You are on page 1of 5

Hidup Selibat itu Alkitabiah Di dalam Perjanjian baru tidak ada kewajiban bagi para klerus harus hidup

selibat. Meski begitu, juga tidak ada pernyataan bahwa hidup selibat itu tidak alkitabiah. Yesus berkata, Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga. Siapa yang dapat mengerti hendaklah ia mengerti (Mat 19:12) Ucapan Yesus ini dilontarkan dalam konteks maraknya perceraian di kalangan Yahudi saat itu. Melihat situasi itu, para murid saling berkata kalau begitu lebih tidak kawin saja supaya tidak timbul masalah. Yesus menanggapi komentar para murid ini dengan mengatakan bahwa ada kebenaran dalam ucapan lebih baik jangan kawin itu. Menurut Yesus, ada 3 macam orang yang tidak dapat kawin. Dalam naskah Yunani, Yesus menggunakan tiga kali kata kebiri[William Barclay menggunakan istilah "orang Kasim"]. Ada orang yang lahir dalam keadaan kebiri. Itu adalah orang yang mempunyai kekurangan pada tubuhnya sehingga tidak dapat kawin. Kedua, orang yang dikebiri oleh orang lain, misalnya pelayan-pelayan di istana raja pada masa lalu kadang harus dikebiri supaya mereka tidak menggoda gundik-gundik raja. Kedua golongan ini disebutkan dalam buku ajaran para rabbi. Kemudian Yesus menambahkan golongan ketiga yaitu orang yang atas kemauannya sendiri tidak menikah, supaya mereka bebas dari segala gangguan dalam pekerjaannya bagi Kerajaan Allah. Secara harfiah, golongan ketiga ini adalah orang yang dengan sengaja dan sukarela mengebiri dirinya sendiri, namun hal ini tidak dapat diterapkan mentah-mentah. Salah satu tragedi dalam gereja perdana adalah kasus Origins. Ketika masih muda, dia mengebiri dirinya sendiri walaupun kemudian ia sadar bahwa ia keliru. Ayat lain yang menyinggung hidup selibat adalah tulisan Paulus dalam surat 1 Korintus 7: Namun demikian alangkah baiknya, kalau semua orang seperti aku; tetapi setiap orang menerima dari Allah karunianya yang khas, yang seorang karunia ini, yang lain karunia itu. Tetapi kepada orang-orang yang tidak kawin dan kepada janda-janda aku anjurkan, supaya baiklah mereka tinggal dalam keadaan seperti aku . . . Aku ingin, supaya kamu hidup tanpa kekuatiran. Orang yang tidak beristeri memusatkan perhatiannya pada perkara Tuhan, bagaimana Tuhan berkenan kepadanya. Orang yang beristeri memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi, bagaimana ia dapat menyenangkan isterinya, dan dengan demikian perhatiannya terbagi-bagi. Perempuan yang tidak bersuami dan anak-anak gadis memusatkan perhatian mereka pada perkara Tuhan, supaya tubuh dan jiwa mereka kudus. Tetapi perempuan yang bersuami memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi, bagaimana ia dapat menyenangkan suaminya. Semuanya ini kukatakan untuk kepentingan kamu sendiri, bukan untuk menghalang-halangi kamu dalam kebebasan kamu, tetapi sebaliknya supaya kamu melakukan apa yang benar dan baik, dan melayani Tuhan tanpa gangguan. (1Kor 7:7-8; 32-35). Paulus menuliskan hal ini untuk menanggapi kehidupan jemaat di Korintus yang mulai meremehkan kehidupan perkawinan. Setelah dibaptis, jemaat di sana menganggap bahwa hidup baru itu mirip dengan asketisme total. Segala sesuatu yang merupakan kenikmatan duniawi harus ditanggalkan. Termasuk di dalamnya kehidupan perkawinan. Paulus menentang hal ini. Meskipun berpendapat bahwa hidup selibat itu baik, tetapi orangorang yang sudah menikah tidak boleh mengabaikan kehidupan perkawinan mereka. Menurut

