You are on page 1of 11

PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN BAHASA

SOSIOLINGUISTIK








OLEH:
ULIN DARA SARI
10601020021




PENDIDIKAN BAHASA, SASTRA DAN DAERAH INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS BORNEO NEGERI TARAKAN
2011


BAB XII
PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN BAHASA

Sosioliguistik rnerupakan salah satu cabang linguistik terapan (applied linguistics).
Baik secra terpisah maupun terpadu, kedua disiplin ilmu bahasa ini sama-sama merupakan
masalah pendidikan dan pengajaran bahasa sebagai bidang kajian yang sangat penting
Bahkan menurut Pateda ( 1991 : 30), dalam perkembangan terakhir tampak bahwa kajian
linguistik terapan cenderung lebih diarahkan pada bidang pendidikan dan pengajaran bahasa.
Hal ini jelas dengan munculnya kajian khusus linguistik terapan dan bidang penelitian, yaitu
linguistik pendidikan (education linguistics).

Kendaripun secara terminologis. penggunaan istilah 'pendidikan dan 'pengajaran
memperlihatkan perbedaan konsep tetapi dalam konteks ini kami tidak memahaminya
sebagai dua persoalan yang berdiri sendiri' Keduanya saling menopang dan pada segi tertentu
terkadang bisa saja ditumpang tindih partial overlapping Oleh karena itu' harap maIhum' jika
kami menggunakan istilah 'pengajaran atau 'pendidikan secara terpisah' pada hakikatnya
kami telah
membicarakannya dalam konteks yang sama. Hal semacam ini juga berlaku ketika kami
menggunakan istilah 'pengajaran dan 'pembelajaran. sungguh pun titik berat kedua konsep
ini memang berbeda.

Bertolak dari pemahaman sederhana di atas' selanjumya kami akan membahas
berbagai persoalan yang terkait dengan bidang pengajaran bahasa sebagai salah satu kajian
sosiolinguistik maupun linguistik teraPan' Namun begitu, perubahan ini sudah tidak mungkin
lepas dari persoalan dan pengajaran dan pendidikan pada umumnya. Pembahasan awal,
berikut ini akan disajikan beberapa variasi pengajaran bahasa beserta prinsip dasar yang harus
dipahami seorang guru.





Variasi pengajaran bahasa
Sebagai mana jika berlaku dalam dunia pendidikan dan pengajaran pada umumnya,
adalah sejumlah komponen atau variabel turut menentukan keberhasilan proses belajar
mengajar bahasa Chaer dan Aqustina (l995 : 296), misalnya telah menyebutkan adanya
empat variabel penting dalam pengajaran bahasa, yaitu :
1) Murid
2) Guru
3) Bahan pembelajarn
4) Tujuan pengajaran
Namun, berdasarkan pandangan yang lebih makro keempat komponen rersebut
tampaknya barulah sebagian dari serangkaian variabel yang lebih menyeluruh. Tarwaran
yang agak rinci dikemukakan oleh Djamarah dan Zain (1997: 48-60), meskipun tidak
dimaksudkan sebagai komponen-komponen khusus dalam bidang pengajaran bahasa.
Ada tujuh variabel yang mereka kemukakan, yaitu :
1) Tujuan
2) Bahan pengajaran
3) Kegiatan
4) Metode
5) Alar pelajaran,
6) Sumber belajar
7) Evaluasi
Berdasarkan kedua pendapat tersebut, berikut ini kami coba menguraikan masalah
variabel pengajaran bahasa dengan sedikit modiIikasi.
Menurut substansinya, suatu kegiatan belajar mengajar akan terjadi jika
melibatkan tiga komponen utama yang terdiri dari siswa, guru, dan bahan pelajaran.
Namun demikian, dalam lembaga pendidikan Iormal ketiga komponen tersebut dipandang
belum memadai sebagai prasyarat terciptanya suatu kegiatan belajar mengajar yang baik.
Ada sejumlah komponen pendukung yang turut menentukan keberhasilan kegiaran
belajar mengajar. paling tidak, komponen-komponen dimaksud terdiri dari tujuan, modia,
dan alat, metode dan pendekatan, serta evaluasi. Keempat komponen pndukung ini
biasanya sudah tercakup datam kurikulum dan semuanya bersiIat Iungsional.

