You are on page 1of 30

Dari Madinah ke Istanbul : Sejarah Pemerintahan Islam (622-1922)

Bimo Ario Tejo

Berbeda dengan agama lain, Kristen misalnya, Islam memiliki motif politik paling ketara.
Tidak seperti lahirnya Kristen di kawasan pax Romana1 yang telah memiliki sistem
pemerintahan modern untuk ukuran saat itu, Islam lahir di kawasan Semenanjung Arab yang
saat itu bebas dari kekuasaan Persia dan Romawi sehingga Islam berkepentingan untuk
menciptakan sistem pengaturan masyarakat tersendiri2. Jika Kristen kemudian
memanfaatkan imperium dan sistem politik Romawi untuk menegakkan hukum Tuhan3,
maka Islam memilih untuk membentuk sistem politik tersendiri demi maksud yang sama.

Dalam perspektif politik, sebagian umat Islam meyakini bahwa yang dilakukan Nabi
Muhammad adalah praktik pendirian sebuah negara. Hal ini menjadi inspirasi sepanjang
masa bagi upaya pendirian “negara Islam“ di berbagai belahan dunia – suatu amal yang
dipercaya mengikuti jalan (sunnah) Nabi Muhammad sehingga memiliki nilai kesucian
transendental tersendiri dan bahkan dipandang sebagai bagian tak terpisahkan dari ajaran
Islam4 - walaupun pandangan yang menolak penyatuan Islam dan negara juga harus
dipertimbangkan secara serius karena memiliki akar teologis dan sejarah yang tak boleh
dipandang ringan5.

Dalam mencari model hubungan antara Islam dan negara, sejarah telah mencatat bahwa
tidak ada satu bentuk hubungan yang seragam. Artinya, tidak ada satu format “negara
Islam“ yang baku dan bisa dijadikan sebagai role model dari sisi teologis. Kreativitas manusia
sepeninggal Nabi Muhammad telah menciptakan berbagai bentuk ”negara Islam“ yang
sebagiannya akan dibahas secara ringkas dalam tulisan ini.

Madinah : Pemerintahan Tuhan

Sebagaimana telah disinggung di atas, Jazirah Arab samasekali tidak menerapkan bentuk
pemerintahan yang terorganisir di masa kelahiran Muhammad. Relasi antar suku dan
kabilah diatur berdasarkan konvensi tak tertulis yang masih sangat primitif seperti hukum
pembalasan setimpal (qishash) yang – secara mengejutkan – cukup efektif untuk menjaga agar
setiap kelompok (qawm) tidak secara semena-mena membunuh anggota kelompok lain
karena hal itu akan berakibat jatuhnya hukum pembalasan secara otomatis. Qishash sendiri
adalah norma cabang dari norma utama, yaitu muruwwah (kehormatan, harga diri) yang
memunculkan beberapa etika cabang lain seperti keberanian, kesabaran, kesetiaan,
kemurahan hati kepada kaum miskin dan perlindungan kepada kaum lemah. Pemimpin

1 Pax Romana (Roman peace) adalah kurun waktu ketika Imperium Romawi mengalami kedamaian dan kesejahteraan

setelah sebelumnya dilanda konflik bersenjata antar faksi yang bertikai. Pax Romana berlangsung sejak era
pemerintahan Augustus Caesar (29 BC) sampai saat kematian Kaisar Marcus Aurelius (180). Peristiwa terpenting di
era pax Romana ini adalah lahirnya Nabi Isa (Jesus) pada masa pemerintahan Augustus Caesar.
2 Pada tahun kelahiran Muhammad di Makkah (570), Semenanjung Arab adalah wilayah tak bertuan yang bebas dari

kekuasaan Bizantium (Romawi Timur) maupun Sasanid (Persia) karena ketandusan dan sifat liar penduduknya.
Dalam bahasa Yunani, penduduk Jazirah Arab disebut “Sarakenoi” (orang-orang yang tinggal dalam kemah).
Bizantium dan Sasanid lebih tertarik dengan kawasan selatan Jazirah (sekarang Yaman) yang tanahnya lebih subur
karena pengaruh angin muson dan penduduknya lebih beradab.
3 Asimilasi pertama antara Kristen dan politik terjadi ketika Kaisar Konstantin (285-337) memeluk agama Kristen

pada tahun 312.


4 Prof. Mahmud Syaltut (mantan Shaikh al-Azhar) dalam dalam ungkapannya yang populer mengatakan bahwa

Islam adalah “al-diin wa al-dawla” (Islam adalah agama dan negara). Komentar senada juga dilontarkan al-Ghazzali
dalam al-Iqtishad fi al-I’tiqad dan Ibnu Taimiyah dalam Majma’ul Fatawa.
5 Ali Abd al-Raziq, al-Islam wa Ushul al-Hukm, Cairo (1925). Juga pandangan kaum Syiah yang memandang bahwa

agama harus dijauhkan dari urusan politik atas sebab untuk melindungi eksistensi agama itu sendiri [Karen
Armstrong, The Battle for God, Harper Collins (2001) h. 51; lihat juga debat teologis antara Ayatollah Khomeini
dengan Ayatollah Kho’i dalam Baqer Moin, Khomeini, Life of the Ayatollah, St. Martin’s Press (2000) h. 158].

1
qawm yang tak mampu melakukan qishash atas kematian anggota kelompoknya akan
dipandang memiliki muruwwah yang cacat.

Walaupun secara politik Jazirah Arab (Hijaz dan Najd, selanjutnya disebut “Jazirah“) adalah
kawasan yang bebas dari kekuasaan imperium lain dan kehidupan sehari-harinya hanya
diatur oleh norma tribalistik, mereka telah mendapat informasi tentang sistem pemerintahan
yang modern dan terstruktur sebagai hasil interaksi perniagaan dengan grup-grup dagang
dari beberapa negara di sekitar Jazirah. Yaman misalnya, dikenal sebagai bangsa
berperadaban tinggi sejak era kaum Saba’ (650 BC) dan pernah hidup di bawah dua
kekuasaan besar saat itu (Bizantium dan Sasanid) sekaligus mengenal agama Kristen dan
Yahudi secara baik. Selain Yaman, Hirah (Persia) juga telah mengenal sistem pemerintahan
kesatuan sejak era Cyrus The Great (557-529 BC) yang menyatukan seluruh Persia hingga
Alexander The Great dari Macedonia mengalahkannya pada tahun 326 BC; di masa kelahiran
Muhammad, Persia ada di bawah pemerintahan Sasanid yang dirintis oleh Ardashir pada
tahun 226 BC6. Tetapi tidak satupun kekuasaan-kekuasaan besar ini yang memasuki Jazirah.

Tidak masuknya kuasa-kuasa besar dunia ke Jazirah itu di satu sisi memberi kemerdekaan
politik kepada penduduk Jazirah, tetapi di sisi lain juga memunculkan rasa rendah diri.
Dibanding negeri-negeri sekelilingnya, Jazirah sangat jauh tertinggal secara peradaban dan
ekonomi. Penduduk Jazirah dikatakan sangat terpesona dengan keindahan gereja Kristen di
Najran yang dikuasai Bizantium walaupun secara politik mereka tetap membenci Bizantium
dan Kristen atas praktik penjajahannya di kawasan subur Yaman7. Juga, ketiadaan satu
kekuasaan yang sanggup menyatukan seluruh kabilah di Jazirah menyebabkan perang tiada
henti antar kabilah yang mengakibatkan orang Jazirah tidak sanggup mengikuti gaya hidup
modern yang antara lain dianut oleh komunitas Yahudi di kawasan oasis Yathrib8. Di alam
padang pasir yang memiliki sumberdaya terbatas, serang-rompak (ghazw) menjadi kegiatan
rutin sebagaimana ungkapan: “Urusan kami adalah mengadakan serang-rompak kepada
musuh, tetangga, bahkan kepada saudara kami sendiri jika kami tidak dapat menemukan
satu pihakpun yang bisa diserang melainkan saudara kami sendiri!“9 Di satu sisi ghazw
adalah mekanisme mempertahankan hidup, tetapi di sisi lain ghazw mengakibatkan orang-
orang Jazirah tidak mampu mengembangkan kehidupan secara beradab sebagaimana kaum-
kaum lain di tempat yang lebih subur.

Bukan hanya secara politik, secara spiritual pun orang Jazirah merasa rendah diri. Mereka
tahu bahwa Nabi Ibrahim as telah mendirikan Ka’bah di Makkah dan beliau pula menjadi
“bapak” agama Yahudi dan Kristen yang dianut oleh kuasa-kuasa besar dunia saat itu, tetapi
orang Jazirah merasa dianak-tirikan oleh kenyataan bahwa Tuhan tidak menurunkan agama
dan kitab kepada mereka sebagaimana telah diturunkan kepada orang-orang lain padahal
mereka telah merawat Ka’bah secara baik. Orang-orang Jazirah seringkali dilecehkan oleh
orang-orang Yahudi sebagaimana diceritakan oleh salahsatu dari mereka10:

“Kami adalah politeis penyembah berhala sedangkan mereka (orang Yahudi) adalah Ahli Kitab dengan
pengetahuan yang tidak kami miliki. Selalu ada perselisihan di antara kami dan ketika kami lebih baik
daripada mereka dan membangkitkan kebencian mereka, orang-orang Yahudi itu berkata: ’Telah tiba
masanya kedatangan seorang Nabi. Kami akan membunuh kalian dengan pertolongannya sebagaimana

6 Konstelasi politik dan kekuasaan di kalangan bangsa Arab pada saat kelahiran Muhammad dirinci oleh Syaikh

Shafiyyur-Rahman al-Mubarakfury dalam ar-Rahiqul Maqtum, Bahtsun fi as-Sirah an-Nabawiyyah ala Shahibiha Afdhalis-
Shalati wa as-Salam [terj. Sirah Nabawiyah, al Kautsar, (1999)].
7 Karen Armstrong, Muhammad, Phoenix Press (2004) h. 57.
8 Ketika orang Arab nomad dari Arabia Selatan pindah ke oasis Yathrib dan hidup berdampingan dengan orang

Yahudi yang lebih dahulu tinggal di sana, mereka menyadari bahwa norma tribalistik yang mengutamakan
kolektivitas tidak cocok untuk kehidupan modern kota yang menekankan individualisme dan kepemilikan
perorangan (Armstrong, Muhammad, h. 65)
9 Philip K. Hitti, The Arabs: A Short History, Regnery Publishing (1996) h. 16.
10 Sirah Ibn Ishaq 134 [terj. A. Guillaume, The Life of Muhammad: A Translation of Ishaq’s Sirat Rasul Allah, London (1955)

h. 93]. Yang dimaksud “seorang Nabi” itu adalah Nabi Muhammad.

2
kaum Ad dan Iram dihancurkan.’ Kami (orang Jazirah) sering mendengar mereka mengatakan hal
demikian.“

Keinginan penduduk Jazirah akan suatu agama yang khusus diturunkan kepada mereka
terabadikan dalam suatu fragmen yang mengisahkan empat orang Quraish Makkah yang
memutuskan untuk mengembara ke negeri lain dalam rangka mencari hanifiyyah, agama asli
Ibrahim. Zaid bin Amr, salah seorang di antaranya, ketika akan berangkat ke Suriah dan Iraq
untuk mencari “agama Ibrahim“ sempat berkata kepada orang Quraish yang sedang
mengelilingi Ka’bah11:

“Wahai Quraish, demi yang jiwa Zaid berada di tangan-Nya, tak ada seorangpun dari kalian yang
mengikuti agama Ibrahim kecuali aku.“ Kemudian dengan sedih ia berkata: “Ya Tuhan, andaikan aku
tahu bagaimana Engkau ingin disembah, niscaya aku akan menyembah-Mu dengan cara itu; namun
aku tidak tahu.“

Penduduk Jazirah memerlukan kekuasaan politik yang sanggup membawa keamanan dan
kesejahteraan bagi mereka dan juga satu agama yang khusus dikirimkan kepada mereka
sebagaimana Tuhan telah menurunkan Yahudi dan Kristen kepada kaum-kaum lain. Dan
sebagaimana akan diuraikan selanjutnya, nampaknya Allah mengabulkan keinginan mereka
dengan anugerah kenabian kepada Muhammad.

* * *

Kekuasaan adalah paradigma penting dalam kehidupan masyarakat Arab. Setiap suku
bersaing untuk menjadi yang terkuat dengan menaklukkan dan kemudian memberi
perlindungan kepada suku lain yang lebih lemah dengan kompensasi sejumlah upeti; setiap
suku akan memandang suku lain sebagai musuh yang legal untuk diperangi dan
dimusnahkan12.

Nabi Muhammad menggunakan paradigma kekuasaan ini untuk menarik hati para
pemimpin Quraisy memeluk agama Islam. Dalam dialognya dengan sekitar 25 orang
pemuka Quraisy Makkah, Nabi berkata13:

“Apa pendapat kalian jika aku menyampaikan satu kata saja yang kalian ucapkan, niscaya kalian akan
merajai bangsa Arab dan ajam (non-Arab) pun akan tunduk kepada kalian? Kalian harus mengucapkan
’Laa ilaha illallah’ dan meninggalkan apa yang kalian sembah selain Dia.“

Pernyataan Nabi tersebut sekaligus merupakan indikasi bahwa kekuasaan yang kelak diraih
beliau beberapa tahun sesudahnya akan bersifat ekspansionis melingkupi bangsa-bangsa
Arab dan non-Arab. Sejarah mencatat bahwa di saat wafatnya beliau, Islam telah menguasai
seluruh kawasan Jazirah Arab – prestasi itu dapat dicapai dalam jangka waktu 10 tahun dan
dimulai dari sebuah kota kecil, Yathrib (Madinah).

Sangat menarik untuk melakukan analisis mengapa Nabi sejak awal telah meletakkan aksi
ekspansionis sebagai isu penting, malah dikaitkan secara langsung dengan Islam.
Sebagaimana kita ketahui, sifat kekuasaan yang ekspansionis bukan hal yang baru pada saat
itu. Karakter ekspansionis telah ada sejak munculnya kerajaan pertama di muka bumi sampai
terakhir kali rezim Jepang dan Nazi Jerman melakukannya pada Perang Dunia II14. Berbeda

11 Karen Armstrong, History of God [terj. Sejarah Tuhan, Mizan (2002) h. 192]. Keempat orang itu adalah Zaid bin Amr,
Utsman bin al-Huwairith, Ubaidillah bin Jahsy dan Waraqah bin Naufal. Kelak, Waraqah bin Naufal yang memeluk
agama Kristen adalah orang kedua yang mengakui kenabian Muhammad setelah Khadijah.
12 Hitti, The Arabs, h. 18.
13 Ibnu Hisyam, Sirah an-Nabawiyah, I/417-419; Tafhimul Qur’an, 4/316-318; Mukhtashar Sirati-Rasul, h. 91 (dalam al-

Mubarakfury, Sirah, h. 155-157).


14 Model pemerintahan tertua di muka bumi muncul di delta Sungai Nil, Mesir kira-kira pada 3000 BC. Aneksasi

pertama yang tercatat dalam sejarah dilakukan oleh Nebhepetre-Mentuhotep dari Thebes pada tahun 2400 BC yang
menaklukkan Herakleopolis dan menyatukan wilayah delta Sungai Nil di bawah satu kekuasaan.

3
dengan masa sekarang dimana aksi ekspansionis dapat dipandang sebagai tindakan yang
menyalahi norma internasional, di masa lalu ekspansi teritorial adalah hal yang wajar
dilakukan suatu negara – umumnya dilakukan demi memperoleh tambahan pendapatan dari
wilayah-wilayah jajahan. Tidak semua aksi ekspansionis saat itu berkonotasi buruk; Romawi
mencapai puncak keemasannya yang dikenal sebagai era pax Romana ketika aksi ekspansionis
berhasil menyatukan wilayah Mediterania di bawah satu kontrol politik yang kuat (Gambar
1). Kuasa-kuasa besar yang berdiri di sekitar Jazirah Arab saat itu – Bizantium dan Sasanid
(Gambar 2) – pada dasarnya adalah imperium yang ekspansionis sehingga tidak heran model
kekuasaan ideal dalam gambaran Nabi (yang kemudian ditawarkan kepada para pemuka
Quraisy) adalah kekuasaan ekspansionis yang meliputi bangsa Arab dan non-Arab.

