You are on page 1of 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang
Salah satu prioritas pembangunan nasional di bidang kesehatan adalah upaya
perbaikan gizi yang berbasis sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal. Kurang
gizi akan berdampak pada penurunan kualitas SDM yang lebih lanjut dapat berakibat
pada kegagalan pertumbuhan Iisik, perkembangan mental dan kecedasan,
menurunkan produktivitas, meningkatkan kesakitan serta kematian. Visi
pembangunan gizi adalah 'mewujudkan keluarga mandiri sadar gizi untuk mencapai
status gizi masyarakat/keluraga yang optimal. (Wiku Adisasmito, 2008)
Memiliki anak yang sehat dan pintar merupakan idaman setiap orang tua,
khususnya anak balita. Anak balita adalah anak yang telah menginjak usia diatas 1
tahun atau lebih populer dengan pengertian usia anak dibawah 5 tahun. Masa balita
merupakan usia penting dalam tumbuh kembang anak secara Iisik (Hindah Muaris,
2006).
Masa anak usia 1-5 tahun (balita) adalah masa pada mana anak sangat
membutuhkan makanan dan gizi dalam jumlah yang cukup dan memadai.
Kekurangan gizi pada masa ini dapat menimbulkan gangguan tumbuh kembang. Pada
masa ini juga, anak masih benar-benar tergantung pada perawatan dan pengasuhan
oleh ibunya.
Faktor yang mempengaruhi memburuknya keadaan gizi, yaitu pelayanan
kesehatan yang tidak memadai, penyakit inIeksi, pola asuh, konsumsi makanan yang
kurang, dan lain-lain yang pada akhirnya berdampak pada kematian (Wiku
Adisasmito, 2008).
Pengasuhan adalah pengalaman, ketrampilan, kualitas dan tanggung jawab sebagai
orangtua dalam mendidik dan merawat anak. Ada 2 Iaktor yang saling berkaitan
untuk tumbuh kembang anak yaitu interaksi ibu dan anak secara timbal balik dan
pemberian stimulasi, sehingga pengasuhan adalah bentuk interaksi dan pemberian
stimulasi dari orang dewasa di sekitar kehidupan anak (Dwi Hastuti, 2010)
Dengan mengacu kepada konsep dasar tumbuh kembang maka secara konseptual
pengasuhan adalah upaya dari lingkungan agar kebutuhan-kebutuhan dasar anak
untuk tumbuh kembang (asuh, asih, dan asuh) terpenuhi dengan baik dan benar,
sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal (yohana sari,2011)
Oleh sebab itu pola asuh dari orang tua merupakan suatu Iaktor yang dapat
mempengarui ketersedian gizi untuk anaknya, baik gizi tersebut terpenuhi maupun
tidak. Kekurangan gizi untuk balita berdampak pada tumbuh kembangnya hingga
berdampak pada kematian.
Berdasarkan data Direktorat Bina Gizi Kementerian Kesehatan pada 2010 tercatat
43.616 anak balita gizi buruk. Angka ini lebih rendah dibandingkan tahun 2009 yang
berjumlah 56.941 anak. Namun, angka penderita gizi buruk pada 2010 masih lebih
tinggi dibandingkan 2008 yang berjumlah 41.290 anak. Berdasarkan data Riset
Kesehatan Dasar 2010, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) adalah provinsi dengan
tingkat prevalensi gizi buruk balita tertinggi, yakni sebesar 10,6 persen. Disusul NTT
(9,6 persen), Kalbar (9,5 persen), Gorontalo (9,2 persen), dan Papua Barat (9,1
persen). Sedangkan, prevalensi gizi buruk di Pulau Jawa tertinggi adalah Banten dan
Jatim sebesar 4,8 persen. Disusul Jateng (3,3 persen), Jabar (3,1 persen), DKI Jakarta
(2,6 persen), dan DI Yogyakarta (1,4 persen).
