You are on page 1of 5

Perkembangan Etnis Tionghoa di Indonesia Masa Kolonial Orang Tionghoa Indonesia telah mengalami perlakukan diskriminatif sejak zaman

n colonial Belanda. Belanda membagi masyarakat dalam tiga golongan: pertama, golongan Eropa atau Belanda; kedua timur asing China termasuk India dan Arab; dan ketiga pribumi yang dibagi-bagi lagi dalam suku bangsa hingga muncul Kampung Bali, Ambon, Jawa dan lain-lain. Ini adalah usaha yang sengaja dilakukan oleh penjajah Belanda untuk mempertahankan keterpisahan masyarakat Tionghoa dan penduduk Pribumi yang disebut Divide and Rule. Usaha ini dimaksudkan penjajah Belanda untuk memperburuk pandangan orang Pribumi terhadap keturunan Tionghoa. Salah satu contoh dari usaha tersebut adalah hak istemiwa terhadap keturunan Tionghoa seperti pendidikan dan kesempatan untuk menjadi warga negara Belanda, yang dapat menciptakan kesempatan kerja yang lebih baik. Keuntungan yang lain sebagai keturunan Tionghoa, khususnya kelompok Peranakan, memilih peluang bekerja untuk pemerintahan dan pengusaha Belanda sebagai perantara, karena sebagian dari mereka menguasai bahasa Belanda dan bahasa setempat. Akibat dari perbedaan status ini, penduduk setempat merasa adanya ketidakadilan yang membuat mereka iri dan marah. Jadi tidak hanya keinginan identitas terpisah saja yang menciptakan perasaan curiga di antara penduduk setempatk, tetapi juga, proses pemisahan dan timbulnya prasangka yang dengan sengaja diciptakan oleh penjajah Belanda. Perasaan inilah yang terbawa hingga saat ini. Bersama etnis Jawa, kelompok Tionghoa berperang melawan VOC tahun 17401743. Oleh Belanda beberapa kali etnis Tionghoa menjadi sasaran pembunuhan massal atau penjarahan, seperti pembantaian di Batavia 1740 dan pembantaian masa perang Jawa 1825-1830. Melalui aturan wijkenstelsel orang Tionghoa tidak lagi diperbolehkan bermukim di sembarang tempat sehingga pemukiman etnis Tionghoa atau pecinan di sejumlah kota besar di Hindia Belanda. Masa Penjajahan Jepang Metode Divide and Rule terhadap keturunan Tionghoa terbawa arus sampai masa penjajahan Jepang. Penjajah Jepang dengan sengaja memisahkan dan memaksa orang-orang keturunan Tionghoa untuk belajar di sekolah yang dibuat khusus untuk mereka, dan mereka diharuskan untuk menggunakan bahasa Mandarin dalam proses belajar mengajar bahkan diluar jam sekolah. Beberapa orang keturunan Tionghoa juga diperkerjakan oleh tentara Jepang sebagai seorang mata mata. Hal ini menyebabkan bertambahnya pandangan buruk terhadap Keturunan Tionghoa. Karena mereka dianggap membantu penjajah Jepang, yang tentu saja sangat dibenci karena perlakuan mereka yang sangat kejam terhadap masyarakat pribumi. Selain itu penduduk keturunan Tionghoa merasa bimbang dan mengalami kesulitan dalam menentukan masa depan mereka. Masa Orde Lama Jaman orde lama hubungan antara Indonesia dengan Cina sangat mesra, sampaisampai tercipta hubungan politik Poros Jakarta-Peking. Bahkan Bung Karno bersama Nasionalis Tiongkok Chiang Shia Tung ke malang menyatakan bahwa Tiongkok sebagai salah satu 5 negara besar (one of the big five) berdiri dibelakang Republik Indonesia. Namun etnis Tionghoa yang begitu dihargai pada masa orde baru, justru justru menjadi sasaran pelampiasan massa yang dipolitisir, karena peristiwa G30S/PKI yang didalangi oleh Partai Komunis Indonesia, ada anggapan bahwa komunis pasti orang Cina, padahal anggapan seperti itu belum tentu benar. Peristiwa G30S/PKI menjadi salah satu peristiwa yang sanagt membuat trauma etnis Tionghoa selain kerusuhan Mei 98. Masa Orde Baru Pada tahun 1965 terjadi pergolakan politik yang maha dasyat di Indonesia, yaitu pergantian orde, dari orde lama ke orde baru. Bersamaan dengan perubahan politik