Gambar 1. Peta wilayah Imperium Romawi (54 provinsi) pada era pax Romana tahun 120 (koleksi The
Dalton School)

Gambar 2. Peta kawasan Timur Tengah pada abad ke-6 Masehi (koleksi Princeton University)

4
Bagi masyarakat yang kehidupannya terpecah-belah akibat perang antar kabilah,
pemerintahan kesatuan yang dimiliki Bizantium dan Sasanid adalah hal yang luar biasa,
apalagi kedua imperium itu menunjukkan tingkat ketinggian peradaban yang
mencengangkan penduduk Jazirah. Tak heran apabila Nabi Muhammad selalu menyebut-
nyebut kedua imperium itu, mengaitkannya dengan kemewahan dan kejayaan, sambil
menjanjikan kepada para sahabatnya bahwa mereka suatu saat akan sanggup menaklukkan
kedua kuasa besar tersebut. Seperti yang dituturkan oleh al-Barra saat menjelang Perang
Khandaq15:

“Saat menggali parit, di beberapa tempat kami terhalang oleh tanah yang sangat keras dan tidak bisa
digali dengan cangkul. Kami melaporkan hal ini kepada Rasulullah. Beliau datang, mengambil cangkul
dan bersabda: ’Bismillah...’ Kemudian menghantam tanah yang keras itu dengan sekali pukul. Beliau
bersabda: ’Allah Maha Besar! Aku diberi kunci-kunci Syam [saat itu di bawah kekuasaan Bizantium –
pen.]. Demi Allah, aku benar-benar bisa melihat istana-istananya yang bercat merah saat ini.’ Lalu beliau
menghantam untuk kedua kalinya bagian tanah yang lain. Beliau bersabda lagi: ’Allah Maha Besar!
Aku diberi tanah Persia [saat itu dikuasai Sasanid – pen.]. Demi Allah, saat ini aku bisa melihat istana
Mada’in yang bercat putih.’ Kemudian beliau menghantam untuk ketiga kalinya dan bersabda:
’Bismillah...’ Maka hancurlah batu yang masih tersisa. Kemudian beliau bersabda: ’Allah Maha Besar!
Aku diberi kunci-kunci Yaman. Demi Allah, dari tempatku ini aku bisa melihat pintu-pintu gerbang
Shan’a.’ “

Bagi sebuah komunitas yang baru berdiri seperti Madinah, aksi ekspansionis juga dipandang
sebagai salahsatu bentuk pertahanan terbaik. Madinah yang masih disibukkan dengan
konsolidasi internal antara kaum pendatang (Muhajirin) dengan penduduk lokal (Anshar) di
saat yang sama menghadapi ancaman dari Makkah. Perjanjian Hudaibiyah16 yang mengikat
Madinah dan Makkah dalam kondisi gencatan senjata adalah eksperimen jenius yang
dilakukan Nabi untuk menghalang (sementara waktu) gerakan militer apapun dari Makkah
(selatan) dan di saat yang sama Nabi melakukan aksi ekspansionis ke utara untuk
mengumpulkan dukungan dari para kabilah yang takluk dan menggabungkan diri dengan
komunitas baru tersebut.

Sejarah mencatat Nabi melancarkan sedikitnya delapan ekspedisi militer ke wilayah utara
mulai dari saat setelah penandatanganan Perjanjian Hudaibiyah sampai ketika Nabi
memasuki Makkah pada peristiwa Fathu (pembukaan, penaklukan) Makkah17. Perang
Khaibar dipandang sebagai perang terpenting karena menyerahnya Khaibar bermakna
Madinah berhasil menetralisir ancaman terbesar dari kawasan utara sekaligus membuka
jalan ekspansi ke kawasan Syam18. Hasil ekspansi tersebut telah memperkuat posisi Madinah
secara politik dan ekonomi di Jazirah Arab sehingga Nabi berhasil mengerahkan kekuatan
sebesar 10.000 orang untuk menaklukkan Makkah, dua tahun setelah Perjanjian Hudaibiyah,
tanpa mendapat perlawanan sedikitpun19.

Dimulai dari sebuah aksi serang-rompak (ghazw) terhadap kafilah dagang Makkah pada
tahun kedua Hijriah20, aksi ekspansionis telah menjelma menjadi agenda nasional negara
Madinah yang semakin sistematik pada tahun-tahun berikutnya. Ekspansi tidak lagi semata-

15 Sunan an-Nasa’i, 2/56; juga diriwayatkan oleh Ahmad dalam al-Musnad (al-Mubarakfury, Sirah, h. 392).
16 Perjanjian Hudaibiyah terjadi pada bulan Dzulqaidah tahun ke-6 Hijriah. Dalam perjanjian itu disepakati beberapa
klausul yang pada intinya menempatkan kedua belah pihak dalam status quo selama 10 tahun. Perjanjian tersebut
pada awalnya tidak disukai oleh sebagian besar sahabat Nabi kecuali Abu Bakar ash-Shiddiq yang memberikan
dukungan sejak awal (al-Mubarakfury, Sirah, hal. 444-445).
17 Ekspedisi militer tersebut adalah Perang Ghabah atau Dzu Qarad, Perang Khaibar, Perang Wadi al-Qura, ekspedisi

ke Taima, Perang Dzatur-Riqa’, Perang Mu’tah, ekspedisi ke Salasil dan ekspedisi ke Khadhirah (al-Mubarakfury,
Sirah, h. 475-516).
18 Taqiuddin an-Nabhani, al-Dawla al-Islamiyyah [terj. The Islamic State, Islamic Cultural Workshop (1996) h. 92].
19 al-Mubarakfury, Sirah, h. 523.
20 “Jihad“ pertama dalam sejarah Islam dilakukan dengan menyerbu kafilah dagang Quraisy yang sedang pulang ke

Makkah dari Syam. Ghazw ini murni bermotif ekonomi untuk merampas harta-benda kafilah sebagaimana ucapan
Nabi: “Ini adalah kafilah dagang Quraisy yang membawa harta-benda mereka. Hadanglah kafilah itu, semoga Allah
memberikan barang rampasan itu kepada kalian.” (al-Mubarakfury, Sirah, h. 269).

5
mata bersandar pada tradisi ghazw Arab untuk meraup kekayaan dan meluaskan kekuasaan,
melainkan telah mendapat legitimasi spiritual dari Allah21. Dalam pandangan Philip Hitti,
ekspansi yang dilakukan Nabi telah mentransformasi Islam dari sebuah agama per se menjadi
sebuah negara22.

* * *

Sebuah negara yang menganut aksi ekspansionis sebagai agenda nasionalnya memerlukan
kepemimpinan yang kuat dan less-bureacratic. Keputusan untuk berperang adalah jenis
keputusan yang harus diambil dengan cepat tanpa birokrasi bertele-tele; Jerman misalnya,
mengeluarkan keputusan untuk menginvasi Uni Soviet hanya dalam hitungan jam setelah
Heinz Guderian, komandan panzer Nazi Jerman, melihat benteng Soviet di Brest-Litovsk
kosong tak terjaga pada 21 Juni 194123.

Demikian pula dengan model pemerintahan yang berlaku di Madinah. Muhammad


memegang seluruh otoritas kekuasaan mulai dari kepala negara, hakim, panglima perang,
pemimpin spiritual, selain posisinya sebagai Nabi24; seluruh wewenang ketiga komponen
pemerintahan yang dikenal dalam konsep Trias Politika (eksekutif, legislatif, yudikatif)
mutlak berada di tangan beliau. Dengan wewenang penuh dalam satu tangan, Nabi dapat
bertindak cepat dan efektif untuk mengatasi krisis yang berlaku pada masa-masa awal
berdirinya negara Madinah.

Jika dibandingkan dengan model pemerintahan yang dianut oleh negara-negara yang telah
eksis sebelumnya, model pemerintahan Nabi di Madinah dapat dikatakan sangat primitif.
Romawi misalnya, sejak tahun 510 BC (era Republik Awal) telah memperkenalkan sistem
check and balance dengan mekanisme kolegiat dimana untuk setiap jabatan pemerintahan
minimal harus diduduki oleh 2 orang. Posisi Consul dijabat oleh 2 orang (undang-undang
tidak bisa disahkan jika kedua Consul tak bersepakat), Praetor dijabat oleh 8 orang, Censor
oleh 2 orang, Aediles 4 orang, Tribune 10 orang dan Quaestor 20 orang25. Selain mekanisme
kolegiat, Romawi juga memperkenalkan mekanisme pembatasan kekuasaan; jabatan Consul
tidak boleh melebihi 10 tahun untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan juga jabatan
Censor yang memiliki siklus 1,5 tahun.

Tetapi kita harus memahami mengapa model pemerintahan di Madinah sangat


terkonsentrasi di tangan satu orang dan cenderung tanpa batas. Ada kondisi-kondisi politik
tertentu yang menuntut struktur pemerintahan harus sesederhana dan sekuat mungkin. Di
era Republik misalnya, Romawi mengenal posisi Dictator, yaitu penguasa tunggal di masa
perang yang ditunjuk selama 6 bulan menggantikan posisi Consul yang dipegang oleh 2
orang. Posisi ini mirip dengan sistem yang dianut oleh Republik Indonesia yang menunjuk
Panglima Daerah Militer (Pangdam) setempat sebagai penguasa tunggal dalam kondisi status
darurat militer. Demikian pula ketika Romawi dilanda kekacauan di penghujung era
Republik Akhir (123-23 BC), Senat Romawi mengubah sistem Republik kepada sistem
Kekaisaran (Imperium) dan menunjuk Augustus Caesar sebagai penguasa tunggal Romawi
dengan gelar Imperium proconsulare maius untuk mengembalikan stabilitas Romawi.

21 Qur’an, surah 9:29.


22 Hitti, The Arabs, h. 61. Kalimat lengkapnya: Islam yang menaklukkan wilayah-wilayah utara bukanlah agama
Islam, tetapi negara Islam (The Islam that conquered the northern regions was not the Islamic religion but the Islamic state).
23 Michael Burleigh, The Third Reich, A New History, Pan Books (2001) h. 487. Keputusan menginvasi Uni Soviet adalah

keputusan politik yang diambil secara kilat di lapangan. Operasi Barbarossa - dikenal sebagai operasi darat terbesar
dalam sejarah perang modern - sangat mengejutkan Stalin yang menyangka hal itu hanya ulah sebagian jenderal
Jerman yang semberono, mengingat sebelumnya Nazi dan Uni Soviet pernah bekerjasama menginvasi Polandia dan
negara-negara Baltik pada tahun 1939.
24 Hitti, The Arabs, h. 62.
25 Consul (kepala negara), Praetor (hakim agung), Censor (pengawas sosial, menyeleksi daftar Senator), Aediles

(pengawas prasarana umum), Tribune (pengawas hak-hak rakyat jelata dari kesewenangan penguasa), Quaestor
(bendahara negara). Keenam posisi ini disebut Magistrates (pemerintah) untuk membedakannya dengan Senate
(parlemen).

6
Paling tidak ada tiga sebab mengapa kekuasaan di Madinah saat itu terkonsentrasi di tangan
satu orang. Pertama, posisi Muhammad sebagai Nabi memberinya privilege sebagai lembaga
tahkim (pemutus perkara); kedua, bentuk pemerintahan yang dikenal saat itu adalah
Imperium yang meletakkan kekuasaan mutlak di tangan satu orang setelah berakhirnya era
pemerintahan demokratik Yunani Kuno pada 500 BC dan era pemerintahan Republik
Romawi pada 23 BC; dan ketiga, kondisi Madinah yang tengah aktif berekspansi sekaligus
menghadapi masalah konsolidasi internal. Dalam istilah Muhammad Said al-Asymawi,
pemerintahan Nabi di Madinah adalah bentuk pemerintahan arbitrase (hukumat al-tahkim)26.
Pemerintahan tahkim adalah pemerintahan yang mutlak dan tidak boleh dilawan oleh rakyat
karena wewenang tahkim yang dimiliki Nabi sebagai kepala negara bersumber langsung dari
Allah. Keputusan politik yang dikeluarkan Nabi bersifat mutlak, tidak boleh disanggah atau
dipertikaikan oleh siapapun karena akan membawa konsekuensi fatal di sisi Islam. Al-Qur’an
menegaskan sifat kemutlakan kekuasaan Nabi ini dalam ayat berikut27:

“Sungguh, mereka tidak akan disebut beriman kecuali bila mereka sudi meminta peradilan darimu
(Muhammad) dalam hal persengketaan di antara mereka, lalu mereka tidak merasa berat hati dengan
apa yang engkau putuskan, dan mereka menerimanya dengan penuh rasa ketundukan.“

Pemerintahan yang dibangun oleh Nabi di Madinah samasekali tidak mengenal konsep
pemecatan kepala negara oleh siapapun dan lembaga apapun, bahkan kepala negara
mempunyai wewenang luar biasa untuk memutuskan segala bentuk perselisihan
sebagaimana prinsip: “al-Imam yarfa’u al-khilaf“ (Imam/kepala negara memutuskan
perselisihan)28. Sejarah memang mencatat bahwa Nabi pernah menunjuk Rashid bin
Abdullah untuk menjalankan tugas madhalim (melayani pengaduan rakyat mengenai
kesewenangan aparat pemerintah), tetapi hal tersebut tidak berlaku untuk kepala negara29.

Konsep pemerintahan modern yang mengenal pemisahan kekuasaan dan kontrol ketat
terhadap kepala negara tentu sangat sulit untuk memahami nalar politik yang berlaku di
Madinah saat itu. Satu-satunya jalan untuk memahami logika pemerintahan yang dibangun
Rasulullah di Madinah adalah dengan menempatkan posisi beliau sebagai kepala negara
yang mendapat otoritas langsung dari Tuhan. Dengan kata lain, negara Madinah adalah
pemerintahan Tuhan. Pada bagian selanjutnya kita akan melihat bahwa model pemerintahan
yang dibangun Nabi di Madinah ternyata menimbulkan masalah besar sepeninggal beliau.

Khulafaa-ur-Rasyidin : Pemerintahan Manusiawi

Bagi Umar bin Khatthab, Muhammad adalah sosok yang immortal, abadi, tak akan pernah
mati. Umar tidak bisa menerima kenyataan bahwa Nabi telah meninggalkan umat Islam
selama-lamanya pada suatu siang yang terik, Senin 12 Rabiul-Awwal tahun 11 Hijriah. Umar
percaya bahwa yang pergi hanyalah ruh Nabi dan suatu saat ruh itu akan kembali ke jasad
Nabi sebagaimana Musa bin Imran pergi dari kaumnya selama 40 hari dan kemudian
kembali ke kaumnya. Umar mengancam akan memotong kaki dan tangan orang-orang yang
berkata bahwa Nabi telah mati. Abu Bakar yang datang kemudian lalu berucap: “Siapa yang
menyembah Muhammad maka sesungguhnya Muhammad telah wafat. Tapi siapa yang
menyembah Allah maka Allah itu Maha Hidup dan tidak pernah mati.“ Ia lalu membaca ayat
Qur’an30:

26 Muhammad Said al-Asymawi, Jalan Menuju Tuhan (makalah lepas), Jakarta (2003); al-Asymawi adalah mantan

Ketua Pengadilan Tinggi Kairo.


27 Qur’an, surah 4:65.
28 Iyad Hilal, Studies in Usul ul-Fiqh (2nd edition), Islamic Cultural Workshop (t.t) h. 113.
29 an-Nabhani, The Islamic State, h. 120.
30 Qur’an, surah 3:138.

7
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang
rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kalian berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang
berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikitpun; dan Allah
akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.“

Mendengar ucapan Abu Bakar itu, Umar menjadi lemas sehingga jatuh terduduk ke tanah31.

Keterkejutan akibat wafatnya Nabi memicu salahsatu krisis terbesar dalam sejarah Islam.
Hingga detik-detik terakhir kehidupannya, beliau menuntun setiap langkah kaum Muslimin
sampai hal-hal yang sangat detil. Kebingungan melingkupi semua yang menyaksikan dan
mendengar kabar wafatnya Nabi; bagaimana umat harus melanjutkan kehidupan
bermasyarakat tanpa kehadiran beliau? Kemana mereka harus menuju? Jika Umar
menyikapinya dengan rasa tak percaya, beberapa kabilah Baduwi memilih untuk
memisahkan diri dari kekuasaan Madinah; suatu indikasi bahwa ketundukan mereka kepada
otoritas Madinah semata-mata hanya karena ketakutan politik.

Ada kekhawatiran yang amat memuncak bahwa Jazirah Arab akan terjerumus kembali ke
dalam kancah perang antar suku pasca wafatnya Nabi. Yang lebih parah, Madinah pun
terancam dikoyak perpecahan ketika masing-masing orang berkelompok mengikuti asal
suku dan keluarganya sembari mengklaim pihaknya yang paling berhak atas kepemimpinan
umat Islam pasca Nabi. Agaknya fanatisme inilah yang pernah mengkhawatirkan Nabi di
tahun-tahun terakhir hayatnya32.

