You are on page 1of 17

Kabupaten Kampar

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Belum Diperiksa

Kabupaten Kampar

Lambang Kabupaten Kampar Motto: -

Peta lokasi Kabupaten Kampar Koordinat:

Provinsi Hari jadi Dasar hukum Tanggal Ibu kota Pemerintahan - Bupati

Riau {{{hari jadi}}} {{{dasar hukum}}} {{{tanggal}}} Bangkinang

Drs. H. Burhanuddin Husin, MM. - {{{wakil kepala {{{nama wakil kepala daerah}}} daerah}}} - {{{nama ketua DPRD}}} {{{nama ketua DPRD}}} - {{{nama ketua {{{nama ketua pengadilan pengadilan negeri}}} negeri}}} - {{{nama komandan {{{nama komandan distrik distrik militer}}} militer}}} - {{{nama kepala {{{nama kepala kepolisian kepolisian resor}}} resor}}}

- {{{nama kepala kejaksaan negeri}}} - APBD - DAU Luas Populasi - Total - Kepadatan Demografi - Suku bangsa - Agama - Bahasa Zona waktu Kode area telepon Bandar udara Pembagian administratif - Kecamatan - Desa/kelurahan Flora resmi Fauna resmi Situs web

{{{nama kepala kejaksaan negeri}}} {{{apbd}}} Rp. 440.702.230.500,(2011)[1]

27.908,32 km2 750.000 jiwa 26,87 jiwa/km2 {{{suku bangsa}}} {{{agama}}} {{{bahasa}}} {{{zona waktu}}} {{{bandar udara}}} 20 {{{flora}}} {{{fauna}}} kamparkab.go.id

Kabupaten Kampar adalah salah satu kabupaten di provinsi Riau, Indonesia.Kabupaten Kampar beribukota di Bangkinang

Daftar isi
[sembunyikan]

1 Geografi o 1.1 Batas wilayah o 1.2 Kecamatan 2 Pemerintahan 3 Demografi 4 Potensi o 4.1 Pertanian o 4.2 Perkebunan o 4.3 Perikanan o 4.4 Pariwisata 5 Kebudayaan 6 Referensi 7 Pranala luar

[sunting] Geografi
Kabupaten Kampar dengan luas lebih kurang 1.128.928 Ha merupakan daerah yang terletak antara 0100040 Lintang Utara sampai 0002700 Lintang Selatan dan 10002830 10101430 Bujur Timur. Batas-batas daerah Kabupaten Kampar adalah sebagai berikut :

[sunting] Batas wilayah


Kabupaten Kampar berbatasan dengan kabupaten-kabupaten lain, sebagai berikut: Utara Kabupaten Siak Selatan Kabupaten Kuantan Singingi Barat Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Lima Puluh Kota (Provinsi Sumatera Barat) Timur Kota Pekanbaru dan Kabupaten Pelalawan Di daerah Kabupaten Kampar terdapat dua buah sungai besar dan beberapa sungai kecil yaitu : pertama, Sungai Kampar yang panjangnya 413,5 km dengan kedalaman rata-rata 7,7 m dengan lebar rata-rata 143 meter. Seluruh bagian sungai ini termasuk dalam Kabupaten Kampar yang meliputi Kecamatan XIII Koto Kampar, Bangkinang, Bangkinang Barat, Kampar, Siak Hulu dan Kampar Kiri. Kedua yaitu Sungai Siak bagian hulu yakni panjangnya 90 km dengan kedalaman rata-rata 8 12 m yang melintasi kecamatan Tapung. Sungaisungai besar yang terdapat di Kabupaten Kampar ini sebagian masih berfungsi baik sebagai prasarana perhubungan, sumber air bersih budi daya ikan maupun sebagai sumber energi listrik (PLTA Koto Panjang). Kabupaten Kampar pada umumnya beriklim tropis. Temperatur minimum terjadi pada bulan November Dan Desember yaitu sebesar 210C. Temperatur maksimum terjadi pada Juli dengan temperatur 350C. Jumlah hari hujan dalam tahun 2009, yang terbanyak adalah disekitar Bangkinang Seberang dan Kampar Kiri

[sunting] Kecamatan
Saat ini (tahun 2006), Kabupaten Kampar memiliki 21 kecamatan, sebagai hasil pemekaran dari 12 kecamatan sebelumnya. Kedua puluh satu kecamatan tersebut (beserta ibu kota kecamatan) adalah: 1. Bangkinang (ibu kota: Bangkinang). 2. Bangkinang Barat (ibu kota: Kuok). 3. Bangkinang Seberang (ibu kota: Muara Uwai). 4. Gunung Sahilan (ibu kota: Kebun Durian). 5. Kampar (ibu kota: Air Tiris). 6. Kampar Kiri (ibu kota: Lipat Kain). 7. Kampar Kiri Hilir (ibu kota: Sei.Pagar). 8. Kampar Kiri Hulu (ibu kota: Gema). 9. Kampar Timur (ibu kota: Kampar). 10. Kampar Utara (ibu kota: Desa Sawah). 11. Perhentian Raja (ibu kota: Pantai Raja). 12. Rumbio Jaya (ibu kota: Rumbio). 13. Salo (ibu kota: Salo). 14. Siak Hulu (ibu kota: Pangkalanbaru).

