You are on page 1of 33

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Dalam Undang-Undang (UU) No 26 Tahun 2007 pasal 1, ruang
dideIinisikan sebagai suatu wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan
ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah tempat
manusia dan makhluk lain hidup melakukan kegiatan dan memelihara
kelangsungan hidupnya. Berdasarkan itu maka dapat dikatakan ruang merupakan
salah satu sumber daya yang sangat penting dan harus dilindungi, ditata dan
dikelola secara terpadu dan terkoordinasi, agar terwujud ruang kehidupan yang
aman, nyaman, produktiI dan berkelanjutan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Akan tetapi pada kenyataannya interaksi ini tidak selalu berjalan seimbang
dan saling menguntungkan, karena terdapat perbedaan kepentingan dan
kemampuan oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Ini terjadi dikarenakan adanya kebutuhan akan ruang yang semakin tinggi
akibat aktivitas manusia yang semakin berkembang dan pesatnya perkembangan
penduduk, sementara ruang itu tersendiri memiliki siIat yang terbatas (Dardak.
2006). Oleh karena itu ruang perlu ditata dengan baik agar dapat memberikan
keseimbangan lingkungan dan dukungan optimum bagi manusia dan makhluk
hidup lainnya untuk kelangsungan hidupnya. Tidak hanya itu, ruang juga harus
dimanIaatkan secara bijaksana dan eIisien, sehingga sumberdaya alam yang
terkandung di dalamnya dapat dimanIaatkan secara untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
Sesuai UUD 1945 pasal 33 ayat 3 yang menyatakan bahwa bumi dan air
serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasi oleh Negara dan
digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Maka demi menjaga
kelangsungannya,, maka ruang perlu ditata, dikendalikan, serta direncanakan,
sehingga dapat memberikan manIaat bagi makhluk hidup di atasnya untuk jangka
panjang dan berkelanjutan. Ini karena jika pemanIaatan ruang tidak diatur dengan
baik, maka sangat besar kemungkinannya akan terjadi pemborosan pemanIaatan
ruang dan penurunan kualitas ruang. Oleh karena itu kemudian dilakukan
2

penataan ruang, yang terdiri dari suatu sistem proses perencanaan tata ruang serta
pemanIaatan dan pengendalian pemanIaatan ruang.
Tata ruang itu sendiri adalah wujud dari struktur dan pola ruang yang
disusun secara nasional, regional dan lokal, dimana untuk perencanaanya disebut
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Berdasarkan itu penataan ruang secara
nasional menggunakan RTRW Nasional, sedang secara regional dan lokal
penataan ruang yang digunakan adalah RTRW Kabupaten atau Kota. RTRW
Nasional berIungsi sebagai arahan kebijakan dan strategi pemanIaatan ruang
wilayah negara yang dijadikan acuan untuk :
O perencanaan pembangunan jangka panjang nasional dan jangka menengah
nasional
O pemanIaatan ruang dan pengendalian pemanIaatan ruang di wilayah nasional
O mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antar
wilayah provinsi, serta keserasian antarsektor
O penetapan lokasi dan Iungsi ruang untuk investasi; acuan dalam penataan
ruang kawasan strategis nasional
O penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota.
Sementara itu RTRW Kabupaten atau Kota, yang disebut juga sebagai
Urban Planning atau Urban Land use Plan, merupakan hasil penjabaran dari
RTRW nasional berupa dokumen yang dikukuhkan dengan Peraturan Daerah
Tujuan pengukuhan RTRW Kabupaten atau Kota untuk menjamin
terselenggaranya:
O pemanIaatan ruang yang berwawasan lingkungan berlandaskan Wawasan
Nusantara dan Ketahanan Nasional
O pengaturan pemanIaatan ruang kawasan lindung dan kawasan budidaya
O keterpaduan dalam penggunaaan sumber daya alam dan sumber daya buatan
dengan memperhatikan sumber daya manusia
O perlindungan Iungsi ruang dan mencegah serta menanggulangi dampak negatiI
terhadap lingkungan (banjir, erosi dan sedimentasi)
O mewujudkan keseimbangan kepentingan kesejahteraan dan keamanan.
Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur (BOPUNJUR) merupakan salah satu
kawasan yang sangat cepat berkembang, karena letaknya cukup strategis.
3

Kawasan Bopunjur berIungsi sebagai daerah resapan/tangkapan air (.at.2ent
area), diperkuat oleh Keputusan Presiden (Keppres) No.48 tahun 1983, Keppres
No.79 tahun 1985, dan Keppres No.114 tahun 1999. Selain berIungsi untuk
konservasi air dan tanah, Bopunjur juga sangat berpotensi untuk pertanian
hortikultura dan pariwisata terutama pada daerah perbukitan dan pegunungan,
seperti yang tercakup pada wilayah Kabupaten Bogor yaitu: Kecamatan Ciawi,
Cisarua, dan Megamendung.
Oleh karena itu Kawasan Bopunjur mempunyai pengaruh yang besar
dalam kejadian banjir di daerah hilirnya (terutama Ibu Kota Jakarta), yang
membawa kerugian yang besar setiap tahunnya. Sementara itu, pada sisi lain
Kawasan Bopunjur juga merupakan daerah tujuan wisata utama bagi penduduk
Ibu Kota Jakarta dan sekitarnya. Ini merupakan salah satu penyebab berubahnya
tata ruang wilayah Bopunjur yaitu berupa pembangunan perumahan dan villa,
dimana sebagian besar pembangunan tersebut telah menyimpang dalam hal
penggunaan dan pemanIaatannya (Samadikun, 2007).

1.2. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang, maka dapat yang menjadi permasalahan
pada makalah ini adalah:
Bagaimana kajian Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
dan implikasinya pada Penataan Ruang di Bopunjur (Bogor-Puncak-Cianjur)?

1.3.Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah mengkaji Undang-Undang No. 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang dengan menganalisis penataan ruang di kawasan
Bopunjur (Bogor-Puncak-Cianjur).


4

II. URAIAN SUBSTANSI

UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dalam pertimbangan dan
asasnya lebih menekankan pada pentingnya keterpaduan, pendekatan sistem dan
kepastian hukum, serta keadilan, dimana visi dan misi dari UU ini adalah
konservasi dan pro rakyat. UU No 26 Tahun 2007 itu sendiri merupakan pedoman
dalam pengaturan dan tata ruang, salah satunya yaitu dalam menentukan lokasi
pembangunan agar sesuai dengan peruntukannya. UU ini terdiri dari 80 pasal dan
terbagi kedalam 13 bab, yang secara singkat dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Gambaran Singkat Bab dan Isi UU No 26 Tahun 2007
BAB ISI
Bab 1
Ketentuan Umum
Berisi tentang ruang dan hal-hal yang berkaitan dengan ruang.
(pasal 1)
Bab 2
Asas dan Tujuan
Berisi tentang asas dan tujuan penataan ruang. (pasal 2 dan 3)
Bab 3
KlasiIikasi Penataan
Ruang
Menjelaskan tentang klasiIikasi berdasarkan sistem, Iungsi utama
kawasan, wilayah administratiI, kegiatan kawasan, dan nilai
strategis kawasan. (Pasal 4-6)
Bab 4
Tugas dan Wewenang
Menjelaskan tugas dan wewenang pemerintah dari pusat hingga
daerah dalam penyelenggaraan penataan tata ruang. (pasal 7-11)
Bab 5
Pengaturan dan
Pembinaan Penataan
Ruang
Berisi tentang penetapan peraturan perundang-undangan termasuk
pedoman bidang penataan ruang sebagai acuan penyelenggaraan
penataan ruang, dan pembinaan penataan ruang melalui berbagai
kegiatan untuk meningkatkan kinerja penyelenggaraan penataan
ruang. (pasal 12 dan 13)
Bab 6
Pelaksanaan Penataan
Ruang
Menjabarkan tentang pelaksanaan penataan ruang yang mencakup
perencanaan tata ruang, pemanIaatan ruang, dan pengendalian
pemanIaatan ruang pada semua tingkat pemerintahan. (pasal 14-54)
Bab 7
Pengawasan Penataan
Ruang
Mencakup pengawasan terhadap kinerja pengaturan, pembinaan,
dan pelaksanaan penataan ruang, termasuk pengawasan terhadap
kinerja pemenuhan standar pelayanan minimal bidang penataan
ruang melalui kegiatan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan. (Pasal
55-59)
Bab 8
Hak, Kewajiban, dan
Peran Masyarakat
Berisi tentang apa saja hak-hak masyarakat, kewajibannya, dan
perannya dalam penataan ruang. (pasal 60-66)
Bab 9
Penyelesaian Sengketa
Berisi tentang bagaimana penyelesaian sengketa penataan ruang
baik sengketa antardaerah maupun antarpemangku kepentingan lain
secara bermartabat. (pasal 67)
Bab 10
Penyidikan
Menjelaskan tentang Penyidikan, PPNS dan kewenangannya. (pasal
68)
Bab 11
Ketentuan Pidana
Berisi pasal-pasal mengenai pidana penjara, pidana denda, pidana
tambahan, dan tuntutan ganti kerugian secara perdata. (pasal 69-75)
Bab 12
Ketentuan Peralihan
Menjelaskan tetap berlakunya pelaksanaan penataan ruang yang
telah ada sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti, juga
5