Dalam konteks pengajaran bahasa, siswa dipandang sebagai subjek ajar yang
harus diperlakukan sebagai individu dangan segala kelebihan dan kekurangannya masing-
masing. Mereka mempunyai potensi linguistik yang perlu digali dan dikembangkan
secara maksimal, mereka juga memiliki perbedaan kapasitas intelektual, serta latar
belakang kehidupan masing-masing. Perbedaan individu ini mutlak harus di
pertimbangkan oleh setiap guru agar belajar bahasa dapat berjalan lebih eIektiI.
Kenyataan ini menuntut kemampuan inovatiI.

Dalam konsep pendidikan modern, peran guru tidak lagi terhatas pada tugas tugas
training, intructing, indoctrinating semata (Hidayat dkk, 1990: 6). Sebagai subjek ajar,
para siswa tidak mungkin diandaikan sebagai robot yang dapat diperlakukan secara
mekanis. Oleh karena itu, dalam pandangan humanistis, dewasa ini peran seorang
pendidik lebih pada tugas-tugas, sebagai Iasilitator, motivator, dan konselor. Untuk itulah
dalam konteks pengajaran bahasa, setiap guru dituntut agar selalu berinisiatiI dalam
rangka lebih memperluas wawasan keimuannya. Mereka tidak saja harus menguasai teoti-
teori linguistik. Tetapi juga harus mengikuti perkembangan teori-teori terbaru dalam
bidang-bindang lain yang terkait dengan masalah pendidikan pada umumnya.

Dalam kurikulum yang lebih mutakhir, komponen-komponen pengajaran seperti
bahan dan sumber belajar, media dan alat peraga, metode dan pendekatan, serta teknik
evaluasi tidak lagi dicantumkan secara jelas. Demikian juga masalah pengalokasian
waktu pelajaran Hanya tujuan pengajaran yang telah dirumuskan secara eksplisit Hal ini
dimaksudkan agar ruang gerak guru dapat lebih leluasa dalam upaya mengelola kegiatan
belajar mengajar, Setiap guru dapat mempertimbangkan Iaktor-Iaktor yang bersiIat lokal,
sesuai dengan ituasi dan kondisi sekolah masing-masing. Bahkan pertimbangan tersebut
dapat juga dikaitkan dengan masalah perbedaan individu setiaP siswa.

Pemilihan bahan dan sumber belajar bahasa bersiIat Ileksibel. Jika seorang guru
memiliki kemampuan lebih, ia dapat menyusun sendiri materi pelajaran yang akan
disajikan dan dianggap paling relevan dengan kondisi siswa maupun lingkungan
belajarnya. Sumber belajar siswa bisa didapatkan dari buku-buku, majalah, koran, radio,
televise, internet, lingkungan alam, dan lain-lain juga masalah media dan alat peraga,
cukup hanya Iasilitas yang dapat dimanIaatkan. Demikian juga masalah metode dan
pendekatan yang sudah dikenal baik, bahkan jika memang berdasarkan hasil telaah dan
pengalamannya sendiri. Hal yang sama berlaku pula untuk menentukan teknik evaluasi.
Namun. perlu diperhatikan bahwa kegiatan evaluasi bahasa hendaknya lebih diarahkan
pada kemampuan menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi, sebagaimana yang
diisvaratkan dalam pendekatan pragmatik-komunikatiI.

Seperti telah disinggung di atas, keberhasilan proses belajar mengajar juga sangat
dipengaruhi oleh laktor lingkungan, baik lingkungan belajar maupun lingkungan tempat
tinggal siswa. Suatu sekolah yang cukup konsisten menggunakan bahasa sasaran, baik di
dalam kelas maupun di luar kelas, akan sangat mendukung keberhasilan belajar bahasa
para siswanya Demikian pula, siswa yang tinggal di lingkungan keluarga atau masyarakat
yang setia menggunakan bahasa lndonesia sudah tentu membawa dampak positiI bagi
perkembangan perrguasaan bahasa lndonesia siswa yang bersangkutan. Selain dari Iaktor
bahasa, lingkungan belajar yang bising pasti akan berpengaruh buruk pada kondisi belajar
mengajar di sekolah tersebut.