itu rezim Orde Baru melarang segala sesuatu yang berbau Cina. Hal ini dituangkan ke dalam Instruksi Presiden (Inpres) No.14 tahun 1967. Beberapa undang-undang yang diciptakan untuk mendukung adanya kebijakan Asimilasi atau Pembauran lengkap terhadap keturunan Tionghoa : o Keputusan Presidium Kabinet No.127/U/Kep/12/1966 tentang penggantian nama untuk WNI yang memakai nama Tionghoa. Misalnya Liem Sioe Liong menjadi Sudono Salim. Kebanyakan anggota masyarakat Tionghoa menentukan untuk mengganti namanya, tetapi dalam kehidupan sehari-hari mereka memakai nama Tionghoanya. o Instruksi Presiden No. 14/1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina. Undang-undang ini melarang mengamalkan perayaan Hari Raya Tionghoa, penggunaan bahasa Tionghoa, dan adat istiadat yang sama, di depan umum. Selain ini, undang ini, walaupun tidak langsung, menolak agama Kong Hu Chu sebagai agama resmi Indonesia. Instruksi ini dicabut oleh Keputusan Presiden No. 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden No.14 tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat istiadat Cina. o Surat Edaran o2/SE Ditjen/PPG/K/1998 tentang pelarangan penerbitan dan percetakan tulisan atau iklan beraksara dan yang menggunakan bahasa Mandarin didepan umum. Undang ini dicabut oleh Instruksi Presiden No.4/1999 dan memperbolehkan pelajaran dan penggunaan Bahasa Tionghoa. o Peraturan Menteri Perumahan No. 455.2-360/1998 tentang pelarangan untuk mendirikan, memperluas atau memperbarui Klenteng Tionghoa. o SE Presidium Kabinet RI No. SE-06/PresKab/6/1967, tentang kebijakan pokok WNI keturunan asing yang mencakup pembinaan WNI keturunan asing melalui proses asimilasi terutama untuk mencegah terjadinya kehidupan eksklusif rasial. Warga keturunan Tionghoa dilarang berekspresi. Sejak Tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Misalnya semua sekolah Tionghoa dilarang di Indonesia. Sejak saat itu semua anak Tionghoa Indonesia harus menerima pendidikan seperti anak orang Indonesia yang lain secara nasional. Bahkan pada jaman orde baru tersebut ada larangan menggunakan istilah atau nama Tionghoa untuk toko atau perusahaan, bahasa Tionghoa sama sekali dilarang untuk diajarkan dalam bentuk formal atau informal. Dampak dari kebijakan orde baru ini selama 30 tahun masyarakat Tionghoa Indonesia tidak dapat menikmati kebudayaabn mereka sebdiri. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia. Akan tetapi walaupun UU ini diciptakan untuk mendorong adanya tujuan pencapaian pembaruan lengkap, masih ada beberapa hokum khususnya dibidang perekonomian yang menentang tujuan tersebut. Contoh yang paling jelas dari kegagalan UU ini adalah: o Pengambilan Keputusan dalam Seminar Angkatan Darat Tahun 1966 yang menyebutkan bahwa masyarakat keturunan Tionghoa seharusnya dibatasi dalam bidang perekonomian sehingga keterlibatannya dalam bidang lain misalnya politik bisa dihindari. Dari ini, bisa dilihat bahwa walaupun pemerintahan Suharto menginginkan pembauran lengkap antara masyarakat Tionghoa dan masyarakat bukan Tionghoa, mereka masih memperbolehkan aktivitas dan undang-undang yang mendorong dan memperkuat identitas etnis

