You are on page 1of 13

PERAN GENERASI MUDA BAGI BANGSANYA

Oleh Prof. Dr. Nur Syam, M.Si.

Secara definitif seseorang dianggap pemuda jika dari sisi usia adalah dalam bentangan usia 10-24 tahun. Di sisi lain, seseorang bisa saja dianggap muda jika yang bersangkutan memiliki semangat sebagaimana kaum muda. Bisa jadi usianya tua kira-kira 40 tahunan akan tetapi masih berjiwa muda. Generasi muda adalah the leader of tomorrow. Makanya di tangan kaum mudalah nasib sebuah bangsa dipertaruhkan. Jika kaum mudanya memiliki semangat dan kemampuan untuk membangun bangsa dan negaranya, maka sesungguhnya semuanya itu akan kembali kepadanya. Hasil pembangunan dalam aspek apapun sebenarnya adalah untuk kepentingan dirinya dan masyarakatnya. Para generasi pendahulu telah menghasilkan karya besar bagi bangsa ini. Kemerdekaan bangsa merupakan karya monumental yang luar biasa yang dihasilkan oleh para founding fathers negeri ini, yang tidak lain adalah para pemuda. Kemerdekaan bangsa ini bukan dihasilkan melalui warisan para penjajah, namun dihasilkan melalui tercecernya keringat dan darah, semangat dan aktivitas, retorika dan diplomasi yang dilakukan oleh para pendahulu. Peran pemuda dalam sejarah negara dan bangsa Indonesia pertama kali dapat dilihat dari kebangkitan bangsa tahun 1908 atau tepatnya ketika berdiri Boedi Oetomo tanggal 20 Mei 1908. Melalui proses kebangkitan bangsa ini, maka para pemuda telah menggelorakan semangat agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang tidak terserak-serak dalam arti wilayah, suku, ras, agama dan sebagainya akan tetapi telah memiliki kesadaran berorganisasi sebagai persyaratan untuk kebangkitan nasional. Mereka dikenal sebagai generasi 08. Salah satu tonggak lain, persatuan dan kesatuan bangsa sebenarnya ketika terjadi Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Hal ini berarti bahwa pemuda telah memiliki peran yang sangat signifikan dalam proses pembentukan negara kesatuan Republik Indonesia. Melalui Sumpah Pemuda: Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa Indonesia merupakan titik awal bagi proses pembentukan negara bangsa yang kemudian dikenal sebagai negara dan bangsa Indonesia. Kongres para pemuda di tahun tersebut tentunya tidak bisa dibayangkan seperti rapat umum di zaman sekarang. Rapat Umum para pemuda kala itu tentu berada di bawah bayang-bayang kekuasaan kaum kolonialis, sehingga akan terdapat banyak kesulitan yang dihadapi. Meskipun begitu, para pemuda dengan sangat antusias dan semangat akhirnya dapat mencetuskan gagasan mengenai Indonesia pasca penjajahan, Indonesia merdeka. Mereka inilah yang kemudian disebut sebagai generasi tahun 28. Generasi muda kemudian juga berhasil menorehkan tinta emas bagi perjalanan bangsa ini ketika di tahun 1945 kembali mereka merenda dan mengimplementasikan gagasan mengenai satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa dalam bentuk kemerdekaan bangsa, yang teks proklamasinya dibacakan oleh Ir. Soekarno tepat jam 10 tanggal 17 Agustus 1945. Melalui proklamasi kemerdekaan ini, maka bangsa Indonesia yang selama ini tidak memiliki kedaulatan yang terfragmentasi dalam kerajaan-kerajaan, maka menyatu menjadi satu yaitu bangsa Indonesia. Lagu Satu Nusa Satu Bangsa yang sering dikumandangkan pada waktu upacara merupakan simbol dan substansi dari menyatunya segenap elemen bangsa Indonesia. Mereka dikenal sebagai generasi 45. Ketika terjadi krisis kekuasaan akibat gerakan makar yang dilakukan oleh PKI di tahun 1966, maka pemuda juga bangkit melakukan perlawanan. Para aktivis organisasi kemahasiswaan, seperti GMNI, PMII, HMI, PMKRI, GMKI dan segenap elemen mahasiswa melakukan tiga tuntutan rakyat (Tritura) yang sangat dikenang, yaitu: Bubarkan PKI, Bersihkan pemerintahan dari unsur-unsur PKI dan Turunkan harga. Tritura ini menjadi salah satu power pressure bagi pemerintahan Orde Lama untuk melakukan berbagai perubahan sehingga memunculkan Orde Baru yang kemudian berkuasa dalam puluhan tahun. Mereka dikenal sebagai generasi 66.

Kekuasaan Orde Baru yang tiranic, gigantic and powerfull ternyata juga tidak mampu menghadang kekuatan mahasiswa yang di tahun 1998 melakukan berbagai aksi untuk menurunkan Jenderal Besar Soeharto dari panggung kekuasaan. Melalui gerakan people power akhirnya kekuasaan otoriter Soeharto pun harus berakhir. Gerakan mahasiswa yang terjadi saat itu sungguh sekali lagi membuktikan bahwa mahasiswa memiliki kekuatan untuk melakukan perubahan sosial. Melalui gerakan mahasiswa tersebut maka muncullah Orde reformasi yang berlangsung sekarang. Mereka dikenal sebagai generasi 98. Mencermati terhadap gerakan para pemuda ini, maka kiranya tidak salah jika kemudian para pemuda dapat menjadi agent of social change, baik dalam skala nasional maupun lokal. Gerakan para pemuda dalam kiprahnya ini juga memberikan catatan bahwa ada siklus 20 tahunan, di mana para pemuda memainkan peranan signifikan dalam kehidupan bangsa dan negara. Wallahu alam bi al-shawab. Laman Diunduh : http://nursyam.sunan-ampel.ac.id/?cat=545 : 19 Oktober 2011, 20:40 WIB

Membangun Karakter dan Kemandirian Bangsa


Selasa, 19 Juni 2007 M. Hatta Rajasa Menteri Sekretaris Negara Republik Indonesia

