You are on page 1of 13

No : 01-2009 Januari 2009

Buletin

Indo

ILWI (Indonesian Land reclamation & Water management Institute) sebagai sebuah lembaga kajian dibidang reklamasi dan pengelolaan air berupaya untuk menyebarkan informasi dan pengetahuan di bidang reklamasi & pengelolaan air kepada masyarakat. Buletin ini kami kirimkan secara gratis Tulisan, saran dan pemberitaan media menjadi bagian dari isi buletin ini. Alamat : Jl. Rajawali II No. 5A Manukan, Condong Catur Yogyakarta 55283 atau P.O. Box 7277/JKSPM Jakarta Selatan 12072 Email : ilwi@indosat.net.id
ILWI Buletin No 01-2009

Mencari solusi banjir ibukota


1

Pengantar Redaksi
Pembaca yang Budiman , setiap kali memasuki musim hujan, bagi kebanyakan warga Jakarta tentu disambut dengan rasa cemas. Berharap agar curah hujan tak sampai membuat ibu kota kembali tergenang. Bisa dimengerti, karena jika genangan air cukup tinggi, kerugian dan kesengsaraan pasti dirasakan. Dari hal yang terkecil seperti terlambat masuk kantor , banyak janji bisnis dibatalkan, kerusakan rumah dan infrastruktur, dan yang paling disesalkan adalah jika sampai kehilangan nyawa manusia. Usaha untuk menanggulangi dan mengurangi dampak itu sebenarnya sudah dilakukan oleh pemerintah. Seperti pengerukan sungai, pembangunan Banjir Kanal Timur dan peninggian ruas jalan tol yang menuju Bandara Soekarno Hatta. Meskipun demikian oleh sebagian warga menganggap usaha yang dilakukan sejauh ini belum optimal. Tapi, ini cukup untuk membuktikan bahwa ada niatan yang lumayan serius dari pemerintah untuk melakukan usaha mengurangi masalah banjir di Jakarta. Pembaca, Buletin ILWI, ini kami terbitkan untuk menyampaikan dan membahas informasi yang berkaitan dengan tata kelola air dan reklamasi. Apapun kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan itu akan kita informasikan dan telaah. Tak, hanya itu informasi dari individu dan kalangan profesional juga diakomadasi agar kita bisa berbagi pengetahuan. Bisa berupa kliping atau tulisan-tulisan yang berkaitan dengan itu. Diharapkan semua langkah yang dilakukan bisa membawa kita berada di jalur yang benar sehingga keinginan untuk hasil yang lebih baik benar-benar bisa terwujud. Dalam edisi perdana ini, kami membahas beberapa konsep teknis penaggulangan banjir, dari Peninggian Ruas Jalan Tol Soekarno Hatta, Biopori, ASR (Aquifer Storage and Recovery) system dan contoh Multi Purpose Deep Tunnel (MPDT) yang beberapa waktu lalu telah di selesaikan di Malaysia. Pada edisi mendatang kami berencana untuk menampilkan kilas balik beberapa konsep Penangulangan Banjir di Ibukota. Pembaca, Selamat menikmati Buletin ILWI Edisi Perdana ini dan tak lupa juga kami Mengucapkan Selamat Tahun Baru 2009.

Redaksi ILWI

ILWI Buletin No 01-2009

Pengerukan sungai
Jalan lain menuju bebas banjir
Telah diyakini, bahwa banyaknya sedimen dan sampah di sungai dan kanal menjadi salah satu penyebab banjir di Jakarta. Pemerintah berencana untuk melakukan pengerukan terhadap 13 sungai di Jakarta. Pelaksanaan pengerukan sungai tersebut akan dilakukan dengan bantuan pendanaan dari Bank Dunia berupa pinjaman lunak sebesar US$ 150 juta ditambah bantuan hibah US$ 10 juta.

