You are on page 1of 8

MENUJU POLITIK BERETIKA

Oleh: Sugeng Haryono

ABSTRAK
Berbanding lurusnya perkembangan dunia teknologi dan komunikasi dengan perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari telah berimplikasi pada tata kehidupan di masyarakat, dimana tidak sedikit terkoyaknya pertahanan diri. Di sisi lain, derasnya arus globalisasi telah membawa pengaruh yang luar biasa di dalam tata kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara termasuk di Indonesia. Disadari ataupun tidak disadari proses tatanan masyarakat yang mendunia dengan tidak mengenal batas wilayah telah menerpa dan mengikis benteng pertahanan yang berupa norma. Hantaman gelombang globalisasi telah kita rasakan dalam berbagai bidang kehidupan, baik itu ideologi, ekonomi, sosial, dan budaya. Yang paling menyedihkan dan berimplikasi sangat luas di tanah air, dimana pengaruh dari globalisasi telah memasuki ke ranah politik, sehingga dunia politik tidak lagi menjadi sarana pembelajaran yang bermanfaat bagi kehidupan di masyarakat, yang ada justru sebaliknya. Di sinilah arti pentingnya melakukan perbaikan diri, walaupun tidak langsung serta-merta kita rasakan, tetapi ini akan menjadi rangsangan dikemudian hari untuk mewujudkan konsep manusia Indonesia seutuhnya, seperti yang tertuang di dalam Pembukaan UUD 1945, dan di situlah muaranya untuk pencapaian pada terciptanya manusia Indonesia seutuhnya yang akan terbangun suatu kecerdasan intelektual,

kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual, yang endingnya bisa ke arah keseimbangan antara akhlak, hati nurani, dan nafsu, sehingga kelak tidak ada yang memanfaatkan orang lain, yang ada saling berebut untuk bisa bermanfaat bagi orang lain.

Pendahuluan

Ranah politik yang tidak beretika dan telah meninggalkan norma-norma yang ada, telah berdampak pada tataran kehidupan di masyarakat dan telah menjauhkan dari kemartabatan serta kepatutan sebagai bangsa yang beradab dan berbudaya. Sehingga tidak mengherankan hampir di setiap media cetak dan media elektronik yang salah satunya media televisi, kebanyakan para politisi saling serang, dan saling mempermalukan yang satu dengan yang lainnya. Seharusnya mereka lebih membuka diri untuk lebih memahami arti pentingnya etika politik dan komunikasi politik, seperti yang ditulis oleh Dr. Wahyu Wibowo, Tajuk Rencana, Selasa 01 Juni 2010, Etika politik menjadi penting dan tak terbantahkan jika penerapannya dipertalikan dengan praktik komunikasi politik yang etis. Dalam konteks ini, praktik tesebut diandaikan akan menemukan hakikatnya, jika subjek-subjek yang memraktikkannya memahami bahwa nilai, makna, dan norma moral ditentukan oleh pengetahuan-kekuasaan. Dan sudah sepantasnya, ini bisa menjadikan kognisi untuk meretas jalan menuju etika politik dan membangun komunikasi politik dan bisa dijadikan jembatan bagi politisi dan elemen terkait lainnya. Pada kenyataannya, tidak adanya kemauan yang kuat untuk perbaikan diri, perbaikan yang dimulai dari diri sendiri yang bisa berinteraksi sosial untuk membangun etika politik dan komunikasi politik untuk kelangsungan dalam tata kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih beretika dan bermoral. Banyak kasus yang dipertontonkan di media cetak dan elektronik, yang salah satunya, seperti yang ditulis oleh Dr. Wahyu Wibowo, Tajuk Rencana, Selasa 01 Juni