Salahsatu tempat memuncaknya krisis adalah di Tsaqifah Bani Saidah. Untuk mencegah
merebaknya perpecahan yang lebih parah, beberapa pemuka kaum berkumpul untuk
mencari pemimpin baru. Mereka sepakat bahwa harus ada seseorang yang dipilih untuk
memimpin umat33; tetapi Nabi tidak menunjuk siapa yang layak menggantikannya sehingga
memancing perdebatan panas di Tsaqifah. Kaum imigran (Muhajirin) lebih menyukai Abu
Bakar sebagai pengganti Nabi memimpin komunitas umat; penduduk lokal (Anshar) lebih
menyukai Sa’ad bin Ubadah dari golongan mereka sendiri untuk mengambil tongkat estafet
kepemimpinan umat; sedangkan keluarga Nabi lebih menyukai Ali bin Abi Thalib atas
alasan kekerabatan34. Dalam situasi yang demikian genting, Umar bertindak cepat dengan
menyatakan kesetiaan (bai’at) kepada Abu Bakar untuk mencegah kaum lain menyatakan
kesetiaan kepada pemimpin masing-masing35. Ketika sore harinya, Umar naik ke atas
mimbar untuk mengajak umat berbai’at kepada Abu Bakar sehingga pupuslah harapan kaum
lain untuk membaitnya kandidat pemimpinnya36. Abu Bakar menjadi pemimpin pertama
umat pasca wafatnya Nabi dengan gelar Khalifah al-Rasulullah (pengganti Rasulullah)37.

Tidak adanya calon Khalifah yang ditunjuk Nabi di satu sisi menimbulkan perpecahan yang
nyaris mengoyak-ngoyak Jazirah Arab, tetapi di sisi lain hal tersebut memunculkan
mekanisme suksesi kepemimpinan yang egaliter. Ketiga kandidat Khalifah (Abu Bakar, Sa’ad
dan Ali) memiliki derajat yang sama sebagai sahabat Nabi bahkan dikisahkan bahwa Sa’ad
tetap tidak mau berbai’at kepada Abu Bakar dan Khalifah Umar di kemudian hari38. Karena

31 al-Mubarakfury, Sirah, h. 620-621; Armstrong, Muhammad, h. 256-257.


32 Salahsatu kasus adalah turunnya ayat 102-103 surah Ali Imran ketika Nabi melerai pertengkaran antara suku Aus
dan Khazraj di Madinah yang terpancing oleh hasutan seorang Yahudi, Syash bin Qais, yang merasa iri melihat
keakraban kedua suku tersebut [Qamaruddin Shaleh et al., Asbabun Nuzul, Diponegoro (1999) h. 103]. Dan masih
banyak lagi kasus perselisihan antar kaum di Madinah.
33 “Dahulu Bani Israil dipimpin oleh para Nabi. Apabila para Nabi itu telah wafat, mereka digantikan oleh Nabi yang

baru. Sedangkan setelahku tidak ada lagi seorang Nabi, tetapi akan ada khalifah yang banyak jumlahnya.“ (Muslim,
Sahih, bab Imarah, hadits no. 3429; al-Bukhari, Sahih, bab Ahadith al-Anbiya, hadits no. 3196).
34 Armstrong, Muhammad, h. 257-258.
35 Abul A’la al-Maududi, Khilafah wa al-Mulk [terj. Khilafah dan Kerajaan, Mizan, (1998) h. 112-113].
36 Syaikh Muhammad Yusuf al-Kandahlawy, Mukhtashar Hayatush-Shahabat [terj. Sirah Sahabat, al Kautsar, (1998) h.

191-192].
37 Khalifah (pengganti) disini maksudnya menggantikan posisi Muhammad sebagai pemimpin umat, bukan sebagai

Nabi (an-Nabhani, The Islamic State, h. 128).


38 al-Maududi, Khilafah, h. 157.

8
posisi ketiga kandidat yang seimbang, legitimasi dari umat dalam bentuk bai’at menjadi
penentu akhir. Bai’at sendiri memiliki akar yang kukuh dalam tradisi Arab pra-Islam; setiap
anggota kabilah wajib bersumpah untuk setia kepada pemimpin kabilah yang bergelar sheikh;
posisi sheikh sendiri adalah posisi yang tergantung dari kesepakatan konstituen kabilahnya39.
Disini kita melihat bahwa penduduk Jazirah secara alamiah hidup dalam suasana egaliter
dimana kepemimpinan harus mendapat persetujuan dari anggota kabilah melalui
mekanisme bai’at. Karena posisinya yang urgen, bai’at kerap dipandang sebagai metode
baku pengangkatan Khalifah40. Tetapi dalam bagian selanjutnya kita akan melihat bagaimana
bai’at dimanipulasi sedemikian rupa menjadi alat untuk mengukuhkan sistem Diraja (al-
Mulk) yang muncul setelah terbunuhnya Khalifah Ali bin Abi Thalib pada tahun 661.

Keempat orang sahabat Nabi (Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khatthab, Utsman bin Affan
dan Ali bin Abi Thalib) mendapat julukan terpuji sebagai Khulafaa-ur-Rasyidin (khalifah-
khalifah yang adil dan benar). Abul A’la al-Maududi41 menganggap julukan al-Rasyidin ini
bermakna bahwa keempat Khalifah itu telah menunjukkan contoh yang tepat bagaimana
karakter para pengganti (khalifah) Rasulullah menurut pandangan Islam. Menurut al-
Maududi, ciri-ciri Khulafaa-ur-Rasyidin itu adalah42:

1. Khalifah yang dipilih oleh umat;


2. Pemerintahan berdasarkan musyawarah;
3. Baitul Maal yang amanah;
4. Konsep pemerintahan yang amanah;
5. Kekuasaan undang-undang;
6. Pemerintahan tanpa ashabiyyah (fanatisme kesukuan);
7. Jiwa demokrasi43.

Walaupun mewarisi sebuah bentuk pemerintahan yang berpusat di satu tangan, Abu Bakar
menyadari bahwa ia bukan lagi seperti Nabi yang memiliki wewenang tahkim. Wahyu telah
berhenti turun dan Abu Bakar hanyalah salahsatu dari ratusan sahabat Nabi yang telah
bersama-sama mendengar dan mempelajari wahyu tersebut. Abu Bakar menyadari bahwa ia
tidak mewarisi sifat ma’shum (bebas dosa) sebagaimana Nabi sehingga untuk pertama kalinya
prinsip check and balance diperkenalkan setelah sebelumnya umat hidup di bawah pimpinan
Nabi yang ma’shum . Hal ini terungkap dalam pidato pelantikannya sebagai Khalifah44:

“Kalian telah membai’atku sebagai Khalifah. Sesungguhnya saya tidaklah lebih baik dari kalian. Oleh
karena itu, apabila saya berbuat baik maka tolong dan bantulah saya dalam kebaikan itu. Tetapi apabila
saya berbuat kesalahan maka tegurlah saya. Taatlah kalian kepadaku selama saya taat kepada Allah
dan Rasul-Nya dan janganlah kalian mentaatiku apabila saya berbuat maksiat kepada Allah dan Rasul-
Nya.”

Dengan pidatonya tersebut, Abu Bakar telah mengubah pemerintahan Tuhan (ilahiyyah)
menjadi pemerintahan manusiawi (basyariyyah) yang bisa dikoreksi dan pada batas-batas
tertentu membuka diri terhadap tindakan oposisi. Dalam sebuah kejadian, seseorang telah
mengangkat pedang sambil memperingatkan Khalifah Umar bin Khatthab (Khalifah kedua)
agar berlaku lurus dan tidak menyimpang dalam menjalankan pemerintahan45; hal ini tentu
akan dianggap kelancangan tak termaafkan jika terjadi di masa kepemimpinan Nabi.

39 Hitti, The Arabs, h. 17-19.


40 Taqiuddin an-Nabhani, al-Khilafah [terj. Sistem Khilafah, Khazanah Islam (1995) h. 25].
41 Abul A’la al-Maududi adalah pendiri partai Jama’at al-Islami yang berpusat di Pakistan. Lahir pada 25 September

1903 di Andhra Pradesh (India), ia telah menulis 138 literatur Islam. Karyanya yang paling terkenal adalah Tafhim al-
Qur’an, suatu kitab tafsir yang ditulis selama 30 tahun.
42 al-Maududi, Khilafah, h. 111-130.
43 Pandangan al-Maududi tentang ide demokrasi ini mendapat tentangan, misalnya dari kelompok Hizbut Tahrir

yang memandang demokrasi sebagai sistem kufur [Abdul Qadim Zallum, Dimuqhratiyyah Nidham Kufr, Beirut (t.t)].
44 Abdul Aziz al-Badri, al-Islaamu bayna al-Ulama wa al-Hukkam [terj. Ulama Mengoreksi Penguasa, Pustaka Mantiq

(1991) h. 36]; juga dalam Guillaume, The Life of Muhammad, h. 683.


45 al-Badri, Ulama Mengoreksi Penguasa, h. 36.

9
Demikian pula di masa Khalifah Ali bin Abi Thalib (Khalifah keempat), ada sekitar 17 atau 20
orang sahabat Nabi yang menolak berbai’at kepada Ali tetapi ia membiarkannya46; hal ini
(sikap oposisi) tentu tidak mungkin terjadi ketika umat dipimpin oleh Nabi dengan otoritas
ilahiyyahnya.

Walaupun era Khulafaa-ur-Rasyidin ditandai dengan sikap terbuka para Khalifah menerima
kritik dan koreksi dari umat, hal ini tidak dilembagakan secara baku. Tidak ada satupun
lembaga formal yang memiliki wewenang untuk memaksa Khalifah agar menerima kritikan
umat sehingga efektivitas kritik sangat tergantung dari kerelaan dan kebesaran hati para
Khalifah menerima setiap kritikan. Hal ini sangat disayangkan karena berbeda dengan Nabi
yang kekuasaannya menerima otoritas dan legitimasi dari Tuhan, kekuasaan para Khalifah
dilegitimasi oleh umat sehingga mereka (para Khalifah) sepatutnya bertanggung jawab
kepada umat yang telah melantik dan mengangkatnya.

Pada saat memuncaknya krisis kepemimpinan di era Khalifah Utsman bin Affan (Khalifah
ketiga), penduduk Basrah, Kufah, dan Mesir berbondong-bondong datang ke Madinah untuk
mengajukan protes atas tindakan Said bin Ash, aparat pemerintahan Utsman yang berkuasa
di Basrah. Tetapi ribuan orang yang datang ke Madinah ini telah diabaikan oleh Utsman,
antara lain atas nasihat Abdullah bin Umar yang berkata: “Menurut pendapatku, sebaiknya
anda (Utsman) tidak membuat suatu kebiasaan baru seperti ini di dalam Islam, yaitu setiap
kali suatu kaum marah terhadap seorang Amir, merekapun memecatnya.47” Ketika
kemarahan para demonstran itu tak terbendung lagi, mereka menimbulkan kekacauan
selama 40 hari di Madinah yang berujung kematian Khalifah Utsman. Di saat-saat akhir
hidupnya, Khalifah Utsman masih berpikir bahwa kekuasaan yang dipikulnya berasal dari
Tuhan sebagaimana Nabi, bukan dari umat. Beliau berkata kepada para penentangnya:
“Bagaimana mungkin aku melepas baju (kekuasaan) yang dikenakan Tuhan padaku!?”48

Lembaga madhalim yang mempunyai wewenang mengadili kepala negara pertama kali
muncul dalam suasana genting ketika Khalifah Ali dan Muawiyyah terpaksa menunjuk
pihak ketiga untuk memutuskan perkara perebutan kekuasaan di antara mereka berdua49.
Pada masa itu memang telah dikenal jabatan qadli (hakim) dimana kadang-kadang Khalifah
datang ke mahkamah ketika berperkara dengan umat50, tapi qadli ini tidak berwenang
mengadili perkara yang berkaitan dengan keputusan politik Khalifah. Ketiadaan lembaga
madhalim yang memiliki wewenang check and balance atas keputusan politik Khalifah inilah
salahsatu sebab munculnya pemberontakan tak terkendali di masa kepemimpinan dua
Khalifah terakhir.

Selain masalah check and balance, mekanisme suksesi kepemimpinan juga menjadi masalah
karena Nabi tidak pernah memberi contoh bagaimana mengangkat seorang Khalifah
pengganti beliau. Untuk tidak mengulangi krisis di Tsaqifah Bani Saidah yang nyaris
menghancurkan komunitas umat, Abu Bakar menunjuk Umar bin Khatthab untuk
menggantikannya dengan tetap mensyaratkan Umar mendapat bai’at dari umat51. Berbeda
dengan Abu Bakar, Umar menunjuk enam orang kandidat untuk selanjutnya dipilih oleh
umat, sedangkan pengganti Utsman ditetapkan oleh ahl al-halli wa al-aqdi, yaitu penduduk

46 al-Maududi, Khilafah, h. 157-159.


47 Ibnu Saad, Thabaqat, 3/46 (dalam al-Maududi, Khilafah, h. 152).
48 al-Asymawi, Jalan Menuju Tuhan.
49 Dalam perebutan kekuasaan antara Ali dan Muawiyyah, diangkat dua orang qadli yaitu Abu Musa al-Asyari dari

pihak Ali dan Amr bin Ash dari pihak Muawiyyah. Proses peradilan berlangsung di Dumat al-Jandal. Dalam
putusannya, Abu Musa memecat Ali dan Muawiyyah tetapi Amr bin Ash berlaku curang dengan mengkhianati Abu
Musa (Thabari, Tarikh, 4/51; Ibnu Sa’ad, Thabaqat, 4/256-257 dalam al-Maududi, Khilafah, h. 179-183).
50 Khalifah Umar pernah berperkara dengan Ubay bin Ka’ab, juga Khalifah Ali berperkara dengan seorang non-

Muslim ketika keduanya berebut sebuah baju besi (al-Maududi, Khilafah, h. 125-126).
51 Dalam riwayat al-Lalaka’i dari Utsman bin Ubaid bin Abdullah bin Umar dikatakan bahwa ketika Abu Bakar

sedang menulis surat penunjukan penggantinya (dibantu Utsman bin Affan), beliau pingsan karena sakitnya. Ketika
sadar, beliau melihat nama Umar bin Khatthab telah ditulis oleh Utsman dan Abu Bakar membiarkannya (al-Kanzu,
3/146 dalam al-Kandahlawy, Sirah, h. 193-194).

10
Madinah yang didiami oleh sebagian sahabat Nabi yang masih hidup52. Penunjukan Umar
sebagai Khalifah pengganti yang dilakukan Abu Bakar ternyata kemudian digunakan sebagai
alasan bagi Muawiyyah untuk memulai mekanisme pewarisan jabatan Khalifah dan
selanjutnya selama ratusan tahun umat dipimpin oleh kekuasaan dinasti-dinasti.

Para Khalifah Tuhan : Pemerintahan Dinasti

1. Dinasti Bani Umayyah (661-750)

Istilah “Raja” (malik) tidak pernah dipakai oleh penduduk Jazirah pada masa itu kecuali
untuk menyebut penguasa-penguasa asing53. Istilah malik berkonotasi negatif dan kerap
dihubungkan dengan kesewenang-wenangan dan penjajahan. Inilah salahsatu sebab keempat
Khulafaa-ur-Rasyidin tidak mau menggunakan istilah malik.

