You are on page 1of 5

GERAKAN SOSIAL

From : Mushin Labib Web Struktur Gerakan Gerakan sosial secara spesifik berfokus pada suatu isu-isu sosial atau politik dengan melaksanakan, menolak, atau mengkampanyekan sebuah perubahan sosial dan bukan sekadar aktivitas charity di masyarakat. Gerakan sosial yang solid dan sustainable memerlukan beberapa komponen perjuangan. 1. Ideolog/regulator. Ia menguraikan visi, arah dan strategi gerakan. Ia, individu atau tim, mempunyai helicopter-view tentang konstelasi sosial politik terkait. Ia bisa tokoh populer atau sosok misterius karena ia berada diluar struktur organisasi formal (hidden). Untuk meraih dukungan, ia menciptakan mimpi kolektif sehingga semua pihak tergerak melakukan segala arahannya. Ia pula yang menyusun dos and donts, pakem dan karakter gerakan. 2. Politbiro, merupakan ring satu dari beberapa orang konseptor bidang/koordinator/simpul gerakan yang berawal dari kader inti. Mereka mengkontektualisasi ideologi dalam bentuk kurikulum bidang. Melalui diskusi bersama, mereka menjadi filter agar gerbong tetap aman dan steril dari infiltrasi luar. Sesuai keputusan tim atau restu ideolog, politbiro akan membawa rumusan dan konsep gerakan kepada pemodal agar program-program dapat terlaksana. 3. Pemodal, adalah orang yang mendanai gerakan. Ia, biasanya politisi/pengusaha, mapan dan mandiri secara finansial, menguasai alat produksi. Dalam satu kondisi, pemodal bisa pula bagian dari ideolog/politibiro, yang kita sebut sebagai Godfather. Sebagai pusat logistik gerakan, sebaiknya ring kedua kebawah tidak diperbolehkan menemuinya karena bisa merusak sistem dan mengganggu roda bisnis atau penetrasi politiknya. Setidaknya ring kedua kebawah tidak diwajibkan bertemu. Godfather cukup dikenal sebagai seorang tokoh saja namun tidak boleh ada yang tahu bahwa ia juga aktor dari sebuah gerakan sosial. Pemodal berkenan membiayai gerakan dengan kalkulasi matang bahwa dana itu tidak akan menguap begitu saja. Dana itu akan kembali dalam bentuk keuntungan politik. Namun secara pribadi ia harus menganggapnya sedang membakar uang agar tidak stres bila proyek politiknya gagal. Dukungan kapital yang kuat membuat pemodal laksana gula yang dirubung semut-semut. Diantara sesama semut terlibat saling intrik dan manipulasi, berupaya menjadi ring satu yang terpercaya bagi pemodal. Tentu saja konflik para semut tidak akan ditampakkan secara eksplisit di hadapan pemodal agar mereka semua tidak kehilangan gula. 4. Politbiro mempunyai beberapa konseptor di tiap gerakan/organisasi yang berbeda, yang untuk suatu kerahasiaan, mungkin tidak saling kenal. Kita sebut himpunan ini think tank utama/politbiro. Sebut saja wilayah ini ring kedua. 5. Pengurus/badan eksekutif. Posisinya juga di lapis kedua. Mereka inilah yang menggerakkan roda organisasi, mengorganisir koordinator/simpul gerakan, menurunkan target-target politik dalam bentuk timetable program. Kinerja dan loyalitas pengurus menentukan apakah mereka layak masuk dalam komunitas konseptor (ring satu) dan bertemu pemodal. Ikatan kerjasama antara penguruskonseptor-pemodal diumpamakan perusahaan politik (pemodal), perusahaan/manajemen outsourcing (konseptor), dan pekerja outsourcing/direct contract (pengurus). Pada organisasi taktis, yang dibentuk untuk menyikapi suatu isu sosial/politik secara instan, pengurus bukan subordinat dari konseptor.