2010, Akan tetapi, andai hendak direnungi, kehidupan berbangsa dan bernegara kita sebenarnya selalu diwarnai oleh tiga bentuk kejahatan, yakni kekerasan, politik uang, dan korupsi. Ketiga bentuk ini tentunya amat lekat dengan praktik kekuasaan, sehingga sulit untuk tidak mengatakan bahwa ketiganya adalah simbol pertarungan demi kekuasaan. Itu sebabnya, hemat saya, mengukur keberhasilan SBY dan kabinet jilid duanya harus dari tingkat kesadaran tentang pentingnya penerapan etika politik. Perihal seperti ini, seharusnya mendapat perhatian yang serius dari pemerintah, bukan hanya sebagai retorika dan bahan kajian saja. Kalau saja pemerintah dan anggota legislatif menyadari, apa yang masyarakat rasakan, akibat suatu keputusan politik yang menimbulkan permasalahan yang begitu kompleks yang terus melilit tanpa berkesudahan, itu merupakan salah satu efek dari keputusan politik yang tidak dilandasi dengan etika politik. Semua keputusan politik seharusnya mengacu pada apa yang menjadi dasar dan konstitusi negara, karena di sanalah telah diatur tentang tata kelola dalam menjalankan roda pemerintahan. Dan di sana pula terdapat secara jelas, apa yang menjadi tujuan kita berbangsa dan bernegara. Dari pemilu ke pemilu berikutnya, akan tetap seperti ini dan mungkin akan lebih parah dari ini, karena mereka dalam tata kelola pemerintahan telah mengesampingkan apa yang telah menjadi landasan dan konstitusi negara di dalam tata kehidupan berbangsa dan bernegara, maka tak heran dari waktu ke waktu akan selalu di ikuti permasalahan yang terus menumpuk karena tidak berpijak secara sungguhsungguh pada landasan dan konstitusi negara, sehingga sudah bisa di pastikan permasalahan itu akan selalu mengikuti dan terus mengikuti. Diibaratkan benang, akan tambah kusut dari waktu ke waktu, sehingga mereka tidak akan bisa untuk mengurai benang yang kusut. Sudah saatnya pemerintahan saat ini mengedepankan etika politik dan perilaku politik yang baik dalam membawa bangsa Indonesia kedepan.

Analisis
Etika, asal kata serapan dari ethos, berasal dari bahasa yunani, yang berarti watak kesusilaan atau adat. Menurut kamus Bahasa Indonesia, merupakan ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). Dalam kaitannya dengan tata kehidupan berpolitik, semestinya, sesuatu keputusan politik hendaknya dilandasi dengan moral. Pada kenyataannya di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, politik dijadikan alat untuk memperkokoh kekuasaanya untuk kepentingan pribadi dan kelompok, maka tidak mengherankan kalau permasalahan yang dihadapi bangsa ini tidak pernah terselesaikan. Akumulasi krisis kemiskinan sosial dan ekonomi yang kita rasakan telah membuat bangsa ini keluar dari rel atau tatanan yang ada, dan ditambah krisis kemiskinan akhlak dan mental yang tumbuh disegala lini segi kehidupan yang menambah kompleksitas dan rumitnya permasalahan bangsa Indonesia. Tekanan krisis kemiskinan sosial dan ekonomi yang bangsa Indonesia rasakan telah menjadikan ke arah pertentangan, permusuhan, saling menghujat, saling mencacimaki, menghina, mengolok-olok, saling serang, dan saling mempermalukan yang satu dengan yang lainnya antar anak bangsa, dan telah menjauhkan dari rasa solidaritas dan kebersamaan kita sebagai bangsa Indonesia. Krisis kemiskinan akhlak dan mental yang menjalar begitu cepat dan susah untuk dikendalikan bahkan sudah menjadi tradisi atau budaya yang telah menjadikan bangsa ini menjauh dan terus menjauh dari kemartabatan dan kepatutan. Seharusnya kita bisa menyatukan antara jiwa dan raga serta ucapan dan tindakan semata-mata karena Allah ta'ala untuk kemakmuran dan kemajuan bangsa Indonesia, sehingga nantinya bisa menjadi suri teladan bagi generasi selanjutnya. Tetapi apa yang terjadi sekarang ? Badan atau raga di dekatkan dengan Allah ta'ala, akan tetapi ruh dan jiwa sengaja di jauhkan dengan Allah ta'ala. Ibadah ya terus beribadah, raga di bawa di hadapkan Allah ta'ala, sementara ruh, jiwa, dan hati di bawa ke hal lain yaitu korupsi, dan lain-lain. Krisis kemiskinan sosial, ekonomi, akhlak, dan mental telah melunturkan rasa nasionalisme dan jati diri bangsa Indonesia. Dan semakin menjatuhkan

