You are on page 1of 15

Tugas baca pengayaan divisi Respirologi

BRONKIOLITIS OBLITERANS
Thalita Sophia

Bronkiolitis merupakan penyakit yang sering ditemui pada anak-anak terutama bayi
sampai umur 2 tahun. ManiIestasi penyakit ini terparah dapat ditemui pada usia 1-3
bulan.Penyakit ini disebabkan oleh inIeksi saluran pernaIasan bawah terutama oleh virus.
Mempunyai karakteristik adanya inIlamasi, edema, dan nekrosis pada sel-sel epitel saluran
naIas yang berukuran kecil, meningkatnya produksi mukus, dan spasme bronkus.
1,2
Semua
proses ini menyababkan penyumbatan pada saluran naIas.
Secara klinis penyakit ini ditandai dengan adanya rhinitis, takipneu, wheezing, batuk-
batuk, ronki, penggunaan otot-otot tambahan pernaIasan, dan cuping hidung.
3
derajat
keparahan penyakit ini bergantung kepada umur, ukuran tubuh, penyakit penyerta (penyakit
jantung, prematuritas, lahir kembar).
3
Penyakit ini dapat diklasiIikasikan sebagai berikut:
3
Mild, dapat ditangani dengan rawat jalan
Moderate, membutuhkan perawatan di rumah sakit
Severe, berhubungan dengan gagal naIas, seringkali membutuhkan ventilator
Bronkilitis akut terutama disebabkan oleh virus dengan penyebab terbanyak adalah
Respiratory Syncytial Jirus (RSV) dimana ditemukan pada 50 kasus. Penyebab lainnya
antara lain parainIluenza, adenovirus, dan mycoplasma. Bakteri diketahui bukan merupakan
penyabab utama bronkiolitis, namun dapat menyebabkan superinIeksi. Selain itu juga secara
klinis sulit untuk membedakan bronkilitis dengan pneumonia yang disebabkan oleh bakteri.
Penyakit ini biasa terjadi secara musiman, terutama musim dingin, juga dapat terjadi secara
endemik.
2

Bronkiolitis obliterans (BO) adalah suatu penyakit kronis paru terutama pada
bronkiolus dan saluran naIas kecil lainnya.Biasa disebabkan setelah inIeksi pernaIasan
terutama oleh virus (adenovirus, mycoplasma, measles, inIluenza) dan bisa juga oleh
pertussis, penyebab lainnya adalah suatu kelainan connective tissue misalnya SLE,
skleroderma, dan arthtritis rematoid belia. Terjadi pada berbagai kelompok usia anak, dengan
prevalensi 2 dalam 1000 dalam suatu studi otopsi pediatrik.
2

