You are on page 1of 16

Askep BPH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit prostat merupakan penyebab yang sering terjadi pada berbagai masalah saluran kemih pada pria, insidennya menunjukan peningkatan sesuai dengan umur, terutama mereka yang berusia 60 tahun. Sebagian besar penyakit prostat menyebabkan pembesaran organ yang mengakibatkan terjadinya penekanan/pendesakan uretra pars intraprostatik, keadaan ini menyebabkan gangguan aliran urine, retensi akut dari infeksi traktus urinarius memerlukan tindakan kateterlisasi segera. Penyebab penting dan sering dari timbulnya gejala dan tanda ini adalah hiperlasia prostat dan karsinoma prostat. Radang prostat yang mengenai sebagian kecil prostat sering ditemukan secara tidak sengaja pada jaringan prostat yang diambil dari penderita hiperlasia prostat atau karsinoma prostat (J.C.E Underwood, 1999). Beranekaragamnya penyebab dan bervariasinya gejala penyakit yang ditimbulkannya sering menimbulkan kesulitan dalam penatalaksanaan BPH, sehingga pengobatan yang diberikan kadang-kadang tidak tepat sesuai dengan etiologinya. Terapi yang tidak tepat bisa mengakibatkan terjadinya BPH berkepanjangan. Oleh karena itu, mengetahui secara lebih mendalam faktor-faktor penyebab (etiologi) BPH akan sangat membantu upaya penatalaksanaan BPH secara tepat dan terarah. Menurut data yang penulis dapatkan dari catatan bagian rekam medik RSPAD Gatot Soebroto Jakarta, tercatat mulai dari bulan November 2007 sampai Januari 2008 jumlah klien dengan BPH mencapai 332 dari jumlah klien yang dirawat di lantai V perawatan bedah. Peran perawat pada klien meliputi aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Secara promotif perawat dapat memberikan penjelasan pada klien tentang penyakit BPH mulai dari penyebab sampai dengan komplikasi yang akan terjadi bila tidak segera ditangani. Kemudian pada aspek preventif perawat memberikan penjelasan bagaimana cara penyebaran penyakit BPH, misalnya cara pembesaran prostat akan menyebabkan obstruksi uretra. Secara kuratif perawat berperan memberikan obat-obatan sebagai tindakan kolaborasi dengan tim dokter. Aspek rehabilitatif meliputi peran perawat dalam memperkenalkan pada anggota keluarga cara merawat klien dengan BPH dirumah, serta memberikan penyuluhan tentang pentingnya cara berkemih. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka

penulis merasa tertarik untuk mengangkat dengan judul Asuhan keperawatan pada klien dengan Benigna Prostat Hiperlasia (BPH). B. Tujuan 1. Tujuan Umum Tujuan umum penulisan makalah ini adalah untuk mendapatkan pengalaman nyata dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien BPH di perawatan bedah lantai V RSPAD Gatot Soebroto dengan menggunakan proses keperawatan. 2. Tujuan khusus Tujuan kasus makalah ini adalah : a. Melakukan pengkajian pada klien b. Menganalisa data untuk merumuskan diagnosa keperawatan yang ditemukan pada klien BPH. c. Membuat rencana keperawatan yang telah disusun pada klien BPH. d. Melaksanakan rencana keperawatan yang telah disusun pada klien BPH. e. Mengevaluasi asuhan keperawatan pada klien BPH. f. Membuat pendokumentasian pada klien BPH. g. Mengidentifikas adanya kesenjangan asuhan keperawatan antara teori dan kasus serta justifikasinya. h. Mengidentifikasi faktor penunjang dan penghambat serta alternatif penyelesaiannya dalam memberukan asuhan keperawatan pada setiap langkah proses keperawatan.

BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Konsep Dasar 1. Pengertian Benigna prostat hiperlasia (BPH) adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara umum pada pria tua lebih dari 50 tahun) menyebabkan derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius. (Marilyn E. Doenges. 1999)

Benigna prostat hiperlasia (BPH) adalah kondisi patologis yang paling umum pada pria lansia dan penyebab kedua yang paling sering untuk intervensi medis pada pria di atas usia 60 tahun. (Brunner dan Suddarth. 2001). Benigna prostat hiperlasia (BPH) adalah pertumbuhan dari nodul- nodul fibroadenomatosa majemuk dalam prostat. (Sylvia A. Prince. 2005). Benigna prostat hiperlasia (BPH) adalah pembesaran kelenjar prostat yang nonneuplastik, yang sering terjadi setelah umur 50 tahun. (J.C.E Underwood. 1999). Dari empat pengertian di atas penulis menyimpulkan bahwa benigna prostat hiperlasia adalah pembesaran progresif kelenjar prostat dan penyebaran yang biasa menimbulkan gangguan pembuangan produksi urine pada pria dewasa tua lebih dari 50 tahun. 2. Anatomi dan Fisiologi. Pada pria, beberapa organ berfungsi sebagai bagian dari traktrus urinarius maupun sistem reproduksi. Kelainan pada organ-organ reproduksi pria dapat menganggu salah satu atau kedua sistem. Akibatnya, penyakit sistem reproduksi pria biasanya ditangani oleh ahli urology. Struktur dari sistem reproduksi pria adalah testis, vas deferen (duktus deferen) vesika seminalis, penis, dan kelenjar asesori tertentu, seperti kelenjar prostat dan kelenjar cowper (kelenjar bulbouretral). Organ genetalia pria terdiri dari 6 komponen yaitu : a. Testis dan epididimis b. Duktus deferen c. Vesikula seminalis d. Duktus ejakulatorius dan penis e. Prostat f. Kelenjar bulbo-uretra Prostat adalah organ genetalia pria yang terletak di sebelah interior buli-buli, di depan rectum dan membungkus uretra posterior. Bentuknya seperti buah kemiri dengan ukuran 3 x 4 x 2,5 cm dan beratnya 20 gram. Sebagian prostat mengandung kelenjar grandular dan sebagian lagi otot involuter dan menghasilkan suatu cairan yang di sebut semen, yang basa dan mendukung nutrisi sperma. Cairan prostat merupakan kurang lebih 25% dari seluruh volume ejakulat. Jika kelenjar ini mengalami hiperlasia jinak atau berubah menjadi kanker ganas dapat membantu uretra posterior dan mengakibatkan obstruksi saluran kemih. B. Patofisiologi

1. Etiologi Hingga sekarang belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hiperlasia prostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperlasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan dihidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua). Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperlasia prostat adalah : a. Teori dihidrotestosteron. b. Ketidakseimbangan antara estrogen-tetstosteron. c. Interaksi stoma-epitel. d. Berkurangnya kematian sel prostat. e. Teori sel stem. 2. Proses Hiperlasia prostatika adalah pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk dalam prostat. Pertumbuhan tersebut di mulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar dengan stroma fibrosa dan otot polos yang jumlahnya berbeda-beda. Prostat tersebut mengelilingi uretra, dan pembesaran bagian periuretral akan menyebabkan obstruksi leher kandung kemih dan uretra pars prostatika, yang mengakibatkan berkurangnya aliran kemih dari kandung kemih. 3. Manifestasi klinis Tanda dan gejala yang sering terjadi adalah gabungan dari hal-hal berikut dalam derajat yang berbeda-beda yaitu sering berkemih, nokturia, urgensi (kebelet), urgensi dengan inkontinensia, tersendat-sendat, mengeluarkan tenaga untuk mengeluarkan kemih, rasa tidak lampias, inkontinensia overflow, dan kemih yang menetes setelah berkemih. Hematuria dapat terjadi, tetatpi hal ini jarang ditemukan. Retensi urin akut dapat terjadi pada pria yang sebelumnya mempunyai gejala prostratism, vesiku urinaria teraba membesar dan lunak, dan diperlukan tindakan katerilisasi. Retensi urin kronik relatif tidak begitu sakit. Ditemukan jumlah yang meningkat disertai kencing yang tidak bisa di kontrol, biasanya pada malam hari. 4. Komplikasi Obstruksi yang diakibatkan oleh hiperlasia prostat benigna tidak hanya disebabkan oleh adanya masa prostat yang menyumbat uretra posterior, tetapi juga

