You are on page 1of 15

PENGERTIN T$&

Definisi Tasawuf

Istilah "tasawuI"(suIism), yang telah sangat populer digunakan selama berabad-
abad, dan sering dengan bermacam-macam arti, berasal dari tiga huruI Arab, sha, waudan Ia.
Banyak pendapat tentang alasan atas asalnya dari sha wa Ia. Secara bahasa tasawuI sendiri
diartikan sebagai SuIisme adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa,
menjernihan akhlaq, membangun lahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang abadi.
TasawuI secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha untuk menyucikan jiwa sesuci
mungkin dalam usaha mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga kehadiran-Nya senantiasa
dirasakan secara sadar dalam kehidupan. Ibn al-Khaldun pernah menyatakan bahwa tasawuI para
sahabat bukanlah pola ketasawuIan yang menghendaki kasyI al-hijab (penyingkapan tabir antara
Tuhan dengan makhluk) atau hal-hal sejenisnya yang diburu oleh para suIi di masa belakangan.
Corak suIisme yang mereka tunjukkan adalah ittiba` dan iqtida` (kesetiaan meneladani) perilaku
hidup Nabi.
Islam sekalipun mengajarkan tentang ketakwaan, qana`ah, keutamaan akhlak dan juga keadilan,
tetapi sama sekali tidak pernah mengajarkan hidup kerahiban, pertapaan atau uzlah sebagaimana
akrab dalam tradisi mistisisme agama-agama lainnya. Abdul Qadir Mahmud menyatakan bahwa
pola hidup suIistik yang diteladankan oleh sirah hidup Nabi dan para sahabatnya masih dalam
kerangka zuhud. Kata Ahmad Sirhindi, tujuan tasawuI bukanlah untuk mendapat pengetahuan
intuitiI, melainkan untuk menjadi hamba Allah. Menurutnya, tidak ada tingkatan yang lebih
tinggi dibanding tingkat abdiyyat (kehambaan) dan tidak ada kebenaran yang lebih tinggi di luar
syariat. Jadi, orientasi Iundamental dalam perilaku suIistik generasi salaI adalah istiqamah
menunaikan petunjuk agama dalam bingkai ittiba`, dan bukannya mencari karomah atau
kelebihan-kelebihan supranatural.