Kecuali berbagai variabel pengajaran di atas, seonang guru seyogianya juga
memahami prinsip-prinsip dasar pengajaran, baik yang berkaitan dengan aspek psikologis
maupun aspek metodologisnya. Aspek psikologis berhubungan dengan Iaktor motivasi,
pengalaman, keingintahuan, pemecahan masalah dan berpikir analisis-sintesis, dan
perbedaan individual. Sedangkan aspek metodologis terutama berkaitan dengan masalah
strategi belajar mengajar. Aspek ini antara lain meliputi prinsip dari yang mudah ke yang
sukar, dari yang sederhana ke yang kompleks, dari yang dekat ke yang jauh, dari pola ke
unsur dari penggunaan ke pengetahuan, menurut masalah dan bukan kebiasaan serta
berdasarkan kenyataan bukan rekayasa. (bdk. Chaer dan Agustina, 1995: 271-277),
Secara umum, prinsip metodologis ini harus dipraktekkan secara hierarkis.

Tujuan Pengajaran Bahasa
Tujuan pengajaran erat kaitannya dengan tujuan belajar bahasa dan Iungsi-Iungsi
bahasa, Ada orang belajar bahasa dengan tujuan untuk memahami suatu teks bacaan,
untuk kemampuan berbicara atau berdiplomasi untuk menerjemahkan buku-buku
berbahasa asing, untuk kegiatan menulis kreatiI, sekedar mengikuti mode demi gengsi
social, atau untuk tujuan-tujuan khusus lainnya. Terkait dengan Iungsi bahasa, tujuan
belajar bahasa seseornag bisa jadi untuk pengembangan intelektual, emosional, kultural,
interoersonal, instrumental, atau untuk tujuan artistik. (bdk' chaer dan Agustina, 1995:
278; nababan, 1993: 64-66). Namun, secara umum tujuan belajar mengajar pada
dasarnya selalu mengacu pada Iungsi bahasa sebagai alat komunikasi dan interaksi sosial.


Dalam konteks pendidikan Iormal, tujuan pengajarah bahasa tidak lepas dari tujuan
pendidikan nasional. Tujuan pengajarah bahasa Indonesia harus dikaitkan dengan
masalah kedudukan bahasa secara nasional. Di Indonesia, dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara dengan kondisi masyarakat yang sangat plural (multilingual, multikultural ,
multirasila) dan berciri diglosik, ada tiga macam bahasa dengan status berbeda:
1) bahasa Indonesia,
2) bahasa daerah' dan
3) bahasa asing.

Bahasa lndonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi
Negara. Bahasa lndonesia digunakan dalam berbagai situasi resmi kenegaraan dan
sebagai alat komunikasi inrabangsa' Bahasa daerah yang merupakan bahasa perama
(bahasa-ibu) untuk sebagian besar masyarakat Indonesia hanya digunakan dalam situasa-
situasi kedaerahan atau sebagai alat komunikasi intrasuku. Sedangkan bahasa asing dalah
bahass8has? yrng ber:asar dari tuar, selain bahasa rndonesia dan bahasa-bahasa daerah.
Bahasa asing digunakan daram kaitannya dengan kepentingan komunikasi internasionar
atau untuk menggari dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni-budaya
(chaerdan Agustina. 1995:278-279).

Tujuan pengajaran bahasa juga harus dikaitkan dengan tujuan institusionar
lembaga pendidikan masing-masing. oreh karena itu, ada pengajaran bahasa yang
berujuan untuk kerancaran hubungan diplomatik, hubungan kemasyarakatan,manjaring
nasabah, komunikasi bisnis, mendalami suatu kebudayaan, peneritian ilmiah, atau untuk
kepentingan pendidikan dan pengajaran. Namun, mengacu pada Laporan Komisi
Pembaharuan pendidikan Nasionar (1990) dan rumusan Nostrand (1966)' tujuan
pengajaran bahasa dapat dibagi ke daram empat golongan utama, yaitu l). tujtnn
pengojaran, 2). tujuan instrumenrar, 3). tujuan inregrati, dan 4). Tujuan kebudayaan
(nababan, 1993 : 64-46).

