You are on page 1of 7

Pendapat Ulama tentang Aborsi dalam Islam

OPINI | 22 June 2011 | 21:28 181 2 Nihil

Ulama fikih tidak berselisih pendapat seputar pengharaman aborsi setelah ditiupkannya ruh, dan menganggapnya sebagai kejahatan yang mengakibatkan hukuman. Namun mereka berselisih pendapat tentang aborsi sebelum ditiupkannya ruh ke janin dalam banyak pendapat, bahkan dalam satu mazhab sekalipun, antara yang membolehkan secara mutlak, atau sebelum empat puluh hari saja, membolehkan karena ada alasan, dan tidak boleh karena tidak ada alasan, atau makruh. Sebagian ulama menggunakan ayat-ayat yang mengharamkan membunuh anak sebagai dalil atas pengharaman azl karena dapat menghalangi terjadinya anak. Barangkali aborsi yang dilakukan oleh perumpuan adalah yang dimaksud dari firman Allah , yang artinya:
Hai nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, Maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Pendapat pertama : Boleh secara mutlak sebelum ditiupkannya ruh. Sebagian pengikut madzhab Hanafi, Ibnu Rusydi dari kelompok madzhab Maliki, dan sebagian pengikut madzhab Hambali berpendapat bahwa selama belum ditiupkan ruh, maka

tidaklah haram menggugurkan janin. Mereka berargumen bahwa janin sebelum ditiupkan ruh padanya bukanlah merupakan manusia hidup. Dalam Hasyiyah Ibnu Abidin disebutkan, perempuan boleh menggugurkan darah selama kehamilan masih berupa mudhghah atau alaqah dan belum terbentuk anggota tubuhnya. Mereka menghitung jangka waktu seratus dua puluh hari. Mereka membolehkan aborsi tersebut karena janin bukan anak Adam yang hidup. Pendapat kedua : Boleh sebelum empat puluh hari pertama dari kehamilan. Abu Ishaq Al Maruzi dari madzhab Maliki dan zhahirnya madzhab Hambali berpendapat bahwa janin tidak haram diaborsi sebelum empat puluh hari pertama. Dalam Al Mughni disebutkan, Apabila perempuan menggugurkan mudghah, lalu beberapa bidan terpercaya bersaksi ada bentuk manusia yang samar, maka dikenakan gharrah. Seandainya mereka bersaksi bahwa mudhgah tersebut merupakan permulaan penciptaan manusia yang seandainya tetap dikandung maka ia akan terbentuk. Dalam hal ini ada dua pendapat ; pendapat yang paling shahih mengatakan bahwa hukumannya tidak haram, karena janin tersebut belum terbentuk sehingga tidak wajib gharrah seperti pada alaqah, karena ketentuan asala adalah kebebasan tanggung jawab, sehingga si ibu tidak perlu dirisaukan dengan keraguan. Pendapat kedua mewajibkan gharrah karena merupakan permulaan anak Adam yang lebih mirip seandainya terbentuk, dan ini tidak berlaku pada nuthfah dan alaqah. Pendapat ketiga : Kebolehan aborsi sebelum ditiupkannya ruh karena satu alasan saja. Kesepakatan madzhab Hanafi dan sebagian pengikut SyafiI berpendapat tentang bolehnya melakukan aborsi selama belum ditiupkannya ruh kejanin ( yaitu sebelum seratus dua puluh hari ) apabila ditemukan alasan yang bisa diterima dan membolehkan aborsi. Kemudian, mereka berselisih pendapat mengenai jenis alasan yang membolehkan aborsi janin.