Ada yang berpendapat, kata itu berasal dari shaIa yang berarti kesucian. Menurut
pendapat lain kata itu berasal dari kata kerja bahasa Arab saIwe yang berarti orang-orang yang
terpilih. Makna ini sering dikutip dalam literatur suIi. Sebagian berpendapat bahwa kata itu
berasal dari kata shaIwe yang berarti baris atau deret. Yang menunjukkan kaum Muslim awal
yang berdiri di baris pertama dalam shalat atau dalam perang suci.
Sebagian lainnya lagi berpendapat bahwa kata itu berasal dari shuIIa, yaitu serambi rendah yang
terbuat dari tanah liat dan sedikit menyembul di atas tanah di luar Masjid Nabi di Madinah,
tempat orang-orang miskin berhati baik yang mengikuti beliau sering duduk disitu. Ada pula
yang menganggap bahwa kata TasawuI berasal dari shuI yang berarti bulu domba, yang
menunjukkan bahwa orang-orang yang tertarik pada pengetahuan batin kurang memperdulikan
penampilan lahiriahnya dan sering memakai jubah sederhana yang terbuat dari bulu domba
sepanjang tahun.
Ada beberapa sumber perihal etimologi dari kata 'SuIi. Pandangan yang umum adalah
kata itu berasal dari SuI (- -), bahasa Arab untuk wol, merujuk kepada jubah sederhana yang
dikenakan oleh para asetik Muslim. Namun tidak semua SuIi mengenakan jubah atau pakaian
dari wol. Teori etimologis yang lain menyatakan bahwa akar kata dari SuIi adalah SaIa (' - -),
yang berarti kemurnian. Hal ini menaruh penekanan pada SuIisme pada kemurnian hati dan jiwa.
Teori lain mengatakan bahwa tasawuI berasal dari kata Yunani theosoIie artinya ilmu ketuhanan.
Yang lain menyarankan bahwa etimologi dari SuIi berasal dari 'Ashab al-SuIIa ('Sahabat
Beranda) atau 'Ahl al-SuIIa ('Orang orang beranda), yang mana adalah sekelompok muslim
pada waktu Nabi Muhammad yang menghabiskan waktu mereka di beranda masjid Nabi, yang
mendedikasikan waktunya untuk berdoa.
Secara harIiah terdapat beberapa penaIsiran tentang arti istilah suIi. Di antara penaIsiran
itu antara lain menyebutkan bahwa kata suIi bermula dari kata saIa (suci hati dan perbuatan), saII
(barisan terdepan di hadapan Tuhan), suIIah (menyamai siIat para sahabat yang menghuni
serambi masjid nabawi di masa kenabian), sauIanah (sejenis buah/buahan yang tumbuh di
padang pasir), saIwah (yang terpilih atau terbaik), dan bani suIah (kabilah badui yang tinggal
dekat Ka`bah di masa jahiliyah). Menurut Imam Qushaeri, keenam pendapat tersebut di atas jauh
dari analogi bahasa kata suIi.
Jalan spiritual yang ditempuh para suIi tidaklah mudah. Dalam tradisi kesuIian,
tingkatan-tingkatan spiritual digambarkan dalam analogi titik pemberhentian (station atau
maqam) yang antara suIi satu dengan lainnya sering terdapat perbedaan pendapat. Station ini
antara lain:
1. Taubat,
2. Zuhud
3. Sabar
4. Tawakkal
5. Ridha
6. Mahabbah
7. Ma`riIah
8. Fana`
9. Ittihad
10. Hulul.
Selain maqam, tradisi suIi mengenal apa yang disebut dengan hal (jamaknya ahwal,
state). Yakni situasi kejiwaan yang diperoleh seorang suIi sebagai karunia dari Allah atas
riyadhah atau disiplin spiritual yang dijalaninya. Suatu situasi kejiwaan tertentu terkadang terjadi
hanya sesaat saja (lawaih), adakalanya juga relatiI cukup lama (bawadih), bahkan jika hal
tersebut sudah terkondisi dan menjadi kepribadian, maka hal inilah yang disebut sebagai ahwal.
Beberapa ahwal yang banyak dianut oleh kalangan suIi rumusannya sebagai berikut:
1. Muraqabah
2. KhauI
3. Raja`
4. Syauq
5. Uns
6. Tuma`ninah
7. Musyahadah
8. Yakin.