Cara yang dipakai oleh Muawiyyah bin Abi Sufyan untuk merebut kekuasaan dari tangan
Khalifah Ali dan memindahkan kendali politik umat ke Dimashq (Damaskus) telah
memancing antipati dari sebagian umat, termasuk dari sahabat Nabi yang masih hidup.
Mereka memandang perbuatan Muawiyyah sebagai kezaliman seorang malik, seorang Raja,
dan tidak pantas menyandang status Khalifah. Saad bin Abi Waqqash menyalami
Muawiyyah setelah pembai’atan dengan ucapan: “Assalamualaikum wahai Raja.“
Muawiyyah lalu bertanya: “Apa salahnya sekiranya engkau berkata: Wahai Amirul
Mukminin?“ Saad menjawab: “Demi Allah, aku sungguh-sungguh tidak ingin memperoleh
jabatan itu dengan cara yang telah menyebabkan engkau memperolehnya.“54

Saad bin Abi Waqqash tidak berlebihan ketika memanggil Muawiyyah dengan sebutan Raja.
Ia benar-benar menyadari bahwa era para Khalifah yang adil dan benar telah berakhir
dengan gugurnya Ali. Dan bisa jadi Saad memahami maksud sinyalemen Nabi dalam hadits
berikut:

“Khilafah pada umatku itu tiga puluh tahun kemudian setelah itu masa kerajaan. Kemudian Safinah
berkata kepadaku: ’Peganglah khilafah Abu Bakar, khilafah Umar, khilafah Utsman dan khilafah Ali.’
Maka aku dapati masa kekhalifahan itu tiga puluh tahun, Said berkata: ’Saya bertanya kepadanya,
sesungguhnya Bani Umayyah mengaku bahwa masa kekhalifahan itu ada pada mereka.’ Ia berkata:
’Bani Zurqo telah berdusta bahkan mereka itu para raja dari seburuk-buruk raja.’ ”55

Argumen lain yang menguatkan fakta bahwa Muawiyyah telah berperan sebagai Raja
(walaupun ia tetap menyebut dirinya sebagai Amirul Mukminin) adalah tindakannya
mengangkat anaknya sendiri, Yazid bin Muawiyyah sebagai calon penggantinya. Yang lebih
buruk lagi, pencalonan tersebut dilakukan dengan kekuatan senjata, yaitu dengan menyuruh
pasukannya menempatkan pedang di leher para penduduk Makkah, lalu ia berpidato
meminta penduduk Makkah berbai’at kepada anaknya56. Muawiyyah berargumen bahwa ia
mengikuti tindakan Abu Bakar yang menunjuk Umar sebagai penggantinya, tetapi beberapa
orang tahu bahwa Muawiyyah berdusta. Salahsatu kejadian berlaku ketika Marwan bin
Hakam (wali Madinah) berpidato tentang rencana Muawiyyah mengangkat Yazid sebagai
pengganti. Abdurrahman bin Abu Bakar ash-Shiddiq bangkit dan berteriak57:

52 al-Maududi, Khilafah, h. 113-114, 155-156


53 Hitti, The Arabs, h. 19.
54 Ibnu Atsir, 3/405 (dalam al-Maududi, Khilafah, h. 189). Saad bin Abi Waqqash adalah seorang sahabat Nabi yang

berpeluang menjadi Khalifah ketika kekacauan memuncak akibat konflik antara Ali dengan Muawiyyah. Hashim bin
Utbah bin Abi Waqqash telah menawari Saad untuk merebut kekuasaan dengan dukungan 100.000 pedang (umat),
tetapi Saad menolaknya (al-Bidayah, 8/135 dalam al-Maududi, Khilafah, h. 189).
55 at-Tirmidzi, Kitab al-Fitan, 4/436 hadits no. 2226; Sunan Abu Dawud, 4/211, hadits no. 4646 dari Safinah. Lihat juga

Ibn Khaldun, Muqaddimah, bab 3 pasal Inqilaab al-Khilafah ila al-Mulk (Perubahan Khilafah Menjadi Diraja).
56 Ibnu Atsir, 3/252 (dalam al-Maududi, Khilafah, h. 196).
57 al-Isti’ab 2/393; al-Bidayah, 8/89 (keduanya dalam al-Maududi, Khilafah, h. 192-194).

11
“Marwan, engkau telah berkata bohong, demikian pula Muawiyyah. Sesungguhnya bukan suatu
kebaikan yang kalian berdua inginkan bagi umat Muhammad, tetapi kalian hanya ingin menjadikan
urusan ini seperti dalam Kerajaan Romawi; setiap kali seorang Heraklius mati, bangkitlah seorang
Heraklius sebagai penggantinya. Adapun Abu Bakar, demi Allah, tidak pernah menyerahkannya
kepada salahsatu puteranya atau kepada seseorang dari keluarganya!”

Beberapa pihak mencoba untuk membela pendapat Muawiyyah bahwa ia adalah tetap
seorang Amirul Mukminin (sebutan lain untuk Khalifah) dan bukan Raja, antara lain
kelompok Hizbut Tahrir yang berpendapat walaupun Muawiyyah telah merampas
kekuasaan dari Ali dengan senjata dan menunjuk anaknya sendiri sebagai pengganti,
Muawiyyah tetap memperoleh kekuasaan melalui mekanisme bai’at oleh umat. Dalam
pandangan Hizbut Tahrir, bai’at adalah metode (thariqah) pengangkatan Khalifah yang
membedakannya dengan pengangkatan Raja58. Argumen ini kurang tepat karena Kerajaan
Inggris juga menggunakan mekanisme oath of allegiance (bai’at, sumpah kesetiaan) untuk
melantik Raja baru dimana sumpah dilakukan oleh seluruh penduduk atau para pemuka
masyarakat59. Dan mekanisme bai’at juga telah dipergunakan oleh kabilah-kabilah Arab sejak
masa pra-Islam sebagai mekanisme pengangkatan sheikh60.

Dengan demikian, Muawiyyah telah memberi bentuk baru terhadap istilah “Khalifah”
sebagai posisi yang identik dengan Raja, dari yang sebelumnya dikenal sebagai posisi yang
egaliter. Dan keluarga beliau (Bani Umayyah) dikenal sebagai Keluarga Diraja (Dinasti)
pertama dalam Islam. Bisa jadi hal ini adalah adaptasi yang dilakukan Muawiyyah terhadap
tradisi aristokrat Syria yang pernah dikuasai oleh Sasanid, sedangkan di Jazirah sendiri
muncul penolakan terhadap sistem Diraja yang diperkenalkan oleh Muawiyyah, antara lain
dengan terbentuknya Khilafah tandingan di Makkah yang dipimpin oleh Abdullah bin
Zubair sebagai reaksi atas penunjukan Yazid61. Di sini kita melihat bahwa format kekuasaan
politik Islam bukanlah sesuatu yang infleksibel; pemindahan pusat kekuasaan politik Islam
dari Madinah ke Dimashq telah mentransformasi bentuk pemerintahan Islam dari egaliter
menjadi lebih terorganisir dan aristokratik.

Mengenai Muawiyyah sendiri, ahl al-Madinah (penduduk Madinah) memiliki pandangan


negatif terhadap riwayat pribadinya. Ia bersama ayahnya, Abu Sufyan, dipandang sebagai al-
tulaqa (orang yang dibebaskan) karena mereka baru bersedia masuk Islam setelah Nabi
berhasil merebut Makkah. Keluarga Abu Sufyan diyakini lebih tepat menjadi budak Nabi
karena kebandelannya, tapi Nabi memilih untuk membebaskan mereka sebagai bagian dari
strategi ta’lif al-qulub (mengambil hati) penduduk Makkah62. Selain itu, sebuah kabar (hadits)
menyebutkan ucapan Nabi yang meramalkan bahwa Ammar bin Yasir akan mati dibunuh
oleh al-fiat al-baghiyyah (kelompok durhaka)63. Dalam sebuah perang antara kubu Ali dan
Muawiyyah di bulan Safar 37 Hijriah, Ammar berada di pihak Ali dan gugur. Muawiyyah
yang merasa terpojok karena secara langsung menjadi sasaran hadits al-fiat al-baghiyah itu

58 an-Nabhani, Sistem Khilafah, h. 50-69.


59 Berikut ini adalah isi oath of allegiance yang diucapkan oleh para pemuka rakyat Inggris (men of quallity) dan
Commonwealth ketika pelantikan Raja Charles I (diambil dari catatan yang ditulis pada tahun 1642): I A. B. doe truely
and sincercly acknowledge, professe, testifie and declare in my conscience before God and the world, That our Soveraigne Lord
King CHARLES, is lawfull King of this Realme, and of all other His Majesties Dominions and Countreyes: And that the Pope
neither of himselfe, nor by any Authority of the Church or Sea of Rome, …(dan seterusnya). Juga dokumen pelantikan Raja
George I pada tahun 1723 yang berisi oath of allegiance penduduk Sherington, dimana yang mempunyai hak “bai’at”
adalah penduduk yang berumur 18 tahun ke atas (Bucks FHS Records). Bandingkan dengan Islam yang juga
menolak bai’at dari anak kecil yang belum baligh.
60 Hitti, The Arabs, h. 17-19.

61 G. R. Hawting, The First Dynasty of Islam, The Umayyad Caliphate AD 661-750, Routledge (2000) h. 46. Muawiyyah

pernah mencoba “membeli” bai’at dari para pemuka umat, misalnya mengirim utusan kepada Abdullah bin Umar
dengan membawa uang 100.000 dirham. Abdullah menolaknya karena hal tersebut samasekali asing baginya (Ibnu
Atsir, 3/250; al-Bidayah, 8/89, keduanya dalam al-Maududi, Khilafah, h. 192).
62 H. Lammens, Mo’awia 1er, Paris (1908) h. 50, 171, 222, 237, 272, 394; Montgomery Watt, Muhammad at Medina,

London (1956) h. 73-5 (keduanya dalam Hawting, The First Dynasty of Islam, h. 23).
63 Ibnu Abd al-Barr berkata bahwa hadits al-fiat al-baghiyyah adalah nubuwwah Rasulullah dan termasuk di antara

hadits-hadits yang paling sahih, bahkan mutawatir (al-Isti’ab, 2/424 dalam al-Maududi, Khilafah, h. 177).

12
lantas berdalih: “Sesungguhnya yang membunuh Ammar ialah orang yang
mendatangkannya dan meletakkannya di antara tombak-tombak kita.“64

Secara umum, sistem administrasi dan struktur pemerintahan Bani Umayyah lebih kompleks
dibanding dengan yang berlaku pada era Nabi dan Khulafaa-ur-Rasyidin. Khalifah
mempunyai wewenang menunjuk Gubernur (Amir) untuk wilayah-wilayah yang jauh dari
Dimashq, misalnya Mesir dan Afrika Utara, Kufah dan wilayah timurnya, serta Basra dan
wilayah timurnya, sedangkan Syam (Syria), Jazirah, dan Mesopotamia langsung berada di
bawah kendali Khalifah65. Amir memiliki wewenang yang cukup besar sehingga dalam
praktiknya Amir merepresentasikan sosok Khalifah di masing-masing provinsinya. Bahkan,
Amir memiliki wewenang untuk mengeluarkan mata uang sendiri (Gambar 3); otoritas Amir
yang sangat besar dalam bidang fiskal ini tidak dikenal sebelumnya. Di bawah Amir adalah
ashraf, posisi yang menjembatani komunikasi antara kabilah-kabilah dengan Amir. Posisi
ashraf menjadi penting dalam struktur Kerajaan Umayyah yang aristokratik, berbeda dengan
karakter pemerintahan Nabi dan Khulafaa-ur-Rasyidin yang egaliter dan samasekali tidak
memerlukan ashraf. Posisi ashraf selanjutnya dihapus pada era pemerintahan Abdul Malik bin
Marwan (685-705) selepas meletusnya Perang Sipil Kedua66 untuk mencegah munculnya para
ashraf yang sulit dikontrol oleh Khalifah. Selain itu, era Abdul Malik bin Marwan juga
mencatat dibentuknya angkatan perang profesional untuk pertamakalinya dan fungsi diwan
yang diperluas67.

Gambar 3. Contoh uang logam yang dikeluarkan oleh Gubernur Basra, Ubaidillah bin Ziyad pada
tahun 61 Hijriah di masa Khalifah Yazid bin Muawiyah; tempat dan tahun pencetakan tertera di
permukaan belakang (gambar kanan). Uang logam ini disebut dirham, berasal dari kata drachma (bahasa
Persia) yang terbuat dari perak. Pola ukiran uang ini masih mengambil pola mata uang Sasanid dengan
gambar Kisra di muka depan beserta simbol bulan-bintang (yang kemudian diadopsi menjadi simbol
kekuasaan Islam) dan gambar altar api di muka belakang. Unsur Islam hanya ditambahkan sedikit
berupa kalimat Bism Allah (dengan nama Allah) di muka depan (koleksi Walker)

Karakter pemerintahan Bani Umayyah yang aristokratik, walaupun di satu sisi diakui lebih
modern dan terstruktur dibanding pemerintahan Khulafaa-ur-Rasyidin, tetapi di sisi lain
memicu lahirnya segmentasi antara kaum elit Arab dengan kaum non-Arab yang
ditaklukkan (mawali). Hal ini sangat jauh menyimpang dari tradisi yang dikembangkan Nabi
dan Khulafaa-ur-Rasyidin bahwa setiap orang yang memeluk agama Islam mempunyai

64 Abdullah bin Umar menyebutkan hadits al-fiat al-baghiyyah di depan Muawiyyah sehingga Muawiyyah sendiri tak
mampu mengingkarinya, lantas berdalih dengan ucapan tersebut (Ahkam al-Qur’an, 3/492 dalam al-Maududi,
Khilafah, h. 177).
65 Hawting, The First Dynasty of Islam, h. 35.
66 Perang Sipil Kedua (680-692 Hijriah) adalah konflik bersenjata antara pendukung sistem Diraja Bani Umayyah

dengan pendukung Abdullah bin Zubair yang menolak praktik pewarisan jabatan Khalifah oleh Muawiyyah kepada
Yazid. Perang ini berawal pasca gugurnya Husain bin Ali bin Abi Thalib di Padang Karbala sampai gugurnya
Abdullah bin Zubair di Makkah yang hancur diserang oleh tentara Umayyah di bawah pimpinan al-Hajjaj bin Yusuf
al-Thaqafi.
67 Hawting, The First Dynasty of Islam, h. 63-64. Istilah diwan pertamakali digunakan oleh Khalifah Umar bin Khatthab

bagi suatu badan yang mengurusi pendaftaran dan pensiun tentara. Istilah diwan untuk pertamakalinya
diasosiasikan sebagai “departemen” pada masa pemerintahan Muawiyyah yang membentuk diwan al-rasail
(sekretariat negara) dan diwan al-khatam (stempel negara). Abdul Malik bin Marwan kemudian membentuk diwan al-
barid yang berfungsi sebagai jaringan komunikasi antar wilayah Kerajaan. Apa yang dilakukan Muawiyyah dan
Abdul Malik adalah adopsi dari praktik administrasi Bizantium dan Sasanid.

13
status yang sama, tidak peduli apakah mereka bangsa Arab atau ajam (non-Arab); karakter
penduduk Jazirah yang egaliter memberi kontribusi positif terhadap nilai-nilai kesetaraan
ini68. Kelihatan jelas bahwa Bani Umayyah telah mengasosiasikan keIslaman seseorang
dengan identitas etnis keAraban. Keberadaan mawali menjadi penting dalam sejarah karena
merekalah yang memperkenalkan sistem administrasi pemerintahan modern dari Bizantium
dan Sasanid ke dalam institusi Kerajaan Bani Umayyah. Abdul Malik bin Marwan dan al-
Hajjaj bin Yusuf al-Thaqafi (Gubernur Iraq di era Abdul Malik bin Marwan dan Walid bin
Abdul Malik) adalah dua orang penguasa Bani Umayyah yang paling sering dikaitkan
dengan proses modernisasi sistem administrasi negara yang melibatkan para mawali
tersebut69.

Tetapi perubahan terpenting yang dilakukan Bani Umayyah bukanlah dalam struktur
pemerintahan dan sistem administrasi; perubahan paling signifikan yang mereka lakukan
adalah definisi ulang terhadap konsep Khalifah. Pada awalnya Abu Bakar Shiddiq
meletakkan posisi Khalifah sebagai khalifah al-Rasulullah (pengganti Rasulullah), demikian
juga dengan Umar bin Khatthab sebagai khalifah khalifah al-Rasulullah (pengganti dari
pengganti Rasulullah) dan seterusnya. Tetapi Muawiyyah telah mengubah konsep Khalifah
secara fundamental, dari khalifah al-Rasulullah menjadi khalifah Allah (wakil Allah). Beberapa
dokumen yang terkumpul menyebutkan bahwa Yazid telah memanggil ayahnya dengan
ucapan: “Muawiyyah bin Abi Sufyan adalah seorang hamba yang Allah mengangkatnya
sebagai wakil/khalifah (istakhlafu Allah) atas seluruh hambanya yang lain.“70 Demikian pula
Muawiyyah menyebut anaknya, Yazid, sebagai khilafat Allah ala ibadihi.71

Perubahan fundamental posisi Khalifah dari pengganti Nabi menjadi wakil Tuhan di dunia
sebenarnya telah dimulai pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Telah disebutkan
sebelumnya bahwa ketika Utsman dipaksa mengundurkan diri oleh penentangnya, ia
menolak sembari menegaskan bahwa kekuasaannya berasal dari Allah, bukan dari umat.
Beliau juga telah menyebut dirinya sebagai “hamba Allah dan wakil-Nya (khalifah Allah)“72,
tetapi di masa Khalifah Ali tidak dijumpai satupun dokumen yang menyebutkan Ali telah
mengikuti perbuatan Utsman menyebut dirinya sebagai khalifah Allah. Di masa pemerintahan
Abdul Malik bin Marwan untuk pertamakalinya status Khalifah sebagai khalifah Allah
diabadikan dalam mata uang (Gambar 4 dan 5).

Gambar 4. Mata uang dirham yang dikeluarkan oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan, masih
mengambil pola drachma Sasanid dengan gambar Kisra di bagian depan (dicetak di Syria pada tahun 75
Hijriah). Pada bagian belakang (gambar kanan) tertulis amirul mukminin dan khalifah Allah mengapit
gambar seseorang (Khalifah?) (koleksi The American Numismatic Society, katalog 1966.151.1)

68 Kontribusi penduduk Jazirah terhadap nilai-nilai positif dalam Islam ini diakui oleh Umar bin Khatthab dengan

ucapannya: ”Kaum Baduwi telah menghiasi Islam dengan karakter aslinya.“ (Hitti, The Arabs, h. 20).
69 Hawting, The First Dynasty of Islam, h. 63-64.
70 Ibn Qutayba, Imama, h. 90 [dalam Patricia Crone dan Martin Hinds, God’s Caliph: Religious Authority in The First

Centuries of Islam, Cambridge University Press (2003) h. 6-7].


