You are on page 1of 10

A.

Pengertian PBL (Problem Based Learning)


Problem Based Learning (pembelajaran berbasis masalah) adalah suatu pendekatan
pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk
belajar tentang cara berIikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh
pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran. Pembelajaran berbasis masalah
digunakan untuk merangsang berIikir tingkat tinggi dalam situasi berorientasi masalah, termasuk
didalamnya belajar bagaimana belajar. Peran guru dalam pembelajaran berbasis masalah adalah
menyajikan masalah, mengajukan pertanyaan, dan memIasilitasi penyelidikan dan dialog.
PBL merupakan suatu model pembelajaran yang melibatkan siswa untuk memecahkan masalah
melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa dapat mempelajari pengetahuan yang
berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki keterampilan untuk memecahkan
masalah.
Problem Based Learning yaitu proses pembelajaran yang titik awal pembelajaran berdasarkan
masalah dalam kehidupan nyata dan lalu dari masalah ini siswa dirangsang untuk mempelajari
masalah ini berdasarkan pengetahuan dan pengalaman baru.
Problem Based Learning (Pembelajaran berbasis masalah) yang dinyatakan oleh kunandar
bahwa tanpa guru mengembangkan lingkungan kelas yang memungkinkan terjadinya pertukaran
ide secara terbuka. Secara garis besar pembelajaran berbasis masalah terdiri dari menyajikan
kepada siswa situasi masalah yang autentik dan bermakna yang dapat memberikan kemudahan
kepada mereka untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri.
Karakteristik Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL)
Para pengembang pembelajaran berbasis masalah (Ibrahin dan Nur,2004) telah mendeskripsikan
karaketeristik model pembelajaran berbasis masalah sebagai berikut.
Pengajuan pertanyaan atau masalah. Pembelajaran berbasis masalah dimulai dengan
pengajuan pertanyaan atau masalah, bukannya mengorganisasikan disekitar prinsip-prinsip atau
keterampilan-keterampilan tertentu. Pembelajaran berbasis masalah mengorganisasikan
pengajaran di sekitar pertanyaan atau masalah yang kedua-duanya secara sosial penting dan
secara pribadi bermakna bagi siswa. Mereka mengajukan situasi kehidupan nyata autentik untuk
menghindari jawaban sederhana, dan memungkinkan adanya berbagai macam solusi untuk
situasi itu.
Berfokus pada keterkaitan antar disiplin. Meskipun PBL mungkin berpusat pada mata
pelajaran tertentu. Masalah yang dipilih benar-benar nyata agar dalam pemecahannya, siswa
meninjau masalah itu dari banyak mata pelajaran.
Penyelidikan autentik. Model pembelajaran berbasis masalah menghendaki siswa untuk
melakukan pennyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah nyata.
Mereka harus menganalsis dan mendeIinisikan masalah mengembangkan hipotesis dan
membuat ramalan, mengumpulkan dan menganalsis inIormasi, melakukan eksperimen (jika
diperlukan), membuat inIerensi, dan merumuskan kesimpulan
Menghasilkan produk/karya dan memamerkannya. PBL menuntut siswa untuk
menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata atau arteIak dan peragaan yang
menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan. Bentuk tersebut
dapat berupa laporan, model Iisik, video, maupun program komputer. Karya nyata itu kemudian
didemonstrasikan kepada teman-temannya yang lain tentang apa yang telah mereka pelajari dan
menyediakan suatu alternatiI segar terhadap laporan tradisional atau makalah.
Kerjasama. Model pembelajaran berbasis masalah dicirikan oleh siswa yang bekerjasama satu
sama lain, paling sering secara berpasangan atau dalam kelompok kecil. Bekerjasama
memberikan motivasi untuk secara berkelanjutan terlibat dalam tugas-tugas kompleks dan
memperbanyak peluang untuk berbagi inkuiri dan dialog dan untuk mengembangkan
keterampilan sosial dan keterampilan berpikir.