Berdasarkan data diatas provinsi Kalimantan Barat berada pada urutan ke-3 setelah
provinsi NTT yaitu sebesar 9,5 persen. Oleh karena itu, kasus gizi buruk di
Kalimantan Barat perlu mendapat tanggapan yang serius dari pemerintah yang terkait
guna mengatasi masalah gizi buruk yang selalu menigkat tiap tahunnya.
Menurut Andy Jap, Kepala Dinas Kesehatan Kalimantan Barat di Pontianak Post
16 Maret 2011, Balita kurang gizi mencapai 8.000 dari total 200 ribu balita di
Kalimantan Barat. Dari 8.000 itu, 1.300 balita mengalami gizi buruk. Balita kurang
gizi sebanyak 8.000 atau 4,3 persen dari jumlah seluruh balita di Kalbar. Yang
mengalami gizi buruk sebanyak 0,63 persen atau 1.300 dari 8.000 balita kurang gizi.
Menurut data Dinkes Kalbar, sepanjang 2010 terjadi 599 kasus gizi buruk dan 10
anak meninggal dunia. Paling banyak berada di Kapuas Hulu dan Bengkayang,
masing-masing 117 kasus dan 112 kasus gizi buruk. Diikuti Sanggau sebanyak 94
kasus, Sambas 87 kasus, Sintang 25 kasus, Kubu Raya 21 kasus, dan Sekadau dua
kasus.
Pada daerah lainnya, kasus gizi buruk menyebabkan korban jiwa, yakni pada Kota
Pontianak terjadi 30 kasus dan 1 meninggal dunia, Landak 38 kasus dengan 4
meninggal dunia, Melawi 17 kasus dan 1 meninggal dunia, Ketapang 20 kasus dan 1
meninggal dunia, serta Kayong Utara 6 kasus dan 2 meninggal dunia.
Menurut Multi Juto Bhatarendo Kepala Dinas Kesehatan Kota Pontianak, di
Pontianak Post 16 Maret 2011, mengatakan gizi buruk di wilayah Pontianak
disebabkan tiga Iaktor. Pertama, karena inIeksi pada ibu hamil maupun pada balita.
Gizi buruk yang disebabkan inIeksi ini mencapai 50 persen dari kasus yang ada.
Ketika balita mengalami inIeksi dan dibawa orangtuanya ke rumah sakit, seharusnya
digratiskan. Tetapi kenyataannya, rumah sakit menganggapnya sebagai pasien biasa.
Penyebab kedua adalah ketidakcukupan gizi karena ketidakmampuan orangtua dari
sisi ekonomi. Kondisi ini mencapai 25 persen. Untuk mengatasinya adalah dengan
melakukan penguatan sisi ekonomi. Terakhir, 25 persen gizi buruk disebabkan salah
asuhan. Berdasarkan hal tersebut diatas maka penulis tertarik meneliti hubungan
antara pola asuh orang tua terhadap gizi burk balita di puskesmas...

1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka yang menjadi rumusan masalah adalah
hubungan antara pola asuh orang tua terhadap gizi buruk balita di puskesmas..
1.3 Tujuan penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Untuk mengetahui hubungan antara pola asuh orang tua terhadap gizi buruk balita
di puskesmas.
1.3.2 Tujuan khusus
a. untuk mengetahui gambaran status gizi anak balita di puskesmas.
b. untuk mengetahui pola asuh orang tua pada anak balita di puskesmas..
c. untuk mengetahui hubungan pola asuh orang tua terhadap status gizi balita
di puskesmas
1.4 Manfaat penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan agar dapat memberikan inIormasi yang bermanIaat:
1. Bagi Puskesmas
Sebagai masukkan bagi Puskesmas dalam membuat program kesehatan untuk
mengatasi status gizi balita.
2. Bagi Orang Tua
Untuk memberikan inIormasi mengenai prilaku orang tua terhadap status gizi
balita.

3. Bagi Peneliti
Sebagai bahan masukkan bagi pihak yang melanjutkan penelitian ini ataupun
melakukan penelitian yang ada hubungannya dengan penelitian.