15. Tambang (ibu kota: Sei.Pinang). 16. Tapung (ibu kota: Petapahan). 17. Tapung Hilir (ibu kota: Pantai Cermin). 18. Tapung Hulu (ibu kota: Sinama Nenek). 19. XIII Koto Kampar (ibu kota: Batu Besurat). 20. Kampar Kiri Tengah (ibu kota: Simalinyang). 21. Koto Kampar Hulu (ibukota: Tanjung)

[sunting] Pemerintahan
Kabupaten Kampar terbentuk sejak tahun 1956 berdasarkan UU N0 12 tahun 1956 dengan ibu kota Bangkinang. Pada awalnya Kabupaten Kampar terdiri dari 19 kecamatan dengan dua Pembantu Bupati sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Riau Nomor : KPTS. 318VII1987 tanggal 17 Juli 1987. Pembantu Bupati Wilayah I berkedudukan di Pasir Pangarayan dan Pembantu Bupati Wilayah II di Pangkalan Kerinci. Pembantu Bupati Wilayah I mengkoordinir wilayah Kecamatan Rambah, Tandun, Rokan IV Koto, Kunto Darussalam, Kepenuhan, dan Tambusai. Pembantu Bupati Wilayah II mengkoordinir wilayah Kecamatan Langgam, Pangkalan Kuras, Bunut, dan Kuala Kampar. Sedangkan kecamatan lainnya yang tidak termasuk wilayah pembantu Bupati wilayah I & II berada langsung di bawah koordinator Kabupaten. Bupati Kampar saat ini adalah Burhanuddin Husin. Pada pemilu yang dilaksanakan pada Oktober 2006, Burhanuddin Husin terpilih sebagai bupati baru untuk periode 2006-2011. Burhanuddin menggantikan Jefri Noer, bupati yang sempat menggemparkan peta politik nasional dengan skandal pengusiran seorang kepala sekolah pada sebuah rapat dengar pendapat di DPRD Kampar. Jauh sebelum reformasi, Kampar selalu dipimpin oleh bupati yang berlatar belakang militer dengan mengabaikan latar belakang sosio-kultural semisal putera daerah. Namun dengan digulirkannnya otonomi daerah, kini Kampar memiliki pemimpin dari daerahnya sendiri.

[sunting] Demografi
Jumlah penduduk Kabupaten Kampar tahun 2009 tercatat 679,285 orang yang terdiri dari penduduk laki-laki 351,793 jiwa (52.49 persen) dan wanita 327,492 jiwa (47,51 persen). Ratio jenis kelamin (perbandingan penduduk laki-laki dengan penduduk perempuan) adalah 109. Kecamatan yang paling padat penduduknya adalah Kecamatan Kampar yaitu 333 jiwa/Km2, diikuti oleh Kecamatan Kampar Utara 226 jiwa/Km2. Selain itu lima kecamatan yang agak padat penduduknya berada di Kecamatan Rumbio Jaya,Bangkinang, Bangkinang Barat, Perhentian Raja, Kampar Timur, masing masing 216 jiwa/Km2, 191 jiwa/Km2, 158 jiwa/Km2, 154 dan 131 jiwa/Km2. Sedangkan dua kecamatan yang relatif jarang penduduknya yaitu Kecamatan Kampar Kiri Hulu 9 jiwa/Km2 dan Kampar Kiri Hilir 13 jiwa/Km2.2 Sebagian besar penduduk (67.22%) bekerja di sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, dan hanya sebagian kecil (0.22%) yang bekerja di sektor Listrik, Gas dan Air Bersih. Sebagai salah satu daerah terluas di Provinsi Riau, Kabupaten Kampar secara berkelanjutan melakukan peningkatan fasilitas dan infrastruktur seperti jaringan jalan raya (1.856,56 km), jaringan listrik (72,082 KWH) dengan 5 unit pembangkit tenaga diesel Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Koto Panjang yang memproduksi energi dengan kapasitas tersambung sebesar 114,240 KWH. Fasilitas lain yang juga telah tersedia antara lain layanan telekomunikasi (telepon kabel, telepon selular, dan jaringan internet) dan

jaringan air bersih dengan kapasitas produksi sebesar 1,532,284 m. Penduduk Kabupaten Kampar mayoritas beragama Islam, diikuti oleh Protestan, Katolik, Budha dan Hindu. Jumlah pemeluk agama yang paling banyak adalah pemeluk agama Islam yang jumlahnya hampir 90% dari total pemeluk agama di Kabupaten Kampar, selanjutnya pemeluk agama Kristen yang terbanyak kedua sebanyak 63.557 orang atau 8,6%. Pemeluk agama Islam yang terbanyak berada di Kecamatan Siak Hulu yaitu sebanyak 63.511 orang.

[sunting] Potensi
Kabupaten Kampar mempunyai banyak potensi yang masih dapat dimanfaatkan, terutama di bidang pertanian dan perikanan darat.

[sunting] Pertanian
Bidang pertanian seperti kelapa sawit dan karet yang merupakan salah satu tanaman yang sangat cocok buat lahan yang ada di Kabupaten kampar.

[sunting] Perkebunan
Khusus perkebunan perkebunan sawit untuk saat ini Kabupaten Kampar mempunyai luas lahan 241,5 ribu hektare dengan potensi crude palm oil (CPO) sebanyak 966 ribu ton.

[sunting] Perikanan
Di bidang perikanan budidaya ikan patin yang dikembangkan melalui keramba (kolam ikan berupa rakit) di sepanjang sungai kampar, ini terlihat banyaknya keramba yang berjejer rapi di sepanjang sungai kampardan adanya kerjasama antara Pemda Kampar dengan PT. Benecom dengan jumlah investasi Rp. 30 miliar yang mana kedepannya Kampar akan menjadi sentra ikan patin dengan produksi 220 ton per hari.

[sunting] Pariwisata
Di segi pariwisata Kabupaten Kampar juga tidak kalah dengan daerah-daerah lainnya, seperti Candi MUARA TAKUS yang merupakan peninggalan Kerajaan Sriwijaya, namun untuk saat ini Pemda Kampar belum memaksimalkan pengelolaannya menjadi tujuan wisatawan, mandi "balimau bakasai" tradisi ini adalah mandi membersihkan diri di Sungai Kampar untuk menyambut bulan suci Ramadhan. "Ma'awuo ikan" ini adalah menangkap ikan secara bersama-sama (ikan larangan) setahun sekali, ini berada di danau Bokuok (Kecamatan Tambang) dan Sungai Subayang di Desa Domo (Kecamatan Kampar Kiri Hulu). Di samping julukan BUMI SARIMADU Kabupaten Kampar juga terkenal dengan julukan SERAMBI MEKKAH di provinsi Riau, ini disebabkan masyarakatnya yang sebagian besar beragama Islam (etnis ocu), demikian juga dengan pakaian yang sehari-hari yang dipakai bernuansa muslim. Kabupaten Kampar juga memiliki sosok pejuang di zaman kolonial Belanda yang terkenal yakni Datuk Tabano dan Datuk Panglima Khatib.