Pendahuluan Pembangunan bangsa dan pembangunan karakter bangsa adalah dua istilah yang sering saling dipertautkan antara satu dengan lainnya. Hal ini sangat wajar karena artikulasi sebuah bangsa memang berbeda dengan sebuah benda fisik biasa, misalnya bangunan atau jembatan. Jika sebuah bangunan atau jembatan runtuh, maka keruntuhannya dapat tampak secara fisik, antara lain dengan berserakannya bagian bagian jembatan atau bangunan tersebut. Namun hal tersebut berbeda dengan bangsa. Sebuah bangsa adalah kumpulan dari tata nilai (values). Sendi sendi yang menopang sebuah bangsa umumnya adalah berupa karakter dan mentalitas rakyatnya yang menjadi pondasi yang kukuh dari tata nilai bangsa tersebut. Keruntuhan sebuah bangsa umumnya ditandai dengan semakin lunturnya nilai nilai bangsa tersebut, walaupun secara fisik bangsa tersebut sebenarnya masih eksis. Meskipun sudah bukan barang baru, namun harus diakui bahwa fenomena globalisasi adalah dinamika yang paling strategis dan membawa pengaruh dalam tata nilai dari berbagai bangsa termasuk bangsa Indonesia. Sebagian kalangan menganggapnya sebagai ancaman yang berpotensi untuk menggulung tata nilai dan tradisi bangsa kita dan menggantinya dengan tata nilai pragmatisme dan populerisme asing. Di pihak lain, globalisasi adalah juga sebuah fenomena alami, sebuah fragmen dari perkembangan proses peradaban yang harus kita lalui bersama. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pada makalah ini globalisasi akan dijadikan sebagai acuan untuk mengulas pembangunan karakter bangsa menuju pada kemandirian bangsa. Dan sehubungan bahwa generasi muda adalah komponen bangsa yang paling rentan dalam proses amalgamasi tata nilai dan budaya, maka menjelang 100 tahun peringatan Hari Kebangkitan Nasional, secara khusus akan diberikan ulasan tentang peran kritis generasi muda dalam pembangunan dan pemberdayaan karakter kebangsaan yang positif, yang menunjang pada kemandirian bangsa di tengah terpaan arus globalisasi. Pembangunan Bangsa yang Berkarakter Pada prinsipnya memang membangun sebuah bangsa tidaklah cukup hanya dalam esensi fisik belaka. Perlu adanya suatu orientasi yang sedemikian sehingga esensi fisik tersebut berlanjut dalam suatu internalisasi untuk menuju pada pembangunan tata nilai atau sebaliknya pembangunan yang berorientasi pada tatanan fisik tersebut dijiwai oleh semangat peningkatan tata nilai sosio kemasyarakatan dan budaya, meskipun yang kedua ini umumnya lebih sulit dibandingkan dengan yang pertama. Setidaknya ada 2 (dua) argumen penting menyangkut pembangunan yang bertata nilai yakni: 1. Pembangunan yang bertata nilai merupakan esensi dari suatu pemahaman pembangunan yang sepenuhnya berorientasi pada manusia sebagai subyek pembangunan atau lazim dikenal dengan human oriented development. Tanpa adanya orientasi hal yang demikian, maka pembangunan hanya akan mencakup tataran fisik dan tanpa disertai adanya pembangunan budaya serta peningkatan standar nilai kehidupan manusianya. 2. Pembangunan yang bertata nilai juga berarti jalur untuk dapat tercapainya suatu tata pemerintahan yang baik, atau good governance. Karena hanya melalui orientasi pembangunan yang semacam ini sajalah, maka dapat diharapkan akan terjadi interaksi positif antara pemerintah dan masyarakatnya untuk secara arif mengelola sumber daya alam maupun juga tentunya penataan sumber daya manusianya yang sedemikian sehingga tidak bernuansa eksploitasi, apalagi mengarah pada sejumlah bentuk eksploitasi yang tidak bertanggung jawab. Dengan cara ini, maka tidak saja pembangunan yang bertata nilai akan semakin meningkatkan kondusifitas interaksi antara pemerintah dan masyarakatnya akan tetapi juga semakin mempercepat proses pembentukan suatu masyarakat madani yang lebih demokratis. Untuk lebih dapat memahami dalam konteks yang lebih praktikal, maka dalam makalah ini akan diulas tentang sejumlah hal terkait dengan arti dan makna pembinaan karakter bangsa, potensi potensi bangsa yang harus dikembangkan untuk mencapai kemandirian bangsa yang bertata nilai, dan tentunya juga peran kritis dari generasi

muda didalamnya. Arti dan Makna Pembinaan Karakter Bangsa Mantan Perdana Menteri Malaysia, Datuk Sri Dr. Mahathir Muhammad pernah mengeluarkan sebuah pernyataan retorik tentang pembinaan karakter suatu bangsa yakni, Ketika suatu bangsa mulai membangun, maka yang pertama kali menjadi korban adalah kelembagaan keluarga berikut seluruh tatanan nilai kekeluargaan yang ada di dalamnya?. Pernyataan retorik di atas tentunya mengandung arti yang luas walaupun barangkali tidak terlalu paradoksal. Sebagian dari kita tentu memahami bahwa di negara-negara industri maju, memang umumnya fenomena hilangnya kohesivitas keluarga, sangat tampak dan sangat kentara, sejalan dengan semakin meningkatnya idiom modernisasi? di negara-negara tersebut. Sehingga pembangunan dan pembinaan karakter suatu bangsa menjadi suatu istilah yang semakin sering diungkapkan sekaligus di perlukan pemahamannya yang lebih baik, khususnya dalam menjadikan pembangunan fisik suatu bangsa sebagai salah satu instrumen dalam pembinaan karakter manusianya. Aspek lain yang tidak kalah pentingnya adalah pengaruh dari kemajuan kapasitas berpikir manusia, yang umumnya diartikulasikan dalam bentuk kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Terutama dalam hal ini adalah teknologi informasi dan telekomunikasi. Kedua jenis teknologi ini secara sangat radikal telah mengakselerasi proses interaksi antar manusia dari berbagai bangsa dan memberikan dampak adanya amalgamasi berbagai kepentingan lintas bangsa atau lazim dikenal dengan globalisasi. Salah satu unsur yang sejatinya sudah ada dalam proses amalgamasi kepentingan antar manusia dari jaman dahulu kala adalah daya saing atau competitiveness. Menurut Michael Porter (1999), dalam bukunya Daya Saing sebuah Bangsa (The Competitiveness of A Nation), pemahaman daya saing sebagai salah satu keunggulan yang dimiliki suatu entitas dibandingkan dengan entitas lainnya, bukanlah baru muncul di era abad ke-21 sekarang ini. Gambar 1. Model rantai nilai Daya Saing (dimodifikasi dari Porter, 1999)