Tionghoa yang terpisah. Misalnya perbedaan perlakuan yang diterima masyarakat Tiongoa dicerminkan dalam: Keppres No. 14A/1980. UU ini berarti bahwa semua lembaga pemerintah dan kementerian harus memberikan perlakuan istimewa kepada pengusaha pribumi. o Selain dibidang perekonomian, masih ada hukum-hukum yang bertentangan misalnya Syarat yang masih diteruskan sampai sekarang adalah KTP dimana KTP orang Tionghoa berbeda nomor identifikasi daripada nomor yang berada pada KTP bukan Tionghoa (Suryadinata: 2002; hal. 98). Tindakan ini sebenarnya mengidentifikasikan orang Tionghoa dari masyarakat bukan Tionghoa yang harus menentang sebuah kebijakan yang bertujuan membuat setiap orang berbudaya dan beridentitas yang sama. Dalam kata-kata Leo Suryadinata perlakuan ini dalam realita ini ..telah melestarikan identitas etnis Tionghoa. Akibatnya, bisa disimpulkan bahwa di seluruh Indonesia dan selama beberapa periode yang berbeda dalam sejarah daerahnya, sudah ada masyarakat Tionghoa yang terpisah dari orang-orang setempat. Jadi tidak mengherankan kalau ada identitas kebudayaan atau etnis Tionghoa yang masih kuat. Mengingat sejarah orangorang Tionghoa dan keberadaan mereka di Indonesia usaha yang mencapai pembauran lengkap dulu, relatif baru dan tidak lama. Faktor ini dan identitas terpisah yang bersejarah berarti bahwa pembauran lengkap, yaitu penghapusan kebudayaan Tiongoa, akan sulit dicapai. Akan tetapi keberadaan hukum-hukum yang mendorong tujuan pembauran lengkap berarti hanya memberi kesempatan yang sempit meraih pembauran semacam ini. Etnis Tionghoa Masa Kini (Era Reformasi) Reformasi yang digulirkan pada 1998 telah banyak menyebabkan perubahan bagi kehidupan warga Tionghoa di Indonesia. Mereka berupaya memasuki bidang-bidang yang selama 32 tahun tertutup bagi mereka. Kalangan pengusaha Tionghoa kini berusaha menghindari cara-cara kotor dalam berbisnis, walaupun itu tidak mudah karena mereka selalu menjadi sasaran penguasa dan birokrat. Mereka berusaha bermitra dengan pengusaha-pengusaha kecil non-Tionghoa. Walau belum 100% perubahan tersebut terjadi, namun hal ini sudah menunjukkan adanya tren perubahan pandangan pemerintah dan warga pribumi terhadap masyarakat Tionghoa. Bila pada masa Orde Baru aksara, budaya, ataupun atraksi Tionghoa dilarang dipertontonkan di depan publik, saat ini telah menjadi pemandangan umum hal tersebut dilakukan. Di Medan, Sumatera Utara, misalnya, adalah hal yang biasa ketika warga Tionghoa menggunakan bahasa Hokkien ataupun memajang aksara Tionghoa di toko atau rumahnya. Selain itu, pada Pemilu 2004 lalu, kandidat presiden dan wakil presiden Megawati-Wahid Hasyim menggunakan aksara Tionghoa dalam selebaran kampanyenya untuk menarik minat warga Tionghoa. Pada masa pemerintahan B.J. Habibie melalui Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang Pengehentian Istilah Pribumi dan Non-Pribumi, seluruh aparatur pemerintahan telah pula diperintahkan untuk tidak lagi menggunakan istilah pribumi dan non-pribumi untuk membedakan penduduk keturunan Tionghoa dengan warga negara Indonesia pada umumnya. Kalaupun ada perbedaan, maka perbedaan itu hanyalah menunjuk pada adanya keragaman etinisitas saja, seperti etnis Jawa, Sunda, Batak, Arab, Cina dan lain sebagainya. Di masa pemerintahan Gusdur, Instruksi Presiden (Inpres) No 14/1967 yang melarang etnis Tionghoa merayakan pesta agama dan penggunaan huruf-huruf China dicabut. Selain itu juga ada Keppres yang dikeluarkan Presiden Abdurrahman Wahid memberi kebebasan ritual keagamaan, tradisi dan budaya kepada etnis Tionghoa; Imlek menjadi hari libur nasional berkat Keppres Presiden Megawati Soekarnoputri. Di bawah kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono, agama Khonghucu diakui sebagai agama resmi dan sah. Kesimpulan

