You are on page 1of 37

BAB I PENDAHULUAN A.

Latar Belakang Masalah Pada hakekatnya setiap manusia secara pribadi selalu ingin mengelompokkan dirinya dengan sesamanya yang merupakan satu kesatuan sosial, oleh karena dapat dirasakan bahwa tanpa adanya kebersamaan hidup dalam menghadapi suatu kenyataan yang timbul dalam masyarakat, akan mengurangi kesempurnaan dalam roda kehidupan. Kebersamaan hidup dapat ditempuh dengan melangsungkan perkawinan antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki yang akhirnya rumah tangga tersebut akan menjalin hubungan dengan masyarakat sekitarnya. Dengan dilangsungkannya perkawinan oleh suami dan istri, maka timbullah akibat hukum bagi suami dan istri. Salah satu akibat hukum itu adalah mengenai harta rumah tangga menurut KUHPerdata bahwa dengan dilangsungkannya perkawinan maka dengan sendirinya harta dalam perilaku mereka menjadi satu kesatuan bulat sebagaimana yang dimaksud Pasal 119 KUHPerdata. Lahirnya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan secara relatif telah dapat menjawab kebutuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur perkawinan secara seragam dan untuk semua golongan masyarakat di Indonesia. Namun demikian, tidak berarti bahwa Undang-Undang ini telah mengatur semua aspek yang terkait dengan perkawinan. Contoh persoalan yang tidak diatur oleh Undang-Undang Perkawinan adalah perkawinan beda agama, yaitu perkawinan antara seorang laki-laki dengan perempuan yang berbeda agama.1 Seiringan dengan berkembangnya masyarakat, permasalahan yang terjadi semakin kompleks. Berkaitan dengan perkawinan, belakangan ini sering tersiar dalam berbagai media terjadinya perkawinan yang dianggap problematis dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai contoh, perkawinan campuran,2 perkawinan sejenis,
3

kawin kontrak, dan perkawinan antara

pasangan yang memiliki keyakinan (agama) yang berbeda. Walaupun perkawinan campuran dan perkawinan beda agama sama sekali berbeda, bukan tidak mungkin pada saat yang sama
1 2 3

Rusli & R. Tama, Perkawinan Antar Agama dan Masalahnya, Pionir Jaya, Bandung, 1986, hal.11. Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, rev. ed, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hal.3. Menurut Pasal 57 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua

orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Jadi, perkawinan campuran bukanlah perkawinan antar agama yang dimaksudkan di sini.

MAKALAH HUKUM PERSELISIHAN

Page 1

perkawinan campuran juga menyebabkan perkawinan beda agama. Hal ini disebabkan karena pasangan yang lintas negara juga pasangan lintas agama.4 Fenomena perkawinan antar-agama bukan hal yang baru di Indonesia. Sebelumnya sudah berderet wanita Indonesia yang menikah dengan laki-laki non-Muslim. Ada Nurul Arifin yang kawin dengan Mayong (Katolik), juga Yuni Shara yang menikah dengan Henry Siahaan (Kristen), dan masih banyak yang lain. Tetapi, mereka-mereka ini kawin di luar negeri atau mengadakan perkawinan secara Kristen. Kasus yang cukup terkenal adalah perkawinan artis Deddy Corbuzier dan Kalina, pada awal Tahun 2005 lalu, Deddy yang Katolik dinikahkan secara Islam oleh penghulu pribadi yang dikenal sebagai tokoh dari Yayasan Paramadina. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tidak memuat suatu ketentuan apapun yang menyebutkan bahwa perbedaan agama antara calon suami istri adalah dilarang atau merupakan halangan perkawinan. Sejalan dari jiwa dari Pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa semua warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum. Di sini warga negara, sekalipun berlainan agamanya. Kemudian dijelaskan bahwa Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur tentang perkawinan yang calon suami atau calon istrinya yang memeluk agama yang berbeda. Hal ini menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda di kalangan masyarakat. Sebagian berpendapat bahwa perkawinan tersebut tidak sah karena tidak memenuhi baik ketentuan yang berdasarkan agama, maupun berdasarkan Undang-undang negara. Sementara, di sisi lain, ada pihak yang berpendapat berbeda. Perkawinan antara pasangan yang berbeda agama sah sepanjang dilakukan berdasarkan agama/keyakinan salah satu pihak. Sementara seluruh agama yang diakui di Indonesia tidak membolehkan adanya perkawinan yang dilakukan jika kedua calon berbeda agama. Sebagai salah satu alternatif agar perkawinan keduanya tetap dapat dilaksanakan adalah dengan melakukan perkawinan di luar negeri, atau salah satu pihak meleburkan diri kepada salah satu agama. Ketentuan-ketentuan ini disebut sebagai salah satu cara penyelundupan hukum bagi perkawinan beda agama.5
4

lihat http://aruspelangi.pbwiki.com/Profil, Komunitas ini didirikan oleh Arus Pelangi untuk yang mempromosikan Masalah Hukum Keabsahan Kawin Beda Agama di Luar Negeri, http://www. hukumonline.com/detail.asp?

dan membela hak-hak dasar kaum lesbian, gay, biseksual, transseksual/transgender.


5

id=14922&cl=Berita, Zulfa Djoko Basuki berpendapat perkawinan beda agama di luar negeri lebih sebagai upaya menghindari hukum yang seharusnya berlaku kepada mereka. Yaitu Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Perkawinan demikian merupakan penyelundupan hukum, dan karenanya dapat dibatalkan,

MAKALAH HUKUM PERSELISIHAN

Page 2

Apabila diperhatikan dalam Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Artinya pihak yang akan kawin menganut agama yang sama. Jika keduaduanya itu berlainan agama, menurut ketentuan dalam UU Perkawinan dan peraturan-peraturan pelaksananya, maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan, kecuali apabila salah satunya ikut menganut agama pihak lainnya itu. Walaupun demikian Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tidak merumuskan secara jelas perkawinan campuran berdasarkan perbedaan agama. Mengenai nikah siri, pernikahan seperti ini walaupun sah secara agama tetapi tidak mempunyai bukti karena tidak dicatat dengan kata lain pernikahan tersebut tidak dilakukan dihadapan pencatat nikah. Dengan perkawinan seperti ini dari segi hak-hak dan kewajiban-kewajiban suami isteri cenderung banyak merugikan pihak isteri terutama jika terjadi perceraian.6 Selain permasalahan yang berhubungan dengan pengakuan negara atau pengakuan dari kepercayaan/agama atas perkawinan, pasangan yang melaksanakan perkawinan tersebut seringkali menghadapi masalah-masalah lain di kemudian hari, terutama untuk perkawinan beda agama. Misalnya saja, pengakuan negara atas anak yang dilahirkan, masalah perceraian, pembagian harta ataupun masalah warisan. Belum lagi, dampak-dampak lain, seperti berkembangnya gaya hidup bersama atau hidup tanpa pasanngan7 yang terkadang bisa dipicu karena belum diterimanya perkawinan beda agama. Perkawinan beda agama bukanlah perkawinan campuran dalam pengertian hukum nasional kita karena perkawinan campuran menurut UU Perkawinan disebut sebagai perkawinan yang terjadi antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing, akan tetapi perkawinan beda agama di masyarakat sering pula disebut sebagai perkawinan campuran. Jarwo Yunu mengatakan ada dua cara dalam menyikapi perkawinan beda agama ini : 1. Salah satu pihak dapat melakukan perpindahan agama, namun ini dapat berarti penyelundupan hukum, karena sesungguhnya yang terjadi adalah hanya menyiasati secara
perkawinan itu tidak sah karena tidak memenuhi syarat Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974. Meskipun tidak sah menurut hukum Indonesia, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil tetap menerima pendaftaran perkawinan tersebut. Pencatatan di sini bukan dalam konteks sah tidaknya perkawinan, melainkan sekedar pelaporan administratif.
6 7

Suryadi Suganda, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Semarang, FH UNDIP, 2005), hal.5, al.6. Perkawinan Beda Agama, http://hukumonline.com/detail.asp?id=15656&cl=Berita diakses tanggal 15 Agustus

2009

MAKALAH HUKUM PERSELISIHAN

Page 3

hukum ketentuan dalam UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun setelah perkawinan berlangsung masing-masing pihak kembali memeluk agamanya masing-masing. Cara ini sangat tidak disarankan. 2. Berdasarkan Putusan MA No 1400 K/Pdt/1986 Kantor Catatan Sipil diperkenankan untuk melangsungkan perkawinan beda agama. Kasus ini bermula dari perkawinan yang hendak dicatatkan oleh Ani Vonny Gani P (perempuan/Islam) dengan Petrus Hendrik Nelwan (lakilaki/Kristen). Dalam putusannya MA menyatakan bahwa dengan pengajuan pencatatan pernikahan di KCS maka Vonny telah tidak menghiraukan peraturan agama Islam tentang Perkawinan dan karenanya harus dianggap bahwa ia menginginkan agar perkawinannya tidak dilangsungkan menurut agama Islam. Dengan demikian, mereka berstatus tidak beragama Islam, maka KCS harus melangsungkan perkawinan tersebut.8 Putusan ini, secara sekilas hanya berlaku bila perempuan yang beragama Islam dan Lakilaki yang beragama Nasrani hendak melangsungkan perkawinan. Lalu bagaimana dengan bila sebaliknya? Secara argumentum a contrario maka KUA wajib melangsungkan perkawinannya, karena perempuan yang beragama Nasrani tidak lagi menghiraukan statusnya yang beragama Nasrani. Oleh karena itu melakukan penundukkan hukum secara jelas kepada seluruh Hukum Islam yang terkait dengan perkawinan. Dengan ini, dari semula pasangan yang berbeda agama tidak perlu melakukan penyelundupan hukum dengan mengganti agama untuk sementara, namun bisa melangsungkan perkawinan tanpa berpindah agama. Perkawinan menurut masing-masing agama merupakan interpretasi lain dari Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Bisa saja terjadi pasangan perkawinan beda agama ini pagi menikah sesuai agama laki-laki, siangnya menikah sesuai dengan agama perempuan yang akan menyulitkan untuk menentukan perkawinan mana yang sah. Penundukan diri terhadap salah satu hukum agama pasangan yang akan menikah mungkin lebih sering digunakan. Dalam agama Islam, diperbolehkan laki-laki Islam menikahi wanita non-Islam, yang termasuk ahlul kitab. Ayat Al-Quran inilah yang dipraktekkan sungguh oleh lembaga-lembaga seperti Paramadina, Wahid Institute, dan Indonesian Confrence on
8

S.U Jarwo Yunu, Aspek Perkawinan Beda Agama di Indonesia, (Jakarta, Penerbit : CV. Insani,2005), hal.11.

