You are on page 1of 17

ASOSIASI FAKTOR RISIKO GAYA HIDUP DAN OBESITAS SENTRAL PADA STATUS EKONOMI TINGGI DAN RENDAH DI DAERAH

PERKOTAAN INDONESIA (Analisis Data Riskesdas 2007)

Dr. Nurhaedar Jafar, Apt., M.Kes, Dr.dr. Burhanuddin Bahar, MS Siswanti Lusiana

Program Studi Ilmu Gizi Jurusan Gizi FKM Unhas

Alamat Korespondensi Nurhaedar Jafar Jurusan Gizi FKM Unhas Kampus Tamalanrea Makassar, 90245 Telp. 0411-585087 Fax. 0411-585658 Email:eda_jafar@yahoo.co.id

Abstrak
Masalah obesitas di berbagai belahan dunia meningkat dengan cepat menuju proporsi epidemik. Di negara maju obesitas telah menjadi epidemik yang berkontribusi 35% terhadap angka kesakitan dan 15-20% terhadap kematian. Wanita pada sosial ekonomi rendah memiliki prevalensi obesitas 6 kali lebih tinggi dibanding pada sosial ekonomi tinggi. Dinegara berkembang, obesitas lebih sering terdapat di perkotaan dibandingkan daerah pedesaan. Penelitian ini bertujuan untuk menilai asosiasi gaya hidup (pola makan, rokok, alkohol, aktivitas fisik dan mental emosional) dan obesitas sentral pada berbagai tingkat ekonomi. Disain penelitian ini adalah studi cross sectional yang menggunakan data hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) nasional tahun 2007, khususnya rumah tangga yang terpilih sebagai sampel kelompok biomedis seluruh Indonesia. Kriteria obesitas sentral berdasarkan IDF 2005 jika lingkar pinggang > 90 cm untuk laki-laki dan lingkar pinggang > 80 cm untuk perempuan. Pengujian hipotesis dianalisis dengan memakai uji regresi logistik bivariat dan multivariat. Telah dilakukan penelitian terhadap 18.803 responden dengan rata-rata umur 38,7 15,63 tahun, 53,7% perempuan dan 46,3% laki-laki. Prevalensi obesitas sentral 26,5% lebih besar ditemukan pada perempuan (40,0%) dibanding laki-laki (10,9%). Prevalensi obesitas sentral meningkat seiring dengan meningkatnya umur dan status ekonomi. Status ekonomi tinggi dengan tingkat pendidikan rendah dan umumnya perempuan serta tidak bekerja, memiliki risiko obesitas sentral lebih tinggi. Hasil analisis bivariat didapatkan bahwa lama merokok 10 tahun dan kurang aktivitas fisik memberi risiko bermakna terjadinya obesitas sentral pada status ekonomi rendah (OR:2,464; CI:1,097-5,539 dan OR:1,210; CI:1,032-1,474), sedangkan pada status ekonomi tinggi konsumsi serat (OR:0,688;CI:0,498-0,895) dan lama merokok10 tahun (OR:0,688;CI:0,498-0,895). Hasil uji multivariat diperoleh bahwa kurang aktivitas fisik memberi risiko bermakna terhadap obesitas sentral sebesar 1,233 pada tingkat ekonomi rendah, sedangkan pada tingkat ekonomi tinggi adalah kurang konsumsi serat (0,664). Kata Kunci: Obesitas sentral, gaya hidup, status ekonomi.

