You are on page 1of 7

TUHAN Saya ingin bercerita tentang harapan yang tak selamanya berkaitan dengan Tuhan, meskipun ini bulan

Desember. Juga tak ada hubungannya dengan kabar baik yang ditawarkan katedral baru kapitalisme, di mana lagu Malam Sunyi disebar di ruang terangbenderang bukan untuk menyambut sunyiruang-ruang Pondok Indah Mall, Senayan City, dan entah apa lagi. Saya ingin bercerita tentang harapan justru dari sebuah sel gelap yang menyekap seorang yang menolak kapitalisme dan menampik Tuhan. Ia Rosa Luxemburg, tokoh besar dalam sejarah sosialisme Eropa yang akhirnya mati dibunuh. Syahdan, pada bulan Desember 1917, Rosa menulis sepucuk surat dari Penjara Breslau. Perempuan ini disekap pemerintah Jerman karena ia, seorang warga negeri baru, dengan berani dan berapi-api menentang perang yang tengah berlangsung dengan gegap-gempita genderang patriotisme. Tahun-tahun itu banyak hal terjadi: revolusi, aksi massa buruh, perpecahan kaum sosialis, nasionalisme yang berkibar-kibar, dan ketegangan politik Eropa dalam perang. Rosa Luxemburg disekapsetahun kemudian ia dibunuhtapi aneh, sepucuk surat itu tak membahas hal-hal besar itu. Di sinilah aku terbaring, tulisnya, dalam sebuah sel gelap di atas lapik yang keras seperti batu; gedung ini sesunyi sebuah pelataran gereja, begitu rupa hingga orang sama saja dengan dikuburkan. Seraya rebah itu ia melihat seberkas kecil cahaya jatuh lewat jendela ke atas dipan, cahaya dari lampu yang menyala sepanjang malam di depan penjara. Sekali-sekali didengarnya lamat-lamat suara gaduh kereta yang lewat atau, tak jauh dari tempat tidurnya, suara batuk kering penjaga bui yang dengan sepatu larsnya yang berat jalanjalan sejenak untuk meluruskan kaki. Tapi dalam keadaan bosan, tak bebas, dan kedinginan itu ada perasaan ganjil: jantungku berdetak dengan rasa riang yang tak terukur dan tak dapat dimengerti, seakan-akan aku tengah memasuki cahaya matahari yang cemerlang yang melintasi ladang bunga. Dan di dalam gelap aku tersenyum kepada hidup, seakan-akan akulah pemilik tuah yang memungkinkan aku mengubah semua yang keji dan tragis ke dalam ketenteraman dan bahagia. Kenapa? Kenapa ia bisa tersenyum kepada hidup justru dalam sel yang dijaga itu? Ia mencoba mencari jawab dan merenungkannya, tapi inilah kesimpulannya: Aku tak menemukan sebab apa pun, dan hanya dapat menertawakan diriku sendiri. Entah kenapa ia percaya, seperti dikatakannya kemudian, bahwa kunci pembuka teka-teki ini sematamata hidup itu sendiri. Ditulisnya pula:

malam yang gelap pekat ini lembut dan cantik seperti beledu, jika saja kita memandangnya secara demikian. Geretau kerikil lembab yang terinjak oleh langkah pelan dan berat si penjaga bui juga seperti sebuah nyanyi kecil yang manis kepada hidup bagi ia yang bertelinga untuk mendengar. Rosa Luxemburg tersenyum dalam gelap, riang dalam kungkungan, mendengarkan nyanyi kecil yang manis biarpun dari suara langkah penjaga yang bersenjata. Dan ia tak tahu persis kenapa. Sebagaimana kita tak tahu adakah itulah saat waham datang, kita juga tidak tahu pasti apa maksudnya dengan hidup itu sendiri yang ia sebut sebagai kunci pembuka teka-teki tentang perasaan itu. Atau barangkali kita harus mencari jawabnya di tempat lain? Kita ingat pandangan hidupnya yang terbentuk oleh Marxisme. Kita ingat bahwa Marxisme memang sebuah paham yang yakin akan kemenangannya sendiri. Marxisme adalah ilmiah, kata orangorang sosialis pada zaman itu, dan ilmiah berarti mempunyai kesahihan. Maka jika Marx meramalkan kelak kaum proletariat akan dibebaskan dan membebaskan, keadaan itu pasti akan terjadi. Seorang Marxis juga seorang yang yakin akan dialektika: hidup berubah, tesis akan mendapatkan anti-tesisnya, dan akan tercapai, melalui tempukjunjung (Aufhebung), sebuah sintesis. Rosa Luxemburg tentu belum tahu waktu itu, meskipun sudah ada yang tahu, bahwa yang diramalkan Marx tak terbukti. Itu akan terjadi 70 tahun kemudian. Ia bahkan tak tahu bahwa setahun setelah Penjara Breslau itu ia sendiri akan dibunuh oleh kaum kanan, dan gerakan sosialisme Jerman terpukul. Bagaimanapun Rosa Luxemburg dapat dikatakan telah mencapai sesuatu yang kini mustahil kita capai, yakni harapan yang terbit karena ada kepastian dalam arah sejarah. Mungkin itu sebabnya dalam sel gelap itu ia masih mampu seakan-akan memasuki ladang kembang di bawah matahari: baginya, ia mati atau ia hidup terus, ia keluar dari sel itu atau tidak, sosialisme pasti menang. Tapi jangan-jangan ada yang lebih kuat selain penjelasan yang bertolak dari Marxisme. Jangan-jangan, seperti John Lennon yang juga mati dibunuh, Rosa tak percaya kepada mati. Mati, bagi Lennon, hanyalah seakan-akan pindah dari mobil yang satu ke mobil lain. Jika demikian, seseorang bisa punya kabar baik yang tak hanya berupa Natal dan iklaniklan. Riwayatnya, hidupnya, karyanya, surat-suratnya, semua mengukuhkan kehidupan dan bukannya ajal, tulis Simone Weil, pemikir Prancis perempuan itu, tentang Rosa Luxemburg. Tapi dengan demikian Rosa berharap ke arah aksi dan tak ke arah pengorbanan. Dalam arti itu, kata Weil pula, tak ada yang bersifat Kristen dalam watak Rosa. Tak ada sifat Kristen, bahkan tak ada iman. Tapi ternyata dalam posisi itu seseorang bisa menunjukkan bahwa syukur dan sabar bisa datang dalam sunyi yang mendengarkan nyanyi kecil yang manis kepada hidup.