Peran daya saing dalam menjadikan suatu entitas lebih unggul dibandingkan lainnya sebenarnya bukan hal baru, akan tetapi sudah menjadi suatu keniscayaan bahkan semanjak masa lampau. Daya saing di sini tentunya harus dipahami dalam arti yang sangat luas. Peran teknologi informasi dan telekomunikasi, menurut Porter, hanya sebatas mempercepat sekaligus memperbesar peran daya saing dalam menentukan keunggulan suatu entitas dibandingkan dengan entitas lainnya. Keunggulan yang dimaksud di atas, nantinya dapat berkembang ke berbagai pengertian maupun penerapan, bisa berarti keunggulan ekonomi, keunggulan politik, keunggulan militer dan lain-lain. Daya saing pada esensinya dapat dipandang sebagai sebuah rantai nilai proses yang dapat dikendalikan dengan proses pembelajaran kontinyu atau continuous learning (diberikan pada gambar 1). Dalam alur proses rantai nilai tersebut terdapat dua hal yang sangat prinsipil yaitu (gambar 1): 1. Pertama: peran daya saing dalam menentukan keunggulan hanya dapat dijamin, jika dan hanya jika, daya saing tersebut bersifat adaptif. Yakni daya saing tersebut harus dikembangkan dan disesuaikan seiring dengan adanya perubahan-perubahan yang terjadi di sekelilingnya. Untuk dapat mencapai hal ini, maka setiap individu dalam entitas yang bersangkutan, entitas di sini dapat berupa sebuah organisasi, perusahaan ataupun bahkan sebuah negara, perlu melakukan proses pembelajaran yang terus menerus (atau sering disebut dengan continuous learning) dan selanjutnya juga melakukan

proses internalisasi dari kapasitas pengetahuan yang didapat melalui pembelajaran tersebut. Hal yang terakhir ini menuntut adanya suatu perubahan sikap atau mental model dari setiap individu setelah melalui suatu proses pembelajaran tertentu. 2. Kedua adalah bahwasanya daya saing perlu diarahkan pengembangan untuk adanya suatu pembinaan total dari kohesivitas antar komponen bangsa yang menuju pada keseimbangan harmonis antara suatu entitas dengan entitas lainnya.

Hal yang kedua ini menuntut adanya suatu pembinaan karakter yang sedemikian, sehingga pengembangan daya saing tidak lantas diarahkan pada pola pikir yang bersifat predatorik, yakni saling mematikan dan membinasakan komponen bangsa lainnya, akan tetapi harus pada konteks adanya komplementasi sehingga peningkatan daya saing nantinya akan justru mengarah pada pencapaian kemajuan bangsa secara kolektif. Atau dengan kata lain pembinaan karakter bangsa harus mencetak suatu mentalitas daya saing bangsa yang bersifat komplementer dan non predatorik. Berdasarkan dari dua hal yang sangat prinsipil di atas, maka arti dan makna pembinaan karakter bangsa di era yang sarat dengan daya saing sekarang ini adalah menyangkut tiga hal pokok yaitu: 1. Artikulasi karakter bangsa adalah mengacu pada tingkat peningkatan kapasitas pengetahuan dari bangsa tersebut untuk terus melakukan pembelajaran agar semakin meningkat daya saingnya. 2. Adapun pembinaan karakter bangsa akan diarahkan agar supaya kapasitas pengetahuan yang terbangun akan meningkatkan daya saing, dengan kondisi dimana daya saing tersebut akan memungkinkan adanya kemajuan kolektif atau kemajuan bersama, bukan kemajuan yang bersifat predatorik atau saling mematikan antara satu dengan lainnya. 3. Sejalan dengan hal tersebut, maka pemaknaan dari karakter positif bangsa harusnya diarahkan untuk mencapai dua hal pokok di atas. Karakter positif bangsa yang telah dimiliki oleh bangsa Indonesia, antara lain adalah karakter pejuang. Dalam kaitan ini masyarakat internasional pun mengakui bahwa dua bangsa pejuang yang berhasil merebut kemerdekaannya dengan darah di era pasca Perang Dunia ke-2 hanya dua yakni bangsa Indonesia dan Vietnam. Selanjutnya masih ada lagi karakter pemberani dan sejumlah karakter positif lainnya. Seluruhnya perlu dimaknai dalam konteks peningkatan daya saing dan bersifat komplemen (atau non predatorik). Dalam pemahaman yang bersifat artikulatif umumnya arti dan makna pembinaan karakter bangsa sudah bukan merupakan masalah lagi. Namun pada kenyataannya kita masih didera oleh sejumlah permasalahan dalam pembinaan karakter bahkan yang paling kritis justru yang menyangkut masalah daya saing, sebuah parameter yang semakin meningkat nilai pentingnya di era global sekarang ini. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pada paragraf berikut akan diulas secara singkat tentang permasalahan umum yang dihadapi dalam pembinaan karakter bangsa. Permasalahan Umum dalam Pembinaan Karakter Bangsa Sebagaimana telah disinggung pada paragraf 2 di atas, bahwasanya pencapaian daya saing yang adaptif menuntut adanya pembelajaran yang terus menerus dan pembentukan mental model sebagai kelanjutan dari internalisasi pembelajaran yang dilakukan. Adapun esensi yang paling utama untuk dapat mewujudkan hal tersebut dalam konteks yang praktis adalah adanya perubahan (changes) baik bagi individu maupun kelompok/kumpulan masyarakat atau seluruh bangsa ini pada umumnya. Perubahan atau changes inilah yang merupakan kunci dari adaptifitas daya saing. Pada gambar 2 diberikan suatu formasi ideal dari proses pembinaan karakter suatu bangsa. Gambar 2. Tatanan Ideal dalam Proses Pembinaan Karakter

Gambar 3. Kondisi faktual yang terjadi, baik di Indonesia, maupun di beberapa negara lain. Elemen Perubahan umumnya masih belum menjadi bagian integral dari proses pembinaan karakter.

