You are on page 1of 14

1

PENDAHULUAN Latar belakang Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Trauma yang menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma langsung, misalnya benturan pada lengan bawah yang menyebabkan patah tulang radius dan ulna, dan dapat berupa trauma tidak langsung, misalnya jatuh bertumpu pada tangan yang menyebabkan tulang klavikula atau radius distal patah.2 Jenis fraktur dapat dilihat dari segi kedudukan, segi konfigurasi, segi adanya luka, fraktur tertutup serta juga fraktur terbuka. Pertama dari segi kedudukan, fraktur dapat terjadi pada tulang di mana saja seperti pada diafisis, metafisis, epifisis, atau intraartikuler. Jika fraktur didapatkan bersamaan dengan dislokasi sendi, maka dinamakan fraktur dislokasi misalnya terjadi fraktur acetabulum dan dislokasi pada caput femur. Kedua dari segi konfigurasi dengan melihat dari garis frakturnya, dapat dibagi menjadi transversal (mendatar), oblik (miring), atau spiral. Jika terdapat lebih dari satu garis fraktur, maka dinamakan kominutif, jika satu bagian patah sedangkan sisi lainnya membengkok disebut greenstick (fraktur dahan muda/hijau pada anak-anak). Fraktur dengan fragmen patahan terdorong kedalam ( sering terjadi pada tulang tengkorak dan wajah) disebut depresi, fraktur dimana tulang mengalami kompresi ( terjadi pada tulang belakang ) disebut kompresi. Ketiga fraktur tertutup, bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar atau permukaan kulit. Terakhir adalah fraktur terbuka, bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar atau permukaan kulit karena adanya perlukaan di kulit. Fraktur terbuka menurut Ramon Gustillo dibagi menjadi tiga derajat yaitu derajat 1, bila luka kurang dari 1 cm, derajat kerusakan jaringan ringan dan tidak ada tanda remuk, serta juga terjadi with out-in dan with in-out. Derajat 2, bila laserasi lebih dari 1 cm, derajat kerusakan jaringan sedang dan tidak luas. Derajat 3, bila terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit, otot, dan neurovaskular serta kontaminasi derajat tinggi. Fraktur derajat 3 dibagi atas 3A, 3B dan 3C. Fraktur derajat 3A, bila jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat atau luka kulit masih dapat ditutup. Fraktur derajat 3B (tulang terbuka/bone expose), bila kehilangan jaringan lunak dengan fraktur tulang yang terpapar. Fraktur derajat 3C, bila terdapat luka pembuluh arteri/saraf perifer yang harus diperbaiki tanpa melihat kerusakan jaringan lunak atau dapat diamputasi primer.2,3 Untuk menjelaskan keadaan fraktur, hal-hal yang perlu dideskripsikan adalah komplit atau tidak komplit, bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma, jumlah

garis patah, bergeser atau tidak bergeser, terbuka atau tertutup serta komplikasi atau tanpa komplikasi. Fraktur komplit, bila garis fraktur melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks tulang, sedangkan fraktur tidak komplit bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang, seperti hairline fracture (patah retak rambut), buckle fracture atau torus fracture bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi tulang spongiosa dibawahnya, biasanya pada distal radius anak-anak. Serta juga greenstick fracture yang mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang anak. Bentuk garis fraktur dan hubungannya dengan mekanisme trauma yang meliputi garis patah melintang (trauma angulasi atau langsung), garis patah oblik (trauma angulasi), garis patah spiral (trauma rotasi), fraktur kompresi (trauma aksial-fleksi pada tulang spongiosa) dan fraktur avulsi (trauma tarikan/traksi otot pada insersinya di tulang, misalnya fraktur patela. Jumlah garis patah meliputi fraktur kominutif bila garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan, fraktur segmental bila garis patah lebih dari satu tetapi tidak berhubungan. Bila dua garis patah disebut pula fraktur bifokal. Fraktur multiple bila garis patah lebih dari satu tetapi pada tulang yang berlainan tempatnya, misalnya fraktur femur, fraktur kruris dan fraktur tulang belakang. Deskripsi fraktur berikutnya adalah bergeser atau tidak. Fraktur undisplaced (tidak bergeser), garis patah komplit tetapi kedua fragmen tidak bergeser, periosteumnya masih utuh, sedangkan fraktur displaced (bergeser) bila terjadi pergeseran fragmen-fragmen fraktur yang juga disebut lokasi fragmen. Berikutnya adanya komplikasi atau tanpa komplikasi yang akan penulis bahas pada bagian yang selanjutnya.4