Tahap-Tahap PBL
Pengajaran berbasis masalah terdiri dari lima tahap, seperti dijelaskan tabel berikut ini;
Tahapan Kegiatan guru
Tahap 1 :
Orientasi siswa terhadap masalah
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran,
menjelaskan perangkat yang dibutuhkan,
memotivasi siswa agar terlibat pada aktivitas
pemecahan masalah yang dipilihnya.
Tahap 2 :
Mengorganisasi siswa untuk
belajar
Guru membantu siswa mendeIinisikan dan
mengorganisasikan tugas belajar yang
berhubungan dengan masalah tersebut.
Tahap 3 :
Membimbing penyelidikan
individual dan kelompok.
Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan
inIormasi yang sesuai dan melaksanakan
eksperimen untuk mendapatkan penjelasan
serta pemecahan masalahnya.
Tahap 4 :
Mengembangkan dan menyajikan
hasil karya.
Guru membantu siswa merencanakan dan
menyiapkan karya yang sesuai seperti
laporan, video, dan model serta membantu
mereka berbagi tugas dengan temannya.
Tahap 5 :
Menganalisis dan mengevaluasi
proses pemecahan masalah
Guru membantu siswa melakukan reIleksi
atau evaluasi teerhadap penyelidikan mereka
dan proses-proses yang mereka gunakan.


Contextual Teacbing and Learning
ontextual Teaching and Learning (CTL) adalah sistem pembelajaran yang cocok dengan
kinerja otak, untuk menyusun pola-pola yang mewujudkan makna, dengan cara menghubungkan
muatan akademis dengan konteks kehidupan sehari-hari peserta didik. Hal ini penting diterapkan
agar inIormasi yang diterima tidak hanya disimpan dalam memori jangka pendek, yang mudah
dilupakan, tetapi dapat disimpan dalam memori jangka panjang sehingga akan dihayati dan
diterapkan dalam tugas pekerjaan.
ontextual Teaching and Learning (CTL) disebut pendekatan kontektual karena konsep belajar
yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata
siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota masyarakat.
CTL dikembangkan oleh The Washington State Concortium Ior Contextual Teaching and
Learning, yang melibatkan 11 perguruan tinggi, 20 sekolah dan lembaga-lembaga yang bergerak
dalam dunai pendidikan di Amerika Serikat. Salah satu kegiatannya adalah melatih dan memberi
kesempatan kepada guru-guru dari enam propinsi di Indonesia untuk belajar pendekatan
kontekstual di Amerika Serikat, melalui Direktorat SLTP Depdiknas
Pendekatan Kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan konsep
belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata
siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat (US
Departement oI Education, 2001). Dalam konteks ini siswa perlu mengerti apa makna belajar,
manIaatnya, dalam status apa mereka dan bagaimana mencapainya. Dengan ini siswa akan
menhadari bahwa apa yang mereka pelajari berguna sebagai hidupnya nanti. Sehingga, akan
membuat mereka memposisikan sebagai diri sendiri yang memerlukan suatu bekal yang
bermanIaat untuk hidupnya nanti dan siswa akan berusaha untuk meggapinya.
Tugas guru dalam pembelajaran kontekstual adalah membantu siswa dalam mencapai tujuannya.
Maksudnya, guru lebih berurusan dengan trategi daripada memberi inIormasi. Guru hanya
megelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja sama untuk menemukan suatu yang baru bagi
siswa. Proses belajar mengajar lebih diwarnai Student centered daripada teacher centered.
Menurut Depdiknas guru harus melaksanakan beberapa hal sebagai berikut: 1) Mengkaji konsep
atau teori yang akan dipelajari oleh siswa . 2) Memahami latar belakang dan pengalaman hidup
siswa melalui proses pengkajian secara seksama. 3) Mempelajari lingkungan sekolah dan tempat
tinggal siswa yang selanjutnya memilih dan mengkaiykan dengan konsep atau teori yang akan
dibahas dalam pembelajaran kontekstual. 4) Merancang pengajaran dengan mengkaitkan konsep
atau teori yang dipelajari dengan mempertimbangkan pengalaman yang dimiliki siswa dan
lingkungan hidup mereka. 5) Melaksanakan penilaian terhadap pemahaman siswa, dimana
hasilnya nanti dijadikan bahan reIeksi terhadap rencana pemebelajaran dan pelaksanaannya.