Allah dalam surat al-Nisa ayat 77 menyatakan, 'Katakanlah, kesenangan di dunia ini hanya
sementara dan akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa.
Dalam wacana kesuIian, takhalli an al-radzail atau membersihkan diri dari perbuatan
tercela merupakan langkah awal untuk membersihkan hati seseorang. Sedangkan tahalli bi al-
Iadail atau menghiasi diri dengan siIat-siIat luhur adalah tangga berikutnya untuk mencapai
tingkat spiritualitas yang lebih tinggi yaitu tajalli (lihat gambar). Jadi disini, tarekat (dari kata
tariq anak jalan) digambarkan sebagai jalan yang berpangkal pada syariat (dari kata syari`
jalan utama). Ini sebuah pengandaian olah kalangan suIi bahwa sesungguhnya sekolah tasawuI
adalah cabang dari dogma agama.
Sedangkan yang lebih sesuai adalah berasal dari kata suI (bulu domba). Hal ini dinisbahkan
kepada kebiasaan para suIi klasik yang memakai pakaian dari bulu domba kasar sebagai simbol
kerendahan hati. Dalam kaidah ilmu sharaI, tasawwaIa berarti memakai baju wol, sejajar dengan
taqammasa yang berarti memakai kemeja.
Apa pun asalnya, istilah TasawuI berarti orang-orang yang tertarik kepada
pengetahuan batin, orang-orang yang tertarik untuk menemukan suatu
jalan atau praktik ke arah kesadaran dan pencerahan batin. Penting diperhatikan bahwa istilah ini
hampir tak pernah digunakan pada dua abad pertama Hijriah. Banyak pengritik suIi, atau musuh-
musuh mereka, mengingatkan kita bahwa istilah tersebut tak pernah terdengar di masa hidup
Nabi Muhammad saw, orang sesudah beliau, atau yang hidup setelah mereka.
Islam merupakan agama yang menghendaki kebersihan lahiriah sekaligus batiniah. Hal
ini tampak misalnya melalui keterkaitan erat antara niat (aspek esoterik) dengan beragam praktek
peribadatan seperti wudhu, shalat dan ritual lainnya (aspek eksoterik). TasawuI merupakan salah
satu bidang kajian studi Islam yang memusatkan perhatiannya pada upaya pembersihan aspek
batiniah manusia yang dapat menghidupkan kegairahan akhlak yang mulia. Jadi sebagai ilmu
sejak awal tasawuI memang tidak bisa dilepaskan dari tazkiyah al-naIs (penjernihan jiwa).
Upaya inilah yang kemudian diteorisasikan dalam tahapan-tahapan pengendalian diri
dan disiplin-disiplin tertentu dari satu tahap ke tahap berikutnya sehingga sampai pada suatu
tingkatan (maqam) spiritualitas yang diistilahkan oleh kalangan suIi sebagai syuhud (persaksian),
wajd (perjumpaan), atau Iana` (peniadaan diri). Dengan hati yang jernih, menurut perspektiI
suIistik seseorang dipercaya akan dapat mengikhlaskan amal peribadatannya dan memelihara
perilaku hidupnya karena mampu merasakan kedekatan dengan Allah yang senantiasa
mengawasi setiap langkah perbuatannya. Jadi pada intinya, pengertian tasawuI merujuk pada dua
hal: (1) penyucian jiwa (tazkiyatun-naIs) dan (2) pendekatan diri (muraqabah) kepada Allah.
Namun, di abad kedua dan ketiga setelah kedatangan Islam (622), ada sebagian orang
yang mulai menyebut dirinya suIi, atau menggunakan istilah serupa lainnya yang berhubungan
dengan TasawuI, yang berarti bahwa mereka mengikuti jalan penyucian diri, penyucian "Hati",
dan pembenahan kualitas watak dan perilaku mereka untuk mencapai maqam (kedudukan)
orang-orang yang menyembah Allah seakan-akan mereka melihat Dia, dengan mengetahui
bahwa sekalipun mereka tidak melihat Dia, Dia melihat mereka. Inilah makna istilah tasawuI
sepanjang zaman dalam konteks Islam.
Di bawah ini beberapa deIinisi dari syekh besar suIi:

1. Imam Junaid dari Baghdad mendeIinisikan tasawuI sebagai:
"mengambil setiap siIat mulia dan meninggalkan setiap siIat rendah"

2. Syekh Abul Hasan asy-Syadzili, syekh suIi besar dari AIrika Utara,
mendeIinisikan tasawuI sebagai :
"Praktik dan latihan diri melalui cinta yang dalam
dan ibadah untuk mengembalikan diri kepada jalan Tuhan".

3. Syekh Ahmad Zorruq dari Maroko mendeIinisikan tasawuI sebagai berikut:
'Ilmu yang dengannya Anda dapat memperbaiki hati dan menjadikannya semata-mata bagi
Allah, dengan menggunakan pengetahuan Anda tentang jalan Islam,khususnya Iiqih dan
pengetahuan yang berkaitan, untuk memperbaiki amal Anda dan menjaganya dalam batas-batas
syariat Islam agar kebijaksanaan menjadi nyata dan ibadah untuk mengembalikan diri kepada
jalan Tuhan.
Beliau menambahkan, "Fondasi tasawuI ialah pengetahuan tentang tauhid, dan setelah itu Anda
memerlukan manisnya keyakinan dan kepastian, apabila tidak demikian maka Anda tidak akan
dapat mengadakan penyembuhan 'Hati'."
4. Menurut Syekh Ibn Ajiba
'TasawuI adalah suatu ilmu yang dengannya Anda belajar bagaimana berperilaku supaya berada
dalam kehadiran Tuhan yang Maha ada melalui penyucian batin dan mempermanisnya dengan
amal baik. Jalan tasawuI dimulai sebagai suatu ilmu, tengahnva adalah amal. dan akhirnva
adalah karunia Ilahi.