Kebudayaan
Kampar sangat identik dengan sebutan Kampar Limo Koto dan dahulunya merupakan bagian dari Kerajaan Pagaruyung. Limo Koto terdiri dari XXXIII Koto Kampar, Kuok, Bangkinang, Air Tiris dan Rumbio. Terdapat banyak persukuan yang masih dilestarikan hingga kini. Konsep adat dan tradisi persukuannya sama dengan konsep adat dan persukuan Minangkabau di Sumatera Barat. Tidak heran bila adat istiadat hingga bahasa sehari-hari warga Limo Koto, merupakan Bahasa Minangkabau logat Limo Puluah Koto atau yang di Kampar dikenal dengan Bahasa Ocu. Bahasa ini berlainan aksen dengan Bahasa Minangkabau yang dipakai oleh masyarakat Agam, Solok, Pariaman dan Padang. Di samping itu, Kampar Limo Koto juga memiliki semacam alat musik tradisional, yaitu Calempong dan Oguong.

Satu Dasawarsa Pemisahan TNI-Polri


OPINI | 23 May 2010 | 09:43 1205 0 Nihil

Krisis ekonomi mulai menyerang Indonesia pada pertengahan 1997, merupakan peristiwa yang mengejutkan mengingat perkembangan ekonomi Indonesia yang cukup baik sebelumnya. Krisis ekonomi yang menyerang Indonesia merupakan serentetan krisis ekonomi yang juga menyerang negara asia lainnya, seperti Thailand, Malaysia, juga Korea Selatan. Berbagai kondisi yang menyebabkan ekonomi menurun, ditambah situasi politik yang tidak stabil kemudian semakin memicu tuntutan mundur terhadap Presiden Soeharto, yang disuarakan baik oleh mahasiswa, aktivis LSM, maupun cendekiawan dan akademisi yang lain. Presiden Soeharto tidak mampu mempertahankan pemerintahannya dan memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai Presiden Republik Indonesia pada 21 Mei 1998. Pada tanggal itu pula, Wakil Presiden Burhanuddin Jusuf Habibie dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia menggantikan Presiden Soeharto. Perubahan pemerintahan yang terjadi turut mengubah karakter sistem politik Indonesia ke arah demokrasi yang lebih baik. Perubahan sosial-politik yang terjadi, berdampak besar pada kehidupan politik nasional. Hal ini kemudian sangat mempengaruhi pembinaan di bidang pertahanan dan keamanan nasional, termasuk di dalamnya pembinaan ABRI ( TNI dan Polri ) ke arah yang lebih profesional. Pada masa pemerintahan Presiden Habibie terdapat penurunan keikutsertaan ABRI dalam politik . Hal ini terkait tuntutan tuntutan agar ABRI menerapkan profesionalisme dengan prinsip conventional professionalism bukan new professionalism seperti saat pemerintahan sebelumnya . Dalam kerangka profesional konvensional, ABRI dituntut semaksimal mungkin melepaskan peranan politiknya. Sejalan dengan tuntutan tersebut, kemudian pada tanggal 1 April 1999 diterbitkan Instruksi Presiden Republik Indonesia no. 2 Tahun 1999 tentang Langkah-Langkah Kebijakan Dalam Rangka Pemisahan Kepolisian Negara Republik Indonesia Dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Dalam Inpres tersebut, diinstruksikan kepada Menteri Pertahanan Keamanan dan Panglima ABRI untuk secara bertahap mulai mengambil langkah-langkah seperlunya dalam rangka reformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan menempatkan sistem dan penyelenggaraan pembinaan kekuatan dan operasinal Kepolisian Negara Republik Indonesia Indonesia pada Departemen Pertahanan Keamanan Republik Indonesia . Selain itu Pemerintah mengganti penyebutan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menjadi Tentara Nasional Indonesia.

Saat pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid berjalan, pembenahan dan pengurangan jabatan politik yang banyak dipegang ABRI berlanjut. Dalam era Kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid, konsep supremasi sipil betul-betul ditekankan. Kendali sipil atas pemerintahan dikonsolidasi oleh Presiden Abdurrahman Wahid setelah ia terpilih. Jabatanjabatan bagi militer dikurangi mulai di tingkat pusat seperti jabatan direktur jenderal, inspektur jenderal, dan jabatan tinggi negara, sampai jabatan di tingkat daerah, seperti gubernur dan bupati. Jabatan Menteri Pertahanan dan Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional yang selalu dijabat personil militer, dipercayakan kepada kalangan sipil. Untuk meningkatkan profesionalisme dan menempatkan pada fungsinya yang tepat, maka kemudian di masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, secara tegas dipisahkan Kepolisian Negara Republik Indonesia dari struktur kemiliteran Indonesia. Kepala Polri tidak lagi berada di bawah komando maupun bertanggung jawab kepada Menteri Pertahanan, tetapi kepada Presiden. Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diamandemen, Pasal 30 ayat (1) menjelaskan: Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung. Untuk memperjelas fungsi Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia maka di ayat (3) dijelaskan: Tentara Nasional Indonesia terdiri ata Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara; di ayat (4) dijelaskan: Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. Kemudian berdasarkan ketentuan tersebut, maka pada tanggal 18 Agustus tahun 2000 MPR menerbitkan ketetapannya no. VI/MPR/2000 tentang pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang dalam pasal 1 menyatakan bahwa Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia secara kelembagaan terpisah sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing. Juga Tap MPR no. VII/MPR/2000 tentang peran Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam Tap MPR no. VII/MPR/2000 pasal 2 disebutkan pada ayat (1) bahwa Tentara Nasional Indonesia merupakan alat negara yang berperan sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara itu, terkait dengan peran Polri dijelaskan pada pasal 6 ayat (1) bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Berdasarkan kedua ketetapan MPR tersebut kemudian disusun Undang-Undang no 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Undang-Undang no 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, dan Undang-Undang no 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Dalam struktur baru tersebut, TNI bergerak dan bertanggungjawab di bidang pertahanan negara, sementara Polri berkewenangan dan bertanggungjawab di bidang keamanan . Bidang pertahanan mengemban tugas untuk mempertahankan kedaulatan bangsa dan negara, menjaga keutuhan wilayah negara, dan menjaga keselamatan serta martabat bangsa dan negara. Menurut UU no. 34 tahun 2004 yang dimaksud pertahanan negara adalah segala usaha untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan melindungi keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Sementara di bidang ketertiban umum, mengemban tugas dalam penegakan hukum, menjaga ketertiban hidup sehari-hari dalam masyarakat, melindungi keselamatan , ketentraman, dan ketertiban hidup anggota masyarakat