Dalam pengajaran kontekstual memungkinkan terjadinya lima bentuk belajar yang penting, yaitu
mengaitkan (relating), mengalami (experiencing), menerapkan (applying), bekerjasama
(cooperating) dan mentransIer (transIerring).
1. Mengaitkan adalah strategi yang paling hebat dan merupakan inti konstruktivisme. Guru
menggunakan strategi ini ketia ia mengkaitkan konsep baru dengan sesuatu yang sudah dikenal
siswa. Jadi dengan demikian, mengaitkan apa yang sudah diketahui siswa dengan inIormasi baru.
2. Mengalami merupakan inti belajar kontekstual dimana mengaitkan berarti menghubungkan
inIormasi baru dengan pengelaman maupun pengetahui sebelumnya. Belajar dapat terjadi lebih
cepat ketika siswa dapat memanipulasi peralatan dan bahan serta melakukan bentuk-bentuk
penelitian yang aktiI.
3. Menerapkan. Siswa menerapkan suatu konsep ketika ia malakukan kegiatan pemecahan
masalah. Guru dapet memotivasi siswa dengan memberikam latihan yang realistic dan relevan.
4. Kerjasama. Siswa yang bekerja secara individu sering tidak membantu kemajuan yang
signiIikan. Sebaliknya, siswa yang bekerja secara kelompok sering dapat mengatasi masalah
yang komplek dengan sedikit bantuan. Pengalaman kerjasama tidak hanya membanti siswa
mempelajari bahan ajar, tetapi konsisten dengan dunia nyata.
5. MentransIer. Peran guru membuat bermacam-macam pengelaman belajar dengan Iocus pada
pemahaman bukan hapalan.
Karakteristik Pembelajaran ontextual Teaching and Learning
Pembelajaran dengan pendekatan Contextual Teaching and Learning mempunyai karakteristik
sebagai berikut.
a. Pembelajaran dilaksanakan dalam konteks autentik, yaitu pembelajaran yang diarahkan pada
ketercapaian keterampilan dalam konteks kehidupan nyata atau pembelajaran yang dilaksanakan
dalam lingkungan yang alamiah.
b. Pembelajaran memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengerjakan tugas-tugas yang
bermakna.
c. Pembelajaran dilaksanakan dengan memberikan pengalaman bermakna kepada siswa.
d. Pembelajaran dilaksanakan melalui kerja kelompok, berdiskusi, saling mengoreksi antar
teman.
e. Pembelajaran memberikan kesempatan untuk menciptakan rasa kebersamaan, bekerja sama,
dan saling memahami antara satu dengan yang lain secara mendalam.
I. Pembelajaran dilaksanakan secara aktiI, kreatiI, produktiI, dan mementingkan kerja sama.
g. Pembelajaran dilaksanakan dalam situasi yang menyenangkan.
Secara lebih sederhana karakteristik pembelajaran Contextual Teaching and Learning dapat
dinyatakan menggunakan sepuluh kata kunci yaitu: kerja sama, saling menunjang,
menyenangkan, belajar dengan gairah, pembelajaran terintegrasi, menggunakan berbagai
sumber, siswa aktiI, sharing dengan teman, siswa kritis dan guru kreatiI.
Implementasi Pembelajaran Kontekstual di Kelas
Pendekatan CTL memiliki tujuh komponen utama. Kelas dikatakan menerapkan CTL jika
menerapkan ke tujuh komponen tersebut dalam pembelajarannya. Secara garis besar langkah-
langkah penerapatan CTL dalam kelas sebagai berikut.
1) Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri,
menemukan sendiri dan mengkontruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya
2) Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inquiri untuk semua topik
3) Kembangkan siIat ingin tahu siswa dengan bertanya
4) Ciptakan masyaraka belajar (belajar dalam kelompok)
5) Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran
6) Lakukan reIleksi di akhir pertemuan
7) Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara
Untuk lebih jelasnya uraian setiap komponen utama CTL dan penerapannya dalam pembelajaran
adalah sebagai berikut sebagai berikut:

Metode Pembela|aran Inquiry
Metode pembelajaran Inquiri berhubungan erat dengan pendekatan CTL (contextual Teaching
and Learning), bahkan menjad inti pendekatan belajar CTL. Pendekatan contextual teaching and
learning (CTL) merupakan konsep pembelajaran yang membantu guru untuk mengaitkan antara
materi ajar dengan situasi dunia nyata siswa. Yang dapat mendorong siswa membuat hubungan
antara pengetahuan yang dipelajari dengan penerapannya dalam kehidupan para siswa sebagai
angota keluarga dan masyarakat. Berangkat dari konsepsi ini diharapkan hasil pembelajaran akan
lebih bermakna. Proses pembelajarannya akan berlangsung secara alamiah dalam bentuk
kegiatan siswa bekerja dan megalami, bukan sekedar transIer pengetahuan dari guru ke siswa.
Dalam pembelajaran kontekstual ini didorong untuk mengerti apa makna belajar, apa manIaatnya
dan bagaimana mencapainya. Diharapkan mereka sadar bahwa mereka pelajari itru berguna bagi
hidupnya. Dengan demikian mereka akan memosisikan dirinya sebagai pihak yang memerlukan
bekal untuk hidupnya nanti.
Dalam kelas kontektual, tugas guru adalah membantu siswa untuk mencapai tujuannya.
Maksudnya guru lebih banyak berurusan dengan strategi dari pada memberi inIormasi. Tugas
guru adalah mengelola kelas agar kelas menjadi kondusiI untuk belajar siswa. Jadi pengetahuan
atau keterampilan itu akan ditemukan oleh siswa sendiri, bukan apa kata guru. Dalam
pembelajaran kontekstual ada motto 'student learn best by actively constructing their own
understanding (cara belajar terbaik adalah siswa mengkonstruksikan sendiri secara aktiI
pemahamannya). Untuk penerapan pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) ada
tujuh aspek yaitu sabagai berikut:
1. Konstruktivisme (constructivism)
2. Menemukan (inquiry)
3. Bertanya (quetioning)
4. Masyarakat belajar (learning community)
5. Pemodelan (modelling)
6. ReIleksi (reIlection)
7. Penilaian autentik (autentic assessment)
Masnur Muslich (2007: 42) menyatakan bahwa karakteristik pembelajaran kontekstual adalah
sebagai berikut:
1. Pembelajaran dilaksanakan dalam konteks autentik, yaitu pembelajaran yang diarahkan
kepada ketercapaian keterampilan dalam konteks kehidupan nyata atu pembelajaran yang
dilaksanakan dalam lingkungan yang alamiah (learning in real liIe setting)
2. Pembelajaran memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengerjakan tugas-tugas yang
bermakna (meaningIul learning)
3. Pembelajaran dilaksanakan dengan memberikan pengalaman bermana kepada siswa (learning
by doing)
4. Pembelajaran dilaksanakan melalui kerja kelompok, berdiskusi, saling mengoreksi antarteman
(learning in a group)
5. pembelajaran memberikan kesempatan untuk menciptakan rasa kebersamaan, bekerja sama,
dan saling memahami antara satu dengan yang lain secara mendalam (learning to know each
other deeply)
6. Pembelajaran dilaksanakan secara aktiI, kreatiI, produktiI, dan mementingkan kerja sama
(learning to ask, to inquiry, to work together)
7. Pembelajaran dilaksanakan dalam situasi menyenngkan (learning as an enjoy activity).
Metode Pembelajaran Inquiry
Inquiry (kegiatan menemukan) menjadi ciri dan komponen CTL. etode pembelafaran inquiry
berupaya menanamkan dasar-dasar berIikir ilmiah pada diri siswa, sehingga dalam proses
pembelajaran ini siswa lebih banyak belajar sendiri, mengembangkan kreativitas dalam
memecahkan masalah. Siswa benar-benar ditempatkan sebagai subjek yang belajar. Peranan guru
dalam pembelajaran dengan metode inquiry adalah sebagai pembimbing dan Iasilitator. Tugas
guru adalah memilih masalah yang perlu disampaikan kepada kelas untuk dipecahkan. Namun
dimungkinkan juga bahwa masalah yang akan dipecahkan dipilih oleh siswa. Tugas guru
selanjutnya adalah menyediakan sumber belajar bagi siswa dalam rangka memecahkan masalah.