Menurut Wagub DKI Prijanto, kepada beberapa media, pengerukan 13 sungai pengendali banjir yang telah mengalami kedangkalan itu baru akan dimulai pada tahun 2009. Tahun 2008 ini akan diselesaikan administrasinya. Proyek tersebut terbagi ke dalam beberapa program hingga tahun 2012. Tahun 2009 dilakukan pengerukan, rehabilitasi tanggul, dan perbaikan pompa-pompa sekaligus pembangunan lokasi pembuangan lumpur. Rencananya selesai tahun 2010 sehingga waktu dua tahun dapat digunakan untuk pemeliharaan dan peningkaran kapasitas sumber daya manusia dalam penanggulangan banjir di Jakarta.

yang mengendap ke pinggiran sungai. Selanjutnya, excavator akan memindahkannya ke truk.

Pembersihan di bawah jembatan

Floating bulldozer beraksi di kali Mati

Untuk membahas efektivitas dari pengerukan sungai ini, Buletin ILWI melakukan interview dengan Sawarendro, seorang pengamat dan praktisi dibidang Watermanagement. Berikut ini adalah hasil wawancara tersebut. Apakah rencana pengerukan di 13 sungai tersebut akan efektif untuk menanggulangi banjir di Jakarta? Tidak ada satu single solusi yang dapat mengatasi masalah kompleks banjir di Jakarta. Pengerukan sedimen di mulut sungai merupakan satu dari sejumlah structural measures yang diperlukan untuk mengurangi dampak banjir di Jakarta. Dalam 30-40 tahun terakhir ini tidak terjadi pengerukan yang sistematis di mulut-mulut sungai di Jakarta, sedangkan proses erosi di bagian hulu (upstream) terus berlangsung dan membawa sedimen ke laut. Tumpukan sedimen ini menyebabkan kenaikan muka air di sungai yang berdampak pada perluasan daerah banjir dan meningkatnya permasalahan banjir.

Sebelum pengerukan dalam skala besar ini dimulai, pada tahuun 2008 Pemerintah DKI telah mengadakan kerjasama dengan pemerintah Belanda untuk menguji cobakan floating bulldozer pengerukan di beberapa sungai (Kali Ancol, Kali Mati dan Kali Pademangan). Dua alat keruk yang saat ini beroperasi berukuran sedang 7x3 meter, dan ukuran kecil 3x1,5 meter. Setelah selesai mengeruk, kedua alat keruk senilai 700.000 euro itu akan dihibahkan oleh Pemerintah Kerajaan Belanda ke Pemprov DKI Jakarta. Alat keruk yang disebut buldoser apung itu diperkirakan mampu mengeruk sekitar 250 meter kubik sampah dan lumpur per hari. Cara kerjanya mirip buldozer yang meminggirkan lumpur atau tanah

ILWI Buletin No 01-2009

Dengan melakukan pengerukan terhadap tumpukan sedimen ini, maka bisa diharapkan muka air di sungai akan menurun dan masalah banjir bisa berkurang. Pada mulut-mulut sungai terdapat tumpukan sedimen setebal 3-4 m. Gambar 1 menunjukkan tipikal profil memanjang dari dasar sungai di dekat mulut sungai.

Apakah masalah banjir ini bisa diselesaikan dengan penyelesaian structural (mis pengerukan) ini? Penyelesaian masalah banjir harus dilakukan dengan penyelesaian srtructural (teknis) dan non structural (institusional). Permasalahan utama sering terletak pada kelemahan institusional ini.

pengerukan

Gambar 1: Tipikal profile memanjang dasar sungai di muara

Seberapa efektif pengerukan terhadap penurunan muka air di sungai? Beberapa analisa, menunjukkan bahwa pengerukan sedimen di mulut sungai cukup efektif untuk menurunkan muka air di sungai pada saat debit air puncak. Pengerukan sedimen setebal sekitar 3 m dapat menurunkan muka air di sungai sampai 1 m. Gambar 2 menunjukkan tipikal hubungan antara pengerukan dan efeknya terhadap penurunan muka air di sungai.