. Menurut UU no. 2 tahun 2002 Keamanan dan ketertiban masyarakat adalah suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketenteraman, yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentukbentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat. Sementara keamanan dalam negeri diartikan sebagai suatu keadaan yang ditandai dengan terjaminnya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, serta terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Pemisahan TNI dan Polri tersebut mengandung konsekuensi pada penataan kedua lembaga tersebut sesuai dengan tugas dan fungsinya. Hal ini merupakan bagian dari amanat demokrasi yang memisahkan fungsi keduanya dengan tegas. Kedua lembaga tersebut kemudian dituntut untuk menjalankan peran dan fungsinya masing-masing. Pelembagaan politik dalam konteks demokrasi kemudian diterjemahkan dengan memisahkan secara tegas, dan bentuk-bentuk koordinasi yang secara kelembagaan layak dilakukan. Pemisahan tersebut ternyata menimbulkan implikasi yang tidak cukup baik. Sejak pemisahan, hubungan antara TNI dengan Polri cenderung memburuk, terlihat dengan seringnya terjadi bentrokan antara kelompok TNI dengan kelompok Polri di beberapa tempat di Indonesia. Reformasi yang terjadi pada tahun 1998 telah mengubah kondisi politik yang ada. Nilai demokrasi yang berkembang turut menjadi faktor yang mengubah pembinaan di bidang pertahanan dan keamanan nasional Indonesia. Salah satu pilar demokrasi adalah supremasi sipil. Kekuasaan sipil adalah yang utama. Supremasi sipil membuat kekuatan bersenjata sebagai penjaga hukum dan konstitusi, yang berarti mendukung, menjaga, dan mempertahankan militer sebagai institusi pertahanan negara, dan juga menjaga kondisi yang telah terbentuk dengan baik dalam negara . Tentara tunduk kepada kewenangan sipil yang dipilih melalui sistem kepartaian dalam pemilihan umum yang bebas dan rahasia, tentara adalah alat negara yang melaksanakan pertahanan dan keamanan dengan mengutamakan pertahanan luar. Sementara kepolisian berfungsi di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat . Namun yang terjadi kemudian adalah kemunculan konflik yang terus menerus antara kelompok TNI melawan kelompok Polri. Sedikitnya terjadi 32 kali konflik bersenjata di berbagai tempat di Indonesia dalam rentang waktu Februari 2001 sampai Februari 2008. Argumen utama dari tulisan ini adalah pola hubungan TNI Polri yang memburuk setelah pemisahan Polri dari ABRI bersifat sistemik, bukan bersifat kasuistik. Terlihat dari sebaran konflik yang hampir diseluruh wilayah Indonesia. Faktor struktur dan kepentingan TNI dan Polri memicu konflik yang terjadi. Penyelenggaraan pertahanan negara dan keamanan dalam negeri ternyata memunculkan persoalan pada tataran peran dan kewenangan antara TNI dan Polri. Meskipun telah ditegaskan peran dan fungsi masing-masing lewat undang-undang, namun wilayah abu-abu kewenangan TNI dan Polri masih ada, dan hal ini menjadi penyebab ketidakselarasan kinerja TNI dan Polri. Wilayah abu-abu ini adalah untuk menunjuk sejumlah aktivitas yang diklaim militer sebagai operasi militer selain perang. Dalam UU no. 34 tahun 2004 pasal 7 ayat (2) disebutkan bahwa operasi militer selain perang adalah mengatasi gerakan separatisme bersenjata, mengatasi pemberontakan bersenjata, mengatasi aksi terorisme, mengamankan wilayah perbatasan, mengamankan objek vital nasional yang bersifat strategis, melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri, mengamankan Presiden dan wakil presiden beserta keluarganya, memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya secara dini sesuai dengan