Secara klinis BO merujuk kepada sindrom obstruksi saluran pernaIasan kronis.Secara
patologis, istilah BO ini telah digunakan untuk menggambarkan dua jenis lesi bronkiolus,
yaitu bronchiolitis proliIerasi dan konstriktiI. Meskipun kasus pertama BO sudah terdeteksi
kira-kira seabad yang lalu, beberapa aspek epidemiologi, patogenesis, pengobatan yang
eIektiI, serta prognosis dari penyakit ini tetap tidak diketahui atau tidak pasti kebenarannya.
4
Sampai saat ini, BO dianggap sebagai penyakit langka baik pada dewasa dan
anak.Pada tahun 1941, Ladue melaporkan satu kasus BO pada 42.038 otopsi yang dilakukan
selama periode 42 tahun.Pada tahun 1988, Hardy et al. mengidentiIikasi 19 kasus BO
pediatrik pada semua otopsi (n 2.897) dan biopsi paru (n 244) yang dilakukan di Rumah
sakit anak Saint Christopher, di Philadelphia, AS, selama 25 tahun. Pada dekade yang lalu,
Iokus penyakit bergeser ke populasi orang dewasa, karena ditemukannya Iaktor kausal baru,
seperti transplantasi organ.
4
Pada anak-anak, BO biasanya didahului oleh inIeksi saluran udara lebih rendah, yang
disebabkan terutama oleh adenovirus.Dalam teori, setiap jenis inIeksi saluran napas bagian
bawah berpotensi menyebabkan BO, namun yang paling umum memicu penyakit ini adalah
bronkiolitis virus akut.Sekitar 1 dari pasien dengan bronchiolitis virus akut dapat
berkembang menjadi postinIectious BO.Fakta bahwa bronchiolitis virus akut adalah inIeksi
virus yang paling umum mempengaruhi saluran udara lebih rendah pada bayi, yang
mempengaruhi sampaisampai 10 dari anak-anak di tahun pertama kehidupan, menunjukkan
bahwa postinIectious BO mungkin memiliki dampak yang kuat pada populasi anak.
Meskipunjumlah studi tentang BO pada orang dewasa semakin meningkat, namun belum
banyak menyita perhatian dokter anak dan menimbulkan pertanyaan apakah hal ini
mencerminkan rendahnya insidensi penyakit pada populasi pediatrik atau kurangnya
pengetahuan mengenai diagnosis penyakit ini.
4
Ada juga yang disebut dengan sindrom bronkiolitis obliterans (BOS), yaitu gejala
klinis yang dikarakteristikkan dengan kelainan yang bersiIat progresiI pada jaringan paru
setelah tindakan transplantasi yang secara histologis mirip dengan BO.
2
Bronkiolitis
Obliterans Organizing Pneumonia (BOOP) adalah suatu penyakit paru Iibrotik dimana secara
histologis mirip BO, namun inIlamasi berlangsung hingga ke duktus alveoli distal dan ke
alveoli dengan proliIerasi Iibroblas.
2,4
Perbedaan antara BO dan BOOP dapat disimak pada
gambar berikut.

Gambar 1. Perbandingan antara BO dan BOOP.
4


PATOLOGI
Colby & Myers mendeIinisikan istilah histopatologi yang mengidentiIikasi BO dan
juga memberikan penjelasan yang rinci mengenai deskripsi dari dua jenis lesi bronkiolus,
yaitu bronchiolitis konstriktiI dan bronkiolitis proliIeratiI.
4

Bronchiolitis konstriktiI mencakup spektrum perubahan morIologi, mulai dari
peradangan bronkiolus dan Iibrosis peribronchiolar hingga ke obstruksi total dari lumen
bronkiolus karena terbentuknya jaringan parut submukosa. Pada tahap awal, bronkiolitis
konstriktiI terdiri dari nekrosis epitel bronkiolus dan inIlamasi inIiltrasi daerah mukosa
peribronchiolar, submukosa,danlumen bronkiolus, terutama di terminal bronchioles. InIiltrasi
yang terjadi mencakup beberapa jumlah limIosit, plasmocytes dan neutroIil.Sel mononuklear
mendominasi dinding bronkiolus, dan neutroIil mendominasi di lumen bronkiolus.Seringkali,
bronkiolus terdistorsi dan mengandung sembatan lendir.Lebih lanjut lagi, Iibrosis submukosa
terjadi, mencapai lumen bronkiolus dengan pola konsentris. Dengan perkembangan proses
Iibrosis, lumen bronkiolus menyempit dan akhirnya hilang. Obliterasi lumen bronkiolus
cenderung bersiIat Iokal dan terletak di sepanjang bronchiole. Lesi bronchiolitis konstriktiI
bersiIat ireversibel dan kadang-kadang disebut sebagai bronkiolitis obliteratiI dan merupakan
temuan histopatologi utama dalam BO.
4
Bronchiolitis proliIeratiI ditandai dengan granulasi jaringan berbentuk polipoid di
dalam lumen saluran napas yang terutama melibatkan bronchioles respiratorik, saluran
alveolar, dan alveoli. Jaringan granulasi terdiri dari sel-sel Iibroblas dan sejumlah makroIag,
limIosit, neutroIil, dan plasmosit serta matriks yang kayaakan proteoglikan. Selain granulasi
polipoid, kelainan lainnya dapat juga diidentiIikasi dalam saluran pernaIasan.Fenomena yang
paling umum ditemukan adalah akumulasi dari Ioam cell makroIag.Kadang-kadang, neutroIil
juga ditemukan dalam ruang alveolar.Ketebalan septum alveolus biasanya meningkat karena
inIiltrasi kronis dan hiperplasia sel pneumosit tipe II.Tonjolan interstisial yang terbentuk
tidak menyebar, melainkan umumnya terbatas pada daerah polipoid. Bronchiolitis
proliIerative adalah karakteristik histopatologi utama pada BOOP, dan bersiIatreversible.
4