Dari banyak ucapan yang tercatat dan tulisan tentang TasawuI seperti ini, dapat
disimpulkan bahwa basis TasawuI ialah penyucian "Hati" dan penjagaannya dari setiap cedera,
dan bahwa produk akhirya ialah hubungan yang benar dan harmonis antara manusia dan
Penciptanya. Jadi, SuIi adalah orang yang telah dimampukan Allah untuk menyucikan "Hati"
nya dan menegakkan hubungannya dengan Dia dan ciptaan-Nya dengan melangkah pada jalan
yang benar, sebagaimana dicontohkan dengan sebaik-baiknya oleh Nabi Muhammad SAW.
Dalam konteks Islam tradisional TasawuI berdasarkan pada kebaikan budi ( adab) yang
akhirnya mengantarkan kepada kebaikan dan kesadaran universal. Kebaikan dimulai dari adab
lahiriah, dan kaum SuIi yang benar akan mempraktikkan pembersihan lahiriah serta tetap berada
dalam batas-batas yang diizinkan Allah, la mulai dengan mengikuti hukum Islam, yakni dengan
menegakkan hukum dan ketentuan-ketentuan Islam yang tepat, yang merupakan jalan ketaatan
kepada Allah. Jadi, TasawuI dimulai dengan mendapatkan pengetahuan tentang amal-amal
lahiriah untuk membangun dan mengembangkannya.
Adalah keliru mengira bahwa seorang SuIi dapat mencapai buah-buah TasawuI, yakni
cahaya batin, kepastian dan pengetahuan tentang Allah (ma'riIah) tanpa memelihara kulit
pelindung lahiriah yang berdasarkan pada ketaatan terhadap tuntutan hukum syariat. Perilaku
lahiriah yang benar ini perilaku Iisik didasarkan pada doa dan pelaksanaan shalat serta semua
amal ibadah ritual yang telah ditetapkan oleh Nabi Muhammad saw untuk mencapai
kewaspadaan "Hati", bersama suasana hati dan keadaan yang menyertainya. Kemudian orang
dapat maju pada tangga penyucian dari niat rendahnya menuju cita-cita yang lebih tinggi, dari
kesadaran akan ketamakan dan kebanggaan menuju kepuasan yang rendah hati (tawadu') dan
mulia. Pekerjaan batin harus diteruskan dalam situasi lahiriah yang terisi dan terpelihara dengan
baik.
Dasar-Dasar Qur`ani Tasawuf
Para pengkaji tentang tasawuI sepakat bahwasanya tasawuI berazaskan kezuhudan
sebagaimana yang diperaktekkan oleh Nabi Saw, dan sebagian besar dari kalangan sahabat dan
tabi`in. Kezuhudan ini merupakan implementasi dari nash-nash al-Qur`an dan Hadis-hadis Nabi
Saw yang berorientasi akhirat dan berusaha untuk menjuhkan diri dari kesenangan duniawi yang
berlebihan yang bertujuan untuk mensucikan diri, bertawakkal kepada Allah Swt, takut terhadap
ancaman-Nya, mengharap rahmat dan ampunan dari-Nya dan lain-lain.
Meskipun terjadi perbedaan makna dari kata suIi akan tetapi jalan yang ditempuh kaum suIi
berlandasakan Islam. Diantara ayat-ayat Allah yang dijadikan landasan akan urgensi kezuhudan
dalam kehidupan dunia adalah Iirman Allah dalam al-Qur`an
yang Artinya :
'Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan kami tambah keuntungan itu
baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia kamiberikan kepadanya
sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat. (Q.S
Asy-Syuura |42| : 20)
Diantara nash-nash al-Qur`an yang mememerintahkan orang-orang beriman agar senantiasa
berbekal untuk akhirat adalah Iirman Allah dalam Q.S al-Hadid |57| ayat: 20
yang Artinya :
'Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang
melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang
banyaknya harta dan anak, seperti hufan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani,
Kemudian tanaman itu menfadi kering dan kamu lihat warnanya kuning Kemudian menfadi
hancur. dan di akhirat (nanti) ada a:ab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-
Nya. dan kehidupan dunia Ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu`.
Ayat ini menandaskan bahwa kebanyakan manusia melaksanakan amalan-amalan yang
menjauhkannya dari amalan-amalan yang bermanIaat untuk diri dan keluarganya, sehingga
mereka dapat kita temukan menjajakan diri dalam kubangan hitamnya kesenangan dan gelapnya
hawa naIus mulai dari kesenangan dalam berpakaian yang indah, tempat tinggal yang megah dan
segala hal yang dapat menyenangkan hawa naIsu, berbangga-bangga dengan nasab dan
banyaknya harta serta keturunan (anak dan cucu).
Akan tetapi semua hal tesebut bersiIat sementar dan dapat menjadi penyebab utama terseretnya
seseorang kedalam azab yang sangat pedih pada hari ditegakkannya keadilan di sisi Allah,
karena semua hal tersebut hanyalah kesenangan yang melalaikan, sementara rahmat Allah hanya
terarah kepada mereka yang menjauhkan diri dari hal-hal yang melallaikan tersebut.
Ayat al-Qur`an lainnya yang dijadikan sebagai landasan kesuIian adalah ayat-ayat yang
berkenaan dengan kewajiban seorang mu`min untuk senantiasa bertawakkal dan berserah diri
hanya kepada Allah swt semata serta mencukupkan bagi dirinya cukup Allah sebagai tempat
menggantungkan segala urusan, ayat-ayat al-Qur`an yang menjelaskan hal tersebut cukup
variatiI tetapi penulis mencukupkan pada satu diantara ayat ayat tersebut yaitu Iirman Allah
dalam Q.S ath-Thalaq |65| ayat : 3
yang Artinya :
'Dan memberinya re:ki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan barangsiapa yang
bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya
Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah Telah mengadakan
ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu`.
Diantara ayat-ayat al-Qur`an yang menjadi landasan munculnya kezuhudan dan menjadi
jalan kesuIian adalah ayat-ayat yang berbicara tentang rasa takut kepadan Allah dan hanya
berharap kepada-Nya diantaranya adalah Iirman Allah dalam Q.S as-Sajadah | | ayat : 16 yang
Artinya:
'Lambung mereka fauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya
dengan penuh rasa takut dan harap
Maksud dari perkataan Allah Swt . 'Lambung mereka fauh dari tempat tidurnya` adalah bahwa
mereka tidak tidur di waktu biasanya orang tidur untuk mengerfakan shalat malam`.