disebabkan oleh tonus otot polos yang ada pada stroma prostat, kapsul prostat, dan otot polos pada leher buli-buli. C. Penatalaksanaan 1. Terapi Pemberian terapi tergantung pada penyebab, keparahan obstruksi, dan kondisi klien. Jika klien datang ke rumah sakit dalam keadaan darurat karena ia tidak dapat berkemih, maka kateterisasi segera dilakukan. Kateter yang lazim mungkin terlalu lunak dan lemas untuk dimasukan melalui uretra kedalam kandung kemih. Dalam kasus seperti ini, kabel kecil yang di sebut stylet dimasukan (oleh ahli urology) ke dalam kateter untuk mencegah kateter kolaps ketika menemui tahanan. Pada kasus yang berat, mungkin digunakan kateter logam dengan tonjolan kurva prostatik. Kadang suatu insisi dibuat kedalam kandung kemih (sistostomi suprapubik) untuk drainase yang adekuat. Tujuan terapi pada pasien hiperlasia prostat adalah : a. Memperbaiki keluhan miksi. b. Meningkatkan kualitas hidup. c. Mengurangi intravesika. d. Mengembalikan fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal. e. Mengurangi residu urine setelah miksi. f. Mencegah progresif penyakit. Tidak semua pasien hiperlasia proatat perlu menjalani tindakan medis. Kadangkadang mereka mengeluh low urinary tract symptom (LUTS). Ringan dapat sembuh sendiri tanpa mendapatkan terapi apapun atau hanya dengan nasehat dan konsultasi saja. 2. Tindakan medis yang bertujuan untuk pengobatan. Tindakan medis pada klien dengan benigna prostat hiperplasia jangka panjang yang paling baik saat ini adalah tindakan pembedahan yaitu prostratektomi. Operasi prostratektomi adalah metode dari millin yaitu melakukan enukleasi kelenjar prostat melalui pendekatan retropublik intravesik freyer, melalui pendekatan suprapublik transvesika atau transperineal. Karena pada pemberian obt-obatan atau terapi non inpasif lainnya membutuhkan jangka waktu yang sangat lama. Adapun jenis-jenis prostratektomi yaiti :

a. Transurethral Resection Of The Prostate (TURP). Pengankatan sebagian atau seluruh kelenjar prostat melalui sistoskop atau resektoskop yang dimasukan melalui uretra.

b. Prostatektomi Suprapubis. Pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat di kandung kemih. c. Prostatektomi Retropubis. Pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen bagian bawah melalui frosa prostat anterior tanpa memasuki kandung kemih. d. Prostatektomi Perineal. Pengankatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi di antara skortum dan rektum. e. Prostatektomi Reropubis Radikal. Pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula, vesikula seminalis, dan jaringan yang berdekatan melalui sebuah insisi pada abdomen bagian bawah ; uretra di anastomosiskan ke leher kandung kemih. D. Pengkajian Keperawatan Pengkajian adalah proses sistematis dari pengumpulan, verifikasi dan komunikasi data tentang klien. Fase proses keperawatan ini mencangkup dua langkah, yaitu : 1. Pengumpulan data dari sumber primer (klien). 2. Pengumpulan data dari sumber sekunder (keluarga dan tenaga kesehatan). Tujuan pengkajian adalah menetapkan dasar data tentang kebutuhan, masalah kesehatan, tujuan, nilai, dan gaya hidup yang dilakukan klien (Potter Da Perry, 2005) Pengkajian yang dilakukan menurut Marylinn E. Doenges (1999) yaitu siskulasi di tandai dengan peninggian TD (efek pembesaran ginjal). Pada pola eleminasi, gejala yang timbul yaitu penurunan kekuatan/dorongan aliran urin, tetesan keragu-raguan pada berkemih awal. Ketidakmampuan untuk mengosongkan kandung kemih dengan lengkap, dorongan dan frekuensi berkemih. Nokturia, disuria, hematuria. Duduk untuk berkemih,. ISK berulang, riwayat batu (statsis urinaria). Kontipasi (protrusi prostat ke dalam rektum). Ditandai dengan masa padat di bawah abdomen bawah (distensi kandung kemih), nyeri tekan kandung kemih, hernia inguinalis, hemoroid (mengakibatkan tekanan abdominal meningkat yang memerlukan pengosongan kandungkemih mengatasi tahanan). Makanan/cairan gejala yang timbul yaitu anoreksia, mual, muntah, penurunan berat badan.