Umumnya tanpa adanya fitur adaptifitas ini, maka daya saing akan bersifat kaku dan statis, dan daya saing yang demikian pada akhirnya hanya akan menjadi kebanggaan historika masa lampau serta tidak memiliki esensi sama sekali di era masa depan yang menuntut adanya bentuk daya saing yang baru. Gejala ini pun tampaknya dapat dirasakan di kalangan masyarakat kita, meskipun hal ini juga menggejala di negara-negara lain, yang cenderung mengisolasi artikulasi daya saing dalam pemahaman yang bersifat konstan dari perspektif historis perjalanan bangsa tersebut. Barangkali satu contoh menarik yang dapat dijadikan pelajaran dalam konteks ini adalah perjalanan hidup bangsa Korea (Selatan). Bangsa ini, kalau berdasarkan perspektif historis, tidak atau belum pernah masuk kategori bangsa yang dominan di wilayah regionalnya. Sejarah mencatat bahwa Korea umumnya selalu di bawah bayang-bayang dua negara tetangganya yang sangat kuat, yakni Kekaisaran Jepang di Selatan dan (dahulu Kekaisaran) Cina di Timur. Namun melalui suatu proses internalisasi pengetahuan yang berjalan secara konsisten dan terutama dengan adanya semangat untuk melakukan perubahan secara signifikan, Korea (khususnya Selatan) saat ini telah tumbuh menjadi kekuatan yang paling diperhitungkan di kancah regional Asia Timur bahkan dunia. Pakar reformasi Korea Selatan, Linsu Kim (2002) pernah mengatakan bahwa pembelajaran secara kontinyu atau continuous learning tidak akan memberikan pengaruh apa-apa, tanpa disertai adanya kemampuan untuk berubah atau ability to change. Bahkan menurutnya, proses pembelajaran barulah menemukan maknanya setelah terjadinya proses perubahan pasca proses pembelajaran tersebut, khususnya dalam konteks pola pikir, pola sikap dan perilaku. Rantai nilai pembelajaran yang terdiri dari elemen, peningkatan kapasitas pengetahuan, internalisasi pengetahuan dan selanjutnya kesanggupan untuk melakukan perubahan tampaknya masih belum dapat diimplementasikan secara lengkap di umumnya kalangan masyarakat kita (gambar 3). Gambaran umum yang terjadi adalah kemampuan kita, tampaknya baru sebatas pada dua elemen yang pertama yakni peningkatan kapasitas pengetahuan dan internalisasi pengatahuan. Sedangkan elemen yang ketiga tampaknya masih diaplikasikan dalam dimensi yang sangat terbatas (gambar 3). Sehingga tidaklah terlalu mengherankan kalau kita mendengar atau mengetahui bahwasanya sudah terlalu banyak contoh dan kasus dimana segenap idea, pemikiran dan konsepsi-konsepsi yang telah dirumuskan dan dirancang dengan baik, bahkan melibatkan banyak orang yang pakar di bidangnya masing masing pada akhirnya hanya menjadi sebatas tata wacana atau kumpulan buku-buku dan referensi tanpa adanya upaya kongkrit untuk menginternalisasikannya dan untuk selanjutnya menjadi landasan dalam proses perubahan sikap maupun perilaku, baik bagi individu maupun masyarakat dan bangsa. Dari kenyataan ini maka dapat dideduksi bahwa permasalahan umum dalam konteks pembinaan karakter bangsa adalah mencakup upaya-upaya untuk mencapai suatu proses internalisasi pengetahuan yang kemudian dapat berlanjut sampai dengan terjadinya suatu pergantian atau changes tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, maka agenda terpenting dalam konteks pembinaan karakter bangsa adalah menyangkut adanya reformasi kolektif dari segenap komponen bangsa ini untuk sanggup melakukan pergantian atau changes setelah menjalani setiap proses pembelajaran. Karena sifatnya yang kolektif, maka tentunya hal tersebut tidak mungkin menjadi tugas atau kewajiban dari pemerintah saja, akan tetapi juga menyangkut tugas dan kewajiban dari seluruh masyarakat. Meskipun demikian, pemerintah, yang dalam hal ini tentunya lebih banyak dari kompartemen pendidikan dan komunikasi harus sanggup memberikan fasilitasi yang paling ideal dalam mengakselerasi proses pemahaman kolektif, bahwasanya perubahan

