You are on page 1of 54

Pembuatan Susu dan Tepung Tempe Sebagai Bahan Olahan Alternatif Tempe

SKRIPSI

KARIM ABDULLAH 10505068

PROGRAM STUDI KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2009

Pembuatan Susu dan Tepung Tempe Sebagai Bahan Olahan Alternatif Tempe (Milk and Flour of Tempeh Production as Tempeh an Alternative of Tempehs Product)

SKRIPSI

KARIM ABDULLAH 10505068

PROGRAM STUDI KIMIA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2009

Abstract

Tempeh is an Indonesian traditional food that is very fond by whole society, both from those in urban and rural areas. Fresh tempeh, which is made of fermented soybean by Rhizopus, normally sold as it is. In this form, its shelf life is only 2 days old when stored in room temperature. Tempeh milk and tempeh flour is two of alternatives processing of tempeh. The objective of this research is to determine the influence of temperature in tempeh flour and tempeh milk preparation based on protein solubility in tempeh milk. Toward the optimized temperature tempeh milk and tempeh flour, beside taste and aroma, several nutritional value, such as fat, carbohydrate, coarse fiber, isoflavon were also determined. The protein content was determined by Kjeldahl method, the carbohydrate content was analyzed by Luff Schoorl method, isoflavon with HPLC, coarse fiber with gravimetry and taste and aroma determide organoleptically. Tempeh milk was prepared in the temperature range of 60 to 90oC. Tempeh flour was made by drying the side product of tempeh milk by using dehydrator. Tempeh milks is pasteurized to increase the shelf lifes. The results showed that the optimum protein solubility was obtained with the value of 0,33% (w/v) at 70oC. Organoleptic test showed that tempeh milk with 7% (w/w) and 8% (w/w) sugar content had taste score of 1,87<<2,82 and 2,81<<3,49 respectively. Milk containing 0,25% (v/v) and 0,5% (v/v) vanilla had the aroma score of 1,92<<2,76 and 3,12<<3,88 respectively. Soluble protein in tempeh milk remained stable after storage for one week at 4oC. Tempeh flour with the particle size of 40 mesh, contained of 3,48% (w/w) fat, 38,33% (w/w) protein and 9,71% (w/w) coarse fiber.

Abstrak

Tempe merupakan makanan khas Indonesia yang digemari oleh seluruh lapisan masyarakat, baik di daerah perkotaan maupun pedesaan. Kebanyakan tempe yang dijual berbentuk tempe mentah yang memiliki daya simpan selama dua hari pada suhu kamar. Susu tempe dan tepung tempe merupakan salah satu alternatif pengolahan tempe. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh suhu pembuatan susu dan tepung terhadap protein terlarut pada susu tempe, selanjutnya kandungan gizinya yang meliputi lemak, karbohidrat, serat kasar, isoflavon dan citarasa. Kadar protein ditentukan dengan metode Kjeldahl, kadar karbohidrat dengan Luff Schoorl, dan kadar isoflavon dengan HPLC, sementara itu serat kasar ditentukan dengan gravimetri sedangkan cita rasa dilakukan dengan uji organoleptik. Untuk mengetahui kesetabilan protein dilakukan dengan metode Bradford. Protein tempe diekstrak pada suhu antara 60 hingga 90oC. Tepung tempe dibuat dengan pengeringan produk samping susu tempe menggunakan alat dehydrator. Susu tempe yang diperoleh dipasteurisasi untuk meningkatkan daya tahannya. Dari penelitian yang dilakukan, diketahui kelarutan protein optimum terjadi pada suhu 70oC sebesar 0,33% (w/v). Kadar karbohidrat sebagai gula pereduksi adalah 0,48% (w/v), kadar isoflavon genestein, daidzein dan faktor-2 berturutturut adalah 0,44 ppm, 8,3 ppm, dan 1,2 ppm. Protein terlarut dalam susu tempe tetap stabil setelah penyimpanan selama satu minggu pada suhu 4oC. Uji organoleptik menunjukkan penambahan gula sebesar 7% (w/v) dan 8% (w/v) memiliki skor rasa berturut 1,87<<2,82 dan 2,81<<3,49. Penambahan vanila sebesar 0,25 % (v/v) dan 0,5% (v/v) memiliki skor aroma berturut-turut 1,92<<2,76 dan 3,12<<3,88. Kadar protein tepung tempe sebesar 38,33%, lemak sebesar 3,48% (w/w), dan serat kasar 9,71% (w/w).

ii

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung

Menerangkan bahwa skripsi yang disusun oleh: Nama : Karim Abdullah NIM : 10505068

telah disetujui sebagai persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Kimia

Bandung,

Juni 2009

Pembimbing

Dr. Fida Madayanti Warganegara NIP 131 690 329

iii

Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang
Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. Al-Baqarah ayat 255

Kupersembahkan untuk kedua orang tuaku tercinta


iv

Ucapan Terima Kasih

Segala puji dan syukur hanyalah milik Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat dan hidayah kepada hamba-hambaNya. Hanya berkat rahmat Allah SWT penulis akhirnya dapat menyelesaikan penelitian tugas akhir ini. Shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW, rasul akhir zaman yang senantiasa kita harapkan syafaat darinya. Pada kesempatan kali ini, penulis secara khusus ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Fida Madayanti Warganegara selaku dosen pembimbing yang telah begitu sabar membimbing penulis selama menyelesaikan tugas akhir. Ucapan terimakasih juga ingin penulis sampaikan kepada:
1. Kedua orang tuaku yang telah mencurahkan segala kasih sayang tiada terkira kepada penulis sedari lahir hingga sekarang. Tiadalah mungkin penulis dapat membalas jasajasa mereka, hanya kepada Allah SWT penulis memohonkan balasan terbaik untuk mereka berdua. 2. Adik-adikku tercinta, Rahmah, Diina, dan Himmah yang selalu memberikan penulis semangat untuk menyelesaikan skripsi 3. Bapak Erwan dan Bapak Bobby Eka Gunardi yang selalu memberikan semangat kepada penulis dan memberikan tauladan untuk selalu berbuat segala sesuatu hanya mengharapkan ridha ALLAH SWT 4. Keluarga besar UAB (Unit Aktivitas Bridge), Om Edwin, Om Lucky, Om Rony, Om Jefri, Om Biaw, Ka Reza, Teh Anggi, Yena, Anson, dan Dendra yang selalu memberikan motivasi dan hiburan saat penulis sedang membutuhkan. 5. Gestria, Etsuroya, Reza, Irfan, Liza, Yudawan dan Teh Frisda yang sering membantu penulis saat sedang membutuhkan ide. 6. Mas Cipto yang telah rela meminjamkan dapurnya sehingga peneliti dapat menyelesaikan tugas akhirnya. 7. Citra, Suganda, Nisa, Ica, Iki, Zakki, Koyim, Andi, Han, Berlian, Cintya, Putri, Nurfitri, Jalal, Catherine, Sari, Wiwit, Suharata, Yuni, Athiya, Aril, Samsi, Fainan, Susan, Dwita,

Phia, Kusniar, Gaos, Azis, Taufik, Dora, Lulu, Gunawan dan Solihin yang telah banyak membantu penulis dalam mengerjakan tugas akhir. 8. Wafaa, Werdi, Kiki, Yuli, Lidi, dan Mutiara yang menemani penulis saat bimbingan dan kolokium 9. Keluarga besar AMISCA khusunya angkatan 2007 yang telah rela untuk mencoba susu tempe buatan penulis. 10. Keluarga besar Kominfo KM-ITB 2008/2009 yang telah membantu penulis untuk belajar membuat tulisan yang baik dan menarik. 11. Rekan-rekan S1 Lab Bikomia. Rekan-rekan S2 dan S3. Terima kasih atas semua kerja sama dan bantuannya selama penulis mengerjakan penelitian. 12. Teman-teman kimia 2005 yang tidak bisa disebutkan satu persatu namanya. Terima kasih untuk saat-saat tak terlupakan selama kuliah dan praktikum yang kita lalui bersama. 13. Pak Edi, pak Dadan, Pak Ajat, dan Pak Dede atas bantuan dalam peminjaman alat dan penggunaan alat selama penelitian. Dan kepada semua sahabat, teman, saudara, dan seluruh pihak-pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Bandung, Juni 2009 Penulis

vi

Daftar Isi

Abstract ......................................................................................................................... i Abstrak ........................................................................................................................ ii Ucapan Terima Kasih.................................................................................................... v Daftar Isi ..................................................................................................................... vii Daftar Tabel ................................................................................................................. ix Daftar Gambar ............................................................................................................... x Daftar Lampiran ........................................................................................................... xi 1 1.1 1.2 1.3 2 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7 3 3.1 3.1.1 3.1.2 3.2 3.3 3.3.1 3.3.2 3.3.3 Pendahuluan ............................................................................................................ 1 Tinjauan Masalah ........................................................................................... 1 Tujuan Penelitian ........................................................................................... 1 Ruang Lingkup Kajian ................................................................................... 2 Tinjauan Pustaka ..................................................................................................... 3 Kedelai ........................................................................................................... 3 Susu Kedelai .................................................................................................. 4 Fermentasi Bahan Pangan .............................................................................. 5 Kapang Rhizopus Oligosporus ....................................................................... 6 Tempe ............................................................................................................. 6 Faktor-2 (6,7,4-trihidroksi isoflavon) ........................................................... 8 Protein .......................................................................................................... 10 Metodologi Penelitian ........................................................................................... 12 Bahan dan Alat ............................................................................................. 12 Bahan ........................................................................................................... 12 Alat ............................................................................................................... 12 Diagram Alir Penelitian Keseluruhan .......................................................... 13 Cara Kerja .................................................................................................... 13 Pembuatan Minuman Tempe ....................................................................... 14 Pembuatan Tepung Tempe........................................................................... 14 Analisa Kimia............................................................................................... 14

vii

a. b. c. d. e. f. g. h. 3.3.4 a. b. 3.4 4 4.1 4.1.1 4.1.2 4.1.3 4.1.4 4.1.5 4.1.6 4.1.7 4.1.8 4.2 4.2.1 4.2.2 4.2.3 5 5.1 5.2