sistem pertahanan semesta, membantu tugas pemerintahan di daerah, membantu kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang, membantu mengamankan tamu negara setingkat kepala dan perwakilan pemerintah asing yang sedang berada di Indonesia, membantu menaggulangi akibat bencana alam, pengungsian, dan pemberian bantuan kemanusiaan, membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan (search and rescue); serta membantu pemerintah dalam pengamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan, perompakan, dan penyelundupan. Ada persinggungan antara tugas keamanan dan ketertiban dalam negeri yang diemban oleh Polri dengan operasi militer selain perang yang diatur dalam pasal 2 UU no. 34 tahun 2004 tersebut. Sebagai contoh adalah fungsi penegakan hukum di wilayah laut dan udara, masih terdapat ketidakjelasan wewenang antara TNI dan Polri. Dalam UU no. 34 tahun 2004 pasal 9 dan 10 menjelaskan bahwa TNI AL dan TNI AU bertugas untuk menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut dan udara yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi. Sementara itu, tugas penegakan hukum ini juga dimiliki Polri yang memiliki kesatuan polisi air dan udara. Selain itu, sebagai contoh yang lain, kewenangan yang sama dalam mengamankan obyek vital. Yang berbeda hanyalah landasan hukumnya, jika TNI bertugas mengamankan obyek vital dipayungi pasal 7 ayat (2) UU no. 34 tahun 2004, maka Polri berlandaskan Keppres no. 63 tahun 2004 tentang Pengamanan Obyek Vital Nasional. Persinggungan peran dan fungsi tersebut akhirnya dapat menimbulkan permasalahan, seperti bentrokan antara TNI dengan Polri. Konflik yang terjadi menunjukkan kelembagaan Polri dan TNI belum disiapkan secara memadai dalam menghadapi pemisahan Polri dari TNI. Hal tersebut menyangkut masalah struktural dan mental anggota TNI dan Polri. Di samping itu , ada pula pihak yang berpendapat bahwa konflik yang terjadi antara TNI Polri tersebut mungkin juga disebabkan oleh euphoria yang dialami para anggota Polri sesudah sejak tahun 1960, berdasarkan Tap MPRS no II dan III yang menetapkan secara struktural Polri berada di bawah komando TNI. Faktor kedua yang membuat hubungan kedua institusi ini mengalami ketegangan adalah faktor sejarah. Sejak reformasi, Polri berdiri sejajar dengan TNI, padahal sebelumnya sejak masa Orde Lama hingga Orde Baru, Polri terkesan berada di bawah TNI. Dapat dikatakan di sini, salah satu faktor yang menyebabkan ketegangan dan konflik adalah post power syndrome TNI terhadap Polri. Hal ini dapat terlihat dengan sikap dan pernyataan anggota TNI yang merasa kewenangannya semakin terbatasi dan merasa tugas dan kewenangan Polri terlalu besar, yang membuat anggota TNI kemudian merasa tidak senang dengan sikap berlebihan yang dilakukan anggota Polri. Ketika masih menjadi satu dalam ABRI, polisi merupakan unsur yang terkesan inferior jika disandingkan dengan ketiga angkatan TNI, Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Polisi merasa sungkan untuk mengusut kasus yang didalamnya melibatkan unsur TNI. Sehingga ketika Polri telah dipisahkan dari TNI banyak anggota Polri yang bertindak lepas kendali yang serta merta dengan hal itu sumber kekuasaan atau sumber fasilitas dari anggota Polri menjadi sulit dinikmati anggota TNI. Ungkapan tentara di lapangan bahwa polisi sombong sekali, padahal dulu cuma adik kecil kami, atau sebaliknya di aparat kepolisian di lapangan bahwa, tentara jangan mengurusi urusan keamanan yang jadi wewenang polisi,, adalah sesuatu yang umum. Banyak anggota TNI kemudian merasa tidak senang dengan sikap berlebihan yang dilakukan anggota Polri . Hal tersebut dikarenakan TNI masih merasa superior jika berhadapan dengan polisi. Ketiga, kemudian adalah mengenai esprit de corps yang sempit. Hal ini mengakibatkan rasa kecintaan terhadap kesatuan yang besar dan menganggap kesatuan lain kecil. Dominasi konstruksi ideologi yang tertanam pada jiwa masing-masing kesatuan itu menjadi faktor

pendukung yang kuat ketika terjadi perselisihan. Wujudnya berupa sikap egois, rasa berbeda, rasa tersaingi dan rasa melebihi dari yang lain. Membuat permasalahan kecil yang semula terjadi hanya antar individu yang kebetulan berbeda kesatuan, melebar menjadi ketegangan dan bahkan hingga ke konflik antar kesatuan. Faktor terakhir penyebab ketegangan dan konflik bersenjata antara TNI dan Polri yang dibahas dalam tulisan ini adalah mengenai faktor pemenuhan kesejahteraan antara anggota TNI dan Polri. pengelolaan sektor keamanan yang dialihkan dari tangan tentara ke polisi, mengandung konsekuensi ekonomi praktis, yaitu hilangnya akses sumberdaya tentara. Dalam hal prajurit, sekaligus berarti sumber penghasilan tambahan yang hilang. Anggota TNI saat ini tidak boleh lagi berbisnis, sementara penghasilan yang diperoleh belum mampu mensejahterakan kehidupan anggota TNI, sedangkan polisi dengan gaji yang sama diterima anggota TNI namun masih memperoleh tambahan dari berbagai kegiatan yang dilakukan, seperti dari urusan lalu lintas yang sering disalahgunakan sehingga dapat memberikan penghasilan lebih. . Polri menjadi semacam penguasa baru di daerah tanpa dibarengi dengan penguatan kelembagaannya. Terdapat kesenjangan penerimaan fasilitas saat melakukan tugas di tengah masyarakat akibat adanya perbedaan akses. Masalah kesejahteraan adalah juga menjadi salah satu faktor penyebab bentrokan. Perbedaan tingkat kesejahteraan antara prajurit TNI dan Polri sebagai salah satu akar permasalahan. Ini memunculkan kecemburuan TNI. Hal-hal tersebut menimbulkan kecemburuan dari anggota TNI. Persepsi-persepsi sedemikian tersebut membuat ketegangan-ketegangan dan berujung ke konflik antara TNI dan Polri kerap terjadi.

Satu Dasawarsa Pemisahan TNI-Polri


OPINI | 23 May 2010 | 09:43 1253 0 Nihil

Krisis ekonomi mulai menyerang Indonesia pada pertengahan 1997, merupakan peristiwa yang mengejutkan mengingat perkembangan ekonomi Indonesia yang cukup baik sebelumnya. Krisis ekonomi yang menyerang Indonesia merupakan serentetan krisis ekonomi yang juga menyerang negara asia lainnya, seperti Thailand, Malaysia, juga Korea Selatan. Berbagai kondisi yang menyebabkan ekonomi menurun, ditambah situasi politik yang tidak stabil kemudian semakin memicu tuntutan mundur terhadap Presiden Soeharto, yang disuarakan baik oleh mahasiswa, aktivis LSM, maupun cendekiawan dan akademisi yang lain. Presiden Soeharto tidak mampu mempertahankan pemerintahannya dan memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai Presiden Republik Indonesia pada 21 Mei 1998. Pada tanggal itu pula, Wakil Presiden Burhanuddin Jusuf Habibie dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia menggantikan Presiden Soeharto. Perubahan pemerintahan yang terjadi turut mengubah karakter sistem politik Indonesia ke arah demokrasi yang lebih baik. Perubahan sosial-politik yang terjadi, berdampak besar pada kehidupan politik