Pendahuluan
Masalah overweight dan obesitas meningkat dengan cepat diberbagai belahan dunia menuju proporsi epidemic. Hal ini menggambarkan adanya peningkatan diet yang tinggi lemak dan gula yang disertai dengan penurunan aktivitas fisik. Di Negara maju, obesitas telah menjadi epidemic dengan memberikan kontribusi sebesar 35% terhadap angka kesakitan dan berkontribusi 15-20% terhadap kematian. Obesitas tidak menyebabkan kematian secara langsung, tetapi meyebabkan masalah kesehatan yang serius yang dapat memacu kelainan kardiovaskuler, ginjal, metabolic, protrombik dan respon inflamasi.1,2,3 Kontribusi obesitas pada DM tipe 2 adalah sebesar 57%, PJK sebesar 17%, hipertensi sebanyak 17%, penyakit kantong empedu sebesar 30%, kejadian osteoatritis sebesar 14%, dan kanker payudara, kanker rahim serta kanker kolon masing-masing sebesar 11% .4 Sosek menjadi faktor risiko yang berperanan penting pada perkembangan kejadian obesitas sebagai prediktor utama kejadian SM. Penelitian Sobal dan Stunkarrd (1989), menyimpulkan bahwa di negara maju, kelompok wanita pada SES rendah memiliki prevalensi obesitas 6 kali lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok wanita pada SES tinggi. Di negara berkembang seperti Afrika dan Asia, kejadian obesitas justru lebih sering terdapat di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan, artinya kejadian obesitas lebih sering terjadi pada golongan sosial ekonomi tinggi.5 Peningkatan kesejahteraan masyarakat berdampak terhadap perubahan gaya hidup. Kehidupan modern yang difasilitasi dengan berbagai kenyamanan dan

kemudahan, menyebabkan masyarakat kurang melakukan aktifitas fisik. Padahal, aktifitas fisik mempunyai peranan penting dalam mencegah berbagai penyakit tidak menular. Risiko terjadinya kegemukan dapat diturunkan dengan melakukan aktifitas fisik yang teratur.6 Pola makan sebagai penyebab utama obesitas. Makanan instan menjadi pilihan bagi sebagian besar masyarakat yang terpapar dengan kehidupan modern. Makanan tersebut tidak mengandung komposisi zat gizi sebagaimana yang dibutuhkan tubuh. Terlebih lagi makanan-makanan instant sangat miskin serat. Padahal, serat berfungsi untuk memperlambat pencernaan, mengenyangkan perut dan memperlambat rasa lapar.6 Data Susenas 2004 menunjukkan penduduk umur 15 tahun ke atas 85% kurang beraktivitas fisik dan hanya 6% penduduk yang cukup beraktivitas fisik. Penduduk wanita yang kurang beraktivitas fisik 87%, lebih tinggi daripada penduduk laki-laki. Sedangkan penduduk di perkotaan yang kurang beraktifitas fisik adalah sebanyak 83%, lebih tinggi daripada penduduk di pedesaan.7 Seiring dengan perubahan gaya hidup khusunya pola makan di berbagai wilayah di Indonesia yang pada dasarnya dipengaruhi oleh faktor sosial budaya, adat istiadat, agama dan kepercayaan.8 serta adanya kecenderungan peningkatan prevalensi obesitas dan dislipidemia di masyarakat maka peneliti tertarik untuk melihat keadaan yang terjadi di Indonesia. Apakah kecendrungan faktor risiko obesitas sentral meningkat pada sosek rendah ataukah sosek tinggi

Bahan dan Metode Disain penelitian

Disain penelitian ini adalah studi cross sectional yang menggunakan data hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) nasional tahun 2007, Riskesdas adalah sebuah survei yang dilakukan secara cross sectional yang bersifat deskriptif. Disain Riskesdas terutama dimaksudkan untuk menggambarkan masalah kesehatan penduduk di seluruh pelosok Indonesia, secara menyeluruh, akurat dan berorientasi pada kepentingan para pengambil keputusan di berbagai tingkat administratif. Lokasi, populasi, dan sampel penelitian Pelaksanaan analisis data hasil Riskesdas 2007 dilakukan dengan mengambil sampel data kelompok biomedis seluruh Indonesia. Data kelompok biomedis merupakan blok sensus perkotaan di 270 kabupaten/kota terpilih Populasi pada penelitian ini adalah semua sampel pengukuran biomedis yang tinggal di blok sensus dengan klasifikasi perkotaan berjumlah 36,357 spesimen dari sampel anggota rumah tangga usia satu tahun keatas yang berasal dari 540 blok sensus perkotaan di 270 kabupaten/kota terpilih. Untuk pemeriksaan gula darah, sebanyak 19.114 sampel yang diambil dari anggota rumah tangga berusia 15 tahun ke atas. Sampel dalam penelitian ini adalah sampel yang diambil dari kelompok biomedis yang memenuhi kriteria sebagai usia 15 tahun yang didasarkan pada pemeriksaan glukosa darah dan tidak sedang hamil. Jumlah sampel yang teranalisis sebesar 18803 disebabkan antara lain, karena tidak diperolehnya jawaban (missing values) maupun kemungkinan kesalahan hasil pengukuran (outlier) dari anggota rumah tangga.