Tujuan Dalam makalah ini penulis ingin memberikan pemikiran yang luas untuk mengetahui anamnesis dari pasien, pemeriksaan terhadap pasien dengan gejala fraktur, working diagnosis, differential diagnosis dari pasien, patofisiologi, etiologi, penatalaksanaan untuk pasien, komplikasi, prognosis dari pasien, epidemologi dari pasien dengan cara pencegahan dari pasien.

PEMBAHASAN Anamnesis Anamnesis adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan wawancara. Anamnesis dapat dilakukan langsung kepada pasien, yang disebut autoanamnesis, atau dilakukan terhadap orang tua, wali, orang yang dekat dengan pasien, atau sumber lain, disebut sebagai aloanamnesis. Termasuk didalam aloanamnesis adalah semua keterangan dokter yang merujuk, catatan rekam medik, dan semua keterangan yang diperoleh selain dari pasiennya sendiri. Yang perlu dilakukan pada anamnesis pada anak adalah sebagai berikut. Pertama Identitas yang meliputi Nama ( serta nama keluarga), umur/ usia, jenis kelamin, nama orang tua, alamat, umur/ pendidikan/ pekerjaan orang tua serta juga agama dan suku bangsa. Berikutnya menanyakan riwayat penyakit yang meliputi keluhan utama, keluhan/ gejala yang menyebabkan pasien dibawa berobat dan tidak harus sejalan dengan diagnosis utama. Selanjutnya riwayat perjalanan penyakit yang terdiri dari cerita kronologis, rinci, jelas

tentang keadaan pasien sebelum ada keluhan sampai dibawa berobat, pengobatan sebelumnya dan hasilnya (macam obat dll), tindakan sebelumnya (suntikan, penyinaran), reaksi alergi, perkembangan penyakit gejala sisa/ cacat, riwayat penyakit pada anggota keluarga, tetangga dan riwayat penyakit lain yg pernah diderita sebelumnya. Terakhir menannyakan hal-hal yang perlu ditanyakan tentang keluhan / gejala yang meliputi lama keluhan, keluhan lokal (lokasi, menetap, pindah-pindah, menyebar), bertambah berat/ berkurang serta upaya yang dilakukan dan hasilnya.3,4

Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik kita lakukan dengan primary survey dan secondery survey. Primary survey dilakukan dengan mengetahui keadaan umum pasien, sedangkan secondery survey untuk mengetahui gerakan pasien apakah masih dianggap normal atau tidak. Kedua pemeriksaan diatas dapat kita lakukan dengan look (inspeksi), feel (palpasi) dan move (gerakan). Perlu untuk diketahui bahwa auskultasi tidak dapat dilakukan dalam pemeriksaan fisik tulang karena keras. Melihat dan bandingkan cukup dengan deskripsi yang terlihat. Misalnya dengan berpatokan pada sisi yang kontralateral, dimana kita menganggap bahwa sisi kontralateral adalah normal. Pada inspeksi kita dapat melihat deformitas yaitu angulasi ( medial, lateral, posterior atau anterior), diskrepensi (rotasi, perpendekan atau perpanjangan), bengkak atau kebiruan dan fungsio laesa (hilangnya fungsi gerak). Berikutnya kita meraba

