents
OLEH:
Rima Irwinda
PPDS Tahap II B
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA JAKARTA,JANUARI 2007
BAB I PENDAHULUAN
Infeksi intrauterin atau korioamnionitis merupakan infeksi pada cairan amnion, selaput korioamnion dan atau uterus yang timbul segera sebelum atau pada saat persalinan yang disebabkan oleh bakteri1,2. Penelitian membuktikan bahwa insiden dari infeksi intrauterin adalah 0,5-2% dari semua persalinan, penelitian lain mengemukakan insiden terjadi pada sekitar 5% kehamilan cukup bulan4. Korioamnionitis dihubungkan dengan 20-40% kasus sepsis neonatal dini dan pneumonia1,3. Korioamnionitis merupakan penyebab terpenting terjadinya peningkatan morbiditas maternal dan mortalitas perinatal. Penelitian terakhir membuktikan adanya hubungan antara infeksi dengan kelainan neurologis termasuk serebral palsi5. Selain itu juga dapat menyebabkan sepsis, respiratory distress, kejang, perdarahan intraventrikular dan berat lahir rendah. Pada ibu juga dapat menyebabkan sepsis, endometritis pasca persalinan dan infeksi luka6. Infeksi intrauterin disebutkan sebagai salah satu faktor penyebab utama dari persalinan preterm1,3. Diagnosis infeksi intrauterin atau korioamnionitis membutuhkan penanganan terminasi kehamilan yang segera, baik secara pervaginam ataupun perabdominam. Pada makalah ini akan dibahas mengenai tatalaksana infeksi intrauterin atau korioamnionitis, yaitu pemilihan persalinan dan pemberian regimen antibiotika yang sesuai.
Korioamnionitis terjadi paling sering saat persalinan sesudah pecahnya selaput ketuban. Walaupun sangat jarang, korioamnionitis dapat juga terjadi pada keadaan dimana selaput ketuban masih intak12. Sebanyak 3% dari neonatus yang lahir dari ibu dengan korioamnionitis dengan pecahnya selaput ketuban < 24 jam sebelum persalinan, akan menderita bakteremia. Bila pecahnya selaput ketuban terjadi >24 jam maka sebanyak 17% neonatus akan mengalami bakteremia11. Pada keadaan selaput ketuban yang masih intak, korioamnionitis sangat jarang terjadi. Hal ini mungkin disebabkan oleh infeksi Listeria monosytogenes, yang merupakan batang gram positif anaerob, yang menginfeksi janin secara hematogen (infeksi transplasental) dan dapat menyebabkan kematian janin. Gejala pada ibu dapat asimtomatis atau hanya berupa demam ringan dan jarang menyebabkan sepsis pada ibu. Streptokokus grup A juga dapat menyebakan infeksi janin dan rongga amnion pada selaput ketuban yang masih intak11. Organisme penyebab infeksi menyebar pertama kali ke dalam ruang korio desidua, dan pada beberapa kasus dapat melintas melalui membran korioamnion
yang masih utuh dan masuk ke dalam cairan amnion, sehingga menyebabkan infeksi pada janin12. Setiap kehamilan dengan korioamnionitis merupakan faktor risiko penyebab prematuritas dan ketuban pecah dini. Banyak penelitian yang menghubungkan antara korioamnionitis dengan persalinan prematur. Teori yang paling banyak dipergunakan saat ini adalah teori invasi bakteri dari ruang koriodesidua, yang memulai terjadinya proses persalinan preterm. Hal ini dikarenakan pelepasan endotoksin dan eksotoksin oleh bakteri akan mengakitivasi desidua dan membran fetus untuk memproduksi beberapa sitokin, yang diantaranya tumor nekrosis factor- (TNF- ), interleukin-1, interleukin-1, interleukin-6, interleukin-8, dan granulosite coloni stimulating factor (GCsF). Kemudian seluruh sitokin, endotoksin dan eksotoksin akan menstimulasi sintesis prostaglandin yang akan terakumulasi dengan sintesis dan pelepasan metaloprotease dan komponen bioaktif lainnya. Prostaglandin akan menstimulasi kontraksi uterus sementara metaloprotease akan menyerang membran korioamnion yang akan menyebabkan pecahnya membran. Metaloprotease akan membentuk kolagen di serviks yang menyebabkan terjadinya perlunakan serviks12. Persalinan prematur disebabkan akibat janin itu sendiri. Pada janin yang terinfeksi terjadi peningkatan kadar sekresi kortikotropin akibat peningkatan dari corticotropin releasing hormone (CRH) dari hipotalamus janin dan juga produksi CRH dari plasenta. Hal ini akan meningkatkan kadar produksi adrenal janin berupa peningkatan kortisol yang berhubungan dengan peningkatan kadar prostaglandin12.