Analisis pH ................................................................................................... 14 Analisis Kadar Lemak .................................................................................. 15 Analisis Kadar Protein Total ........................................................................ 15 Analisis Protein dengan Metode Braford ..................................................... 16 Analisis Kadar Serat Total ........................................................................... 16 Analisis Kadar Karbohidrat ......................................................................... 17 Isolasi dan Identifikasi Isoflavon ................................................................. 17 Analisis Kadar Isoflavon .............................................................................. 18 Analisis Mikroba .......................................................................................... 18 Uji E.Coli ..................................................................................................... 18 Uji Jamur ...................................................................................................... 18 Uji Organoleptik .......................................................................................... 19 Hasil Dan Pembahasan.......................................................................................... 20 Susu Tempe .................................................................................................. 20 Kelarutan Protein Tempe ............................................................................. 20 Kelarutan Isoflavon ...................................................................................... 21 Kadar Isoflavon ............................................................................................ 22 Kadar Lemak ................................................................................................ 24 Kadar Karbohidrat ........................................................................................ 24 Kandungan Mikroba .................................................................................... 25 Stabilitas pH dan Protein.............................................................................. 26 Uji Organoleptik .......................................................................................... 28 Tepung Tempe ............................................................................................. 29 Kadar Protein ............................................................................................... 30 Kadar Serat Kasar ........................................................................................ 30 Kadar Lemak ................................................................................................ 31 Kesimpulan .................................................................................................. 32 Saran............................................................................................................. 32

Kesimpulan Dan Saran.......................................................................................... 32

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 33

viii

Daftar Tabel

Tabel 2.1 Komposisi kimia rata-rata kedelai utuh dalam bentuk biji kering (Sarwono, 2001) ............................................................................................................. 4 Tabel 2.2 Kandungan senyawa dalam 100 gram tempe (Sumber: Winarno) .............. 7 Tabel 4.1 Waktu retensi dan luas area ....................................................................... 23 Tabel 4.2 Kadar senyawa Isoflavon dalam susu tempe ............................................. 23 Tabel 4.3 Kandungan mikroba ................................................................................... 26 Tabel 4.4 Rasa ............................................................................................................ 28 Tabel 4.5 Aroma......................................................................................................... 28

ix

Daftar Gambar
Gambar 2.1 Struktur Isoflavon (Braz dkk, 1993) ........................................................ 9 Gambar 4.1 Susu tempe ............................................................................................. 20 Gambar 4.2 Pengaruh temperatur terhadap kadar protein terlarut ............................. 21 Gambar 4.3 Hasil kromatografi lapis tipis ................................................................. 22 Gambar 4.4 Kromatogram sampel ............................................................................. 23 Gambar 4.5 Profil pH terhadap lama penyimpanan ................................................... 27 Gambar 4.6 Profil kadar protein terhadap lama penyimpanan .................................. 27 Gambar 4.7 Tepung tempe sebelum diayak ............................................................... 29 Gambar 4.8 Tepung tempe setelah diayak ................................................................. 29

Daftar Lampiran

Lampiran A Kromatogram Standar Daidzein ............................................................ 35 Lampiran B Kurva Standar BSA................................................................................ 36 Lampiran C Stabilitas pH dan Protein ....................................................................... 37 Lampiran D Data dan Perhitungan Kadar Protein, Lemak dan Serat Kasar Pada Tepung Tempe ...................................................................................... 38 Lampiran E Uji Organoleptik .................................................................................... 40

xi

Pendahuluan

1.1 Tinjauan Masalah


Salah satu produk olahan kedelai yang mudah ditemukan di pasar tradisional adalah tempe. Tempe merupakan makanan khas Indonesia yang sangat digemari oleh seluruh lapisan masyarakat, baik di daerah perkotaan maupun pedesaan. Kelebihan tempe dari produk olahan kedelai lainnya ada pada nilai gizi yang terkandung di dalamnya. Proses fermentasi terhadap kedelai menyebabkan protein dan karbohidrat yang terkandung di dalam tempe menjadi terdegradasi menghasilkan protein dan karbohidrat dengan rantai yang lebih pendek. Proses fermentasi juga menghasilkan senyawa-senyawa antioksidan. Kebanyakan tempe yang dijual saat ini berbentuk tempe mentah atupun tempe goreng. Tempe mentah memiliki kelemahan dalam hal penyimpanan karena daya tahan tempe mentah di suhu kamar hanya 2 hari. Agar dapat bertahan lama, tempe harus disimpan di bawah suhu 4oC. Sedangkan tempe yang dijual dalam bentuk siap makan (digoreng) memiliki kelemahan dalam hal nilai gizi, antioksidan yang terkandung di dalam tempe menjadi rusak karena proses pemanasan yang tinggi. Proses penggorengan menyebabkan jumlah kolesterol dan asam lemak jenuh semakin bertambah. Kedua jenis lemak tersebut tidak baik bagi tubuh karena dapat menjadi sumber kanker. Dengan demikian, maka perlu dibuat suatu produk alternatif dari tempe yang memiliki kandungan gizi optimum dan daya simpan yang lama. Salah satu cara untuk mendapatkannya adalah dengan membuat susu dan tepung dari tempe. Susu yang diperoleh diharapkan kaya akan antioksidan sedangkan tepung yang diperoleh kaya akan protein dan serat kasar. Selain itu, diharapkan kedua produk tersebut memiliki daya simpan yang lama.

1.2 Tujuan Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk : a. Mengetahui pengaruh suhu pembuatan susu tempe terhadap kandungan gizi susu tempe. b. Membuat tepung tempe dari hasil samping pembuatan susu tempe.

1.3 Ruang Lingkup Kajian


Proses pembuatan susu tempe dengan variasi suhu, akan diuji nilai kelarutan protein pada masing-masing proses. Susu yang dihasilkan selanjutnya akan dianalisis kandungan asam lemak, karbohidrat, pH, dan senyawa senyawa isoflavon. Sebelum dikemas, agar dapat bertahan lama, maka susu tempe perlu dipasteurisasi. Susu tempe dalam kemasan akan diuji kesetabilan proteinnya serta daya tahan terhadap mikroba dan jamur. Tepung tempe sisa proses pembuatan susu tempe akan diuji nilai gizinya, meliputi kadar protein, lemak dan serat kasar.

2 Tinjauan Pustaka

2.1 Kedelai
Kedelai termasuk ke dalam Leguminoceae yang secara ilmiah dikenal dengan nama Glycine max. Tanaman ini memiliki jenis dan varietas yang sangat banyak karena perbedaan lingkungan tumbuh, warna, ukuran biji, umur dan lain-lain. Klasifikasi botani kedelai adalah sebagai berikut: Divisio Kelas Famili Sub famili Spesies : Spermatophyta : Dikotiledon : Leguminocea : Papilionoidea : Glycine max

Kedelai merupakan sumber protein yang paling baik di antara jenis kacang-kacangan. Di mana 10 % protein tersebut merupakan albumin dan 90 % lainnya berupa globulin (Belitz, 2004). Protein kedelai merupakan sumber asam amino esensial yang lengkap dan seimbang. Kedelai juga dimanfaatkan sebagai sumber vitamin, mineral, dan serat (Koswara, 1992). Komposisi kimia rata-rata kedelai utuh dalam bentuk biji kering tiap gram (Sarwono, 2001) dapat dilihat pada Tabel 2.1. Disamping mengandung senyawa yang berguna, kedelai juga mengandung senyawa antigizi dan senyawa penyebab off flavour (penyimpangan cita rasa dan aroma). Kelompok senyawa antigizi di dalam kedelai adalah antitripsin, hemaglutinin, asam fitat dan oligosakarida. Sedangkan kelompok senyawa penyebab off flavour adalah lipoksigenase, soyasaponin, sapogenol (Smith et al., 1972). Kedelai dapat diolah menjadi berbagai macam makanan dan minuman seperti susu kedelai, tempe, tahu, tauco dan kecap. Setiap jenis olahan kedelai memiliki penampakan dan cita rasa yang berbeda sesuai dengan teknik pengolahannya. Kandungan protein yang tinggi menjadikan kedelai sebagai sumber protein nabati utama dibandingkan dengan jenis kacangkacangan yang lain.