6. Fulltimer staff. Untuk menjalankan organisasi butuh pelaksana harian yang mengurus administrasi kesekretariatan, pembuatan proposal dan menyelenggarakan kegiatan. Untuk organisasi yang baru berdiri dan atau untuk menghemat biaya, pengurus merangkap sebagai staf. Karakter umum staf adalah orang yang digaji bulanan yang tidak mau tahu bagaimana arah dan mau dibawa kemana organisasi ini. Sebuah kantor membutuhkan minimal 5 orang pelaksana harian: 1] direktur eksekutif, 2] staf administrasi merangkap keuangan, 3] bidang pendidikan/kajian/propaganda, 4] bidang media merangkap riset dan pustaka (kalau bisa yang memahami IT agar mudah menset situs dan milis), 5] bidang politik merangkap jaringan/humas. 7. Volunteer/simpul massa-jaringan. Organisasi membutuhkan aliansi strategis dengan organ lain, berhimpun untuk tujuan bersama. Bagi organisasi yang membasis, relawan berasal dari tokoh/simpul massa yang mendapat pendidikan ideologi sehingga tercipta kesepahaman misi dan visi organisasi. Relawan yang loyal dan cukup lama bekerjasama dengan organisasi berkesempatan ditarik sebagai staff atau pengurus. Pada beberapa kasus, konseptor/pengurus tidak mempertemukan antar simpul karena di antara mereka mungkin ada gesekan ideologi atau kepentingan. 8. Massa. Biasanya direkrut melalui pendidikan dasar yang kemudian diurut dari yang paling ideologis hingga komunitas yang paling cair, termasuk massa bayaran. Untuk memastikan gerakan sosial berjalan sesuai rencana dan mempunyai dampak publik, organisasi harus didanai selama minimal 2 tahun dengan asumsi dasar pemasukan Rp 0,-. Alokasi dana tersebut untuk gaji/honor SDM, operasional kantor dan program. Ketika pemodal menarik dana secara tiba-tiba padahal program masih berjalan, organisasi dipastikan kolaps. Apabila ada keuntungan material dari suatu kegiatan, misalnya dapat bantuan dana dari lembaga lain atau order advokasi/pelatihan, itu tidak boleh dianggap sebagai keuntungan yang harus segera dibagi-bagi. Semua dana yang masuk disimpan sebagai dana cadangan organisasi. Itulah mengapa pemodal yang mau bermain politik hendaknya menyadari bahwa investasi gerakan sosial, untuk tujuan apapun, tidak boleh disamakan dengan investasi bisnis yang terukur. Pemodal harus memasrahkan dana itu hangus/tak kembali. Sebab keberhasilan gerakan sosial itu priceless. Sehingga, kita tidak layak menilai suatu organisasi itu gagal pada waktu satu tahun berjalan. Apalagi bila disebabkan oleh faktor luar yang, seharusnya, dianggap tidak relevan. Organisasi butuh waktu setidaknya satu tahun untuk beberapa agenda penting berikut: menyolidkan tim internal organisasi; membuat kurikulum perkaderan dan pilot project; mencari pola gerakan; membuat jaringan aksi; dan menyelenggarakan beberapa kegiatan pencitraan (diskusi, seminar, training, advokasi, media, dan demonstrasi). Semua kegiatan ini butuh biaya tidak sedikit. Pemodal harus menyadari bahwa ia bakar uang dengan mendanai kegiatan-kegiatan non-profit ini. Konseptor-lah yang berkewajiban menjelaskan efek politik yang bakal pemodal terima. Di tahun kedua, organisasi fokus pada penajaman dan pengembangan program aksi yang sudah dirintis. Pada masa ini, nama organisasi dan aktivisnya sudah mulai dikenal publik, tergantung sejauh mana orientasi dan jelajahnya. Pada praktiknya, bentuk diatas tidak kaku dan linier, tapi bergerak dinamis bergantung pada situasi dan kondisi. Bisa saja ada anggota tim konseptor hanya penyumbang gagasan tapi tidak ingin terlibat lebih lanjut. Pemodal, karena perubahan konstelasi politik, tidak menanam