71 Ibn Abil Hadid, Sharh, 15/178 (dalam Crone dan Hinds, God’s Caliph, h. 7).
72 al-Aghani, 16/326 (dalam Crone dan Hinds, God’s Caliph, h. 6).

14
Gambar 5. Mata uang dirham (tanpa tahun, diperkirakan antara tahun 695-698), dicetak di Syria.
Gambar yang tertera di muka depan bukan lagi gambar Kisra, tetapi tidak diketahui identitasnya. Pada
bagian belakang (gambar kanan) tertulis amirul mukminin dan khalifah Allah mengapit gambar mihrab
(koleksi The American Numismatic Society, katalog 1944.100.612)

Dokumen yang berhasil dikumpulkan menunjukkan bahwa sebutan khalifah Allah telah
menjadi sebutan standar bagi seluruh Khalifah Bani Umayyah disamping sebutan sebagai
Amirul Mukminin. Bahkan Umar bin Abdul Aziz (717-720) yang disebut-sebut sebagai
Khalifah ar-Rasyidin selain Khalifah Empat (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali) turut disebut
sebagai khalifah Allah73. Dalam pidato penunjukan Umar, Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik
(714-717) secara jelas menyebut dirinya sebagai khalifah Allah yang mewariskan kekhalifahan
Tuhan tersebut kepada Umar bin Abdul Aziz74.

Status sebagai khalifah Allah telah memberi privilege luar biasa kepada Bani Umayyah untuk
memperkuat klaim kekuasaannya atas nama Tuhan, bukan atas nama umat. Hal ini bisa
disebut sebagai revolusi besar dalam khazanah pemikiran politik Islam karena hanya
pemerintahan Nabi-lah yang berhak menyandang status sebagai pemerintahan Tuhan.
Dengan mengasosiasikan posisi Khalifah sebagai wakil Allah, Khalifah menjadi lembaga
yang tidak bisa dikontrol dan bebas menggunakan privilege ilahiyyahnya untuk
memusnahkan lawan-lawan politik, seperti terungkap dalam catatan Hasan bin Malik bin
Bahdal ketika meletusnya Perang Sipil Kedua antara Abdullah bin Zubair dengan penguasa
Bani Umayyah75.

2. Dinasti Bani Abbasiyyah (750-1258)

Tidak ada penyebab tunggal kejatuhan Kerajaan Bani Umayyah; sejarah mencatat paling
tidak ada dua sebab dominan yang satu sama lain saling berkolaborasi menjatuhkan
kekuasaan Bani Umayyah. Pertama, segmentasi sosial antara elit Arab dengan kaum mawali
telah memunculkan perasaan antipati kaum non-Arab terhadap patronnya. Tetapi fenomena
unik telah terjadi di Khurasan (Iraq) dimana antara kaum Arab dan mawali saling berasimilasi
dan membaur atas prinsip universalitas Islam. Sentimen anti-Umayyah bukan lagi datang
dari mawali, tapi mereka juga mendapat dukungan dari kaum Arab76. Kedua, gerakan politik
yang dipelopori oleh Bani Hashim dan Abbas dari Kufah (Iraq) dalam rangka menuntut
posisi Khalifah atas dasar prinsip ahl al-bayt (secara harfiah berarti “keluarga“) dan al-rida min
al-Muhammad (penerimaan oleh keluarga Nabi Muhammad)77. Pada akhirnya motif kedua

73 “[Umar] Sang Khalifatullah dan Allah akan menjaganya...“ (Jarir, h. 274 dalam Crone dan Hinds, God’s Caliph, h. 9).
74 “Pewarisku jelas di antara kalian dan penggantiku di antara semua yang Allah telah mengangkatku sebagai wakil
(istakhlafani Allah) adalah Umar!“ (Ibn Qutayba, Imama, h. 308 dalam Crone dan Hinds, God’s Caliph, h. 9).
75 “Wahai penduduk Jordan, kalian tahu bahwa Ibnu Zubair adalah pemberontak, munafik, dan membangkang

terhadap khalifah-khalifah Allah!” (Iqd, 4/395 dalam Crone dan Hinds, God’s Caliph, h. 7).
76 Hawting, The First Dynasty of Islam, h. 105-109.
77 Hawting, The First Dynasty of Islam, h. 112. Bani Hashim adalah keturunan Hashim bin Abdul Manaf. Abdul Manaf

sendiri memiliki dua anak, Hashim dan Abd Shams. Abd Shams adalah cikal bakal Bani Umayyah, sedangkan
Hashim memiliki tiga orang cucu dari anaknya, Abdul Muthallib. Ketiga orang tersebut adalah Abbas (kemudian

15
menjadi lebih dominan dengan dukungan dari penduduk sipil Khurasan terhadap
propaganda Bani Hashim dan Abbas. Poros Khurasan dipimpin oleh Abu Muslim, seorang
Hashimiyyah, dengan gelar amin al-Muhammad (orang kepercayaan keluarga Nabi
Muhammad), sedangkan poros Kufah bergelar wazir al-Muhammad (wakil keluarga Nabi
Muhammad). Pasca jatuhnya kekuasaan Bani Umayyah, posisi Khalifah diambil alih oleh
Abu al-Abbas al-Saffah yang dibai’at oleh penduduk Kufah pada hari Jumat, 28 November
749. Ia secara resmi mengambil alih kepemimpinan umat pada bulan Agustus 750 setelah
terbunuhnya Khalifah Bani Umayyah yang terakhir, Marwan bin Muhammad78.

Bani Umayyah dan Bani Abbasiyyah memiliki kesamaan dalam mendefinisikan posisi
Khalifah, yaitu kekuasaan yang taken for granted dari Tuhan dan samasekali tidak ada kaitan
apapun dengan hak politik umat. Hanya saja, Bani Abbasiyyah memiliki dasar klaim yang
lebih kuat atas dasar garis kekerabatan dengan Nabi Muhammad. Secara umum penguasa
Bani Abbasiyyah juga mengklaim Khalifah sebagai khalifah Allah seperti yang telah
ditradisikan sebelumnya oleh para Khalifah Bani Umayyah (Gambar 6).

Gambar 6. Mata uang dinar pada masa Khalifah Abdullah al-Ma’mun (813-833), dicetak di Samarqand
pada tahun 209 Hijriah seperti tertera pada tulisan melingkar di bagian depan (gambar kiri). Di bagian
belakang (gambar kanan) tertulis (dari atas ke bawah): Allah, Muhammad Rasul, Allah al-Ma’mun, Khalifah
Allah, Talha. Mata uang ini adalah bukti bahwa Bani Abbasiyyah menganggap Khalifah sebagai wakil
Tuhan (koleksi Lowick)

Selain itu, Bani Abbasiyyah juga mewarisi karakter Kerajaan Bani Umayyah dalam
mekanisme suksesi kepemimpinan umat dengan penunjukan waliy ahd (putera mahkota),
walaupun bai’at dari umat masih diperlukan sebagai formalitas sahnya jabatan Khalifah.
Penyebutan status sebagai waliy ahd itu dinyatakan secara eksplisit dalam mata uang yang
dicetak oleh para Khalifah Bani Abbasiyyah (Gambar 7-9).

Gambar 7. Mata uang dinar pada masa Khalifah Abdullah al-Ma’mun (813-833), dicetak di Samarqand
pada tahun 195 Hijriah. Di bagian belakang (gambar kanan) tertulis (dari atas ke bawah): Allah,
Muhammad Rasulullah, mimma amr bihi al-Imam, al-Ma’mun, waliy ahd al-muslimin, Abdullah bin Amir, al-
Mu’minin, al-Fadhil [Allah, Muhammad Rasul Allah, atas perintah al-Imam al-Ma’mun, putera mahkota
kaum muslimin, Abdullah bin Amirul Mukminin, al-Fadhil] (koleksi Lowick)

menurunkan Bani Abbas yang mendirikan Kerajaan Bani Abbasiyyah), Abu Thalib, dan Abdullah yang menurunkan
Nabi Muhammad.
78 Hawting, The First Dynasty of Islam, h. 118.

16
Gambar 8. Mata uang dirham pada masa Khalifah Harun al-Rasyid (786-809), dicetak di Balkh pada
tahun 186 Hijriah. Pada muka belakang (gambar kanan) tertulis: Wa, Muhammad Rasulullah, mimma amr
bihi al-Amir, al-Ma’mun, bin al-Amir al-Mu’minin, waliy, waliy ahd al-muslimin, Bakh [Wa, Muhammad
Rasul Allah, atas perintah Amir al-Ma’mun bin Amirul Mukminin, putera dari putera mahkota kaum
muslimin, Bakh]. Mata uang ini dicetak oleh Abdullah al-Ma’mun ketika ia masih menjadi Amir di
Balkh. Ia menyebut dirinya sebagai putera mahkota dari Harun al-Rasyid (koleksi Lowick)

Gambar 9. Mata uang falus (dinar) pada masa Khalifah Muhammad al-Mahdi (775-785), dicetak di
Bukhara pada tahun 160 Hijriah. Uniknya, mata uang ini tidak menyebut nama Khalifah. Tulisan yang
tertera di pinggiran mata uang berbunyi: mimma amr bihi Abduh bin Qudayd amil al-Amir Abdul Malik bin
Yazid [atas perintah Abduh bin Qudayd, amil dari al-Amir Abdul Malik bin Yazid]; Amir/Gubernur
adalah posisi di bawah Khalifah. Di bagian depan (gambar kiri) tertulis: baraka li Musa wali ahd al-
muslimin (berkah kepada Musa, putera mahkota kaum muslimin). Musa al-Hadi kemudian diangkat
menjadi Khalifah menggantikan Muhammad al-Mahdi pada tahun 169 Hijriah, sembilan tahun setelah
dicetaknya mata uang tersebut (koleksi The American Numismatic Society, katalog 1917.216.38)

Tidak disebutkannya nama Khalifah dalam beberapa mata uang (lihat Gambar 9)
menunjukkan indikasi bahwa para Khalifah Bani Abbasiyyah memiliki kekuatan politik yang
lebih lemah dibanding para Khalifah Bani Umayyah. Para Khalifah Bani Abbasiyyah lebih
cenderung diposisikan sebagai pimpinan spiritual, sedangkan kekuasaan politik riil berada di
tangan para Amir. Dalam pandangan Ibn Khaldun, Dinasti Bani Abbasiyyah mengalami
degradasi otoritas kepemimpinan akibat banyaknya penambahan posisi dalam struktur
pemerintahan yang tujuan awalnya adalah membantu Khalifah melalui konsep
pendelegasian tetapi justru menjadi “raja-raja kecil” selain Khalifah. Misalnya unuk posisi
wakil Khalifah, Bani Abbasiyyah membentuk lembaga wazir tafwid (wazir pengganti) dan
wazir tanfidz (wazir eksekutor). Wewenang wazir tafwid kadang-kadang menyamai wewenang
Khalifah itu sendiri sehingga muncul perdebatan apakah dua orang bisa ditunjuk sebagai
wazir tafwid dalam waktu yang sama. Begitu besarnya kekuasaan yang dipegang oleh
lembaga wazirat ini sehingga di era pemerintahan Harun al-Rasyid, seorang wazir bernama
Ja’far bin Yahya mendapat sebutan sebagai Sultan. Demikian pula para Gubernur, mereka
turut memakai gelar Sultan atau amir al-umara untuk menyatakan kedudukan mereka yang

17
setara dengan wazir. Alasan mereka, jika wazir adalah bawahan Khalifah maka posisi Amir
tentu sama dengan posisi wazir79.

Dalam struktur pemerintahan Bani Abbasiyyah, Sultan (amir al-umara) memiliki otoritas
dalam bidang fiskal dan militer. Sultan memiliki wewenang untuk menciptakan atau
menghapus jenis pajak tertentu di wilayahnya tergantung kepada pertimbangan politik
masing-masing tanpa harus merujuk kepada kebijakan Khalifah. Sultan juga memiliki
wewenang untuk mengadakan ekspansi militer ke wilayah lain dengan atau tanpa izin
Khalifah. Salahsatu contoh yang menarik adalah pemerintahan Dinasti Zanki di Syria (1127-
1183), salahsatu wilayah di bawah kekuasaan para Khalifah Bani Abbasiyyah. Para penguasa
Dinasti Zanki menggunakan titel Sultan dan Malik (Raja) untuk menegaskan ketinggian
otoritas dan posisinya, walaupun secara spiritual masih mengakui Khalifah Bani Abbasiyyah
sebagai pemimpin tertinggi umat. Hal ini diabadikan dalam mata uang yang dicetak pada
masa itu (Gambar 10 dan 11 ).

Gambar 10. Mata uang falus pada masa pemerintahan al-Adil Nur al-Din Mahmud (1146-1174)
bertepatan dengan era Khalifah Muhammad al-Muqtafi (1136-1160). Mata uang ini dicetak di Dimashq
pada tahun 558 Hijriah. Pada muka depan (gambar kiri) tertulis: al-Mulk al-Adl [Raja yang Adil]
sedangkan pada bagian belakang (gambar kanan) tertulis: Mahmud bin Zanki

Gambar 11. Mata uang falus pada masa pemerintahan al-Salih Ismail bin Mahmud (1174-1181)
bertepatan dengan era Khalifah al-Hasan al-Mustadi’ (1170-1180). Mata uang ini dicetak di Aleppo pada
tahun 575 Hijriah. Pada muka depan (gambar kiri) tertulis: Allah, laa ila ha ila, wahdahu la syarikalah, al-
Mustadi bi Amri Allah, Amir al-Mu’minin [Allah, tiada Tuhan selain Dia, Esa dan tiada sekutu, al-
Mustadi’ bi Amrillah, Amirul Mukminin] sedangkan pada bagian belakang (gambar kanan) tertulis:
Allah, Muhammad Rasul, Salallahu alayh, al-Mulk Salih, Ismail bin Mahmud [Allah, Muhammad Rasulullah,
segala puji baginya, Raja Salih Ismail bin Mahmud]

Salahsatu keterangan cukup baik tentang karakter pemerintahan Dinasti Zanki – yang
mungkin bisa dijadikan contoh bagaimana para amir al-umara menjalankan otoritas
pemerintahan di era Abbasiyyah - dapat dijumpai pada karya Ibn Asakir (1105-1176) , penulis
biografi Mahmud bin Zanki yang gelar lengkapnya adalah: Mahmud bin Zanki bin aq-Sunqur
Abu al-Qasim bin Abu Said Qasim al-Dawla, at-Turk, al-Mulk al-Adl, al-Nur al-Din, waliy al-Amir
al-Mu’minin [Mahmud bin Zanki bin aq-Sunqur Abu al-Qasim bin Abu Said Penjaga Diraja,
at-Turk, Raja yang Adil, Cahaya Agama, Penolong Amirul Mukminin]. Selama era

79 Lihat Ibn Khaldun, Muqaddimah, bab 3 pasal Maraatib al-Mulk wa al-Sulthan wa al-qabiha (Struktur pemerintahan

Diraja dan Kesultanan beserta hal-hal yang terkait) untuk penjelasan rinci tentang terbentuknya lembaga wazirat dan
amir al-umara.

18
pemerintahannya, Mahmud Zanki telah mengadakan restrukturisasi fiskal secara radikal,
misalnya dengan menghapus beberapa jenis pajak yang dianggap memberatkan rakyat yang
telah ditetapkan oleh para penguasa sebelumnya. Beberapa jenis pajak yang dihapus oleh
Mahmud Zanki antara lain pajak perdagangan semangka, sayur-mayur dan keledai, pajak
anggur, pajak keju dan susu, pajak jalan80, mukus, rusum, mu’n dan dara’ib81. Dengan tindakan
restrukturisasi ini, Syria kehilangan sumber pendapatan dalam jumlah yang cukup besar82,
tetapi Mahmud Zanki tetap bertahan dengan keputusannya dengan motif ingin mendekatkan
diri kepada Allah dengan berbuat baik kepada rakyatnya.