Tabel 2.1 Komposisi kimia rata-rata kedelai utuh dalam bentuk biji kering (Sarwono, 2001) Kandungan gizi Protein Lemak Karbohidrat Serat Mineral Komposisi (%) 41,0 19,6 7,6 24,0 5,5

2.2 Susu Kedelai


Susu kedelai adalah sari kedelai yang diperoleh dengan cara menghancurkan biji kedelai dalam air dingin atau air panas. Bahan yang digunakan adalah kedelai berkulit kuning yang masih utuh atau kedelai bubuk. Protein susu kedelai mempunyai susunan asam amino yang mendekati susunan asam amino susu sapi sehingga dapat digunakan sebagai pengganti susu sapi bagi orang-orang yang tidak toleran terhadap protein susu sapi (Hermana, 1985). Penyaringan dengan menggunakan air dingin dapat menyaring 84,7% protein kedelai, tetapi hanya 79,2% jika yang digunakan adalah air panas (di atas 800C). Sebaliknya, penyaringan dengan air panas dapat mengurangi bau langu sehingga rasa susu kedelai yang diperoleh lebih enak (Hermana, 1985). Pada susu kedelai akan tercium bau langu. Bau langu adalah bau yang tidak disenangi oleh sebagian golongan masyarakat. Bau langu tersebut disebabkan oleh adanya enzim lipoksigenase yang terdapat di dalam kedelai. Pada saat penghancuran kedelai enzim lipoksigenase segera mengkatalisis rekasi oksidasi asam lemak tidak jenuh terutama asam lemak linoleat dan linolenat yang mengakibatkan pembentukan asam dan bau langu serta menghasilkan lebih dari 80 komponen volatil yang mempunyai berat molekul rendah (Shurtleff dan Aoyagi, 1979). Enzim lipoksigenase dapat diinaktifkan dengan pemanasan. Menggiling kedelai yang telah direndam dengan air panas pada temperatur di atas 80C dan dipertahankan selama 10 menit akan meninaktivasi lipoksigenase (Shurtleff dan Aoyagi, 1979). Apabila kedelai utuh direndam dalam air sebelum penggilingan akan terbentuk semacam komponen volatil tambahan (1-octen-3-ol) yang tidak dapat dihilangkan dengan penggilingan cara panas. Pembentukan komponen ini dapat dikurangi dengan merendam kedelai dalam larutan alkali seperti NaHCO3.

Fukusihima (1986) yang dikutip oleh Jogian (1992) mengatakan bahwa bagian kulit biji dan lembaga hanya menyumbang 7,2% berat kedelai, tetapi mengandung 27% dari total saponin A yang merupakan komponen yang bertanggung jawab terhadap rasa pahit pada susu kedelai.

2.3 Fermentasi Bahan Pangan


Makanan fermentasi adalah makanan sebagai substrat yang ditumbuhi mikroorganisme. Mikroorganisme tersebut menghasilkan enzim seperti amilase yang menghidrolisis polisakarida, protease menghidrolisis protein, dan lipase menghidrolisis lipid. Proses fermentasi menghasilkan produk yang berbeda dari bahan bakunya. Makanan fermentasi yang baik memiliki sifat tidak beracun dengan rasa, aroma dan tekstur yang disukai. Bila dihasilkan aroma dan rasa yang tidak menyenangkan, maka produk tersebut biasanya beracun dan dapat menyebabkan penyakit jika dimakan (Steinkraus, 2002) Salah satu cara untuk mendapatkan makanan fermentasi adalah dengan menggunakan kapang sebagai mikroorganisme penghasil enzim. Fermentasi menggunakan kapang banyak dilakukan di Indonesia, menghasilkan produk yang mempunyai cita rasa dan bentuk yang khas karena proses pembuatannya yang masih tradisional. Kapang adalah fungi multiseluler yang mempunyai filamen, filamen-filamen tersebut bercabang yang disebut hifa. Hifa mempunyai kaki yang disebut miselium. Miselium menghasilkan enzim yang berguna untuk membuat makanan tradisional. Salah satu makanan yang menggunakan kapang sebagai sumber penghasil enzim adalah tempe. Untuk memperoleh produk fermentasi yang baik, maka kapang yang digunakan harus mempunyai syarat-syarat sebagai berikut (Koeswara, 1995): a. Kapang berkualitas baik b. Kapang mampu mengembangkan sistem enzim yang mempunyai aktivitas lipolitik dan proteolitik tinggi, karena kapang ditumbuhkan pada media yang kaya protein dan lemak c. Warna miselium menarik menghasilkan produk akhir yang menarik d. Kapang tidak memproduksi bau serta rasa yang tidak disukai

e. Tekstur dari tenunan miselium harus kompak dan tebal sehingga dapat melindungi
permukaan makanan terhadap perubahan bentuk. Selama proses fermentasi kedelai menjadi tempe menggunakan Rhizopus oligosporus, kapang ini menghasilkan enzim proteolitik, amilase, lipase dan fitase. Selain memproduksi riboflavin dan biotin, kapang ini memproduksi senyawa antibakteri yang dapat menghambat pertumbuhan beberapa jenis bakteri gram negatif (Ariani, 1997)

2.4 Kapang Rhizopus Oligosporus


Kapang Rhizopus oligosporus biasanya digunakan dalam proses fermentasi kedelai menjadi tempe. Kapang ini mempunyai klasifikasi sebagai berikut: Divisio Sub division Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Fungi : Eumycetes : Phycomycetes : Mucorales : Mucoraceae : Rhizopus : Rhizopus oligosporus

Rhizopus oligosporus tidak mempunyai klorofil, biasanya tumbuh baik dalam kondisi lembab, berkembang biak secara seksual dan aseksual serta mempunyai miselium yang tidak bersekat. Golongan Rhizopus mempunyai temperatur optimal berkisar antara 25oC-40oC dan pH optimal dalam kisaran 5-6. Rhizopus oligosporus memiliki temperatur optimal pada 37oC, termasuk organisme aerobik karena membutuhkan oksigen untuk pertumbuhannya. Berdasarkan ketahanan terhadap suhu, organisme ini digolongkan sebagai mesofil. Dalam proses fermenasi tempe, terjadi juga biosintesis folat oleh kapang R. oligosporus. Xilosa, fruktosa, galaktosa, maltosa, manitol, dan glukosa adalah senyawa-senyawa sumber karbon yang dapat digunakan dengan sangat baik oleh R. oligosporus. Beberapa minyak nabati dapat pula digunakan sebagai sumber karbon menggantikan senyawa-senyawa gula di atas. Senyawa-senyawa sumber nitrogen yang dapat digunakan untuk pertumbuhan R. oligosporus ialah garam-garam ammonium, asam-asam amino seperti glisin, asam aspartat, prolin, dan leusin. Sedangkan ammonium nitrat dan triptofan tidak dapat dimanfaatkan sama sekali. R. oligosporus juga berperan dalam pembentukan senyawa faktor-2 (6,7,4 trihidrokisisoflavon) yang berfungsi sebagai antioksidan dan antihemolitk.

2.5 Tempe
Secara umum tempe adalah makanan yang dibuat dari kacang kedelai yang difermentasikan menggunakan kapang rhizopus ("ragi tempe"). Namun ada juga makanan lain yang tidak terbuat dari kacang kedelai tetapi disebut juga dengan tempe, seperti berbahan baku biji kara, bengkuk, biji gude, tempe gembus, dan tempe kacang hijau .