berisi penyesuaian semua pemanIaatan ruang yang tidak sesuai
dengan UU ini, serta masa transisinya. (pasal 76-77)
Bab 13
Ketentuan Penutup
Berisi tentang lamanya masa penyesuaian semua aturan yang
berkaitan dengan penataan ruang, dan tidak berlakunya UU
sebelumnya yaitu UU No. 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang.
(pasal 78-80)
Secara garis besar dalam UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
terdapat beberapa hal penting yang diuraikan, antara lain :
1. Orientasi dari UU Penataan Ruang itu sendiri (Eksploitasi atau konservasi)
2. Keberpihakan (pro rakyat atau kapital)
3. Pengelolaan (sentralistik/desentralistik, sikap terhadap pluralism hukum) dan
implementasinya (sektoral, koordinasi, dan orientasi produksi)
4. Perlindungan Hak Asasi Manusia (gender, pengakuan masyarakat hukum adat,
dan penyelesaian sengketa)
5. Pengaturan Good Governance (partisipasi, transparansi dan akuntabilitas)
6. Hubungan orang dan SDA (hak atau ijin)
7. Hubungan Negara dan SDA.
2.1. Orientasi UU Penataan Ruang
Pada Pasal 3 dari UU Penataan Ruang telah menegaskan bahwa orientasi
yang dilakukan adalah mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman,
produktiI dan berkelanjutan yang berlandaskan wawasan nusantara dan ketahanan
nasional dengan
(a)
terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan buatan;
(b)
terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan buatan
dengan memperhatikan sumber daya manusia;
(c)
serta terwujudnya perlindungan
Iungsi ruang dan pencegahan dampak negatiI pada lingkungan akibat dari
penggunaan/pemanIaatan ruang.
2.2. eberpihakan
Dalam UU Penataan Ruang yang meliputi ruang darat, laut dan udara serta
yang termasuk di dalam bumi yang merupakan bagian dari komponen lingkungan
harus benar-benar dilestarikan, dijaga dan dilindungi serta dipelihara kualitas
Iungsinya. Pada penjelasan umum butir 5 bahwa melalui penataan ruang yang
merupakan wujud dari sistem perencanaan, pemanIaatan dan pengendalian
pemanIaatan ruang bahwa ruang harus dipandang sebagai satu kesatuan yang
6

tidak terpisahkan antara satu dengan yang lainnya dan harus dilakukan sesuai
dengan kaidah penataan ruang sehingga dapat terwujudnya
(a)
pemanIaatan ruang
yang berhasil dan berdaya guna serta mampu mendukung pengelolaan lingkungan
hidup yang berkelanjutan;
(b)
tidak terjadi pemborosan pemanIaatan ruang dan
(c)
tidak terjadinya penurunan kualitas ruang. Dengan demikian bahwa ruang ruang
yang merupakan salah satu sumber daya alam perlu dikelola secara berkelanjutan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sehingga UU Penataan Ruang dapat
berpihak pada perlindungan kepentingan rakyat.
2.3. Pengelolaan dan Implementasinya
Dalam UU Penataan Ruang, pengelolaan telah dimaknai sebagai penataan
ruang yang diwujudkan dalam suatu proses
(1)
perencanaan tata ruang,
(2)
pemanIaatan tata ruang dan
(3)
pengendalian pemanIaatan ruang. Sehingga
penataan ruang merupakan sebuah sistem yang berkelanjutan. Sebagai suatu
sistem, penataan ruang diselenggarakan berdasarkan atas asas keterpaduan;
keserasian, keselarasan, dan keseimbangan; keberlanjutan; keberdaya gunaan dan
keberhasil gunaan; keterbukaan; kebersamaan dan kemitraan; perlindungan
kepentingan umum; kepastian hukum dan keadilan; serta akuntabilitas.
Kemudian untuk implementasinya UU Penataan Ruang
mengklasiIikasikan penataan ruang berdasarkan pada 5 hal (Pasal 5):
a. Sistem penataan ruang; terdiri dari atas sistem wilayah dan sistem internal
perkotaan
b. Fungsi utama kawasan; terdiri atas Iungsi ruang sebagai kawasan lindung dan
kawasan budidaya
c. Wilayah administrasi; terdiri dari ruang wilayah nasional, provinsi dan
wilayah kabupaten/kota.
d. Kegiatan kawasan; terdiri dari kawasan perkotaan dan kawasan pedesaan
e. Nilai strategis kawasan; terdiri atas kawasan strategis nasional, provinsi, dan
kawasan strategis kabupaten/kota
Pelaksanaan penataan ruang dilakukan melalui tiga kegiatan yaitu perencanaan
tata ruang, pemanIaatan tata ruang dan pengendalian pemanIaatan ruang.
7

Perencanaan tata ruang; dilakukan untuk menghasilkan rencana umum
dan rencana rinci (detail) tata ruang. Rencana umum tata ruang dapat berjenjang
(atas-bawah) yaitu Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional, RTRW
Provinsi dan RTRW Kabupaten/Kota. Sedangkan rencana rinci terdiri dari;
rencana tata ruang pulau /kepulauan dan rencana tata ruang kawasan strategis
nasional; rencana strategis provinsi; dan rencna detail tata ruang kabupaten/kota
dan rencana tata ruang kawasan strategis kabupaten/kota. Hubungan antara
rencana umum dengan rencana rinci tata ruang bahwa rencana rinci tata ruang
disusun sebagai perangkat operasional dari rencana umum tata ruang (Pasal 14
ayat 4).
Kemudian untuk rencana rinci rencana tata ruang kawasan strategis
provinsi dan rencana rinci rencana detail tata ruang kabupaten/kota dan rencana
tata ruang kawasan strategis kabupaten/kota akan disusun jika rencana umum
belum dapat dijadikan sebagai landasan pemanIaatan dan pengendalian
pemanIaatan ruang; rencana umum tata ruang mencakup wilayah perencanaan
yang luas dan skala peta dalam rencana umum tersebut memerlukan perincian
sebelum dioperasionalkan; sedangkan untuk rencana detail tata ruang dijadikan
sebagai landasan pengaturan zonasi. Penyusunan RTRW pada tingkat yang lebih
rendah harus mengacu pada tingkat yang lebih tinggi. Dengan demikian,
penyusunan RTRW Kabupaten/Kota harus memperhatikan RTRW Provinsi dan
RTRW Nasional.
Begitu halnya dengan Provinsi harus mengacu pada RTRW Nasional.
Untuk RTRW Kota, perlu dicermati walaupun perencanaan RTRW Kabupaten
berlaku untuk perencanaan RTRW Kota, ada beberapa hal yang perlu
dirambahkan kedalam RTRW Kota, diantaranya adalah rencana penyediaan
pemanIaatan ruang terbuka hijau; rencna penyediaan dan pemanIaatan ruang
terbuka non hijau; dan rencana Iungsi wilayah kota sebagai pusat pelayanan
sosial, ekonomi dan pusat pertumbuhan wilayah. Ruang terbuka hijau dalam
RTRW kota terdiri dari ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat.
Proporsi ruang terbuka hijau dalam kota minimal 30 dari luas wilayah kota dan
proporsi ruang terbuka hijau publik paling sedikit 20 dari keseluruhan wilayah
kota.
8

Pemanfaatan ruang; dilakukan melalui pelaksanaan program
pemanIaatan ruang beserta pembiayaannya. PemaIaatan ruang pada dasarnya
mengacu pada Iungsi ruang yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang yang
dilaksanakan dengan mengembangkan penatagunaan tanah, penatagunaan air,
penatagunaan udara, dan penatagunaan sumber daya alam lain.
Pengendalian pemanfaatan ruang; dilaksanakan melalui; penetapan
peraturan zonasi; perijinan; pemberian intensiI dan disinsetiI; serta pengenaan
sanksi. Peraturan zonasi itu sendiri disusun berdasarkan rencana rinci tata ruang
untuk setiap zona pemanIaatan ruang. Ketentuan perijinan yang berkaitan dengan
pengendalian pemanIaatan ruang dikeluarkan oleh pemerintah. Jika ijin
pemanIaatan ruang yang dikeluarkan tidak melalui prosedur yang benar akan batal
demi hukum. Selain itu, ijin yang sebelumnya telah didapatkan namun tidak
berlaku lagi akibat perubahan RTRW akan mendapatkan ganti kerugian dari
pemerintah pusat atau daerah.
2.4. Perlindungan HAM
Dalam Pasal 60 yang tercantum dalam UU Penataan Ruang bahwa setiap
orang berhak untuk mengetahui rencana tata ruang; menikmati pertambahan nilai
ruang; ganti rugi yang layak akibat pembangunan yang tidak sesuai dengan
RTRW; mengajukan keberatan; mengajukan pembatalan ijin; dan mengajukan
gugatan ganti kerugian akibat pembangunan yang tidak sesuai dengan RTRW.
Perlindungan terhadap HAM sebagaimana tercantum dalam UU Penataan Ruang
lebih menekankan pada hidup dan penghidupan oleh setiap orang yang harus
dijamin berkaitan dengan kebijakan penataan ruang yang diselenggarakan oleh
pemerintah. UU Penataan Ruang tidak secara eksplisit menyebutkan tentang
kesetaraan gender dan HAM. Penyelesaian sengketa pada tahap pertama
diupayakan melalui musyawarah. Namun demikian, jika musyawarah tidak dapat
diperoleh maka upaya yang dapat ditempuh dalam penyelesaian adalah melalui
pengadilan dan di luar pengadilan (Pasal 67).
2.5. Pengaturan 44d 4;ernance
Pada konteks good governan.e yang dicirikan melaui prinsip transparansi,
partisipasi dan akuntabilitas, maka UU Penataan Ruang merumuskannya melalui
9