1. Demam (suhu intrapartum > 100.4 F atau > 37,8 C) 2. takikardia ibu (>120x/menit) 3. takikardia janin (>160x/menit) 4. cairan ketuban berbau atau tampak purulen
5. uterus teraba tegang
terbukti memiliki korioamnionitis (melalui pemeriksaan histologis atau kultur) dapat tidak ditemukan tanda klasik diatas selain tanda-tanda prematuritas12. Terdapat beberapa metode laboratorium lain yang diharapkan dapat membantu penegakkan diagnosis, beberapa diantaranya seperti pemeriksaan serum CRP (C-reative protein) maternal, pemeriksaan esterase leukosit cairan amnion, dan deteksi asam organik bakterial dengan kromatografi gas-cairan14. Peningkatan kadar CRP memiliki spesifisitas yang tinggi untuk diagnosis korioamnionitis. Kadar CRP rata-rata pada kehamilan adalah 0,7-0,9 mg/dl. Terdapat peningkatan sedikit selama persalinan8,10. Pemeriksaan langsung dari cairan amnion dapat memberikan kriteria yang lebih pasti dari korioamnionitis. Kombinasi pewarnaan Gram dan kultur dari hasil amniosintesis merupakan metode diagnostik terbaik1,3. Ditemukannya bakteri gram positif memiliki nilai prediktif positif (positif predictive value/PPV) 93,3%, sedangkan ditemukannya gram negatif memiliki nilai prediktif negatif 85,4% (negatif predictive value/NPV). Akurasi tes tergantung dari konsentrasi bakteri saat pengambilan sampel8,10. Pada pasien dengan suspek korioamnionitis, kadar glukosa cairan amnion yang rendah merupakan prediktor yang baik dari hasil positif kultur cairan amnion namun merupakan prediktor yang buruk untuk korioamnionitis secara klinis9. Ditemukannya leukosit esterase antigen pada cairan amnion memiliki sensitivitas 91% dan nilai PPV 95%. Deteksi asam organik bakteri dengan menggunakan kromatografi gas-cairan cukup sensitif namun memerlukan alat yang rumit dan tidak praktis8,10. Hasil pemeriksaan mikroskopik yang menunjang diagnosis korioamnionitis adalah ketika terlihat set leukosit mononuclear dan polimonorfonuklear menginfiltrasi selaput korion. Sebelum 20 minggu hampir semua sel leukosit polimorfonuklear adalah sel yang berasal dari ibu, sedangkan selanjutnya merupakan respon inflamasi dari janin6. Dari pemeriksaan-pemeriksaan diatas tidak satupun yang cukup sensitif dan spesifik digunakan secara tersendiri terlepas dari gejala dan tanda klinis untuk mendiagnosis korioamnionitis. Telah disebutkan sebelumnya bahwa terjadinya korioamnionitis berhubungan dengan ketuban pecah dini. Untuk mendiagnosa adanya ketuban pecah dapat dilakukan pemeriksaan inspekulo (untuk melihat adanya genangan atau rembesan cairan amnion), nitrazin tes, tes daun pakis, tes evaporasi, USG, fluoresen intraamnonitik, tes diamin oksidase, fibronektin janin dan pemeriksaan AFP pada sekret vagina8.
PENATALAKSANAAN Korioamnionitis diterapi antimikroba dan janin dilahirkan tanpa memandang usia gestasi. Antibiotika yang diberikan adalah antibiotika intravena berspektrum luas. Untuk sebagian besar kasus, cukup digunakan antibiotika tunggal. Terdapat penelitian yang membuktikan bahwa pemberian antibiotika intrapartum dibandingkan dengan postpartum akan menurunkan kejadian sepsis & pneumonia neonatal dan morbiditas postpartum ibu. Standar baku jenis pemberian antibiotika untuk korioamnionitis akut belum ada, banyak studi melakukan evaluasi terhadap pemberian antibiotika. Terdapat studi yang merekomendasikan pemberian ampisilin (2 g setiap 6 jam) ditambah dengan gentamisin (1,0-1,5mg/kg setiap 8 jam) 14. Ampisilin diberikan sebagai pilihan pertama karena dapat melintasi plasenta dengan cepat (<30 menit) dalam konsentrasi tinggi (rasio darah maternal/darah umbilicus 0,71). Regimen intravena yang direkomendasikan termasuk cefoxitin (4X2gr), cefotetan (2x2gr), piperasilin atau mezlocilin (4x3-4gr), ampisilin sulbaktam (4x3gr), tikarsilin/klavulanat (4x3gr). Pada kasus yang lebih berat misalnya pada sepsis dapat diberikan terapi kombinasi yang terdiri dari penisilin atau ampisilin, aminoglikosida dan agen anaerob seperti klindamisin (3x900gr). Literatur lain menganjurkan pemberian gentamisin 5mg/kgBB/hari dosis tunggal10. Pada korioamnionitis lama pemberian antibiotika belum ada standar baku. Pemberian antibiotika intravena dapat dilanjutkan hingga 48-72 jam bebas demam, kemudian dilanjutkan dengan antibiotika oral. Kepustakaan lain menyarankan pemberian terapi parenteral hingga 1-2 hari postpartum, tanpa tambahan antibiotika oral sesudahnya14. Pilihan cara persalinan pada kasus korioamnionitis sebaiknya pervaginam. Jika persalinan tidak timbul spontan, maka dilakukan induksi persalinan, baik dengan medikamentosa atau mekanik15. Persalinan perabdominam meningkatkan risiko demam postpartum akibat infeksi (endometritis) pada ibu. Endometritis dapat terjadi pada 30% pasien dengan persalinan perabdominam, dibandingkan risiko pada persalinan pervaginam hanya 10%. Morbiditas ibu meningkat 5x lipat pada persalinan perabdominam jika dibandingkan dengan persalinan pervaginam8. Namun persalinan perabdominam dapat dipertimbangkan bila persalinan diperkirakan belum selesai dalam interval 12 jam setelah diagnosis ditegakkan. Hal ini didasarkan dari suatu penelitian yang mengemukakan tidak terdapatnya perbedaan peningkatan infeksi neonatus jika jarak antara diagnosis korioamnionitis dan persalinan < 12 jam, namun peningkatan kejadian infeksi neonatus setelah interval 12 jam belum dapat dipastikan. Pada suatu penelitian persalinan perabdominam berhubungan dengan meningkatnya kejadian atonia uteri, perawatan ibu di ICU dan skor apgar yang rendah16.