BAB II
TIN1AUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Pola Asuh
2.1.1 Pengertian Pola Asuh
Pola asuh bisa dartikan sebagai pola interaksi antara orang tua dan anak,yaitu
bagaimana cara sikap atau perilaku orang tua saat berinteraksi dengan anak,termasuk
cara penerapan aturan,mengajarkan nilai / norma,memberikan perhatian dan kasih
sayang serta menunjukkan sikap dan perilaku baik sehingga dijadikan panutan bagi
anaknya. (Theresia,2009)
Pola Asuh menurut agama adalah cara memperlakukan anak sesuai dengan
ajaran agama berarti memahami anak dari berbagai aspek,dan memahami anak
dengan memberikan ola asuh yang baik ,menjaga anak dan harta anak yatim,
menerima, memberi perlindungan, pemeliharaan, perawatan dan kasih sayang sebaik-
baiknya. (QS Al Baqoroh:220)
Dari beberapa pengertian maka yang dimaksud pola asuh adalah cara orang tua
bertindak sebagai suatu aktivitas kompleks yang melibatkan banyak perilaku spesiIik
secara individu atau bersama-sama sebagai serangkaian usaha aktiI untuk
mengarahkan anaknya.
2.1.2 Macam macam Pola Asuh Orang Tua
Menurut Baumrind,(dikutip oleh Wawan Junaidi,2010), terdapat 4 macam pola
asuh orang tua :
a. Pola Asuh Demokratis
Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak,
akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Orang tua dengan pola asuh ini
bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio atau pemikiran-pemikiran.
Orang tua tipe ini juga bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap
yang berlebihan yang melampaui kemampuan anak. Orang tua tipe ini juga
memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan,
dan pendekatannya kepada anak bersiIat hangat.
b. Pola asuh Otoriter
Pola asuh ini cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti, biasanya
dibarengi dengan ancaman-ancaman. Orang tua tipe ini cenderung memaksa,
memerintah, menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan apa yang dikatakan
oleh orang tua, maka orang tua tipe ini tidak segan menghukum anak. Orang tua tipe
ini juga tidak mengenal kompromi dan dalam komunikasi biasanya bersiIat satu arah.
Orang tua tipe ini tidak memerlukan umpan balik dari anaknya untuk mengerti
mengenai anaknya.
c. Pola asuh PermisiI
Pola asuh ini memberikan pengawasan yang sangat longgar. Memberikan kesempatan
pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup darinya.
Mereka cenderung tidak menegur atau memperingatkan anak apabila anak sedang
dalam bahaya, dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh mereka. Namun
orang tua tipe ini biasanya bersiIat hangat, sehingga seringkali disukai oleh anak.
d. Pola asuh Penelantar
Orang tua tipe ini pada umumnya memberikan waktu dan biaya yang sangat minim
pada anak-anaknya. Waktu mereka banyak digunakan untuk keperluan pribadi
mereka, seperti bekerja, dan juga kadangkala biaya pun dihemat-hemat untuk anak
mereka. Termasuk dalam tipe ini adalah perilaku penelantar secara Iisik dan psikis
pada ibu yang depresi. Ibu yang depresi pada umumnya tidak mampu memberikan
perhatian Iisik maupun psikis pada anak-anaknya.

2.1.3 Faktor Iaktor yang mempengaruhi pola asuh
Setiap orang mempunyai sejarah sendiri sendiri dan latar belakang yang seringkali
sangat jauh berbeda. Perbedaan ini sangat memungkinkan terjadinya pola asuh yang
berbeda terhadap anak. Menurut Maccoby & Mc loby ada beberapa Iaktor yang
mempengaruhi pola asuh orang tua yaitu:
a. Sosial ekonomi
Lingkungan sosial berkaitan dengan pola hubungan sosial atau pergaulan yang
dibentuk oleh orang tua maupun anak dengan lingkungan sekitarnya. Anak yang
sosial ekonaminya rendah cenderung tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang
lebih tinggi atau bahkan tidak pernah mengenal bangku pendidikan sama sekali
karena terkendala oleh status ekonomi.
b. Pendidikan
Pendidikan berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja
terhadap anak didik oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa. Latar belakang
pendidikan orang tua dapat mempengaruhi pola pikir orang tua baik Iormal maupun
non Iormal kemudian juga berpengaruh pada aspirasi atau harapan orang tua kepada
anaknya.