atau changes dari setiap adanya peningkatan kapasitas pengetahuan yang diperoleh melalui proses pembelajaran apapun juga adalah hal yang sama pentingnya, atau bahkan dalam beberapa hal lebih penting, dibandingkan dengan aktifitas peningkatan kapasitas pengetahuan itu sendiri. Pada paragraf berikut akan diulas secara tentang potensi bangsa yang seharusnya dapat dijadikan sebagai unsur penting untuk membangun kemandirian bangsa. Unsur Pokok Pembangun Kemandirian Bangsa The core of any army is its soldiers, no matter how sophisticated its equipment, its performance is solely dependent on its soldiers. Douglas MacArthur, General, US Army, 1945 Penggalan kalimat di atas diambil dari ungkapan salah seorang komandan militer yang cukup terkenal, yaitu Jendral MacArthur. Seorang Jendral AS yang pernah menjadi panglima mandala Pasukan Sekutu di Pasifik pada era Perang Dunia ke-2 (1941-1945) dan selanjutnya menjadi panglima mandala Pasukan Gabungan PBB semasa Perang Korea (1951-1955). Penggalan kalimat di atas cukup menarik, karena memberikan esensi pada peran sumber daya manusia sebagai unsur yang paling kritis dalam setiap proses pengembangan suatu entitas tertentu (dalam kasus di atas tentunya entitas militer yakni Angkatan Bersenjata). Namun demikian hal di atas berlaku pada hampir seluruh aspek, mulai dari organisasi yang sangat kecil seperti klub olahraga ringan sampai dengan sebuah negara. Sebenarnya apa yang diungkapkan oleh Jend. MacArthur di atas bukanlah hal yang baru. Lebih dari seabad sebelumnya (1815), kaisar Perancis yang juga Jendral besar dari Eropa, Napoleon Bonaparte pernah mengatakan, Une arme marche son estomac? atau Angkatan Bersenjata berjalan dengan perutnya?. Meskipun oleh banyak pihak penggalan kalimat ini diartikan dalam konteks pentingnya unsur logistik dalam suatu operasi militer, akan tetapi sejatinya penggalan kalimat ini ikut menekankan bahwa faktor prajurit (atau esensinya adalah faktor manusia) merupakan komponen terpenting dalam setiap proses atau rantai nilai apapun juga. Meskipun sumber daya manusia merupakan suatu hal yang sangat krusial, namun terkadang kalau sudah berbicara mengenai hal ini banyak kalangan masyarakat yang menganggapnya sebagai hal yang terlalu normatif. Beberapa di antaranya malah menganggap bahwa pada jaman pemerintahan sebelumnya pernah ada masa dimana hampir setiap pejabat negara menekankan tentang pentingnya SDM namun pada akhirnya refleksi kemajuan yang dicapai juga tidak sebesar sebagaimana yang diharapkan. Terlepas dari semua hal tersebut, tetap sumber daya manusia adalah potensi bangsa yang paling strategis yang harus dimobilisir dan dikembangkan. Bahkan Ralph S. Larsen (2004), CEO dari Johnson & Johnson, pernah mengatakan bahwa, tingkat kedewasaan suatu organisasi ditentukan dari persepsinya terhadap sumber daya manusia yang dimilikinya. Tataran tertinggi adalah ketika organisasi yang bersangkutan telah sanggup menganggap bahwa sumber daya manusia adalah aset dan bahkan aset yang paling menentukan dari kelangsungan hidup organisasi tersebut. Sebaliknya, tataran terendah adalah ketika organisasi masih menganggap bahwa sumber daya manusia tidak lebih dari komponen bahan baku yang menjadi obyek untuk dieksploitasi begitu saja. Permasalahan utama tentunya adalah mendorong agar pengembangan sumber daya manusia ini sanggup menghantarkan suatu bangsa mencapai tingkat kemandirian yang berkesinambungan. Dan sebagaimana telah disinggung pada paragraf sebelumnya, era globalisasi menuntut adanya parameter daya saing sebagai satu satunya hal yang penting untuk menjamin suatu kemandirian, lebih lanjut, pembinaan karakter yang menuju pada mentalitas daya saing sendiri menuntut adanya sejumlah prasyarat pokok yang harus dijadikan acuan dalam setiap proses, atau yang lazim dikenal dengan rantai nilai. Sejalan dengan hal tersebut, maka unsur pokok pembangun kemandirian bangsa terfokus pada tiga aspek penting yaitu: 1. Peran kritis sumber daya manusia sebagai sumber daya yang terus terbarukan, 2.Peningkatan daya saing dari sumber daya manusia tersebut, sebagai jaminan untuk adanya kemandirian bangsa yang berkesinambungan, 3.Pemahaman bahwasanya mencetak mentalitas daya saing membutuhkan suatu rantai nilai dengan tatanan dan urutan tertentu. Serta keberhasilannyapun tergantung dari sampai sejauh mana tingkat pemenuhan kriteria dan persyaratan tersebut. Ketiga aspek penting di atas perlu mendapatkan suatu pelaksana atau agents yang akan mengimplementasikannya di lapangan dalam suatu rangkaian tindakan nyata. Dan agents tersebut tentunya adalah generasi muda yang dimiliki