Nyeri/kenyamanan gejala yang timbul yaitu nyeri suprapubis, pinggul, atau punggung tajam, kuat (pada prostatitis akut) nyeri punggung bawah. Keamanan gejala yang timbul yairu demam. Seksualitas gejala yang timbul yaitu masalah tentang efek kondisi terapi pada keamanan seksual. Takut inkontinensia/menetes selama hubungan intim. Penurunan kontraksi ejakulasi. Ditandai dengan pembesaran, nyeri tekan prostat. Penyuluhan/pembelajaran gejala yang timbul yaitu riwayat keluarga kanker, hipertensi, penyakit ginjal. Penggunaan antihipertensif atau antidepresan, antibiotik urinaria atau agen antibiotik, obat yang dijual bebas untuk flu/alergi, obat mengandung simtomimetik dengan pertimbangan DRG menunjukan rerata dirawat 2,2 dari rencana pemulangan memerlukan bantuan dengan manajemen terapi, contoh kateter. Pemeriksaan diagnostik, yaitu: a. Urinalisa : warna kuning, coklat gelap atau terang (berdarah); penampilan keruh PH7 atau lebih besar (menunjukan infeksi); bacteria, SDP, SDM mungkin ada mikroskopis. b. Kultururine : dapat menunjukan staphylococcus aureus, proteus, klebsilla, pseudomonas, atau escherichia coli. c. Sitologi urine : untuk mengesampingkan kanker kandung kemih. d. BUN/Kreatinin : meningkatkan bila fungsi ginjal dipengaruhi. e. Asam fosfat serum/antigen khusus prostatik : peningkatan karena pertumbuhan selular dan pengaruh hormonal pada kanker prostat dapat mengindikasikan metastase tulang. f. SDP : mungkin lebih besar dari 11.000, mengindikasikan infeksi bila klien imunosupresi. g. Penentuan kecepatan aliran urine : mengkaji derajat obstruksi kandung kemih. h. IVP dengan film pasca-berkemih : menunjukka pengosongan kandung kemih, membedakan derajat obstruksi kandung kemih dan adanya pembesaran prostat, divertikuli kandung kemih dan penebalan abnormal otot kandung kemih. i. Sitouretrografi berkemih : digunakan sebagai ganti IVP untuk memvisualisasikan kandung kemih dan uretra karena ini menggunakan bahan kontras lokal. j. Sistogram : mengukur tekanan dan volume dalam kandung kemih untuk mengidentifikasi disfungsi yang tidak berhubungan dengan BPH. k. Sistouretroskopi : untuk menggambarkan derajat pembesaran prostat dan perubahan dinding kandung kemih (kontraindikasi pada adanya ISK akut sehubungan dengan resiko sepsis gram negatif)

l. Sisometri : mengevaluasi fungsi otot detrusor dan tonusnya. m. Ultrasound transektal : mengukur ukuran prostat, jumlah residu urine, melokalisasi lesi yang tidak berhubungan dengan BPH. E. Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang menggambarkan respon aktual atau potensial klien terhadap masalah kesehatan yang perawat mempunyai lisensi dan kompeten untuk mengatasinya (Potter dan Perry, 2005). Berikut ini akan dijelaskan diagnosa keperawatan yang muncul pada klien dengan Benigna prostat hiperlasia menurut Marylinn E. doenges (1999) : 1. Gangguan pola eliminasi (BAK) : Retensi urine berhubunagn dengan obstruksi mekanik pembesaran prostat. 2. Gangguan rasa nyaman : Nyeri berhubungan dengan iritasi mukosa, distensi kandung kemih, kolik ginjal, infeksi urinaria, terapi radiasi. 3. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan pasca obstruksidiuresis dari drainase cepat kandung kemih yang terlalu distensi secara kronis. 4. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan : kemungkinan prosedur bedah atau malignasi. 5. Kekurangan pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang terpejan/mengigat, salah interpretasi informasi. Setelah dilakukan prostatektomi maka diagnosa keperawatan yang akan muncul yaitu: 1. Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi mekanik ; bekuan darah, edema, trauma, prosedur bedah. 2. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan area bedah, kesulitan mengontrol pendarahan. 3. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan prosedure invasive ; alat selama pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih sering. 4. Resiko tinggi terhadap disfungsi seksual berhubungan dengan situasi krisis (inkontinensia, kebocoran urine setelah pengangkatan kateter, keterlibatan area genetalia). 5. Kurang pengetahuan tentang kondisi, pronosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang terpejan/mengigat ; salah interpretasi informasi.