Patut dicatat bahwa segala tindakan politik, konfrontasinya dengan kaum Syiah di Aleppo
dan kaum Ismaili di Mesir yang dilakukan Mahmud Zanki tidak ada kaitan langsung dengan
kebijakan politik para Khalifah Abbasiyyah. Otoritas politik Dinasti Zanki bersifat mandiri
dan pengakuan mereka terhadap Khalifah Abbasiyyah hanya sebatas pengakuan spiritual.
Hal ini bisa diketahui dari gelar yang dipakai oleh ayah Mahmud Zanki, Imad ad-Din Zanki,
yang bergelar Qasim al-Dawla yang secara jelas merujuk kepada Sultan-sultan Seljuk yang
telah melantik aq-Sunqur (kakek Mahmud Zanki) sebagai Amir83. Indikasi lain yang
menunjukkan bahwa para amir al-umara ini bertindak sendiri-sendiri tanpa ada ikatan politik
apapun dengan Khalifah adalah rivalitas terbuka antara Dinasti Zanki di Syria dengan
Dinasti Ayyubi di Mesir. Walaupun kedua Dinasti ini sama-sama menyatakan ketundukan
spiritual kepada para Khalifah Abbasiyyah, Mahmud Zanki tercatat pernah melakukan
kampanye militer untuk mendongkel Salahuddin al-Ayyubi pada tahun 1174 atas alasan
kekurangcakapan Salahuddin menghadapi kaum Kristen dalam Perang Salib84.

Karakter pemerintahan Bani Abbasiyyah yang desentralistik bukan tanpa preseden. Seperti
telah disinggung sebelumnya, bahkan sejak era pemerintahan Bani Umayyah sebenarnya
telah terjadi desentralisasi kekuasaan dalam bidang fiskal dengan adanya otoritas para
Gubernur untuk mencetak mata uang masing-masing. Dalam soal kekuasaan militer, sejarah
juga mencatat bahwa ekspansi tentara Islam ke daratan Eropa pada era Bani Umayyah
sebenarnya berpangkal dari tindakan Tariq bin Ziyad yang terus melakukan ekspansi tanpa
mengindahkan perintah dari Musa bin Nusayr, Gubernur Afrika Utara, untuk menghentikan
serbuan. Anehnya, Musa justru tergiur oleh kesuksesan Tariq dan ikut menyerbu ke Spanyol
diiringi 10.000 tentara. Ketika Musa bertemu Tariq di Toledo, ia menghukum Tariq atas
tindakannya itu, sedangkan Musa sendiri dipanggil ke Dimashq oleh Khalifah al-Walid dan
dihukum karena ketidakmampuannya mendisiplinkan pasukan85. Dengan luas wilayah yang
berlipat ganda dibanding ketika pertamakali Islam menguasai Jazirah Arab, desentralisasi
kekuasaan menjadi pilihan logis.

3. Dinasti Bani Osmaniyyah (1299-1922)

Terdapat perbedaan pendapat tentang kapan era pemerintahan Bani Osmaniyyah bermula.
Pendapat yang dianut oleh mayoritas sejarawan adalah tahun 1299 (699 Hijriah) sebagaimana

80 Jenis-jenis pajak ini dihapuskan oleh Mahmud Zanki ketika ia menaklukkan Dimashq pada tahun 1154 [Yaacov

Lev, The Social and Economic Policies of Nur al-Din (1146-1174): The Sultan of Syria, Der Islam 81 (2001), h. 223].
Sebelumnya Dimashq dikuasai oleh Dinasti Buriyyah yang sama seperti Dinasti Zanki, juga berada di bawah otoritas
Sultan-Sultan Seljuk.
81 Mukus, rusum, mu’in dan dara’ib adalah empat jenis pajak ilegal yang dihapus oleh Mahmud Zanki melalui Dekrit

Sultan pada bulan Rajab 567 Hijriah (1172) setelah penaklukan Mosul (Lev, The Sultan of Syria, h. 227-229).
82 Pada tahun pertama penghapusan pajak ilegal oleh Mahmud Zanki, Dimashq kehilangan pendapatan sekitar

220.538 dinar, disusul oleh Aleppo (96.086 dinar), Mosul (83.146 dinar), Hims dan Hamah (26.000 dinar), Azaz (6.500
dinar) dan Balbakk (6.920 dinar) (Lev, The Sultan of Syria, h. 229).
83 Istilah dawla (Turki: devlet) secara khusus digunakan oleh Bani Seljuk untuk menyatakan wilayah kekuasaan

politiknya [Mehmet Maksudoglu, Osmanli History 1289-1922, International Islamic University Malaysia (1999) h.
xxvi]. Tidak dijumpai adanya catatan bahwa Bani Abbasiyyah menggunakan perkataan dawla untuk menyebut
wilayah kekuasaannya. Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya secara jelas membedakan dawla dengan Khilafah.
84 Ibn al-Athir, al-Tarikh al-Bahir, h. 161, 166 (dalam Lev, The Sultan of Syria, h. 227).
85 Hitti, The Arabs, h. 80-93.

19
juga dinyatakan secara resmi oleh Devlet Osmanli86 dalam dokumen dan tanda-tanda
kehormatan (Gambar 12).

Gambar 12. Lencana penerbang Tentara Udara Devlet Osmanli, dibuat pada tahun 1915 saat Perang
Dunia I. Di bagian bawah lencana tertera angka “699” (numerik Arab) yang menyatakan tahun 699
Hijriah sebagai awal berdirinya Devlet Osmanli (koleksi Iskender Mericli)

Mehmet Maksudoglu berpendapat bahwa kekuasaan Devlet Osmanli bermula 10 tahun lebih
awal, yaitu pada tahun 1289 ketika Osman Shah memerintahkan Tursun Faqih membaca
khutbah Jumat dengan menyebut namanya, tidak lagi nama Sultan Seljuk seperti
sebelumnya87. Osman menafsirkan tindakan Sultan Seljuk Giyaseddin Mes’ud II
mengirimkan bendera, tug, terompet dan drum88 kepada dirinya sebagai penyerahan
kekuasaan kepada Osman Shah. Di lain pihak, al-Suyuti berpendapat bahwa Bani
Osmaniyyah baru secara resmi memegang kekuasaan umat setelah berakhirnya era Bani
Abbasiyyah di Mesir pada tahun 1517, dimana Khalifah al-Mutawakkil III menyerahkan
kekuasaannya kepada Sultan Selim Han (Selim I)89. Beberapa pendapat yang berbeda
tersebut menunjukkan bahwa perpindahan kekuasaan Khilafah tidak berjalan secara linier,
melainkan sangat kompleks.

Para Sultan Bani Seljuk (leluhur Osman Shah, pendiri Dinasti Osmaniyyah) telah memiliki
otoritas kekuasaan yang setara dengan para Khalifah Abbasiyyah di Baghdad sejak tahun
1055 ketika Sultan Tugrul Beg datang ke Baghdad dan memboyong Khalifah Abdullah al-
Qaim untuk menyatukan Bani Seljuk dan Abbasiyyah menjadi kekuatan tunggal90. Bani
Seljuk sendiri sebenarnya menyatakan kesetiaan kepada para Khalifah Abbasiyyah (Gambar
13), tetapi pengakuan tersebut hanya bersifat spiritual karena para Sultan Seljuk sendiri
memiliki otoritas untuk menunjuk para Amir di bawah kekuasaannya; salahsatu yang
terkenal adalah aq-Sunqur yang menjadi cikal-bakal Dinasti Zanki di Syria. Sejak
diboyongnya Khalifah al-Qaim oleh Tugrul Beq, selanjutnya pemerintahan Bani Abbasiyyah
dikendalikan oleh orang-orang Seljuk. Dominasi Bani Seljuk atas tahta Khalifah berakhir
setelah Baghdad diserbu 200.000 orang tentara Mongol dipimpin Hulagu Khan pada tahun
1258. Sultan al-Muzaffar Qutuz berhasil mengalahkan tentara Mongol di Baghdad pada
tahun 1260 dan memindahkan pusat pemerintahan Abbasiyyah ke Mesir91. Sedangkan nasib
Bani Seljuk sendiri cukup menyedihkan; setelah dilanda pepecahan internal pasca wafatnya

86 Dalam dokumen-dokumen resmi yang tersimpan di Basbakanlik Osmanli Arsivi (Arsip Perdana Menteri
Osmaniyyah), pemerintahan Bani Osmaniyyah secara resmi menyebut dirinya sebagai Devlet-i Aliyye-yi Osmaniyye
(Negara Osmaniyyah yang Agung) atau Devlet-i Seniyye (Negara yang Megah). Istilah “Osmanli“ memiliki arti yang
sama dengan Utsmani atau Ottoman (Maksudoglu, Osmanli History, h. xxv, 256) .
87 Maksudoglu, Osmanli History, h. 15-17.
88 Alat-alat musik tersebut kemudian menjadi cikal-bakal mehter, grup musik militer Osmanli.
89 Jalal al-Din al-Suyuti, Tarikh al-Khulafaa, Beirut (1988) h. 206-413.
90 Maksudoglu, Osmanli History, h. 6. Upaya penyatuan ini akhirnya gagal setelah Sultan Malik Shah (1055-1092)

wafat.
91 Para pewaris kekuasaan Abbasiyyah di Mesir ini dikenal dengan nama Dinasti Mameluk.

20
Sultan Malik Shah, tentara Mongol akhirnya menghancurkan Kesultanan Seljuk pada tahun
130892.

Gambar 13. Mata uang dinar yang dikeluarkan oleh Sultan Kay Khusraw II dari Dinasti Rum Seljuk,
dicetak di Qunya (Konya) pada tahun 638 Hijriah (1240/1241). Di muka depan (gambar kiri) tertulis: al-
Imam al-Mustansir Billah Amir al-Mu’minin, duriba hadha al-dinar bi Qunya [al-Imam al-Mustansir Billah
Amirul Mukminin, dinar ini dicetak di Qunya] sedangkan nama Kay Khusraw sendiri tertera di muka
belakang (gambar kanan). Pencantuman nama Khalifah al-Mustansir menunjukkan pengakuan Dinasti
Seljuk kepada para Khalifah Abbasiyyah di Baghdad sebelum pusat pemerintahannya dipindahkan ke
Mesir (koleksi The American Numismatic Society, katalog 1962.126.2)

Di sinilah sumber perbedaan pendapat dalam penetapan akhir pemerintahan Dinasti


Abbasiyyah dan mulainya era pemerintahan Devlet Osmanli. Pendapat al-Suyuti jelas
memasukkan era Dinasti Mameluk di Mesir sebagai bagian dari kekuasaan Khilafah
Abbasiyyah, tetapi Maksudoglu dan juga Devlet Osmani sendiri berpendapat bahwa era
Abbasiyyah otomatis berakhir pasca serangan tentara Mongol pada tahun 1258 dan setelah
itu kekuasaan umat berpindah ke tangan Dinasti Osmaniyyah. Terlepas dari pendapat mana
yang paling tepat, kedua teori tersebut tidak dapat membantah fakta bahwa telah terbentuk
dua kekuasaan (Khilafah) pada masa transisi (1258-1517). Hal ini diperkuat dengan bukti
bahwa ketika kekuasaan Abbasiyyah masih eksis di Mesir di bawah kendali Dinasti
Mameluk, Sultan Alaeddin dari Bani Seljuk telah menyebut dirinya sebagai zillulahi fi al-ard
(bayangan Allah di muka bumi), gelar yang menunjukkan posisinya sebagai Khalifah93.
Selain itu, Sultan Murad I (1362-1389) telah menyebut ibukota Devlet Osmanli saat itu, Bursa,
sebagai Darulhilafet (Dar al-Khilafah)94.

* * *

Patut dicatat bahwa eksistensi beberapa Khilafah dalam kurun waktu yang bersamaan bukan
hanya terjadi satu kali dalam sejarah pemerintahan Islam. Di Spanyol sebagai contoh, sejak
tahun 756 sampai 1269 telah terbentuk empat Khilafah, yaitu Khilafah al-Andalus (756-1031),
Muluuk al-Thawaif (1021-1091), Khilafah al-Murabitun (1106-1237), dan Khilafah al-
Muwahidun (1129-1269) dimana keempat kekuasaan ini ada pada waktu yang bersamaan
dengan era Dinasti Abbasiyyah di Baghdad. Beberapa spesimen mata uang yang berhasil
dikumpulkan menunjukkan bahwa para penguasa keempat Khilafah itu menyebut dirinya
sebagai Amirul Mukminin, gelar yang lazimnya dipakai oleh para Khalifah (Gambar 14-17).
Tidak tercatat adanya upaya para Khalifah Abbasiyyah untuk melakukan aneksasi terhadap
keempat Khilafah tersebut; hal ini dapat ditafsirkan bahwa para Khalifah Abbasiyyah tidak
memaksakan umat Islam di seluruh dunia untuk tunduk hanya di bawah satu kekuasaan
Khilafah.

92 Maksudoglu, Osmanli History, h. 8.


93 Feridun Beg, Münsheat-i Selatin, Istanbul (1274 H) vol. I h. 48 (dalam Maksudoglu, Osmanli History, h. 10). Sebutan
sebagai zillulahi fi al-ard tersebut dijumpai dalam menshur (dokumen pelantikan) Osman sebagai Beg (Bey, Amir)
kawasan Sögüt dengan gelar Osman Shah.
94 Feridun Beg, Münsheat-i Selatin, h. 90 (dalam Maksudoglu, Osmanli History, h. 30).

21
Gambar 14. Mata uang dirham pada masa pemerintahan Khalifah Abd al-Rahman III al-Nasir (912-961)
dari Khilafah al-Andalus, dicetak di al-Andalus pada tahun 330 Hijriah. Pada muka belakang (gambar
kanan) bertuliskan: al-Imam, al-Nasir li Din, Allah Abd a-Rahman, al-Amir al-Mu’minin, Qasim [al-Imam al-
Nasir li Dinillah Abdurrahman, Amirul Mukminin, Qasim] (koleksi Vives dan Miles)

Gambar 15. Mata uang dirham pada masa pemerintahan al-Mu’tali Billah Yahya bin Ali (1021-1035)
dari Muluuk al-Tawaif, dicetak di Ceuta pada tahun 425 Hijriah. Pada muka belakang (gambar kanan)
bertuliskan: waliy al-ahd, al-Imam Yahya, al-Mu’tali Billah, Amir al-Mu’minin, Idris [putera mahkota, al-
Imam Yahya al-Mu’tali Billah, Amirul Mukminin, Idris] (koleksi Vives dan Miles)

Gambar 16. Mata uang dirham pada masa pemerintahan Ali bin Yusuf (1106-1142) dari Khilafah al-
Murabitun, tempat dan tahun pencetakan tidak diketahui. Pada muka belakang (gambar kanan)
bertuliskan: Amir al-Muslimin, wa Nasr al-Din, Ali bin Yusuf [Amirul Muslimin dan Pembela Agama, Ali
bin Yusuf] (koleksi Vives)

Gambar 17. Mata uang dirham pada masa pemerintahan Abd al-Mu’min bin Ali (1129-1162) dari
Khilafah al-Muwahidun, tempat dan tahun pencetakan tidak diketahui. Pada muka belakang (gambar
kanan) bertuliskan: Abu Muhammad Abd, al-Mu’min bin Ali, Amir al-Mu’minin [Abu Muhammad Abd al-
Mu’min bin Ali, Amirul Mukminin] (koleksi Vives)

22
Para Khalifah Bani Abbasiyyah secara umum lebih toleran terhadap munculnya Khilafah lain
di luar teritorialnya dibanding para Khilafah Umayyah. Selama 90 tahun kepemimpinan Bani
Umayyah, umat telah terjerumus ke dalam tiga Perang Sipil akibat munculnya kekuasaan
politik lain yang menandingi para Khalifah Bani Umayyah. Perang Sipil Pertama sangat
terkenal, yaitu perang antara pengikut Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan pengikut
Muawiyyah bin Abi Sufyan yang mengklaim tahta Khalifah dari Syria, Perang Sipil Kedua
melibatkan para Khalifah Bani Umayyah dengan Khilafah Makkah yang dipimpin Abdullah
bin Zubair, dan Perang Sipil Ketiga (744-747) terjadi antara para pendukung Khalifah al-
Walid II dengan penduduk selatan Jazirah (kawasan Kalb dan Yaman) yang memberi
kontribusi terhadap lenyapnya kekuasaan Bani Umayyah di Syria tiga tahun kemudian95.