Tabel 2.2 Kandungan senyawa dalam 100 gram tempe (Sumber: Winarno) No 1 2 3 4 5 6 7 Komposisi Kalori Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Vitamin A(IU) Vitamin B (rag) Vitamin B-12 (ng/g) Nilai 149.0 18.3 4.0 12.7 50.0 0.17 29 + 5

Fermentasi kedelai menjadi tempe menimbulkan perubahan pada protein, lemak, karbohidrat dan vitamin. Selain itu tempe lebih mudah dicerna daripada kedelai, zat-zat anti gizi dalam kedelai juga telah rusak akibat proses perebusan dan fermentasi (Hermana, 1972). Selama fermentasi kedelai menjadi tempe, terjadi hidrolisis enzimatik dan sintesis komponen-komponen baru (misalnya vitamin). Protein terpecah dan menghasilkan nitrogen terlarut dari 0,5% menjadi 2,0% (Streinkraus et al, 1960) dan kadar asam amino bebas naik menjadi 85 kali (Murata et al, 1967). Tempe sebagai sumber protein ternyata paling unggul dibandingkan dengan hasil olahan kedelai lainnya. Dalam 100 gram tempe terdapat 18 gram protein. Karena dibuat dengan proses fermentasi, maka tempe menjadi mudah dicerna dan diserap. Zat penghambat tripsin yang terdapat dalam kedelai telah diinaktifkan. Selain itu tempe memiliki beberapa zat anti penyakit, khususnya anti terhadap disentri dan bakteri gram positif. Bahan makanan campuran yang menggunakan tempe sebagai komponennya ternyata sangat bermanfaat bagi penanggulangan diare kronis dan gizi kurang pada anak (Tarwotjo et al, 1985). Kedelai mengandung karbohidrat sebanyak 28% yang terdiri dari sukrosa, stakiosa, pentosa, galaktan dan rafinosa (penyebab perut kembung). Menurut Shurtleff dan Aoyagi (1979) proses pemasakan atau perebusan yang dialami kedelai sebelum fermentasi menyebabkan kehilangan rafinosa sebesar 52% dan stakiosa 49%, sedangkan sukrosa 59%. Penurunan jumlah oligosakarida ini menyebabkan tempe lebih mudah dicerna dan tidak menimbulkan flatulens sedangkan penurunan sukrosa menyebabkan kurangnya kalori tempe (Mardiah, 1989). Menurut Shurtleff dan Aoyagi (1979), hampir semua peneliti mengemukakan bahwa kadar serat tempe meningkat selama fermentasi berlangsung. Peningkatan serat ini disebabkan oleh pertumbuhan miselium kapang yang kaya akan serat, di samping karena terjadinya

kehilangan sejumlah padatan lainnya. Sedangkan padatan terlarut naik dari 13% menjadi 21% (w/v) (Streinkraus et al, 1960). Pada saat proses fermentasi, Rhizopus oligosporus pada tempe menghasilkan lipase yang menghidrolisis sebagian lemak. Murata et al. (1967) menemukan bahwa asam linolenat menurun jumlahnya. Pembebasan asam lemak ini seiring dengan meningkatnya angka asam 50-70 kali sebelum fermentasi. Lemak yang terdapat pada tempe tidak mengandung kolesterol sehingga tempe menguntungkan untuk pencegahan penyakit jantung koroner. Minyak atau lemak tempe tahan terhadap proses ketengikan oksidatif. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh produksi antioksidan oleh kapang tempe (Iljas, 1969). Menurut Gyorgy et al. (1967) antioksidan pada tempe tersebut dikenal sebagai genestein, daidzein, dan 6,7,4-trihidroksiisoflavon. Antioksidan yang terdapat dalam tempe berbentuk isoflavon, seperti juga vitamin C, E dan karotenoid, isoflavon dapat menghentikan reaksi pembentukan radikal bebas. Tiga jenis isoflavon yang terdapat dalam tempe yaitu daidzein, glisitein, dan genistein. Pada tempe, di samping ketiga jenis isoflavon tersebut juga terdapat antioksidan faktor II (6,7,4-trihidroksi isoflavon) yang mempunyai sifat antioksidan paling kuat dibandingkan dengan isoflavon dalam kedelai (Handayani, 2006).

2.6 Faktor-2 (6,7,4-trihidroksi isoflavon)


Isoflavaonoid adalah salah satu golongan senyawa metabolit sekunder yang banyak terdapat pada tumbuh-tumbuhan, khususnya dari golongan leguminoceae (tanaman berbunga kupukupu). Isoflavaonoid termasuk dalam golongan flavonoid (kelompok senyawa fenol) dengan kerangka dasar 1,2-diarilpropan. Senyawa isoflavon pada umumnya berupa senyawa kompleks atau konjugasi dengan senyawa gula melalui ikatan glikosida (Snyder, 1987). Kedelai memiliki kandungan isoflavon yang tinggi, khususnya pada bagian hipokotil (germ) yang akan tumbuh menjadi tanaman. Kandungan isoflavon pada kedelai berkisar antara 2-4 mg/gram kedelai. Jenis senyawa isoflavon utama pada kedelai adalah genistin, daidzin, dan glistin. Bentuk senyawa demikian ini mempunyai aktivitas fisiologi kecil karena berada dalam bentuk glikosida. Selama proses pengolahan, baik melalui proses fermentasi maupun proses non-fermentasi, senyawa isoflavon dapat mengalami transformasi, terutama melalui proses hidrolisa sehingga diperoleh senyawa isoflavon bebas yang disebut dengan aglikon yang memiliki aktivitas lebih baik. Senyawa aglikon adalah genestein, glisitein, dan daidzein.

Hasil transformasi lebih lanjut dari senyawa aglikon menghasilkan senyawa yang mempunyai aktivitas biologi lebih tinggi yaitu faktor-2 (6,7,4-trihidroksi isoflavon). Hal ini ditunjukkan oleh Murata yang membuktikan bahwa faktor-2 (6,7,4-trihidroksi isoflavon) mempunyai aktivitas antioksidan dan antihemolitik lebih baik dari daidzein dan genistein (Murata, 1985). Struktur dari keempat jenis isoflavon tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Gambar 2.1 Struktur Isoflavon (Braz dkk, 1993) Faktor-2 tidak terdapat pada kedelai tetapi hanya terdapat pada tempe. Senyawa ini mulamula ditemukan oleh Gyorgy pada ekstrak tepung tempe (Gyorgy, 1964). Penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada tempe hasil fermentasi dengan Rhizopus Oligosporus menghasilkan isoflavon genistein (5,7,4-trihidroksi isoflavon, daidzein (7,4-dihidroksi isoflavon) dan faktor-2 (6,7,4-trihidroksi isoflavon). Menurut penelitian (Barz dkk, 1985). Faktor-2 dibentuk melalui demetilasi glisitein atau melalui reaksi hidroksilasi daidzein. Daidzein dan glisitin pada biji kedelai yang terikat dengan glukosa melalui ikatan glikosida dapat dihidrolisis oleh enzim -glukosidase selama proses perendaman kedelai. Penelitian Barz menunjukkan terbentuknya faktor-2 dapat dimulai dengan hidroksilasi gugus C-6 dari daidzein atau demetilasi gugus C-6 dari glisitein. Aktivitas fisiologis senyawa isoflavon telah banyak diteliti dan ternyata menunjukkan bawa berbagai aktivitas berkaitan dengan struktur senyawanya. Aktivitas isoflavon sebagai antioksidan ditentukan oleh bentuk struktur bebas (aglikon) dari senyawanya (Murakami, 1984). Aktivitas tersebut ditentukan oleh gugus OH ganda, terutama dengan gugus C=O pada posisi C-3 dengan gugus OH pada posisi C-6 atau pada posisi C-4. Gugus dihidroksi

pada posisi orto menyebabkan faktor-2 mempunyai sifat antioksidan yang lebih kuat dibandingkan dengan genistein, daidzein dan glisitein (Prat, 1985) Menurut Handayani (2006), faktor-2 memiliki afinitas ikatan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan isoflavon lain karena memiliki tiga gugus hidroksil pada posisi C-6, C-7 dan C-4 sehingga probabilitas untuk berinteraksi secara ikatan hidrogen menjadi lebih tinggi. Ikatan hidrogen penting dalam pengikatan ligan oleh reseptor/protein. Isoflavon pada tempe yang aktif sebagai antioksidan, yaitu 6,7,4-trihidroksi isoflavon, terbukti berpotensi sebagai anti-kontriksi pembuluh darah pada konsentrasi 5g/ml dan juga berpotensi menghambat pembentukan LDL. Dengan demikian isoflavon dapat mengurangi terjadinya arteriosclerosis pada pembuluh darah (Jha, 1985).

2.7 Protein
Protein merupakan salah satu makromolekul penting dalam kehidupan makhluk hidup. Protein merupakan suatu biopolimer yang tersusun atas rantai polipeptida. Protein dapat berfungsi sebagai katalis, molekul transpor, sumber energi, sistem imun, tranmisi impuls saraf, molekul pembatnu fungsi mekanik dan sebgai kontrol pada pertumbuhan. Sifat-sifat fisiko-kimia yang mempengaruhi sifat-sifat fungsional molekul-kolekul yang menyusun protein adalah (Pour el, 1981): a. Hidrofilik, sifat yang tergantung pada afinitas dari protein terhadap air dan pelarut polar lainnya termasuk kelarutan, pemisahan air dan kebasahan. b. Antar fase, sifat yang tergantung pada kemampuan molekul protein untuk menjadi bentuk terpisah dan membentuk lapisan tipid antara dua medium immicible, termasuk sufat pengemulsi, pemisahan lemak, dan daya buih dan adsorpsi. c. Antar molekul, sifat kemampuan molekul protein untuk bergabung dengan molekul sendiri atau dengan komponen lain, meliputi viskositas, ketebalan, pembentukan gel, formasi film, daya buih, formasi serat, adhesi, kohesi, kelengketan, kekerasan, formasi kompleks, spreading, elastisitas dan plastisitas. d. Organoleptik, sifat dari produk protein yang dinyatakan dengan organ penginderaan, seperti bau (hidung), warna (mata), flavor, dan kerapuhan lainnya. e. Pengaruh lainnya, sifat fisiko-kimia tertentu yang berhubungan dengan protein spesifik. Nilai gizi protein dalam makanan berhubungan dengan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan manusia akan nitrogen dan asam amino serta untuk menjamin fungsinya sebagai faktor pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh manusia. Nilai gizi protein dipengaruhi oleh