Ketika Orhan belum berumur 10 tahun, ia membayangkan Tuhan sebagai seorang perempuan tua bertudung putih. Tiap kali bayangan itu muncul di depanku, aku rasakan kehadiran yang kuat, luhur dan sublim, tapi anehnya aku tak takut-takut amat, tutur Orhan Pamuk dalam Istanbul (versi Inggrisnya terbit pada tahun 2005). Seingatku, aku tak pernah meminta tolong Dia dan petunjuk-Nya. Aku sadar Ia tak pernah tertarik kepada orang macam diriku. Ia hanya peduli kepada mereka yang miskin. Hidup novelis Turki ini memang jauh dari mereka yang miskin. Sampai sekarang, dalam usia 54, ia tinggal di lantai ke-4 bangunan lima tingkat yang dulu seluruhnya ditempati keluarga besar Pamuk dan diatur seorang nenek gemuk dari tempat tidur. Dari jendela kamar itu akan tampak Masjid Hagia Sophia, Laut Marmara, Selat Bosphorus, Istana Topkapihiasan termasyhur tamasya Istanbul. Si kaya yang aman yang tak menganggap penting Tuhanitulah yang tergambar dari kenangan Pamuk tentang hidupnya di kota tua yang melankolis itu. Malah mungkin ada sikap yang lebih radikal, jika novel Beyaz Kale (versi Inggris: The White Castle) kita anggap mengandung anasir otobiografis si pengarang. Kakek si Faruk, sejarawan pemabuk dalam novel ini, tak percaya kepada Tuhan tapi kepada Pencerahan Eropa. Ia ingin membawa rasionalisme ke Turki dan menulis 48 jilid ensiklopedia. Kakek Si Orhan sendiri gemar menyanyikan lagu-lagu atheis. Orhan sadar, cinta Tuhan menjangkau siapa saja di rumah itu. Tapi ia juga tahu: orang macam kami cukup beruntung tak membutuhkannya. Bagi si kecil ini, Tuhan ada buat menolong mereka yang kesakitan, menawarkan rasa senang kepada mereka yang tak punya uang untuk mendidik anak, membantu para pengemis yang tak henti-hentinya menyebut nama-Nya. Kesalehan dan kemiskinan, kelas atas dan kemungkaranpola ini, yang dalam variasi berbeda juga pernah tampak di Indonesia, (dengan lapisan aristokrat yang dekat dengan Belanda dan orang kebanyakan yang mendapatkan kekuatan dari Islam)dihadirkan Pamuk dengan sedikit sayu, sedikit cemooh, tapi penuh empati. Dalam Istanbul ada Esma Hanim, misalnya, si batur yang tiap waktu senggang akan cepat-cepat ke biliknya untuk menggelar sajadah dan bersembahyang. Tiap kali ia merasa bahagia, sedih, takut, atau marah, ia akan teringat Tuhan, tulis Pamuk tentang pelayan pada masa kecilnya itu. Tiap kali ia membuka atau menutup pintu, ia akan menyebut nama-Nya dan kemudian membisikkan beberapa kata lain, lirih-lirih. Umumnya keluarga Pamukyang tak pernah berpuasa pada bulan Ramadan tapi menyiapkan berbuka dengan gairahmenerima sikap itu dengan nyaman. Bahkan bisa dikatakan, kami merasa lega orang-orang miskin itu bergantung pada kekuatan lain yang membantu mereka menanggungkan beban. Tentu saja ada rasa waswas, kalau-kalau orang miskin itu bisa menggunakan hubungan khusus mereka dengan Tuhan untuk menghadapi kami.

Hubungan khusus itulah yang memang kemudian dipakai mereka yang melarat dalam Kar, (versi Inggrisnya, Snow, terbit pada tahun 2005), novel tentang seorang penyair yang datang ke sebuah kota miskin di perbatasan. Di kota itu mereka yang merasa terhina oleh dunia modern, oleh Eropa, memperkuat diri dalam Islam dan dengan amarah. Tapi bagaimana akhirnya tak jelas. Mereka tak hanya dituduh anti-Turki, tapi juga antimasa depanmasa depan yang digariskan Kemal Attaturk: Turki yang modern dan sekuler. Dalam arti tertentu, karya Pamuk adalah gema Turki dan benturan sekuler-dan-Islamnyamirip dengan yang di Indonesia berbentuk pergulatan Timur-Barat. Tapi novelnovel Pamuk jauh lebih dalam dan lebih tak terduga-duga ketimbang karya para penulis dari jenis yang di sini diwakili Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Layar Terkembangyang sejak tahun 1920-an tak putus dirundung ketegangan orang Timur yang harus memilih, atau menampik, yang modern. Pamuk merasakan ketegangan macam itu, tapi ia sen-diri tak ikut tegang. Ia pernah mengatakan, di dunia tak ada orang yang menganggap diri sepenuhnya Timur. Ketika ia ditanya apa artinya itu, Pamuk menjawab: Saya tak tahu. Biarlah saya nikmati dulu yang puitik dari keadaan itukeanehannya. Mari kita tak usah memahaminya. Yang puitik, yang aneh, yang tak harus 100 persen dipahami, memang hadir dalam prosa Pamuk yang bisa halus, bisa kocak, bisa cemerlang, dan bisa mengejutkan itu. Dalam Benim Adm Krmz (My Name is Red), pelbagai karakter bicara dalam sebuah cerita pembunuhan pada abad ke-16termasuk si korban (Aku sebuah mayat), si pembunuh yang tak bernama, dan seekor anjing. Dan dari gaya yang mula-mula realistis kita langsung masuk ke kisah si Hitam yang melakukan apa saja dalam waktu sepekan: menyeberangi Bosphorus, cerai lewat pengadilan, kawin secara meriah, memandikan mayat, dan potong rambut. Atau dalam The White Castle: sosok si Hoja persis sama dengan seorang Italia yang ditangkap dan dipekerjakan di Kesultanan Turki. Bahkan akhirnya Hoja jadi si Italia, pulang ke Venezia dan si Italia jadi Hoja. Seperti Galip yang akhirnya jadi Jelal dalam Kara Kitap (The Black Book), watak tokoh dalam novel Pamuk seakan-akan tak ada, selalu dalam proses, dan narasi bergerak ke tujuan yang tak begitu jelas. Pamuk memang membedakan diri dari banyak pengarang di Dunia Ketiga, pengarang realis yang datar yang merasa sastra harus melayani moralitas atau politik. Ia menampik sastra macam yang di Indonesia dianjurkan Pramoedya Ananta Toer: Saya tak pernah menginginkan model realisme sosialis Steinbeck dan Gorky. Ia, pemenang Nobel 2006 buat kesusastraan, memang suara dari dan bagi zaman yang tahu diri: tiap ikhtiar manusia untuk mengubah dunia dengan sastra (salah satu bentuk iradah modernitas) akhirnya gagalseperti meriam dalam Beyaz Kale yang dibawa pasukan Turki untuk merebut kastil putih Polandia. Senjata modern itu terbenam dalam lumpur.