hak dan peran serta masyarakat (Pasal 60 dan Pasal 65), serta rumusan mengenai
penjatuhan sanksi pidana (tanggung gugat) bagi pejabat pemerintah yang
menerbitkan ijin yang tidak sessuai dengan rencana tata ruang (Pasal 73).
Rumusan tanggung gugat bagi pejabat pemerintah oleh UU Penataan Ruang bias
dibaca sebagai langkah maju yang menegaskan bahwa kebijakan pemerintah tidak
selamanya steril dari potensi penyimpangan, sehingga perlu adanya mekanisme
yang bias digunakan untuk menyikapinya. Adapun rumusan dari Pasal 73 tersebut
adalah:
Ayat (1) setiap pejabat pemerintah yang berwenang yang menerbitkan ijin
tidak sesuai dengan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
ayat (7), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda
paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).
Ayat (2) selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaku
dapat dikenai pidana tambahan beruoa pemberhentian secara tidak dengan hormat
dari jabatannya.
2.6. Hubungan Orang dan Sumber Daya Alam
Ruang ditaIsirkan sebagai salah satu sumber daya alam, maka pada
wilayah ini melekat hak setiap orang atas akses terhadap ruang bagi pemenuhan
hak hidup dan penghidupannya. Bentuk tersebut salah satunya berupa ijin. Dalam
hubungannya dengan ruang, melekat pula batasan-batasan yang bersiIat imperatiI
yang harus dipatuhi, diantaranya adalah setiap orang wajib menaati rencana tata
ruang yang telah ditetapkan; memanIaatkan ruang sesuai dengan ijin pemanIaatan
ruang dari pejabat yang berwenang; mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam
persyaratan ijin pemanIatan ruang; dan memberikan akses terhadap kawasan yang
oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum.
Pada hubungan yang bersiIat imperatiI tersebut, juga dikukuhkan melalui
kemungkinan penjatuhan sanksi administratiI bagi bentuk pelanggaran yang
terjadi. Sanksi administratiI tersebut berupa: peringatan tertulis, penghentian
sementara kegiatan, penghentian sementara pelayanan umum, penutupan lokasi,
pencabutan ijin, pembatalan ijin, pembongkaran bangunan, pemulihan Iungsi, dan
denda administari.
10

2.7. Hubungan Negara dan SDA
Dalam hubungannya Negara dan sumber daya alam oleh UU Penataan
Ruang telah membawa konsekuensi pada tugas dan wewenang yang diembannya.
Pasal 7 menyebutkan bahwa Negara menyelenggarakan penataan ruang untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan memberikan kewenangan
penyelenggaraan penataan ruang kepada Pemerintah dan Pemda, di mana dalam
penyelenggaraan tersebut harus tetap menghormati hak yang dimiliki orang sesuai
dengan peraturan perundangan.
Wewenang pemerintah dalam penyelenggaraan penataan ruang adalah:
a. Pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan
ruang wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota, serta terhadap
pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis nasional, provinsi dan
kabupaten/kota.
b. Pelaksanaan penataan ruang wilayah nasional
c. Pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis nasional; dan
d. Kerja sama penataan ruang antarnegara dan pemIasilitasan kerja sama
penataan ruang antar provinsi (Pasal 8).
Wewenang Pemda Provinsi dalam penyelenggaraan penataan ruang
meliputi:
a. Pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan
ruang wilayah provinsi, dan kaupaten/kota, serta terhadap pelaksanaan
penataan ruang kawasan strategis provinsi dan kabupaten/kota;
b. Pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi;
c. Pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis provinsi; dan
d. Kerja sama penataan ruang antarprovinsi dan pemIasilitasan kerja sama
penataan ruang antar kabupaten/kota (Pasal 10).
Sedangkan wewenang pemerintah kabupaten/kota antara lain adalah:
a. Pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan
ruang wilayah kabupaten/kota dan kawasan strategis kabupaten/kota
b. Pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota;
c. Pelaksanaan penataan ruang kawasan stratgeis kabupaten/kota; dan
d. Kerjasama penataan ruang antar kabupaten/kota.
11

III. ANALISIS ISI

3.1. ekuatan dan elemahan UU No.26 Tahun 2007
Penataan ruang sebagai pendekatan dalam pelaksanaan pembangunan
sebelumnya telah memiliki landasan hukum berupa Undang-Undang No.24 Tahun
1992 tentang Penataan Ruang. Dengan UU penataan ruang diharapkan dapat
terwujud ruang kehidupan yang aman, nyaman, produktiI, dan berkelanjutan.
Akan tetapi realitas yang terjadi menunjukkan masih ada permasalahan yang
belum terselesaikan terkait dengan tata ruang, misalnya permasalahan bencana
banjir dan longsor, kemacetan lalulintas di kawasan perkotaan, permukiman
kumuh, semakin berkurangnya ruang publik dan ruang terbuka hijau di perkotaan,
serta ketidakseimbangan perkembangan antarwilayah (Ernawi, 2007)
Berbagai permasalahan tersebut mencerminkan bahwa penerapan UU No
24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, belum sepenuhnya eIektiI dalam
menyelesaikan permasalahan yang ada terutama dalam mewujudkan penataan
ruang yang aman, nyaman, produktiI, dan berkelanjutan. Kondisi penataan ruang
yang masih banyak masalah menjadi latar belakang penyusunan dan
pemberlakuan UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUPR) yang
baru. Menurut Prasetyo (2008) terdapat perbedaan substansi yang diatur dalam
UUPR yang baru dengan yang lama antara lain:
1. Ruang lingkup penataan ruang wilayah ditambahkan menjadi ruang di
dalam bumi.
UU No. 24 tahun 1992 UU. No. 26 tahun 2007
Pasal 1 (1) :
Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan,
ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu
kesatuan wilayah, tempat manusia dan
makhluk lainnya hidup dan melakukan
kegiatan serta memelihara kelangsungan
hidupnya

Pasal 1 (1) :
Ruang adalah wadah yang meliputi ruang
darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk
ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan
wilayah, tempat manusia dan makhluk lain
hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara
kelangsungan hidupnya


12

2. Pengaturan jangka waktu berlaku rencana tata ruang dalam setiap
tingkatan wilayah menjadi 20 tahun.
UU No. 24 tahun 1992 UU. No. 26 tahun 2007
Pasal 1 (11) :
Kawasan tertentu adalah kawasan yang
ditetapkan secara nasional mempunyai nilai
strategis yang penataan ruangnya
diprioritaskan.
Pasal 1 (28) :
Kawasan strategis nasional adalah wilayah yang
penataan ruangnya diprioritaskan karena
mempunyai pengaruh sangat penting secara
nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan
dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya,
dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang
telah ditetapkan sebagai warisan dunia.

Pasal 1(29) :
Kawasan strategis provinsi adalah wilayah yang
penataan ruangnya diprioritaskan karena
mempunyai pengaruh sangat penting dalam
lingkup provinsi terhadap ekonomi, sosial,
budaya, dan/atau lingkungan.

Pasal 1 (30) :
Kawasan strategis kabupaten/kota adalah
wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan
karena mempunyai pengaruh sangat penting
dalam lingkup kabupaten/kota terhadap
ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan.

3. Tidak ada lagi istilah kawasan tertentu namun diganti menjadi kawasan
strategis.
UU No. 24 tahun 1992 UU. No. 26 tahun 2007
Pasal 1 (11) :
Kawasan tertentu adalah kawasan yang
ditetapkan secara nasional mempunyai nilai
strategis yang penataan ruangnya
diprioritaskan.
Pasal 1 (28) :
Kawasan strategis nasional adalah wilayah yang
penataan ruangnya diprioritaskan karena
mempunyai pengaruh sangat penting secara
nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan
dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya,
dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang
telah ditetapkan sebagai warisan dunia.

Pasal 1(29) :
Kawasan strategis provinsi adalah wilayah yang
penataan ruangnya diprioritaskan karena
mempunyai pengaruh sangat penting dalam
lingkup provinsi terhadap ekonomi, sosial,
budaya, dan/atau lingkungan.

Pasal 1 (30) :
Kawasan strategis kabupaten/kota adalah
wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan
karena mempunyai pengaruh sangat penting
dalam lingkup kabupaten/kota terhadap
ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan.