F. Perencaaan Keperawatan Perencanaan adalah kategori dari perilaku keperawatan dimana tujuan berpusat pada klien dan hasil yang diperkirakan, ditetapkan dan intervensi keperawatan dipilih untuk mencapai tujuan tersebut. Selama rencana dibuat prioritas, selain kolaborasi dengan klien dan keluarga, perawat berkonsul dengan anggota tim kesehatannya, menelaah literature yang berkaitan, memodifikasi asuhan, dan mencatat informasi yang relevan tentang kebutuhan keperawatan kesehatan klien dan penatalaksanaan klinik (Potter dan Perry, 2005). Tipe intervensi : terdapat 3 kategori intervensi keperawatan : 1. Intervensi keperawatan : untuk respon perawat terhadap kebutuhan perawatan kesehatan dan diagnosa klien. 2. Intervensi dokter : respon dokter terhadap diagnosa medis dan perawat menyelesaikan instruksi dokter tertulis. 3. Intervensi kolaboratif : terapi yang membutuhkan pengetahuan, keterampilan, dan keahlian dari bidang. (Potter dan Perry, 2005) Intervensi keperawatan mMarylinn E. Doenges (1999) adalah : a. Gangguan pola eleminasi : (BAK) retensi urine berhubungan dengan obstruksi mekanik, pembesaran prostat. Tujuan : berkemih dengan jumlah yang cukup, tidak teraba distensi kandung kemih, dengan kriteria hasil menunjukan residu paska berkemih kurang dari 50 ml, dengan tidak ada tetesan/kelebihan aliran. Intervensi : 1. Dorong kilen untuk berkemih setiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan. 2. Tanyakan klien tentang inkontinensia stress. 3. Observasi aliran urine, perhatikan ukuran dan kekuatan. 4. Awasi dan catat waktu dan jumlah tiap berkemih. 5. Penurunan haluan urine dan perubahan berat jenis. 6. Perkusi/palpasi area suprapubik. 7. Dorongan masukan cairan sampai 3000 ml sehari, dalam toleransi jantung, bila diindikasikan. 8. Awasi tanda vital dengan ketat.

9. Observasi hipertensi, edema prifer/ dependen, perubahan mental, timbang tiap hari pertahankan masukkan dan pengeluaran dengan akurat. 10. Berikan/ dorong kateter lain dan parineal. 11. Berikan rendam duduk sesuai indikasi. 12. Kolaborasi berikan obat sesuai dangan indikasi : anti spasmodic, contoh oksibutinin klorida (ditropan). b. Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dangan iritasi mukosa, distensi kandung kemih, kolik ginjal, infeksi uraniria, terapi radiasi. Tujuan : melaporkan nyeri hilang/ terkontrol, dengan kriteria hasil tampak rileks, mampu untuk tidur/ istirahat dengan tepat. Intervensi : 1. Kaji nyeri ; perhatikan lokasi, intensitas (skala 0-10). 2. Plester selang drainase pada paha dan kateter pada abdomen bila traksi tidak diperlukan. 3. Pertahankan tirah baring bila diindikasikan. 4. Berikan tindakan kenyamanan, contoh pijatan punggung ; membantu klien melakukan posisi yang nyaman : menganjurkan untuk teknik relaksasi/ latihan napas dalam aktifitas terapeutik. 5. Dorongan menggunakan rendam duduk, sabun hangat untuk perineum. 6. kolaborasi : a. Masukan kateter dan dekatkan untuk kelancaran drainase. b. Lakukan masase pinggul. 7. Berikan obat sesuai indikasi ; narkotik, contoh eperidin (demenol). c. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan paska obstruksidiuresis dari drainase cepat kandung kemih yang terlalu distensi secara kronis. Tujuan : mempertahankan hidrasi adekuat, dengan kriteria hasil tanda vital stabil, nadi perifer teraba, pengisian kapiler baik, membran mukosa lembab. Intervensi : 1. Awasi keluhan dengan hati-hati, tiap jam bila diindikasikan. Perhatikan keluaran 100-200 ml/jam.