Gambar 2.Temuan histopatologi bronkiolitis konstriktiI.A - obstruksi parsial bronkiolus
oleh Iibrosis peribronchial; inIlamasi inIiltrasi di dinding dan di dalam lumen bronkiolus. B
obliterasi lengkap dari bronkiolus (panah) dengan jaringan Iibrosa.
4

KLASIFIKASI
Awalnya, BO dibagi hanya tiga subkategori yaitu idiopatik BO, postinIectious
BO, dan BO yang terkait dengan inhalasi zat iritan.Dikarenakan telah ditemukan penyebab-
penyebab baru dan sindrom yang terkait lainnya, klasiIikasi BO menjadi lebih compleks.Pada
tahun 1983, Epler & Colby memperkenalkan klasiIikasi klinis BO sebagai berikut : BO yang
terkait inhalasi zat iritasi, BO postinIectious ; BO terkait dengan penyakit jaringan ikat; BO
terkait dengan lesi lokal, dan BOOP idiopatik.
4

Pada tahun 1994, Epler mengusulkan klasiIikasi klinis untuk penyakit bronkiolus
(Tabel 1). Dalam klasiIikasi ini, BO dikategorikan sebagai penyakit bronkiolus dengan
obstruksi aliran udara dan termasuk didalamnya tujuh kategori sedangkan BOOP dianggap
sebagai penyakit bronkiolus dengan lesi interstisial dan juga termasuk didalamnya tujuh
kategori.
4

%abel 1. KlasiIikasi klinis penyakit bronkial
8

ETIOPATOFISIOLOGI
Adenovirus (tipe 3, 7, dan 21) adalah agen yang paling sering dikaitkan dengan
timbulnya postinIectious BO. Virus lain (RSV, parainIluenza 2 dan 3, inIluenza A dan B,dan
campak), mikoplasma, dan tipe B Streptococcus juga diidentiIikasi sebagai agen etiologi
dalam beberapa kasus postinIectious BO.
4

Karakterisktik penyakit ini adalah terjadinya obstruksi kronis bronkial. Semua ini
dapat menimbulkan resistensi terhadap aliran udara. Sebenarnya terjadi peningkatan
resistensi terjadi pada inspirasi maupun ekspirasi, namun karena diameter bronkiol pada saat
ekspirasi lebih kecil maka resistensinya menjadi lebih besar. Hal ini menyebabkan
terjebaknya udara di saluran naIas bawah sehingga nantinya mengakibatkan overinIlasi.
Ketika terjadi sumbatan total disertai dengan resorpsi udara yang terjebak tadi, maka akan
terjadi atelektasis. Proses-proses ini akan menyebabkan terganggunya pertukaran gas di paru,
sehingga terjadi mismatch ventilasi perIusi dengan akibat berupa hipoksemia, dan lebih parah
lagi hiperkapnia.
2

Pada bronkiolitis obliterans, terjadi kerusakan epitel yang menyebabkan proses
perbaikan jaringan yang abnormal. Obstruksi total maupun parsial dapat menyebabkan air
traping dan atelektasis.
2