ABANGAN
Pada suatu saat di abad ke-19, seorang sastrawan Jawa bertanya gelisah kepada dirinya sendiri: lebih berat ke manakah hatiku, ke Allah atau ke Ratu? Untuk beberapa lama ia tak bisa menjawab. Tapi akhirnya ia, seperti tertulis dalam kitab Wedatama, menentukan sikap: dalam soal bot Allah apa gusti, kesetiaannya tertuju lebih kepada ia yang bertakhta di bumi. Allah bukan pilihan pertama. Kita sekarang akan menganggap pilihan itu kontroversial. Tapi sudah disebutkan, ini abad ke-19. Penulis puisi itukonon ia Mangkunegara IV sendiri, yang memerintah Surakarta dari 1857 sampai 1881menganggap yang dihadapinya bukan persoalan theologi atau filsafat, melainkan identitas sosial. Alasannya sederhana: ia bukan keturunan khatib atau tokoh agama. Ia anak priayi, lapisan pejabat kerajaan yang terpaut langsung atau tak langsung dengan aristokrasi. Sang penyair Wedatama tak merasa tergabung dalam kalangan kaum, sebutan untuk orang-orang yang penampilan dan pernyataan dirinya dibentuk idiom Islam. Ia bukan santri. Dengan keangkuhan yang setengah disembunyikan ia anggap ia akan nista bila bergabung dengan kasta kaum yang di bawah itu. Yn muriha dadi kaum temah nista. Dengan demikian, Allah dilihat hanya sebagai salah satu pilihan. Ia dapat dibandingkan dengan Raja. Keduanya praktis sejajar. Bersamaan dengan itu, Allah juga tak dianggap punya daya imbau yang universal. Mungkin awalnya sebuah ketegangan. Membaca Wedatama saya mendapat kesan tentang sebuah masyarakat Jawa, khususnya di sekitar Surakarta, yang sedang merasa diri terbelah dan menanggung kerisauan identitas. Waktu itu dengan resah orang bertanya-tanya: apa yang berubah di masyarakat, siapa kita, siapa aku, siapa kami, siapa mereka? Adakah kami Jawa, dan apa sebenarnya arti kata itu? Jawab Wedatama: Jawa adalah sikap yang memandang Panembahan Senapati, pendiri Kerajaan Mataram, sebagai model. Bukan Muhammad SAW, nabi yang terlampau jauh untuk dijadikan tauladan: lamun sira paksa nulad tuladaning kangjeng nabi o nggr kadohan panjangkah Menarik untuk menduga kenapa begitu bunyi petuah itu. Siapa pun dia, penulis Wedatama tampak terganggu betul oleh ekspresi yang agresif dan demonstratif atas nama Islam pada masanya.. Dengan tajam ia menyebut