c. Nilai-nilai agama yang dianut orang tua
Nilai nilai agama juga menjadi salah satu hal yang penting yang ditanamkan orang
tua pada anak dalam pengasuhan yang mereka lakukan sehingga lembaga keagamaan
juga turut berperan didalamnya.
d. Kepribadian
Dalam mengasuh anak orang tua bukan hanya mampu mengkomunikasikan Iakta,
gagasan dan pengetahuan saja, melainkan membantu menumbuhkembangkan
kepribadian anak (Riyanto, 2002). Pendapat tersebut merujuk pada teori Humanistik
yang menitikberatkan pendidikan bertumpu pada peserta didik, artinya anak perlu
mendapat perhatian dalam membangun sistem pendidikan. Apabila anak telah
menunjukkan gejala-gejala yang kurang baik, berarti mereka sudah tidak
menunjukkan niat belajar yang sesungguhnya. Kalau gejala ini dibiarkan terus akan
menjadi masalah di dalam mencapai keberhasilan belajarnya

2.1.4 Pola Asuh Orang Tua Dalam Keluarga
Dalam kehidupan sehari-hari orang tua secara sadar atau tidak memberikan
contoh yang kurang baik terhadap anaknya.misalnya meminta tolong dengan nada
mengancam, tidak mau mendengarkan cerita anak tentang sesuatu hal, member
nasihat tidak pada tempatnya dantidal pada waktu yang tepat, berbicara kasar pada
anak,terlalu mementingkan diri sendiri, tidak mau mengakui kesalahan yang telah
dilakukan.Beberapa contoh sikap dan perilaku diatas berdampak negative terhadap
perkembangan jiwa anak.Sehingga eIek negative yang terjadi adalah anak memiliki
sikap keras hati,manja, keras kepala, pemalas, pemalu dam lain- lain.Semua perilaku
diatas dipengaruhi oleh pola pendidikan orng tua .Pola asuh orang tua akan
mempengaruhi perkembangan jiwa anak.Tipe kepemimpinan orang tua berdampak
pada pol aasuh yamg terhadap anaknya. Disisi lain pola asuh orang tua bersiIat
demikkratis atau otoriter, atau bahkan pada sisis lain bersiIat laissez Iaire atau tipe
campuran antara demokratis dan otoriter, (SyaiIul, 2004)
Menurut Syamsu YusuI (2009), pola perilakuan orang tua dalam pengasuhan
anak sebagai berikut:
1) Overprotection (terlalu melindungi)
a. Perilaku Orang Tua:
O Kontak berlebihan pada anak
O Pemberian bantuan yang terus menerus, meskipun anak sudah mampu
sendiri
O Pengawasan kegiatan anak yang berlebihan
O Memcahkan masalah anak
b. ProIil Tingkahlaku Anak:
O Perasaan tidak aman
O AgresiI dan dengki
O Mudah merasa gugup
O Melarikan diri dari kenyataan
O Sangat tergantung
O Ingin menjdi pusat perhatian
O Bersikap menyerah
O Kurang mampu mengendalikan emosi
O Menolak tanggung jawab
O Suka bertengkar
O Sulit bergaul
O Pembuat onar (troubelmaker)
2) Permissiveness (pembolehan)
a. Perilaku Orangtua
O Memberikan kebebasan untuk berIikir
O Menerima pendapat
O Membuat anak lebih diterima dan merasa kuat
O Toleran dan memahami kelemahan anak
O enderung lebih suka member yang diminta anak daripada menerima
b. ProIil Tingkahlaku Anak
O Pandai mencari jalan keluar
O Dapat bekerjasama
O Percaya diri
O Penuntut dan tidak sabaran
3) Rejection (Penolakan)
a. Perilaku Orangtua
O Bersikap masa bodoh
O Bersikap kaku
O Kurang memperdulikan kesejahteraan anak
O Menampilkan sikap permusuhan atau dominasi terhadap anak