2. Dorong peningkatan pemasukan oral berdasarkan kebutuhan individu. 3. Awasi TD, nadi dengan sering. Evaluasi pengisian kapiler dan membran mukosa oral. 4. Tingkatkan tirah baring dengan kepala tinggi. 5. Kolaborasi : a. Awasi elektrolit terutama natrium. b. Berikan cairan IV (garam faal hipertionik) sesuai kebutuhan. d. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan : kemungkinan prosedur bedah (malignasi). Tujuan : Tampak rikeks dengan kriteria hasil menunjukan rentang tepat tentang perasan dan penurunan rasa takut. Intervensi : 1. Selalu ada untuk klien. Buat hubungan saling percaya dengan klien/ orang terdekat. 2. Berikan informasi tentang prosedur dan tes khusus dan apa yang akan terjadi. Contoh: kateter urine berdarah, iritasi kandung kemih. Ketahui seberapa banyak informasi yang diinginkan klien. 3. Pertahankan perilaku nyata dalam melakukan prosedur menerima klien, lindungi privacy. 4. Dorong klien/ orang terdekat untuk menyatakan masalah/ perasaan. 5. Beri penggunaan informasi klien yang telah diberikan sebelumnya. e. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang terpajan/ mengingat, salah interpretasi informasi. Tujuan : menyatakan pemahaman proses penyakit/ prognosis, dengan kriteria hasil mengidentifikasikan hibungan tanda/ gejala proses penyakit. Intervensi : 1. Kaji ulang proses penyakit, pengalaman klien. 2. Dorong menyatakan rasa takut/ perasaan dan perhatian. 3. Anjurkan menghindari makanan berbumbu, kopi, alkohol, mengemudikan mobil lama, pemasukan cairan cepat.

4. Berikan informasi anatomi dasar seksual. Dorong pertanyaan dan tingkatkan dialog tentang masalah. 5. Bicarakan masalah seksual contoh bahwa selama episode akut prostatits. Koitus dihindari tetapi mungkin membantu pengobatan dalam kondisi kronis. 6. Kaji ulang tanda/ gejala yang memerlukan evaluasi medik, contoh urine keruh. Berbau ; penurunan haluan urine, ketidak mampuan untuk berkemih ; adanya demam/ menggigil. 7. Diskusikan perlunya pemberitahuan pada perawat kesahatan lain tentang diagnosa. 8. Beri penguatan pentingnya evaluasi medik untuk sedikitnya 6 bulan sampai 1 tahun, termasuk pemeriksaan rektal dan urinalisa. Setelah dilakukan prostatektomi yaitu : a. Perubahan eliminasi urin berhubung dengan obstruksi mekanik : bekan darah, edema, trauma, prosedur bedah. Tujuan : Berkemih dengan jumlah normal tanpa retensi dengan kriteria hasil menunjukan perilaku yang meningkatkan kontrol kandung kemih/ urinaria. Intervensi : 1. Kaji haluan urine dan system kateter/ drainase, khususnya selama irigasi kandung kemih. 2. Bantu klien memilih posisi normal untuk berkemih contoh berdiri, berjalan ke kamar mandi, dengan frekuensi sering setelah kateter dilepas. 3. Perhatikan waktu, jumlah berkemih, dan ukuran aliran setelah kateter dilepas. Perhatikan keluhan rasa penuh kandung kemih ; ketidakmampuan berkemih, urgensi. 4. Dorong klien untuk berkemih bila terasa dorongan tetapi tidak lebih dari 2-4 jam per protocol. 5. Ukuran volume residu cairan 3000 ml sesuai toleransi. Batasi cairan pada malam, setelah kateter dilepas. 6. Instruksikan klien untuk latihan oparineal, contoh mengencangkan bokong, menghentikan dan memulai aliran urine. 7. anjurkan klien bahwa penetesan diharapkan setelah kateter dilepas dan harus teratasi sesuai kemajuan.