Variabel penelitian

Variabel penelitian terdiri atas variabel gaya hidup sebagai variabel indipenden yang terdiri dari pola makan (Konsumsi serat (buah-sayur), konsumsi makanan manis, asin, berlemak, jeroan dan bumbu penyedap), aktifitas fisik, dan kebiasaan merokok. Variabel obesitas sentral sebagai variabel dependen yang ditentukan berdasarkan

pengukuran lingkar perut dengan kriteria obes central untuk laki-laki > 90 cm dan perempuan >80 cm. Sedangkan variabel status ekonomi diambil sebagai variabel control.

Analisis data Data yang diperoleh dari Balitbang Depkes Jakarta selanjutnya dilakukan cleaning sesuai dengan kriteria sampel dan sebaran data. Analisis data dilakukan dengan tiga tahapan, yaitu (1) analisis univariat: dibuat data deskriptif untuk semua variabel, variabel dengan data kontinyu/numerik dibuat nilai rerata dengan standar deviasi dan standard error, dan variabel dengan data kategori dibuat persentase pada masing-masing propinsi dan variabel analisis. Analisis univariat juga dilakukan untuk melihat apakah data yang tersedia optimal untuk dilakukan analisis lebih lanjut, antara lain dengan melihat kurva normal (histogram) dan melakukan uji normalitas (Kolmogorov-Smirnov Test). (2) Analisis bivariat: dibuat deskriptif secara tabulasi silang antara variabel sosial ekonomi, faktor risiko, dan obesitas sentral, serta uji regresi logistik bivariat dilakukan untuk melihat adanya hubungan dua variabel dan nilai OR , yaitu antara obesitas sentral sebagai variabel terikat dengan variabel-variabel bebas. Variabel bebas dengan nilai p < 0,250 diteruskan ke model untuk analisis multivariat. (3) Analisis regresi logistik multivariat dilakukan untuk melihat model akhir dari suatu

hipotesis antara variable obesitas sentral dengan variabel factor risiko gaya hidup yang lolos pada uji bivariat. Nilai kemaknaan diambil pada nilai 0,05.

Hasil Penelitian
Karakteristik sosial ekonomi obesitas sentral Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin 53,7% adalah perempuan dan 46,3% laki-laki. Rata-rata umur responden 38,715,63 tahun, sebagian besar berada pada rentang umur muda yaitu 15-44 tahun. Berdasarkan tingkat pendidikan akhir 29,9% adalah tamat SMA diikuti mereka yang tamat SD (22,9%). Secara umum, pekerjaan mengurus rumah tangga memiliki proporsi terbesar yakni 23,0%. Dari Gambar 1 memperlihatkan bahwa 40,0% perempuan menderita obesitas sentral dibanding laki-laki (10,9%). Berdasarkan kelompok umur prevalensi obesitas sentral tertinggi pada kelompok umur 45-54 tahun (38,5%). Pekerjaan mengurus rumah tangga memiliki prevalensi obesitas sentral terbesar yakni 48,2%. Prevalensi obesitas sentral meningkat seiring meningkatnya status ekonomi. Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa risiko kejadian obesitas sentral lebih tinggi ditemukan pada mereka yang memiliki tingkat ekonomi tinggi (Q5) dengan pendidikan rendah (tamat SMP kebawah), berjenis kelamin perempuan, dan tidak bekerja secara formal. Karakteristik gaya hidup penderita obesitas sentral Karakteristik gaya hidup penderita obesitas sentral menurut tingkat ekonomi Q1 dan Q5 dapat dilihat pada Tabel 2. Terlihat bahwa prevalensi obesitas sentral lebih tinggi pada responden yang memiliki aktivitas fisik kurang, konsumsi makanan berserat (sayur-