Berbeda dengan Bani Umayyah, para Khalifah Bani Abbasiyyah lebih memilih untuk
berkonflik hanya dengan para Khalifah Syiah dan cenderung mendiamkan terbentuknya
Khilafah-Khilafah Sunni seperti di al-Andalus. Dinasti Zanki di Syria misalnya, mengirim
Salahuddin al-Ayyubi untuk menaklukkan Khilafah Fatimiyyah yang beraliran Syiah di
Mesir selain juga mengobarkan konfrontasi dengan Khilafah Ismailiyyah. Munculnya
kekuasaan-kekuasaan (kesultanan) independen yang memiliki otoritas fiskal dan politik
setara dengan kekuasaan para Khalifah di Baghdad juga tidak dipandang sebagai ancaman,
malah sebaliknya dipandang sebagai mitra politik selama mereka masih mengakui para
Khalifah Abbasiyyah secara spiritual sebagai pemimpin umat beriman (Amirul Mukminin).
Beberapa kesultanan tersebut pernah berjasa membantu para Khalifah Abbasiyyah, misalnya
Kesultanan Ikhshidiyyah di Mesir yang menyelamatkan Khalifah Ibrahim al-Muttaqi (940-
944) dari serangan Khilafah Buwayhid pada tahun 945, lalu Kesultanan Seljuk kembali
menyelamatkan Khalifah Abdullah al-Qaim - juga dari serangan kaum Buwayhid - pada
tahun 1055. Sebagai tanda balas jasa, Khalifah al-Qaim memerintahkan semua masjid di
wilayah Khilafah untuk mendoakan kesuksesan ekspansi tentara Seljuk ke Anatolia di bawah
pimpinan Sultan Muhammad Alp Arslan pada tahun 107196. Di masa Abbasiyyah, kekuasaan
umat terlihat lebih menyerupai suatu konfederasi dibanding pemerintahan kesatuan di era
Bani Umayyah.

Sebagian kalangan pemikir Islam mengkritik bentuk pemerintahan konfederasi a la Bani


Abbasiyyah itu sebagai salahsatu faktor yang mempercepat keruntuhan kekuasaan
Khilafah97. Mungkin kita harus memahami mengapa pemerintahan Abbasiyyah lebih
bersikap akomodatif terhadap munculnya kekuasaan tandingan dibanding para Khalifah
Umayyah. Di masa sebelumnya, ambisi para Khalifah Umayyah untuk memusatkan
kekuasaan politik di Syria telah mengobarkan tiga Perang Sipil yang mengorbankan bukan
saja rakyat biasa, tetapi para sahabat Nabi dan merusakkan bangunan suci umat Islam,
Ka’bah. Perang Sipil tersebut justru memberi andil dalam melenyapkan kekuasaan Bani
Umayyah, sangat jauh dari dugaan para Khalifah Umayyah yang menyangka kekuatan
senjata akan sanggup menyatukan umat dalam satu naungan politik. Sebaliknya, politik
akomodasi yang dijalankan oleh para Khalifah Abbasiyyah justru terbukti mampu
menyelamatkan Khilafah dalam kondisi-kondisi genting dimana kesultanan-kesultanan yang
bernaung di bawah Khilafah Abbasiyyah berkali-kali memberi perlindungan terhadap para
Khalifah. Lenyapnya kekuasaan Bani Abbasiyyah bukan terjadi karena pemberontakan dari
dalam sebagaimana terjadi pada era Umayyah, tapi karena serangan besar-besaran oleh
tentara Mongol. Selama 300 tahun sejak serangan itu, Dinasti Mameluk di Mesir masih
mampu melanjutkan kekuasaan Abbasiyyah sebelum akhirnya diserahkan kepada Dinasti
Umayyah.

Kebijakan non-sentralistik yang dijalankan oleh Bani Abbasiyyah telah pula berjasa besar
membesarkan Khilafah al-Andalus yang berkembang menjadi pusat intelektual Islam di

95 Hawting, The First Dynasty of Islam, h. 90-103.


96 Maksudoglu, Osmanli History, h. 6.
97 Muhammad Maghfur W., Koreksi Atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam, Penerbit al-Izzah (2002) h. 172-

178.

23
daratan Eropa. Hal ini menyebabkan para Khalifah al-Andalus dapat berkonsentrasi
mengembangkan peradaban Islam di Spanyol tanpa disibukkan oleh serangan-serangan dari
Abbasiyyah. Motif di balik kebijakan mengapa para Khalifah Abbasiyyah tidak menyerang
al-Andalus kiranya cukup jelas; Khilafah Abbasiyyah memiliki sekutu kental di Eropa, yaitu
Charlemagne, penguasa Frank. Sebagai sekutu Abbasiyyah yang setia, Charlemagne
menyerang al-Andalus pada tahun 778; serangan ini gagal karena terjadi pemberontakan
internal di negaranya sendiri98. Kebijakan non-sentralistik itu pula yang telah membesarkan
Dinasti Seljuk yang di kemudian hari justru menyelamatkan umat Islam di al-Andalus dari
serbuan tentara Kristen pada peristiwa Reconquista di saat Bani Abbasiyyah telah kehilangan
kekuasaannya99.

* * *

Pasca kekalahan Bani Seljuk dari tentara Mongol, lebih dari 20 kesultanan kecil berdiri di
Anatolia. Karaman, dengan ibukotanya di Konya, adalah kesultanan terbesar, tetapi Beglik
(keamiran) Osmanli dikatakan sebagai yang paling berkomitmen dengan Islam100. Persaingan
di antara Beglik untuk saling mendominasi muslim Anatolia telah dimenangkan oleh Osman
Shah dan keturunannya dengan pembukaan kota Bursa sebagai ibukota Devlet Osmanli pada
tahun 1326 oleh Orhan Beg, anak bungsu dan pengganti Osman Shah101. Selain didukung
oleh keterampilan militer yang lebih menonjol dibanding Beglik lain, Osman mempunyai
klaim spiritual atas ambisi politiknya untuk menyatukan seluruh Beglik di Anatolia102.

Pada masa itu Anatolia telah memiliki bentuk masyarakat yang modern sebagai hasil
interaksinya dengan kekuasaan Islam dan Bizantium; kota Bursa sendiri sebelumnya berada
di bawah kekuasaan Bizantium dan dikenal sebagai kota yang makmur di dataran Bithyn, di
kaki Gunung Olimpus. Salahsatu ciri masyarakat modern Anatolia adalah keberadaan
organisasi-organisasi kemasyarakatan yang memainkan peranan penting ketika otoritas
Kesultanan Seljuk melemah akibat invasi tentara Mongol. Beberapa di antaranya adalah
Akhiyan-i Rum (Persaudaraan Anatolia), Bajiyan-i Rum (Organisasi Perempuan Anatolia),
Abdalan-i Rum (Perkumpulan Sufi Anatolia) dan Gaziyan-i Rum (Perkumpulan Gazi
(Mujahidin) Anatolia)103. Dalam catatan perjalanannya ketika mengunjungi Anatolia pada
tahun 1336, Ibn Batutah mendeskripsikan aktivitas salahsatu kelompok ini104:

“Kami menetap di masjid sebuah kota yang dipimpin oleh Syaikh Shihabu ad-Din al-Hamawi. Di
semua tanah yang dihuni oleh orang Turkoman di Anatolia, di setiap distrik, kota dan kampung,

98 Hitti, The Arabs, h. 109, 164. Para Khalifah Abbasiyyah tidak merasa perlu untuk menggabungkan al-Andalus ke

dalam teritorial mereka, hanya saja perlu dicegah jangan sampai Khilafah al-Andalus menyaingi kemegahan
Khilafah Abbasiyyah. Oleh karena itu para Khalifah Abbasiyyah bersekutu dengan Charlemagne untuk
mengganggu Khilafah al-Andalus, dan sebagai imbalannya Khilafah Abbasiyyah menjaga Charlemagne dari
kemungkinan serangan Bizantium.
99 Hizir Hayreddin Reis menyelamatkan 70.000 muslim al-Andalus dan membawanya ke Afrika Utara (Katib

Chelebi, Tuhfetu’l Kibar fi Esfari’l Bihar, Istanbul (1329 H) h. 40 [dalam Maksudoglu, Osmanli History, h. xxxviii]).
Kakak Hayreddin Reis, Oruch Reis, telah menetap di Aljazair untuk melindungi Afrika Utara dari serangan
Spaniard.
100 Para sejarawan berbeda pendapat apakah Osman Shah telah memeluk Islam ketika diserahi jabatan Beg oleh

Sultan Alaeddin. Maksudoglu mengklaim Osman telah memeluk Islam pada saat itu, tetapi Lord Kinross mengklaim
Osman belum memeluk Islam saat mulai menjabat sebagai Beg. Hal ini didasarkan pada satu legenda bahwa Osman
pernah bermalam di rumah seorang imam dan ia bertanya mengenai sebuah buku yang diletakkan di tepi tempat
tidurnya. Sang imam menjawab: “Itu adalah al-Qur’an, firman Allah yang diturunkan ke dunia melalui Nabi Muhammad.“
[Lord Kinross, The Ottoman Centuries, The Rise and Fall of The Turkish Empire, Morrow Quill (1977) h. 23].
101 Kinross, The Ottoman Centuries, h. 30.
102 Legenda lain menceritakan bahwa Osman bermimpi telah melihat empat pegunungan (Kaukasus, Atlas, Taurus,

Balkan) dan empat sungai (Tigris, Eufrat, Nil, Danube) serta sebilah pedang yang menunjuk ke arah Konstantinopel.
Hal ini ditafsirkan oleh Syeikh Edebali, seorang Sufi yang wara’, sebagai tanda dari Tuhan mengenai kekuasaan
Osman yang akan menjangkau daerah-daerah tersebut. Syeikh Edebali lalu menikahkan anaknya, Malkatum
(Malhun Hatun), dengan Osman (Kinross, The Ottoman Centuries, h. 24).
103 I. H. Uzuncarsili, Osmanli Devleti Teskilatindan Kapukulu Ocaklari, Ankara (1984) vol. I h. 1 (dalam Maksudoglu,

Osmanli History, h. 14).


104 Ibn Batutah (H. A. R. Gibb, terj.), Travels in Asia and Africa, 1325-1354, London (1983) h. 125 (dalam Maksudoglu,

Osmanli History, h. 13 dan Kinross, The Ottoman Centuries, h. 31).

24
terdapat para anggota dari suatu organisasi yang dikenal sebagai Akhiyye atau Persaudaraan Pemuda.
Tidak ada di dunia ini Anda akan jumpai orang-orang yang bersikap baik terhadap pendatang, serta
selalu siap melawan kezaliman dan membunuh para antek-anteknya.“

Syeikh Edebali, mertua Osman, adalah pemimpin spiritual Akhiyye. Dukungan Edebali dan
para pemimpin Akhiyye (Ahi Shemseddin, Ahi Hasan dan Jendereli Kara Halil) kepada
Osman dipercaya menjadi penyumbang utama terhadap kesuksesan Beglik Osmanli
menguasai Anatolia. Akhiyye sendiri dikenal sebagai organisasi Sufi yang meletakkan
ketaatan kepada seorang Syeikh (ulama); hal ini kelak berpengaruh dalam pembentukan
struktur baru dalam pemerintahan Devlet Osmanli yaitu posisi Sheyhul Islam yang dijabat
oleh seorang pemuka Sufi dan semua keputusan Sultan harus disetujui oleh Sheyhul Islam.
Pentingnya posisi Sheyhul Islam dalam struktur pemerintahan Devlet Osmanli telah
diindikasikan sejak awal oleh Osman Shah ketika memberi wasiat kepada anaknya, Orhan
Beg105:

“Jika seseorang memberi nasihat kepadamu tentang sesuatu yang Kebenaran Hakiki (Allah) tidak
memerintahkannya, jangan engkau terima. Jangan berbuat sesuatu yang Allah tidak
memerintahkannya. Bertanyalah kepada ulema sheri’at tentang masalah-masalah yang engkau tidak
tahu.“

Munculnya posisi Sheyhul Islam dalam pemerintahan Devlet Osmanli sangat menarik untuk
dikaji. Fenomena pemisahan antara kekuasaan politik dan spiritual sebenarnya telah terjadi
sejak era pemerintahan Bani Umayyah sebagai akibat dari tindakan Muawiyyah merebut
kekuasaan dari tangan Ali bin Abi Thalib dengan cara tak terpuji, dan juga pemindahan
pusat kekuasaan politik ke Dimashq telah memisahkan Bani Umayyah dari kekuasaan
spiritual yang berpusat di Makkah dan Madinah (yang selanjutnya menjadi kubu kuat
oposisi terhadap Bani Umayyah hingga terbunuhnya Abdullah bin Zubair). Reputasi
Muawiyyah yang tercela - sebutan sebagai al-tulaqa dan al-fiat al-baghiyyah melekat pada
dirinya – umat tidak lagi memandang posisi Muawiyyah dan para Khalifah Bani Umayyah
masih pantas sebagai pimpinan spiritual umat sebagaimana para Khulafaa-ur-Rasyidin. Para
Khalifah Bani Umayyah menyadari bahwa mereka tidak memiliki legitimasi spiritual
sehingga pada era Khalifah Abdul Malik bin Marwan (685-705) muncul ide untuk
menjadikan Jerusalem (yang ada di bawah kekuasaan Bani Umayyah) sebagai tempat
alternatif ibadah umat Islam selain Makkah yang tengah dikuasai Abdullah bin Zubair dan
para sahabat Nabi106. Untuk mewujudkan ambisinya itu, Abdul Malik bin Marwan
membangun Qubbah al-Sakhrah (Kubah Batu, Dome of The Rock) di puncak Gunung Kuil,
memayungi sebuah batu besar nan suci yang diyakini sebagai bekas Kuil Sulaiman, tempat
pertama kali Nabi Adam turun ke bumi, tempat Nabi Ibrahim hendak menyembelih Ismail,
dan tempat Nabi Muhammad memulakan perjalanan Mi’raj ke langit ketujuh. Antipati para
ulama terhadap keluarga Bani Umayyah telah memunculkan inisiatif pengumpulan hadits
Nabi untuk membantah semua klaim Bani Umayyah tentang hak Khilafah pada diri
mereka107. Di masa pemerintahan Bani Abbasiyyah, para ulama diberi tempat di dalam
pemerintahan sebagai Mufti yang bertugas mengeluarkan fatwa108. Kekuasaan para ulama
kemudian diperkuat pada masa Dinasti Osmaniyyah dengan sebutan Sheyhul Islam yang
posisinya sederajat dengan sadrazam (wazir tafwid)109. Proses-proses ini mengindikasikan
bahwa sifat kekuasaan para Khalifah setelah berlalunya era para Khulafaa-ur-Rasyidin
adalah murni bersifat politik dan tidak lagi memiliki kekuasaan spiritual.

105 Nesri, Kitab-i Cihan-Numa, Ankara (1949) vol I, h. 72 (dalam Maksudoglu, Osmanli History, h. 18).
106 S. D. Goiten, The Historical Background of the Erection of the Dome of the Rock, Journal of the American Oriental
Society (1950) 70 h. 1 [dalam Kanan Makiya, The Rock, A Tale of Seventh-Century Jerusalem, Vintage Books (2001) h.
326]. Abdul Malik bin Marwan dikatakan mengagumi Nabi Sulaiman dan menjadikannya sebagai model ideal
seorang penguasa Muslim (Makiya, The Rock, h. 327).
107 Hawting, The First Dynasty of Islam, h. 2-3.
108 Ibn Khaldun, Muqaddimah, bab 3 pasal al-Khuthuth al-Diiniyya al-Khilafah (Fungsi lembaga keagamaan dalam

Khilafah).
109 Maksudoglu, Osmanli History, h. xix.

25
Selain munculnya posisi Sheyhul Islam, Devlet Osmanli juga melakukan beberapa modifikasi
lain dalam struktur pemerintahan. Untuk posisi wazir tafwid yang dikenal di masa
Abbasiyyah, Chelebi Mehemmed (1413-1421) dan Sultan Murad II (1421-1451) menggunakan
istilah ulu vezir atau vezir-i azam, lalu di masa Sultan Sulaiman I al-Qanuni (1520-1566)
berganti nama menjadi sadrazam. Selain itu, jumlah wazir tanfidz bertambah banyak dan
dalam jangka waktu tertentu salahsatu di antara mereka akan dipilih menjadi sadrazam.
Selain itu, posisi amir al-umara diganti dengan istilah Beglerbegi, dan posisi di bawah
Beglerbegi adalah sanjakbegi yang memimpin sebuah sanjak (provinsi). Untuk setiap kota,
ditunjuk seorang kadi (hakim) yang memiliki wewenang eksekutif dan yudikatif sekaligus.
Sebuah posisi pemerintahan baru yang tidak dijumpai pada era Abbasiyyah adalah kadiasker
(hakim militer) dimana Jendereli Kara Halil merupakan orang pertama yang menjabat posisi
tersebut pada masa pemerintahan Sultan Murad I110. Melihat latar belakang Bani Seljuk
(leluhur keluarga Osman) yang pernah mengabdi kepada para Khalifah Abbasiyyah, bisa
dimengerti jika mereka tidak terlalu banyak melakukan modifikasi terhadap struktur
pemerintahan Bani Abbasiyyah.