modal (lagi) atau mau mengubah garis perjuangan sehingga memaksa konseptor mencari pemodal lain. Lazimnya, konseptor mempunyai beberapa pemodal yang punya semangat dan ideologi yang sama. (Bersambung) Bisnis Sosial Setiap gerakan sosial, apakah bentuknya terbuka atau tertutup, punya hukum standar: bahwa segala hal yang mengurusi manusia tidak bisa dikalkulasi matematis dan dihipotesiskan secara ilmiah. Banyak variabel yang mudah memporakporandakan segala agenda. Sehingga, menumpukan diri hanya pada satu asumsi/perspektif/proyeksi bisnis (profit) sangat berbahaya. Gerakan akan aman bila mempunyai kaki sebanyak sektor yang digarapnya dengan kualitas yang sama kuat. Memilih gerakan sosial yang cocok tidak boleh hanya bersandar kepada teori-teori gerakan, yang sekadar menyisakan wacana an sich, melainkan juga wajib menyertakan realitas sosial, baik yang historikal maupun yang faktual. Kajian komprehensif seputar sejarah-fakta terkinidan teori yang membangunnya juga harus melalui kacamata empatik, melibatkan emosi agar jarak pengamat dan yang diamati merapat. Memilih tipe gerakan dengan empati akan membuat pilihan menjadi solid dan ideologis. Dari semua teori dan sejarah gerakan sosial yang ada, tersurat jelas bahwa karakter utama gerakan yang berhasil bila ketika urusan bisnis tidak bercampur dengan urusan sosial dalam satu tangan, apapun alasannya. Seorang Muhammad melepas kerajaan bisnisnya dan fokus ke advokasi/organisir (dakwah) massa Arab, sedangkan bisnis dikelola oleh lingkaran terdekat (kader inti); Karl Marx fokus menulis dan curah gagasan sedangkan Fredrick Engels fokus pada commercial firm untuk mensupport Marx; Che Guevara melepas posisi Menteri Kesehatan Kuba dan memilih menggerakkan revolusi di Bolivia, sedangkan urusan struktural dan bisnis diserahkan kepada Fidel Castro. Bagi kapitalis, semua itu konyol. Alih-alih keuntungan jangka pendek yang teraih, dana tersedot untuk beternak kelas pekerja. Tidak ada perjanjian hitam atas putih yang memastikan dana akan kembali. Benarkah? Saat masa panen tiba, sekadar keuntungan material sangatlah remeh. Pencerahan/advokasi/asesmen sosial politik gratisan ternyata menghasilkan massa militan, terorganisir, loyal dan ideologis. Muhammad, Mao, Castro, Khomeini, Morales tidak meminta upah. Mereka hanya membangun sistem dan jaringan ekonomi mandiri yang memastikan setiap pekerja mempunyai basis ekonomi. Dengan kemandirian tersebut, mereka mampu membangun sistem ekonomi alternatif tanpa penghisapan ketika kapital menjadi milik pekerja dibagi untuk kesejahteraan kelas pekerja. Di Nusantara, praktik ekonomi massal ini diwujudkan dalam bentuk koperasi. Di manajemen modern dilembagakan dalam bentuk ESOP. Dengan kata lain, semua gerakan sosial pada akhirnya juga bisnis, berujung pada profit. Namun rentang waktunya lebih panjang dengan skala lebih luas, dan kualitas yang bertolak belakang praktik bisnis kapitalis. Sebut saja praktik ini bisnis sosial. Profit dari gerakan sosial, bila mau disebut demikian, adalah blessing dari kerja-kerja sosial tanpa pamrih demi tujuan tunggal: kemerdekaan kelas. Mereka boleh saja berstatus sebagai karyawan di suatu