Kondisi mulut sungai

Efek kenaikan muka air di sungai


euri Cimanc

K. Tahang

C ir ara b

Cileuleus

Cengkareng Drain

Kenaikan muka air di sungai

K. K

1.5 1.0 0.5 0.0 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 Pengerukan tumpukan sedimen di mulut sungai

AIRPORT

Cakung Drain

am al

JAKARTA
K. Sekretaris

K. Abang

TANGERANG
aart Sal. Mookerv

K. Marunda

K. Blencong

K. Grogol

Balaraja
K. Sepak Sal. Meruya

K. Beka si

K. Buaran

C.B

.L

K. Cipi nang

K. Jatikramat K. Cakung

n eta W

K. Krukut

Curug

K. Angke

K. Sunter

Ciledug

Cisadane

C im

Pondok Gede

Ciliwung

uri

Cis

an ce

ada ng
Cik

Ciputat Serpong

K. Pesanggrahan

K. Mampang

Cikarang

K.

ng ara

Cimanggis Cileungsi Cibarusa

Parung

K. Ba

Cik

eas

ru Ti mur

Gambar 2: Tipikal efek pengerukan sedimen terhadap penurunan muka air sungai

Jonggol Gunung Putri

10 12 m

Apakah setelah program pengerukan ini masih diperlukan pengerukan berikutnya? Proses erosi di hulu telah terjadi pada masa lalu, kini dan masih akan terjadi di masa datang. Proses sedimentasi di mulut sungai terjadi dalam proses yang cepat dipengaruhi oleh kecepatan alir air yang rendah dan proses flokulasi (pertemuan air tawar dan air asin yang menyebabkan bertambah beratnya partikel sedimen). Karena proses sedimentasi masih akan terus berlangsung, maka perawatan di mulut sungai dengan melakukan pengerukan secara berkala merupakan suatu keharusan. Perawatan secara berkala dalam periode 2-5 tahun sangat dianjurkan. ILWI Buletin No 01-2009

BOGOR
Empang Katulampa

Scale bar

Ke Cianjur

G. Pangrango

Sungai-sungai yang melalui Jakarta (Sumber: WJEMP study)

Apakah kita sudah berada pada arah yang benar?


Antisipasi genangan Soekarno Hatta airport & Tol Sedyatmo

Airport Soekarno Hatta dan terutama fasilitas jalan tol menuju ke sana senantiasa menjadi perhatian publik, terutama pada saat musim hujan dan air pasang. Bayangkan dalam kurun kurang waktu satu tahun terakhir ini saja jalan tol tak mampu dilalui sebanyak tiga (3) kali: November 2007, Pebruari 2008 dan Mei 2008. Pembangunan jalan tol yang berupa jembatan dengan elevasi berkisar 2 m diatas jalan yang ada ini telah dirampungkan pada akhir 2008 ini.

Pemancangan di jalan tol Sedyatmo

Pembangunan jalan/jembatan ini, masih menyisakan beberapa pertanyaan yang menggelitik, seperti: Penampang jalan tol (sumber Kompas)

Bagaimana grand design jalan tol ke depan? Apakah jalan tol secara keseluruhan akan dibuat berupa jembatan? Apakah desian elevasi jembatan sudah memperhitungkan sea level rise dan land subsidence? Bagaimana kondisi ruas jalan eksisting pada saat datangnya musim hujan dan air pasang? Bagaimana keadaan airport di masa datang, akankah menghadapi permasalahan yang sama dengan jalan tol, bagaimana masa depan airport Soekarno Hatta ini?

Tampang lintang jalan tol (2002)


20 30 40

Redaksi berharap ada tulisan dan input dari pembaca untuk mendiskusikan hal ini.

M uara karang river

Bandara
Kerendang river

40 20
Krukut bawah river

20
Petukangan canal

Cideng river

Sodetan Grogol Pesanggrahan

Kontur Penurunan muka tanah di jakata (sumber: JICA 1997)

ILWI Buletin No 01-2009

Aquifer Storage and Recovery (ASR) sebagai alternatif penyimpanan air bawah tanah
Masalah banjir dan kekeringan merupakan suatu hal yang saling berkaitan dan merupakan suatu kesatuan. Ibarat dua sisi dari satu mata uang. Penanganan yang diidamkan adalah apabila perbaikan di satu sisi (penanggulangan banjir) bisa pula memberikan efek beranting yang positif terhadap persediaan air di kala musim kering. Penyimpanan air di lapisan aquifer menjadi salah satu sistim yang menarik untuk diimplementasikan pada situasi seperti yang terjadi di Jakarta beberapa waktu ini. pengambilan air tanah masih mempunyai hak untuk tetap exist? Tentu saja, apabila pengambilan air tanah dilakukan tetap dengan cara seperti yang dilakukan sekarang, maka argumentasi untuk tetap mempertahankan penyedotan air tanah menjadi semakin melemah. Perlu ada pola tertentu yang baru yang lebih menjamin keberlanjutan dan kelestarian.