Paulus, setiap orang menerima dari Allah karunianya yang khas. Soal keputusan apakah seseorang akan hidup selibat atau menikah itu harus sesuai dengan karunianya yang khas itu. Dari pernyataan Yesus dapat disimpulkan bahwa memang dimungkinkan adanya orang yang hidup selibat; Dan itu alkitabiah. Sedangkan dari Paulus kita mendapatkan kebenaran bahwa hidup selibat itu merupakan karunia atau anugerah dari Allah. Selibat di Antara Klerus Dalam Perjanjian Baru terdapat 2 pandangan tentang perkawinan klerus: Di satu pihak, beberapa rasul menikah (Mat 8:14; 1 Kor 9:5); Paulus pun menganjurkan para penilik jemaat untuk beristri (1 Tim 3:2). Di lain pihak, hidup selibat ditekankan bagi mereka yang dipanggil untuk mengabdikan diri sepenuhnya pada Kerajaan Allah. Dengan tidak menikah maka orang tersebut dapat mengabdikan kehidupannya lebih total kepada Allah karena tidak terikat pada banyak tugas keluarga. Dengan demikian, dia dan dapat mempersiapkan diri dengan lebih bebas dalam menyongsong kedatangan Kristus (1 Kor 7: 26-35). Tiga puluh tujuh Paus pada abad-abad pertama menikah dan berumahtangga. Paus Hormisdas (514-523) misalnya, adalah ayah dari Paus Silverius (536-537). Paus terakhir yang beristri ialah Paus Adrianus II (867-872). Sesudah itu masih ada Paus yang berkeluarga sebelum ditahbiskan menjadi imam, lalu sesudahnya hidup berselibat. Kardinal Rodrigo Borgia (1431-1503) mempunyai 4 orang anak yang lahir sebelum ia ditahbiskan menjadi imam dan pada tahun 1492 ia terpilih menjadi Paus dengan nama Alexander VI. Sejak abad ke-4, uskup-uskup di Yunani, Mesir dan Eropa Barat kebanyakan tidak menikah atau meninggalkan istri mereka sesudah ditahbiskan. Tetapi pada zaman itu, para imam dan diakon di seluruh Gereja tetap boleh beristri dan tidak ada hukum yang melarang seorang imam menikah. Di bagian Timur, sejak abad ke-6 dan ke-7 hukum melarang uskup hidup bersama istrinya. Jika sudah menikah sebelum ditahbiskan, ia harus menitipkan istrinya dengan persetujuannya ke suatu biara yang jauh. Tetapi, para imam dan diakon tetap berkeluarga sampai kini. Selibat imamat dalam Gereja bagian Barat baru mulai menjadi tuntutan kanonik sesudah berbagai sinode partikular menekankan selibat. Pada masa-masa selanjutnya terdapat dinamika tentang hidup selibat ini. Untuk mengetahui lebih detil silakan simak referensi yang saya sertakan di bawah. Yang ingin saya tekankan di sini bahwa tampaknya Dede Wijaya tidak melakukan studi yang lebih mendalam namun sudah mengambil kesimpulan bahwa: Gereja Katolik menerapkan kewajiban hidup selibat di antara rohaniwan Katolik karena mengikuti rasul Petrus sebagai Paus pertama. Padahal, menurut Dede Wijaya, Petrus sendiri adalah pria yang menikah. Ini kesimpulan yang tidak berdasar, karena paus-paus pada abad pertama ternyata menikah juga. Dengan kata lain, keputusan hidup selibat itu bukan serta merta meneladani rasul Petrus, melainkan karena alasan yang lain. Pada tulisannya, Dede Wijaya juga menyatakan bahwa Ajaran Katolik yg mengharuskan HIDUP SELIBAT adalah benar-benar TIDAK ALKITABIAH. Dia mengutip Matius 19:12, kemudian membuat kesimpulan : Jadi, PAUS, Kardinal, sampai Romo, dan juga suster boleh menikah. Namun mereka juga boleh tidak menikah atas kemauan sendiri, bukan paksaan karena adanya Peraturan tertentu. Sebelum membahas ini, mari kita lihat hasil belajar saya tentang kepemimpinan gereja menurut ajaran Katolik. Pada masa pelayanan-Nya Yesus mengumpulkan dua belas murid yang disebut rasul (bdk. Luk 6:12-16). Yesus mendidik dan memberi kuasa kepada mereka untuk menggembalakan umat (bdk. Yoh 21:15-17), mengajarkan segala sesuatu yang telah