Bimbingan dan pengawasan guru masih diperlukan, tetapi intervensi terhadap kegiatan siswa
dalam pemecahan masalah harus dikurangi. Kegiatan ini diawali dari pengamatan terhadap
Ienomena, dilanjutkan dengan kegiatan-kegiatan bermakna untuk menghasilkan temuan yang
diperolah sendiri oleh siswa. Dengan demikian pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh
siswa tidak dari hasil mengingat seperangkat Iakta, tetapi hasil menemukan sendiri dari Iakta
yang dihadapinya.
Prinsip-prinsip penerapan model pembelajaran inquiry adalah:
1. Pengetahuan dan keterampilan akan lebih lama diingat apabila siswa menemukan sendiri.
2. InIormasi yang diperoleh siswa akan lebih mantap apabila diikuti dengan bukti-bukti atau data
yang ditemukan sendiri oleh siswa.
3. Siklus inquiry adalah observasi (observation), bertanya (questioning), mengajukan dugaan
(hiphotesis), pengumpulan data (data gathering), dan penyimpulan (conclussion)
4. Langkah-langkah kegiatan Metode pembelajaran inquiry: (a) merumuskan masalah, (b)
mengamati atau melakukan observasi, (c) menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan,
gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lain, (d) mengomunikasikan atau menyajikan hasilnya
pada pihak lain (pembaca, teman sekelas, guru, audiens yang lain).
Oemar hamalik (2007: 221menjelaskan bahwa proses inkuiri menuntut guru bertindak sebagai
Iasilitator, nara sumber dan penyuluh kelompok. Para siswa didorong untuk mencari
pengetahuan sendiri, bukan dijejali dengan pengetahuan. Strategi instruksional dapat berhasil
bila guru memperhatikan kreteria sebagai berikut:
1. mendeIinisikan secara jelas topik inkuiri yang dianggap bermanIaat bagi siswa
2. membentuk kelompok-kelompok dengan memperhatikan keseimbangan aspek akademik dan
aspek sosial.
3. menjelaskan tugas dan menyediakan balikan kepada kelompok dengan cara yang responsiI
dan tepat waktu.
4. Intervensi utnuk meyakinkan terjadinya interaksi antara pribadi secara sedcara sehat dan
terdapat dalam kemajuan pelaksanaan tugas
5. melakukan evaluasi dengan berbagai cara untuk menilai kemajuan kelompok dan hasil yang
dicapai.
Metode inkuiri yang diintegrasikan dalam pembelajaran kelompok dapat dilakukan dengan
langkah-langkah berikut:
1. Membentuk kelompok-kelompok inkuiri. Masing-masing kelompok dibentuk berdasarkan
rentang intelektal dan keterampilan-keterampilan sosial
2. Memperkenalkan topik-topik inkuiri kepada semua kelompok. Tiap kelompok diharapkan
memahami dan berminat mempelajarinya.
3. Membentuk posisi tentang kebijakan yang bertalian dengan topik, yakni pernyataan apa yang
harus dikerjakan. Mungkin terdapat satu atau lebih solusi yang diusulkan terhadap masalah
pokok.
4. Merumuskan semua istilah yang terkandung di dalam proposisi kebijakan.
5. Menyelidiki validitas logis dan konsisten internal pada proposisi dan unsur-unsur
penunjangnya.