MAKALAH HUKUM PERSELISIHAN

Page 4

Religion and Peace (ICRP), bahkan diperluas jadi memperbolehkan kawin beda agama bagi wanita muslim.9 Ditinjau dari hukum Islam, MUI melarang perkawinan beda agama. Pada prinsipnya, agama-agama lain juga tidak membolehkan, bukan hanya agama Islam. Semua agama tidak memperbolehkan kawin beda agama. Umatnya saja yang mencari peluang-peluang. Perkawinannya dianggap tidak sah, dianggap tidak ada perkawinan, tidak ada waris, anaknya juga ikut hubungan hukum dengan ibunya.10 Banyaknya masyarakat yang lari ke luar negeri seperti Singapura dan Australia untuk melakukan perkawinan beda agama. Jika melakukan perkawinan di luar negeri berarti tunduk pada hukum di luar negeri. Pasangan tersebut mendapat akte dari negara itu, kemudian akte dibawa pulang untuk dicatatkan saja. Artinya tidak memperoleh akte lagi dari negara. Meskipun Undang-undang tidak memperbolehkan kawin beda agama, tetapi Dinas KCS bisa menerima pencatatan perkawinan beda agama yang dilakukan di luar negeri. Padahal, Dinas KCS merupakan produk negara. Dengan demikian, seharusnya yang dicatat Dinas KCS adalah sesuai dengan hukum Indonesia. Secara hukum tidak sah. Kalau kita melakukan perbuatan

Pernikahan seorang lelaki Muslim dengan perempuan non-Muslim terbagi atas 2 macam : a. Lelaki Muslim dengan perempuan Ahli Kitab. Yang dimaksud dengan Ahli Kitab di sini adalah agama Nasrani dan Yahudi (agama samawi). Hukumnya boleh, dengan dasar Surat Al-Maidah (5) : 5, Pada hari ini dihalalkan bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanitawanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi., b. Lelaki Muslim dengan perempuan non Ahli Kitab. Untuk kasus ini, banyak ulama yang melarang, dengan dasar Al-Baqarah (2):222, Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surge dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan pelajaran. ayat-ayat-Nya.(perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil

10

Sudhar Indopa, Perkawinan Beda Agama, Solusi dan Pemecahannya, (Jakarta, Penerbit FH UI, 2006), hal.6.

MAKALAH HUKUM PERSELISIHAN

Page 5

hukum di luar negeri, baru sah sesuai dengan hukum kita dan sesuai dengan hukum di negara tempat kita berada. Harusnya KCS tidak boleh melakukan pencatatan.11 Berdasarkan uraian di atas, maka Penulis tertarik untuk membahas mengenai Hukum Perselisihan dalam lingkup Hukum Antar Agama terkait Perkawinan Beda Agama. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahanpermasalahan sebagai berikut : Bagaimanakah kedudukan perkawinan beda agama dalam sistem hukum di Indonesia? C. Metode Penulisan Penulisan ini menggunakan metode yuridis normatif terutama untuk mengkaji peraturan perundang-undangan dan Putusan Pengadilan. Metode penulisan hukum normatif adalah penulisan yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundangundangan dan putusan pengadilan. Hal ini sejalan dengan pendapat Ronal Dworkin menyebut metode penulisan normatif juga sebagai penulisan doktrinal atau doctrinal research, yaitu suatu penulisan yang menganalisis baik hukum sebagai law as it written in the book; maupun hukum sebagai law as it is decided by the judge through judicial process.12 Sedikitnya ada tiga alasan penggunaan penulisan hukum normatif yang bersifat kualitatif. Pertama, analisis kualitatif didasarkan pada paradigm hubungan dinamis antara teori, konsep-konsep dan data yang merupakan umpan balik atau modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang dikumpulkan. Kedua, data yang akan dianalisis beraneka ragam, memilki sifat dasar yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya, serta tidak mudah untuk dikuantifisir.

11 12

Ibid, hal.7. Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Makalah Disampaikan pada

dialog interaktif Tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Penelitian Hukum Pada Makalah Akreditasi Fakultas Hukum USU Tanggal 18 Februari 2003, hal.1.

MAKALAH HUKUM PERSELISIHAN

Page 6

Ketiga, sifat dasar data yang akan dianalisis dalam penulisan ini adalah bersifat menyeluruh dan merupakan satu kesatuan yang integral holistic dimana hal itu menunjukkan adanya keanekaragaman data serta memerlukan informasi yang mendalam atau indepth information.13

13

Ibid, hal.2.

MAKALAH HUKUM PERSELISIHAN

Page 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Perselisihan dalam lingkup Hukum Antar Agama Hukum perselisihan merupakan keseluruhan (asas) dan kaidah yang menentukan hukum manakah atau hukum apakah yang berlaku apabila dalam suatu peristiwa hukum terpaut lebih dari satu sistem hukum. Ada beberapa unsur dari perselisihan, unsur-unsur tersebut adalah : 1. Asas hukum Asas hukum menurut Paul Scholten adalah kecenderungan-kecenderungan yang disyaratkan oleh pandanagan kesusilaan kita pada hukum, merupakan sifat-sifat umum dengan segala keterbatasannya sebagai pembawaan yang umum itu, tetapi yang tidak boleh tidak harus ada. Asas hukum bukan merupakan kaidah hukum yang konkret, melainkan latar belakang dan peraturan yang konkret dan bersifat umum atau abstrak. 2. Kaidah hukum (norma hukum) Kaidah hukum merupakan ketentuan atau pedoman tentang apa seyogianya atau seharusnya dilakukan. 3. Peristiwa hukum Peristiwa hukum adalah peristiwa yang relevan bagi hukum, peristiwa yang oleh hukum dihubungkan dengan akibat hukum. 4. Terpautnya dua sistem hukum atau lebih Terpautnya dua sistem hukum atau lebih, yaitu suatu keadan dimana dua atau lebih sistem hukum memiliki peluang yang sama untuk menguasai suatu peristiwa hukum yang sama. Timbulah sistem hukum mana yang lebih memiliki peluang untuk menguasai tindakan hukum seseorang tersebut. 5. Kaidah yang menentukan, terdapat dua macam : a. Kaidah penunjuk (verwijzingsregel), yakni kaidah yang menunjuk kepada salah satu stelsel hukum yang dipertautkan untuk menentukan hukum manakah diantara hukum yang terpaut serta memiliki peluang yang sama tadi yang kemudian akan berlaku dan menguasai peristiwa hukum yang berlangsung. Contoh :

MAKALAH HUKUM PERSELISIHAN

Page 8

i. ii. iii.

Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de Gemengde Huwalijken atau sering disebut GHR-S. 1898/158); Peraturan Penundukan Sukarela (Regeling op de vrijwilige onderwerping S. 1917/12); Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen Jawa, Minahasa, dan Ambon (Huwaelijksordonnantie Christen-Indonesiers Java, Minahasa en Amboina atau lazim disebut HOCI S 1933/74)

b. Kaidah bebas yang berdiri sendiri (zelfstandigeregel), yakni kaidah yang mengatur

sendiri hubungan-hubungan hukum antar golongan. i. ii. Pasal 6 ayat (2) GHR menentukan berkenaan dengan perkawinan campuran harus selamanya pejabat nikah. Pasal 7 ayat (2) GHR menentukan perbedaan agama, suku bangsa atau keturunan tidak dapat dijadikan penghalang untuk melakukan perkawinan. Hukum perselisihan dibedakan dalam dua kategori : 1. Hukum perselisihan dalam arti makro (Hukum Antar Tata Hukum Ekstern) , yaitu keseluruhan kaidah yang menunjukan stelsel hukum manakah yang akan berlaku apabila dalam suatu hubungan hukum atau peristiwa hkum terpaut lebih dari satu sistem hukum dari dua negara atau lebih. 2. Hukum perselisihan dalam arti mikro (Hukum Antar Tata Hukum Intern), yaitu keseluruhan kaidah yang menunjukan stelsel hukum manakah yang akan berlaku atau apakah yang merupakan hukum apabila suatu hubungan hukum atau peristiwa hukum antar sesama warga negara di dalam satu negara terpaut lebih dari satu stelsel hukum yang berlainan yang berlaku bagi masing-masing warga negara dimaksud. Yaitu salah satunya berbeda hukum agamanya (Hukum Antar Agama) disebabkan perbedaan agama yang dianut setiap warga negara yang dimaksud. Hukum Antar Agama adalah keseluruhan kaidah hukum yang menentukan hukum apakah atau hukum manakah yang berlaku apabila dalam suatu peristiwa hukum bertaut dua sistem hukum atau lebih disebabkan melibatkan orang yang berlainan agama. Suatu perbuatan hukum manakala perbuatan hukum dapat dikategorikan sebagai persoalan hukum antar agama manakala perbuatan hukum tersebut melibatkan dua subjek hukum atau lebih yang berlainan agama, serta akibat hukumnya menyebabkan dua agama yang berlainan itu memiliki peluang yang sama
MAKALAH HUKUM PERSELISIHAN Page 9