Tujuan .penalaran menyangkut kesanggupan berpikir serta mengungkapkan nilai-
nilai dan sikap sosial budaya. Hal ini erat kaitannya dengan masalah identitas dan
kepribadian seseorang. Tujuan instrumentar menyangkut penggunaan bahasa sebagai
suatu media keilmuan dan penguasaan suatu keterampilan teknis. Tujuan intergratiI
menyangkut keinginan seseorang untuk menjadi bagian suatu kelompok masyarakat yang
menggunakan bahasa sasaran. Sedangkan tujuan kebudayaan berhubungan dengan
keinginana seseorang untuk mengetahui, memahami, dan mendalami suatu kebudayaan
atau pola kehidupan masyarakat teitentu. Hal ini tampak jelas pada kaum antropolog atau
sosiolog.
Berdasarkan uraian di atas, kini jeras bagi kita bahwa tujuan pengajaran atau
belajar bahasa itu berbeda-beda. Tujuan pengajaran bahasa rndonesia harus mengacu
pada tujuan pendidikan nasionar, di samping juga harus mempertimbangakan tujuan
institusional lembaga pendidikan masing-masing.

Pengajaran Bahasa Kedua
sebagaimana telah disebitkan terdahulu' bangsa lndonesia termasuk masyarakat
murtiringuar, yakni kehidupan masyarakat yang menggunakan lebih dari satubahasa.
Sebagian besar rakyat lndonesia tidak lahir dari bahasa lndonesia, tetapi justeru dari
bahasa-ibunya masing-masing yang sangat beragam itu. Oleh karena itu, kedudukan
bahasa lndonesia pada umumnya dipandang sebagai bahasa kedua dalam konteks
pendidikan dan pengajaran bahasa di sekolah-sekolah, mulai dari tingkat sekolah dasar
hingga ke perguruan tinggi. Kenyataan ini sudah tentu akan menimbulkan berbagai
problem asosiolinguistik, terutama meyangkut persoalan lnterIerensi bahasa daerah
terhadap pengajaran bahasa Indonesia. InterIerensi bisa terjadi pada tataran Ionologi,
morIologi, maupun sintaksis.

Pada tataran Ionologi, kesalahan baik dalam konsep eror dan mistake. sering kali
terjadi dalam kaitannya dengan pelaIalan Ionem-Ionem tertentu dalam kata-kata Bahasa
Indonesia sebagai pengaruh kebiasaan berbahasa daerah. Misalnya, anak-anak yang lahir
dan besar dalam tradisi bahasa Banjar Hulu cenderung mengucapkan katakata, 'botol,
'sekolah, dan 'merdeka. Dengan laIal huruI 'butul, 'sakulah, dan 'mardika. Sebab
dalam Ionologi bahasa banjar Hulu hanya dikena ltiga vocal, yaitu lal, lil, dan/u/. vokal /e/
pepet cenderung lebur ke dalam vokal /a/, /e/ taleng ke dalam /i/, dan /o/ ke dalarn /u/,
kesalahan serupa juga sangat mungkin terjadi pada siswa-siswa yang berbahasa-ibu Jawa,
Sunda, Batak, Bugis, dan lain-lain.

Pada tataran morIologi, kesalahan sering terjadi dalam kata-kata bentukan.
Kesalahan proses morlogis ini merupakan hasil transper negative dari system morIologi
Bahasa daerah masing-masing kedalam kata-kata bentukan bahasa lndonesia. Ketika
mengarang, misalnya anak-anak Banjar cenderung menuliskan kata ''sekolah. Dengan
"sekolahan". Hal yang tampaknya juga terjadi pada anak-anak Jawa dan Betawi.