Madzhab Hanafi memberi contoh alasan ini seperti terhentinya air susu ibu setelah jelas kehamilannya, padahal ia memiliki anak yang sedang disusui, dan ayahnya tidak mampu mengupah murdhiah ( pekerja yang bekerja menyusui ). Asy-Syarbini pengikut Asy-SyafiI menukil pendapat Az-Zarkasyi sebagai berikut, seandainya perempuan terpaksa oleh dharurah untuk minum obat mubah yang mengakibatkan keguguran, maka sebaliknya ia tidak dikenai tanggung jawab sebab perbuatannya. Pendapat keempat: Makruh Ali bin Musa, salah seorang ahli fikih madzhab Hanafi berpendapat bahwa hukum aborsi janin sebelum ditiupkannya ruh adalah makruh, karena setelah sperma berada di dalam rahim, kelak ia akan hidup. Makruh menurut Ali bin Musa adalah makruh tahrim, karena seandainya seorang yang dalam keadaan berihram memecahkan telur binatang tanah Haram ( suci; Makah-Madinah ) maka ia menanggungnya, menurut madzhab Hanafi. pendapat kelima: Tahrim Mutlak kesepakatan madzhab Maliki berpendapat pendapat yang kuat- dan kesepakatan madzhab SyafiI serta madzhab Dhahiriyah, bahwa kandungan tidak boleh diaborsi secara mutlak. Dalam Bhalaghah As-Salik disebutkan. menggugurkan janin dengan pukulan atau teror dengan tanpa alasan syariat atau mencium bau-bauan seperti suntikan, atau terbukanya toilet, meskipun janin masih berupa alaqah darah yang tidak mencair karena siraman air panas -, maka hal tersebut merupakan tindak kejahatan, baik karena disengaja atau tidak, dilakukan orang lain atau sang ibu, seperti meminum sesuatu yang bisa menggugurkan kandungan lalu gugur, laki-laki atau perempuan, hasilnya dari pernikahan sah atau zina, dikenai denda sepersepuluh ibunya ( diyat ibunya ). Setelah menyampaikan pendapat para ahli fikih mengenai hukum aborsi, maka dapat disimpulkan bahwa pedapat mayoritas ulama madzhab Hanafi dan ulama madzhab SyafiI

yang sependapat mengenai kebolehan aborsi sebelum ditiupkannya ruh, baik dalam fase nuthfah, alaqah atau mudhaghah bila ada faktor dharurah untuk menggugurkan janin saja, dan hal itu tidak cukup dengan sekedar udzur.

ABORSI DALAM PERSPEKTIF FIQH KONTEMPORER


Senin, September 03, 2007 15:38:34

Pengarang: Prof. Dr.Gulardi H. Winknjossastro, K.H. Husain Muhammad, dkk. Penerbit: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia bekerja sama dengan Fatayat NU Editor: Maria Ulfah Anshor, Wan Nedra Komarudin, Sururi Cetakan: Pertama, 2002 Jumlah Halaman : 273 1. Setiap jam dua perempuan Indonesia meninggal karena hamil, melahirkan dan pada masa nifas 2. Ibu yang diagungkan dalam setiap agama, pada kenyataannya diabaikan kebutuhan kesehatan fisikmental-sosialnya 3. Dalam rangka hari ibu (ke 77, 22 Desember 2005), Kami mengajak semua perempuan dan laki-laki, pemerintah dan masyarakat, untuk menguatkan tekad memperjuangkan kesehatan perempuan dengan tueut aktif mensyahkan UU Kesehatan yang sedang dibahas di DPR Demikian bunyi Pernyataan Bersama yang dilakukan oleh berbagai organisasi kemasyarakan, LSM, dan beberapa Departemen yang dimotori oleh Yayasan Kesehatan Perempuan untuk mengadvokasi UU Kesehatan. Akan tetapi, tidak semua elemen masyarakat mendukung revisi UU tersebut. Salah satu masalah yang menjadi keberatan dari kelompok tersebut adalah isu legalisasi aborsi jika UU benar akan direvisi. Oleh karena itu, perlu dipaparkan apa dan bagaimana serta mengapa aborsi? Buku ABORSI DALAM PERSPEKTIF FIQH KONTEMPORER dapat dijadikan sebagai salah satu literature untuk menjawab masalah tersebut, khususnya dari perspektif Islam. Apakah yang dimaksud dengan aborsi?. Terdapat beberapa jawaban dari pertanyaan ini, akan tetapi hampir para ahli sependapat bahwa aborsi adalah pengguguran janin dalam kandungan sebelum waktunya, baik disengaja atau tidak. Aborsi yang tidak disengaja biasa disebut dengan aborsi spontan, yang oleh ulama disebut dengan isqath al-afw. Aborsi spontan tersebut bisa terjadi karena penyakit, kecelakaan, terlalu capek, dan sebagainya. Hukum dari aborsi tersebut dimaafkan, atau tidak menimbulkan akibat hukum. Sedangkan aborsi yang disengaja terbagi dalam dua macam: 1. Aborsi artificialis Therapicus, yaitu aborsi yang dilakukan oleh seorang dokter atas dasar indikasi medis sebelum janin lahir secara alami untuk menyelamatkan jiwa ibu yang terancam bila kelangsungan kehamilan dipertahankan. Aborsi ini di kalangan ulama disebut dengan isqath al-dharury (aborsi darurat) atau isqath al-Ilajiy (aborsi pengobatan).