untuk mengatur persoalan itu. Jenis perbuatan hukum yang menjadi lingkup pengaturan hukum antar agama sesungguhnya tidak terlalu banyak, sebagai contoh : hukum kekeluargaan, perkawinan, warisan, dan perceraian. Meskipun hubungan hukum itu dilakukan oleh dua orang yang berasal dari golongan rakyat yang sama, misalnya keduanya termasuk golongan rakyat pribumi, dan lingkungan adatnya juga sama, tetapi jika agama yang dianut kedua orang itu berlainan, maka dipecahkan dengan Hukum Antar Agama (HAA). Sesuatu yang bersangkutpaut dengan agama dan keyakinan Tuhan tentu tidak mudah direkayasa oleh kepentingan sesaat manusia. Artinya sepanjang pemeluk agama-agama yang diakui keberadaannya secara nasional meyakini sepenuhnya keimanannya masing-masing, maka sepanjang itu pula hal ihwal yang bersangkut paut diganti atau diseragamkan dengan dalih unifikasi hukum. Memilih Hukum Dalam hal terdapat dua sistem hukum yang berbeda maka adanya memilih hukum dan mengubah status. Memilih hukum artinya kebebasan yang diberikan kepada para pihak untuk dalam bidang perjanjian memilih hukum sendiri hukum yang hendak digunakan. Jenis-jenis pilihan hukum yang dapat berakibat mengubah status seseorang: 1. Penggantian hukum dalam perkawinan campuran yang berakibat berubah status baik dilapangan publik maupun perdata 2. Penundukan sukarela 3. Persamaan hak yang berakibat perubahan status di lapangan hukum perdata; 4. Peleburan (oplossing) 5. Percampuran dengan suku bangsa asli 6. Persatuan dengan masyarakat hukum setempat Penggantian Hukum Dalam Perkawinan Campuran Sebagaimana diketahui bahwa perkawinan campuran dalam masyarakat kolonial di Hindia Belanda, diatur dalam Peraturan Perkawinan Campuran S.1898 No. 158 (Regeling op de Gemengde Huwalijken/GHR). Pasal 1 GHR menentukan, perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan disebut perkawinan campuran. Hukum yang berlainan dapat terjadi karena salah satunya adalah : i. Perbedaan agama, disebut perkawinan campuran antar agama (interreligieus)

MAKALAH HUKUM PERSELISIHAN

Page 10

Perkawinan campuran diatur oleh GHR, artinya pihak-pihak yang melakukan perkawinan campuran apa pun tidak dapat mengelak kecuali tuduk ke arah ketentuan GHR. Menurut Pasal 2 GHR, Seorang perempuan yang melakukan perkawinan campuran, selama perkawinan berlangsung, perempuan (isteri) baik publik maupun suami mengikuti hukum suami. Pasal tersebut memiliki makna bahwa pihak perempuan dalam perkawinan campuran telah melakukan pilihan hukum ke arah atau menundukan diri terhadap hukum yang berlaku bagi suaminya. Hal itu terjadi sejak perkawinan akan dilangsungkan. Dalam Pasal 6 ayat (1) GHR, Pelaksanaan perkawinan campuran dilangsungkan menurut hukum yang berlaku bagi suami, kecuali ijin dari pasangan suami istri, yang senantiasa diharuskan ada). Setelah UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 diundangkan , terjadilah unifikasi hukum di bidang peraturan yang mengatur mengenai perkawinan. Sekarang perkawinan antara orang-orang yang berlainan agama tidak lagi disebut sebagai perkawinan campuran, akan tetapi de facto dan de jure tetap emerupakan isu yang keabsahaannya masih membuka peluang untuk penafsiran secara pluralistik. Dikatakan pluralistik sebagai UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 sama sekali tidak mengatur perkawinan dari orang-orang yang berbeda agama. Akibatnya persoalan sahnya atau tidaknya perkawinan antara orang-orang yang berbeda agama akan sangat bergantung dari sudut pandang norma-norma agama yang terlibat di dalamnya. Status Personal Dan Status Pribadi Status personal dalam hukum perselisihan intern adalah kedudukan hukum dari seseorang yang ditentukan oleh hukum adat dari lingkungan adat mana pada mulanya ia dianggap terikat secara permanen. Dalam hukum perselisihan intern, status personal tepat jika dikatakan dengan status pribadi. Yang dimaksud dengan status pribadi adalah identitas yang melekat pada setiap diri orang yang secara permanen membedakan seseorang dengan orang lain. Identitas diri dapat terdiri atas hal berikut ini : Asal-usul etnis dan/lingkungan adat seseorang; Golongan rakyar seseorang Agama yang dianut seseorang Status baru akibat hukum perbuatan sendiri ataupun karena perbuatan orang lain

MAKALAH HUKUM PERSELISIHAN

Page 11

Mengubah status adalah dalam hal-hal atau kondisi yang bagaimanakah seseorang dapat dianggap melakukan perubahan status atau bahkan berubah sama sekali status pribadinya dari status semula. Jenis pilihan hukum yang dapat mengubah status pribadi seseorang serta dapat dilakukan baik oleh orang dari golongan rakyat pribumi maupun oran g dari golongan rakyat eropa adalah pengantian hukum dalam perkawinan campuran. Seperti diketahui mengenai perkawinan campuran terdapat perbedaan anatara sebelum dengan sesudah berlaku UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Mengapa demikian? Satu hal yang pasti adalah karena peraturan perkawinan campuran pada masa berlakunya GHR , Pasal 2 GHR yang menentukan seorang perempuan yang melakukan perkawinan campuran, selama perkawinan berlangsung, perempuan (isteri) baik publik maupun privat mengikuti hukum suami). Gagasan yang idealis dari Pasal 2 GHR itu sesungguhnya asas persamarataan antara stelsel-stelsel hukum. Artinya, secara yuridis semua sistem hukum yang terdapat di Indonesia, (baik itu sistem hukum adat, sistem hukum islam, sistem hukum BW, atau sistem hukum lainnya jika masih ada), dianggap sederajat. Maksudnya semua sama rata, tidak ada yang lebih tinggi dan lebih baik dari yang lainnya. Asas tersebut menafikan perbedaan prinsip sekali pun. Oleh karena itu dikatakan oleh Gautama, .bahwa tidak penting hukum manakah dari pihak suami itu. Walaupun sang suami dari golongan pribumi yang sehari-hari dibawah hukum adat dan beragama Islam, pihak perempuan yang termasuk holongan rakyat Eropa dan sehari-hari di bawah sistem hukum monogam, harus turut pula memperoleh dan mengikuti status suaminya. Jenis Perbuatan Hukum Yang Berakibat Mengubah Status Perkawinan campuran menurut ketentuan GHR , bagi seorang perempuan jelas merupakan perbuatan hukum yang dapat berakibat mengubah status pribadi perempuan tersebut. Oleh karena semenjak berlangsungnya perkawinan, seorang perempuan yang melakukan perkawinan campuran menurut GHR, baik secara publik maupun privat mengikuti status hukum suaminya. Pasal 75 Huwelijksordonnantie Christen-Indonesiers (HOCI), juka memberikan peluang kepada seorang lelaki Indonesia bukan Nasrani untuk melakukan peubahan status pribadi melalui perkawinan dengan perempuan Indonesia Nasrani. Hal itu dengan jelas diketahui dari kaidah Pasal 75 HOCI yang menentukan bahwa: Perkawinan antara seorang lelaki Indonesia bukan Nasrani dengan perempuan Indonesia Nasrani, atas permintaan mereka, dapat dikukuhkan
MAKALAH HUKUM PERSELISIHAN Page 12

dengan menurut segala ketentuan ordonansi ini dengan Reglement Catatan Sipil IndonesiaKristen Jawa dan Madura, Minahasa dan Ambon, Saparua dan banda (S. 1933 No. 75). Ketentuan di atas mengesampingkan kaidah Pasal 2 GHR. Hal itu mengingat perkawinan lelaki Indonesia bukan Nasrani dengan perempuan Indonesia Nasrani sesungguhnya merupakan perkawinan campuran, sehingga mstinya si perempuan Indonesia Nasrani itu sejak perkawinan berlangsung, baik secara publik maupun privat mengikuti suaminya. Akan tetapi Pasal 75 HOCI ternyata memberi pelung untuk menyimpangi kaidah GHR, dan kepada pihak lelaki Indonesia bukan Nasrani dimungkinkan untuk memilih hukum yang berlaku bagi isterinya sebagai hukum perkawinan mereka. Artinya meski pihak lelaki itu tidak memeluk agama Nasrani, nmun karena pilihan hukumnya yang demikian itu, lelaki tersebut dapat juga memilih hukum untuk perkawinan monogam. Peralihan agama termasuk salah satu perbuatan seseorang yang membawa konsekuensi berubahnya stataus pribadi yang bersangkutan. Oleh karena itu menurut S. Gautama menyebutkan bahwa .detik peralihn ialah detik bahwa yang bersangkutan diterima oleh suausana hukum baru sebagai sesama kepercayaan. Secara sosiologis ketentuan Pasal 2 GHR bukan berfungsi sebagai katalisator untuk memperbanyak perkawinan campuran namun sebaliknya ketentuan tersebut merupakan penghalang terhadap bertambahnya perkawinan-perkawinan campuran dari perempuan Eropa dengan pria-pria yang bukan Eropa. Oleh karena itu, politik kolonial Belanda ketekia itu sesungguhnya sama sekali bukan bermaksud memberikan perlakuan yang sama terhadap setiap stelsel hukum yang berlaku di Hindia Belanda. Sebaliknya, dengan mengintroduksikan asas persamarataan dari semua sistem stelsel hukum, secara implisit pemerintah kolonial Belanda sesungguhnya hendak mengeloni hukum perdata Eropa dengan asas perkawinan yang monogamnya. Pasal 74 HOCI, bahwa peralihan dari agama Nasrani ke agama lain tidak membawa akibat berlakunya hukum perkawinan baru yang sesuai dengan agama baru. Maksud dari ketentuan ini pun jelas bahwa bagi pasangan yang menikah di bawah HOCI karena mereka beragama Nasrani, bilamana mereka berdua atau salah satu dari mereka beralih agama ke agama lain, pasangan mempelai tersebut tetap di bawah HOCI. Artinya, sekalipun mereka sudah melepaskan diri dari hubungannya dengan agama Nasrani dan diterima sebagai pemeluk agama yang baru, namun mereka tetap berada di bawah kekuasaan HOCI.
MAKALAH HUKUM PERSELISIHAN Page 13