8. Kolaborasi : pertahankan irigasi kandung kemih kantinu continous bledder irrigation (CBI) sesuai indikasi pada periode paska operasi dini. b. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan area bedah, kesulitan mengontrol pendarahan. Tujuan : Mempertahankan hidrasi adekuat dengan kriteria hasil tanda vital stabil, nadi perifer teraba, pengisian kapiler baik, membran mukosa lembab, dan keluaran urine tepat. Intervensi : 1. Benamkan kateter, hindarkan manipulasi berlebihan. 2. Awasi masukan dan pengeluaran. 3. Observasi drainase kateter, perhatikan pendarahan berlebihan/berkelanjutan. 4. Evaluasi warna, konsistensi urine contoh merah terang dengan bekuan merah. 5. Peningkatan viskositas, warna keruh gelap dengan bekuan gelap. 6. Pendarahan dengan tidak ada bekuan. 7. Inspeksi balutan/luka drainase. Timbang balutan bila diindikasikan. Perhatikan pembentukan hematoma. 8. Awasi tanda vital, perhatikan peningkatan nadi dan pernapasan, penurunan TD, diaforesis pucat, perlambatan pengisian kapiler, membran mukosa kering. 9. Selidiki kegelisahan, kacau mental, perubahan perilaku. 10. Dorong pemasukan cairan 3000 ml/hari kecuali kontraindikasi. 11. Hindari pengukuran suhu rektal dan menggunakan selang rektal. 12. Kolaborasi awasi pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi, contoh Hb/Ht, jumlah sel darah merah. c. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan prosedur infasif : alat selama pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih sering. Tujuan : Mencapai waktu Penyembuhan dengan kriteria hasil tidak mengalami tanda infeksi. Intervensi : 1. Pertahankan system kateter steril, berikan perawatan kateter regular dengan sabun dan air. Berikan salep antibiotik di sekitar sisi kateter.

2. Ambulasi dengan kantung drainase dependen. 3. Awasi tanda vital, perhatikan demam ringan, menggigil, nadi dan pernapasan cepat, gelisah, peka, disorientasi. 4. Observasi drainase dari luka sekitar kateter suprapubik. 5. Ganti balut dengan sering (insisi supra/retro pubik dan parineal), pembersihan dan pengeringan kulit sepanjang waktu. 6. Gunakan pelindung kulit ostami. 7. Kolaborasi : berikan antibiotik sesuai indikasi. d. Resiko tinggi terhadap disfungsi seksual berhubungan dengan situasi krisis (inkontinensia, kebocoran urin setelagh pengangkatan kateter, keterlibatan area genetalia). Tujuan : Tampak rileks dan melaporkan ansietas menurun sampai tingkat dapat diatasi dengan kriteria hasil menyatakan pemahaman situasi individual. Intervensi : 1. Berikan keterbukaan pada klien/orang terdekat untuk membicarakan tentang masalah inkontinensia dan fungsi seksual. 2. Berikan informasi akurat tentang harapan kembalinya fungsi seksual. 3. Diskusikan dasar anatomi, jujur dalam menjawab pertanyaan klien. 4. Diskusikan ejakulasi retrograde bila pendekatan tranurethral/suprapubik digunakan. 5. Instruksikan latihan perineal dan interupsi/kontinu aliran urine. 6. Kolaborasi : rujuk ke penasehat seksual sesuai indikasi. e. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang terpejan/mengigat ; salah interpretasi informasi. Tujuan : Melakukan dengan benar prosedur yang perlu dan menjelaskan alas an tindakan, dengan kriteria hasil berpartisipasi dalam program pengobatan. Intervensi : 1. Kaji implikasi prosedur dan harapan masa depan. 2. Tekankan perlunya nutrisi yang baik ; dorong konsumsi buah, meningkatkan diet tinggi serat.