nasional. Hal ini kemudian sangat mempengaruhi pembinaan di bidang pertahanan dan keamanan nasional, termasuk di dalamnya pembinaan ABRI ( TNI dan Polri ) ke arah yang lebih profesional. Pada masa pemerintahan Presiden Habibie terdapat penurunan keikutsertaan ABRI dalam politik . Hal ini terkait tuntutan tuntutan agar ABRI menerapkan profesionalisme dengan prinsip conventional professionalism bukan new professionalism seperti saat pemerintahan sebelumnya . Dalam kerangka profesional konvensional, ABRI dituntut semaksimal mungkin melepaskan peranan politiknya. Sejalan dengan tuntutan tersebut, kemudian pada tanggal 1 April 1999 diterbitkan Instruksi Presiden Republik Indonesia no. 2 Tahun 1999 tentang Langkah-Langkah Kebijakan Dalam Rangka Pemisahan Kepolisian Negara Republik Indonesia Dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Dalam Inpres tersebut, diinstruksikan kepada Menteri Pertahanan Keamanan dan Panglima ABRI untuk secara bertahap mulai mengambil langkah-langkah seperlunya dalam rangka reformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan menempatkan sistem dan penyelenggaraan pembinaan kekuatan dan operasinal Kepolisian Negara Republik Indonesia Indonesia pada Departemen Pertahanan Keamanan Republik Indonesia . Selain itu Pemerintah mengganti penyebutan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menjadi Tentara Nasional Indonesia. Saat pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid berjalan, pembenahan dan pengurangan jabatan politik yang banyak dipegang ABRI berlanjut. Dalam era Kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid, konsep supremasi sipil betul-betul ditekankan. Kendali sipil atas pemerintahan dikonsolidasi oleh Presiden Abdurrahman Wahid setelah ia terpilih. Jabatan-jabatan bagi militer dikurangi mulai di tingkat pusat seperti jabatan direktur jenderal, inspektur jenderal, dan jabatan tinggi negara, sampai jabatan di tingkat daerah, seperti gubernur dan bupati. Jabatan Menteri Pertahanan dan Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional yang selalu dijabat personil militer, dipercayakan kepada kalangan sipil. Untuk meningkatkan profesionalisme dan menempatkan pada fungsinya yang tepat, maka kemudian di masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, secara tegas dipisahkan Kepolisian Negara Republik Indonesia dari struktur kemiliteran Indonesia. Kepala Polri tidak lagi berada di bawah komando maupun bertanggung jawab kepada Menteri Pertahanan, tetapi kepada Presiden. Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diamandemen, Pasal 30 ayat (1) menjelaskan: Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung. Untuk memperjelas fungsi Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia maka di ayat (3) dijelaskan: Tentara Nasional Indonesia terdiri ata Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara; di ayat (4)

dijelaskan: Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. Kemudian berdasarkan ketentuan tersebut, maka pada tanggal 18 Agustus tahun 2000 MPR menerbitkan ketetapannya no. VI/MPR/2000 tentang pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang dalam pasal 1 menyatakan bahwa Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia secara kelembagaan terpisah sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing. Juga Tap MPR no. VII/MPR/2000 tentang peran Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam Tap MPR no. VII/MPR/2000 pasal 2 disebutkan pada ayat (1) bahwa Tentara Nasional Indonesia merupakan alat negara yang berperan sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara itu, terkait dengan peran Polri dijelaskan pada pasal 6 ayat (1) bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Berdasarkan kedua ketetapan MPR tersebut kemudian disusun Undang-Undang no 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, UndangUndang no 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, dan Undang-Undang no 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Dalam struktur baru tersebut, TNI bergerak dan bertanggungjawab di bidang pertahanan negara, sementara Polri berkewenangan dan bertanggungjawab di bidang keamanan . Bidang pertahanan mengemban tugas untuk mempertahankan kedaulatan bangsa dan negara, menjaga keutuhan wilayah negara, dan menjaga keselamatan serta martabat bangsa dan negara. Menurut UU no. 34 tahun 2004 yang dimaksud pertahanan negara adalah segala usaha untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan melindungi keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Sementara di bidang ketertiban umum, mengemban tugas dalam penegakan hukum, menjaga ketertiban hidup sehari-hari dalam masyarakat, melindungi keselamatan , ketentraman, dan ketertiban hidup anggota masyarakat . Menurut UU no. 2 tahun 2002 Keamanan dan ketertiban masyarakat adalah suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketenteraman, yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat. Sementara keamanan dalam negeri diartikan sebagai suatu keadaan yang ditandai dengan terjaminnya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, serta terselenggaranya

perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Pemisahan TNI dan Polri tersebut mengandung konsekuensi pada penataan kedua lembaga tersebut sesuai dengan tugas dan fungsinya. Hal ini merupakan bagian dari amanat demokrasi yang memisahkan fungsi keduanya dengan tegas. Kedua lembaga tersebut kemudian dituntut untuk menjalankan peran dan fungsinya masing-masing. Pelembagaan politik dalam konteks demokrasi kemudian diterjemahkan dengan memisahkan secara tegas, dan bentuk-bentuk koordinasi yang secara kelembagaan layak dilakukan. Pemisahan tersebut ternyata menimbulkan implikasi yang tidak cukup baik. Sejak pemisahan, hubungan antara TNI dengan Polri cenderung memburuk, terlihat dengan seringnya terjadi bentrokan antara kelompok TNI dengan kelompok Polri di beberapa tempat di Indonesia. Reformasi yang terjadi pada tahun 1998 telah mengubah kondisi politik yang ada. Nilai demokrasi yang berkembang turut menjadi faktor yang mengubah pembinaan di bidang pertahanan dan keamanan nasional Indonesia. Salah satu pilar demokrasi adalah supremasi sipil. Kekuasaan sipil adalah yang utama.

Kepolisian Negara Republik Indonesia


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Lambang Polri

Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) adalah Kepolisian Nasional di Indonesia, yang bertanggung jawab langsung di bawah Presiden. Polri mengemban tugas-tugas kepolisian di seluruh wilayah Indonesia. Polri dipimpin oleh seorang Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri). Sejak 22 Oktober 2010 Kapolri dijabat oleh Jenderal Polisi Timur Pradopo.