B. Pengaturan Perkawinan Beda Agama Dalam Perundang-Undangan Perkawinan Di Indonesia Pembahasan dalam bagian ini mencoba menelaah peraturan mengenai perkawinan beda agama dalam peraturan-peraturan produk pemerintah di Perkawinan Campuran/Regeling Islam di Indonesia. Untuk mengetahui secara lebih mendetail tentang pengaturan perkawinan beda agama di Indonesia, pengaturan dalam uraian berikut akan dipaparkan peraturan-peraturan yang terkait dengan perkawinan beda agama di Indonesia. Dalam Peraturan Perkawinan 158 (GHR), 1898 Nomor op Indonesia. Terkait

dengan hal tersebut maka tulisan ini akan mencoba menelusurinya dalam Peraturan de Gemengde Huwelijken, Staatsblad 1898 Nomor 158 (GHR), Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, dan Kompilasi Hukum

Campuran/Regeling op de Gemengde Huwelijken, Staatsblad Pasal 1 :

beberapa ketentuan tentang perkawinan beda agama adalah sebagai berikut: Pelangsungan perkawinan antara orang-orang, yang di Hindia Belanda tunduk pada hukum yang berbeda, disebut perkawinan campuran. Pasal 6 ayat (1) : Perkawinan Pasal 7 ayat (2) : Perbedaan agama, golongan penduduk atau asal usul tidak dapat merupakan halangan pelangsungan perkawinan. Beberapa pasal di atas secara tegas mengatur tentang perkawinan beda agama bahkan disebutkan bahwa perbedaan agama No. 1 tidak dapat 1974 dijadikan pasal alasan yang untuk mencegah sebagai terjadinya perkawinan. Dalam Undang-undang Tahun dijadikan landasan perkawinan beda agama adalah pasal 2 ayat (1), pasal 8 huruf f dan pasal 57. Pasal 2 ayat (1) berbunyi : Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
MAKALAH HUKUM PERSELISIHAN Page 14

campuran

dilangsungkan

menurut

hukum

yang

berlaku

atas

suaminya, kecuali izin para calon mitrakawin yang selalu disyaratkan.

Sedangkan pasal 8 huruf f berbunyi: Perkawinan dilarang antara dua orang yang: f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. Pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974 berbunyi : Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Terhadap ketiga pasal di atas muncul beberapa penafsiran yang berbeda yang mengakibatkan terjadinya perbedaan pemahaman tentang perkawinan beda agama di Indonesia sebagaimana akan dijelaskan pada uraian di bawah. Kompilasi Hukum Islam pasal 40 huruf c dan pasal 44 secara eksplisit mengatur tentang larangan perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita non-muslim dan wanita muslim dengan laki-laki non-muslim. sebagai berikut: Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu; a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain; b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;
c. seorang wanita yang tidak beragama Islam.

Pasal 40 huruf c

Kompilasi Hukum Islam menyatakan

Pasal 40 huruf c di atas secara eksplisit

melarang terjadinya perkawinan antara laki-laki

(muslim) dengan wanita non-muslim (baik Ahl al-Kitab maupun non Ahl al-Kitab). Jadi pasal ini memberikan penjelasan bahwa wanita non-muslim apapun agama yang dianutnya tidak boleh dinikahi oleh laki-laki yang beragama Islam. Sedangkan pasal 44 menyatakan sebagai berikut: Seorang wanita tidak beragama Islam. Pasal ini secara tegas melarang terjadinya perkawinan antara wanita muslim dengan pria nonmuslim baik termasuk kategori Ahl al-Kitab maupun tidak termasuk kategori Ahl al-Kitab. Terakhir pasal 60 Kompilasi Hukum Islam menyatakan sebagai berikut:
MAKALAH HUKUM PERSELISIHAN Page 15

Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang

(1).Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum Islam dan Peraturan Perundang-Undangan. (2).Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon isteri yang akan melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan. Pasal ini secara tegas memberikan penjelasan tentang pencegahan perkawinan terhadap calon mempelai yang tidak memenuhi syarat yang ditetapkan oleh hukum Islam maupun peraturan perundang-undangan. Pasal ini menguatkan pelarangan perkawinan beda agama. C. Beberapa Pandangan Atas Perkawinan Beda Agama Di Indonesia Pembahasan dalam bab ini akan difokuskan pada penelaahan terhadap pandangan-pandangan tentang perkawinan beda agama di Indonesia dikaitkan dengan peraturan mengenai perkawinan beda agama dalam peraturan-peraturan yang mengatur tentang perkawinan di Indonesia. Terkait dengan hal yaitu dalam tersebut maka tulisan ini akan mencoba menelusuri pandangan-pandangan tersebut dan mengkaitkannya dengan peraturan perkawinan beda agama Peraturan Perkawinan Campuran/Regeling op de Gemengde Huwelijken, Staatsblad 1898 Nomor 158 (GHR), Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Para pakar hukum berbeda pendapat tentang perkawinan beda agama dalam Undangtersebut agama di undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 hal ini disebabkan karena undang-undang beda agama. Pada garis besarnya ada tiga pandangan tentang perkawinan beda Perkawinan, yaitu :
a. Perkawinan beda agama tidak dibenarkan dan merupakan pelanggaran terhadap undang-

tidak menyebut secara tertulis/tekstual/eksplisit (expressis verbis) mengenai perkawinan Indonesia terkait dengan pemahaman terhadap Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

undang perkawinan berdasarkan pada Pasal 2 ayat (1) dan pasal 8 huruf (f) yang dengan tegas menyebutkan hal itu. Oleh karena itu perkawinan beda agama adalah tidak sah dan batal demi hukum. b. Perkawinan beda Menurut pendapat agama adalah diperbolehkan dan sah dan oleh sebab ini itu dapat dilangsungkan, sebab perkawinan tersebut termasuk dalam perkawinan campuran. titik tekan Pasal 57 tentang perkawinan campuran terletak
Page 16

MAKALAH HUKUM PERSELISIHAN

pada

dua orang yang di tersebut

Indonesia

tunduk pada hukum yang berlainan. Oleh

karena itu pasal

tidak saja mengatur perkawinan antara dua orang yang

memiliki kewarganegaraan yang berbeda tetapi juga mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda agama. Menurut pendapat ini pelaksanaan perkawinan beda agama dilakukan menurut tata cara yang diatur oleh Pasal 6 Peraturan Perkawinan Campuran. c. Undang-undang perkawinan tidak mengatur tentang masalah perkawinan beda agama. Oleh karena itu dengan merujuk Pasal 66 Undang-undang Perkawinan maka peraturan-peraturan lama selama Undang-undang Perkawinan belum mengaturnya dapat diberlakukan. Dengan demikian maka masalah perkawinan beda agama harus berpedoman kepada peraturan perkawinan campuran. Sehubungan dengan pandangan kelompok ketiga ini menarik untuk dicatat bahwa Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam suratnya No. KMA/72/IV/1981 tanggal 20 April 1981 yang ditujukan kepada Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri secara tegas menyatakan: 1) Merupakan suatu kenyataan yang hidup di dalam masyarakat Indonesia yang serba majemuk ini yang terdiri dari berbagai macam golongan suku, adalah pemeluk agama dan penganut Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang berbeda satu dengan lainnya. 2) Adalah suatu kenyataan pula bahwa antar mereka itu, ada yang menjalin suatu hubungan dalam memebnetuk suatu keluarga yang bahagia dan kekal melalui proses perkawinan, di mana Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan belum mengatur perihal perkawinan campuran. 3) Meskipun demikian dapat dicatat bahwa Pasal 66 Undang-undang Perkawinan memungkinkan Undang-undang S.1898 No. 158 belum diberlakukan mengatur untuk hal-hal mereka yang sepanjang Perkawinan berhubungan

dengan perkawinan campuran dimaksud. Di samping ketiga pendapat di atas ada pula yang berpandangan bahwa Undang-undang Perkawinan perlu disempurnakan beda agama. Pentingnya agama, beberapa hal perkawinan sebab ada kekosongan hukum tentang perkawinan Undang-undang Indonesia tersebut disebabkan karena mengatur penyempurnaan

yaitu, pertama, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak beda kedua, masyarakat

adalah masyarakat plural yang


Page 17

MAKALAH HUKUM PERSELISIHAN

menyebabkan perkawinan beda agama tidak dapat dihindarkan, ketiga, perkawinan tidak dapat dibiarkan begitu saja sebab akan dapat

persoalan

agama

adalah menyangkut hak asasi seseorang, dan keempat, kekosongan hukum dalam bidang mendorong terjadinya perzinaan terselubung melalui pintu kumpul kebo/samen leven. Mayoritas kelompok muslim di Indonesia berpandangan bahwa Undang-undang perkawinan tidak perlu disempurnakan dengan mencantumkan hukum perkawinan beda agama dalam Undang-undang tersebut Mencermati berbeda yaitu bahwa sebab mereka berpendapat bahwa Undang-undang Nomor 1 di atas penulis memiliki pendapat yang Tahun 1974 telah mengatur hukum perkawinan beda agama dengan tegas dan jelas. pendapat-pendapat M. Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menurut penyusun Idris Ramulyo dan Watik Pratiknya-memang tidak secara