MANIFETASI KLINIS
Gejala klinis BO sangat heterogen, dan tergantung pada tingkat keparahan dan
perluasan lesi bronkopulmonalis serta durasinya.Gejala biasanya berasal dari bronkiolitis
viral akut (terutama adenovirus) yang diawali dengan adanya inIeksi saluran pernaIasan atas
seperti rhinorhea dan bersin-bersin, dapat juga disertai dengan penurunan naIsu makan dan
demam sekitar 38-39 derajat celcius dalam beberapa minggu. Demam dapat bervariasi dari
subIebris hingga demam tinggi.
2,4,5,6
Selanjutnya secara bertahap terjadi distres pernaIasan,
timbul batuk yang disertai wheezing secara paroksismal, dyspneu, dan takipneu, anak
menjadi tampak lebih rewel dan sulit makan. Pada bayi lebih cenderung terjadi apneu.
2,7

Pada pemeriksaan Iisik bronkiolitis viral akut, wheezing tampak mencolok dengan
perpanjangan masa ekspirasi, dapat juga ditemukan ronki halus. Usaha pernaIasan juga
bertambah dengan adanya retraksi otot-otot bantu pernaIasan serta pernaIasan cuping hidung.
Takipneu pada penyakit ini tidak selalu menggambarkan derajat keparahan hipoksemia
maupun hiperkarbia.Suara naIas yang menurun pada auskultasi menunjukan derajat penyakit
yang sudah parah. HiperinIlasi juga ditandai dengan terabanya hati dan limpa.
1,2
Wheezing
dapat terjadi secara rekuren walaupun penyakit sudah teratasi, mekanisme terjadinya hal ini
masih belum jelas.
1
Tanda-tanda penyakit ini sudah sampai pada tahap severe adalah adanya
distres pernaIasan yang ditandai oleh takipneu, pernaIasan cuping hidung, dan hipoksemia,
juga ditandai dengan sulit diberi makan.
1
literatur lain menyebutkan bahwa resiko keparahan
penyakit dapat dilihat dari Iaktor usia (dibawah 12 bulan), usia kehamilan saat dilahirkan,
keadaan umum pasien, kecepatan pernaIasan, dan dapat dilihat dari pulse oxymetri. Jika
bronkiolitis sudah pada tahap severe maka akan beresiko terhadap terjadinya wheezing yang
rekuren
1,4
Banyak yang berpendapat bahwa bronkiolitis yang parah merupakan akibat dari
superinIeksi oleh bakteri.
7