2. Aborsi Provocatus Criminal, yaitu pengguguran kandungan yang dilakukan tanpa indikasi medis, atau tanpa sebab sebab membolehkan sebelum masa kelahiran tiba. Aborsi bentuk kedua ini biasa disebut dengan isqath al-ikhtiyari (aborsi yang disengaja). Tindak aborsi yang disengaja tersebut bisa disebabkan oleh beberapa alasan, antara lain: kekhawatiran terhadap kemiskinan, tidak ingin mempunyai keluarga besar, kekhawatiran janin yang ada dalam kandungan akan lahir dalam keadaan cacat, hamil di luar nikah. Mengenai hukum aborsi yang disengaja para ulama sepakat melarang atau mengharamkan aborsi setelah ditiupkan ruh pada janin (setelah usia kandungan 4 bulan atau 120 hari). Sebelum usia tersebut para ulama berbeda pendapat. 1. Menurut ulama Hanafiyah diperbolehkan menggugurkan kandungan yang belum berusia 120 hari, dengan alasan bahwa sebelum janin usia 120 hari atau 4 bulan belum ditiupkan ruh. Dengan demikian kehidupan insaniyah belum dimulai. Sebagian ulama Hanafiyah berpendapat makruh apabila pengguguran tersebut tanpa udzur, dan jika terjadi pengguguran maka perbuatan tersebut merupakan perbuatan dosa. 2. Madzhab Malikiyah mengharamkan aborsi sejak terjadinya konsepsi atau bertemunya sel telur dengan sperma di rahim ibu. Sebagian ulama Malikiyah lainnya berpendapat bahwa dimakruhkan aborsi ketika usia kandungan 40 hari. Dan apabila telah mencapai usia 120 hari (4 bulan), maka haram hukumnya melakukan aborsi. 3. Pendapat yang sama dengan ulama Malikiyah dikemukakan oleh al-Ghazali dan ulama Dhahiriyah yang mengharamkan aborsi sejak masa konsepsi. Dan menurut al-Ghazali mutlak keharaman tersebut. 4. Madzhab Syafiiyah berpendapat dimakruhkamn aborsi ketika usia kandungan belum sampai 40 hari, 42 hari atau 45 hari. Disamping itu, ulama Syafiiyyah juga mensyaratkan adanya kerelaan kedua belah pihak. Dan apabila usia kandungan lebih dari 40 hari, maka hukumnya haram. Menurut Romli, diperbolehkan aborsi sebelum ditiupkan ruh dan dilarang ketika usia kandungan 120 hari atau telah ditiupkan ruh.

5.

6. Menurut Madhab Hanabilahsebagaimana pendapat ulama Hanfiyahmemperbolehkan aborsi ketika usia kendungan belum sampai 120 hari atau sebelum ditiupkan ruh. Apabila lebih dari 120 hari atau telah ditiupkan ruh maka hukumnya haram. Dalam kitab-kitab fiqh juga disebutkan bahwa tindak aborsi boleh dilakukan apabila benarbenar dalam keadaan terpaksa, dalam kondisi darurat, seperti demi menyelamatkan ibu sebagaimana disebutkan dalam aborsi bentuk pertamamaka pengguguran kandungan diperbolehkan. Dan nyawa ibu lebih diutamakan mengingat ia sebagai sendi keluarga yang telah mempunyai kewajiban, baik terhadap Tuhan maupun terhadap sesama makhluk. Sedangkan janin sebelum ia lahir dalam keadaan hidup, maka ia belum mempunyai hak dan kewajiban. Hal yang sama dapat diterapkan dalam kasus korban perkosaan yang mengakibatkan stress berat, jika tidak melakukan aborsi maka ia akan sakit jiwa. Sedangkan