oleh bangsa, karena dalam keadaan dimana mereka umumnya adalah masih berusia produktif maka diharapkan mereka dapat memiliki kemampuan tanggap khususnya dalam mengakselerasi proses internalisasi pengetahuan dan yang terutama adalah menjadi motor penggerak perubahan atau generator of change. Tanpa adanya hal tersebut, maka selamanya rantai nilai dari proses pembangunan karakter dalam bentuk apapun tidak akan pernah bergeser dari tata wacana dan selamanya bangsa ini akan terus berhadapan dengan berbagai masalah dan apabila bangsa ini lambat dalam bereaksi maka akan berpotensi untuk semakin rendahnya daya saing bangsa di jangka panjang serta semakin menurunnya daya adaptifitas bangsa dalam mensikapi dinamika perkembangan global dan pada akhirnya akan menjadikan bangsa ini sulit untuk dapat mencapai tatanan kehidupan yang bermartabat. Pada paragraf berikut akan diulas tentang peran generasi muda dalam meng-engineer atau merekayasa proses pengembangan daya saing yang diperlukan oleh bangsa ini menuju pada kemandirian. Peran Generasi Muda dalam Pembangunan Bangsa Mandiri Secara normatif, dan sebagaimana telah hampir dapat diterima oleh umumnya kita sekalian, pembentukan karakter bangsa merupakan hal yang amat penting bagi generasi muda dan bahkan menentukan nasib bangsa di masa depan. Selanjutnya, kita juga telah sering mendengar bahwasanya generasi muda perlu memiliki mental kepribadian yang kuat, bersemangat, ulet, pantang menyerah, disiplin, inovatif dan bekerja keras, untuk dapat menjadikan bangsanya menjadi bangsa yang memiliki daya saing tinggi, sehingga dapat berada sejajar dengan bangsa bangsa lain. Namun pada kenyataannya, pernyataan di atas sering hanya sebatas pada retorika. Kondisi yang kita hadapi sekarang menunjukkan bahwa era globalisasi telah menempatkan generasi muda Indonesia pada posisi yang berada di tengah-tengah derasnya arus informasi yang sedemikian bebas, sejalan dengan kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi. Sebagai akibatnya, maka nilai-nilai asing secara disadari ataupun tidak disadari telah memberi pengaruh langsung maupun tidak langsung kepada generasi muda. Walaupun masih belum ada bukti empiris secara langsung bahwa nilai nilai asing tersebut seluruhnya memberikan dampak negatif bagi generasi muda, akan tetapi jika tidak dilakukan upaya antisipasi apapun, bukan tidak mungkin, di masa depan nanti, bangsa ini akan menjadi bangsa yang berpendirian lemah serta sangat mudah hanyut oleh hiruk-pikuknya dinamika globalisasi; dan pada akhirnya akan mudah dikendalikan oleh bangsa lain. Gambaran umum, keadaan di atas akan memberikan pengaruh pada rasa kebangsaan (nasionalisme) di kalangan generasi muda. Meskipun belum nampak secara jelas, akan tetapi harus diakui bahwa saat ini telah mulai ada gejala dari menurunnya semangat dan rasa kebangsaan atau nasionalisme di kalangan generasi muda yang ditunjukkan dari semakin berkurangnya pemahaman generasi muda terhadap sejarah dan nilai nilai budaya bangsanya sendiri. Upaya strategis yang harus dilakukan oleh generasi muda dalam menghadapi hal tersebut adalah sebuah koordinasi gerakan revitalisasi kebangsaan yang diarahkan terutama pada penguatan ketahanan masyarakat dan bangsa terhadap segenap upaya nihilisasi dari pihak luar terhadap nilai-nilai budaya bangsa. Adapun generasi muda dalam melaksanakan koordinasi gerakan tersebut memiliki 3 (tiga) peran penting yakni: 1. Sebagai pembangun-kembali karakter bangsa (character builder). Di tengah tengah derasnya arus globalisasi, kemudian ditambah dengan sejumlah erosi karakter positif bangsa sementara adanya gejala amplifikasi atau penguatan mentalitas negatif, seperti malas, koruptif dan sebagainya, maka peran generasi muda adalah membangun kembali karakter positif bangsa. Peran ini tentunya sangat berat, namun esensinya adalah adanya kemauan keras dan komitmen dari generasi muda untuk menjunjung nilai-nilai moral di atas kepentingan kepentingan sesaat sekaligus upaya kolektif untuk menginternalisasikannya pada kegiatan dan aktifitasnya sehari-hari. 2. Sebagai pemberdaya karakter (character enabler). Pembangunan kembali karakter bangsa tentunya tidak akan cukup, jika tidak dilakukan pemberdayaan secara terus menerus. Sehingga generasi muda juga dituntut untuk mengambil peran sebagai pemberdaya karakter atau character enabler. Bentuk praktisnya adalah kemauan dan hasrat yang kuat dari generasi muda untuk menjadi role model dari pengembangan karakter bangsa yang positif. Peran ini pun juga tidak kalah beratnya dengan peran yang pertama, karena selain kemauan kuat dan kesadaran kolektif dengan kohesivitas tinggi, masih dibutuhkan adanya kekuatan untuk terlibat dalam suatu ajang konflik etika dengan entitas lain di masyarakat maupun entitas asing. 3. Sebagai perekayasa karakter (character engineer) sejalan dengan perlunya adaptifitas daya saing untuk memperkuat ketahanan bangsa. Peran yang terakhir ini menuntut generasi muda untuk terus melakukan

pembelajaran. Harus diakui bahwa pengembangan karakter positif bangsa, bagaimanapun juga, menuntut adanya modifikasi dan rekayasa yang tepat disesuaikan dengan perkembangan jaman. Sebagai contoh karakter pejuang dan patriotisme tentunya tidak harus diartikulasikan dalam konteks fisik, akan tetapi dapat dalam konteks lainnya yang bersifat non-fisik. Peran generasi muda dalam hal ini sangat diharapkan oleh bangsa, karena di tangan mereka-lah proses pembelajaran adaptif dapat berlangsung dalam kondisi yang paling produktif. Hal yang berat bagi para generasi muda adalah untuk memainkan ketiga peran tersebut secara simultan dan interaktif. Memang masih diperlukan adanya peran pemerintah dan komponen bangsa lainnya dalam memfasilitasi aktualisasi peran tersebut oleh generasi muda. Namun demikian konsentrasi peran tetap pada generasi muda. Tanpa adanya peran aktif mereka dalam gerakan revitalisasi kebangsaan yang dimaksud di atas, maka bukan tidak mungkin penggerusan nilai-nilai budaya bangsa akan berjalan terus secara sistematis dan pada akhirnya bangsa ini akan semakin kehilangan integritas dan jati-dirinya. Penutup Harus diakui bahwa sorotan terhadap kemandirian bangsa saat ini telah semakin mengemuka. Memang benar, bahwa sebagian dari sorotan tersebut dapat dijawab dengan argumen fenomena globalisasi. Sebuah kondisi dimana mau tidak mau atau suka tidak suka, kita harus memberikan peluang dan akses yang sama kepada segala pihak, termasuk pihak asing, untuk ikut terlibat dalam berbagai percaturan nasional maupun regional di berbagai bidang, berikut segala konsekuensinya. Menghadapi kondisi tersebut, maka satu satunya demarkasi atau garis pembatas yang tegas yang dapat kita tegakkan bersama adalah daya saing bangsa (atau national competitiveness), tentunya daya saing di sini dalam arti yang luas. Mencapai suatu daya saing yang kuat membutuhkan upaya besar dan peran aktif segenap komponen masyarakat. Salah satu fitur yang berperan kritis dalam upaya besar tersebut adalah pembinaan karakter bangsa, khususnya karakter positif bangsa yang harus terus ditumbuh-kembangkan melalui proses pembelajaran yang kontinyu sedemikian sehingga memperkuat kemampuan adaptif dari daya saing bangsa. Dalam upaya untuk mengaktualisasikan hal tersebut, maka dituntut peran penting dari generasi muda, khususnya perannya sebagai character enabler, character builders dan character engineer. Meskipun untuk menjalankan ketiga peran tersebut secara efektif, generasi muda nantinya masih memerlukan dukungan dari pemerintah maupun komponen bangsa lainnya, namun esensi utamanya tetap pada peran generasi muda. Hal tersebut selain karena generasi muda masih berada dalam puncak produktifitasnya, juga karena generasi muda adalah komponen bangsa yang paling strategis posisinya dalam memainkan proses transformasi karakter dan tata nilai di tengah-tengah derasnya liberalisasi informasi era globalisasi.