buah) kurang, seringnya mengonsumsi makanan manis, bumbu penyedap dan lama merokok 10 tahun ke atas baik di Q1 maupun di Q5. Sebaliknya, prevalensi obesitas lebih rendah ditemukan pada responden yang memiliki factor risiko tinggi, seperti sering mengonsumsi makanan asin, berlemak dan jeroan, kebiasaan merokok setiap hari, mengonsumsi 20 batang rokok per hari dan merokok tanpa filter. Asosiasi gaya hidup dan obesitas sentral Tabel 3 memperlihatkan hasil uji logistik bivariat antara faktor risiko dengan obesitas sentral berdasarkan status ekonomi q1 dan q5. Pada status ekonomi rendah, lama merokok 10 tahun keatas dan aktivitas fisik kurang memberi risiko bermakna terhadap kejadian obesitas sentral masing-masing sebesar 2,464, dan 1,209. Pada status ekonomi tinggi, hanya lama merokok 10 tahun ke atas yang memberi risiko bermakna terhadap obesitas sentral sebesar 3,277. Tabel 4 memperlihatkan hasil analisis regresi logistik multivariat antara faktor risiko dengan obesitas sentral berdasarkan status ekonomi qi dan q5. Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa pada status ekonomi rendah kurang aktivitas fisik memberikan risiko tertinggi terhadap obesitas sentral sebesar 1,233. Pada status ekonomi tinggi, tidak ada variabel faktor risiko yang memberi risiko bermakna terhadap obesitas sentral, kecuali kurang konsumsi serat yang memberi efek protektif terhadap obesitas sentral sebesar 0,664 (p=0,005).

Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa, prevalensi obesitas sentral meningkat seiring dengan meningkatnya status ekonomi dan bertambahnya umur, perempuan lebih berisiko menjadi obesitas dibanding laki-laki, hal ini dapat dijelaskan dengan tingginya prevalensi obesitas sentral pada perempuan sebesar 40%. Ibu rumah tangga merupakan jenis pekerjaan yang memiliki prevalensi obes sentral terbesar yakni 48,2%. Hal ini dapat menjelaskan mengapa perempuan lebih berisiko. Mereka yang berpendidikan tamat perguruan tinggi lebih banyak yang mengalami obes sentral (31,6%). Jika dilihat dari tingkat sosial ekonomi prevalensi obesitas sentral tinggi pada mereka yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi. Kejadian Obesitas di negara berkembang seperti Afrika dan Asia, angka kejadiannya lebih sering terdapat di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan artinya kejadian obesitas lebih sering ditemukan pada golongan sosial ekonomi tinggi. Namun hasil penelitian lain diperoleh bahwa prevalensi obesitas cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah baik di Amerika Serikat dan di negara lainya. Hubungan terbalik antara sosioeconomis status (SES) dan kejadian overweight pada orang dewasa dan anak-anak, dicontohkan pada Studi Minnesota Heart. Orang-orang dengan sosial ekonomi tinggi lebih perduli dengan kontrol berat badan mereka, termasuk dengan exercise dan cenderung makan makanan rendah lemak.8 Data WHO menyebutkan bahwa lebih dari satu milyar orang dewasa menderita overweight dan 300 juta orang lainnya menderita obesitas. Obesitas di negara berkembang terus bertambah dengan lebih dari 115 juta orang menderita obesitas beserta gangguan yang ditimbulkannya. Popkin dan Doak tahun 1998, melaporkan bahwa prevalensi obesitas