10

jumlah kandungan protein dan mutu protein (jenis asam amino, jumlah asam amino essensial, daya cerna protein, dan ketersediaan asam amino) (Fennema, 1985). Mutu protein dinilai dari perbandingan asam-asam amino yang terkandung dalam protein tersebut. Pada prinsipnya suatu protein bermutu tinggi adalah protein yang dapat menyediakan asam amino esensial dalam suatu perbandingan yang menyamai kebutuhan manusia (Winarno, 1984). Asam amino dalam protein tidak tersedia secara sempurna karena pencernaan protein dan penyerapan asam amino dalam sistem pencernaan tidak berlangsung sempurna. Protein hewani pada umumnya mempunyai daya cerna sekitar 90% sedangkan daya cerna protein nabati hanya sekitar 60 - 70% (Fennema, 1985). Daya cerna protein dipengaruhi dengan logam, lipid, asam nukleat, selulosa atau polisakarida lainnya; faktor antinutrisi seperti anti tripsin dan anti kimotripsin; ukuran dan luas permukaan partikel protein; dan pengaruh proses panas atau perlakuan dengan alkali (Fennema, 1985)

11

3 Metodologi Penelitian

3.1 Bahan dan Alat 3.1.1 Bahan

Tempe yang digunakan sebagai bahan baku berasal dari pasar lokal. Bahan Kimia yang digunakan yaitu: bakto agar (Merck), NaCl (Merck), metanol, K2SO4 (Merck), CuSO4 (Merck), H2SO4 pekat, H3BO3 (Merck), heksana (Merck), indikator metal merah, tashiro (Merck), aquades, acetonitril, larutan Luff School, KI (Merck), standar daidzein dan glistein (Sigma).

3.1.2

Alat

Alat-alat yang digunakan adalah untuk pembuatan minuman tempe adalah; gelas Kimia (50 mL, 100mL, 250 mL, 400 mL, 600mL, 1000mL) (Pyrex), erlenmeyer 250 mL (Pyrex), corong, pengaduk, bunsen, kain saring, neraca analitik, blender, autoklaf, lemari pendingin, botol wadah 50 mL. Alat-alat yang digunakan untuk analisis, yaitu: oven, pesawat Kjeldahl, corong pisah (Pyrex), buret (Pyrex), Erlenmeyer (Pyrex), cawan Petri (Iwaki), neraca analitik (Explorer, Ohous corporation, USA), botol wadah, pengaduk. Lemari seril UV Laminar Flow (Oliphant, VLF4 LUS no 344), spectrofotometer UV-120-02 merk Shimadzu, seperangkat alat KLT, seperangkat alat KCKT HPLC Pump Biotonik, Set temperature Iones Chromatography, Column -Boudapak M C-18, HPLC UV-Vis Detector dan C-RGA Chromatopac Bioonik), autoklaf (electric pressure steam sterilizer model 25x Wisconsin), saringan ukuran 40 mesh, alat dehydrator (Waki KN-128E), dan alat-alat gelas lain yang umum digunakan.

3.2 Diagram Alir Penelitian Keseluruhan

Tempe

Dibersihkan dengan air dingin dan dipotong

Ditimbang

Direndam dengan NaHCO3

Dihalusan

Dipanaskan

Suhu 60oC

Suhu 70oC

Suhu 80oC

Suhu 90oC

Disaring

Analisa Kadar Protein

Filtrat

Residu

Sterilisasi

Dikeringkan

Analisa Kimia, Analisa Mikroba, Uji Cita rasa

Analisa Kimia (Protein, Serat Kasar, Minyak)

3.3 Cara Kerja


Proses utama dalam penelitian ini adalah pengolahan tempe menjadi minuman tempe dan tepung tempe. Proses pemanasan dilakukan dengan variasi suhu untuk melihat konsentrasi optimum protein terlarut. Analisa Kimia meliputi kandungan protein, kandungan lemak, pH, karbohidrat, isoflavon dan serat kasar. Sedangkan analisis mikrobiologi meliputi uji bakteri

13

E.Colli dan jamur. Analisis yang terakhir adalah uji organoleptik meliputi rasa dan wangi dari minuman tempe.

3.3.1

Pembuatan Minuman Tempe

Sebanyak 100 gram tempe ditimbang dengan menggunakan neraca analitik lalu dibersihkan dengan air dingin. Tempe yang sudah bersih dipotong-potong hingga menjadi kecil. Selanjutnya direndam di dalam larutan NaHCO3 2% (w/v) selama 2 jam. Setelah proses perendaman selesai, tempe dihaluskan dengan menggunakan blender sambil ditambah dengan air sebanyak 200 ml. Bubur tempe yang diperoleh dimasukkan ke dalam gelas kimia 1 liter kemudian dilakukan pemanasan dengan variasi suhu 60, 70, 80, 90oC. Pada saat proses pemanasan, larutan tempe diaduk agar panas di dalam larutan merata. Proses pemanasan dilakuakan selama 15 menit. Larutan kemudian disaring menggunakan kain untuk mendapatkan larutan susu tempe. Larutan susu tempe dipanaskan pada suhu 80oC selama 5 menit kemudian didinginkan secara spontan hingga mencapai suhu 4oC. Proses pemanasan dilakukan sebanyak 2 kali agar seluruh mikroba yang ada menjadi mati. Larutan susu yang telah steril dimasukkan kedalam wadah yang steril dan siap untuk dikonsumsi. Untuk meningkatkan cita rasa dan mengurangi bau tempe, ke dalam larutan susu tempe ditambahkan gula dan pewangi. Pada penelitian ini digunakan variasi gula antara 4-8% (w/v) dan variasi vanilla sebesar 0,25 dan 0,5% (v/v).

3.3.2

Pembuatan Tepung Tempe

Residu yang diperoleh dari proses penyaringan larutan tempe (tepung tempe) dikumpulkan di dalam piala gelas yang besar. Tepung tempe yang masih basah di bentuk menjadi bulat pipih untuk memudahkan proses pengeringan. Setelah semua tepung selesai dibentuk menjadi bulat pipih, kemudian diletakkan di atas alat dehydrator, selanjutnya alat dinyalakan selama 2 jam untuk mengeringkan tepung tempe. Tepung yang sudah kering dikumpulan kembali, kemudian di giling agar didapatkan tepung halus yang memiliki ukuran 40 mesh

3.3.3

Analisis Kimia

a. Analisis pH
Sebanyak 20 mL sampel dimasukkan ke dalam gelas kimia 100 mL. Ke dalam larutan tersebut dicelupkan pH meter yang telah dikalibrasi, tunggu beberapa saat hingga pH meter menunjukkan angka yang konstan. Catat nilai yang tertera di alat pH meter.

14

b. Analisis Kadar Lemak


Ditimbang sebanyak 5 gram sampel, lalu dibungkus dengan kertas saring. Sampel yang telah siap dimasukkan ke dalam soxhlet. Selanjutnya ditambahkan larutan heksana sebanyak 20 mL. ekstraksi kontinu menggunakan soxhlet dilakukan selama 1 jam. Setelah proses ekstraksi selesai, larutan heksan yang berisi Lemak diuapkan dengan menggunakan alat evaporator. Labu yang berisi lemak kemudian dipanaskan dalam oven 105C selama 1 jam, didinginkan dalam eksikator lalu ditimbang. Pemanasan dan penimbangan diulang hingga diperoleh berat konstan. Kadar lemak diperhitungkan melalui persaman:

Kadar Lemak =

Berat Residu X 100% Berat Sampel

c. Analisis Kadar Protein Total


Metode yang digunakan untuk analisis protein dalam penelitian ini adalah menggunakan metoda Kjedahl semimikro yang terdiri dari 3 tahap utama yaitu destruksi, destilasi dan titrasi (AOAC, 1995). a. Destruksi Sebanyak 200 mg sampel ditimbang secara teliti, kemudian dicampur dengn 1,9 g K2SO4 dan 80 mg selenium kemudian dimasukkan ke dalam labu Kjedahl 50 mL. kemudian ditambahkan 3 mL H2SO4 pekat. Labu diletakkan dengan posisi miring dengan mulut labu diberi corong untuk memudahkan pengembunan uap H2SO4. Labu dipanaskan mula-mula dengan nyala sedang hingga terjadi pengarangan (larutan berubah warna menjadi hitam seluruhnya dan juga pengasapan. Saat semua asap hilang, pemanasan dilanjutkan dengan nyala sedang dan dihentikan ketika warna larutan dalam labu menjadi jernih (+2 jam). Larutan jernih dalam labu dibiarkan menjadi dingin, ditambahkan sedikit aquades kemudian dipindahkan secara analitis ke dalam labu takar 25 mL. Larutan ini diencerkan hingga tanda batas volume. b. Destilasi Dari larutan hasil destruksi yang telah diencerkan tersebut 5 mL alikuot lalu didestilasi menggunkan pesawat kjeldahl. Untuk membasakan digunakan 10 mL larutan campuran NaOH-NaS2O3.5H2O. Destilat ditampung dalam erlenmeyer 100 mL dengan ujung kondensor tercelup di bawah permukaan 5 mL H3BO3 4% (w/v) yang telah ditambahkan 3 tetes indikator campuran metil-metil biru. Destilasi dilakukan hingga terkumpul larutan sebanyak 100 mL