Laman : http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=529&Itemid=116 Diunduh : 19 Oktober 2011, 21:05 WIB

AKTUALISASI PERAN PEMUDA SEBAGAI PENERUS PERJUANGAN BANGSA Written by mahesa yodhabrata Monday, 19 October 2009 01:48 WIDYA ASTRENA DHARMA SIDDHA Penyempurnaan Pengabdian dengan Ilmu Pengetahuan dan Olah Keprajuritan Pemuda merupakan suatu potensi bagi negara sebagai armada dalam kemajuan bangsa. Peran pemuda sangatlah penting dalam mengisi pembangunan dan mempertahankan kemerdekaan bangsa, mengingat catatan sejarah peran pemuda senantiasa menjadi pilar dan motor untuk mencapai kemerdekaan bangsa. Di mulai dari Budi Utomo tahun 1908, Sumpah pemuda tahun 1928, Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945, hingga saat ini, pada masa reformasi, pemuda yang merupakan tokoh intelektual bangsa senantiasa memberikan pemikiran dan pergerakan demi kedaulatan bangsa. Dalam situasi yang senantiasa tumbuh dan berkembang di era globalisasi ini, menuntut peran aktif pemuda sebagai kekuatan moral, kontrol sosial dan agen perubahan dalam segala aspek pembangunan nasional. Selain itu, dalam Pembangunan Nasional, pemuda diharapkan mampu bertanggung jawab dalam menjaga Pancasila, keutuhan NKRI, dan memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa. Dengan demikian kesadaran pemuda akan kecintaan terhadap tanah air dan bangsanya semakin meningkat. Pemuda diharapkan tetap terus menempa dirinya menjadi pribadi-pribadi yang memiliki kematangan intelektual, kreatif, percaya diri, inovatif, dan memiliki kesetiakawanan sosial dan semangat pengabdian terhadap masyarakat, bangsa dan negara yang tinggi. Pemuda sebagai garda terdepan dalam proses perjuangan, pembaruan dan pembangunan bangsa, diharapkan mampu mempertahankan dan mengisi kemerdekaan yang telah di raih negara ini selama kurang lebih 64 tahun silam dengan berbagai hal. Dalam tataran kampus atau perguruan tinggi, pemuda memiliki tugas pokok untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Pemuda dalam hal ini mahasiswa diharapkan mampu melaksanakan Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian terhadap Masyarakat. Pendidikan dalam konteks menerima dan mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang diterima selama menjadi mahasiswa. Penelitian meliputi kajiankajian strategis baik perbaikan maupun penemuan baru demi kemajuan bangsa. Pengabdian terhadap masyarakat yaitu pengamalan potensi, ilmu dan pengetahuan untuk mengatasi permasalahanpermasalahan yang ada di masyarakat. Situasi negara yang saat ini kurang stabil, dengan banyak terjadinya bencana, konflik kepentingan, degradasi moral dan terorisme, menuntut pemuda khususnya mahasiswa untuk menjadi stabilisator, dinamisator, kreator dan inovator perubahan ke arah yang lebih baik. Melalui tulisan ini, penulis berharap dapat mengingatkan diri pribadi dan mengajak pembaca untuk tetap memiliki semangat kejuangan, sifat kritis, idealis, inovatif, progresif, dinamis dan futuristik tanpa meninggalkan akar budaya bangsa Indonesia yang tercermin dalam kebhinnekatunggalikaan. Semoga negara Indonesia ini tetap jaya dengan para pemuda yang senantiasa berkarya. MERDEKA!!! Laman : http://menwabogor.isgreat.org/index.php/component/content/article/42-general/47ktualisasi-peran-pemuda-sebagai-penerus-perjuangan-bangsa.html Diunduh : 19 Oktober 2011

Tips Menulis Karya Ilmiah


Menulis ilmiah berbeda dengan menulis artikel opini atau reportase. Perbedaannya terletak pada gaya penyampaian, akurasi data, metode penulisan, dan referensi. Menulis ilmiah (seperti menulis untuk jurnal, penelitian, laporan magang, tugas akhir, dan sebagainya) gaya menulisnya menggunakan bahasabahasa formal, cenderung kaku, dan kehati-hatian dalam membentuk suatu kalimat. Ada format baku yang harus diikuti oleh penulis jurnal atau peneliti. Dimulai dengan latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, landasan teori, kerangka pemikian, metode penelitian, hasil penelitian, penarikan kesimpulan, dan penyampaian saran atau rekomendasi dari hasil penelitian. Di sini akan diungkapan beberapa tips yang berkaitan dengan penulisan ilmiah untuk tugas akhir (seperti skripsi, tesis, maupun disertasi). Banyak buku yang beredar tentang bagaimana cara menulis ilmiah disertai metode penulisannya, namun karena berisi rumus-rumus statistik umumnya membingungkan. 1. Langkah Pertama: merumuskan judul Judul merupakan bagian penting dalam rangkaian penulisan ilmiah, karena judul merupakan cerminan besar dari isi penulisan ilmiah. Dalam judul biasanya pembaca bisa mengetahui variabel yang digunakan, jenis penelitian, dan cakupan penelitian. Misalnya, judul penelitian Pengaruh humor terhadap minat khalayak pada iklan produk X di televisi. Judul ini sudah memuat variabel yang digunakan dalam penelitian, yaitu variabel Humor sebagai variabel bebas (variabel X atau variabel yang mempengaruhi) dan variabel Minat sebagai variabel terikat (variabel Y / variabel yang dipengaruhi). Jika bingung dalam merumuskan judul, cara mudahnya adalah merujuk pada jurnal yang pernah meneliti mengenai tema penelitian yang ingin ditulis. Bolehkah mengikuti judul dari jurnal dengan judul persis sama seperti yang ada pada jurnal? Apakah itu bukan termasuk plagiat? Perlu dibedakan antara plagiarisme dengan replikasi. Plagiarisme adalah menjiplak hasil karya orang lain, sedangkan replikasi jurnal adalah alur penelitiannya sama, tetapi kasus dan obyek penelitiannya berbeda. Di beberapa perguruan tinggi negeri dan perguruan tinggi swasta terkemuka umumnya menyarankan untuk replikasi dari jurnal yang telah ada. Hal ini untuk memudahkan mahasiswa dalam memahami alur yang logis. Replikasi bukan berarti sama dengan plagariasme. Ia berbeda, plagiarisme karya orang lain dan diaku sebagai karya sendiri, sedangkan replikasi, hanya mengikuti alurnya saja. Sumber dari jurnal dijadikan rujukan utama.