-sejalan dengan pendapat

eksplisit mengatur perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita non-muslim ataupun antara wanita muslim dengan laki-laki non-muslim, namun Undang-undang tersebut secara tegas menyerahkan sah atau tidaknya perkawinan kepada agama dan kepercayaan yang dianut oleh para pihak yang akan melangsungkan perkawinan. Kesimpulan ini didasarkan pada pengamatan terhadap bunyi pasal 2 ayat (1) dan pasal 8 huruf f Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Pasal 2 ayat (1) berbunyi: Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Sedangkan pasal 8 huruf f berbunyi: Perkawinan dilarang antara dua orang yang: f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. Dari bunyi pasal-pasal di kepercayaan yang dianut oleh atas dapat disimpulkan bahwa mengenai para pihak yang akan melangsungkan sah atau perkawinan. tidaknya sebuah perkawinan diserahkan kepada aturan yang terdapat dalam agama atau Sedangkan salah satu sebab dilarangnya perkawinan adalah adanya hubungan antara dua orang yang menurut agama dilarang kawin. Dengan demikian maka undang-undang ini tidak mengatur tentang perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita non-muslim dan secara tegas

MAKALAH HUKUM PERSELISIHAN

Page 18

menyerahkan sah atau tidaknya perkawinan tersebut kepada aturan yang terdapat dalam agama atau kepercayaan yang dianut. Kompilasi Hukum Islam pasal 40 huruf c dan pasal 44 secara eksplisit mengatur tentang larangan perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita non-muslim dan wanita muslim dengan laki-laki non-muslim. sebagai berikut: Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu; a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain; b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain; c. seorang wanita yang tidak beragama Islam. Pasal 40 huruf c di atas secara eksplisit melarang terjadinya perkawinan antara laki-laki (muslim) dengan wanita non-muslim (baik Ahl al-Kitab maupun non Ahl al-Kitab). Jadi pasal ini memberikan penjelasan bahwa wanita non-muslim apapun agama yang dianutnya tidak boleh dinikahi oleh laki-laki yang beragama Islam. Sedangkan pasal 44 menyatakan sebagai berikut: Seorang wanita tidak beragama Islam. Pasal ini secara tegas melarang terjadinya perkawinan antara wanita muslim dengan pria nonmuslim baik termasuk kategori Ahl al-Kitab maupun tidak termasuk kategori Ahl al-Kitab. Terakhir pasal 60 Kompilasi Hukum Islam menyatakan sebagai berikut: (1).Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum Islam dan Peraturan Perundang-Undangan. (2).Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon isteri yang akan melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan. Pasal ini secara tegas memberikan penjelasan tentang pencegahan perkawinan terhadap calon mempelai yang tidak memenuhi syarat yang ditetapkan oleh hukum Islam maupun peraturan perundang-undangan. Pasal ini menguatkan pelarangan perkawinan beda agama. Pengesahan Kompilasi Hukum Islam dengan menggunakan Instruksi Presiden Instruksi No.1 Tahun 1991 dan tidak mengggunakan undang-undang memunculkan dua pandangan yang
MAKALAH HUKUM PERSELISIHAN Page 19

Pasal 40 huruf c

Kompilasi Hukum Islam menyatakan

Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang

berbeda mengenai kekuatan hukum Kompilasi Hukum Islam, di kalangan Ahli Hukum ada yang mengatakan bahwa Kompilasi Hukum Islam berkekuatan mengikat (imperatif) dan ada yang mengatakan tidak mengikat (fakultatif). Argumen yang diajukan kelompok pertama yang menyatakan bahwa Kompilasi Hukum Islam berkekuatan mengikat No. posisi XX/MPRS/1966 yang sama (imperatif) adalah bahwa meskipun Inpres tidak V/MPR/1973 namun Instruksi Presiden mempunyai karena itu Kompilasi Hukum Islam termasuk dalam tata urutan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dalam TAP MPRS juncto TAP MPR No. mempunyai kedudukan yang sama dengan Keputusan Presiden, dan keduanya dengan Undang-Undang. Oleh mempunyai kekuatan mengikat secara imperatif. Argumen lain yang diajukan adalah bahwa dalam konsideran Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 dinyatakan sebagai berikut: a. Bahwa Alim Ulama Indonesia dalam lokakarya yang diadakan di Jakarta pada tanggal 2 sampai dengan 5 Februari 1988 telah menerima baik tiga rancangan buku Kompilasi Hukum Islam, yaitu Buku I tentang Hukum Perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan, dan Buku III tentang Hukum Perwakafan. b. bahwa Kompilasi Hukum Islam tersebut dalam huruf a oleh Instansi Pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya dapat c. bahwa oleh karena disebarluaskan. kata sebagai pedoman dalam konsideran di atas menurut Abdurrahman -sebagaimana dikutip oleh A. Rafiq- harus dipahami sebagai tuntutan atau petunjuk yang harus dipakai baik oleh Pengadilan Agama maupun warga masyarakat dalam menyelesaikan sengketa mereka dalam bidang hukum perkawinan, kewarisan dan perwakafan. Adapun argumen yang diajukan oleh kelompok kedua yang menyatakan bahwa Kompilasi Hukum Islam tidak mengikat (fakultatif) adalah bahwa Inpres tidak termasuk dalam tata urutan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dalam TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 juncto TAP MPR No. V/MPR/1973, dengan demikian maka Kompilasi Hukum Islam tergolong hukum yang tidak tertulis sebab Inpres tidak termasuk dalam rangkaian tata urutan perundang-undangan yang berlaku secara positif di Indonesia.
MAKALAH HUKUM PERSELISIHAN Page 20

dipergunakan tersebut

sebagai

pedoman

dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang tersebut. itu Kompilasi Hukum Islam dalam huruf a perlu

Argumen lain yang diajukan adalah bahwa dalam konsideran point b Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 dinyatakan: bahwa Kompilasi Hukum Islam tersebut dalam huruf a oleh Instansi Pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang tersebut. kata-kata dapat dipergunakan sebagai pedoman menunjukkan bahwa kompilasi Hukum Islam tidak mengikat secara imperatif. Oleh karena itu para pihak dapat menjalankannnya dan dapat pula meninggalkannya, sesuai dengan kebutuhan dan keperluannya. Dengan demikian maka pedoman di sini memiliki pengertian bersifat fakultatif. Oleh karenanya dalam praktek, orang yang mengeyampingkan Kompilasi Hukum Islam tidak dapat dipersalahkan telah melanggar hukum. D. Perkawinan Antara Muslim Dengan Non Muslim Dalam Wacana Agama Dalam konsep konvensional maupun kontemporer (modernis) perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki non muslim telah disepakati keharamannya. Adapun pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita non muslimah masih terdapat perbedaan di kalangan Ulama. Sebagian ketentuan tentang perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita non muslim diuraikan sebagai berikut: 1. Hukum nikah laki-laki muslim dengan wanita bukan ahli Kitab Mazhab Syafii sebagaimana ditulis oleh Dr. Wahbah az-Zuhaili- berpendapat bahwa pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita kafir selain ahli kitab seperti watsani, majusi, penyembah matahari atau bulan, murtad adalah tidak sah (batal) berdasarkan firman Allah surat al-Baqarah ayat 221. As-Syirazi dalam al-Muhazzab menegaskan bahwa laki-laki muslim haram menikah dengan orang perempuan yang bukan ahli kitab yaitu orang-orang kafir seperti penyembah berhala dan orang murtad berdasarkan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 221. Sedangkan al-Malibari menyebutkan bahwa syarat wanita yang dapat dinikah adalah wanita muslimah atau kitabiyyah Khalishah. Al-Jazairi menyebutkan bahwa berdasarkan surat al-Baqarah ayat 221 maka laki-laki muslim tidak boleh menikah dengan wanita musyrik apapun bentuk kemusyrikannya kecuali kalau ia masuk Islam. Ketentuan ayat di atas ditakhsis oleh surat al-Maidah ayat 5 yang menunjukkan bahwa wanita ahl al-Kitab boleh dinikahi, walaupun mereka mengatakan
MAKALAH HUKUM PERSELISIHAN Page 21

bahwa al-Masih adalah

Tuhan. Wahbah az-Zuhaili menyebutkan bahwa tidak halal bagi yaitu wanita yang

laki-laki muslim menikahi wanita musyrikah atau wtsaniyyah

menyekutukan Allah dengan yang lainnya. Ulama Hanafiyyah dan Syafiiyyah dan selain mereka menyamakan orang murtad dengan musyrik. Kesimpulannya adalah telah terjadi kesepakatan tentang tidak halalnya menikahi wanita yang tidak memiliki kitab seperti watsaniyyah dan Majusiyyah. Ibnu Rusyd -dalam fasal tentang penghalang menikah sebab kafir- menyatakan bahwa para Ulama sepakat bahwa laki-laki muslim tidak boleh menikahi wanita watsaniyyah. Sejalan tidak dengan bolehnya Ibn Rusyd, Hasbi menikahi ash-Shiddieqi menyebutkan bahwa hukum tentang wanita watsaniyah (penyembah berhala) telah disepakati oleh

Imam Mazhab. 2. Hukum nikah laki-laki muslim dengan wanita ahli Kitab Bolehnya pernikahan laki-laki muslim dengan wanita ahli Kitab telah disepakati oleh semua Imam Mazhab. Ibnu Rusyd menyatakan bahwa para Ulama telah sepakat tentang bolehnya laki-laki muslim menikahi wanita kitabiyyah yang merdeka. As-Syirazi dalam al-Muhazzab menyebutkan bahwa laki-laki muslim boleh menikahi wanita merdeka ahl Kitab yaitu Yahudi dan Nasrani dan orang yang masuk agama mereka al-Malibari sebelum adanya tabdil/penggantian. Sedangkan menyebutkan bahwa kemusliman dan tidak disyaratkan kedua orang

keahlikitaban adalah syarat bagi wanita yang dapat dinikahi oleh laki-laki muslim. Al-Jazairi menyebutkan bahwa wanita ahli kitab yang boleh dinikahi tuanya harus ahli kitab, berbeda menurut as-Syafiiyyah dan Hanabilah yang mensyaratkan kedua orangtuanya harus ahli kitab. Wahbah az-Zuhaili menyebutkan bahwa Ulama telah sepakat terhadap bolehnya menikahi wanita kitabiyyah yaitu wanita yang meyakini agama samawi seperti Yahudi dan Nasrani. Sedang yang dimaksud dengan ahli kitab adalah ahlu at-Taurah sedangkan menurut Ulama Syafiiyyah keraguan tentang hal sebelum dinasah tersebut, dan dan Injil. Mengenai halalnya menikahi wanita kitabiyyah tidak ada syarat apapun menurut Jumhur halalnya menikahi Israiliyyah dengan syarat awal apabila terjadi tersebut moyangnya masuk agama Yahudi sebelum dinasah dan adanya perubahan, menikahi wanita nashraniyyah dengan syarat awal moyangnya sebelum masuk

menikahi israiliyyah juga tidak halal. Sedangkan halalnya agama terjadinya 16tahrif/pengrubahan. Menurut Wahbah
Page 22

MAKALAH HUKUM PERSELISIHAN

pendapat kitabiyyah

jumhur

yang

tidak

mensyaratkan apapun

bagi

kebolehan menikahi wanita

adalah lebih rajih dibanding pendapat As-Syafiiyyah.