kemartabatan bangsa Indonesia itu sendiri, maka tak heran kalau Malaysia dengan sengaja dan berani melecehkan, menghina, menampar harkat dan martabat kita sebagai anak bangsa Indonesia. Apa yang kita dapat kita perbuat ? Tidak banyak yang dapat kita perbuat, sama persis, seperti cerita orang kaya yang melecehkan dan menghina orang miskin. Apa yang dapat diperbuat orang miskin ? Tidak banyak yang dapat diperbuat oleh orang miskin. Apalagi orang miskin yang telah terkikis harkat dan martabatnya. Orang miskin tidak akan berani membalas atau melawan pada orang yang kaya, karena orang miskin tidak mempunyai apa-apa atau tidak mempunyai kebanggan untuk melawan orang yang kaya. Orang miskin hanya pasrah sambil membalikan badan dan hanya menggrutu di dalam hatinya. Sekarang apa yang akan kita perbuat terhadap Malaysia yang adigang adigung adiguna ? Sama persis seperti orang miskin tadi, kita tidak bisa berbuat apa-apa, kita hanya bisa mengedepankan diplomatik dengan sedikit polesan, bahwa perang bukan jalan yang terbaik, kita harus selesaikan dengan cara dialok yang sebenarnya untuk menutupi kelemahan kita, dan memang hanya itu senjatanya. Kita tidak mungkin dengan jalan perang. Karena kalau jalan perang dilakukan kita akan lebih terpuruk lagi dan akan jatuh ke jurang kemiskinan, dengan menambah beban hutang yang semakin menumpuk dan terus menumpuk. Perang dengan Malaysia memang bukan jalan terbaik, karena kita saat ini bukan tandingannya. Secara finansial, perekonomian, peralatan militer, dan dukungan Malaysia (UK dan sekutunya) jauh lebih unggul dari kita. Justru kita harus berhati-hati jangan sampai terprovokasi dalam permainan Malaysia. Kalau kita terpancing dan menyerang lebih dulu berarti kita sudah masuk perangkap permainan Malaysia. Dan Malaysia sudah mempunyai legalitas untuk menyerang balik dengan berbagai alasan dan pembenaran yang tidak masuk di akal. Mungkin legalitas ini, yang selama ini ditunggu-tunggu Malaysia, karena banyak kejadian yang bersifat provokatif dan memancing supaya kita marah dan menyerang dengan melanggar zona wilayah kedaulatan kita, di sekitar ambalat, setelah Ligitan dan Sipadan berhasil dicaplok. Kita belum saatnya untuk perang, justru kita harus banyak berbenah, untuk melakukan perbaikan diri, suatu perbaikan yang dimulai dari diri sendiri. Apalagi perbaikan diri yang dibarengi dengan

berinteraksi sosial akan sangat berpengaruh di dalam tata kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, termasuk di dalamnya perbaikan berpolitik. Etika politik yang dibangun bangsa Indonesia seharusnya, etika politik yang tidak bisa dipisahkan dengan Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, karena Pancasila merupakan dasar negara, Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, Pancasila sebagai ideologi negara. Ketiga hal itu tidak bisa dipisah-pisahkan dan merupakan satu-kesatuan yang utuh, dan UndangUndang Dasar 1945 yang merupakan konstitusi negara yang mengatur sistem ketatanegaraan dan pemerintahan.

Penutup
Perbaikan yang di mulai dari diri sendiri, bisa menumbuhkan dan mengembangkan rasa kecintaan kita pada bangsa dan Negara, yang berimplikasi pada perbaikan tataran politik yang lebih beretika, karena sudah menjadi kewajiban kita sebagai warga negara Indonesia. Kalau bukan kita yang mencintai negeri ini, siapa lagi, untuk itu, kita bersama-sama memahami dan melaksanakan hak dan kewajiban secara santun, jujur dan demokratis sebagai warga negara Republik Indonesia yang terdidik dan bertanggungjawab, serta diharapkan mampu untuk menghayati, memahami, dan mengimplementasikan Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga nantinya dapat mengatasi berbagai masalah dasar di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan pemikiran kritis dan bertanggungjawab. Sedang dalam menghadapi globalisasi dan menatap masa depan untuk mengisi kemerdekaan, kita sebagai bagaian dari bangsa Indonesia harus tetap pada jati dirinya untuk menuju kemandirian dan kemartabatan kita sebagai bangsa Inonesia,. Berbenah diri atau melakukan perbaikan diri, perbaikan yang di mulai dari diri sendiri dengan harapan mampu untuk memahami, menganalisis dan menjawab masalah-masalah yang dihadapi masyarakat, bangsa dan negara secara berkesinambungan dan konsisten dengan tujuan dan cita-cita kita di dalam berbangsa dan bernegara sebagaimana yang diamanatkan di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Daftar Pustaka
http://www.tajukrencanahariini.blogspot.com/

You might also like