6. Mengumpulkan evidensi (bukti) untuk menunjang unsur-unsur proposis
7. Menganalisis solusi solusi yang diusulkan dan mencari posisi kelompok
8. Menilai proses kelompok.
Metode inquiry yang mensyaratkan keterlibatan aktiI siswa. Pada pembelajaan Sains metode
inquiry membantu perkembangan antara lain scientiIic literacy dan pemahaman proses-proses
ilmiah, pengetahuan vocabulary dan pemahaman konsep, berpikir kritis, dan bersikap positiI.
Dapat disebutkan bahwa metode inquiry tidak saja meningkatkan pemahaman siswa terhadap
konsep-konsep dalam Sains saja, melainkan juga membentuk sikap keilmiahan dalam diri siswa.
Walaupun dalam praktiknya aplikasi metode pembelajaran inquiry sangat beragam, tergantung
pada situasi dan kondisi sekolah, namun dapat disebutkan bahwa pembelajaran dengan metode
inquiry memiliki 5 komponen yang umum yaitu Question, Student Engangement, Cooperative
Interaction, PerIormance Evaluation, dan Variety oI Resources (Garton, 2005).
Question. Pembelajaran biasanya dimulai dengan sebuah pertanyaan pembuka yang memancing
rasa ingin tahu siswa dan atau kekaguman siswa akan suatu Ienomena. Siswa diberi kesempatan
untuk bertanya, yang dimaksudkan sebagai pengarah ke pertanyaan inti yang akan dipecahkan
oleh siswa. Selanjutnya, guru menyampaikan pertanyaan inti atau masalah inti yang harus
dipecahkan oleh siswa. Untuk menjawab pertanyaan ini sesuai dengan Taxonomy Bloom
siswa dituntut untuk melakukan beberapa langkah seperti evaluasi, sintesis, dan analisis.
Jawaban dari pertanyaan inti tidak dapat ditemukan misalnya di dalam buku teks, melainkan
harus dibuat atau dikonstruksi.
Student Engangement. Dalam metode inquiry, keterlibatan aktiI siswa merupakan suatu
keharusan sedangkan peran guru adalah sebagai Iasilitator. Siswa bukan secara pasiI menuliskan
jawaban pertanyaan pada kolom isian atau menjawab soal-soal pada akhir bab sebuah buku,
melainkan dituntut terlibat dalam menciptakan sebuah produk yang menunjukkan pemahaman
siswa terhadap konsep yang dipelajari atau dalam melakukan sebuah investigasi.
Cooperative Interaction. Siswa diminta untuk berkomunikasi, bekerja berpasangan atau dalam
kelompok, dan mendiskusikan berbagai gagasan. Dalam hal ini, siswa bukan sedang
berkompetisi. Jawaban dari permasalahan yang diajukan guru dapat muncul dalam berbagai
bentuk, dan mungkin saja semua jawaban benar.
PerIormance Evaluation. Dalam menjawab permasalahan, biasanya siswa diminta untuk
membuat sebuah produk yang dapat menggambarkan pengetahuannya mengenai permasalahan
yang sedang dipecahkan. Bentuk produk ini dapat berupa slide presentasi, graIik, poster,
karangan, dan lain-lain. Melalui produk-produk ini guru melakukan evaluasi.
Variety oI Resources. Siswa dapat menggunakan bermacam-macam sumber belajar, misalnya
buku teks, website, televisi, video, poster, wawancara dengan ahli, dan lain sebagainya.
Sumber: www.duniapembelajaran.com

Nouel Coopeiatif Leaining Tipe NBT
Isjoni (2007) menuliskan Cooperative learning berasal dari kata ooperative yang berarti
mengerjakan sesuatu secara bersama-sama dengan saling membantu satu sama lainnya sebagai
satu kelompok atau satu tim.
Slavin dalam isjoni (2007) menyebutkan cooperative learning merupakan model pembelajaran
yang telah dikenal sejak lama, dimana pada saat itu guru mendorong para siswa untuk
melakukan kerja sama dalam kegiatan kegiatan tertentu seperti diskusi atau pengajaran oleh
teman sebaya (peer teaching). Dalam melakukan proses belajar mengajar guru tidak lagi
mendominasi seperti lazimnya pada saat ini, sehingga siswa dituntut untuk berbagi inIormasi
dengan siswa yang lainnya dan saling belajar mengajar sesama mereka.