Dalam pandangan muslim modernis yang dalam tulisan ini merujuk kepada pemikiran Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha. Mengenai perkawinan laki-laki muslim dengan wanita musyrikah menurut Muhammad Abduh sebagaimana dinukilkan oleh Rasyid Ridha adalah diperbolehkan selain wanita musyrikah Arab, hal ini dilatar belakangi oleh penafsirannya terhadap kata Musyrikah dalam surat al-Baqarah ayat 221, ia secara tegas menyatakan bahwa perempuan yang haram dikawini oleh laki-laki Muslim dalam surat al-Baqarah ayat 221 adalah perempuan-perempuan Musyrikah Arab. Jadi menurut pendapat ini seorang Muslim boleh menikah dengan wanita musyrikah dari bangsa non-Arab seperti Cina, India dan Jepang (sebab masuk dalam kategori ahli kitab). Sedangkan pernikahan laki-laki muslim dengan wanita kitabiyyah adalah diperbolehkan, hal ini didasarkan pada ayat 5 surat al-Maidah: . Artinya: Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik, Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka (dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita yang beriman orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu. Menurut Abduh ahl al-Kitab mencakup penganut agama Yahudi, Nasrani, dan Shabiun. Muhammad Rasyid Ridha berpendapat bahwa ahl al-Kitab mencakup Yahudi, Nasrani, Majusi, Shabiun, Hindu, Budha, Kong Fu Tse (Kong Hucu) dan Shinto. Dalam menetapkan keahlikitaban satu ummat, Ridha menggunakan kriteria memiliki kitab suci dan atau mengikuti nabi yang dikenal, baik dalam tradisi agama Ibrahim maupun bukan. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa muslim modernis memandang bahwa diperbolehkan terjadinya pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita non muslim yang masuk dalam cakupan makna ahl al-Kitab dan wanita itu tidak termasuk musyrikah Arab. Dengan demikian menurut pandangan ini maka laki-laki muslim Indonesia boleh menikah dengan wanita non muslim yang beragama Yahudi, Nasrani/Kristen, Hindu, Budha, Kong Hucu, Shinto, Majusi dan Shabiun.
MAKALAH HUKUM PERSELISIHAN Page 23

wanita-

dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara

MAKALAH HUKUM PERSELISIHAN

Page 24

BAB III KASUS14 A. Kasus Posisi Latar belakang kasus bermula dari Andy Vonny Gani P. yaitu adalah seorang wanita beragama Islam yang berkeinginan untuk melangsungkan perkawinan dengan Andrianus Petrus Hendrik Nelwan yang seorang pria beragama Kristen. Kedua belah pihak telah mencukupi persyaratan menikah dengan umur lebih dari 21 tahun dan telah mendapat persetujuan dari Drs. Andi Gani Parengi selaku ayah kandung dari Andy Vonny Gani P. dengan mencantumkannya dalam sebuah surat pernyataan. Ketika itu Andy Vonny Gani P. ingin melakukan permohonan kepada Kepala Kantor Urusan Agama untuk dapat melangsungkan perkawinan, akan tetapi permohonan tersebut ditolak karena berkaitan dengan pasal 60 ayat 3 jo pasal 63 ayat 1 Undang-undang No.1 Tahun 1974 sekaligus berkenaan dengan Undang-undang No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah yang tidak memungkinnya dilangsungkannya perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah, Talaq dan Rujuk dikarenakan salah satu pihak bukan beragama Islam. Maka Kantor Urusan Agama mengeluarkan Surat Keputusan No.K2/MJ-1/834/III/1986 tanggal 5 Maret 1986 perihal penolakan melangsungkan perkawinan diluar agama Islam. Demikian pula halnya dalam pengajuan Andy Vonny Gani P. kepada Kepala Kantor Catat Sipil perihal permohonan untuk dapat melangsungkan perkawinannya. Akan tetapi permohonannya kembali ditolak yang berkaitan dengan pasal 60 ayat 3 jo pasal 63 ayat 1 Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan mengeluarkan Surat Keputusan No. 655/1/1755.4/CS/1986. Selanjutnya Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengeluarkan penetapan tanggal 11 April 1986 No. 382/Pdt/P/1986/PN JKT PST mengenai penolakan melangsungkan perkawinan oleh Pegawai Luar Biasa Pencatat Sipil Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta tercantum dalam surat penolakan dengan Surat Keputusan No. 655/1/1755.4/CS/1986 tanggal 5 Maret 1986. Berdasarkan keputusan-keputusan yang telah diterimanya, maka Andy Vonny Gani P. membawa perkara perdata tersebut dalam tingkat kasasi di Mahkamah Agung. B. Penyelesaian Kasus Posisi
14

Rinda Nur Desvicana, Tugas Hukum Perselisihan, http://notesoflaw.blogspot.com/2010/11/tugas-hukum-

perselisihan.html diakses tanggal 11 November 2011.

MAKALAH HUKUM PERSELISIHAN

Page 25

Para Pihak : Andy Vonny Gani P. sebagai Pemohon dan Pemohon Kasasi Andrianus Petrus Hendrik Nelwan sebagai calon suami Pemohon Kepala Kantor Urusan Agama Kepala Kantor Catatan Sipil Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Permasalahan : Andy Vonny Gani P. mengajukan permohonan untuk dapat melangsungkan perkawinan di Kantor Urusan Agama namun ditolak dikarenakan berkaitan dengan Undang-undang No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah yang tidak memungkinkannya dilangsungkan perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah, Talaq dan Rujuk yang diperuntukan hanya bagi yang beragama Islam. Demikian pula penolakan terjadi di Kantor Catatan Sipil yang berkaitan dengan pasal 60 ayat 3 jo pasal 63 ayat 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974. dan selanjutnya Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengeluarkan penetapan tanggal 11 April 1986 No. 382/Pdt/P/1986/PN JKT PST mengenai penolakan melangsungkan perkawinan oleh Pegawai Luar Biasa Pencatat Sipil Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta tercantum dalam surat penolakan dengan Surat Keputusan No. 655/1/1755.4/CS/1986 tanggal 5 Maret 1986. Selanjutnya Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengeluarkan penetapan tanggal 11 April 1986 No. 382/Pdt/P/1986/PN JKT PST mengenai penolakan melangsungkan perkawinan oleh Pegawai Luar Biasa Pencatat Sipil Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta tercantum dalam surat penolakan dengan Surat Keputusan No. 655/1/1755.4/CS/1986 tanggal 5 Maret 1986. Proses Perkara di Pengadilan : Andy Vonny Gani P. membawa perkara perihal penolakan atas dilangsungkannya perkawinan ke dalam tingkat kasasi Mahkamah Agung. Selanjutnya Ketua Mahkamah Agung membacakan surat-surat yang bersangkutan dan membaca surat ketetapan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Tanggal 11 April 1986 No. 382/Pdt.P/1986/PN JKT PST yang menetapkan: Menolak permohonan Pemohon seluruhnya, Menyatakan penolakan melangsungkan perkawinan oleh KUA Kecamatan Tanah Abang Jakarta dan Kantor Catatan Sipil Jakarta masing-masing dengan tanggal 5 Maret 1986 No.K2/MJ-1/834/III/1986 dan No. 655/1/1755.4/CS/1986 sebagai beralasan dan karenanya patut dikuatkan.
MAKALAH HUKUM PERSELISIHAN Page 26

Menghukum Pemohon membayar ongkos perkara sebesar Rp. 7.000,00 Sementara dalam pertimbangan Pemohon Kasasi mengajukan keberatan-keberatan sebagai berikut: Pemohon keberatan atas penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menolak permohonan Pemohon dengan alasan bahwa diantara Pemohon dan calon suami Pemohon terdapat perbedaan agama, sebab antara pemohon dengan calon suami Pemohon telah terjalin hubungan batin dan saling mencintai serta wali dari kedua belah pihak tidak berkeberatan untuk dilangsungkannya perkawinan sekalipun terdapat perbedaan agama, karenanya Pemohon ingin permohonannya dikabulkan. Pasal 21 ayat 4 Undang-undang No.1 Tahun 1974 itu tidak melarang perkawinan calon suamiistri yang terdapat perbedaan agama, akan tetapi hanya mengatur bahwa Pengadilan berhak memilih, yakni menguatkan penolakan dari Kantor Urusan Agama dan memberikan izin kepada pemohon untuk melangsungkan perkawinan Pemohon dengan calon suami Pemohon yang beragama Kristen di Kantor Catatan Sipil. Sebagian dari Dasar Pertimbangan Kasus : - Menimbang, bahwa permohonan kasasi dalam perkara perdata tersebut dihadiri oleh Pemohon Kasasi dan diucapkan secara lisan melalui Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam tenggang waktu 14 hari, sebagaimana diatur UU No. 14 Tahun 1985 47 ayat 1 serta memenuhi dasar-dasar dan alasan dengan demikian permohonan kasasi tersebut dapat diterima. - Menimbang, bahwa mengenai keberatan-keberatan yang diajukan Pemohon Kasasi dapat dibenarkan karena Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak memuat suatu ketentuan apapun yang menyebutkan bahwa perbedaan agama antara calon suami istri merupakan larangan perkawinan. Karena berkaitan dengan UUD 1945 pasal 27 yang menyatakan segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum, tercakup di dalamnya kesamaan hak asasi untuk kawin sekalipun berlainan agama. - Menimbang, bahwa dengan demikian penolakan oleh KUA Jakarta adalah tepat karena tidak memungkinkanya dilakukan perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah, Talaq dan Rujuk dikarenakan calon suami Pemohon beragama Kristen. Dengan demikian maka penolakan Kantor Catatan Sipil tidak dapat dibenarkan, oleh karenanya Mahkamah Agung akan mengabulkan permohonan kasasi Pemohon Kasasi untuk sebagian dan dibebani pula untuk membayar biaya kasasi.
MAKALAH HUKUM PERSELISIHAN Page 27