13

4. Penekanan terhadap hal-hal yang bersiIat strategis terutama hal-hal yang
memiliki dampak besar terhadap lingkungan, seperti proporsi kawasan
hutan dalam suatu DAS minimal 30 Pasal 17 ayat 5), serta proporsi
ruang terbuka hijau (RTH) di kota/perkotaan minimal 30 dengan
proporsi RTH publik minimal 20 Pasal 29 dan 30).
5. Dalam penetapan rancangan peraturan daerah provinsi dan kabupaten/kota
tentang tata ruang, harus mendapat persetujuan substansi dari Menteri
yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan penataan ruang, dalam
hal ini Menteri Pekerjaan Umum sebelum dievaluasi oleh Departemen
Dalam Negeri.
6. Adanya penambahan muatan dalam rencana tata ruang baik untuk skala
nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota, yaitu penetapan kawasan
strategis dan ketentuan pengendalian pemanIaatan ruang wilayah yang
berisi indikasi arahan peraturan zonasi, arahan perizinan, arahan insentiI
dan disinsentiI, serta arahan sanksi Pasal 35).
7. Penataan ruang yang berbasis mitigasi bencana sebagai upaya
meningkatkan keselamatan dan kenyamanan kehidupan dan penghidupan.
Pengaturan ruang pada kawasan-kawasan yang dinilai rawan bencana,
seperti kawasan rawan bencana letusan gunung api, gempa bumi, longsor,
gelombang pasang dan banjir dan dampak keberadaan jaringan SUTET
Penjelasan Pasal 5 ayat 2).
8. Terbentuknya lahan abadi pertanian untuk menjaga ketahanan pangan
Pasal 48 ayat 1).
9. Pengaturan sanksi yang lebih tegas, dalam hal ini selain diatur sanksi
administratiI, juga diatur sanksi pidana, baik kepada pelanggar maupun
pemberi izin yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang berlaku
sanksi administratif Pasal 62-64; sanksi pidana pasal 69-74 dan
sanksi perdata Pasal 75).
10.Penegasan menganai hak, kewajiban dan peran masyarakat, hal tersebut
dapat dilihat dari disusunnya satu bab khusus tentang Hak, Kewajiban, dan
Peran Masyarakat dalam penataan ruang Bab VIII).
14

UU yang baru telah dikeluarkan untuk mengatur dan memperbaiki
kelemahan dari UU terdahulu, tetapi jika di kaji secara mendalam masih terdapat
beberapa celah yang menjadi kelemahan dari UU terbaru ini, disamping beberapa
perbaikan yang menjadi poin pokok untuk memperkuat pengawasan dan
pengendalian pelaksanaan tata ruang. Secara singkat beberapa poin kekuatan dan
kelemahan dari UU No.26 tahun 2007 dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kekuatan dan Kelemahan yang terdapat UU No.26/2007
No. ekuatan elemahan
1.
Wewenang :
Rencana Tata Ruang disusun
Pemerintah dan pemerintah
daerah sesuai dengan sistem
desentralisasi, dekonsentrasi
dan tugas perbantuan
Wewenang Pemerintah Daerah
(Provinsi/Kabupaten/Kota):
Dengan terciptanya pola desentraliasi menjadi
persoalan tersendiri ketika pemda dimungkinkan
membuat RTRW dengan merubah Iungsionalitas
lahan kawasan konservasi / hutan lindung.
2.
Hak :
Mempunyai hak partisipasi,
transparansi dan demokratis
3.
Perencanaan :
Sangat jelas mengatur hirarki
perencanaan antara pemerintah,
pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten/kota
4.
PemanIaatan :
Perumusan kebijakan strategis
operasionalisasi dan program
sektoral melaui pembangunan
kawasan budi daya dan
pengembangan kawasan
terpadu sesuai dengan standar
yang telah ditentukan
5.
Pengendalian :
Penetapan zonasi, perizinan,
insentiI, disintentiI dan
pengenaan sanksi
6.
KlasiIikasi :
KlasiIikasi berdasarkan sitem,
Iungsi utama kawasan, wilayah
administratiI, kegiatan kawasan,
dan nilai strategis kawasan
7.
Hukuman :
Mengatur ketentuan pidana
selain ketentuan perdata
8.
Kemasyarakatan :
Masyarakat memiliki
kesempatan untuk menuntut
dibukanya Ruang Terbuka
Hijau
Berdasarkan uraian pada Tabel 2, diharapkan UU No 26 Tahun 2007 dapat
secara eIektiI menyelesaikan permasalahan terkait penataan ruang, walau dalam
15

hal implementasi masih terkendala berbagai hal, salah satunya terkait dengan
kasus Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur (Bopunjur).

3.2. Tantangan dan Implementasi asus Tata Ruang di awasan Bopunjur)
Kawasan Bopunjur atau yang lebih dikenal dengan nama Bopunjur,
merupakan kawasan yang saat ini mengalami perkembangan sangat pesat karena
posisinya yang strategis dari Jakarta. Lonjakan perkembangan Kawasan Bopunjur
menjadi kawasan agrowisata (agrotouris2) tidak terlepas dari potensi sumber
daya alam yang ada. Agrowisata atau wisata pertanian mulai bermunculan di
daerah pinggiran kota (urban fringe) atau juga di daerah perdesaan yang
didominasi dengan lanskap pertaniannya. Lonjakan yang saat ini terasa drastis
adalah agrowisata di Kawasan Bopunjur.
Pengembangan Kawasan Bopunjur sebagai kawasan agrowisata tidak
hanya sekedar pembangunan ekonomi saja, tetapi juga merupakan bagian dari
proses pembangunan, yang meliputi pembangunan Iisik dan sosial budaya.
Berdasarkan PP No 47 Tahun 1997 tentang RTRW Nasional, Kawasan Bopunjur
dikategorikan sebagai kawasan tertentu yang memerlukan penanganan khusus dan
merupakan kawasan yang mempunyai nilai strategis yang penataan ruangnya
harus diprioritaskan. Bahkan Keppres No 114 Tahun 1999 tentang Penataan
Ruang Kawasan Bopunjur sebagai tindak lanjut dari PP No 47 Tahun 1997,
menetapkan Kawasan Bopunjur sebagai kawasan kawasan lindung dan kawasan
budidaya.
Namun pembangunan di Kawasan Bopunjur yang secara tidak langsung
merubah tata ruang di kawasan tersebut, pada kenyataannya tidak berjalan sesuai
dengan Iungsi dan peruntukkan kawasan. Pelanggaran terhadap Keppres No 114
Tahun 1999 ini sudah terlihat sejak tahun 2000 - 2005, dalam bentuk semakin
banyaknya pembangunan yang mengakibatkan degradasi pada Iungsi Kawasan
Bopunjur. Padahal alasan utama penerbitan Keppres No 114 Tahun 1999 sangat
jelas, dalam hal menimbang disebutkan : 'Bahwa Iungsi utama kawasan Bopunjur
sebagai konservasi air dan tanah kurang berIungsi sebagaimana mestinya akibat
16

perkembangan pembangunan yang pesat dan kurang terkendali sehingga
pemanIaatan ruangnya perlu ditertibkan kembali.
Perubahan tata ruang yang telah mengakibatkan kerusakan lingkungan
tidak hanya terjadi pada Kawasan Bopunjur saja, tetapi juga daerah lain sekitarnya
seperti Jakarta yang terletak di bawahnya. Ini terjadi salah satunya dikarenakan
adanya otonomi daerah, yang cenderung diselenggarakan untuk memenuhi tujuan
jangka pendek tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan dan keberlanjutan
pembangunan jangka panjang. Konversi lahan dari kawasan lindung (yang
berIungsi untuk menjaga keseimbangan tata air) menjadi kawasan budidaya (lahan
usaha) guna meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), menjadi praktek
pembangunan yang seringkali terjadi akibat otonomi daerah.
Sebagai kawasan lindung, Kawasan Bopunjur mempunyai Iungsi utama
melindungi ekosistem lingkungan mencakup sumber daya alam dan sumber daya
buatan demi keberlangsungan hidup manusia itu sendiri. Fungsi perlindungan
tersebut antara lain Iungsi idro-orologis atau Iungsi pengaturan air, maka dari itu
seharusnya pembangunan yang dilakukan di Kawasan Bopunjur tidak boleh
mengalami perubahan atau alih Iungsi kawasan. Ini sesuai dengan yang
ditegaskan dalam Keppres No.48 tahun 1983, Keppres No.79 tahun 1985, dan
Keppres No.114 tahun 1999, yang menyebutkan Iungsi kawasan Bopunjur adalah
sebagai daerah resapan/tangkapan air (.at.2ent area).
Kenyataannya Iungsi Kawasan Bopunjur sebagai daerah konservasi air,
semakin hari semakin berkurang, seperti yang disampaikan oleh data Kementerian
Negara Lingkungan Hidup (KNLH). Dalam kurun waktu delapan tahun telah
terjadi perubahan Iungsi lahan di kawasan lindung Kecamatan Cisarua yang
secara signiIikan menurun sekitar 74 persen. Luas kawasan lindung pada tahun
2000 diketahui masih ada sekitar 4.918 ha, kemudian pada tahun 2008 diketahui
yang tersisa hanya 1.265 ha. Sementara itu wilayah permukiman pun semakin
bertambah sebanyak 44 persen, dari semula 24.833 ha menjadi 35.750 ha.
Berdasarkan pengamatan sepanjang jalan menuju Puncak dari Bogor,
dapat terlihat banyak bangunan (villa) yang dibangun di lokasi dengan kelerengan
yang tinggi. Dari segi estetika penempatan posisi tersebut memang menghasilkan
pemandangan yang luar biasa indah, tetapi secara ekologis merusak Iungsi
17