Dalam bentuk yang berbeda, kesalahan morIologis semacam itu mungkin pula
terjadi pada siswa-siswa lain dengan latar belakang bahasa daerah yang berbeda-beda.
Pada tataran sintaksis, kesalahan sering pula terjadi dalam bentuk struktur kalimat yang
menyimpang dari kaidah atau pola kalimat bahasa lndonesia. Sebagai contohn anak-anak
Jawa sering menucapkan kalimat seperti "Rumah Joko yang besar sendiri", menurut
struklur bahasa lndonesia, kalimat tersebut seharusnya berbunyi "Rumah Joko yang
paling besar". Namun, kesalahan sintaksis ir.i terjadi sebagai hasil interIerensi strukrur
kalimat bahasa Jawa, yaitu "omah Joko sing gede dewek. Kesalahan serupa juga terjadi
pada anak-anak Sunda ketika mereka mengucapkan kalimat "Buku saya ada yang curi".
Struktur kalimat ini merupakan bentuk transIer negatiI dari sistem sintaksis bahasa sunda,
yaitu "Buku kuring uya nu maling". Padahal, menurut struktur bahasa lndonesia yang
benar, susunan kalimat tersebut berbunyi "Buku saya dicuri orang". Kesalahan serupa
mungkin pura sering dilakukan oleh siswa-siswa yang berbahasa Kutai, Bakumpai, ngaju,
dan lain-lain.

Dalam konteks pengajaran bahasa kedua, kesalaha-kesalahan di atas merupakan
bentuk transIer negatiI (interIerensi) bahasa daerah ke dalam bahasa lndonesia. Namun, di
samping transIer negatiIi, bahasa-bahasa daerah juga dapat memberikan kemudahan bagi
para pembelajar bahasa lndonesia dalam bentuk rransl'er positiInya. Hal ini akan terjadi
jika terdapat beberapa segi kesamaan atau kemiripan sistem Ionologi, morIologi. maupun
sintaksis antara bahasa lndonesia dengan bahasa daerah bersangkutan.

Kesalahan-kesalahan akibat interIerensi bahasa daerah seperti di atas sebenarnya
dapat diatasi melalui pendekatan linguistik kontrastiI dan analisis kesalahan berbahasa.
Pendekatan linguistik kontrastiI bertuj untuk mengidentiIikasikan perbedaan bahasadan
bentuk-bentuk kesalahan yang sering dilakukan siswa. Adapaun tujuan analisis kesalahan
berbahasa bersiIat aplikatiI, yakni memperbaiki dan mengurangi kesalahan berbahasa
pada siswa (Tarigan, l990: 77). Namun, pendekatan ini hanya dilakukan sejauh pandang
perlu' Sebdb' perbedaan antarbahasa tidak seialu berarti kesukaran dan interIerensi bukan
penyebab utama kesalahan berbahasa.

Pendekatan Pragmatik dan KomunikatiI
Dalam dunia pendidikan di lndonesia' khususnya bidang pengajaran bahasa' istilah
"pragmatik" baru dikenal sejak diberlakukannya Kurikulum 1984, sebagai sesuatu yang
baru, banyak dari kalangan praktisi pendidikan yang mengalami kekaburan konseptual
terhadap sosok pragmatik, Sejauh pengamatan Bambang Kaswanti Purwo, konsep
pragmatic menurut pemahaman, saat ini dapa tdibedakan menjadi dua kategori, yaitu l)
pragmatik sebagai sesuatu yang diajarkan, 2) ragmatik sebagai sesuatu yang meWarnai
kegiatan mengajar' Sementara itu' konsep yang kedua ini masih dapat dibagi menjadi dua
kategori lagi' yaitu (2a) pragmatik ,sebagai bidang kajian ilmu linguistik dan (2b)
pragnatik sebagai salah satu aspek bahasa yang lazim disebut "Iungsi'komunikasi"
(Sumardi, 1996: 1l2). Berdasarkan telaah terhadap Kurikulum l9S4 (GBPP Bahasa dan
Sastra lndonesia), secara implicit dapat kita pahami bahwa konsep pragmatic seolah-olah
mengacu pada pengertiannya sebagai sesuatu yang diajarkan. Asumsi ini dikuatkan 0leh
kenyataan bahwa pragmatic disebut secara eksplisit sebagai salah satu pokok bahasan
dalam mata pelajaran Bahasa danSastra lndonesia, disamping lima pokok bahasan lainnya
(membaca.kosakat, struktur, menulis, serta apresiasi bahasa dan sastra), yang secara
konstan mengisi setiapun it pelajaran, Kenyataan ini membawa pengaruh kesalah taIsiran
pada sebagian guru bahasa di sekolah-sekolah kita, mulai dari tingkat SD sampai dengan
SLTA. Dalam pemahaman yang sempit, banyak guru bahasa yang beranggapan bahwa
materi pragmatik hanya diisi dengan kegiatan pengajaran keterampilan berbicara
(berbahasa lisan)' sebagaimana tampak pada buku-buku teks wajib maupun pelengkap
yang berlaku pada saat ini. Sebab, pengajaran keterampilan menulis memang sudah
terkavling dalam satu pokok bahasan tersendiri. Padahal, jika kita telaah lebih mendalam,
jelas bahwa konsep pragmatik sebenamya mencakup kegiatan berbicara dan menulis.
Sebab, secara kcinseptual, pragmatic Sesungguhnya lebih dirnaksudkan sebagai suatu
pendekatan dalam pengajaran bahasa, bukan sebagai materi yang harus diajarkan.