15

c. Titrasi Larutan dalam erlenmeyer ini selanjutnya dititrasi dengan HCl 0.02N hingga warna larutan berubah menjadi ungu. Hasil analisa diperhitungkan sebagai kadar nitrogen yang selanjutnya dikonversi menjadi kadar protein melalui tahap perhitungan sebagai berikut: Kadar Protein = Dengan 14.00 6,25 F (V HCl V blanko) x N HCl x 14 x F x 6,25 x 100% Berat Sampel

: = Berat molekul nitrogen = Faktor konversi pretein untuk biji-bijian (AOAC) = Faktor pengenceran

d. Analisis Protein dengan Metode Braford


Dipipet 10 l larutan sampel dan dimasukkan ke dalam tip putih. Ditambahkan 490 l air destilasi dan 500 l larutan Bradford. Campuran larutan dikocok dengan alat vortex hingga larutan bercampur dengan sempurna, maka akan dihasilkan larutan berwarna biru. Dibiarkan selama 10 menit untuk menyempurnakan reaksi. Larutan sampel diukur dengan menggunakan spectrofotometer pada panjang gelombang 595 nm. Sebelum mengukur sampel, absorban alat spectrofotometer dinolkan terlebih dahulu dengan larutan blanko yang berisi 500 L air dan 500 L larutan Braford. Setiap larutan sampel diukur sebanyak 3 kali. Sebagai standar digunakan larutan BSA dengan konsentrasi antara 1 hingga 50 g/mL yang dibuat dari larutan standar BSA 1000 g/mL. Untuk menghitung kadar protein dalam larutan digunakan persamaan dibawah ini : Didapatkan persamaan garis lurus untuk standar BSA :

y = aX + C
Nilai Absorbansi sampel dimasukkan ke dalam persamaan di atas kemudian dikali dengan faktor alikuot sehingga didapatkan persamaan di bawah ini:

Kadar Protein =

(Asampel + C ) x100 a x 1000

x100%

Kadar protein memiliki satuan g/v %.

e. Analisis Kadar Serat Total


Ditimbang 2 gram sample yang telah bebas lemak. Dimasukkan ke dalam labu yang telah berisi batu didih, ditambah 200 ml larutan H2SO4 1,25% (v/v) lalu dididihkan selama 30

16

menit. Setelah proses pendidihan selesai, segera saring larutan tersebut dan dicuci dengan air hingga bersih. Residu yang tersisa di kertas saring, dipindahkan ke dalam labu yang telah berisi 200 ml NaOH 2,5 % (w/v). Dilakukan proses pendidihan selama 30 menit. Setelah selesai, larutan tersebut disaring menggunakan kertas saring yang telah diketahui beratnya. Residu yang tersisa dibilas dengan menggunakan air suling hingga bersih, kemudian dikeringkan di dalam oven yang bersuhu 105oC selama 2 jam didinginkan di dalam desikator lalu ditimbang dengan neraca analitik. Proses pengeringan, pendinginan dan penimbangan dilakukan berkali-kali sehingga didapatkan berat konstan. Kadar serat total dapat dihitung dengan persamaan dibawah ini : Kadar Serat Total = Berat Residu X 100% Berat Sampel

f. Analisis Kadar Karbohidrat


Dipipet 10 ml sampel kemudian ditambah dengan 10 ml HCl 10% (v/v) lalu dipanaskan selama 10 menit. Larutan didingin kan kemudian ditambah dengan 25 ml larutan Luff School. Untuk mempercepat reaksi, dilakukan pemanasan selama 10 menit. Larutan didinginkan kembali, selanjutnya ditambah 10 ml H2SO4 10% (v/v) dan 10 ml KI 10% (w/v) dan dititrasi dengan Na2S2O3 0,1 N hingga larutan berwarna kuning, kemudian ditambah dengan 5 tetes larutan kanji, proses titrasi dilanjutkan hingga warna biru hilang. Sebagai blanko digunakan larutan yang sama tetapi tidak menggunakan larutan sampel Kadar Glukosa Berat glukosa x 100% Berat sampel (Vp - Vb) x 0.1 V Na 2S2 O3 0,1N = Konsentrasi Na 2S2 O3 =

g. Isolasi dan Identifikasi Isoflavon


Isolasi isoflavon dari tempe dilakukan dengan menggunakan metode Mabry, et al. (1970) dan Murakami, (1984). Dipipet 10 mL sampel kemudian ditambah dengan metanol sebanyak 2 mL. Larutan dipekatkan pada suhu 60oC sampai diperoleh ekstrak kental. Ekstrak kental diekstraksi kembali dengan petroleum eter kemudian diekstrak lagi dengan 5x7 mL etil asetat. Fase stil asetat dibagian atas diambil dan dibebaskan dari air dengan Na2SO4 anhidrat lalu disaring. Ekstrak tersebut dipekatkan pada suhu 40oC sampai diperoleh isolat isoflavon.

17

Identifikasi isoflavon dilakukan dengan menggunakan Kromatografi Lapis Tipis (KLT). Isolate isoflavon yang dihasilkan dilarutkan dalam metanol dan dilakukan proses KLT dengan menggunkan fasa diam Silika gel GF 254 ukuran 6x5 cm, fase gerak kloroform : methanol (8:1) dan penampak nodanya adalah lampu UV pada panjang gelombang 254 nm.

h. Analisis Kadar Isoflavon


Sampel yang telah bebas lemak disuntikkan ke dalam alat Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (HPLC) dan dilihat kromatogram yang dihasilkan selanjutnya dibandingkan dengan kromatogram standar. Adapun kondisi pengukuran adalah sebagai berikut (Henschen et al, 1984): Kolom Fase gerak : -Bondapak C-18 125 A 10 (3,9 x 300 mm) : Asetonitril : Air (80 % : 20 %)

Kecepatan Alir : 1 mL/ menit

3.3.4

Analisis Mikroba

a. Uji E.Coli
Dibuat media Luria Betani (LB) dengan cara menimbang 1 gram tripton, 1 gram NaCl, 0,5 gram, Yeast dan 2 gram bakto agar kemudian dilarutkan dalam 100 ml air. Larutan disterilisasi dengan autoclave pada suhu 121oC selama 15 menit. Media yang telah steril dituangkan ke dalam 6 cawan Petri. Dibiarkan beberapa saat hingga agar membeku dan media siap digunakan. Dipipet 1 ml sampel dengan menggunakan pipet steril, kemudian dimasukkan ke dalam media secara aseptik. Dilakukan spread agar sampel menyebar dan menyerap ke seluruh bagian media. Cawan Petri yang telah dispread disimpan di dalam incubator suhu 37oC selama 3 hari. Dihitung jumlah koloni yang tumbuh.

b. Uji Jamur
Dibuat media Potatoes Dextrose Agar (PDA) dengan cara menimbang 3,9 gram Potatoes Dextrose Agar (PDA) padat dan dilarutkan dalam 100 mL air. Larutan disterilisasi dengan autoclave pada suhu 121oC selama 15 menit. Media yang telah steril dituangkan ke dalam 6 cawan Petri. Dibiarkan beberapa saat hingga agar membeku dan media siap digunakan. Dipipet 1 mL sampel dengan menggunakan pipet steril, kemudian dimasukkan ke dalam media secara aseptik. Dilakukan spread agar sampel menyebar dan menyerap ke seluruh

18

bagian media. Cawan Petri yang telah dispread disimpan di dalam incubator suhu 37oC selama 3 hari. Dihitung jumlah koloni yang tumbuh.

3.4 Uji Organoleptik


Analisis Organoleptik dalam penelitian ini menggunakan metode Hedonic Scale Scoring (uji kesenangan menggunakan skala penilaian) dengan kriteria pengujian organoleptik meliputi aroma dan rasa. Pada penilaian organoleptik ini sampel susu tempe dibandingkan dengan susu kedelai komersial di pasaran. Sampel disajikan secara homogen kepada masyarakat (Peryam, 1952). Sampel dan pembanding disajikan acak dengan memberikan kode tertentu kepada 10 orang panelis. Hasil penilaian dinyatakan skala hedonik yang dimulai dari nilai 1 (tidak suka), 2 (agak tidak suka), 3 (biasa/agak suka), 4 (suka) dan 5 (sangat suka). Setiap panelis diberi lembaran daftar penilaian yang dapat diisi sesuai dengan penilaiannya. Skala hedonik hasil penilaian panelis selanjutnya ditransformasikan menjadi skala numerik dengan angka naik menurut tingkat kesukaan dan selanjutnya dilakukan analisis statistik terhadap skala numerik tersebut. Jumlah panelis adalah 10 orang.