ia telah berkonsultasi dengan ahli psikoterapi dan ahli agama tetapi tidak berhasil. Sementara ini, keputusan yang diambil oleh perempuan untuk melakukan aborsi bukanlah keputusan yang mudah dan sangatlah dilematis. Karena tindakan tersebut bertentangan dengan norma hukum, norma agama, norma kesusilaan dan norma kesopanan. Sering kali perempuan yang melakukan aborsi merasa malu, takut, sedih, stress, merasa berdosa, ingin bunuh diri dan lain sebagainya. Dan biasanya keputusan tersebut diambil setelah perempuan merasa tidak ada pilihan lain yang lebih baik. Jika terjadi demikian maka factor kesehatan sering kali terabaikan. Bila memang aborsi menjadi jalan yang terakhir yang diambil, maka yang harus diperhatikan adalah persiapan secara fisik dan mental serta informasi yang cukup agar aborsi bisa berlangsung secara aman. Aborsi aman apabila: dilakukan oleh pekerja kesehatan (dokter umum & dokter spesialis obstetri) yang benar-benar terlatih dan berpengalaman melakukan aborsi, pelaksanaannya mempergunakan alat-alat kedokteran yang layak, dilakukan dalam kondisi bersih, apapun yang masuk vagina atau rahim harus steril atau tidak tercemar kuman dan bakteri, dilakukan kurang dari 3 bulan (12 minggu) sesudan terakhir kali mendapat haid. Upaya yang bisa dilakukan untuk menangani masalah ini antara lain: mengadakan layanan aborsi yang aman dilengkapi dengan pelaksana terlatih dan terstandard, konseling yang memberdayakan perempuan dalam mengambil keputusan, sarana dan metode yang aman, sesuai standard WHO; memberikan informasi dan konseling mengenai kesehatan reproduksi terutama pemahaman upaya pencegahan kehamilan dan bahaya aborsi yang tidak aman; dan melatih kaum perempuan untuk aktif menjadi pendidik sebaya (peer educator) dan konselor bagi kaumnya. PP Fatayat NU sebagai sebuah organisasi massa keagamaan yang beranggotakan perempuan usia produktif merasa terpanggil untuk memberikan kontribusi positif terhadap persoalan perempuan, khususnya dalam bidang kesehatan reproduksi, termasuk di dalamnya aborsi. Salah satu aksi untuk merealisasikan program tersebut adalah diselenggarakan seminar dengan tema ABORSI DALAM PERSPEKTIF FIQH KONTEMPORER. Dalam kenyataannya, informasi mengenai aborsi ditinjau dari sisi Agama Islam, khususnya fiqh, banyak yang masih dalam bentuk kitab-kitab klasik sehingga sulit untuk dipahami oleh masyarakat pada umumnya. Berangkat dari kenyataan di atas, maka seminar mengenai aborsi tersebut dilanjutkan dengan bedah kitab yang mengupas permasalahan aborsi dengan merujuk pada kitab-kitab klasik. Buku ini merupakan proceeding dari seminar Aborsi dalam perspektif Fiqh kontemporer, yang berlangsung di Hotel Indonesia, 27-29 April 2001. Tema yang dibahas dalam seminar tersebut terbagi dalam 5 bidang kajian: (1) Aborsi dalam tinjauan kesehatan, (2) Aborsi dalam tinjauan Psikologi, (3) Aborsi dalam tinjauan hukum, (4) Aborsi dalam tinjauan agama Islam, (5) Fakta-fakta Aborsi serta dilanjutkan dengan bedah kitab Fiqh yang membahas aborsi. http://www.fatayat.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=74

You might also like