Perkembangan tasawuf
$ejarah Perkembangan Tasawuf $alafi

1. Abad Kesatu Dan Kedua Hijriyah

Pada abad kesatu dan kedua hijriyah disebut dengan Iase zuhud (asketisme), sikap
zuhud para suIi salaIi merupakan awal kemunculan tasawuI, pada Iase zuhud ini terdapat para
suIi salaIi yang lebih cenderung beribadah kepada Allah untuk mensucikan dirinya dari segala
dosa dan kesalahan masa lalu.
Mereka mengamalkan konsep zuhud dalam kehidupan yaitu tidak terlalu mementingkan
makanan enak, pakaian mewah, harta benda melimpah, rumah megah, tahta, pangkat, jabatan
dan wanita cantik, tetapi mereka lebih mementingkan beramal ibadah untuk kepentingan akhirat
dengan rajin mendekatkankan diri kepada Allah, diantara 'ulama suIi salaIi yang terkenal di masa
itu adalah Hasan Al-Bashri (waIat pada 110 H) dan Rabi'atul Adawiyah (waIat 185 ), kedua suIi
ini dijuluki sebagai zahid (orang yang sangat sederhana).
2. Abad Ketiga Hijriyah
Dengan datangnya abad ketiga Hijriyah ini, para suIi mulai menaruh perhatiannya
terhadap hal-hal yang berkenaan dengan jiwa dan tingkah laku. Perkembangan Iaham dan akhlaq
suIi ditandai dengan upaya menegakkan akhlaq di tengah terjadinya dekadensi moral yang
sedang berkembang di masa itu, sehingga di tangan para suIi tasawuI pun berkembang menjadi
ilmu akhlaq. Pemberian contoh dalam kehidupan sehari-hari para suIi, akhirnya dapat
mendorong kemajuan perubahan pada pola tingkah masyarakat dari yang lebih cenderung
mengejar keduniaan yang membuat masyarakat di masa itu lupa pada Allah berubah menjadi
masyarakat yang ahlaqul karimah. Ajaran akhlaq para suIi ini menjadikan tasawuI terlihat
sebagai amalan yang sangat sederhana dan mudah dipraktekkan oleh semua orang.
Kesederhanaan para suIi dapat dilihat dari kesederhanaan alur pemikiran.
3. Abad Keempat Hijriyah
Abad keempat hijriyah ditandai dengan kemajuan ilmu tasawuI yang lebih pesat dari
sebelumnya, karena upaya maksimal dari 'ulama tasawuI dalam pengembangan dakwahnya
masing-masing, sehingga kota Baghdad yang hanya satu-satunya kota terkenal sebagai pusat
kegiatan tasawuI terbesar sebelumnya tersaingi oleh kota-kota besar lainnya.

Upaya untuk mengembangkan ajaran tasawuI di luar kota Baghdad dipelopori oleh beberapa
'ulamatasawuIyangterkenalkesuIiannya,yaitu:

1. Musa Al-Anshory: Mengajarkan ilmu tasawuI di Khurasan (Persia atau Iran), waIat di
Khurasan pada tahun 320 H.
2. Abu Hamid Bin Muhammad Ar-Rubazy: Mengajarkan ilmu tasawuI di Mesir dan waIat di
Mesir pada tahun 322 H.
3. Abu Zaid Al-Adamy: Mengajarkan ilmu tasawuI di Saudi Arabiyah dan waIat di sana pada
tahun314H.
4. Abu Ali Muhammad Bin Abdul Wahab As-SaqaIy: Mengajarkannya di Naisabur dan kota
SyarazhinggaiawaIatditahun328H.

Di abad keempat ini pula para suIi membagi inti ilmu menjadi 4 tingkatan atau 4 tahapan, yaitu:
1.IlmuSyari'at.
2.IlmuTariqat.
3.IlmuHakikat.
4.IlmuMa'riIat.

Di abad ketiga ini pula dikenal sistem pendidikan dan pengajaran tasawuI yang terlembaga dan
terkonsentrasi yaitu: "Suluk", sebagai lanjutan pengajaran ilmu tasawuI yang diajarkan oleh para
suIi di abad sebelumnya.