b. ProIil Tingkahlaku Anak
O AgresiI(mudah mara,gelisah, tidak patuh, suka bertengkar dan nakal)
O Submissive(kurang dapat mengerjakan tugas, pemalu suka
mengasingkan diri, mudah tersinggung dan penakut)
O Sulit bergaul
O Pendiam
O Sadis
4) Acceptance (penerimaan)
a. Perilaku Orangtua
O Memberikan perhatian dan cinta kasih yang tulus pada anak
O Menempatkan anak pada posisi yang penting di dalam rumah
O Mengebangkan hubungan yang hangat dengan anak
O Bersikap respek terhadap anak
O Mendorong anak untuk menyatakan perasaan atau pendapatnya
O Berkomunikasi dengan anak secara terbuka dan mau mendengarkan
masalahnya
b. ProIil Tingkahlaku Anak
O Mau bekerjasama
O Bersahabat
O Loyal
O mosinya stabil
O eria dan bersikap optimis
O Mau menerima tanggung jawab
O Jujur
O Dapat dipercaya
O Memiliki perencanaan baik di masa depan
O Bersikap realistic (memahami kelebihan dan kekurangan secara
obyektiI)
5) Domination (dominasi)
a. Perilaku Orangtua
O Mendominasi Anak
b. ProIil Tingkahlaku Anak
O Bersikap sopan dan sangat hati-hati
O Pemalu, penurut, dan mudah bingung
O Tidak dapat bekerjasama
6) Submission (penyerahan)
a. Perilaku Orangtua
O Selalu memberi sesuatu yang diminta anak
O Membiarkan anak berperilaku semaunya sendiri

b. ProIil Tingkahlaku Anak
O Tidak patuh
O Tidak bertanggung jawab
O AgresiI dan teledor
O Bersikap otoriter
O Terlalu percaya diri
7) Punitiveness/Overdiscipline (terlalu disiplin)
a. Perilaku Orangtua
O Mudah memberikan hukuman
O Menanamkan kedisiplinan sangat keras
b. ProIil Tingkahlaku Anak
O ImpulsiI
O Tidak dapat mengambil keputusan
O Nakal
O Sikap bermusuhan atau gresiI
Dari ketujuh sikap atau perlakuan orangtua itu, tampak bahwa sikap acceptance
merupakan yang paling baik untuk dimiliki atau dikembangkan oleh orang tua



2.2 Konsep Gizi Buruk
2.2.1 Pengertian
Tujuan utama pembangunan nasional adalah peningkatan kualitas sumber daya
manuasia (SDM) yang dilakukan secara berkelanjutan. Upaya peningkatan kualitas
SDM dimulai dengan perhatian utama pada proses tumbuh kembang anak sejak
pembuahan sampai mencapai dewasa muda. Pada masa tumbuh kembang ini,
pemenuhan kebutuhan dasar anak seperti perawatan dan makanan bergizi yang
diberikan dengan penuh kasih sayang dapat membentuk SDM yang sehat, cerdas dan
produktiI.
Masalah gizi adalah masalah kesehatan masyarakat yang penanggulangannya
tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan pelayanan kesehatan saja.
Masalah gizi disamping merupakan sindrom kemiskinan yang erat kaitannya dengan
masalah ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dan juga menyangkut aspek
pengetahuan serta perilaku yang kurang mendukung pola hidup sehat. Keadaan gizi
masyarakat akan mempengaruhi tingkat kesehatan dan umur harapan hidup yang
merupakan salah satu unsur utama dalam penentuan keberhasilan pembangunan
negara yang dikenal dengan istilah Human Development Index (HDI).
Data Susenas menunjukkan bahwa prevalensi gizi kurang menurun dari 37,5
(1989) menjadi 24,6 (2000). Namun kondisi tersebut tidak diikuti dengan
penurunan prevalensi gizi buruk bahkan prevalensi gizi buruk cenderung meningkat.