Sebagaimana sudah disadari, persediaan air minum tidak dapat dipenuhi oleh air pemipaan. Di Jakarta, hanya sebagian dari penduduk, yang kebutuhan air bersihnya disuplai oleh PALIJA. Sedangkan, sebagian besar dari sisanya memenuhi kebutuhan air bersih dari sumber lain, terutama pengambilan/penyedotan air tanah (groundwater extraction). Tentu saja penyedotan air tanah yang berlangsung lama tersebut akan memberikan beberapa dampak negatif yang telah dirasakan warga Jakarta: - Penurunan muka tanah (land subsidence) yang berdampak terhadap makin beratnya permasalahan banjir. Semakin dalam dan luasnya daerah genangan menjadi fenomena yang muncul. - Penurunan muka air tanah yang berakibat pada semakin sulitnya mendapatkan air tanah dan resiko kekeringan - Intrusi air laut yang memasuki wilayah daratan , membuat kadar garam di air tanah semakin meningkat.

Sistim alamiah (kiri) dan fenomena intrusi air laut (kanan)

Salah satu kemungkinan untuk memberikan solusi yang berkelanjutan, adalah dengan mengkombinasikan pengambilan air tanah ini dengan ASR (Aquifer Storage Recovery). Dengan ASR ini dimungkinkan untuk memasukkan/menginjeksikan kembali air permukaan yang berlebih kembali ke dalam tanah. Melalui pipa/sumur, air diinjeksikan dan tersimpan di lapisan aquifer.

Penurunan muka tanah berdampak semakin seringnya Jakarta di landa banjir

Sistim ASR

Dengan sederet permasalahan yang menyertai penyedotan air tanah ini, tentu saja menjadi pertanyaan apakah pengambilan air tanah masih mempunyai masa depan ? Akankah ILWI Buletin No 01-2009

Air yang disimpan itu dapat digunakan kembali pada periode kering. Pengambilan kembali air tanah ini dapat dilakukan melalui pipa/sumur yang sama atau pipa/sumur yang berbeda. Kapan ASR layak untuk dipertimbangkan 6

Implementasi sistim ASR ini layak untuk dipertimbangkan dalam kondisi berikut: - Memperbaiki sistim suplai air yang ada - Terdapat periode basah dalam siklus tahunan dimana tersedia air yang berlebih - Ada terdapat lapisan aquifer di lapisan bawah tanah. Lapisan aquifer yang mampu untuk menyimpan air ini dapat berupa pasir, batuan pasir (sand stone) atau batuan lanau (lime stone) Zona suplai air di lapisan aquifer dapat berupa air tawar (fresh), brackish atau asin.

Kelayakan penggunaan ASR bergantung beberapa parameter, terutama parameter yang telah disebutkan diatas. Beberapa negara telah menerapkan sistim ASR ini. Berdasarkan pengalaman di beberapa tempat, ongkos produksi bervariasi dari USD 1.5 USD 10 per m3 air . Mungkin saja harga produksi ini tergolong tinggi, dan kemungkinan bisa diproduksi di Indonesia dengan biaya yang lebih rendah. Tentu saja, kita layak memperhitungkan efek positif lainnya terhadap lingkungan dan pengendalian banjir. Bukankah pengambilan air tanah yang berdampak pada landsubsidence telah mengakibatkan infrastruktur banjir (tanggul, pompa dsbnya) yang berharga miliaran rupiah berkurang efektifitasnya.