mereka yang bengkrakan mring masdjid agung, bertingkah pamer di masjid agung, para pemuda yang tak henti-hentinya mencela orang lain (nguwus-uwus) dengan cara kasar bak raksasa yang gemar menganiaya. Puisi Jawa itu juga mencemooh mereka yang memamerkan kepintaran dengan syariat yang hebat-hebat (saringat elok-elok), seakan-akan orang tergesa-gesa ingin menyaksikan cahaya Tuhan. Terhadap itu, Wedatama menawarkan sesuatu yang berbeda: tauladan Mataram adalah keheningan laku, bukan dalil yang gaduh dan angkuh. Para kesatria Jawa dulu, kata Wedatama, menganggap tahu datang dari tindakan yang mirip pertapa: dari posisi yang tak hendak menguasai, mirip Gelassenheit Heidegger. Ia rela kehilangan, ia menerima bila hatinya dilukai, ia ikhlas dalam derita karena pasrah kepada Yang Maha Agung, legawa nelangsa srah ing Bathara. Sikap ini memandang Tuhan tak ada dalam amarah dan kecerewetan, melainkan dalam ketenteraman yang suci dan tersembunyi. Di sini tampak, Jawa dibayangkan sebagai sesuatu yang hampir sepenuhnya bertentangan dengan sebuah identitas sosial mereka yang terus-menerus sibuk dengan syariat (anggung anggubel sarengat). Maka terhadap fikih yang tegar Wedatama menegaskan sikap yang pragmatis. Terhadap lagak bersuci-suci ia mengakuidengan nada yang sedikit mengejek diri sendiripentingnya martabat, harta, dan kepandaian (wirya, harta, winasis). Terhadap sikap yang mau mencontoh nabi nun di Arab abad ke-6, ia menasihati: karena kau Jawa, sedikit saja cukuplah. Antagonisme itu menunjukkan bahwa Islam sebagai sebuah pengertian yang datang ke Jawa baru di abad ke-14 selamanya berbolong-bolong; selalu ada yang mrucut dari cakupannya. Ketika hubungan langsung orang di Jawa dengan Timur Tengah kian sering, seperti tampak sejak pertengahan abad ke-19 itu, dan semangat dakwah dan gerakan pemurnian Islam meningkat, dorongan pun bertambah untuk menambal bolong itu. Berarti yang tak murni, yang lain, harus disumpal, ditiadakan. Konflik pun berjangkit. Di situlah lahir dikotomi yang dicatat Clifford Geertz dalam The Religion of Java: abangan dan santri. Tidak, dikotomi itu bukanlah hakikat masyarakat Jawa: ia tumbuh dari pergulatan sosial pada suatu waktu, dari perebutan posisi, terkadang tegang, terkadang kendur. Sejarawan M.C. Rickels menunjukkan hal itu dengan meyakinkan dalam sebuah buku yang bakal terbit, Polarising Javanese Society; Islamic and other visions, c. 1830-1930: abangan adalah pengertian yang baru dipakai orang pada pertengahan abad ke-19. Kata itu semula sebuah cemooh orang yang taat beribadat kepada mereka yang tidak. Cap negatif itu lama-kelamaan bertransformasi, dan akhirnya diterima tanpa disesali. Apalagi bagi penulis Wedatama. Dari sikapnya tampak, baginya Islam tak menampung, tapi menendang. Agama itu tak lagi menimbulkan

daya tarik universaldan Wedatama adalah sebuah komentar tentang kegagalan universalisasi itu. Buku puisi itu suara keinginan untuk bertahan, bertahan sebagai yang lain yang tengah terdesak: jika Wedatama tak 100 persen menampik Islam, setidaknya ia ingin memilih sebuah Islam yang Jawa. Tapi apa arti Jawa sebenarnya? Seperti halnya tafsir tentang apa itu Islam, ia pun dibentuk sejarah yang tak bebas dari ketegangan. Maka tak ada Jawa yang kekal. Wedatama, sebagaimana suara para priayi, bukanlah kata akhir. Wacana tak mati-mati. ~Majalah Tempo Edisi. 29/XXXV/11 - 17 September 2006~

You might also like