19

4 Hasil Dan Pembahasan

4.1 Susu Tempe


Susu tempe yang diperoleh dari hasil ekstraksi tempe memiliki penampilan seperti pada Gambar 4.1

Gambar 4.1 Susu tempe

Warna susu tempe adalah kuning cerah dengan wangi dan rasa khas tempe. Warna kuning larutan pada susu dapat dijadikan sebagai indikator awal keberadaan senyawa isoflavon. Flavon berasal dari flavus yang artinya adalah yellow (kuning), warna dari sebagain besar senyawa flavon. Variasi suhu pemanasan tepung tempe tidak mempengaruhi wangi dan rasa dari susu tempe. Setelah disimpan di dalam kulkas selama satu minggu, penampilan dan rasa dari susu tempe tetap sama. Warna susu tempe berbeda dengan susu kedelai dan juga susu sapi. Larutan susu sapi dan susu kedelai berwarna putih. Hal tersebut karena adanya emulsi antara lemak, protein dan air. Sedangkan pada susu tempe, kandungan lemak dan proteinnya tidak terlalu besar sehingga emulsi yang terbentuk tidak berwana putih. Selain itu, pada susu tempe jumlah monomer dari protein tempe dan jumlah rantai karbon pada kandungan lemaknya sudah lebih pendek dibandingkan dengan susu sapi.

4.1.1 Kelarutan Protein Tempe


Variasi temperatur pada proses pembuatan susu tempe bertujuan untuk mengetahui kelarutan optimum dari protein tempe. Pada suhu yang sangat tinggi terjadi denaturasi protein. Proses denaturasi menyebabkan protein terlarut menjadi berkurang. Sedangkan pada suhu yang

rendah kelarutan protein di dalam air tidak terlalu besar. Dari hasil penelitian didapatkan hasil sebagai berikut :

Gambar 4.2 Pengaruh temperatur terhadap kadar protein terlarut

Dari grafik di atas, terlihat bahwa protein tempe memiliki kelarutan optimum pada suhu 70oC. Pada suhu di atas 70oC, kelarutan protein tempe terus berkurang, hal tersebut dikarenakan proses denaturasi protein. Kelarutan protein tempe lebih kecil dibandingkan kelarutan protein kedelai. Meskipun proses fermentasi menghasilkan protein dengan rantai yang lebih pendek, tetapi karena adanya proses pemanasan pada saat pembuatan tempe, protein pada kedelai menjadi terdenaturasi sehingga kelarutannya menjadi berkurang. Susu tempe memiliki kadar protein yang lebih kecil dibandingkan dengan susu kedelai. Susu tempe hanya memiliki kadar protein sebesar 0,3% (w/v) sedangkan susu kedelai memiliki kadar protein mencapai 3% (w/v). Meskipun memiliki kadar protein yang lebih kecil, namun susu tempe memiliki keunggulan dalam hal nutrisi. Karena protein pada susu tempe memiliki struktur yang lebih pendek dibandingkan dengan susu kedelai, maka proteinnya dapat lebih mudah diserap oleh tubuh pada saat proses pencernaan.

4.1.2 Kelarutan Isoflavon


Proses fermentasi kacang kedelai menyebabkan pembentukan senyawa antioksidan yang lebih kuat dibandingkan dengan senyawa isoflavon pada kedelai. Pada kacang kedelai, isoflavon yang ada masuk ke dalam golongan glikosida sedangkan pada hasil fermentasi isoflavon yang terbentuk adalah golongan aglikon. Antioksdan yang termasuk golongan aglikon adalah daidzein, genestein dan faktor-2. Senyawa golongan aglikon ditemukan lebih banyak pada tempe dibandingkan pada kedelai. Menurut penelitian yang dilakukan oleh

21

Handayani pada tahun (2006) dinyatakan bahwa faktor-2 adalah senyawa antioksidan yang memiliki afinitas terhadap Er paling kuat. Dari hasil kromatografi lapis tipis didapatkan hasil sebagai berikut:

Gambar 4.3 Hasil kromatografi lapis tipis


Pengukuran dilakukan menggunkan plat silika gel GF 254, eluen adalah metanol: air 8:1

Gambar di atas menunjukkan kandungan senyawa isoflavon secara kualitatif. Variasi temperatur pada saat pembuatan susu tempe menghasilkan kandungan senyawa isoflavon yang berbeda pula. Sebagai pembanding digunakan tempe dan kedelai. Isoflavon yang diekstrak dari susu yang diperoleh pada pemanasan suhu 60oC dan 90oC tidak ditemukan totolan pada lempeng KLT. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada pembuatan susu dengan temperatur tersebut isoflavon pada tempe tidak larut. Sedangkan pada suhu 80oC memiliki kandungan isoflavon yang paling banyak.

4.1.3 Kadar Isoflavon


Penentuan kadar Isoflavon dalam susu tempe dilakukan dengan menggunakan alat Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Sebagai fasa gerak adalah acetonitrol:air 8:2 dan fasa diam kolom C18. Dari penelitian yang dilakukan, didapatkan hasil sebagai berikut :

22

1 3

Gambar 4.4 Kromatogram sampel

Tabel 4.1 Waktu retensi dan luas area

No. 1 2 3 4

Waktu retensi [mV.s] 1,333 2,023 2,663 9,120 Total

Luas Area [mV] 48,752 917,444 137,942 117,426 1221,564

Area [%] 3,559 42,641 4,258 1,240 51,697

Tinggi [%] 4,0 75,1 11,3 9,6 100,0

Senyawa yang memiliki kepolaran paling besar akan memiliki waktu retensi yang paling besar. Hal tersebut dikarenakan fasa diam bersifat polar. Area pertama pada waktu retensi 1,333 adalah senyawa glyctein, pada waktu retensi 2,023 adalah daidzein sedangkan pada waktu retensi 2,663 adalah faktor-2 (6,7,4-trihidroksi isoflavon). Hal tersebut menunjukkan bahwa faktor-2 merupakan isoflavon yang paling polar. Setelah dibandingkan dengan standar, diperoleh kadar masing-masing senyawa isoflavon adalah sebagai berikut:
Tabel 4.2 Kadar senyawa Isoflavon dalam susu tempe

No 1. 2. 3.

Senyawa Genestein Daidzein Faktor-2

Kadar (ppm) 0,44 8,30 1,20

Standar dan perhitungan ada di lampiran F

Daidzein merupakan isoflavon yang memiliki kadar paling besar. Hal ini sama dengan hasil analisis dengan menggunakan KLT yang menunjukkan bahwa daidzein memiliki luas totol yang paling besar dibandingkan dengan senyawa isoflavon lainnya. Pada analisis dengan

23

menggunakan KLT diperoleh 4 titik sama dengan hasil yang diperoleh pada analisis menggunakan KCKT.

4.1.4 Kadar Lemak


Pengukuran kadar lemak dilakukan dengan cara ekstraksi menggunakan pelarut Heksana. Lemak merupakan suatu senyawa nonpolar sehingga akan lebih mudah larut dalam pelarut nonpolar. Lemak yang terkandung dalam susu tempe lebih banyak berada dalam bentuk asam lemak bebas. Asam lemak dapat larut dalam air karena membentuk misel yaitu suatu bola di mana gugus hidrofilik berada pada lapisan luar dan gugus hidrofobik berada tersembunyi di bagian dalamnya. Dengan cara ini, maka tetesan tersebut dapat larut dalam air yang bersifat polar (Lehninger, 1982). Ketika ditambahkan pelarut nonpolar dan dilakukan pengocokan yang keras, maka kesetabilan dari misel akan rusak sehingga terjadi perpindahan asam lemak dari fasa air menuju ke dalam fasa organik. Proses selanjutnya adalah penghilangan pelarut organik dengan cara penguapan sehingga hanya diperoleh fraksi lemak saja. Proses penguapan pelarut dilakukan pada suhu 105oC sekaligus untuk menghilangkan air yang masih tersisa. Pemanasan pada suhu tersebut tidak menguapkan asam lemak. Lemak yang terkumpul selanjutnya ditimbang dan dilakukan perhitungan sehingga diperoleh kadar lemak sebesar 0,18% (w/v). Lemak yang ada di dalam susu tempe baik untuk dikonsumsi karena berbentuk asam lemak yang memiliki kelarutan dalam air yang cukup baik dibandingkan dengan jenis lemak lain. Asam lemak dalam susu tempe diindikasikan berbentuk asam lemak tidak jenuh. Asam lemak tak jenuh baik bagi tubuh karena dapat menghambat pertumbuhan kanker. Kadar lemak dalam susu tempe yang kecil menyebabkan penampilannya tidak sama dengan susu kedelai dan juga susu sapi. Pada susu sapi dan kedelai rata-rata memiliki kadar lemak sebesar 3%. Lemak akan membentuk emulsi dengan air menghasilkan suatu lapisan yang khas. Sedangkan pada susu tempe selain kadar lemaknya yang kecil, lemak yang ada berbentuk asam lemak yang cukup larut di dalam air sehingga tidak perlu membuat emulsi seperti pada susu kedelai atau susu sapi. Untuk membuat susu tempe yang memiliki tekstur yang mirip dengan susu kedelai atau susu sapi dapat dilakukan dengan cara penambahan lemak dan senyawa pengemulsi.