Gizi buruk adalah suatu kondisi di mana seseorang dinyatakan kekurangan
nutrisi, atau dengan ungkapan lain status nutrisinya berada di bawah standar rata-rata.
Nutrisi yang dimaksud bisa berupa protein, karbohidrat dan kalori. Di Indonesia,
kasus KP (Kurang nergi Protein) adalah salah satu masalah gizi utama yang
banyak dijumpai pada balita.( Notoatmojo, S. 2003)
Menurut Wiku (2008), gizi buruk adalah bentuk terparah (akut) dari proses
terjadinya kekurangan gizi, merupakan keadaan kurang gizi tingkat berat yang
disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dan makanan sehari-hari dan
terjadi dalam waktu yang cukup lama.
2.2.2 Penyebab Gizi Buruk
Banyak Iaktor yang mengakibatkan terjadinya kasus gizi buruk. Menurut
UNIF ada dua penyebab langsung terjadinya gizi buruk, yaitu :
a. Kurangnya asupan gizi dari makanan. Hal ini disebabkan terbatasnya jumlah
makanan yang dikonsumsi atau makanannya tidak memenuhi unsur gizi yang
dibutuhkan karena alasan sosial dan ekonomi yaitu kemiskinan.
b. Akibat terjadinya penyakit yang mengakibatkan inIeksi. Hal ini disebabkan
oleh rusaknya beberapa Iungsi organ tubuh sehingga tidak bisa menyerap zat-
zat makanan secara baik.
Faktor lain yang mengakibatkan terjadinya kasus gizi buruk yaitu:
a. Faktor ketersediaan pangan yang bergizi dan terjangkau oleh masyarakat
b. Perilaku dan budaya dalam pengolahan pangan dan pengasuhan asuh anak
c. Pengelolaan yang buruk dan perawatan kesehatan yang tidak memadai.
Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), ada 3 Iaktor penyebab gizi buruk
pada balita, yaitu:
a. Keluarga miskin
b. Ketidaktahuan orang tua atas pemberian gizi yang baik bagi anak
c. Faktor penyakit bawaan pada anak, seperti: jantung, TB, HIV/AIDS,
saluran pernapasan dan diare.
2.2.3 Dua Tipe Gizi Buruk
a. Kwasiorkor
Nama kwashiorkor berasal dari suatu daerah di AIrika, artinya 'penyakit anak
yang terlantar atau disisihkan karena ibunya mengandung alergi dan tidak lagi
memberikan asi pada nya. Tanpa pengganti asi dan tanpa tambahan pangan yang
seimbang anak (umumnya berumur kurang lebih delapan belas bulan).
Kwashiorkor memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1) dema (pembengkakan), umumnya seluruh tubuh (terutama punggung
kaki dan wajah) membulat dan lembab
2) Pandangan mata sayu
3) Rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung dan mudah dicabut
tanpa rasa sakit dan mudah rontok
4) Terjadi perubahan status mental menjadi apatis dan rewel
5) Terjadi pembesaran hati
6) Otot mengecil (hipotroIi), lebih nyata bila diperiksa pada posisi berdiri
atau duduk
7) Terdapat kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan
berubah warna menjadi coklat kehitaman lalu terkelupas (crazy
pavement dermatosis)
8) Sering disertai penyakit inIeksi yang umumnya akut
9) anemia dan diare.
b. Marasmus
Marasmus berarti kelaparan atau anak tak cukup mendapat makanan jenis zat
pangan mana pun, baik protein maupun zat pemberi tenaga. Anak yang sangat
kurus itu hanya separuhnya dari berat sehat sesuai umur.
Adapun marasmus memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1) Badan nampak sangat kurus seolah-olah tulang hanya terbungkus kulit
2) Wajah seperti orang tua
3) Mudah menangis/cengeng dan rewel
4) Kulit menjadi keriput
5) Jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada (baggy
pant/pakai celana longgar)
6) Perut cekung, dan iga gambang
7) Seringdisertai penyakit inIeksi (umumnya kronis berulang)
8) Diare kronik atau konstipasi (susah buang air).