Putusan Pengadilan : MENGADILI Mengabulkan permohonan kasasi Andi Vonny Gani P. untuk sebagian; Membatalkan Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 11 April 1986 No. 382/Pdt/P/PN JKT PST sejauh mengenai penolakan melangsungkan perkawinan oleh Pegawai Luar Biasa Pencatat Sipil Propinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta tercantum dalam surat penolakan dengan No. 655/1.755.4/CS/1986 tanggal 5 Maret 1986; MENGADILI SENDIRI Membatalkan surat penolakan Pegawai Luar Biasa Pencatat Sipil Propinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta dengan No. 655/1.755.4/CS/1986 tanggal 5 Maret 1986; Memerintahkan Pegawai Pencatat pada Kantor Catatan Sipil Propinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta agar supaya melangsungkan perkawinan antara Andi Vonny Gani P. dengan Andrianus Petrus Hendrik Nelwan setelah dipenuhi syarat-syarat perkawinan menurut undang-undang; Menolak permohonan kasasi dari Pemohon kasasi untuk selebihnya; Menghukum Pemohon membayar biaya perkara kasasi ini sebesar Rp.20.000,00 Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawarahan Mahkamah Agung pada hari Jumat, 20 Januari 1989.

MAKALAH HUKUM PERSELISIHAN

Page 28

BAB IV ANALISIS KASUS15 Dari argument-argumen yang dipakai hakim Mahkamah Agung di atas, dapat dilihat bahwa tidak satupun yang cukup telak menjustifikasi keputusan yang memihak Vonny. Kekosongan hukum tentang perkawinan beda agama nampaknya menjadi alasan utama mengapa Mahkamah Agung memutuskan untuk mengklarifikasi posisi hukum kasus ini ; di satu pihak, hukum-hukum Belanda yng terkait dengan masalah ini tidak lagi sah, sementara di pihak lain, UU Perkawinan nasional pun tidak jelas posisinya. Namun kekosongan ini bisa jadi tidak terlalu signifikan jika kasus perkawinan beda agama tidak banyak terjadi di negara ini. Karena itu, tanggung jawab negara seharusnya diarahkan pada pembahasan usaha sedapat mungkin agar eraturan yang jelas tentang erkawinan beda agama dapat dihasilkan. Dari sudut pandang kekosongan hukum tentang perkawinan beda agama ini, hakim MA semata-mata mendasarkan solusinya pada dasar konstitusi negara. Pasal 27 UUD 1945 memang menyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama dan setara di depan hukum; hal inilah yang kemudian dipakai hakim untuk menunjukkan hak kosntitusional seluruh warga ndi negara ini untuk melakukan perkawinan, terlepas dari perbedaan suku, adat atau agama mereka. Yang menjadi pertimbangan utama di sini adalah identitas mereka sebagai bangsa Indonesia. Dari proposisi di atas dapat dipahami bahwa hakim-hakim agung memandang Pasal 2 (1) UU Perkawinan sebagai aturan yang dirancang untuk orang-orang seagama, di mana dua pihak yang melakukan pernikahan sejak awal sudah menganggap diri mereka terikat oleh hukum perkawinan dari agama mereka yang sama. Namun ini bukan berarti pasal tersebut dirancang untuk melarang perkawinan beda agama. Sebaliknya, hakim-hakim MA nampaknya menafsirkan perkawinan beda agama bukan sebagai masalah agama, namun lebih sebagai masalah hak asasi manusia. Akibatnya, hal tersebut melahirkan keputusan bahwa perkawinan dapat dilangsungkan terlepas dari perbedaan-perbedaan primordial yang barangkali membedakan pasangan yang ingin menikah. Selama kedua belah pihak memiliki kesamaan kewarganegaraan, maka negara bertanggungjawab melindungi hak asasi manusianya, berupa hak untuk menikah dengan sesame warga negara Indonesia. Hal yang terkait pula dalam argument hak asasi di atas adalah niat baik hakim untuk melihat kasus perkawinan beda agama berdasarkan motivasi pribadi masing-masing calon
15

Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler, Penerbit Alvabet, 2009. hal.432.

MAKALAH HUKUM PERSELISIHAN

Page 29

pasangan suami-istri. Hakim mengakui bahwa rencana Vonny dan Andrianus untuk menikah murni didasarkan pada keinginan mereka untuk mewujudkan hubungan kasih saying yang sudah tumbuh berkembang sejak lama. Karena itu hakim menganggap tidak masuk akal jadinya jika perasaan ini dinaifkan dan dibunuh semata-mata hanya karena perbedaan agama yang mereka anut. Nampaknya hakim juga terkesan dengan dalamnya perasaan Vonny terhadap Andrianus yang dibuktikan oleh kebulatan tekadnya untuk membawa kasus ini sampai ke MA. Keinginan kuat untuk menikah yang seperti ini tidak akan ada jika tidak didasari perasaan cinta yang begitu mendalam satu sama lain; karena itu, memutuskan hubungan mereka akan berdampak buruk bagi kedua belah pihak. Dari sini jelaslah bahwa para hakim memandang basis hubungan perkawinan pada hakikatnya adalah perasaan kasih sayang yang sama-sama dimilki oleh sepasang calon suami-istri. Perbedaan keyakinan agama tidak dengan sendirinya menjadi alasan yang kuat untuk mencegah terjadinya perkawinan. Pendek kata, perasaan kasih sayang adalah hak asasi setiap manusia, dank arena itu negara bertanggungjawab melindunginya. Di samping itu, dikaji pula mengapa hakim di MA menerima proposisi kekosongan hukum tentang perkawinan beda agama sebagai titik tolak keputusan yang dikeluarkannya dalam kasus Vonny ini. Penerimaan kekosongan hukum ini tak lain berarti bahwa para hakim sudah sejak semula sepakat bahwa UU Perkawinan tidak menyediakan dasar hukum untuk menyelesaikan perkara perkawinan beda agama di pengadilan. MA berpendapat bahwa resolusi legal yang memadai hanya mungkin jika hakim memilih keputusan berdasarkan tujuan utama perkawinan. Di sini sekurang-kurangnya ada dua pertimbangan : Pertama, mengingat tujuan perkawinan adalah pertimbangan utama, maka sahlah membuat keputusan yang didasarkan pada kenyataan bahwa kedua belah pihak memang saling mencintai. Karenanya, hubungan perkawinan dipandang sebagai turunan dari perasaan timbal balik tersebut. Hal ini diperkuat lagi dengan dukungan orang tua kedua belah pihak terlepas dari kenyataan bahwa keduanya berasal dari agama yang berbeda. Akibatnya, ini semua mengindikasikan kepada para hakim bahwa pada prinsipnya pasangan tersebut tidak lagi mengikuti ajaran agama masing-masing; atau kalau mereka masih mengikutinya, mereka memilih untuk tidak menaati prinsip-prinsip agama mereka lagi. Dengan demikian, dalam pandangan para hakim, Vonny yang meskipun seorang Muslim, telah menyatakan dirinya tidak lagi terikat dengan ajaran hukum Islam yang melarang perkawinan beda agama. Dengan demikian, hakim dapat menganggap Vonny telah melepaskan dirinya dari ikatan hukum Islam untuk melaksanakan hubungan
MAKALAH HUKUM PERSELISIHAN Page 30

perkawinan dengan Andrianus. Jika demikian halnya, maka adalah sah bagi para hakim untuk tidak menggunakan prinsip-prinsip hukum Islam sebagai dasar keputusan mereka, walaupun yang bersangkutan memang seorang Muslim. Dapat dikatakan kalau para hakim ini, meski tidak secara ekplisit, melandaskan keputusan mereka pada prinsip penerimaan sukarela (vrijwillige onderwerping) penggugat yang beaker dari hukum Belanda untuk menemukan sebuah resolusi; dengan mengabaikan peraturan hukum Islam yang melarang perkawinan beda agama tersebut, Vonny dianggap telah menolak hukum Islam sebagai alat hukum untu memutuskan kasusnya secara sukarela tanpa paksaan. Kedua, hakim nampaknya telah menyimpulkan bahwa salah satu acuan hukum terbaik untuk membuat keputusan adalah UUD. Inilah sebabnya mengapa Pasal 27 UUD 1945 dikutip untuk mendukung keputusannya. Prinsip kesamaan hak stiap warga negara yang diacu dalam pasal ini, walaupun memang tidak berkaitan langsung dengan kasus khusus seperti perkawinan beda agama, digunakan sebagai landasan rasional untuk mengizinkan perkawinan semacam itu. Hak untuk melakukan perkawinan adalah hak asasi manusia yang diakui di dalam UUD: perbedaan suku, warna kulit dan agama sekalipun tidak dapat jadi penghalang. Berdasarkan tafsiran tersebut, proposisi hukum umum yang terkandung dalam Pasal 27 UUD 1945 dapat dipakai sebagai dasar bagi penanganan kasus khusus perkawinan beda agama. Mungkin akan ada yang menyanggah karena anggapan bahwa penafsiran tersebut terlalu lemah untuk mendukung argumen yang kuat, namun ketika digabungkan dengan argumen-argumen lain, maka ia akan memiliki kekuatan tersendiri. Memang mengingat kekosongan hukum perihal perkawinan beda agama, alasan konstitusional ini dapat memperoleh signifikansi tambahan. Meski tidak satupun regulasi khusus yang dapat digunakan untuk mrmutuskan kasus ini, Pasal 27 nampaknya merupakan basis ideal bagi putusan tersebut. Pasal ini juga berfungsi sebagai cita-cita ideal penyatuan hukum nasional, di mana perbedaan local dan cultural masyarakat yang tinggal di negara ini tidak boleh menjadi penyebab pelanggaran konstitusi dalam melakukan tindakan hukum apapun. Dengan kata lain, prinsip bahwa setiap orang berhak melakukan perjanjian perkawinan dengan orang lain adalah prinsip kebangsaan bangsa Indonesia, terlepas dari perbedaan latar belakang adat-kebiasaan atau agama masing-masing. Negara pada dasarnya tidak berhak melarang perkawinan antara warga negaranya yang memiliki agama berbeda, karena UUD sendiri menjamin hak asasi setiap orang;

