You are on page 1of 3

M.

Bambang Pranowo Direktur Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian/Guru Besar Sosiologi Agama UIN, Jak arta

KEDEKATAN dengan dunia mistis adalah salah satu ciri khas orang Jawa. Dalam kehi dupan sehari-hari, misalnya, orang Jawa menilai suatu kejadian dari aspek mistis . Kenapa gunung Merapi meletus, kenapa gelombang laut Kidul amat besar, semuanya dikaitkan dengan dunia mistis. Itulah sebabnya Niels Mulder dalam bukunya, Myst icism and Everyday Life in Contemporary Java (1980), menyatakan mistisisme dan p raktek-praktek magis-mistik selalu menjadi arus dasar terkuat kebudayaan Jawa. S emua perjalanan hidup orang Jawa, misalnya, mulai bayi, remaja, tua, sampai meni nggal dianggap berkaitan dengan nilai-nilai mistis. Perjalanan hidup orang Jawa secara lebih jelas, misalnya, tergambar dalam tembang-tembang macapat dengan ber bagai iramanya. Sedikitnya ada 12 irama tembang macapat yang menggambarkan tahap-tahap perjalana n kehidupan orang Jawa, yaitu: 1. Mijil (keluar atau kelahiran), 2. Sinom (asal kata enom atau muda), 3. Maskumambang (masa penuh gejolak hidup), 4. Asmaradana (ulah asmara atau masa jatuh cinta), 5. Dhandanggula (dendang tentang kemanisan hidup), 6. Durmo (saatnya untuk mengundurkan diri alias masa pensiun), 7. Pangku r (masa untuk meninggalkan pesona dunia), 8. Gambuh (saat untuk memahami hakikat kehidupan dan hidup sesudah mati), 9. Megatruh (saat roh meninggalkan jasad), 1 0. Pocung (saat kita sudah dipocong atau dibungkus kain kafan), 11. Kinanti (men genang amalan yang perlu ditingggalkan), dan 12. Wirangrong (untuk menggambarkan peringatan atau kehati-hatian agar kita tidak wirang atau malu di kemudian hari , terutama ketika manusia masuk rong atau dikuburkan). Semua tahapan-tahapan ter sebut selalu dikaitkan dengan peristiwa mistis. Begitu juga mudik Lebaran; ia ti dak hanya berkaitan dengan fenomena kultural, tapi juga mistis. Mudik dalam perspektif kultural Jawa merupakan salah satu tahapan penting perjal anan hidup manusia agar selamat sampai di tempat tujuan nya. Jika hari-hari ini kit a menyaksikan betapa kuatnya motivasi mudik orang Jawa di tempat perantauannya di Jakarta dan kota-kota besar lain di seluruh Indonesia, kuatnya motivasi mudik it u niscaya terkait dengan nilai-nilai mistis dan magis sebagai bagian terpenting dalam perjalanan spiritual mereka. Meskipun mudik Lebaran kini sudah menjadi peristiwa kultutral di mana hampir semua orang Jawa, baik beragama Islam maupun non-Islam merasa perlu mudik, tapi dalam t ulisan ini saya hanya memfokuskan bahasan mudik pada orang Jawa yang beragama Is lam. Hal ini terjadi karena Islam, menurut Ricklefs, kini telah menjadi simbol k ultural Jawa. Islamisasi kultural Jawa ini, tulis Ricklefs dalam Mystic Synthesi s in Java: A History of islamization from the Fourteenth to the Early Nineteenth Century (2006), masih terus berlanjut sampai sekarang sehingga simbol-simbol Is lam makin memperkuat identitas kultural Jawa. Akibatnya simbol-simbol kultural J awa yang sebelumnya berbasis Hindusime dan Buddhisme lambat laun, tulis Ricklefs , mengalami transformasi menuju Islamisme. Itulah sebabnya dalam membahas mudik ini, fenomena kultural Jawa akan mengisi sebagian besar kalau tak dikatakan seluru hnya tulisan ini. Dan hal itu cukup dimengerti karena sebagian besar pemudik di In donesia adalah orang Jawa. Mudiknya pun sebagian besar menuju ke desa-desa di Ja wa. Nilai Pedagogis Pulang Kampung Bagi orang Jawa, mudik tidak sekadar rindu kampung halaman. Tapi mudik merupakan ekspresi perjalanan spiritual seorang manusia. Pinjam gambaran Ali Syari ati, bag i orang Jawa mudik adalah tujuan antara dalam perjalanan spiritual manusia menuju sebuah kebaktian paripurna. Yaitu kebaktian kepada orang tua dan keluarganya set