Pemipaan pada sistim ASR Sistim ASR berfungsi juga untuk meblokir intrusi air laut

Kelayakan ASR

Referensi: Witteveen + Bos consulting engineer Jakarta Watersupply development project

Kondisi hidrogeologi Jakarta (sumber: Jakarta Watersupply development Project, 1984) ILWI Buletin No 01-2009 7

Sumber: Kompas

Lubang biopori bisa cegah banjir


JAKARTA, KOMPAS salah satu penyebab banjir di jakarta adalah rendahnya serapan air ke dalam tanah. Lubang resapan biopori yang dikembangkan oleh institut pertanian bogor diharapkan bisa mencegah banjir sekaligus menghasilkan kompos dan menyerap karbon. Pembuatan lubang resapan biopori (LRB) ini disosialisasikan Kamir R Brata pengajar pada Bagian Konservasi Tanah dan air Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan IPB, di depan Wakil Gubernur DKI Prijanto, di Sekolah Jubilee, Sunter, Jakarta Utara Selasa (4/12). LRB adalah lubang berdiameter sekitar 10 sentimeter di tanah sehingga air bisa mengalir masuk ke tanah. Di lubang itu dimasukkan sampah organik yang diharapkan akan dimakan oleh organisme yang ada di dalam tanah. Dengan demikian, akan tercipta lubang-lubang kapiler kecil di dalam tanah. Dengan adanya lubang kapiler di dalam tanah, maka penyerapan air ke dalam tanah juga semakin banyak. "Selama ini yang terjadi, air hujan tidak bisa masuk ke dalam tanah sehingga terjadi genangan besar di permukaan. Air hujan yang bisa menjadi sumber air bersih dari tanah akhirnya tidak bisa dimanfaatkan dan terbuang ke laut, kata Kamir. Selain bisa mengurangi genangan di permukaan tanah, sampah organik yang dimasukkan ke LRB itu juga bisa menjadi kompos, yang berguna sebagai penyubur tanah. Menurut Kamir, LRB ini sebenarnya sudah diciptakan sejak tahun 1976. namun LRB tidak popular karena memakai teknologi yang sangat sederhana sehingga kurang menarik. Pembuatan, LRB sangat mudah, hanya memakai bor tanah. Setelah itu, masukkan sampah organic. Sangat sederhana. Saya sudah pernah memperkenalkan LRB ke beberapa pihak, tetapi tidak ada tanggapan. Baru bulan Februari lalu, ketika banjir besar terjadi di Jakarta, orang mulai melirik LRB, ucap Kamir.

Bisa dilakukan siapa saja


Selain memakai teknologi sederhana LRB juga bisa dilakukan siapa saja dan di mana saja. Di halaman seluas 50 meter persegi, bisa dibuat sebanyak 20-40 LRB. Jarak pembuatannya tidak diatur, asalkan letak lubang tidak bersebelahan. kedalaman lubang ini sebaiknya tidak lebih dari satu meter karena organisme di dalam tanah juga memerlukan oksigen. Jika terlalu dalam, dikhawatirkan oksigen tidak masuk hingga ke dalarn," kata Kamir. Untuk peralatannya, yakni bor tanah, IPB juga telah menciptakan khusus dan dijual dengan harga Rp 175.000 per buah. alat ini tidak perlu semua orang punya. Cukup dikoordinasi oleh RT/RW setempat, dan pemakaian alatnya digilir dari satu rumah ke rumah lain, ujar Kamir. Satu-satunya kewajiban yang harus dilakukan Manusia dalam penggunaan LRB Ini adalah memberikan pakan berupa sampah organik pada periode tertentu. Sampah organik yang dimasukkan ke lubang akan menjadi humus dan tubuh biota dalam tanah, tidak cepat diemisikan ke atmosfer sebagai gas rumah kaca. Dengan demikian pemanasan global pun dikurangi. Bandingkan jika kita membiarkan sampah itu tetap di permukaan. Sampah itu akan melepaskan karbon ke udara, yang membuat semakin banyak gas rumah kaca di atmosfer," lanjutnya. Dengan upaya yang tidak terlalu berat namun hasil yang dicapai sangat luar biasa ini, seharusnya warga Jakarta sudah mulai membuat LRB di rumahnya. Dengan demikian, genangan yang selalu terjadi setiap kali hujan di jakarta bisa dikurangi.