bertambah dari 2,3 % menjadi 19,6% selama kurun waktu kurang lebih 10 tahun di beberapa negara berkembang. Pada umumnya di negara berkembang, individu yang berasal dari keluarga sosial yang memiliki tingkat ekonomi rendah biasanya mengalami malnutrisi. Sebaliknya, individu dari keluarga dengan status ekonomi lebih tinggi biasanya menderita obesitas. Kini diketahui bahwa sejak tiga dekade terakhir, prevalensi obesitas meningkat secara dramatis pada setiap kelompok status sosial ekonomi9. Berdasarkan analisis bivariat, diperoleh bahwa prevalensi obesitas ditemukan bahwa prevalensi obesitas sentral lebih tinggi pada responden yang memiliki status ekonomi tinggi yang memiliki aktivitas fisik kurang (18,5%) dan konsumsi makanan berserat (31,6%), sering mengkonsumsi makanan manis (20,7%), sering mengkonsumsi bumbu penyedap (26,1%), dan lama merokok 10 tahun ke atas (15,5%). Seluruh faktor risiko tersebut memiliki hubungan bermakna dengan kejadian obesitas sentral. Sebaliknya, prevalensi obesitas lebih rendah ditemukan pada responden yang memiliki faktor risiko tinggi, seperti sering mengonsumsi makanan asin, berlemak, jeroan, merokok setiap hari, jumlah batang yang dihisap per hari 20 batang ke atas dan tanpa filter. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kurang aktivitas fisik yang memberikan risiko terbesar terhadap obesitas, selain pola konsumsi. Mengingat data pola konsumsi diperoleh hanya berdasarkan frekuensi makan, oleh karenanya analisis tidak dapat menunjukkan hasil yang optimal. Frekuensi makan memiliki kelemahan tidak dapat digunakan untuk menghitung besar konsumsi makanan dan membutuhkan kejujuran yang tinggi dari responden. Jika responden tidak jujur atau menjawab

10

seadanya, maka data yang dikumpulkan juga tidak dapat mewakili konsumsi responden yang sebenarnya Gaya hidup kurang gerak menurunkan energi ekspenditur dan meningkatkan weight gain pada hewan dan manusia. Kegemukan yang terjadi di negara makmur/maju berhubungan dengan tingkat aktivitas fisik8. Prevalensi obesitas sentral tinggi pada status ekonomi yang tinggi yang kurang mengkonsumsi serat. Tubuh membutuhkan serat untuk menjaga fungsi normal dari saluran pencernaan. Serat juga diperlukan untuk memperlancar buang air besar, metabolisme lemak (baik kolesterol dan trigliserida), serta mengatur kadar gula darah. Selain itu kebanyakan negara-negara berkembang di Asia, Amerika latin dan Afrika Utara dan Timur Tengah umumnya terjadi perubahan diet termasuk peningkatan konsumsi lemak, utamanya lemak dari hewani dan gula serta intake sereal dan serat yang rendah10,11. Ketersediaan pangan rendah gizi, seperti makanan siap saji, menyebabkan akses terhadap makanan tersebut mudah dijangkau,terlebih pada rumah tangga (keluarga) yang status ekonominya baik. Merebaknya restoran fast food turut menyumbang peningkatan berbagai penyakit. Fast food jarang menyajikan makanan berserat. Konsumsi makan

nontradisional/fast food utamanya berkembang di negara-negara sedang berkembang seperti Asia Selatan. Menjamurnya outlet-outlet MC Donals utamanya di Asia (dari 951 outlets pada tahun 1987 menjadi 7135 pada tahun 2002)12. Di Indonesia, tingginya prevalensi obesitas pada status l ekonomi tinggi dapat disebabkan karena telah terjadinya transisi sosial ekonomi dengan tahapan awal yakni

11

proporsi orang dengan BMI yang tinggi meningkat pada masyarakat kaya, sementara di daerah miskin kejadian kurang gizi masih menjadi perhatian13. Dalam penelitian tentang obesitas pada daerah kumuh di India diketahui bahwa masyarakat pedesaan ini bermigrasi ke kota metropolitan dengan harapan dapat mengubah gaya hidupnya. Di daerah perkotaan akhirnya mereka bermukim di daerah kumuh dan bekerja serabutan10. Hal ini menyebabkan perubahan pola makan, terpaparnya stress, dan menurunnya aktifitas fisik, meningkatnya kegiatan merokok dan konsumsi alkohol, dimana gaya hidup tersebut menjadi faktor risiko terjadinya obesitas. Perubahan gaya hidup dan pola makan desa menjadi lebih modern pada SES rendah yang tinggi akan lemak dan rendah serat. Mereka yang biasanya bekerja menjadi pertani dengan tingkat aktivitas yang tinggi telah berubah menjadi pedagang kaki lima dengan aktivitas fisik yang rendah8. Kesimpulan dan Saran Status ekonomi tinggi dengan tingkat pendidikan rendah dan umumnya perempuan dan tidak bekerja memiliki risiko obesitas sentral yang lebih tinggi. Kurang aktivitas fisik merupakan faktor risiko utama yang signifikan (OR=1,233 CI=1,0321,474) terhadap kejadian obesitas sentral pada status ekonomi rendah. Sedangkan, pada status ekonomi tinggi, risiko kejadian obesitas sentral rendah (OR=0,664 CI=0,4970,886) pada mereka yang kurang mengonsumsi serat. Perlu dilakukan penelitian tentang jenis lemak yang dikonsumsi pada berbagai tingkat sosial ekonomi Perlu penelitian yang lebih mendalam tentang hubungan merokok dan obesitas sentral. Salah satu tingkat pencegahan obesitas yang mudah untuk dilakukan adalah dengan meningkatkan pendidikan masyarakat