TasawuI pada jalur kesederhaan ini banyak ditampilkan oleh 'ulama sIi salaIi di masa
itu. Perhatian para suIi di masa itu lebih tertuju kepada realitas pengalaman keIslaman yang
dipraktekkan dalam kehidupan serhari-hari yang disebut dengan akhlaqul karimah. Mereka
menampilkan ajaran tasawuI lewat akhlaq terpuji dengan maksud memahami kandungan batiniah
ajaran Islam yang mereka nilai mengandung banyak anjuran untuk beraklak mulia. Kondisi ini
mulai berkembang di tengah kehidupan lahiriyah yang sangat Iormal dan cenderung kurang
diterima oleh mereka yang mendambakan konsistensi pangamalan ajaran Isdlam sampai pada
aspek terdalam.
Oleh karena itu, ketika para suIi menyaksikan ketidak beresan akhlaq di sekitarnya, mereka
menanamkan kembali akhlaq mulia, pada masa ini tasawuI lebih identik dengan akhlaq. Pada
abad ketiga ini terlihat perkembangan tasawuI sangat pesat, ditandai dengan adanya segolongan
suIi yang mendalami inti ajaran tasawuI, sehingga didapati ada 3 inti ajaran tasawuI, yaitu:

1. TasawuI yang berintikan ilmu jiwa, yaitu ajaran tasawuI yang berisi suatu metode yang
lengkap tentang pengobatan jiwa. Ajaran ini mengkonsentrasikan kejiwaan manusia kepada
Allah, sehingga ketegangan kejiwaan akibat pengaruh keduniaan dapat teratasi dengan sebaik-
baiknya. Inti ajaran tasawuI yang satu ini menjadi dasar teori para psikiater zaman sekarang ini
dalammengobatipasiennya.

2. TasawuI yang berintikan ilmu akhlaq, yaitu di dalamnya terkandung petunjuk tentang cara
berbuat baik dan cara menghindari keburukan. Ajaran ini lengkap dengan riwayat dari kasus-
kasus yang pernah dialami oleh para sahabat Nabi. Dari ajaran inilah munculnya ilmu akhlaq.

3. TasawuI yang berintikan metaIisika, yaitu ajaran tasawuI yang berintikan hakikat Tuhan. Dari
ajaran inilah munculnya ilmu tauhid, ilmu aqidah, ilmu qalam dan ilmu IilsaIat.
Lahirnya tasawuI didorong oleh beberapa Iaktor:
a. reaksi atas kecenderungan hidup hedonis yang mengumbar syahwat
b. perkembangan teologi yang cenderung mengedepankan rasio dan kering dari aspek moral-
spiritual
c. katalisator yang sejuk dari realitas umat yang secara politis maupun teologis didominasi oleh
nalar kekerasan.
Karena itu sebagian ulama memilih menarik diri dari pergulatan kepentingan yang
mengatasnamakan agama dengan praktek-praktek yang berlumuran darah. Menurut Hamka,
kehidupan suIistik sebenarnya lahir bersama dengan lahirnya Islam itu sendiri. Sebab, ia tumbuh
dan berkembang dari pribadi Nabi saw. TasawuI Islam sebagaimana terlihat melalui praktek
kehidupan Nabi dan para sahabatnya itu sebenarnya sangatlah dinamis.
Hanya saja sebagian ulama belakangan justru membawa praktek kehidupan suIistik ini menjauh
dari kehidupan dunia dan masyarakat. TasawuI kemudian tak jarang dijadikan sebagai pelarian
dari tanggung jawab sosial dengan alasan tidak ingin terlibat dalam Iitnah yang terjadi di tengah-
tengah umat. Mereka yang memilih sikap uzlah ini sering mencari-cari pembenaran (apologi)
atas tindakannya pada Iirman Allah yang antara lain berbunyi:
- = - - ' ~- ~ '- -' - + - - = - -'

Padahal dapat diketahui bersama bahwa nabi dan para sahabatnya sama sekali tidak
melakukan praktek kehidupan kerahiban, pertapaan atau uzlah. Mereka tidak lari dari kehidupan
aktual umat, tetapi justru terlibat aktiI mereIormasi kehidupan yang tengah dekaden agar
menjadi lebih baik dan sesuai dengan cita-cita ideal Islam.
+ - - -~ ' ' ~` ~ ' ' - '= ' + ='= ' ~ - `' _= ~ ~- -~ ' ' ~= ' ~ ' =
' ~ ' = ~ - ' '-- ' ~ - ' --- ' ~ - ~ ' ' ~' - ' ~=~