elah kebaktian kepada Allah. Orang tua ibu dan bapak, baik ketika masih hidup ata u wafat merupakan "tuhan kedua" bagi kehidupan orang Jawa. Pandangan ini jelas muncul dari sebuah Hadist Qudsi yang menyatakan, bahwa setel ah berbakti kepada Allah, maka kewajiban manusia yang kedua adalah berbakti kepa da kedua orang tuanya. Demikian tingginya posisi orang tua dalam ajaran Islam se hingga Alquran mengajarkan bahwa manusia tidak boleh berkata "uf (ah)" kepada or ang tuanya. Dalam Surah Al Isra (Bani Israil) ayat 23-24, Allah memerintahkan se tiap manusia harus berbakti kepada orang tuanya. Bagi orang Jawa yang menganggap Alquran sebagai kitab suci yang penuh ayat-ayat mistis dan magis, firman Allah tentang kehormatan orang tua tersebut diyakini me mpunyai makna yang sangat besar yang berkaitan dengan keberkahan. Keberkahan, me nurut Gilsenan (1973), merupakan bagian dari karomah yaitu suatu kejadian yang aja ib dan luar biasa. Orang Jawa punya keyakinan orang yang berbakti kepada orang t ua, hidupnya akan berkah. Bagaimana wujud keberkahan itu, misalnya, dialami oleh Pak Sajiyo di Tegalroso, Magelang. Kisah Pak Sajiyo ini, saya peroleh waktu men eliti kehidupan beragama orang Jawa untuk penelitian disertasi saya di Monash Un iversity, Melbourne (Creating Islamic Tradition in Rural Java, 1991, terjemahann ya, Memahami Islam Jawa, Alvabet, 2009). Pak Sajiyo adalah orang yang jujur dan berbakti kepada orang tua. Setelah menika h dengan Tumisih, Pak Sajiyo minta izin kepada orang tuanya untuk membangun ruma h kecil buat keluarganya. Awalnya masyarakat desa mengejek, mana mungkin Pak Saj iyo bikin rumah sendiri, wong dia dan istrinya masing-masing hanya punya sawah s atu kesuk (0,1 ha) dan setengah kesuk (0,05 ha). Dengan kerja keras pasangan itu , rumah itu pun jadi. Kenapa Pak Sajiyo bisa membangun rumah semudah itu? Karena hidup Pak Sajiyo penuh berkah. Keberkahan hidupnya diperoleh karena berbakti ke pada orang tuanya itu tadi. Di samping membantu nafkah untuk ibunya, Pak Sajiyo juga membantu Mbok Tukinem, janda tua saudara tiri ibunya. Pak Sajiyo yakin dengan membantu ibu dan saudara tiri ibunya yang sudah tua itu, Tuhan juga memberinya berkah. Keyakinan itu bena r-benar terbukti. Ternyata apa-apa yang ditanam Pak Sajiyo dan istrinya di tanah nya yang sedikit itu tumbuh bagus. Hasil panen padinya bagus. Pohon kelapa mil iknya berbuah bagus. Dari kelebihan hasil tanaman padi dan kelapa itu, Pak Sajiy o membeli seekor anak sapi. Setelah dipelihara beberapa tahun, sapi itu dijual. Untungnya untuk membeli anak sapi lagi dan sisanya untuk membeli sepetak tanah. Tahun demi tahun, Pak Sajiyo hartanya makin tambah dan jadilah dia orang terkaya di desanya. Pak Sajiyo hidupnya banyak berkah karena berbakti kepada orang tua, ata warga desa. Kisah Pak Sajiyo ini menggambarkan betapa mulianya jika seseorang berbakti kepad a orang tua. Dan salah satu wujud berbakti kepada orang tua adalah mudik atau pu lang kampung. Jika kedua orang tuanya masih hidup, ia akan menunjukkan rasa bakt inya dengan jalan sungkem di kaki keduanya. Jika orang tuanya sudah meninggal, i a akan ziarah ke makamnya. Dengan melakukan ziarah kubur dan berdoa di makan ora ng tuanya, orang Jawa yakin bahwa perbuatan tersebut akan dilihat oleh orang tua nya sebagai tanda bakti anak kepadanya. Pada Idulfitri, misalnya, suasana spirit ual untuk mendukung perwujudan rasa bakti kepada orang tua tersebut sangat kondu sif. Orang Jawa meyakini pada Hari Raya tidak hanya orang tua yang hidup yang be rbahagia melihat penghormatan dan bakti anak cucunya, tapi juga roh-roh orang tu a yang sudah meninggal. Dengan demikian, ziarah kubur itu bisa diibaratkan sebag ai kunjungan kehormatan kepada orang tua yang telah tiada tadi. Dari aspek paedagogis, mudik jelas merupakan pelajaran penting tentang perwujuda n nilai-nilai etis, moral, dan relijius seorang anak kepada orang tuanya. Ketika tatakrama dan sopan santun anak kepada orang tua mulai pudar karena tergerus bu daya materialisme, peristiwa ritual mudik seakan membangkitkan kembali pelajaran dasar tentang kehidupan: anak harus berbakti kepada orang tuanya. Dan kembali b

erbakti kepada orang tua tidak hanya dilakukan saat mereka masih hiup, tapi juga ketika mereka sudah tiada. Bagi orang Jawa, ketiadaan fisik orang tua tidak ser ta merta meniadakan eksistensi mereka. Mereka tetap eksis di dunia roh dan bisa berkomunikasi dengan anak-anaknya yang masih hidup. Dari aspek inilah peristiwa mudik bisa bermakna religius, yaitu setiap jiwa niscaya akan kembali ke asalnya. Dan kembali kepada yang asal itu, di samping pulang ke haribaan orang tua (mikr o), juga pulang ke haribaan Yang Mahakuasa (makro). Dari gambaran di atas, mudik bagi orang Jawa sesungguhnya merupakan ajaran spiri tual yang berasal dari Islam. Pertautan Islam dan budaya Jawa melahirkan budaya mudik yaitu kembalinya jiwa di perantauan untuk "pulang" sejenak ke kampung di mana ia mijil. Peristiwa mudik merupakan ungkapan paling nyata bahwa sejauh-jauhnya manusia pergi, pasti ia akan rindu dan kembali ke asalnya. Akhirnya peristiwa mu dik memberikan pelajaran kepada kita: bahwa manusia dalam hidupnya tidak hanya b utuh nasi, tapi juga butuh sabda ilahi.

You might also like