12

Daftar Pustaka 1. Grundy, SM, et al., 2004. Obesity, Metabolic Syndrome, and Cardiovascular Disease. The Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism, Vol. 89, No.6:2595-2600. 2. Widjaya A, et al, 2004. Obesitas dan Sindrom Metabolik. Forum Diagnosticum. 4:1-16. 3. Shemiardji, G. 2004. The Significant of Visceral Fat in Metabolic Syndrome. Jakarta Diabetes Meeting 9-10 Oktober. 4. NHLBI. 1998. Clinical Guidelines on the Identification, Evaluation, and Treatment of Overweight and Obesity in Adults: The Evidence Report. (Online), (www.nhlbi.nih.gov/guidelines/obesity/ob_gdlns.htm, diakses Desember 2008) 5. Inoue, S. Zimmet P. Caterson I. 2000. The Asia Pasific Perspective: Redefining Obesity and Its Treatment. Health Communication. Australia. 6. Hadju, V., 2003. Bahan Bacaan Mata Kuliah Dietetik Masyarakat. Makassar. Jurusan Gizi FKM Unhas 7. Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Bogor. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB 8. Crawford, D. Jeffery, RW et al. 2005. Obesity Prevention and Public Health. New York. Oxford University Press. 9. Zhang, 2004. Trends in the association between obesity socioeconomic status in US Adults. Obesity Research. 12:1622-1632 10. Misra, A., et al., 2001. High Prevalence of Diabetes, Obesity and Dyslipiddaemia in Urban Slum Population in Northern India. International Journal of Obesity. Nov.2001.Vol 25, No.11:1722-1729 11. Misra, A. and Khurana, L., 2008. Obesity and the metabolik syndrome in developing countries. J Clin Endocrinol Metab, November 2008, 93(11):S9S30. (online) ( http://jcem.endojournals.org, diakses 14 April 2009) 12. Snipes K., 2004. Mexico Exporter Guide: Annual 2004. GAIN report MX4313. Washington, DC: United States Foreign Agricultural Service 13. Hadi, H. 2006. Beban Ganda Masalah Gizi dan Implikasinya terhadap Kebijakan Pembangunan Kesehatan Nasional. Pidato Pengukuhan Guru Besar. Yogyakarta. UGM.

13

Lampiran

Gambar 1. Prevalensi obesitas sentral di daerah perkotaan Indonesia berdasarkan karakteristik sosial ekonomi.

14

Tabel 1: Distribusi prevalensi obesitas sentral berdasarkan karakteristik tingkat pendidikan, jenis kelamin dan pekerjaan pada tingkat ekonomi rendah (Q1) dan tinggi (Q5). Obesitas Sentral Q5
n=3680

Karakteristik

Q1
n=3379

Tingkat Pendidikan Tinggi (SMP PT) Rendah ( SD) Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pekerjaan Bekerja Tidak kerja 31,0 34,7 17,4 26,5

18,2 43,7

6,3 36,4

28,5 36,7

14,9 31,9

Tabel 2: Distribusi prevalensi obesitas sentral berdasarkan faktor risiko gaya hidup pada tingkat ekonomi rendah (Q1) dan tinggi (Q5). Gaya Hidup Aktifitas Fisik Kurang Cukup Konsumsi serat Kurang Cukup Konsumsi makanan manis Sering Jarang Konsumsi makanan Asin Sering Jarang Konsumsi makanan berlemak Q.1 Q.5