MORBIDITAS DAN MORTALITAS AKIBAT KORIOAMNIONITIS Korioamnionitis mengakibatkan mortalitas perinatal yang signifikan, terutama pada neonatus dengan berat badan lahir rendah, dimana terjadi peningkatan 3-4x lipat kematian perinatal diantara neonatus dengan berat lahir yang rendah yang dilahirkan dari ibu yang menderita korioamnionitis. Selain itu terjadi juga kejadian respiratory distress syndrome (RDS), perdarahan intraventrikular, dan sepsis neonatal atau meningitis7,10. Janin memiliki risiko tinggi terhadap kejadian pneumonia neonatal ataupun kongenital akibat aspirasi cairan amion yang terinfeksi. Korioamnionitis dihubungkan dengan 20-40% kasus sepsis neonatal dan pneumonia. Korioamnionitis merupakan penyebab nyata terjadinya morbiditas maternal, namun jarang mengakibatkan mortalitas maternal. Bakteremia dapat terjadi pada 25% kasus. Infeksi intrapartum meningkatkan risiko infeksi puerpuralis pada persalinan pervaginam menjadi 13%, dibandingkan dengan persalinan yang tidak disertai dengan infeksi intrapartum hanya 6%13. Pada ibu korioamnionitis dapat mengakibatkan metritis, peritonitis, sepsis hingga kematian ibu.
10
11
BAB V KESIMPULAN
Korioamnionitis merupakan penyebab terpenting terjadinya peningkatan morbiditas maternal dan mortalitas perinatal seperti sepsis, respiratory distress, kejang, perdarahan intraventrikular dan berat lahir rendah pada bayi dan sepsis, endometritis pasca persalinan dan infeksi luka pada ibu, selain itu korioamnionitis merupakan faktor penyebab utama dari persalinan preterm. Pilihan persalinan pada kasus korioamnionitis masih kontroversial. Persalinan perabdominam pada korioamnionitis dapat menyebabkan morbiditas ibu meningkat 5x lipat jika dibandingkan dengan persalinan pervaginam. Persalinan pervaginam lebih baik dilakukan dengan syarat persalinan dapat dicapai sebelum 12 jam setelah diagnosis korioamnionitis ditegakkan.
12
7. Cunningham FG, Gant NE, Leveno KJ, et al. Preterm Birth. Williams
Obstetrics 22st ed. 2001. NY. McGraw Hill; 2005: 855-80
9. Gibbs RS, Sweet RL, DufWP. Maternal and Fetal Infectious Disorder.
Maternal-Fetal Medicine 5th ed. Philadelphia: WB Saunders, 2004: p 741-99 10. Gravett NG, Sampson JE. Other Infectious Conditions. High Risk Pregnancy Management Options. London: WB Saunders Co Ltd; 1996: 513-5
11. Goldenberg RL, Hauth JC, Andrews WW. Intrauterine Infection and Preterm
Delivery. New England Journal of Medicine. 2000.
13. Cunningham FG, Gant NE, Leveno KJ, Bloom SL. Puerpueral Infection.
Williams Obstetrics 22nd ed. New York: McGraw Hill; 2005: 712 14. Duff P, Gibbs RS. Progress in the pathogenesis and management of clinical intraamniotic infection. Am J Obstet Gynecol 1991;164:131726.
13
15. Turnquest MA, et al. Chorioamnionitis: is Continuation Antibiotic Therapy Necessary After Cesarean Section? Am J Obstet Gynecol 1998: 179: 1261-6
14