Ketika sudah jatuh pada bronkiolitis obliterans gejala berupa batuk, demam, sianosis,
dan distres pernaIasan.Pada tahap ini BO kadang sulit dibedakan dengan pneumonia,
bronkitis, atau bronkiolitis akut biasa. Gejala dapat berkembang menjadi dyspneu yang
memburuk, produksi sputum, dan wheezing.
2
Evolusi klinis dan radiologis BO belum dapat
dijelaskan. Sejumlah 31 pasien yang dipantau di Rumah Sakit de Clinicas de Porto Alegre
(Iollow up mulai 1,6-8,3 tahun; rata 3,5 tahun) menunjukkan evolusi klinis dan evolusi
radiologi yang bervariasi. Tiga pasien meninggal karena gagal pernapasan yang progresiI
dalam 3 tahun pertama setelah episode bronchiolitis virus akut.Tujuh pasien menjadi
asimtomatik, dengan pemeriksaan Iisik normal dan dengan perubahan minimal pada rontgen
dada (penebalan bronkial). Perbaikan klinis yang ditandai oleh hilangnya gejala secara
bertahap dan oleh penurunan intensitas gejala pernapasan dimulai pada 2 tahun setelah
episode bronkiolitis virus akut pada 21 pasien lainnya, meskipun beberapa gejala menetap
(batuk, retraksi, mengi dan ronki halus) dan kelainan radiologis juga tetap terlihat (penebalan
bronkial, hiperinIlasi paru, atelektasis, dan bronkiektasis).
4
Perbaikan klinis tersebut harus ditaIsirkan dengan hati-hati.Telah diketahui bahwa
diameter saluran udara kecil secara proporsional lebih kecil pada bayi, memberikan
kontribusi kepada peningkatan proporsi jumlah resistensi saluran napas.Selama anak tumbuh,
proporsi ini secara bertahap berkurang dan gejala dan tandanya menjadi lebih berkurang.Oleh
karena itu, pada derajat lesi inIlamasi yang sama pada saluran udara kecil menyebabkan
tanda-tanda dan gejala yang kurang intens pada anak yang lebih tua dibandingkan pada bayi.
Namun pada saat diagnosis pasien-pasien ini umumnya menunjukkan gambaran radiologis
yang khas yaitu paru-paru hiperlusen dengan volume normal atau berkurang.
4
Diagnosis postinIectious BO didasarkan pada data klinis. Biasanya, tanda dan gejala
bronkiolitis virus akut menghilang dalam waktu 5 sampai 7 hari, namun dapat berlangsung
selama 2 minggu dalam kasus parah. Jika evolusi tidak terjadi seperti yang diharapkan, dan
gejala pernaIasan masih bertahan, harus dipertimbangkan terjadinya BO postinIeksi. Untuk
diagnosis banding, bisa berupa penyakit yang dapat menyebabkan obstruksi aliran udara
kronis, seperti reIluks gastroesophageal, cystic Iibrosis, tuberkulosis paru, imunodeIisiensi,
dan deIisiensi a1-antitrypsin harus disingkirkan atas dasar klinis, radiologis, dan penyelidikan
laboratorium. Hal lain yang mungkin membingungkan diagnosis postinIectious
BO adalah mengi berulang postbronchiolitis, yang dapat mempengaruhi sampai 75 dari
pasien dengan bronchiolitis virus akut.
4


PEMERIKSAAN PENUNJANG
Untuk bronkiolitis akut, pada pemeriksaan rontgen thoraks didapatkan gambaran
hiperinIlasi, atau atelektasis, bisa juga menunjukkan gambaran seperti pneumonia bakterial,
namun pemeriksaan ini tidak dapat menentukkan derajat keparahan penyakit. Pada
pemeriksaan darah, leukosit maupun hitung jenis biasanya normal, tidak terjadi limIopeni
seperti pada inIeksi virus lainnya. Maka dari itu diagnosis sebagian besar ditentukan dari
gejala klinis. Pemeriksaan pulse oxymetri diperlukan untuk menentukkan derajat hipoksemia,
dan menentukkan kebutuhan pasien akan oksigen.
1
Sebenarnya tidak ada pemeriksaan penunjang yang benar-benar sensitiI maupun
spesiIik untuk menegakkan diagnosis bronkiolitis akut. Beberapa metode dapat digunakan,
misalnya isolasi virus, immunoIloresen, ELISA dengan spesimen nasal washing untuk
mendeteksi virus RSV. Sebenarnya kegunaan tes-tes tersebut dalam praktik klinis masih
diperdebatkan, karena tidak dapat mengubah penatalaksanaan pasien atau menggambarkan
keluaran penyakit. Namun tes-tes ini bisa digunakan jika sulit membedakan bronkiolitis dan
pneumonia bakterial atau gagal jantung kongestiI.
3

Pada bronkiolitis obliterans, gambaran Ioto thoraks dapat menunjukkan hiperlusen,
dan bercak lunak, penebalan bronkial, kadang dapat terjadi hiperlusen unilateral (Swyer-
James Syndrome), atelectasis, dan bronkiektasis. Tes Iungsi paru dapat menunjukkan adanya
obstruksi. Biopsi melalui transbronkial maupun secara open biopsy masih merupakan cara
terbaik menentukkan diagnosis BO.Pemeriksaan ini dapat diindikasikan untuk pasien yang
mengalami kerusakan progresiI setelah menjalani pengobatan.Bronkiolitis konstriktiI
merupakan temuan histopatologi utama postinIectious BO pada anak-anak.
2,4