11,8 9,1 21,1 0,2 13,2 7,7 4,8 16,1

18.5 13,4 31,6 0,7 20,7 11,1 7,7 24,1

15

Gaya Hidup Sering Jarang Konsumsi makanan jeroan Sering Jarang Konsumsi bumbu penyedap Sering Jarang Frekuensi merokok Berisiko (tiap hari) Kurang berisiko Jumlah batang rokok 20 batang/hari < 20 batang/hari Lama merokok 10 tahun < 10 tahun Jenis rokok Tanpa filter Berfilter

Q.1 3,6 17,2 0,3 20,6 17,5 3,4 1,6 19,3 3,4 46,3 5,7 0,9 3,0 3,8

Q.5 5,6 26,3 0,6 31,2 26,1 5,8 3,6 28,2 5,6 45,1 15,5 2,1 5,0 11,5

Tabel 3: Regresi logistik bivariat antara obesitas sentral dengan faktor risiko berdasarkan tingkat ekonomi Status ekonomi rendah Q1 n=3478 B
Aktifitas fisik (kurang) Kons. serat (kurang) Kons. mak/min manis (sering) Kons. mak. asin (sering) Kons. mak. berlemak (sering) Kons. jeroan (sering) Kons. bumbu penyedap (sering) Merokok (setiap hari) Jumlah batang rokok ( 20 btg) Lama merokok (( 10 tahun) Jenis rokok (berfilter) 0,190 -0,546 -0,077 -0,146 0,169 0,307 0,195 -0,137 0,519 0,902 0,114

OR
1,209 0,579 0,926 0,864 1,184 1,359 1,215 0,872 1,681 2,464 0,635

95%CI
1,208 1,422 0,348 0,963 0,783 1,095 0,715 1,044 0,957 1,466 0,673 2,742 0,973 1,518 0,579 1,313 0,776 3,643 1,097 5,539 0,701 1,792

P
0,022* 0,035* 0,368 0,130* 0,121* 0,392 0,086* 0,511 0,188** 0,029** 0,635

Status ekonomi tinggi Q5 n=3827 B

OR

95%CI

16

Aktifitas fisik (kurang) Kons. serat (kurang) Kons. mak/min manis (sering) Kons. mak. asin (sering) Kons. mak. berlemak (sering) Kons. jeroan (sering) Kons. bumbu penyedap (sering) Merokok (setiap hari) Jumlah batang rokok ( 20 btg) Lama merokok ( 10 tahun) Jenis rokok (berfilter)

0,054 -0,404 -0,109 -0,108 0,054 0,093 -0,063 -0,511 -0,156 1,187 -0,290

1,055 0,688 0,897 0,898 1,055 1,097 0,939 0,600 0,855 3,277 0,748

0,917 1,214 0,498 0,895 0,775 1,038 0,765 1,055 0,879 1,268 0,653 1,843 0,731 1,126 0,466 0,772 0,497 1,472 1,894 5,670 0,524 1,068

0,452 0,007* 0,146* 0,189* 0,565 0,725 0,497 0,000** 0,572 0,000** 0,110**

* nilai p < 0,25 diteruskan untuk analisis multivariat. ** tidak diteruskan ke analisis multivariat oleh karena perbedaan sampel

Tabel 4: Regresi logistik multivariat antara obesitas sentral dengan faktor risiko berdasarkan tingkat ekonomi Status ekonomi rendah (Q1) n=3478 B
Aktifitas fisik (kurang) Kons. serat (kurang) Kons. mak. berlemak (sering) Kons. bumbu penyedap (sering) 0,210 -0,509 0,174 0,130

OR
1,233 0,601 1,190 1,139

95%CI
1,032 1,474 0,361 1,001 0,940 1,506 0,895 1,450

P
0,021 0,051 0,148 0,290

Status ekonomi tinggi Q5 n=3827 B


Kons. serat (kurang) Kons. mak/min manis (sering) Kons. mak. asin (sering) -0,410 -0,125 -0,070

OR
0,664 0,882 0,933

95%CI
0,497 0,886 0,756 1,029 0,788 1,104

P
0,005 0,110 0,417

17

You might also like