Kedua jenis gizi buruk ini memerlukan usaha perbaikan gizi secara khusus di
rumah sakit. Banyak juga bentuk gizi buruk yang merupakan campuran antara dua
bentuk tersebut.
2.2.4 Pencegahan
Menurut Notoatmojo, S. (2003) terdapat beberapa cara untuk mencegah
terjadinya gizi buruk pada anak, diantaranya sebagai berikut:
a. Memberikan ASI eksklusiI (hanya ASI) sampai anak berumur 6 bulan.
Setelah itu, anak mulai dikenalkan dengan makanan tambahan sebagai
pendamping ASI yang sesuai dengan tingkatan umur, lalu disapih setelah
berumur 2 tahun.
b. Anak diberikan makanan yang bervariasi, seimbang antara kandungan
protein, lemak, vitamin dan mineralnya. Perbandingan komposisinya: untuk
lemak minimal 10 dari total kalori yang dibutuhkan, sementara protein
12 dan sisanya karbohidrat.
c. Rajin menimbang dan mengukur tinggi anak dengan mengikuti program
Posyandu. ermati apakah pertumbuhan anak sesuai dengan standar di atas.
Jika tidak sesuai, segera konsultasikan hal itu ke dokter.
d. Jika anak dirawat di rumah sakit karena gizinya buruk, bisa ditanyakan
kepada petugas pola dan jenis makanan yang harus diberikan setelah pulang
dari rumah sakit.
Jika anak telah menderita karena kekurangan gizi, maka segera berikan kalori
yang tinggi dalam bentuk karbohidrat, lemak, dan gula. Sedangkan untuk proteinnya
bisa diberikan setelah sumber-sumber kalori lainnya sudah terlihat mampu
meningkatkan energi anak. Berikan pula suplemen mineral dan vitamin penting
lainnya. Penanganan dini sering kali membuahkan hasil yang baik. Pada kondisi yang
sudah berat, terapi bisa dilakukan dengan meningkatkan kondisi kesehatan secara
umum. Namun, biasanya akan meninggalkan sisa gejala kelainan Iisik yang
permanen dan akan muncul masalah intelegensia di kemudian hari.
2.3 Konsep Balita
2.3.1 Pengertian
Menurut Wikipedia bahasa Indonesia, Bawah Lima Tahun atau sering disingkat
sebagai Balita merupakan salah satu periode usia manusia setelah bayi sebelum
anak awal. Rentang usia balita dimulai dari dua sampai dengan lima tahun,atau
biasa digunakan perhitungan bulan yaitu usia 24-60 bulan. Periode usia ini disebut
juga sebagai usia prasekolah.
2.3.2 iri khas perkembangan balita
Terdapat dua ciri khas dalam perkembangan balita yaitu:
a. Perkembangan Iisik
Pertambahan berat badan menurun, terutama diawal balita. Hal ini terjadi
karena balita memnggunakan banyak energi untuk bergerak.
b. Perkembangan psikologis
Adapun perkembangan psikologi dibagi menjadi beberapa bagian, diantaranya
yaitu:
1) Psikomotor
Terjadi perubahan yang cukup drastis dari kemampuan psikomotor balita
yang mulai terampil dalam pergerakannya (lokomotion). Mulai melatih
kemampuan motorik kasar misalnya berlari, memanjat, melompat, berguling,
berjinjit, menggenggam, melempar yang berguna untuk mengelola
keseimbangan tubuh dan mempertahankan rentang atensi.
Pada akhir periode balita kemampuan motorik halus anak juga mulai
terlatih seperti meronce, menulis, menggambar, menggunakan gerakan pincer
yaitu memegang benda dengan hanya menggunakan jari telunjuk dan ibu jari
seperti memegang alat tulis atau mencubit serta memegang sendok dan
menyuapkan makanan kemulutnya, mengikat tali sepatu.
2) Aturan
Pada masa balita adalah saatnya dilakukan latihan mengendalikan diri atau
biasa disebut sebagai toilet training. Freud mengatakan bahwa pada usia ini
individu mulai berlatih untuk mengikuti aturan melalui proses penahanan
keinginan untuk membuang kotoran.