perlindungan tanah dan air antara lain dapat mengakibatkan bencana longsor,
banjir dan matinya sumber-sumber mata air. Padahal dalam Keppres No 144
Tahun 1999 pasal 12 ayat 6, ditegaskan pemanIaatan ruang yang tidak boleh
dilakukan di kawasan di sekitar mata air, antara lain :
a. pemanIaatan ruang yang mengganggu bentang alam, mengganggu kesuburan
dan keawetan tanah, Iungsi hidrologi, kelestarian Ilora dan Iauna serta
kelestarian Iungsi lingkungan hidup
b. pemanIaatan hasil kayu
c. perusakan kualitas air, kondisi Iisik kawasan sekitarnya dan daerah tangkapan
air kawasan yang bersangkutan.
Dalam kasus Bopunjur, tata ruang kawasan ini jelas bermasalah karena
menyalahi aturan tata ruang sehingga proses perencanaan, pemanIaatan dan
pengendalian tata ruang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Ini juga
menunjukkan, bahwa peraturan-peraturan yang telah ada terkait penataan ruang
Bopunjur tidak eIektiI. Ketidak eIektiIan peraturan-peraturan tersebut terjadi
kemungkinan karena beberapa hal, antara lain :
- Keppres No 114 Tahun 1999 siIatnya terlalu umum dan implementatiI,
sehingga meskipun telah ada Keppres yang mengatur penataan ruang di
kawasan Bopunjur, tetapi tidak ada ketentuan yang merinci lebih detail
sebagai penjabaran dari Keppres tersebut.
- Penyusunan rencana tata ruang kawasan Bopunjur melibatkan banyak pihak
(terdapat delapan daerah yang terlibat), sementara masing-masing daerah
menyusun RTRW sesuai dengan kepentingan administrasinya masing-
masing.
- Tidak adanya keseriusan dan konsistensi pemerintah untuk menegakkan
aturan tata ruang di kawasan Bopunjur, berupa penyusunan aturan dibawah
Keppres yang bersiIat implementatiI.
Oleh karena itu diperlukan komitmen dari pihak pemerintah dan pihak lain
yang bekerja sama dengannya, untuk turut mendukung kebijakan terkait penataan
ruang Kawasan Bopunjur. Sikap pemerintah yang memberi izin atau membiarkan
pembangunan permukiman di kawasan yang seharusnya menjadi kawasan
18

lindung, memberikan preseden yang buruk terhadap pelanggaran aturan yang
sudah ada. Kemudian dalam rangka mewujudkan pembangunan berkelanjutan
serta menghindari terjadinnya dampak bencana yang lebih luas dan serius pada
masa mendatang, maka prinsip-prinsip penataan ruang berupa harmonisasi Iungsi
ruang untuk lindung dan budidaya sebagai satu kesatuan ekosistem tidak dapat
diabaikan.
Selain itu upaya pengendalian pembangunan dan dampaknya perlu
diselenggarakan secara terpadu lintas sektor dan lintas wilayah, melalui instrumen
penataan ruang dengan memperhatikan daya dukung lingkungan wilayah tersebut.
Ini sesuai dengan yang dijelaskan dalam UU terbaru No 26 tahun 2007 tentang
Penataan Ruang, disebutkan bahwa penyusunan rencana tata ruang harus
memperhatikan salah satunya adalah daya dukung dan daya tampung kawasan.
Berangkat dari permasalahan di Kawasan Bopunjur yang telah memberikan
dampak terusan pada wilayah yang ada di sekitarnya, maka penunjukkan kawasan
tertentu (Bopunjur) pada PP No 47 Tahun 1997 berubah mengikuti UU terbaru.
Kawasan tersebut berubah menjadi Kawasan Jakarta-Bogor-Depok-
Tangerang-Bekasi-Puncak-Cianjur (Jabodetabekpunjur) yang didasarkan
ketetapan PP terbaru No 26 Tahun 2008 tentang RTRW Nasional, dimana
kawasan tersebut disebut sebagai Kawasan Strategis Nasional. Adapun peraturan
pelaksana dari PP No 26 Tahun 2008 terkait dengan Jabodetabekpunjur, yaitu
Perpres No 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur.
Dengan adanya peraturan terbaru tentang Penataan Ruang Kawasan
Jabodetabekpunjur, maka aturan tata ruang wilayah yang selama ini berlaku di
kawasan tersebut perlu disesuaikan dengan Perpres yang baru.
Oleh karena itu aturan seperti Keppres No 114 Tahun 1999 tentang
Penataan Ruang Bopunjur, Keppres No 1 Tahun 1997 tentang Pengembangan
Kawasan Jonggol sebagai Kota Mandiri, Keppres No 52 Tahun 1995 tentang
Reklamasi Pantai Utara Jakarta, Keppres No 73 Tahun 1995 tentang Reklamasi
Pantai Kapuk Naga Tangerang tidak berlaku lagi
1
. Implikasi dari terbitnya

1
Ayl 2010 818W Parus ulsesualkan dengan erpres 8aru
hLLp//dlsklmrumabarprovgold/lndexphp?llmlLsLarL30 Selasa 20 SepLember 2011
19

Perpres ini, maka sejumlah rancangan pembangunan di Kawasan
Jabodetabekpunjur harus diubah dan disesuaikan dengan ketentuan yang baru.
Menanggapi ketentuan tersebut, sejumlah daerah otonom di Kawasan
Jabodetabekpunjur pun telah melakukan upaya penyesuaian. Contohnya :
Pemerintah kabupaten Tangerang telah melakukan konsultasi ke Badan
Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN) sebelum menerbitkan ijin
pembangunan permukiman di kawasan sekitar Bandara Internasional Soekarno
Hatta, dimana pengaturan pemanIaatan zonasinya telah diatur dalam Perpres No
54 Tahun 2008. Berdasarkan itu maka, Pemerintah Tangerang telah melakukan
pembatasan pembangunan pada areal sekitar bandar dan telah melukan konsultasi
dengan pusat sesuai yang diarahkan dalam peraturan yang kini berlaku
2
.
3.3. eterkaitan UU No 26 Tahun 2007 dengan Peraturan Lainnya
Dalam pelaksanaannya UU No 26 Tahun 2007 tidak dapat berdiri sendiri,
akan tetapi membutuhkan perangkat kebijakan lainnya seperti Peraturan
Pemerintah (PP), Peraturan Menteri (Permen), Peraturan Presiden (Perpres), atau
Peraturan Daerah (Perda), tergantung skala wilayahnya nasional, provinsi, atau
kabupaten dan kota. Pasal 1 pada UU No 26 Tahun 2007 yang mengartikan ruang
adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,
menunjukkan bahwa terdapat peraturan UU lainnya berhubungan dengan ruang-
ruang tersebut. Ini sejalan dengan apa yang tertulis pada pasal 6 UU No 26 Tahun
2007, menyatakan bahwa khusus untuk ruang laut dan udara pengelolaannya
diatur dengan UU tersendiri. Adapun peraturan-peraturan lainnya yang terkait
dengan UU No 26 Tahun 2007, secara jelas dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Peraturan Lainnya yang Terkait dengan UU No 26 Tahun 2007
No Pasal dan Ayat Isi Peraturan Terkait
1. Pasal 6, ayat 5
Pengelolaan ruang laut
dan udara diatur UU
tersendiri
UU No 32 Tahun 2009,
tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan
Hidup
Ruang Laut
UU No 27 Tahun 2007,

2
lmamsyah A 2010 !akarLa 1ak serlus !alankan erpres !abodeLabekpunur (1)
hLLp//wwwgreenradlom/news/laLesL/2119akarLaLakserlusalankanperpres
abodeLabekpunur1 Selasa 20 SepLember 2011
20

tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau
Kecil
Ruang Udara
(belum ada)
2. Pasal 13, ayat 4
Penyelenggaraan
pembinaan penataan
ruang diatur PP
PP No 15 Tahun 2010,
tentang Penyelenggaraan
Penataan Ruang
3. Pasal 14, ayat 7
Tingkat ketelitian peta
rencana tata ruang diatur
dalam PP
PP No 10 Tahun 2000,
tentang Tingkat Ketelitian
Peta untuk Penataan Ruang
Wilayah
4. Pasal 16, ayat 4
Kriteria dan tata cara
peninjauan kembali
rencana tata ruang diatur
dalam PP
PP No 15 Tahun 2010,
tentang Penyelenggaraan
Penataan Ruang
5. Pasal 17, ayat 7
Tata cara penyusunan
rencana tata ruang yang
berkaitan dengan Iungsi
pertahanan dan
keamanan diatur dalam
PP
PP No 15 Tahun 2010,
tentang Penyelenggaraan
Penataan Ruang
6. Pasal 18, ayat 3
Muatan, pedoman, dan
tata cara penyusunan
rencana tata ruang
wilayah provinsi, dan
penyusunan rencana tata
ruang wilayah
kabupaten/kota diatur
dalam Permen
OPermen PU No
15/PRT/M/2009, tentang
Pedoman Penyusunan
Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi
OPermen PU No
16/PRT/M/2009, tentang
Pedoman Penyusunan
Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten
OPermen PU No
17/PRT/M/2009, tentang
Pedoman Penyusunan
Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota
7. Pasal 20, ayat 6
Rencana tata ruang
wilayah nasional diatur
dalam PP
PP No 26 Tahun 2008,
tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional
8. Pasal 21, ayat 1
Rencana Rinci Tata
Ruang
Rencana tata ruang
pulau/kepulauan dan
rencana tataruang
kawasan strategis
nasional diatur dalam
tergantung wilayah pulau
21