Daftar isi
[sembunyikan]

1 Sejarah [rujukan?] o 1.1 Zaman Hindia Belanda [rujukan?] o 1.2 Zaman pendudukan Jepang [rujukan?] o 1.3 Zaman revolusi fisik [rujukan?] o 1.4 Kepolisian pasca proklamasi [rujukan?] o 1.5 Zaman Republik indonesia Serikat (RIS) [rujukan?] o 1.6 Zaman Demokrasi Parlementer [rujukan?] o 1.7 Zaman Demokrasi Terpimpin [rujukan?] o 1.8 Zaman Orde Baru [rujukan?] o 1.9 Pasukan Polisi Republik Indonesia 2 Organisasi o 2.1 Mabes 2.1.1 Unsur Pimpinan 2.1.2 Unsur Pengawas dan Pembantu Pimpinan/Pelayanan 2.1.3 Unsur Pelaksana Tugas Pokok 2.1.4 Unsur Pendukung o 2.2 Polda o 2.3 Polda Metro Jaya 3 Polri kini 4 Polisi dan Lalu Lintas 5 Daftar Kapolda se-Indonesia o 5.1 Wilayah Sumatera o 5.2 Wilayah Jawa o 5.3 Wilayah Bali dan Nusa Tenggara o 5.4 Wilayah Kalimantan o 5.5 Wilayah Sulawesi dan Maluku o 5.6 Wilayah Papua 6 Lihat pula 7 Pranala luar 8 Catatan kaki

[sunting] Sejarah
[sunting] Zaman Hindia Belanda[rujukan?]

Veldpolitie di Malang (sekitar 1930)

Kedudukan, tugas, fungsi, organisasi, hubungan dan tata cara kerja kepolisian pada zaman Hindia Belanda tentu diabdikan untuk kepentingan pemerintah kolonial. Sampai jatuhnya Hindia Belanda, kepolisian tidak pernah sepenuhnya di bawah Departemen Dalam Negeri. Di Departemen Dalam Negeri memang berkantor "Hoofd van de Dienst der Algemene Politie"

yang hanya bertugas di bidang administrasi/pembinaan, seperti kepegawaian, pendidikan SPN (Sekolah Polisi Negeri di Sukabumi), dan perlengkapan kepolisian. Wewenang operasional kepolisian ada pada residen yang dibantu asisten residen. Rechts politie dipertanggungjawabkan pada procureur generaal (jaksa agung). Pada masa Hindia Belanda terdapat bermacam-macam bentuk kepolisian, seperti veld politie (polisi lapangan) , stands politie (polisi kota), cultur politie (polisi pertanian), bestuurs politie (polisi pamong praja), dan lain-lain. Sejalan dengan administrasi negara waktu itu, pada kepolisian juga diterapkan pembedaan jabatan bagi bangsa Belanda dan pribumi. Pada dasarnya pribumi tidak diperkenankan menjabat hood agent (bintara), inspekteur van politie, dan commisaris van politie. Untuk pribumi selama menjadi agen polisi diciptakan jabatan seperti mantri polisi, asisten wedana, dan wedana polisi. Demikian pula dalam praktik peradilan pidana terdapat perbedaan kandgerecht dan raad van justitie.[rujukan?]

[sunting] Zaman pendudukan Jepang[rujukan?]


Pada masa pendudukan Jepang 1942-1945, pemerintahan kepolisan Jepang membagi Indonesia dalam dua lingkungan kekuasaan, yaitu:
1. Sumatera, Jawa, dan Madura dikuasai oleh Angkatan Darat Jepang. 2. Indonesia bagian timur dan Kalimantan dikuasai Angkatan Laut Jepang.

Dalam masa ini banyak anggota kepolisian bangsa Indonesia menggantikan kedudukan dan kepangkatan bagi bangsa Belanda sebelumnya. Pusat kepolisian di Jakarta dinamakan keisatsu bu dan kepalanya disebut keisatsu elucho. Kepolisian untuk Jawa dan Madura juga berkedudukan di Jakarta, untuk Sumatera berkedudukan di Bukittinggi, Indonesia bagian timur berkedudukan di Makassar, dan Kalimantan berkedudukan di Banjarmasin. Tiap-tiap kantor polisi di daerah meskipun dikepalai oleh seorang pejabat kepolisian bangsa Indonesia, tapi selalu didampingi oleh pejabat Jepang yang disebut sidookaan yang dalam praktik lebih berkuasa dari kepala polisi. Beda dengan zaman Hindia Belanda yang menganut HIR, pada akhir masa pendudukan Jepang yang berwenang menyidik hanya polisi dan polisi juga memimpin organisasi yang disebut keibodan (semacam hansip).[rujukan?]

[sunting] Zaman revolusi fisik[rujukan?]


Tidak lama setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, pemerintah militer Jepang membubarkan Peta dan Gyu-Gun, sedangkan polisi tetap bertugas, termasuk waktu Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Secara resmi kepolisian menjadi kepolisian Indonesia yang merdeka. Inspektur Kelas I (Letnan Satu) Polisi Mochammad Jassin, Komandan Polisi di Surabaya, pada tanggal 21 Agustus 1945 memproklamasikan kedudukan polisi sebagai Polisi Republik Indonesia menyusul dibentuknya Badan Kepolisian Negara (BKN) oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 19 Agustus 1945. Pada 29 September 1945 Presiden

RI melantik Kepala Kepolisian RI (Kapolri) pertama Jenderal Polisi R.S. Soekanto. Adapun ikrar Polisi Istimewa tersebut berbunyi: Oentoek bersatoe dengan rakjat dalam perdjoeangan mempertahankan Proklamasi 17 Agoestoes 1945, dengan ini menyatakan Poelisi Istimewa sebagai Poelisi Repoeblik Indonesia.[rujukan?]

[sunting] Kepolisian pasca proklamasi[rujukan?]