untuk mengukur selisih panjang ekstremitas kiri dan kanan serta juga untuk mengetahui keadaan neurovaskular bagian distal pasien dengan meraba arteri paling distal, misalnya pada ekstremitas bawah pasien yaitu arteri dorsalis pedis dan ekstremitas atas pasien yaitu arteri radialis. Terakhir dari pemeriksaan fisik yaitu dengan gerakan sendi proksimal dan distal dari tulang yang patah. Misalnya terjadi fraktur pada antebrachii yaitu dengan melakukan gerakan aktif pada siku yang meliputi fleksi-hiperekstensi dan supinasi-pronasi. Berikutnya kita move untuk melihat apakah ada krepitasi bila fraktur digerakkan, tetapi ini bukan cara yang baik dan kurang halus. Krepitasi timbul oleh pergeseran atau beradunya ujung-ujung tulang kortikal. Pada tulang spongiosa atau tulang rawan epifisis tidak terasa krepitasi. Selanjutnya kita memeriksa seberapa jauh gangguan fungsi, gerakan-gerakan yang tidak mampu dilakukan, range of motion dan kekuatan serta kita melakukan pemeriksaan untuk melihat apakah ada gerakan tidak normal atau tidak. Gerakan tidak normal merupakan gerakan yang tidak terjadi pada sendi, misalnya pertengahan femur dapat digerakkan. Ini adalah bukti paling penting adanya fraktur yang membuktikan adanya putusnya kontinuitas tulang sesuai definisi fraktur. Hal ini penting untuk membuat visum, misalnya bila tidak ada fasilitas pemeriksaan rontgen.2

Pemeriksaan Radiologis Untuk fraktur-fraktur dengan tanda-tanda klasik, diagnosis dapat dibuat secara klinis sedangkan pemeriksaan radiologis tetap diperlukan untuk melengkapi deskripsi fraktur dan dasar untuk tindakan selanjutnya. Untuk fraktur-fraktur yang tidak memberikan tanda-tanda klasik memang diagnosanya harus dibantu pemeriksaan radiologi baik rontgen atau pun dengan melakukan pemeriksaan canggih seperti MRI, misalnya untuk fraktur tulang belakang dengan komplikasi neurologis. Foto rontgen minimal harus 2 proyeksi yaitu AP dan lateral. AP dan lateral harus benar-benar AP dan lateral, jika ada posisi yang salah akan memberikan interprestasi yang salah. Untuk pergelangan tangan atau sendi panggul diperlukan posisi axial pengganti lateral. Untuk acetabulum diperlukan proyeksi khusus alar dan obturator. Pemeriksaan radiologis dapat menggunakan bantuan x-ray image yang berdasarkan rules of two yang meliputi 2 posisi (AP dan LAT), 2 sendi (sendi atas dan bawah tulang yang patah) dan 2 ekstremitas (kanan dan kiri) seperti pada gambar 1 dan terutama pemeriksaan pada anak yang lempeng pertumbuhan masih aktif. Pemeriksaan x-ray image ini harus dilakukan 2 kali yaitu sebelum tindakan dan sesudah tindakan. Pada pemeriksaan radiologis ini dengan

pembuatan foto rontgen 90 derajat didapatkan gambaran garis patah. Pada patah yang fragmennya mengalami dislokasi, gambaran garis patah biasanya jelas.4,6

Gambar 1 : Hasil rontgen dari pemeriksaan radiologis. Tampak greenstick pada anak. Difoto dengan mengambil 2 sendi distal dan proksimal.

Dalam banyak hal, pemeriksaan radiologi tidak dimaksudkan untuk diagnostik karena pemeriksaan klinisnya sudah jelas, tetapi untuk menentukan pengelolaan yang tepat dan optimal. Foto tontgen juga harus memenuhi beberapa syarat, yaitu letak patah tulang harus dipertengahan foto dan sinar harus menembus tempat ini secara tegak lurus karena foto rontgen merupakan foto gambar bayangan. Bila sinar menembus secara miring, gambar menjadi samar, kuarang jelas, dan lain kenyataan. Harus selalu dibuat dua lembar foto dengan arah yang saling tegak lurus. Pada tulang, panjang persendian proksimal maupun distal harus turut difoto seperti yang saya jelaskan diatas. Bila ada kesangsian atas adanya patah tulang atau tidak, sebaiknya dibuat foto yang sama dari anggota gerak yang sehat untuk perbandingan. Bila tidak diperoleh kepastian adanya kelainan, seperti fisura, sebaiknya foto diulang setelah satu minggu dimana retak akan menjadi nyata karena hiperemia setempat sekitar tulang yang retak itu akan tampak sebagai dekalsifikasi.1