Perpres
9. Pasal 23, ayat 6
Rencana tata ruang
wilayah provinsi diatur
dalam Perda Prov
tergantung wilayah provinsi
10. Pasal 24, ayat 1
Rencana Rinci Tata
Ruang
Rencana tata ruang
kawasan strategis
provinsi diatur dalam
Perda Prov
tergantung wilayah provinsi
11. Pasal 26, ayat 7
Rencana tata ruang
wilayah kabupaten diatur
dalam Perda Kab
tergantung wilayah
kabupaten
12. Pasal 27, ayat 1
Rencana Rinci Tata
Ruang
Rencana detail tata ruang
kabupaten/kota dan
rencana tata ruang
kawasan strategis
kabupaten/kota diatur
dalam Perda Kab
tergantung wilayah
kabupaten
13. Pasal 31
Penyediaan dan
pemanIaatan ruang
terbuka hijau dan non
hijau diatur dalam
Permen
Permen PU No
5/PRT/M/2008, tentang
Pedoman Penyediaan dan
PemanIaatan Ruang
Terbuka Hijau di Kawasan
Perkotaan
14. Pasal 33, ayat 5
Penatagunaan tanah, air,
udara, dan sumberdaya
alam lainnya diatur
dalam PP
OPP No 16 Tahun 2004,
tentang Penatagunaan
Tanah
OPP No 22 Tahun 1982,
tentang Tata Pengaturan Air
15. Pasal 37, ayat 8
Prosedur perolehan izin
pemanIaatan ruang dan
tata cara penggantian
yang layak diatur dalam
PP
PP No 15 Tahun 2010,
tentang Penyelenggaraan
Penataan Ruang
16. Pasal 38, ayat 6
Bentuk dan tata cara
pemberian insentiI dan
disinsentiI dalam
pelaksanaan
pemanIaatan tata ruang
diatur dalam PP
OPP No 68 Tahun 2010,
tentang Bentuk dan tata
Cara Peran Masyarakat
dalam Penataan Ruang
OPP No 15 Tahun 2010,
tentang Penyelenggaraan
Penataan Ruang
17. Pasal 40
Pengendalian
pemanIaatan ruang diatur
dalam PP
PP No 15 Tahun 2010,
tentang Pengendalian
PemanIaatan Ruang
22

18. Pasal 41, ayat 3
Kriteria kawasan
perkotaan menurut
besarannya diatur dalam
PP
PP No 15 Tahun 2010,
tentang Pengendalian
PemanIaatan Ruang
19. Pasal 47, ayat 2
Penataan ruang kawasan
perkotaan diatur dalam
PP
Belum ada
20. Pasal 48, ayat 2
Perlindungan terhadap
kawasan lahan abadi
pertanian pangan diatur
dengan UU tersendiri
UU No 41 Tahun 2009,
tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan
Berkelanjutan
21. Pasal 48, ayat 5
Penataan ruang kawasan
agropolitan diatur dalam
PP
Belum ada
22. Pasal 48, ayat 6
Penataan ruang kawasan
perdesaan diatur dalam
PP
Belum ada
23. Pasal 54, ayat 2
Penataan ruang kawasan
perdesaan untuk kawasan
agropolitan yang berada
dalam satu kabupaten
diatur dalam Perda Kab
Tergantung wilayah
kabupaten
Penataan ruang kawasan
untuk kawasan
agropolitan yang berada
dalam dua atau lebih
kabupaten diatur dalam
Perda Prov
Tergantung wilayah
provinsi
Penataan ruang kawasan
untuk kawasan
agropolitan yang berada
dalam dua atau lebih
wilayah provinsi diatur
dalam PP
Belum ada
24. Pasal 58, ayat 5
Standar pelayanan
minimal bidang penataan
ruang diatur dalam
Permen
Permen PU No
14/PRT/M/2010, tentang
Standar Pelayanan Minimal
Bidang Pekerjaan Umum
dan Penataan Ruang
25. Pasal 59, ayat 3
Tata cara pengawasan
terhadap pengaturan,
pembinaan, dan
pelaksanaan penataan
ruang diatur dalam
Permen
Belum ada
26. Pasal 64
Kriteria dan tata cara
pengenaan sanksi
administratiI
PP No 15 Tahun 2010,
tentang Penyelenggaraan
Penataan Ruang
23

27. Pasal 65, ayat 3
Tata cara dan bentuk
peran masyarakat dalam
penataan ruang
PP No 68 Tahun 2010,
tentang Bentuk dan tata
Cara Peran Masyarakat
dalam Penataan Ruang
Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa terdapat 14 peraturan lainnya
yang terkait dengan UU No 26 Tahun 2007, selain itu juga terlihat beberapa pasal
belum memiliki perangkat kebijakan lainnya yang mendukung seperti UU tentang
Pengelolaan Ruang Udara, PP tentang Penataan Ruang Kawasan Perdesaan dan
Agropolitan, dan Permen tentang Tata Cara Pengawasan Penataan Ruang.
Sementara itu untuk perangkat kebijakan dalam bentuk Perda disusun tersendiri
berdasarkan tingkat wilayahnya masing-masing, yaitu : provinsi, kabupaten, dan
kota. Indonesia sendiri saat ini memiliki 33 provinsi, 398 kabupaten, dan 93 kota,
dimana dari total keseluruhan Perda RTRW yang sudah ada secara berurut
sebanyak 30 provinsi, 158 kabupaten, dan 40 kota (Adam R. 2011).
eterkaitan dengan UU No 32 Taun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
Lingkungan hidup pada UU No 32 Tahun 2009 dideIinisikan sebagai
kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup,
termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri,
kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup
lain. Ruang sendiri dalam UU No 26 Tahun 2007 dideIinisikan sebagai wadah
yang meliputi ruang darat, laut, dan udara, termasuk di dalam bumi sebagai
kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk hidup lain hidup, melakukan
kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya. Oleh karena hubungannya yang
timbal balik, maka setiap pengelolaan dan pemanIaatan lingkungan hidup akan
selalu mempengaruhi kualitas lingkungan tersebut dan kemungkinan juga dapat
mengancam kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya.
Berdasarkan itu maka ditetapkanlah UU No 32 Tahun 2009 tentang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, guna melestarikan Iungsi
lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran juga kerusakan
lingkungan hidup dalam rangka mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Salah
satu bentuk perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dapat terwujud
24

melalui pengendalian pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup, meliputi
antara lain : pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan. Upaya pencegahan
pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup, berdasarkan UU No 32 Tahun
2009 pada Pasal 14, dapat terwujud dengan menggunakan beberapa instrumen
seperti : Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan tata ruang.
KLHS adalah rangkaian analisis sistematis, menyeluruh, dan partisipatiI
untuk memastikan bahwa prinsip berkelanjutan telah menjadi dasar dan
terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah atau kebijakan, rencana, atau
program. KLHS menurut UU No 32 Tahun 2009 Pasal 15, bersiIat wajib untuk
dilaksanakan dalam penyusunan atau evaluasi RTRW beserta rencana rincinya,
RPJP, RPJM, serta kebijakan, rencana, atau program yang berpotensi
menimbulkan dampak atau risiko lingkungan hidup. Ini sejalan dengan yang
tertulis dalam UU No 26 Tahun 2007, bahwa setiap RTRW harus memperhatikan
perkembangan permasalahan regional dan global, serta hasil pengkajian implikasi
penataan ruang, juga daya dukung dan tampung lingkungan hidup.
Tata ruang sebagai salah satu instrumen yang digunakan dalam
pencegahan pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup, berdasarkan UU No 26
Tahun 2007 pada Pasal 1, adalah wujud struktur dan pola ruang. Adapun wujud
dari struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan
prasarana dan sarana, sedang pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam
suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk Iungsi lindung dan budi
daya. Sejalan dengan UU No 32 Tahun 2009, tata ruang sangat penting digunakan
dalam kegiatan pencegahan untuk menjaga kelestarian Iungsi lingkungan hidup
dan keselamatan masyarakat.
Ini karena, seperti yang disebutkan dalam UU No 26 Tahun 2007,
keberadaan ruang pada hakikatnya terbatas dan pemahaman masyarakat terhadap
pentingnya penataan ruang semakin berkembang. Oleh karenanya diperlukan
penyelenggaraan penataan ruang yang transparan, eIektiI, dan partisipatiI agar
terwujud ruang yang aman, nyaman, produktiI, dan berkelanjutan, seperti apa
yang menjadi tujuan UU No 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.