3) KognitiI
Pada periode usia ini pemahaman terhadap obyek telah lebih ajeg. Balita
memahami bahwa obyek yang diaembunyikan masih tetap ada, dan akan
mengetahui keberadaan obyek tersebut jika proses penyembunyian terlihat oleh
mereka. Akan tetapi jika prose penghilangan obyek tidak terlihat, balita
mengetahui benda tersebut masih ada, namun tidak mengetahui dengan tepat
letak obyek tersebut. Balita akan mencari pada tempat terakhir ia melihat obyek
tersebut. Oleh karena itu pada permainan sulap sederhana, balita masih
kesulitan untuk membuat prediksi tempat persembunyian obyek sulap.
Kemampuan bahasa balita bertumbuh dengan pesat. Pada periode awal
balita yaitu usia dua tahun kosa kata rata-rata balita adalah 50 kata, pada usia
lima tahun telah menjadi diatas 1000 kosa kata. Pada usia tiga tahun balita
mulai berbicara dengan kalimat sederhana berisi tiga kata dan mulai
mempelajari tata bahasa dari bahasa ibunya.
4) Sosial dan individu
Pada periode usia ini balita mulai belajar berinteraksi dengan lingkungan
sosial diluar keluarga, pada awal masa balita, bermain bersama berarti bersama-
sama berada pada suatu tempat dengan sebaya, namun tidak bersama-sama
dalam satu permainan interaktiI. Pada akhir masa balita, bermain bersama
berarti melakukan kegiatan bersama-sama dengan melibatkan aturan permainan
dan pembagian peran.
Balita mulai memahami dirinya sebagai individu yang memiliki atribut
tertentu seperti nama, jenis kelamin, mulai merasa berbeda dengan orang lain
dilingkungannya. Mekanisme perkembangan ego yang drastis untuk
membedakan dirinya dengan individu lain ditandai oleh kepemilikan yang
tinggi terhadap barang pribadi maupun orang signiIikannya sehingga pada usia
ini balita sulit untuk dapat berbagi dengan orang lain.
Proses pembedaan diri dengan orang lain atau individuasi juga
menyebabkan anak pada usia tiga atau empat tahun memasuki periode
negativistik sebagai salah satu bentuk latihan untuk mandiri.
5) Pendidikan dan pengembangan
ara belajar yang dilakukan pada usia prasekolah ini melalui bermain
serta rangsang dari lingkungannya, terutama lingkungan rumah. Terdapat pula
pendidikan di luar rumah yang melakukan kegiatan belajar lebih terprogram
dan terstruktur, walau tidak selamanya lebih baik.
6) Bermain
a) Permainan peran, melatih kemampuan pemahaman social, contoh:
permainan sekolah, dokter-dokteran, rumah-rumahan dll.
b) Permainan imajinasi melatih kemampuan kreativitas anak
c) Permainan motorik, melatih kemampuan motorik kasar dan halus.
O Motorik Kasar contoh: spider web, permainan palang, permainan
keseimbangan,dll.
O Motorik halus: meronce, mewarnai, menyuap


Daftar Pustaka

Muaris, Hindah. 2006. Sarapan Sehat Untuk Anak Balita. Jakarta: PT. GRAMDIA
PUSTAKA UTAMA
Adisasmito, Wiku. 2008. Sistekesehatan. Jakata: PT. RAJA GRAFINDO PRSADA
Hastuti, Dwi. 2010. http://paudpn.wordpress.com/2010/10/16/pengasuhan-teori-
prinsip-dan-aplikasinya/
Sari, Yohana. 2011. http://posyandu.org/pengasuhan-anak.html
Pontianak Post 16 Maret 2011

Syamsu YusuI. 2009 dalam Psikologi Perkembangan Anak Dan Remaja
Theresia,2009
QS Al Baqoroh:220
Wawan Junaidi,2010
Maccoby & Mc loby
Riyanto, 2002
SyaiIul, 2004
Notoatmojo, S. 2003

You might also like