Working Diagnosis Diagnosis fraktur antebrachii ditegakkan atas dasar anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yaitu radiologis. Pada anak biasanya diperoleh dengan alloanamnesis dimana ditemukan adanya riwayat trauma dan gejala-gejala seperti nyeri, pembengkakan,

perubahan bentuk dan gangguan gerak. Pada pasien dengan riwayat trauma yang perlu ditanyakan adalah waktu terjadinya, cara terjadinya, posisi penderita dan lokasi trauma. Bila tidak ada riwayat trauma berarti merupakan fraktur patologis. Pada fraktur antebrachii kita dapat menduga apakah anak tersebut terkena fraktur monteggia ataukah fraktur galeazzi. Fraktur monteggia merupakan fraktur sepertiga proksimal ulna disertai dislokasi ke anterior, lateral dan juga posterior dari kapitulum radius (pada gambar 2). Penyebabnya biasanya trauma langsung terhadap ulna. Pengobatan dengan cara konservatif biasanya berhasil pada anak, tetapi metode operatif sering men jadi pilihan pada orang dewasa.

Gambar : fraktur ulna dengan luksasi kaput radius

Sedangkan fraktur galeazzi merupakan fraktur distal radius disertai dislokasi atau subluksasi sendi radioulnar distal (gambar 3). Terjadinya fraktur ini biasanya aklibat trauma langsung sis lateral letika jatuh. Gambaran klinisnya bergantung pada derajat dislokasi fragmen fraktur. Bila ringan, nyeri dan tegang hanya dirasakan pada daerah fraktur dan bila berat biasanya terjadi pemendekan lengan bawah. Pengobatan secara konservatif mungkin kurang memuaskan, dan bila demikian, terapi bedah menjadi pilihan.

Gambar 3 : Fraktur galeazzi pada patah tulang radius dan dislokasi sendi ulnar distal.

Komplikasi Komplikasi dapat berupa komplikasi umum, lokal atau sistemik meliputi komplikasi dini atau lambat, oleh trauma atau akibat pengobatan. Komplikasi umum meliputi crush syndrome, deep venous thrombosis, gas gangrene dan emboli lemak. Crush syndrome terjadi karena trauma keras yang menyebabkan otot hancur. Penderita yang terkena crush syndrome dapat menderita kontinensia urin akibat dari otot yang hancur mengeluarkan acid myohaetamin yang akan menyebabkan kebuntuan pada tubulus sehingga penderita dapat menderita acute tubular necrosis. Untuk terapi kita harus melakukan amputasi atau rena dialysis untuk menyelamatkan nyawa penderita. Gas gangrene dapat terjadi karena infeksi dari clostridium perfringens yang terpaksa bagian tubuh orang yang terkena infeksi ini harus diamputasi. Berikutnya emboli lemak yang timbul setelah patah tulang, terutama tulang panjang. Embolus lemak dapat timbul akibat pajanan sumsum tulang, atau dapat terjadi akibat aktivasi sistem saraf simpatis yang menimbulkan stimulasi mobilisasi asam lemak bebas setelah trauma. Embolus lemak yang timbul setelah patah tulang panjang sering tersangkut disirkulasi paru karena ada robekan dari pembuluh balik yang mempunyai daya tarik kembali terhadap darah-darah kotor yang keluar dari pembuluh balik yang juga mengikut serertakan lemak yang dapat menimbulkan gawat napas dan gagal napas. Berikutnya, komplikasi lokal yang meliputi komplikasi dini dan lambat. Komplikasi dini meliputi komplikasi dini tulang, dini jaringan lunak dan dini sendi. Komplikasi dini tulang misalnya dapat terjadi infeksi pada tulang. Komplikasi dini jaringan lunak misalnya adanya kelepuhan pada kulit, luka akibat plester, terjadi robekan pada otot serta tendon dan sindrom kompartemen yang ditandai oleh kerusakan atau destruksi saraf dan pembuluh darah yang disebabkan oleh pembengkakan dan edema di daerah fraktur. Komplikasi dini sendi misalnya terjadi haemarthrosis dan infeksi. Sedangkan komplikasi lambat meliputi lambat tulang, lambat jaringan lunak dan lambat sendi. Komplikasi lambat tulang misalnya terjadi avaskular nekrosis, non-union, delayed union, atau mal-union yang menimbulkan deformitas atau hilangnya fungsi. Komplikasi lambat jaringan lunak misalnya terjadi bed sores karena tidur lama yang menyebabkan luka ulkus pada bagian gluteus, myositis ossifikasi dimana otot mengalami perkapuran, tendinitis (iritasi dan pembengkakan) serta juga ruptur tendon (tendon pecah), penyempitan saraf misalnya nervus ulnaris akibat terjadi fraktur pada daerah siku dan juga dapat terjadi volkmans contracture yaitu terjadi pelisutan otot jari sehingga terjadi kontraktur pada jarijari. Terakhir dapat terjadi komplikasi lambat pada sendi misalnya ketidakstabilan pada sendi, kekakuan pada sendi, dan algodistrofi (nyeri pada sendi).1,3