MAKALAH HUKUM PERSELISIHAN

Page 31

terlebih karena prinsip hukum nasional bahwa setiap warga negara tidak dilihat berdasarkan perbedaan latar belakang mereka, kecuali perbedaan kewarganegaraannya. Dengan mempertimbangkan argumen-argumen di atas, dapat disadari bahwa kasus Vonny ini tidak hanya merepresentasikan masalah hukum perkawinan. Di balik pertanyaan bagaimana mengatasi kekosongan hukum tentang masalah perkawinan beda agama, kasus Vonny juga merupakan contoh yang jitu dari usaha hakim untuk menerapkan prinsip-prinsip hukum nasional dalam membuat sebuah keputusan. Hal ini dikarenakan, secara teoritis, kewajiban hakim adalah tidak hanya terlibat dalam penyelesaian kasus berdasarkan regulasi normatif yang ada, tapi juga menafsirkan bagaimana prinsip-prinsip hukum yang dibentuk oleh negara dapat diterapkan kepada setiap kasus yang dibawa ke pengadilan. Kedua faktor ini tidak dapat dipisahkan. Inilah sebabnya mengapa hakim-hakim di MA sejak lama berkeinginan menerima perkawinan beda agama, meskipun jika dilihat dari sudut pandang agama yang dianut oleh para penuntut, perkawinan semacam itu dilarang keras. Berdasarkan pertimbanganpertimbangan atas fakta inilah para hakim MA menganggap mustahil memutuskan kasus Vonny dengan melarang pernikahan yang dia laksanakan. Sebagai abdi negara, tanggungjawab utama hakim adalah memutuskan kasus yang dibawa ke pengadilan sesuai dengan filsafat hukum yang diikuti negara yang diabdinya itu. Jika para hakim memutuskan kasus perkawinan beda agama yang dibawa Vonny ini sebagai pelanggaran hukum, itu berarti keputusan mereka berlawanan dengan prinsip umum hukum nasional. Dalam pengertian itu, menggunakan UU Perkawinan (terutama Pasal 2) sebagai landasan hukum untuk melarang perkawinan beda agama bertentangan dengan perkembangan filsafat hukum negara. Karena itu adalah lebih aman (dan lebih layak) bagi para hakim MA untuk sedapat mungkin memilih menafsirkan kasus tersebut berdasarkan misi negara dalam mengembangkan sistem hukum nasional supaya lebih maju lagi. Walaupun untuk itu, konsekuensi keputusan tersebut dapat mengarah pada ketidakselarasan dengan tatanan normatif non-negara. Pada gilirannya, diterimanya perkawinan beda agama antara Vonny dengan Andrianus juga bisa dipandang sebagai indikasi keberpihakan para hakim terhadap prinsip-prinsip hukum negara ketimbang tatanan normatif non-negara (semisal hukum Islam). Seperti yang telah dinyatakan tadi, preferensi ini mengingatkan kita pada kenyataan bahwa hakim pada hakikatnya adalah agen aktif dalam proses perkembangan hukum nasional. Sebuah keputusan hakim atas kasus yang dibawa ke pengadilan dapat berfungsi sebagai penyebar nilai-nilai universal di antara
MAKALAH HUKUM PERSELISIHAN Page 32

para warga negara, terlepas dari perbedaan latar belakang mereka. Ditilik dari sudut kasus Vonny tadi, keputusan hakim untuk menerima perkawinan beda agama, yang didasarkan terutama pada hak asasinya sebagai warga negara Indonesia, mencerminkan bahwa hakim tidak memerhatikan latar belakang agama Vonny ketika disandingkan dengan prinsip hukum yang lebih umum yang diturunkan dari UUD 1945. Dapat dikatakan bahwa ketika terjadi konflik prinsip hukum antara hukum negara dengan yang berasal dari tatanan hukum non-negara, maka pilihan dijatuhkan pada yang pertama. Keputusan hakim MA untuk membatalkan keputusan pengadilan yang lebih rendah adalah cerminan dari ketundukan itu berdampak negatif pada ajaran hukum Islam. Berhadapan dengan ketidakpastian hukum tentang perkawinan beda agama, keputusan Mahkamah Hukum untuk mengizinkan perkawinan antara Vonny dan Andrianus dengan jelas menunjukkan apa yang jadi prioritas pengadilan. Dengan kata lain, resolusi yang diberikan hakim MA yang menerima perkawinan beda agama tersebut adalah bukti nyata bahwa hukum Islam harus mengalah ketika berkonflik dengan hukum negara. Dalam tatanan tertentu, kasus Vonny hanyalah satu di antara sekian banyak kasus di mana prinsip-prinsip hukum nasional lebih diutamakan ketimbang ketentuan hukum non-negara.

MAKALAH HUKUM PERSELISIHAN

Page 33

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Kedudukan perkawinan beda agama dalam sistem hukum di Indonesia adalah tidak sah. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dalam Pasal 2 ayat 1 mengungkapkan perkawinan adalah sah apabila dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Berarti perkawinan hanya dapat dilangsungkan bila para pihak (calon suami dan istri) menganut agama yang sama. Dari perumusan Pasal 2 ayat 1 ini tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Adanya pelaksanaan perkawinan beda agama di luar negeri, seperti di negara Singapura secara formil sah menurut ketentuanketentuan hukum Singapura. Namun untuk negara Indonesia perkawinan tersebut tetap tidak sah, meskipun ada kewajiban untuk mencatatkan peristiwa perkawinan mereka. Pencatatan perkawinan ini hanya berupa pemenuhan syarat administrasi untuk memberikan status sosial kepada masyarakat bahwa pasangan yang menikah adalah benar merupakan suami istri. B. Saran 1. UU Perkawinan perlu disempurnakan sebab ada kekosongan hukum tentang perkawinan beda agama. Pentingnya penyempurnaan UU tersebut disebabkan karena beberapa hal yaitu, pertama, UU Perkawinan tidak mengatur perkawinan beda agama, kedua, masyarakat Indonesia adalah masyarakat plural yang menyebabkan perkawinan beda agama tidak dapat dihindarkan, ketiga persoalan agama adalah menyangkut hak asasi seseorang, dan keempat, kekosongan hukum dalam bidang perkawinan tidak dapat dibiarkan begitu saja sebab akan dapat mendorong terjadinya perzinaan terselubung melalui pintu hidup bersama tanpa ikatan. 2. Hendaknya disahkan pengaturan khusus yang mengatur tentang kedudukan perkawinan beda agama, sehingga ada kejelasan bagi seluruh pihak apakah perkawinan beda agama itu diperbolehkan atau tidak dalam sistem hukum kekeluargaan perdata di Indonesia.
3. Hendaknya perkawinan beda agama ini tidak dilakukan oleh pasangan yang akan

menikah. Hal ini mengingat dampak yang ditimbulkannya berpengaruh terhadap masa depan keluarga, anak dan harta benda. Selain itu yang paling penting bahwa tidak ada satu agamapun yang membolehkan adanya perkawinan beda agama. Selain itu hendaknya semua pasangan yang menikah mencatatkan perkawinannya. Hal ini untuk menjelaskan status suami
MAKALAH HUKUM PERSELISIHAN Page 34

dan istri dan memberi perlindungan kepada pasangan serta menempatkan hak anak hasil perkawinan tersebut.

MAKALAH HUKUM PERSELISIHAN

Page 35

DAFTAR PUSTAKA A. Buku Bismar Nasution, Makalah: Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, FH USU, 2003. Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1987. Eman Suparman, Hukum Perselisihan, Refika Adiatama, Bandung, 2005. Maris Yolanda Soemarno, Tesis: Analisis Atas Keabsahan Perkawinan Beda Agama yang dilangsungkan di Luar Negeri, FH USU, 2009. Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler, Penerbit Alvabet, 2009. Rusli & R. Tama, Perkawinan Antar Agama dan Masalahnya, Pionir Jaya, Bandung, 1986. Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, rev. ed, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002). Sudhar Indopa, Perkawinan Beda Agama, Solusi dan Pemecahannya, (Jakarta, Penerbit FH UI, 2006). Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, cet.3 (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta,2002). Suryadi Suganda, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Semarang, FH UNDIP, 2005). S.U Jarwo Yunu, Aspek Perkawinan Beda Agama di Indonesia, (Jakarta, Penerbit : CV. Insani,2005). B. Website ___, http://aruspelangi.pbwiki.com/Profil, Masalah Hukum Keabsahan Kawin Beda Agama di Luar Negeri, http://www. hukumonline.com/detail.asp?id=14922&cl=Berita. Rinda Nur Desvicana, Tugas Hukum Perselisihan, http://notesoflaw.blogspot.com/2010/11/tugas-hukum-perselisihan.html.
C.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar 1945 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Kompilasi Hukum Islam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
MAKALAH HUKUM PERSELISIHAN Page 36

Putusan MA No 1400 K/Pdt/1986 Peraturan Perkawinan Campuran/Regeling op de Gemengde Huwelijken, Staatsblad 1898 Nomor 158 (GHR)

MAKALAH HUKUM PERSELISIHAN

Page 37

You might also like