perusahaan, namun eksistensi mereka dihargai sebagai mitra kerja yang setara oleh manajemen dalam memajukan perusahaan. Lalu, profit mana yang bisa menandingi kemerdekaan kelas pekerja? (Bersambung) Operasional Gerakan Banyak organisasi mempunyai kelengkapan struktur dan misi besar perjuangan. Namun tidak semuanya berhasil mencapai tujuan. Mengapa? Salah satu penyebabnya adalah disorientasi perjuangan. Blueprint dan roadmap yang digagas pada awal pembentukan organisasi terabaikan karena kendala-kendala saat beraktivitas, mulai dari kesalahan budgeting, penyusunan program, penentuan prioritas, hingga penempatan orang. Semua hal ini seyogyanya dikembalikan kepada mindset dasar gerakan, bagaimanakah kita memandang pasukan dan misi perjuangan ini yang sebenarnya? Kita boleh memperlakukan organisasi sosial seperti ketentaraan, ada jenderal dan serdadu. Jenderal yang memikirkan tujuan perang, skenario tempur, logistik pasukan dan kelengkapan senjata. Serdadu direkrut untuk berperang, ditempatkan sesuai keahlian masing-masing. Serdadu hanya diberi gambaran besar tentang alasan mereka bertempur. Namun serdadu tidak perlu tahu seberapa besar argumentasi dan apologia sang jenderal. Juga tidak perlu mengurusi segala hal diluar perang. Dia hanya diberi iming-iming medali kehormatan dan kenaikan pangkat. Sebuah kebanggaan bagi orang sekelasnya. Karena perubahan politik, jenderal memberitakan info genting justru pada saat serdadu sudah mendekati daerah musuh: parlemen tidak mengabulkan tambahan dana perang. Jenderal segera melobi tokoh-tokoh penting di istana negara dan parlemen. Keputusan jadi berperang ataukah tidak, diserahkan kepada masing-masing tentara. Mereka harus bertempur dan menyiapkan segala sesuatunya sendiri, karena kapal sudah terbakar, sebagaimana perintah jenderal dari markas besarnya. Serdadu yang terpecah konsentrasi tidak akan mampu bertempur dengan baik. Organisasi mungkin bisa diposisikan seperti samurai pasca restorasi Meiji. Samurai tanpa majikan di era industrialisasi disebut juga Ronin. Akhirnya mereka menjadi pasukan tempur mandiri yang bersama-sama merebut alat produksi. Seperti kisah Shalahuddin Al-Ayyubi. Dia memerintahkan membakar kapal agar pasukannya tidak lagi berpikir mau pulang, dengan Shalahuddin sendiri bersama pasukan. Artinya, pasukan mendapatkan dorongan mental bahwa Shalahuddin tidak sekadar mengeluarkan perintah, namun ikut terjun ke medan perang. Di beberapa tempat, perintah bakar kapal hanya dikenakan kepada pasukan. Sedangkan panglima perang tidak terkena dampaknya sedikitpun, kecuali membiayai pembuatan kapal tersebut. Mungkin ia turut pula beserta rombongan kapal. Tapi sebelum kapal itu dibakar, ia telah menyiapkan kapal cadangan, sehingga selalu ada kemungkinan untuk kembali. Dalam dunia marinir, pasukan yang diperintahkan membakar kapal itu disebut pasukan bangkai yang memang diterjunkan untuk mati. Tidak diharap kembali. Untuk merangsek ke sasaran vital harus ada tumbal. Nanti pasukan gelombang kedua yang akan memberesinya. Organisasi dapat juga dimisalkan sebagai Mafia, kepemimpinan kolegial. Semua mempunyai alat produksi sehingga tidak ada ketergantungan logistik dengan organisasi. Di Indonesia

zaman dulu, gaya mafia dimainkan oleh Sarekat Islam (SI). Para pedagang Indonesia berkumpul untuk menghadapi hegemoni pedagang Eropa dan Timur Asing. Kini peran SI dimainkan dengan baik oleh Partai Golkar. Zaman dulu ada pula Ikhwan al-Shafa, semacam lembaga think tank bawah tanah (akibat represi rezim saat itu) yang melahirkan gagasan-gagasan untuk dipublikasikan. Belum ada data yang jelas sejauh klaim basis massa mereka. Partai Sosialis Indonesia dapat dikatakan mengikuti gaya ini. Format kontemporernya seperti Kabinet Indonesia Muda, sebuah komunitas bursa gagasan aktivis/politisi muda. Mungkin ada pula bentuk dan gaya organisasi lain yang bisa dijadikan alternatif. Atau bisa juga kita mengkreasi suatu organisasi yang khas dengan segala info yang kita terima. Intinya, membentuk/merebut organisasi itu mudah. Tapi jauh lebih sulit mempertahankannya.

You might also like