Adapun tasawuI yang berkembang pada masa berikutnya sebagai suatu aliran (mazhab),
maka sejauh hal itu tidak bertentangan dengan Islam dapat dikatakan positiI (ijabi). Tetapi
apabila telah keluar dari prinsip-prinsip keislaman maka tasawuI tersebut menjadi mazhab yang
negatiI (salbi). TasawuI ijabi mempunyai dua corak, yaitu:
1. tasawuI salaIi, yakni yang membatasi diri pada dalil-dalil naqli atau atsar dengan
menekankan pendekatan interpretasi tekstual.
2. tasawuI sunni, yakni yang sudah memasukkan penalaran-penalaran rasional ke dalam
konstruk pemahaman dan pengamalannya.
Perbedaan mendasar antara tasawuI salaIi dengan tasawuI sunni terletak pada takwil.
SalaIi menolak adanya takwil, sementara sunni menerima takwil rasional sejauh masih berada
dalam kerangka syari`ah. Sedangkan tasawuI salbi atau disebut juga tasawuI IalsaIi adalah
tasawuI yang telah terpengaruh secara jauh oleh Iaham gnostisisme Timur maupun Barat.
Terdapat beberapa pendapat tentang pengaruh luar yang membentuk tasawuI Islam, ada yang
menyebutkannya dari kebiasaan rahib Kristen yang menjauhi dunia dan kehidupan materiil.
Ada pula yang menyebutkannya dari pengaruh ajaran Hindu dan juga IilsaIat
neoplatonisme. Dalam Hindu misalnya terdapat ajaran asketisme dengan meninggalkan
kehidupan duniawi guna mendekatkan diri kepada Tuhan dan menggapai penyatuan antara
Atman dan Brahman. Pythagoras juga mengajarkan ajakan untuk meninggalkan kehidupan
materi dengan memasuki dunia kontemplasi. Demikian juga teori emanasi dari Plotinus yang
dikembangkan untuk menjelaskan konsep roh yang memancar dari dzat Tuhan dan kemudian
akan kembali kepada-Nya. Pada konteks ini, tujuan mistisisme baik dalam maupun di luar Islam
ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog langsung antara roh manusia dan Tuhan,
kemudian mengasingkan diri dan berkontemplasi.
Sebagaimana halnya Iikih dan kalam, tasawuI memang sering dipandang sebagai
Ienomena baru yang muncul setelah masa kenabian. Tetapi tasawuI dapat berIungsi memberi
wawasan dan kesadaran spiritual atau dimensi ruhaniah dalam pemahaman dan pembahasan
ilmu-ilmu keislaman. Seperti diungkap R.A. Nicholson, bahwa tanpa memahami gagasan dan
bentuk-bentuk mistisisme yang dikembangkan dalam Islam, maka hal tersebut serupa dengan
mereduksi keindahan Islam dan hanya menjadi kerangka Iormalitasnya saja. Dimensi mistis
dalam tiap tradisi keagamaan cenderung mendeskripsikan langkah-langkah menuju Tuhan
dengan imaji jalan (the path). Misalnya, di Kristen dikenal 3 (tiga) jalan: the via purgativa, the
via contemplativa, dan the via illuminativa. Hal serupa ada pula dalam Islam, dengan
mempergunakan istilah shari`a, tariqa, dan haqiqa.
Praktik kesuIian sebagaimana dipahami secara umum dewasa ini memang menuntut disiplin
laku-laku atau amalan-amalan yang merupakan proses bagi para salik menemukan kesucian
jiwanya. Salik adalah istilah yang diberikan kepada para pencari Tuhan, yaitu orang-orang yang
berusaha mengadakan pendekatan (taqarrub) untuk mengenal Allah dengan sebenar-benarnya.

You might also like