Setelah proklamasi, tentunya tidak mungkin mengganti peraturan perundang-undangan, karena masih diberlakukan peraturan perundang-undangan Hindia Belanda, termasuk mengenai kepolisian, seperti tercantum dalam peraturan peralihan UUD 1945. Tanggal 1 Juli 1946 dengan Ketetapan Pemerintah No. 11/SD/1946 dibentuk Djawatan Kepolisian Negara yang bertanggung jawab langsung kepada perdana menteri (pada saat itu Pusat/Mabes Kepolisian Negara berkedudukan di Purwokerto Jawa Tengah). Semua fungsi kepolisian disatukan dalam Jawatan Kepolisian Negara yang memimpin kepolisian di seluruh tanah air. Dengan demikian lahirlah Kepolisian Nasional Indonesia yang sampai hari ini diperingati sebagai Hari Bhayangkara. Hal yang menarik, saat pembentukan Kepolisian Negara tahun 1946 adalah jumlah anggota Polri sudah mencapai 31.620 personel, sedang jumlah penduduk saat itu belum mencapai 60 juta jiwa. Dengan demikian police population ratio waktu itu sudah 1:500. (Pada 2001, dengan jumlah penduduk 210 juta jiwa, jumlah polisi hanya 170 ribu personel, atau 1:1.300)[rujukan?] Sebagai bangsa dan negara yang berjuang mempertahankan kemerdekaan maka Polri di samping bertugas sebagai penegak hukum juga ikut bertempur di seluruh wilayah RI. Polri menyatakan dirinya combatant yang tidak tunduk pada Konvensi Jenewa. Polisi Istimewa diganti menjadi Mobile Brigade, sebagai kesatuan khusus untuk perjuangan bersenjata, seperti dikenal dalam pertempuran 10 November di Surabaya, di front Sumatera Utara, Sumatera Barat, penumpasan pemberontakan PKI di Madiun, dan lain-lain. Pada masa kabinet presidential, pada tanggal 4 Februari 1948 dikeluarkan Tap Pemerintah No. 1/1948 yang menetapkan bahwa Polri dipimpin langsung oleh presiden/wakil presiden dalam kedudukan sebagai perdana menteri/wakil perdana menteri. Pada masa revolusi fisik, Kapolri Jenderal Polisi R.S. Soekanto telah mulai menata organisasi kepolisian di seluruh wilayah RI. Pada Pemerintahan Darurat RI (PDRI) yang diketuai Mr. Sjafrudin Prawiranegara berkedudukan di Sumatera Tengah, Jawatan Kepolisian dipimpin KBP Umar Said (tanggal 22 Desember 148).[rujukan?]

[sunting] Zaman Republik indonesia Serikat (RIS)[rujukan?]


Hasil Konferensi Meja Bundar antara Indonesia dan Belanda dibentuk Republik Indonesia Serikat (RIS), maka R.S. Sukanto diangkat sebagai Kepala Jawatan Kepolisian Negara RIS dan R. Sumanto diangkat sebagai Kepala Kepolisian Negara RI berkedudukan di Yogyakarta. Dengan Keppres RIS No. 22 tahun 1950 dinyatakan bahwa Jawatan Kepolisian RIS dalam kebijaksanaan politik polisional berada di bawah perdana menteri dengan perantaraan jaksa

agung, sedangkan dalam hal administrasi pembinaan, dipertanggungjawabkan pada menteri dalam negeri. Umur RIS hanya beberapa bulan. Sebelum dibentuk Negara Kesatuan RI pada tanggal 17 Agustus 1950, pada tanggal 7 Juni 1950 dengan Tap Presiden RIS No. 150, organisasiorganisasi kepolisian negara-negara bagian disatukan dalam Jawatan Kepolisian Indonesia. Dalam peleburan tersebut disadari adanya kepolisian negara yang dipimpin secara sentral, baik di bidang kebijaksanaan siasat kepolisian maupun administratif, organisatoris.

[sunting] Zaman Demokrasi Parlementer[rujukan?]


Dengan dibentuknya negara kesatuan pada 17 Agustus 1950 dan diberlakukannya UUDS 1950 yang menganut sistem parlementer, Kepala Kepolisian Negara tetap dijabat R.S. Soekanto yang bertanggung jawab kepada perdana menteri/presiden. Waktu kedudukan Polri kembali ke Jakarta, karena belum ada kantor digunakan bekas kantor Hoofd van de Dienst der Algemene Politie di Gedung Departemen Dalam Negeri. Kemudian R.S. Soekanto merencanakan kantor sendiri di Jalan Trunojoyo 3, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dengan sebutan Markas Besar Djawatan Kepolisian Negara RI (DKN) yang menjadi Markas Besar Kepolisian sampai sekarang. Ketika itu menjadi gedung perkantoran termegah setelah Istana Negara. Sampai periode ini kepolisian berstatus tersendiri antara sipil dan militer yang memiliki organisasi dan peraturan gaji tersendiri. Anggota Polri terorganisir dalam Persatuan Pegawai Polisi Republik Indonesia (P3RI) tidak ikut dalam Korpri, sedangkan bagi istri polisi semenjak zaman revolusi sudah membentuk organisasi yang sampai sekarang dikenal dengan nama Bhayangkari tidak ikut dalam Dharma Wanita ataupun Dharma Pertiwi. Organisasi P3RI dan Bhayangkari ini memiliki ketua dan pengurus secara demokratis dan pernah ikut Pemilu 1955 yang memenangkan kursi di Konstituante dan Parlemen. Waktu itu semua gaji pegawai negeri berada di bawah gaji angkatan perang, namun P3RI memperjuangkan perbaikan gaji dan berhasil melahirkan Peraturan Gaji Polisi (PGPOL) di mana gaji Polri relatif lebih baik dibanding dengan gaji pegawai negeri lainnya (mengacu standar PBB). Dalam periode demokrasi parlementer ini perdana menteri dan kabinet berganti rata-rata kurang satu tahun. Polri yang otonom di bawah perdana menteri membenahi organisasi dan administrasi serta membangun laboratorium forensik, membangun Polisi Perairan (memiliki kapal polisi berukuran 500 ton) dan juga membangun Polisi Udara serta mengirim ratusan perwira Polri belajar ke luar negeri, terutama ke Amerika Serikat.[rujukan?]

You might also like