Wakil gubernur DKI Jakarta Prijanto mendengarkan penjelasan Ir. Kamir R Brata MSc, pengajar pada Institut Pertanian Bogor, mengenai pembuatan lubang resapan biopori, selasa (4/12)

ILWI Buletin No 01-2009

Sumber : World Water volume 30

Creative engineering solves flooding and traffic problems in Kuala Lumpur


Malaysian capital Kuala Lumpur is waiting for the next monsoon rains to see how a new combined road and flood relief tunnel performs. Andrew Mylius of Mott MacDonald reports on the construction of the world's first twin system that combines a storm water channel and a motorway designed to divert floodwaters and relieve traffic congestion.

Karstic limestone is fascinating from a geological perspective. It is highly susceptible to erosion - over eons, water dissolves rock away, turning small fissures into gaping holes. Karstic limestone formations are jagged with cliffs, overhangs, pinnacles, canyons, and networks of cavities. Steady mining away of limestone beneath the ground periodically results in the opening up of sink holes on the surface as overlying ground loses support and collapses into a void. In Kuala Lumpur, Malaysia, the rock "can be like Swiss cheese," according to Arthur Darby, head of tunneling at Mott MacDonald, a global engineering consultancy. There, tin working pock-marked the landscape and left drifts of mine tailings behind, complementing the natural decay of the rock. One of the world's largest tunnels has been bored through this rock. The Malaysian government has set out to prevent frequent severe flooding of its capital by constructing a vast storm water storage and diversion tunnel, completed in July 2007. A diversion had been talked about for years, but heavy floods in April 2001 pushed the government to take urgent action. The Ampang and Kiang Rivers flow into Kuala Lumpur from the northwest and merge. The enlarged Klang then sweeps past the city's famous Petronas Towers and its commercial district, discharging into the Strait of Malacca south of the city. The 9.7-km-long, 11.8-m-diameter flood diversion tunnel will draw off flood water from the confluence of the Kiang and Ampang, and carry it south under the city center to join the Kerayong River just before it, in turn, merges with the Kiang downstream of Kuala Lumpur. "Local legislation dictates that you can't tunnel under private property,Darby noted. Land ownership rights extend to the center of the earth. The tunnel therefore follows government territory, tracing the routes of several major highways. "A number of circumstances came together and shaped this project," he continued. Kuala Lumpur suffers from chronic traffic congestion in addition to acute flooding. The government had been searching for a way to increase road capacity, and was also keen to reduce ILWI Buletin No 01-2009

its outlay on what promised to be a pricey piece of new flood relief infrastructure. The government engaged in an optioneering exercise by inviting the construction industry to suggest how the flood relief tunnel should be designed and built. Two Malay contractors, MMC and Gamuda, originated the idea of using the central 3 km of the tunnel to carry traffic during dry weather, relieving congestion on the roads above. Motorists could be charged to use the new subterranean expressway; a private sector company could take responsibility for building that section, recouping its costs through a 40year toll road operating concession. The dual-purpose structure was dubbed SMART, standing for storm water management and road tunnel.

Work on SMART started in summer 2001. Local firm Sepakat Setia Perunding (SSP) was appointed as prime designer, joined by Mott MacDonald, supplying specialist tunnel and hydraulic design services. Mott MacDonald also acted as clients agent during construction, sorting out technical issues and assuring quality. MMC and Gamuda had been involved in developing early concepts for flood relief that gave rise to the SMART solution, and formed a joint venture to build and operate the toll road concession in January 2002. They also won the 4.1-km of tunneling south of the dual-purpose section with the German firm Wayss & Freitag securing the northern 9

5.2 krEL The 48-month construction program started in mid-2005. Total project cost is dose to US$ 595 million.

One of two tunnel borring machines used to excavate the combined road and flood relief tunnel in Kuala Lumpur, Malaysia. Photo by Mott MacDonald