Pada lung scan perIusi dan ventilasi paru-paru menunjukkan pola karakteristik
matched ventilation perIusion deIect. Dibandingkan dengan sinar-X dada, skintigraIi lebih
akurat dalam hal mendeIinisikan ekstensi dan lokasi lesi.
4
Baru-baru ini, CT resolusi tinggi, dianggap sebagai pemeriksaan yang paling
memadai untuk penilaian lesi di saluran udara kecil.Temuan utamanyaadalah penebalan
bronkial, bronkiektasis, atelektasis, dan gambaran campuran antara hipo / hyperattenuation
(mosaic perIusion).
4

Gambar 3.Temuan utama CT resolusi tinggi. A - Sebuah potongan tomograIi
aksialmenunjukkan bronkiektasis silinder ringan dengan penebalan bronkus di sisi kanan dan
kiriataslongitudinal terhadap bronchium tersebut. B - bronkiektasis silinder ringan
denganpenebalan bronkus di sisi kiri bawah dan terdapat lingulatransversalterhadap
sumbubronkial. C Daerah hipo dan hyperattenuation diLM, LID dan Lingula. Perhatikan
bahwa kaliberpembuluh paru di daerah hyperattenuation inilebih tinggi daripada di daerah
hypoattenuation (panah).
4

Gambar 4. Alur investigasi BO postinIeksi.
4

TATALAKSANA
Secara umum, bayi dengan bronkiolitis yang mengalami distres pernaIasan harus
dirawat inap, keadaan hipoksemia harus diatasi dengan pemberian oksigen yang lembab dan
dingin. Posisi berbaring yang baik adalah dengan kepala dan dada dinaikan 30 derajat dan
leher diekstensikan. Takipnea dan meingkatnya usaha bernaIas dapat menyebabkan aspirasi
jika makanan diberikan secara oral, maka dari itu perlu pemasangan NGT.
2

Penggunaan bronkodilator dapat memperbaiki gejala klinis dalam jangka pendek,
namun penggunaanya sebaiknya tidak secara rutin.
1,2
Penggunaannya dapat dilanjutkan jika
ada respon klinis yang positiI dengan penilaian yang objektiI. Dalam jangka panjang,
bronkodilator sepertinya tidak mempunyai eIek terhadap perjalanan penyakit. Perbaikan yang
ditimbulkan dari penggunaan bronkodilator bersiIat transien.
1
Nebulisasi dengan
menggunakan epinephrin dinilai lebih eIektiI.
2
Namun juga tidak dapat menjamin perbaikan
perjalanan penyakit dalam jangka panjang.
1

Penggunaan kortikosteroid pada anak dengan inIeksi RSV yang sebelumnya normal
tidak diindikasikan. Secara teori penggunannya bermakna, namun tidak dapat melebihi
kerugian, eIek samping, dan biaya yang dikeluarkan.
2
Penggunannya dinilai tidak
menimbulkan banyak manIaat dan tidak bereIek pada perjalanan penyakit, serta dianjurkan
untuk tidak digunakan secara rutin.
1

Ribavirin telah digunakan pada penderita yang mengalami gagal jantung kongestiI,
dan penyakit paru kronis, namun belum ada bukti yang menunjukkan penggunannya dapat
berdampak pada perjalanan penyakit seperti mortalitas atau lama perawatan di rumah sakit.
Penggunaannya juga tidak dianjurkan secara rutin.
1,2,7

Antibiotik hanya boleh digunakan jika ada bukti superinIeksi bakteri pada bronkiolitis.
InIeksi bakteri ditangani seperti halnya jika tidak terjadi bronkiolitis.
1,2,7