Dari penafsiran diatas, rupanya kebijaksanaan dan hukum-hukum yang memakai sistem pelarangan untuk mencapai tujuannya, pembauran atau apapun, hanya bisa meraih keberhasilan pada tingkat tertentu. Akan tetapi pandangan seperti ..Pribumi malas, dan tidak menabung uangnya; ..Tionghoa memamerkan kekayaannya..: ..Pribumi yang sombong karena ini adalah tanah airnya. Dan julukan yang masih dipakai seperti Cino Edan masih timbul masalah antar etnik. Prasangka yang berada di antara dan dipegang oleh kedua pihak adalah masalah sosial umum disebabkan oleh realita sosial yang berada di Indonesia saat ini. Misalnya, ketidakseimbangan ekonomi seluruh masyarakat Indonesia, bukan saja antara masyarakat Tionghoa dan masyarakat Pribumi, KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) yang umumnya memang masih berada dalam birokrasi dan lembaga lain dari pemerintahan, serta masalah sosial umum yang lain, yang pada kasus masyarakat Tionghoa diperburuk oleh faktor faktor bersejarah terdaftar di atas. Menurut Leo Suryadinata Masalah Cina adalah persoalan yang berkaitan dengan masalah yang lebih rumit seperti soal Ekonomi, politik dan luar negeri. Selanjutnya pertanyaan yang ditimbulkan dari keputusan ini adalah apak yang dilakukan untuk memperbaiki situasi ini. Menurut saya, Pemerintahan Indonesia dan Presiden SBY seharusnya menjadi sumber langkah-langkah konkret dan tertentu untuk mengatasi masalah social umum ini. Jikalau pemerintah Indonesia masih menginginkan untuk melanjutkan kebijakan Pembauran terhadap masyarakat Tionghoa, pemerintah seharusnya menanggap penggantian defenisi lama Pembauran lengkap yang digunakan selama Orde Baru. Dimana pembauran yang dimaksud pada masa orde baru lebih menekankan pada penghapusan adat istiada kebudayaan yang dimiliki oleh etnis Tionghoa dan menyatukan diri dengan adat kebudayaan pribumi Indonesia. Tentu saja itu hal yang sangat mustahil. Untuk itu, dimasa sekarang ini sebaiknya defenisi dari pembaruan tersebut lebih menitik beratkan pada kebijakan yang diambil dalam menciptakan suatu komunikasi, hubungan timbal balik yang baik diantara kedua belah pihak (Tionghoa dan pribumi) sehingga dapat terjalin kerjasama yang baik diantaranya, orang Tionghoa dan bukan Tionghoa dapat berteman, berdampingan dan tinggal bersama secara damai tanpa membeda-bedakan yang lain tapi dengan dibalut keyakinan pada kebudayaan masing-masing. Bukannya segala bentuk perbedaan yang beraneka ragam jika dipaduhkan dengan sikap saling menerima, cintah dan kasih sayang maka akan menjadi sesuatu hal yang indah? Seperti semboyan Negara kita Bhineka Tunggal Ika yang artinya walau berbeda-beda tetapi tetap satu juga dalam kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya, pembauran bukan berarti kehilangan kebudayaan. Sehingga tidak seharusnya pemerintahan SBYmemusatkan pada pembauran tetapi lebih pada masalah yang menimbulkan keperluan diadakannya pembauran tersebut yaitu adanya hubungan buruk dan kesenjangan ekonomi antara masyarakat Tionghoa dan masyarakat pribumi. Usaha untuk memperbaiki hubungan ini adalah cara yang lebih efektif karena lebih secara langsung melihat sumber masalah social umum ini. Saya percaya bahwa walaupun langkah-langkah diatas memang penting untuk memperbaiki hubungan buruk antara masyarakat keturunan Tionghoa dan masyarakat Pribumi, langka lain yang juga sangat penting yakni dengan penerimaan kebudayaan keturunan Tionghoa (kebudayaan Peranakan Tionghoa) sebagai salah satu kebudayaan Indonesia. Seperti langkah yang sudah diambil oleh beberapa petinggi Negara kita sebelumnya. Alasan yang cukup untuk menerima kebudayaan mereka di Indonesia karena seperti agama dimana pengaruh Hindu/india dan pengaruh Islam/Arab di Indonesia telah diubah dan disesuaikan oleh lingkungan social Indonesia. Ini sama dengan kebudayaan Tionghoa di Indonesia tidak sama persis dengan kebudayaan Negara asalnya yakni RRC. Tetapi sudah mengalami perubahan dan penyesuaian sesuai dengan pola hidup, adat istiadat, kepercayaan dan sikap-sikap di Indonesia.

Koentjaraningrat dalam sebuah tulisannya di Kompas menyatakan , Masyarakat Tionghoa merupakan pendatang, seperti halnya orang Muhajir di Pakistan atau orang Tamil di Srilanka. Mereka secara demografis merupakan minoritas, maka mereka sebaiknya mengintegrasikan dan mengasimilasikan diri dengan suku bangsa serta kebudayaan di daerah tempat mereka menetap.[5] Namun, hal ini tidak terjadi secara mudah mengingat ada beberapa faktor yang menyulitkan proses asimilasi masyarakat Tionghoa dengan masyarakat pribumi. Faktor-faktor ini, antara lain:[6] 1. perbedaan ciri-ciri badaniah; 2. in-group feeling yang sangat kuat pada masyarakat Tionghoa, sehingga mereka lebih kuat mempertahankan identitas sosial dan kebudayaannya yang eksklusif; 3. dominasi ekonomi yang menyebabkan timbulnya sikap tinggi hati. Dominasi ekonomi tersebut bersumber pada fasilitas-fasilitas yang dahulu diberikan oleh pemerintah Belanda, dan juga karena kemampuan teknis dalam perdagangan serta ketekunan dalam berusaha. Dalam hal ini bisa dikatakan terjadi kegersangan relasi sosial antara masyarakat pribumi dengan masyarakat Tionghoa di Indonesia. Ganjalan interaksi sosial diantara keduanya adalah karena sistem yang cenderung bertolak belakang. Anggapan terhadap sikap etnis Tionghoayang dinilai cenderung suka hidup dalam kelompoknya, tidak mau bersosialisasi dengan etnis lain, masih berafiliasi ke negeri leluhurmembuktikan bahwa masih adanya parasangka negatif dari masyarakat pribumi. Hal ini diperparah oleh maraknya etnis Tionghoa yang mendirikan berbagai perkumpulan berdasarkan kelompok sesama etnis.

You might also like