Selain itu, Bani Osmaniyyah juga melanjutkan tradisi yang dianut sejak era Muawiyyah,
yaitu penunjukan waliy al-ahd (putra mahkota) sebagai mekanisme suksesi kepemimpinan.
Anak-anak tertua para penguasa Bani Osmaniyyah menyandang gelar Pasha, yang juga
disandang oleh para pejabat senior Devlet Osmanli. Yang berbeda dari para Khalifah
Abbasiyyah, para penguasa Devlet Osmanli menggunakan titel Malik (Raja) selain Sultan,
dimana sebelumnya di era Abbasiyyah titel Malik dan Sultan hanya dipakai oleh para
penguasa wilayah atau amir al-umara. Selain Malik dan Sultan, gelar Han (Khan) juga dipakai
oleh para penguasa Devlet Osmanli yang memiliki arti sama seperti Malik. Penyebutan gelar
tersebut dan berbagai dokumen, mata uang, serta medali-medali kehormatan yang berhasil
dikumpulkan membuktikan bahwa Bani Osmaniyyah telah mengasosiasikan Khilafah
sebagai Kerajaan atau Imperium (Gambar 18 dan 19).

a b
Gambar 18. (a) Medali kehormatan untuk memperingati ekspedisi militer Devlet Osmanli ke Karadag
(Montenegro) pada tahun 1279 Hijriah (1863) seperti tertera di muka depan (gambar kanan). Peristiwa
yang dimaksud oleh medali ini adalah serbuan Omar Pasha, Gubernur Bosnia-Herzegovina, ke
Montenegro untuk memadamkan pemberontakan oleh Nicholas Petrovic. Medali ini dicetak sebanyak
30.000 buah. Pada muka belakang (gambar kiri) tertera: Abd al-Aziz Khan, Malik al-Dawla al-Utsmaniyyah
[Abdul Aziz Khan, Raja Devlet Osmanli]. Tulisan yang sama juga tertera pada medali Nishani Osmani
(b) yang dicetak pada tahun 1862 juga oleh Sultan Abdul Aziz Khan. Medali ini adalah tanda
kehormatan Kelas Kedua yang dianugerahkan kepada pegawai sipil dan militer. Dari kedua medali ini
jelas Abdul Malik Khan mengasosiasikan dirinya sebagai Raja.

110 Maksudoglu, Osmanli History, h. xxix, 42-43.

26
Gambar 19. Mata uang kertas 1 Lira, dikeluarkan oleh Bank Sentral Devlet Osmanli di Konstantinopel
(Istanbul) pada tahun 1876-1877 saat pemerintahan Sultan Abdul Hamid II. Jelas tertera Imperiale
Ottomane (Imperium Osmanli) di permukaan uang kertas tersebut yang menunjukkan bahwa Devlet
Osmanli adalah sebuah Imperium (koleksi Kementerian Budaya dan Pariwisata Turki)

Para penguasa Devlet Osmanli juga masih menggunakan sebutan khalifah Allah untuk
menyatakan kedudukan mereka, sebagaimana telah dilakukan oleh para Khalifah Bani
Umayyah dan Abbasiyyah. Penguasa Devlet Osmanli yang pertama menyebut dirinya
sebagai khalifah Allah adalah Sultan Bayezid II, anak dari Sultan Muhammad II al-Fatih, yang
menggelari dirinya sebagai Khalifetullah fil enam (khalifah Allah di antara ciptaan-Nya)111.

* * *

Dibanding pemerintahan Umayyah dan Abbasiyyah, Dinasti Osmanli memiliki pengalaman


unik berhadapan dengan perubahan besar dalam peradaban dunia, yaitu Renaissance yang
diikuti dengan arus modernisasi fisik besar-besaran sebagai dampak dari perubahan cara
berfikir manusia mengenai mythos dan logos. Dunia pramodern lebih bertumpu kepada
mythos untuk memahami dan memecahkan masalah kehidupan. Peristiwa dibelahnya Laut
Merah oleh Nabi Musa, dihancurkannya tentara gajah oleh burung ababil ketika Abrahah
menyerang Ka’bah, dibelahnya bulan oleh Nabi Muhammad; hal-hal seperti ini sangat
penting dalam dunia pramodern dan hanya dapat difahami melalui mythos. Tetapi pada abad
ke-18, Eropa dan Amerika mencapai kesuksesan besar dalam sains dan teknologi; logos yang
bertumpu pada pemikiran rasional, pragmatik, dan saintifik mulai menggeser posisi mythos
sebagai basis kehidupan manusia. Berbeda dengan mythos yang lebih berorientasi masa lalu
dan retrogresif, logos mempunyai karakter progresif, merombak pemikiran lama, meraih
kekuasaan lebih besar atas dunia, dan menemukan sesuatu yang baru. Dalam istilah Karen
Armstrong, perubahan ini telah membawa manusia meninggalkan Dunia Lama untuk
memasuki Dunia Baru112.

Devlet Osmanli yang berdiri pada era Dunia Lama dihadapkan pada tantangan untuk tetap
eksis dalam Dunia Baru. Dibanding Khilafah-Khilafah sebelumnya, tantangan yang dihadapi
Devlet Osmanli boleh dikatakan paling berat karena modernisasi telah mengubah pandangan
manusia terhadap agama, basis utama yang menjadi legitimasi berdirinya Devlet Osmanli.

111 Feridun Beg, Münsheat-i Selatin, h. 306 (dalam Maksudoglu, Osmanli History, h. xxxvi).
112 Armstrong, The Battle for God, h. ix-xvi.

27
Bukan hanya Devlet Osmanli, semua dinasti penguasa Islam sebelumnya juga menggunakan
agama sebagai legitimasi hak kekuasaan atas keturunan masing-masing113. Dalam dunia yang
telah mengalami perubahan cara pandang mengenai agama, mampukah Devlet Osmanli
bertahan?

Respon paling awal Devlet Osmanli terhadap modernisasi adalah gerakan Nizam-i Jedid (New
Order) yang diprakarsai oleh Sultan Selim III (1789-1807) yang bertujuan untuk melakukan
restrukturisasi ekonomi dan militer. Devlet Osmanli saat itu berhadapan dengan disintegrasi
wilayah, ekonomi yang morat-marit akibat perang terus-menerus, dan militer (Janissary)
yang semakin tak berdisiplin. Ide Nizam-i Jedid diadopsi langsung dari New Order di
Perancis dimana Louis XVI telah menulis surat kepada Sultan Selim III yang membangkitkan
minatnya untuk menerapkan restrukturisasi yang sama dengan sedapat mungkin tetap
menjaga tradisi Osmanli114. Devlet Osmanli tidak memiliki basis kukuh untuk mengadakan
restrukturisasi dengan ide sendiri; Bani Seljuk lebih dikenal sebagai jago perang tetapi tidak
mumpuni secara intelektual. Sejak awal berdirinya, Osmanli lebih memilih untuk meniru
struktur pemerintahan Abbasiyyah dengan sedikit modifikasi. Pun dalam aspek kemiliteran,
Osmanli banyak bergantung pada teknologi dan senjata dari Eropa; bahkan sejak era Sultan
Muhammad II al-Fatih, ia telah menyewa jasa seorang pakar persenjataan berbangsa
Hungaria untuk merancang jenis senjata mematikan untuk menaklukkan Konstantinopel115.
Beberapa tahun sebelum dimulainya Nizam-i Jedid, begitu menyadari bahwa tentara
Osmanli sudah tak berdaya menghadapi perkembangan teknologi persenjataan Eropa, Sultan
Mahmud I (1730-1754) mengupah Comte de Bonneval untuk mengadakan restrukturisasi
militer Osmanli. Di masa Sultan Mustafa III, ia mengganti de Bonneval dengan seorang
bangsawan Hungaria, Baron de Tott116.

Mengapa Devlet Osmanli sangat tergantung kepada Eropa dari segi teknologi? Seperti sudah
dipaparkan sebelumnya, perkembangan teknologi Eropa pada abad ke-18 dipicu oleh
pergeseran orientasi cara berfikir manusia dari mythos kepada logos, paling tidak di Eropa.
Teknologi baru mustahil dibentuk dan direka tanpa karakter progresif dan keinginan untuk
merombak tradisi lama. Hal ini tidak dimiliki oleh Devlet Osmanli yang mengakibatkan
ketergantungan negara tersebut kepada Eropa. Devlet Osmanli adalah negara yang berdiri
atas legitimasi agama, mythos, yang memandang logos beserta produk-produknya (termasuk
teknologi) dengan penuh rasa curiga. Gerakan Nizam-i Jedid Sultan Selim III mendapat
tentangan dari kelompok-kelompok status quo, kelompok yang diuntungkan oleh klaim
agama atas eksistensi mereka, antara lain Janissary, para Pasha, dan Sheyhul Islam117.
Akhirnya Sultan Selim III dipaksa mundur oleh Sheyhul Islam dengan alasan “...telah
memperkenalkan budaya kafir kepada kaum muslimin dan menunjukkan niat untuk
menekan Janissary, pembela sejati syariat dan Nabi.118“ Atas fatwa Sheyhul Islam, Nizam-i
Jedid dibekukan pada tahun 1807.

113 Klaim atas nama agama adalah alat paling ampuh untuk melegitimasi penguasa yang paling tidak legitimated
sekalipun. Canute, satu-satunya penguasa Britania Raya yang berasal dari bangsa Viking, telah mengklaim dirinya
sebagai wakil Jesus di dunia untuk melegitimasi kekuasaannya. Ia sadar bahwa bangsa Viking adalah pendatang
haram di tanah Britania sehingga Canute memerlukan legitimasi agama untuk mengukuhkan kekuasaannya. Hal ini
nampaknya serupa dengan klaim para Khalifah sebagai khalifah Allah.
114 Kinross, The Ottoman Centuries, h. 417-418.
115 Urban, nama pakar tersebut, semula hendak menjual jasanya kepada penguasa Bizantium, tetapi al-Fatih

mengiming-imingi bayaran lebih tinggi dan akhirnya al-Fatih berhasil memiliki artileri terhebat pada masa itu:
meriam raksasa dengan panjang 27 kaki dan lebar 8 inci yang mampu menembakkan peluru seberat 12.000 pound
(Kinross, The Ottoman Centuries, h. 99).
116 Enver Ziya Karak, Osmanli Tarihi, Ankara (1983) vol. 5 h. 57 (dalam Maksudoglu, Osmanli History, h. 203).
117 Beberapa perombakan sebagai implementasi Nizam-i Jedid adalah pembatasan masa jabatan Pasha menjadi 3

tahun dan pengangkatan kembali hanya dimungkinkan atas persetujuan rakyat, jatah pajak yang biasa dinikmati
Pasha dialihkan ke pemerintah pusat, dan wewenang sadrazam yang dibatasi oleh kewajiban berkonsultasi dengan
Divan. Pembentukan korps militer yang lebih disiplin pula telah memancing kecemburuan Janissary, korps tentara
tradisional Osmanli (Kinross, The Ottoman Centuries, h. 421).
118 Kinross, The Ottoman Centuries, h. 433.

28
Fatwa Sheyhul Islam ternyata tidak cukup kuat untuk membendung arus modernisasi yang
tak bisa lagi ditolak oleh sebuah negara tradisional seperti Devlet Osmanli. Walaupun telah
dipuji oleh Sheyhul Islam sebagai “pembela sejati syariat”, Janissary semakin tidak populer
di mata rakyat. Personil Janissary semakin korup dan yang paling fatal adalah tindakan
mereka mencuri Sanjak-i Sherif (Lambang Suci) Devlet Osmanli. Janissary akhirnya
dibubarkan pada tahun 1826 dan digantikan oleh korps tentara baru bernama Asakir-i
Mansure-yi Muhammadiye yang dilatih menurut standar militer Eropa119. Ini adalah kasus
pertama yang menunjukkan betapa kuatnya tuntutan modernisasi sehingga fatwa Sheyhul
Islam tidak lagi dipandang berwibawa.

Ruh Nizam-i Jedid dihidupkan kembali oleh Sultan Abdul Majid I (1839-1861) melalui
gerakan Tanzimat. Berbeda dengan Nizam-i Jedid yang difokuskan pada reformasi militer,
ruang lingkup Tanzimat jauh lebih luas yang mencakup reformasi politik, sosial, dan
ekonomi secara besar-besaran. Reformasi paling radikal pada era Tanzimat adalah
pengakuan hak seluruh rakyat Devlet Osmanli tanpa membeda-bedakan agama dan ras; hal
ini menghilangkan semua perbedaan perlakuan antara muslim dengan non-muslim. Jika
merujuk kepada hukum Islam tentang dhimmi (non-muslim yang berdomisili di negara Islam)
dan hubungan antara muslim dengan non-muslim, Tanzimat boleh dikatakan suatu
perombakan fundamental terhadap syariat. Tanzimat juga membawa perubahan kepada
ekonomi Devlet Osmanli yang tengah dilanda kemerosotan; selama era Sultan Mahmud II
(1808-1839) atau sebelum era Tanzimat, nama dan bentuk mata uang Osmanli telah berganti
35 kali untuk koin emas, 37 kali untuk koin perak, dan nilai tukar kuruş terhadap
poundsterling telah merosot dari 23 pada tahun 1814 menjadi 104 pada tahun 1839. Untuk
menanggulangi hal ini, Reformasi Moneter diluncurkan pada tahun 1844120. Beberapa
perubahan dilakukan, antara lain penerbitan uang kertas untuk menggantikan uang logam
yang sudah tidak mampu memenuhi permintaan pasar. Struktur ekonomi Devlet Osmanli
sendiri berubah secara radikal sebagai dampak dari interaksinya dengan ekonomi modern,
ditandai dengan meningkatnya volume perdagangan internasional dan permintaan uang
yang memaksa Devlet Osmanli membuka lembaga perbankan meniru lembaga sejenis di
Eropa. Devlet tidak bisa lagi mengandalkan pemasukan pajak dari wilayah-wilayah jajahan
sebagai sumber pendapatan negara121; sebaliknya, mau tidak mau Devlet harus bergabung
dalam konstelasi ekonomi modern yang mengandalkan perdagangan komoditi.

Nizam-i Jedid dan Tanzimat telah membuka pintu Devlet Osmanli terhadap arus
modernisasi yang tak bisa dibendung lagi. Struktur pemerintahan lama jelas tidak lagi sesuai
dengan semangat pembaruan yang sudah dimulai sejak gerakan Tanzimat. Malangnya,
orang-orang yang masih mewarisi semangat Dunia Lama tidak menyadari ombak perubahan
yang sudah sampai ke depan pintu-pintu istana mereka. Di tengah morat-maritnya ekonomi
negara yang semakin tertinggal dari Dunia Baru Eropa, Sultan Mehmed V Reshad (1909-
1918) mengumumkan perintah jihad memerangi Inggris, Perancis, dan Rusia pada 11
November 1914 yang menandai masuknya Devlet Osmanli ke dalam kancah Perang Dunia
I122. Tanpa disadari, Sultan Mehmed V telah memukul gong kematian Devlet Osmanli.
Dengan peralatan tempur yang tidak seimbang dibanding negara-negara Eropa, Devlet
Osmanli kalah telak dan harus ada upaya radikal untuk menyingkirkan orang-orang yang

119 Maksudoglu, Osmanli History, h. 210.


120 Zafer Toprak, From Liberalism to Solidarism, Ottoman Economic Mind in the Age of Nation State (1820-1920), Boğaziçi
University (t.t) h. 10.
121 Sebelum era Tanzimat, Devlet Osmanli menggantungkan pendapatan negara sepenuhnya dari pajak. Untuk

menggenjot pendapatan, Devlet menciptakan beberapa jenis pajak yang tidak pernah dikenal dalam fiqih Islam,
misalnya pajak kepala (Resm-i çift untuk yang sudah menikah dan Resm-i mücerred untuk bujangan). Abu Su’ud
Effendi, Sheyhul Islam pada pertengahan abad ke-16, menafsirkan pajak kepala sebagai misaha yang dikenal oleh
fiqih Islam. Argumentasi tersebut jelas hanya dicari-cari karena çift diadopsi dari pajak kepala di masa Bizantium
yang dikenal dengan nama zeugaratikion [Metin Cosgel, Efficiency and Continuity in Public Finance: The Ottoman System
of Taxation, Department of Economics Working Paper Series, University of Connecticut (2004)]. Seiring dengan makin
populernya konsep nation-state dan merosotnya pamor pemerintahan Imperium, Devlet Osmanli kehilangan
sejumlah besar wilayah jajahannya yang berimplikasi pada merosotnya penerimaan pajak.
122 Maksudoglu, Osmanli History, h. 239-240.

29
bertanggung jawab terhadap kekalahan tersebut sekaligus menyelamatkan Turki dari
kehancuran lebih parah. Bagi Kemal Pasha, modernisasi dan pembubaran Devlet Osmani
adalah jalan satu-satunya untuk menyelamatkan Turki. Bisa jadi Kemal Pasha keliru; sampai
sekarang Turki masih terpinggir di tengah kemajuan negara-negara Eropa lain. Tetapi bisa
jadi ia benar, karena Devlet Osmanli yang lahir dari Dunia Lama dan tak berdaya
menghadapi arus modernisasi, harus dengan besar hati memberi jalan bagi Dunia Baru.

30

You might also like