Komplikasi lambat yang tersering adalah salah-taut dan apabila salah-tautnya berupa angulasi disertai dengan ketidaksejajaran radius dan ulna, akan terjadi gangguan gerak pronasi dan supinasi. Komplikasi lain adalah terbentuknya sinostosis atau jembatan kalus yaitu kalus antara radius dan ulna sehingga kemungkinan supinasi dan pronasi hilang. Perlu diketahui bahwa kalus merupakan hiperkeratosis setempat yang umumnya berbentuk kurang lebih bundar akibat gesekan kronik. Biasanya kelainan ini timbul di atas penonjolan tulang dan akan hilang sendiri bila gesekan kronik tadi dihentikan. Pada anak, dengan timbulnya kalus ini akan disertai proses pengaturan kembali pertumbuhan epifisis sehingga sudut patahan akan pulih sampai derajat tertentu.2

Patofisiologi a. Patogenesis Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan (Apley, A. Graham, 1993). Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang (Carpnito, Lynda Juall, 1995). Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya (Black, J.M, et al, 1993).2,4 b. Proses penyembuhan Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium penyembuhan tulang, yaitu pada gambar 4.

Gambar 4 : stadium penyembuhan tulang 1. Kerusakan jaringan dan pembentukan hematoma Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Sel-sel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24 48 jam dan perdarahan berhenti sama sekali.3 2. Inflamasi dan proliferasi seluler Pada stadium ini dalam 8 jam terjadi inflamasi akut dan terjadi proliferasi serta differensiasi sel menjadi fibro kartilago yang berasal dari periosteum,`endosteum,dan bone marrow yang telah mengalami trauma. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yang menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya.3 3. Pembentukan Kallus (tulang muda) Sel-sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat pada permukaan endosteal dan

10

periosteal. Sementara tulang yang imatur (anyaman tulang ) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4 minggu setelah fraktur menyatu.3 4. Konsolidasi Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celahcelah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang normal.3 5. Remodelling Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae yang lebih tebal diletidakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur yang mirip dengan normalnya.(Black, J.M, et al, 1993 dan Apley, A.Graham,1993).3 Etiologi Fraktur dapat disebabkan karena oleh trauma, non trauma dan stress. Trauma dapat dibagi menjadi trauma langsung dan trauma tidak langsung. Trauma langsung berarti benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur di tempat itu, sedangkan trauma tidak langsung bila titik tumpuan benturan dengan terjadinya fraktur bergantian. Non Trauma fraktur terjadi karena kelemahan tulang akibat kelainan patologis didalam tulang, non trauma ini bisa karena kelainan metabolik atau infeksi. Fraktur stress terjadi karena trauma yang terus-menerus pada suatu tempat tertentu.4