Only one viable tunneling technique - bored tunnel - could minimize disruption at street level, Cut and cover would have involved lengthy road closures. Though used for excavation shafts serving the tunnel, drill and blast excavation was considered too risky a tunneling option Kuala Lumpur's unpredictable ground. One of the characteristics of karstic limestone is pocket of water, flowable silt or alluvium within the rock formation. Breaking explosively through rock bulkhead might have released a torrent into the tunnel, while sudden loss of earth pressure could have triggered ground collapse, opening a sinkhole in street above. Tunnel boring machines (TBM) offered scope to advance cautiously and respond to changing Fund conditions - rock strength ranged from 10 MPa (Mega Pascal) to 115 MPa. The contractors ordered a pair of Herrenknecht Mixshield slurry pressure balance machines for the job. To help tunnelers gauge the ground ahead, they were equipped with forward probes, while grout injection was incorporated so that water-bearing fissures could be filled or loose silts and alluvium consolidated. This was important to prevent excessive volumes of groundwater flowing in through the tunnel face, affecting the water table in the surrounding area. It also ensured that grout used to fill the annulus between tunnel lining and excavated diameter would not be lost in networks of fissures or chambers around the tunnel. Consolidating alluvium or silt helped guard against instability collapse. But even with bespoke tunneling equipment the ground promised to be difficult. Extensive investigation and ground improvement from the surface preceded the TBMs, and as they advanced "the contractor operated a short of rolling site compound," said David Parks, Mott MacDonald's chief resident engineer on the project. "The road above the TBM was cordoned off and the surface monitored constantly for signs of settlement or ILWI Buletin No 01-2009

heave.Rapid response gangs were on call to stabilize the ground if collapses occurred - and they did. Sinkholes were unavoidable," park said. Even small disturbances caused by vibration in the ground around the TBMs could trigger the settlement of material that had been poised over a long existent cavern. Sinkholes could be anywhere from 5 m in diameter to 15 m. Parks says that in the main settlement was not an issue. "You mainly got under 5mm, but occasionally got 5 m," he said. Despite thorough checks and ground consolidation, he admitted feeling nervous when the tunnel passed beneath the Star express rail link connecting the city center to the airport. "We were driving under a railway embankment that carries 120km/h express trains, and either side of that were commuter lines. Preparations were extremely thorough and we coordinated closely with the rail authorities We also went past three high tension pylons carrying 11 kV cables. They had to be underpinned." Progress past railway and pylons were ultimately uneventful.

Junction boxes to house on off road ramps were constructed in advance of the drives with contiguous piled walls. In Kuala Lumpurs hollowed out karstic limestone, finding competent rock frequently required deep bores, and in places anchors were required to compensate for insufficient cantilever strength. Schematic provided by Mott MacDonald

SMART design The rivers that converge on Kuala Lumpur have always been flood prone, but changing land management practices in the rivers' catchments and rapid urbanization in and around Kuala Lumpur have made flooding very much more frequent. Transformation of forest into agricultural land and the incessant march of roads and houses across previously Greenfield land mean rainfall is running into watercourses faster and in greater quantities. Siltation has reduced the rivers' conveyance capacity. Ponds and lagoons that used to provide flood storage have been filled and developed. And in 10

Kuala Lumpur, development has hemmed in rivers; piled river walls, building and viaduct piers, and bridge decks constrain river flow. In Kuala Lumpur, 5,700 ha are prone to inundation. For the city's 1.3 million residents, flash flooding is so frequent that it is regarded as just another chore of city life. Each flood has economic repercussions, meting out damage and bringing the city to a standstill. And the frequency of life threatening floods has increased dramatically There were five severe floods between 2000-2004 compared with four in the whole of the 1990s, three in the 1980s, and one a decade earlier in the 20th century.

steel gates at either end of the road section seal it off from the rest of the tunnel, enabling it to remain dry and operational even when the sections either side have been filled. Outer gates measuring 7 m high and weighing 40 t provide a first line of defense. Inner gates weighing 26 t apiece individually protect each deck. It is possible to entirely fill the rest of the tunnel and maintain traffic over the central section, but this posed a structural challenge. When full, there can be as much as 20 m head of water above the level of the lower deck, subjecting it to an uplift pressure of 2 bar. This has been resisted by heavily reinforcing the joint between the decks and tunnel walls. Cast in situ walls have been created within the tunnel's segmental lining. At the tops and bottoms of the walls are shoulders supporting the decks, which have been constructed by pouring a reinforced concrete topping over precast concrete planks. The decks and walls form a monolithic box structure that is both fixed and wedged immovably within tunnel.