3. Diskusikan pembatasan aktifitas awal, contoh menghindari mengangkat berat, latihan keras, duduk/mengendarai mobil terlalu lama, memanjat lebih dari 2 tingkat tangga sekaligus. 4. Dorong kesinambungan latihan parineal. 5. Instruksikan perawatan kateter urine bila ada, identifikasi sumber alat/dukungan. 6. Kaji ulang tanda/gejala yang memerlukan evaluasi medik contoh eritema, drainase purulen dari luka ; perubahan dari karaker/jumlah urine, adanya dorongan/frekuensi pendarahan berat, demam/menggigil.

G. Pelaksanaan Keperawatan Menurut Potter dan Perry (2005), perencanaan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk tujuan yang spesifik. Tahap pelaksanaan dimulai sekali rencana tindakan disusun dan ditunjukan pada nursing orders membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan. Oleh karena rencana tindakan yang spesifik dilaksanakan untuk mengidentifikasi factor-faktor masalah kesehatan klien. Tahap dari pelaksanaan adalah membantu klien dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan, yang mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan dan memfasilitasi hoping. Tahap tindakan keperawatan ada 3 yaitu : 1. Persiapan. Tahap awal tindakan keperawatan menurut perawat mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan dalam tindakan. 2. Perencanaan. Fokus tahap pelaksanaan tindakan adalah kegiatan pelaksanaan rindakan di perencanakan untuk memenuhi kebutuhan fisik dan emosional. 3. Pendokumentasian. Pelaksanaan tindakan keperawatan harus diikuti oleh pencatatan yang lengkap dan akurat terhadap suatu kejadian dalam proses keperawatan. H. Evaluasi Keperawatan Menurut Potter dan Perry (2005) evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanaannyasudah berhasil dicapai. Melalui

evaluasi memungkinkan perawat untuk memonitor kealpaan yang terjadi selama pengkajian. Tahap pengkajian, analisa, perencanaan dan pelaksanaan tindakan. Tujuan evaluasi adalah melihat kemampuan klien dalam mencapai tujuan. Ada 2 komponen untuk mengevaluasi tindakan keperawatan, yaitu : 1. Proses (formatif). Fokus tipe evaluasi ini adalah aktifitas dari proses keperawatan dan hasil kualitas pelayanan tindakan tindakan keperawatan. Evaluasi formatif terus menerus dilaksanakan sampai tujuan yang telah ditentuka tercapai. Metode pengumpulan data dalam evaluasi formatif terdiri dari analisa perencanaan tindakan keperawatan, open/chartaudit, pertemuan kelompok, interview dan observasi dengan klien dan menggunakan form evaluasi. Sistem penulisan pada tahap evaluasi ini biasanya menggunakan sistem SOAP atau metode dokumentasi lainnya. Evaluasi dengan menggunakan model SOAP subjektif : Subjektif : Perubahan keluhan yang dirasakan pada klien. Objektif : Gejala atau tanda yang dapat dilihat dari tindakan yang telah dilakukan. Analisa : Rencana terhadap keberhasilan asuhan keperawatan. Planning : Yang akan dilaksanakan sesuai analia. 2. Hasil (Sumatif) Fokus evaluasi hasil adalah perubahan atau status kesehatan klien pada akhir tindakan perawatan klien. Tipe evaluasi ini dilaksanakan pada akhir tindakan keperawatan secara paripurna. Sumatif evaluasi adalah objektif, fleksibel, dan efisien. Adapun metode pelaksanaan evaluasi sumatif terdiri dari close-chart audit, interview akhir pelayanan, pertemuak akhir pelayanan dan pertanyaan kepada klien dan keluarga. Komponen evaluasi dapat dibagi menjadi 5 bagian, yaitu : a. Menentukan kriteria, standar dan pertanyaan evaluasi. b. Mengumpulkan data mengenai keadaan klien tertentu. c. Menganalisa dan membandingkan data terhadap kriteria dan standard. d. Merangkum hasil dan membuat kesimpulan. e. Melakukan tindakan yang sesuai berdasarkan kesimpulan.

You might also like