2. Langkah kedua: berangkat dari masalah Kemukakan masalah yang menjadi fokus peneliti. Deskripsi masalah-masalah umumnya dituangkan di Latar Belakang Masalah. Apa itu masalah? Masalah adalah adanya kesenjangan antara konsep yang ideal dengan kenyataan. Misalnya, judulnya tentang kompensasi. Idealnya kompensasi diberikan harus mampu meningkatkan produktivitas pegawai, tetapi kenyataannya produktivitas pegawai yang ditunjukkan oleh output hasil kerja menurun. Ini berarti ada masalah. Kalau penelitian tidak berangkat dari masalah, maka berarti itu bukan penelitian, hanya mendeskripsikan saja. Tidak ada nilai positifnya karena tidak akan memberikan sumbangan apapun terhadap obyek yang diteliti.

3. Langkah ketiga: merumuskan cakupan penelitian Cakupan penelitian diungkapan dalam bentuk pertanyaan penelitian yang menjadi fokus utama dari pembahasan. Cakupan penelitian tertuang dalam perumusan masalah, tujuan penelitian, dan pembatasan masalah. Pada poin pembatasan masalah hindari kata-kata karena keterbatasan waktu, biaya, dan kemampuan dari penulis. Pembatasan masalah model ini sudah ketinggalan zaman, dan tidak benar sama sekali. Keterbatasan waktu dan biaya bukan pembatasan masalah, tidak perlu dikemukakan di laporan. Itu namanya curhat bukan tulisan ilmiah.

4. Langkah keempat: cari teori-teori yang relevan dengan judul Teori dari para pakar merupakan bahan baku utama untuk sebuah tulisan ilmiah. Itu karena kita hidup bukan di ruang hampa, tetapi di era ilmiah. Kita mau tidak mau harus mengutip dari orang lain untuk teori-teori yang digunakan. Hal ini karena kita butuh referensi, atau pembenaran dari para pakar atas apa yang kita teliti. Teori-teori ini berguna juga untuk menyusun indikator-indikator yang hendak dirumuskan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan kuesioner (jika penelitiannya adalah kuantitatif dan menggunakan instrumen kuesioner).

5. Langkah kelima: deskripsikan metode penelitian Metode penelitian merupakan kerangka yang menjadi acuan dalam penulisan ilmiah. Dalam metode penelitian disajikan metode yang digunakan (apakah kuantitatif atau kualitatif), sumber data, populasi dan sampel (jika penelitian menggunakan sampling), teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data. Indikator-indikator harus disusun dari teori-teori yang disajikan oleh pakar. Sampel merupakan faktor penting, khususnya dalam penelitian kuantitatif. Contoh sampel sebetulnya sering kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Seorang ibu yang memasak sayur, lalu ingin tahu rasa sayurnya, tidak usah mencoba semua sayurnya, cukup dengan satu titik cairan sayur, dia bisa menyimpulkan rasa seluruh sayur itu. Itu namanya sampel.

6. Langkah keenam: Menyajikan hasil penelitian Setelah data-data diperoleh sesuai dengan rancangan pada metode penelitian, maka selanjutnya data-data tersebut disajikan dalam bab khusus. Data-data itu, jika berbentuk data kuantitatif, harus diolah agar ia bisa berbunyi dan bisa dianalisis ke mana arahnya. Analisis data kuantitatif umumnya menggunakan rumus-rumus statistik. Jangan bingung dengan rumus-rumus statistik yang kelihatannya njelimet. Anda cukup membeli software SPSS, masukkan data yang sudah ditabulasikan dalam tabel induk, dan SPSS akan memberikan output perhitungannya dalam hitungan waktu yang sangat cepat. SPSS sangat mudah, jika ia mengeluarkan output Sig. maka lihatlah nilai Sig-nya, patokannya adalah 0.05 (jika di bawah 0.05 maka artinya data valid atau terdapat korelasi signifikan antara variabel. Ini tergantung dari metode analisis data yang digunakan). Selebihnya belilah buku panduan cara menganalisis output SPSS. Menggunakan software ini jauh lebih mudah dan cepat dibandingkan harus menghitung secara manual.

7. Langkah ketujuh: bandingkan hasil penelitian dengan teori dan penelitian yang lain Setelah hasil penelitian dikemukakan, maka selanjutnya adalah membuat analisis dengan membandingkan hasil analisis penelitian dengan teori-teori yang dikutip dalam bab teori. Selain itu adalah membandingkan dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya.

8. Langkah kedelapan: buatlah kesimpulan dan saran Langkah ini adalah langkah terakhir. Kesimpulan bukan berarti membuat ringkasan dari bab awal sampai terakhir, tetapi merupakan jawaban ringkas yang memuat jawaban dari perumusan masalah yang telah dibuat pada bab awal dikaitkan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan. Saran-saran pun dikemukakan dari arah hasil analisis yang diungkapkan dengan bahasa-bahasa teknis, bukan bahasa umum.**[harja saputra]

You might also like