25

eterkaitan dengan PP No 27 Taun 1999 tentang AMDAL
UU No 32 Tahun 2009 menyatakan bahwa setiap usaha atau kegiatan yang
kemungkinan dapat menimbul dampak besar dan penting terhadap lingkungan
wajib memiliki AMDAL, dimana dalam pelaksanaannya kemudian diatur dalam
PP No 27 Tahun 1999 tentang AMDAL. Pemasukan AMDAL kedalam proses
perencanaan usaha atau kegiatan, maka pengambil keputusan akan memperoleh
pandangan lebih luas dan mendalam mengenai berbagai aspek usaha atau kegiatan
tersebut, sehingga dapat diambil keputusan optimal dari berbagai alternatiI yang
ada. Berdasarkan itu maka AMDAL dapat dikatakan merupakan salah satu alat
bagi pengambil keputusan untuk mempertimbangkan akibat yang mungkin
ditimbulkan suatu rencana usaha atau kegiatan terhadap lingkungan, guna
mempersiapkan langkah penanggulangan dampak negatiI dan pengembangan
dampak positiI.
Pasal 2 dalam PP No 27 Tahun 1999 membagi AMDAL kedalam tiga
jenis, antara lain : AMDAL Tunggal, AMDAL Terpadu, dan AMDAL Kawasan.
Terkait dengan penataan ruang, AMDAL ketiga jenis dokumen tersebut dalam
penyusunannya harus memperhatikan RTRW atau Rencana Tata Ruang Kawasan
(RTRK). Ini bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap Iungsi ruang dan
mencegah dampak negatiI terhadap lingkungan akibat pemanIaatan ruang,
sehingga dapat terwujud keterpaduan antara penggunaan sumberdaya alam dan
sumberdaya buatan.
Tidak hanya dari pihak pemrakarsa, pihak penilai AMDAL pun dalam
menilai dokumen AMDAL harus memperhatikan kesesuaian lokasi usaha atau
kegiatan dengan RTRW pada wilayah dimana usaha atau kegiatan direncanakan
(Pasal 13). Sehubungan dengan itu maka dalam pelaksanaannya, instansi yang
bertanggung jawab wajib menolak Kerangka Acuan-Analisis Dampak
Lingkungan (KA-ANDAL), jika rencana lokasi usaha atau kegiatan terletak dalam
kawasan yang tidak sesuai dengan RTRW atau RTRK. Ini sesuai dengan
ketetapan yang terdapat dalam PP No 27 Tahun 1999 Pasal 16, yang bertujuan
untuk melindungi kepentingan umum yaitu mendapat perlindungan terhadap
Iungsi lingkungan hidup.

26

eterkaitan dengan UU No 27 Taun 2007 tentang Pengelolaan Wilaya Pesisir
dan Pulau-Pulau e.il
Ruang dalam UU No 26 Tahun 2007 terdiri dari ruang darat, laut, dan
udara, termasuk ruang di dalam bumi (pertambangan), dimana khusus untuk ruang
laut dan udara pengelolaannya diatur dengan UU tersendiri. UU yang mengelola
ruang laut salah satunya adalah UU No 27 Tahun 2007, tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (WP3K). Proses pengelolaan WP3K
meliputi antara lain : perencanaan, pemanIaatan, pengawasan, dan pengendalian.
Rencana Zonasi WP3K (RZWP-3-K) sebagai salah satu bentuk perencanaan
pengelolaan WP3K, berdasarkan Pasal 9 UU No 27 Tahun 2007, merupakan
arahan pemanIaatan sumber daya di WP3K pemerintah provinsi dan kabupaten
atau kota.
Perencanaan RZWP-3-K dalam pelaksanaannya harus diserasikan,
diselaraskan, dan diseimbangkan dengan RTRW pemerintah provinsi atau
pemerintah kabupaten atau kota melalui Perda Provinsi atau Kabupaten/Kota.
Ini menunjukkan bahwa antara RZWP-3-K dan RTRW Provinsi atau
Kabupaten/Kota adalah dua peraturan yang berbeda, dimana dalam
penyusunannya RZWP-3-K diwajibkan mengikuti dan memadukan rencana
Pemerintah dan Pemerintah Daerah (Pasal 11 UU No 27 tahun 2007).
eterkaitan dengan UU No 41 Taun 2009 tentang Perlindungan Laan
Pertanian Pangan Berkelanfutan
Perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan merupakan sistem dan
proses dalam merencanakan dan menetapkan, mengembangkan, memanIaatkan
dan membina, mengendalikan, serta mengawasi lahan pertanian dan kawasannya
secara berkelanjutan. Salah satu aspek ruang lingkup perlindungan lahan pertanian
pangan berkelanjutan yang berkaitan dengan penataan ruang adalah perencanaan
dan penetapan kawasan, antara lain : Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan,
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di dalam dan luar Kawasan, serta Lahan
Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan di dalam dan luar Kawasan.
Ini karena penetapan kawasan-kawasan tersebut merupakan bagian dari
penetapan rencana tata ruang Kawasan Perdesaan di wilayah kabupaten dalam
RTRW atau rencana rinci tata ruang wilayah Kabupaten yang menjadi dasar
27

penyusunan peraturan zonasi (UU No 41 Tahun 2009, Pasal 19 s/d 21). Adapun
ketentuan terkait penetapan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan diatur
dalam peraturan tersendiri berdasarkan tingkat wilayahnya (nasional, provinsi,
atau kabupaten/kota) yang dilakukan sesuai dengan UU tentang penataan ruang.
Keterkaitan lainnya dapat dilihat pada Pasal 46 UU No 41 Tahun 2009, yang
menyatakan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dapat dialihIungsikan untuk
kepentingan umum, dengan syarat menetapkan lokasi pengganti untuk lahan
pertanian pangan yang disesuaikan RTRW daerah bersangkutan.
Peraturan Penataan Ruang Terkait dengan awasan 1abodetabekpunjur
Penataan ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi,
Puncak, Cianjur (Jabodetabekpunjur) awalnya diatur dalam Keputusan Presiden
(Keppres) No 49 Tahun 1983 tentang Penataan Ruang Kawasan Puncak, dengan
rencana umum tata ruang yang diatur dalam Keppres No 79 tahun 1985.
Kemudian perangkat kebijakan yang mengatur penataan ruang kawasan puncak
mengalami penyesuaian, dengan dikeluarkannya Keppres No 114 Tahun 1999
tentang Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur (Bopunjur). Oleh karena
dikeluarkannya UU terbaru tentang penataan ruang (UU No 26 Tahun 2007),
maka terdapat perubahan perangkat kebijakan terkait penataan ruang Kawasan
Bopunjur. Perubahan perangkat kebijakan tersebut yaitu dengan ditetapkannya
Kawasan Jabodetabekpunjur sebagai kawasan strategis nasional pada PP No 26
Tahun 2008.
Peraturan pelaksana dari ketetapan PP No 26 Tahun 2008 adalah Perpres
No 54 Tahun 2008 yang mengatur Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur,
dengan cakupan wilayah yang termasuk didalamnya sesuai ketentuan pasal 5,
antara lain : Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, sebagian Provinsi Jawa Barat
(Kabupaten dan Kota Bekasi, Kota Depok, Kabupaten dan Kota Bogor, serta
sebagian Kabupaten Cianjur), dan sebagian Provinsi Banten (Kabupaten dan Kota
Tangerang). Berdasarkan itu sesuai ketetapan UU No 26 Tahun 2007 pasal 23, 24,
26, dan 27, maka penataan ruang pada tiap wilayah yang termasuk Kawasan
Jabodetabekpunjur diatur oleh Perda masing-masing wilayah sesuai tingkatannya
(Tabel 2). Adapun perangkat kebijakan lainnya yang terkait dengan Perpres No 54
Tahun 2008 secara jelas dapat dilihat pada Tabel 4.
28

Tabel 4. Peraturan Lainnya yang Terkait dengan Perpres No 54 Tahun 2008
No Pasal dan Ayat Isi Peraturan Terkait
1. Pasal 10, ayat 2
Sistem pusat permukiman
merupakan hirearki pusat
permukiman sesuai RTRW
Nasional
PP No 26 Tahun 2008, tentang
RTRW Nasional
2. Pasal 13, ayat 1
Pengembangan sistem pusat
permukiman sesuai RTRW
Nasional
3. Pasal 15, ayat 3
Penataan ruang di sekitar
kawasan terminal dan
sepanjang jalan harus sesuai
dengan rencana
pengembangan transportasi
jalan dan ketentuan
keselamatan transportasi jalan
Permenhub No.PM 51 Tahun 2011
tentang Terminal Khusus dan
Terminal Untuk Kepentingan Sendiri
Pasal 5 ayat 2 butir a dan c
4. Pasal 15, ayat 4
Penataan ruang di sekitar
kawasan stasiun dan
sepanjang jaringan jalur kereta
api harus sesuai dengan
rencana pengambangan
perkeretaapian dan ketentuan
keselamatan perkeretaapian
pada jaringan jalur kereta api
Undang-Undang No.23 tahun 2007
tentang Perkeretaapian, pasal 7 dan
pasal 24.