Pada BO, tidak ada terapi yang bersiIat deIinitiI, penggunaan kortikosteroid mungkin
dapat bermanIaat, namun masih kontroversial dan idenya muncul pada percobaan hewan
kelinci yang terbukti menunda terjadinya BO setelah diberikan asam nitrat intratrakeal.Selain
itu, terdapat juga laporan yang menunjukkan eIek signiIikan dari kortikosteroid pada pasien
dengan BO, yang ditunjukkan oleh pengurangan jumlah neutroIil dalam lavage cairan
bronchoalveolar dan adanya perbaikan dalam Iungsi paru.Namun, karena kurangnya bukti
mengenai eIek terapi, dan tingginya resiko eIek samping, kortikosteroid sistemik harus
digunakan dengan hati-hati pada pasien denganpostinIectious BO.
4
Lain halnya dengan
BOOP, kortikosteroid menimbulkan eIek yang sedikit bermakna.
2,8,9

Penggunaan bronkodilator masih sulit diprediksi responnya pada pasien dengan BO
dan diindikasikan jika terdapat respon positiI pada tes Iungsi paru atau dalam penilaian
klinis.
4,10

Fisioterapi paru-paru mungkin berguna pada pasien dengan bronkiektasis, dimana
Iungsi mukosiliar terganggu akibat inIlamasi.Pada pasien ini, terapi antibiotik diperlukan
dalam situasi eksaserbasi klinis, terutama selama musim dingin. Streptococcus pneumonia
dan Haemophilus inIluenzae adalah mikroorganisme utama yang dapat diidentiIikasi pada
pasien ini. Antibiotik pilihan dapat berupa amoksisilin, ampisilin, kloramIenikol, serta
trimethoprim-sulIametoksazol.
4

PROGNOSIS
Pada pasien dengan bronkiolitis, 24-48 jam setelah gejala awal seperti batuk dan
dyspneu muncul adalah waktu yang rentan terutama bagi bayi terjadinya perburukan seperti
apneu atau asidosis respiratorik. Kematian biasanya disebabkan oleh apneu, asidosis, atau
dehidrasi berat.
2
Beberapa pasien dengan BO dapat mengalami kemunduran klinis yang cepat dan
meninggal dalam waktu mingguan setelah gejala awal, ada juga yang bertahan namun dengan
disabilitas yang menetap pada Iungsi paru. Lain halnya dengan BOOP yang dapat
menunjukkan penyembuhan total.
2







DAFTAR PUSTAKA
1. Subcommittee on Diagnosis and Management oI Bronchiolitis. Diagnosis and
Management oIBronchiolitis. American Academy oI Pediatrics. 2006;118(4).
2. Behrman: Nelson Textbook oI Pediatrics, 18th ed
3. ncbi.nlm.gov. Management oI Bronchiolitis in InIants and Children.

4. Linjie Zhang, Fernando Abreu e Silva. Bronchiolitis obliterans in children. Jornal de
Pediatria. 2000

5. Chan PW, Muridan R, Debruyne JA.Bronchiolitis obliterans in children: clinical
proIile and diagnosis. Respirology. 2000 Dec;5(4):369-75.

6. A J Colom, A M Teper,W M Vollmer,G B Diette. Risk Iactors Ior the development oI
bronchiolitis obliterans in children with bronchiolitis. Thorax 2006;61:503-506

7. Scottish Intercollegiate Guideline Network. Bronchiolitis in childern.

8. Management oI Bronchiolitis in InIants and Children.Evidence Reports/Technology
Assessments, No. 69. Viswanathan M, King VJ, Bordley C, et al.Rockville (MD)

9. Bronchiolitis obliteranscurrent concepts. T. Ezri, S. Kunichezky, A. Eliraz, D.
Soroker, D. Halperin and A. Schattner

10.NJEM. clinical bronchiolitis obliterans in workersat a microwave-popcorn plant

You might also like