Gejala Klinis Fraktur antebrakius pada anak paling sering berupa patah dahan hijau/muda (pada gambar 3). Biasanya tampak angulasi anterior dan biasanya kedua ujung tulang yang patah masih berhubungan satu sama lain. Secara klinis anak mengeluh sakit pada lengan bawahnya sehingga tidak mau menggerakkan tangannya.1

11

Gambar 5 : fraktur greenstick pada anak Penanganan Patah tulang pada anak termasuk dalam golongan Relative Stability yaitu hanya dilakukan penanganan tindakan pemasangan gips 3-4 minggu atau imobilisasi dari luar karena pada anak epifisis tulang pertumbuhan dan osteoblast masih sangat aktif sehingga memungkinkan terbentuknya kalus. Pada fraktur yang tidak berubah posisinya dilakukan pemasangan gibs diatas siku selama 3-4 minggu. Pada fraktur yang posisinya berubah harus dilakukan reposisi tertutup untuk kemudian dipasang gibs di atas siku. Tindakan reposisi dilakukan untuk mengembalikan tulang yang patah kearah/alignment yang benar, pengembalian fragment distal terhadap proksimal dan mengembalikan kedudukannya kearah yang benar serta untuk menjamin keadaan neuvaskular terjamin baik kembali. Untuk fraktur radius ulnar proksimal, lengan bawah diimobilisasi dalam gips pada posisi supinasi. Posisi ini dimaksudkan untuk mengatasi rotasi radius dan mengendurkan otot supinator. Fraktur bagian distal umumnya diimobilisasi dalam posisi pronasi dan patah tulang bagian tengah dalam posisi netral. Akan tetapi, pada umumnya fraktur kedua tulang radius dan ulna sulit untuk dilakukan reposisi tertutup dengan baik sehingga diperlukan operasi reposisi terbuka dan fiksasi internal. Tindakan fiksasi internal dilakukan dengan pemasangan kirschner wire, plate dan screw serta nail. Reposisi terbuka juga lebih sering diperlukan pada patah tulang yang disertai dislokasi sendi.1,3

12

Prognosis Pada kasus fraktur, prognosisnya bergantung dari tingkat keparahan serta tata laksana dari tim medis terhadap pasien dengan korban fraktur. Jika penanganannya cepat, maka prognosisnya akan lebih baik. Begitu juga sebaliknya. Sedangkan dari tingkat keparahan, jika fraktur yang di alami ringan, maka proses penyembuhan akan berlangsung dengan cepat dengan prognosis yang baik. Tapi jikalau pada kasus yang berat prognosisnya juga akan buruk.bahkan jikalau parah, tindakan yang dapat di ambil adalah cacat fisik hingga amputasi. Selain itu penderita dengan usia yang lebih muda akan lebih bagus prognosisnya di banding penderita dengan usia lanjut.

13

PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil pembelajaran yang dikaji, dapat disimpulkan bahwa hasil hipotesis yang disepakati dapat diterima. Pengujian hipotesis dilakukan dengan analisa terhadap anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, working diagnosis, differential diagnosis, patofisiologi, etiologi, penatalaksanaan, komplikasi, prognosis, epidemologi, dan pencegahan pada fraktur radius-ulna.

14

Daftar Pustaka

1. Price Sylvia A, Wilson Lorraine M. Patofisiologi. Vol. 2 Ed 6. Jakarta : EGC; 2006.h. 1365-71. 2. Gleadle Jonathan. At a glance. Anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta : Erlangga; 2007.h. 16. 3. Corwin Elizabeth J. Buku saku patofisiologi. Ed 3. Jakarta: EGC; 2009 4. Departemen farmakologi dan terapeutik FKUI. Farmakologi dan terapi. Ed 5. Jakarta: FKUI; 2009.h. 210-42. 5. Rasjad C. Buku pengantar Ilmu Bedah Ortopedi edisi III. Makassar: Yarsif Watampone 2007.h. 352-489. 6. Gunawan SG, Nafrialdi RS, Elysabeth. Farmakologi dan terapi. Edidi ke 5. Jakarta: FKUI;2007.h.210-46.

You might also like