PP No.72 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Kereta Api
Bab II Jaringan Pelayanan.
5. Pasal 16, ayat 2
Penataan ruang di sekitar
kawasan pelabuhan harus
sesuai dengan rencana induk
pelabuhan dan ketentuan
keselamatan pelayaran pada
Daerah Lingkungan Kerja
(DLKr), Daerah Lingkungan
Kepentingan (DLKp), dan
Tatanan Kepelabuhan
Nasional

6. Pasal 17, ayat 2
Penataan ruang di sekitar
kawasan bandar udara harus
sesuai dengan rencana induk
bandar udara, ketentuan
kawasan keselamatan operasi
penerbangan, dan Tatanan
Kebandaraan Nasional

7. Pasal 19, ayat 2
Strategi pengelolaan air
limbah memperhatikan baku
mutu limbah cair
OUU No 32 Tahun 2009, tentang
Pengelolaan dan Perlindungan
terhadap Lingkungan Hidup
OPP No 82 Tahun 2001, tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan
Pencemaran Air
OKepmen LH No 51 Tahun 1995,
tentang Baku Mutu Limbah Cair
Kegiatan Industri
OKepmen LH No 52 Tahun 1995,
tentang Baku Muru Limbah Cair
Kegiatan Hotel
OKepmen LH No 58 Tahun 1995,
tentang Baku Mutu Limbah Cair
Kegiatan Rumah Sakit
8. Pasal 19, ayat 5
Ketentuan lain terkait
pengelolaan limbah diatur
sesuai ketentuan perundang-
undangan
29

OKepmen LH No 112 Tahun 2003,
tentang Baku Mutu Air Limbah
Domestik
9. Pasal 20, ayat 3
Pengelolaan limbah B3 diatur
dalam peraturan perundang-
undangan
OUU No 32 Tahun 2009, tentang
Pengelolaan dan Perlindungan
terhadap Lingkungan Hidup
OPP No 18 Tahun 1999, tentang
Pengelolaan Limbah B3 .o fo. PP No
85 Tahun 1999, tentang Perubahan
atas Pengelolaan Limbah B3
10. Pasal 20, ayat 5
Ketentuan lain terkait
pengelolaan limbah B3 diatur
sesuai ketentuan perundang-
undangan
11. Pasal 21, ayat 4
Penetapan sungai-sungai
prioritas diatur sesuai
ketentuan perundang-
undangan
OUU No 7 Tahun 2004, tentang
Sumber Daya Air
OUU No 32 Tahun 2009, tentang
Pengelolaan dan Perlindungan
terhadap Lingkungan Hidup
OPP No 42 Tahun 2008, tentang
Pengelolaan Sumber Daya Air
OPermen PU No 48 Tahun 1990,
tentang Pengelolaan Air Sungai
OPermen PU No 63 Tahun 1993,
tentang Sempadan Sungai
12. Pasal 22, ayat 2
Strategi pengelolaan
persampahan harus sesuai
ketentuan perundang-
undangan
OUU No 18 Tahun 2008, tentang
Pengelolaan Sampah
OUU No 32 Tahun 2009, tentang
Pengelolaan dan Perlindungan
terhadap Lingkungan Hidup
13. Pasal 23, ayat 5
Ketentuan lain terkait
pengembangan sistem jaringan
tenaga listrik diatur sesuai
ketentuan peraturan
perundang-undangan
O
14. Pasal 24, ayat 5
Ketentuan lain terkait
pengembangan sistem jaringan
telekomunikasi diatur sesuai
peraturan perundang-
undangan
O
15. Pasal 28, ayat 2
Jenis kegiatan pemanIaatan
ruang di kawasan hutan diatur
dengan peraturan perundang-
undangan
OUU No 41 Tahun 1999, tentang
Kehutanan
OUU No 4 Tahun 2009, tentang
Pertambangan Mineral dan Batu
Bara
OUU No 32 Tahun 2009, tentang
Pengelolaan dan Perlindungan
terhadap Lingkungan Hidup
OUU No 5 Tahun 1990, tentang
Konservasi Sumberdaya alam dan
Ekosistemnya
OPP No 45 Tahun 2004, tentang
Perlindungan Hutan
OPP No 6 Tahun 2007, tentang Tata
Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan dan PemanIaatan Hutan
.o fo. PP No 3 Tahun 2008, tentang
Perubahan atas Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan
dan PemanIaatan Hutan
30

OPermenhut No 68 Tahun 2008,
tentang Penyelenggaraan REDD
OPermenhut No 30 Tahun 2009,
tentang Tata Cara Pengurangan
Emisi
OPermenhut No 36 Tahun 2009,
tentang Tata Cara Izin PemanIaatan
REDD
16. Pasal 49, ayat 2
RTRW dijabarkan lebih lanjut
dalam rencana rinci yang
ditetapkan dengan Perda
OPerda Prov DKI Jakarta
OPerda Prov Jawa Barat
OPerda Prov Banten
OPerda Kabupaten Bekasi
OPerda Kabupaten Bogor
OPerda Kabupaten Cianjur
OPerda Kabupaten Tangerang
OPerda Kota Bekasi
OPerda Kota Bogor
OPerda Kota Depok
OPerda Kota Tangerang
17. Pasal 61, ayat 2
Tata cara pelaporan
pemanIaatan ruang diatur
dengan Permen

18. Pasal 70
Peraturan pelaksana dari
Keppres yang sudah ada
sebelumnya tetap berlaku
selama tidak bertentangan
dengan Perpres dan belum
diganti dengan peraturan
pelaksana lainnya


31

IV. ESIMPULAN DAN SARAN
4.1. esimpulan
Berdasarkan analisis isi diatas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Secara umum substansi Undang-Undang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang sudah lebih baik dibandingkan Undang-Undang No.24 Tahun 1992
tentang penataan ruang, karena lebih mengakomodasi Hak, Kewajiban dan
Peran serta Masyarakat, penekanan pada hal-hal yang bersiIat strategis dan
berdapak penting pada lingkungan, penetapan sanksi yang lebih tegas,
penataan ruang yang berbasis mitigasi bencana serta penetapan lahan
pertanian abadi demi ketahanan pangan.
2. Implementasi Undang-Undang No.26 Tahun 2007 terhadap penataan ruang
Bopunjur masih terkendala komunikasi antar pejabat daerah terkait dan
komitmen terhadap perbaikan kualitas dan Iungsi lingkungan masih rendah
karena mementingkan kepentingan daerah masing-masing.
4.2. Saran
Undang-undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang adalah bentuk
upaya Pemerintah dalam mewujudkan pengaturan pemanIaatan ruang dalam era
desentralisasi atau otonomi daerah. Pelaksanaan penataan ruang Indonesia sesuai
dengan UU No. 26 tahun 2007 hingga saat ini masih berada pada tahap
perencanaan tata ruang atau penyusunan rencana tata ruang wilayah (RTRW),
terutama untuk tingkat provinsi dan kabupaten/kota yang sebagian besar belum
memiliki RTRW. Penyusunan berbagai peraturan seperti yang diamanatkan oleh
UU Penataan Ruang, seperti Peraturan Pemerintahan dan sinkronisasi peraturan
lintas sektor, sebagian belum terlaksana.
Hal ini tentunya dapat menghambat pelaksanaan pemanIaatan ruang dan
pembangunan. Perlu dilakukan komunikasi yang lebih intensiI antar pejabat
daerah, dengan diIasilitasi oleh Pemerintah Pusat, kemudian Pemerintah Pusat
juga lebih menggiatkan kegiatan pemantauan atau evaluasi terhadap tata ruang di
daerah, agar semangat membangun daerah tidak membuat kemerosotan kualitas
serta penurunan Iungsi lingkungan. Kegitan sosialisasi terhadap petunjuk teknis
32

maupun pedoman pemberian izin harus lebih sering di sosialisasikan kepada
seluruh masyarakat agar dapat berperan aktiI dalam pengawasan tata ruang.
33

DAFTAR PUSTAA

Ditjen Penataan Ruang, Departemen Kimpraswil, Penataan Ruang Dalam


Pencegahan Bencana Banjir: Kasus Pulau Jawa dan Kawasan Jabodetabek-
Punjur, www.bebasbanjir2025.wordpress.com , diakses tanggal 15
September 2011.

Ernawi, I.S. 2007 2plikasi Penerapan Undang-Undang No2or 26 Taun 2007
Teradap Peran Peren.ana dan Asosiasi Profesi Peren.ana. Di unduh dari
http://www.penataanruang.net. Tanggal akses Rabu, 14 September 2011.

Kementerian Lingkungan Hidup, Kondisi Lingkungan Bopunjur Mencemaskan,
www.menlh.go.id, diakses tanggal 14 September 2011.

Leonardus, R. Eksistensi Lanskap Agrowisata Bopunjur,
www.reganleonardus.wordpress.com, diakses tanggal 15 September 2011.

Pikiran Rakyat Online, Macan Ompong Keppres Bopunjur, www.pikiran-
rakyat.com, diakses tanggal 14 September 2011.

Prasetyo, H. 2008. Implikasi dan Implementasi UU Nomor 26 Tahun 2007
Tentang Penataan Ruang di Provinsi Jawa Timur. Bulletin Tata Ruang Edisi
Maret- April 2008. Diunduh dari
http://www.bulletin.penataanruang.net/index.asp?modIullart&idart42
. Tanggal akses Rabu, 14 September 2011.

Samadikun B.P. Dampak Pertimbangan Ekonomis Terhadap Tata Ruang Kota
Jakarta dan Bopunjur, Jurnal Presipitasi Vol. 2 No. 1 Maret 2007, ISSN
1907-187X.
Suara Karya Online, Terjadi Pelanggaran Keppres Penataan Ruang Bopunjur,
www.suarakarya-online.com, diakses tanggal 14 September 2011.

You might also like