Tunnel boring machines advanced cautiously through changing ground conditions. Photo by Mott MacDonald

SMART is designed to cope with three flood 3 modes-floods of up to 70 m /second, up to 150 3 m /second, and of more than 150 m3/sec. In addition to diverting floodwater under central Kuala Lumpur, the tunnel will provide some 3 Mm3 of storage capacity. At the head of the tunnel is a holding basin, and at its toe is a 1.4-Mm3-attenuation pond. This will enable the peak of the flood to be held back until water levels have subsided slightly downstream of Kuala Lumpur. Putting 3 km of road into a flood relief tunnel poses some interesting strength, durability, and operational challenges. The tunnel may be flooded up to 12 times a year with frequency increasing over time. "The concession company wants to recoup its outlay as fast as possible, so any time the road is closed because of flooding is time it's not generating revenue from tolls," Darby explained. Traffic runs through the tunnel on two decks each deck carrying traffic in a different direction, with two running lanes and an emergency lane. Clearance height is only 2.55 m, restricting traffic to cars and light vans. Vehicular access to the tunnel is via ramps that branch off. "There are bifurcations at either end of the road section," Darby said. Water is able to flow through the tunnel, under the lower deck, without interrupting traffic flow in most flood conditions. Double sets of guillotine-style ILWI Buletin No 01-2009

The SMART design will enable floodwater to flow through the lower deck without interrupting traffic. Photo by Mott MacDonald

To prevent even a trickle of water seeping into the road tunnel its C40 concrete walls and decks were designed to resist early age thermal cracking. Peak concrete curing temperatures were restricted to 60'C by partially replacing cement with pulverized fuel ash (PFA). Decks were inundated to promote autogenous healing of cracking that did occur. Construction joints were fitted with re-injectable grout seals. The tunnel's conveyance capacity is restricted while the road decks are dry and in use. For high intensity flooding, occurring once or twice a year, the road decks will have to be cleared of traffic and the gates opened. Operation of the SMART tunnel involves constant meteorological surveillance. It is reckoned that the concessionaire will have 45 minutes warning of an impending flood, if expecting a category three flood, requiring inundation of the road decks, the gates will normally be raised, allowing water levels to rise slowly and steadily. 11

But we had to anticipate vehicles breaking down or crashing," Darby said. The upstream holding pond and the capacity of the dedicated flood only section of the tunnel will offer the concessionaire an additional hour in which to clear the road decks. "Then the gates can be opened," he added. This scenario raised a new concern. When the tunnel is full of water the road section is like a submarine, with water pressing at the downstream and upstream gates. As soon as they are raised it will surge along the road decks from both ends.

rather like masonry bridge is by gravity. "There was a scenario where you had water racing down the tunnel from the top and up from the bottom, in which the lining could have been blown apart. We couldn't even contemplate that, and incorporated surge shafts to ensure pressure is dissipated," he explained. The surge shafts serve dual roles. Two are provided at the ends of the road section by the on and off ramp structures and another two, mid-tunnel, double as ventilation shafts. Floods typically last only a few hours, but peak water velocities are expected to be as high as 4.7 m/second. Screens will keep large debris out of the tunnel, and the high flow velocity is expected to prevent sedimentation. Concrete has been resin coated making the tunnel relatively easy to spray down when flood waters fall. The tunnel operator should be able to open it to traffic within 48 hours.

Tracing a zigzag route under Kuala Lumpurs streets required the TBMs to be unusually manoeuvrable, with a tight steering radius of 250 m. tunneling kicked off from an alongated ventilation shaft in the middle of the SMART, and despite difficult ground, tunneling advanced at up to 20 m a day.

"We were concerned that pressure generated by the surge could exceed ground pressure," Darby recalled. Though segments making up the tunnel lining are bolted together, the constant pressure of the surrounding ground holds the lining together,

Construction of tunnel section is underway. Photo by MottMacDonald

ILWI Buletin No 01-2009

12

Your partner in land reclamation & water management

network development & knowledge exchange

Wishing you happy and prosperous New Year Mengucapkan Selamat Tahun Baru 2009

in the fields of: land reclamation polder system (technical & institutional) water management & urban drainage coastal management geotechnical engineering

Alamat: Jl. Rajawali II No. 5A Manukan, Condong Catur Yogyakarta Indonesia 55283 Email:ilwi@indosat.net.id

ILWI Buletin No 01-2009

13

You might also like