Trianto (2007) menuliskan 'dalam pembelajaran kooperatiI terdapat enam Iase pada setiap
pembelajarannya
Tabel 2.1 Fase pembelajaran Kooperatif.
NoIase Iase er||aku Guru
lase ke1
Menyampalkan
Lu[uan dan
memoLlvasl slswa
Curu menyampalkan semua Lu[uan pela[aran yang
lngln dlcapal pada pela[aran LersebuL dan
memoLlvasl slwa bela[ar
lase ke2
Menya[lkan lnformasl Curu menya[lkan lnformasl kepada slswa dengan
[alan demonsLrasl aLau lewaL bahan bacaan
lase ke3
Mengorganlsaslkan
siswa dalam
kelompok kooperatiI
Curu men[elaskan kepada slswa bagalmana
caranya membenLuk kelompok bela[ar dan
membanLu seLlap kelompok agar melakukan
Lranslsl secara eflslen
lase ke4
Memblmblng
kelompok beker[a dan
bela[ar
Curu memblmblng kelompokkelompok bela[ar
paa saaL mereka menger[akan Lugas mereka
lase ke3
Lvaluasl Curu mengevaluasl hasll bela[ar LenLang maLerl
yang Lelah dlpela[arl aLau maslngmaslng kelompok
menya[lkan hasll ker[anya
lase ke6
Memberlkan
penghargaan
Curu mencarl caracara unLuk menghargal balk
upaya maupun hasll bela[ar lndlvldu dan kelompok
Dalam Isjoni (2007) dituliskan model Cooperative learning tipe umbered heads together
(Kepala bernomor) dikembangkan spencer kagan. Teknik ini memberi kesempatan kepada siswa
untuk saling membagikan ide-ide dan pertimbangan jawaban yang paling tepat. Selain itu teknik
ini mendorong siswa untuk meningkatkan semangat kerja sama mereka.
Maksud dari kepala bernomor yaitu setiap anak mendapatkan nomor tertentu, dan setiap nomor
mendapatkaan kesempatan yang sama untuk menunjukkan kemampuan mereka dalam
menguasai materi.
Dengan menggunakan model ini, siswa tidak hanya sekedar paham konsep yang diberikan, tetapi
juga memiliki kemampuan untuk bersosialisasi dengan teman-temannya, belajar mengemukakan
pendapat dan menghargai pendapat teman, rasa kepedulian pada teman satu kelompok agar dapat
menguasai konsep tersebut, siswa dapat saling berbagi ilmu dan inIormasi, suasana kelas yang
rileks dan menyenangkan serta tidak terdapatnya siswa yang mendominasi dalam kegiatan
pembelajaran karena semua siswa memiliki peluang yang sama untuk tampil menjawab
pertanyaan.
Adapun langkah-langkah model ooperative learning tipe umbered heads together antara lain:
1. Siswa dibagi dalam kelompok, setiap siswa dalam setiap kelompok mendapat nomor
2. Guru memberikan tugas dan masing-masing kelompok mengerjakannya
3. Kelompok mendiskusikan jawaban yang benar dan memastikan tiap anggota kelompok
dapat mengerjakannya/mengetahui jawabannya
4. Guru memanggil salah satu nomor siswa dan nomor yang dipanggil melaporkan hasil
kerjasama mereka
5. Tanggapan dari teman yang lain, kemudian guru menunjuk nomor yang lain
Kelebihan model ooperative Learning tipe umbered Heads together:
1 SeLlap slswa men[adl slap semua
2 uapaL melakukan dlskusl dengan sungguhsungguh
3 Slswa yang pandal dapaL menga[arl slswa yang kurang pandal
4 1ldak ada slswa yang mendomlnasl dalam kelompok
Kelemahan model ooperative Learning tipe umbered Heads together:
1 kemungklnan nomor yang dlpanggll dlpanggll lagl oleh guru
2 1ldak semua anggoLa kelompok dlpanggll oleh guru

You might also like