diperintahkan Yesus ( Mat. 28:20), merayakan Ekaristi (Luk. 22:19), mengusir roh jahat, melenyapkan segala penyakit dan segala kelemahan (Mat. 10:1). Demikianlah Yesus memberi kuasa kepada para rasul untuk menjadi pemimpin umat-Nya. Kepemimpinan mereka tergabung dalam dewan para rasul yang diketuai oleh st. Petrus. Pengganti para Rasul itu adalah para Uskup, yaitu mereka yang menerima Sakramen Tahbisan. Dalam hierarki gereja Katolik dikenal ada jabatan Paus, Uskup dan para Imam. Mereka dikhususkan untuk mewartakan injil, menggembalakan umat beriman dan merayakan ibadat ilahi [kecuali imam, masih ada diakon yang ditahbiskan bukan untuk imamat, melainkan untuk pelayanan]. Semua pemegang jabatan imamat ini harus menjalani sakramen tahbisan yaitu penumpangan tangan sebagai tanda berkat, pencurahan Roh dan penyerahan kuasa, disertai doa. Orang yang menerima sakramen tahbisan sebagai imam ini harus mengucapkan tiga kaul. Tujuannya agar orang yang tertahbis dapat memberikan diri seutuhnya kepada Kristus dan umatNya. Tiga kaul itu adalah: Selibat: Sesuai Mat 19:12, gereja berpendapat bahwa orang yang tidak menikah akan lebih bebas menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan demi kerajaan Allah. Taat: Nasihat dalam Yoh 4: 34 dan Flp. 2:6 tentang taat sampai diyakini, diamini oleh gereja. Seorang tertahbis bersedia taat kepada atasannya seperti Kristus taat kepada Bapa-Nya demi kerajaan Allah. Miskin: Dalam Mat. 6:20 dan Luk 9:58 disebutkan bahwa Yesus tidak memiliki apa-apa. Seorang tertahbis bersedia hidup miskin dalam arti bersedia melepas secara sukarela hak untuk memiliki harta benda [catatan imam-imam praja tidak mengucapkan kaul ini]. Secara sekilas, kaul ini, terutama yang pertama, membenarkan pernyataan Dede Wijaya bahwa mewajibkan seseorang untuk tidak menikah adalah tidak alkitabiah. Benarkah begitu? Saya punya pendapat lain. Dalam ulasan sebelumnya sudah dipaparkan bahwa hidup selibat itu adalah hal yang alkitabiah dan ditegaskan oleh Yesus sendiri. Demi kerajaan Allah, seseorang dengan sukarela memberikan diri untuk hidup selibat. Kalau gereja Katolik meyakini bahwa hidup selibat dapat membuat seseorang dapat melakukan pekerjaan Allah dengan lebih baik, tentu saja itu adalah hal yang alkitabiah. Kalau gereja Katolik menetapkan syarat bahwa orang yang akan menerima sakramen tahbisan harus mengucapkan kaul, yang salah satunya hidup selibat, itu adalah keputusan yang ada dasar Alkitabnya. Aturan ini berlaku hanya berlaku bagi orang yang mengajukan diri sebagai imam secara sukarela. Gereja Katolik tidak pernah memaksa seseorang untuk hidup selibat. Kalau ada orang yang tidak bersedia menuruti aturan ini, maka dia boleh mengundurkan diri kapan saja. Setiap institusi memiliki aturannya sendiri-sendiri. Kalau Anda masuk dinas ketentaraan, maka Anda wajib potong rambut sangat pendek. Anda tidak mungkin menolak kewajiban ini dengan dalih melanggar HAM untuk berambut gondrong. Kalau Anda tidak mau berambut cepak ya jangan jadi tentara [kecuali jika ada UU Wajib Militer]. Tidak ada yang memaksa Anda untuk menjadi tentara. Demikian juga kalau Anda tidak mau hidup selibat, ya jangan menjadi imam Katolik, sebab dalam gereja Katolik ada ketentuan hidup selibat. Tujuannya adalah supaya dia dapat melayani lebih baik. Dan ini Alkitabiah. Buku:

Kesepadanan tidak boleh diukur dari segi kwantitas berapa banyak, sebab yang paling penting adalah kwalitas ketidakcocokan itu. Jarang bertengkar dengan pasangan kita memang suatu indikator yang baik namun harus kita juga teliti motivasi kenapa kok jarang bertengkar, sebab ada kasus di mana orang jarang bertengkar karena memang mengelakkan diri dari pertengkaran. Pertengkaran seharusnya terjadi sebab justru itu baik, bisa menolong mereka menyelesaikan problemnya. Tapi kalau pertengkaran itu kita nggak pernah menyelesaikannya, berarti ini adalah aspek yang kita harus teliti sebab kalau ada hal-hal yang kita pertengkarkan, tak bisa kita selesaikan ini akan kita bawa ke dalam pernikahan. Kalau hal yang kita pertengkarkan tak bisa kita selesaikan, ini menandakan kemampuan kita berdua untuk menyelesaikan pertengkaran belum ada, belum cukup kuat, jadi sangat rawan sekali untuk memasuki pernikahan. Suatu hubungan yang dipenuhi dengan pertengkaran itu pertanda buruk, itu pertanda bahwa: a. Kita sangat berbeda dan berbedanya ini dalam segala hal. b. Kalau kita terus-menerus bertengkar itu menandakan tahap pengertian kita, tahap penerimaan kita akan pasangan kita sangat lemah. Tanda-tanda kesepadanan yaitu: a. Kita menghargai perbedaan bukan membenci keunikan pasangan kita. Orang yang sepadan dengan pasangannya, ketidakcocokan itu tidak membuahkan kebencian. Kalau membuahkan kebencian itu berarti memang karakternya atau gaya hidupnya tidak bisa kita terima. b. Rasa dimengerti, bukan dihakimi oleh pasangannya. Kita diterima, dimengerti oleh pasangan bagi saya ini salah satu indikasi memang kita ini sepadan dengan pasangan kita. c. Adanya upaya atau niat baik untuk menyesuaikan diri, bukan memasabodohkan pasangan. Kalau kita sepadan hubungan kita ini harmonis ya, adanya niat baik dari pihak kita untuk menyesuaikan diri. kalau yang seringkali muncul adalah perasaan masa bodoh, peduli amat dengan dia nah itu mengkhawatirkan, membuat saya berpikir jangan-jangan tidak sepadan. d. Adanya pertumbuhan pribadi ke arah yang lebih positif, bukan malah kemerosotan ke arah negatif. Artinya begini setelah kita berpacaran beberapa bulan, kita ini bisa berkata : Tuhan memakai hubungan ini untuk membentuk kita. Kita menjadi orang yang lebih sabar, kita menjadi orang yang lebih murah hati, kita menjadi orang yang lebih menguasai diri, kita menjadi orang yang sukacita, kita menjadi orang yang lebih penuh kasih, kita menjadi orang yang lemah lembut, yaitu 9 aspek dalam buah Roh Kudus. Jadi yang saya mau tekankan adalah kalau kita makin memunculkan buah Roh Kudus dalam hidup kita, gara-gara kita makin dekat dengan pasangan kita, dapat kita simpulkan ini pasangan yang cocok dengan kita, sepadan dengan kita. Namun kalau sebaliknya yang terjadi kita makin tidak murah hati, tambah sempit hati, bukannya lemah lembut makin kasar, bukannya makin bisa menguasai diri makin nggak bisa menguasai diri, bukannya makin penuh kasih, makin penuh iri hati. Nah ini saya kira pertanda pasangan ini tidak sepadan dengan kita atau kita memang tidak sepadan dengan dia.

Efesus 5:1, "Sebab itu jadilah penurut-penurut Allah seperti anak-anak yang kekasih dan hiduplah di dalam kasih sebagaimana Kristus Yesus juga telah mengasihi kamu dan telah menyerahkan diri-Nya untuk kita sebagai korban persembahan dan korban yang harum bagi Allah." Jadi yang ditekankan di sini adalah jadi penurut-penurut Allah seperti anak-anak yang kekasih dan hidup di dalam kasih. Kalau kita sepadan dengan pasangan kita, kita akan mirip dengan Allah, dengan Tuhan Yesus sendiri kita menjadi penurut-penurut Allah. Jadi kalau kita memang sepadan makin hidup di dalam kasih bukan makin hidup dalam kebencian, kepahitan, kekecewaan.

You might also like