Paradigma metodologis semacam itu mengisyaratkan bahrva pragmatik
seyogianya dipahami sebagai seatu konsep yang harus menjiwai seluruh kegiatan
pengajaran bahasa. Dalam pengertian inilah pragmatik bisa dikatakan identik dengan
masalah pokok sosiolinguistik, yakni "siapa yang berbicara dengan siapa, melalui jalur
apa, dengan tujuan apa, dan dalam situasi yang bagaimana?" Jadi, pendekatan pragmatik
pada dasarnya menghendaki agar pengajaran bahasa lebih diarahkan pada kegiatan
penggunaan bahasa secara kontekstual, sesuai dengan Iungsinya sebagai alat komunikasi
dan inreraksi sosial. Konsep semacam ini pula yang kemudian dikembangkan dalam
Kurikulum 1994 (GBPP Bahasa Indonesia) dengan menggunakan istilah baru, yakni
pendekatan komunikatiI.

Kehadiran Kuriku lum I 994 merupakan bentukpenyempumrun dari kurikulum
sebelumnya. Kendatipun istilah pragmatik tidak lagi disebutkan secara eksplisit dalam
CBPP Bahasa lndonesia. tetapi bukan berarti bahrva konsep pragmatik sudah ditiadakan
sama sekali. Sebab. dalam banyak hal. antara konsep pragmatik dan pendekatan
komunikatiI pada hakikatnya masih setali tiga uang. Kedua pendekatan ini sama-sama
bertolak pada pentingnya aspek penggunaan bahav (lunguage usel di dalam pengajaran
bahasa, bukan pada aspek pengetahuan atau kaidah-kaidah bahasa (language use)
sebagaimana dalam pandangan struktural. Hal ini berarti bahwa pengajaran bahasa juga
mesti mempertimbangkan masalah Iungsi bahasa, ragam dan variasi bahasa, serta konteks
berbahas(yang menuntut para penutur agar memilih bentuk yang lebih relevan.

Sasaran pengajaran bahasa dengan pendekatan komunikatiI (communicative
language teaching) adalah tercapairiya kompetensi komunikatiI (communicative
compelence),yaitu kemampuan seseorang dalam menggunakan suatu bahasa yang secara
sosial dapat diterima dan memadai- sebagaimana dapat kita rujuk pada penjelasan
Harimurti Kridalaksana (Sumardi. 1996: 73). Dengan demikian, dalam pengajaran bahasa
parasiswa tidak dituntut harus selalu menggunakan ragam bahasa baku dalam setiap
kesempatan berkomunikasi. Sebab, dalam pandangan komunikatiI bukan kebenaran
kaidah bahasa yang dipentingkan, melainkan berterimanya ragam bahasa yang digunakan
dalam suatu peristiwa komunikasi' Oleh karena itu, masalah evaluasi bahasa juga
seyogianya mengacu pada konsep dasar pendekatan komunikatiI.

You might also like