4.1.5 Kadar Karbohidrat


Penentukan kadar karbohidrat dilakukan dengan cara Luff Schoorl yang bekerja berdasarkan prinsip reduksi Cu2+ yang ada di dalam larutan Luff Schoorl oleh gula pereduksi yang ada di

24

dalam sampel. Metode Luff School biasa juga disebut sebagai penentuan kadar gula pereduksi. Sampel yang mengandung gula pereduksi direaksikan dengan Cu2+ yang ditambahkan secara berlebih tetapi terukur. Untuk mempercepat reaksi maka dilakukan pemanasan. Larutan Cu2+ yang tersisa akan mengokidasi KI yang ditambahkan membentuk I3-. Larutan ini akan mengosidasi Na2S2O3 membentuk Na2S4O6. Mol Na2S2O3 yang digunakan untuk mereduksi I3- setara dengan mol Cu2+ yang tidak habis bereaksi dengan sampel. Untuk menentukan mol Cu2+ yang bereaksi dengan sampel maka dilakukan blanko yang hanya berisi larutan Luff School dan KI. Sehingga mol gula pereduksi adalah mol Na2S2O3 blanko dikurangi dengan mol Na2S2O3 yang berisi sampel. Dari penelitian yang telah dilakukan, didapatkan kadar karbohidrat yang diukur sebagai gula pereduksi adalah 0,48% (w/v). Karbohidrat merupakan polimer dari glukosa, semakin panjang rantainya maka kelarutan dalam air akan semakin kecil dan kebalikannya. Karbohidrat dalam kedelai akan tergedradasi oleh enzim amilase yang dikeluarkan oleh Rhizopus Oligosporus selama proses fermentasi menghasilkan karbohidrat yang memiliki rantai lebih pendek sehingga proses fermentasi akan menghasilkan karbohidrat terlarut yang lebih besar. Kadar karbohidrat ditentukan pada saat susu baru dibuat dan belum ditambah dengan essense dan pemanis. Hal tersebut bertujuan untuk mengetahui jumlah karbohidrat terlarut saja sedangkan untuk mengetahui kadar gula total cukup dilakukan dengan cara menambahkan persen kadar gula yang ditambahkan dengan persen kadar karbohidrat terlarut.

4.1.6 Kandungan Mikroba


Proses pasteurisasi bertujuan untuk mematikan mikroba yang ada di dalam susu. Ada dua variasi yang dilakukan yaitu pemansan pada suhu 70oC selama 10 menit dan 80oC selama 5 menit. Setelah proses pemanasan, suhu larutan harus segera diturunkan mencapai 4oC untuk memberikan efek kejut kepada mikroba sehingga jumlah yang mati menjadi lebih banyak. Apabila dalam larutan susu mengandung mikroba termofilik, maka pemanasan pada suhu 80oC tidak dapat mematikan jenis mikroba tersebut. Proses pemanasan tidak boleh terlalu tinggi, karena semakin tinggi suhu pemansan dapat merusak senyawa organik yang ada dalam susu. Dari hasil penelitian yang dilakukan, didapatkan hasil sebagai berikut :

25

Tabel 4.3 Kandungan mikroba

No Bakteri Jamur

Suhu Pemanasan 70oC + + 80oC -

Bakteri dan jamur masih tumbuh pada pemanasan 70oC sehingga susu belum layak dikonsumsi. Sedangkan pemanasan pada suhu 80oC bakteri dan jamur telah mati sehingga susu sudah layak untuk dikonsumsi. Bila kandungan mikroba dan jamur masih ada di dalam susu, maka dapat membahayakan konsumen, terutama kandungan bakteri Escherci coli yang dapat menyebabkan sakit perut. Sedangkan keberadaan jamur dapat menyebabkan penurunan kualitas dari susu. Jamur dan bakteri akan menghasilkan enzim yang dapat mendegradasi senyawa-senyawa yang ada di dalam susu. Proses pasteurisasi hanya mematikan mikroba, tetapi tidak dapat membunuh atau menghilangkan spora yang ada di dalam susu sehingga apabila susu pasteurisasi tidak disimpan pada suhu yang sesuai (di bawah 4oC) maka spora akan tumbuh membentuk bakteri dan jamur hidup. Pemanasan pada suhu yang sangat tinggi dan waktu yang lama akan menyebabkan denaturasi protein. Meskipun mikroba dan spora telah mati, tetapi nutrisi dan gizi dari susu sudah tidak bisa diperoleh karena telah rusak pada saat proses pemanasan. Proses yang paling baik untuk membunuh mikroba beserta sporanya adalah dengan cara UHT (Ultra High Temperature), yaitu pemanasan pada suhu tinggi dengan waktu yang singkat. Kandungan nutrisi dan gizi yang ada di dalam susu tidak akan terlalu berkurang karena pemanasan hanya dilakukan pada waktu yang singkat (sekitar 1 detik).

4.1.7 Stabilitas pH dan Protein


Untuk mengetahui pengaruh waktu penyimpanan terhadap kesetabilan larutan susu, maka dilakukan pengukuran pH dan kadar protein secara Bradford. Untuk hubungan antara waktu dan pH tergambar dalam grafik di bawah ini:

26

10 9 pH 8 pH 7 6 5 0 2 4 Waktu 6 8

Gambar 4.5 Profil pH terhadap lama penyimpanan


Data dapat dilihat pada lampiran

Pada awalnya larutan susu memiliki pH sebesar 7,05 dan turun menjadi 7. Setelah hari ke-7 larutan susu tetap memiliki pH 7. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada aktivitas mikroba penghasil asam ataupun basa. Bila di dalam larutan terjadi aktivitas mikroba maka pH larutan akan berubah. Mikroba yang memungkinkan tumbuh adalah Rhizopus oligosporus yang berasal dari tempe. Spora yang ada akan tumbuh kembali menjadi Rhizopus oligosporus yang aktif apabila kondisinya sesuai. Keberadaan Rhizopus oligosporus akan menyebabkan terjadinya degradasi protein menjadi amoniak sehingga pH larutan akan berubah menjadi basa (>7). Reaksi yang mungkin terjadi adalah sebagai berikut ; RCH(NH3+)COO- + nO2 nCO2 + y H2O + NH4+ + OH-

Kadar Protein (%)

0.300 0.280 0.260 0.240 0.220 0.200 0 2 4 Waktu (hari) 6 8

Gambar 4.6 Profil kadar protein terhadap lama penyimpanan


Data dapat dilihat pada lampiran

Hampir sama dengan kesetabilan pH, kandungan protein pada larutan susu tetap stabil pada kadar 0,23% (w/v). Analisis kestabilan protein menggunakan metode Bradford karena teknik ini hanya mengukur protein yang memiliki gugus hidroksi dan siklik. Apabila ada aktivitas mikroba di dalam larutan susu tempe maka kadar protein dengan cara bradford akan berkurang. Selain dengan mengukur kadar protein dengan cara Bradford, untuk mengetahui

27

kerusakan protein pada susu tempe dapat dilakukan dengan cara mencium wangi dari larutannya. Apabila tercium bau amoniak maka telah terjadi kerusakan protein. Untuk mengukur kesetabilan protein tidak digunakan metode Kjeldahl karena metode tersebut akan mengukur kadar Nitrogen total sehingga meski protein telah terdegradasi membentuk senyawa nitrogen yang baru, kadarnya akan tetap sama karena Nitrogen yang terdegradasi akan tetap terukur sebagai kadar protein.

4.1.8 Uji Organoleptik


Dari uji organoleptik yang dilakukan, didapatkan hasil sebagai berikut :
Tabel 4.4 Rasa No Parameter Gula (7 %) Gula (8%) Susu Kedelai Komersil

1 2

Rasa Keterangan

1,87<<2,82 Tidak suka

2,81 < > 3,49 Suka

3,79 < > 5,00 Sangat suka

Data dan cara perhitungan dapat dilihat pada lampiran E

Pada konsentrasi gula sebesar 7% (w/v) rasa dari susu tempe tidak disukai sedangkan pada konsentrasi gula sebesar 8% (w/v) rasa susu tempe disukai. Penambahan gula mampu meningkatkan cita rasa dari susu tempe yang dibuat. Semakin banyak gula yang ditambahkan maka rasa dari susu semakin disukai. Namun, apabila konsentrasi gula terlalu besar, susu menjadi kurang baik bagi para penderita diabetes. Penelitian ini mengambil responden anak muda yang memang lebih menyukai rasa dibandingkan nilai gizi Apabila responden berasal dari kelompok usia yang lebih tua, kemungkinan hasil dari uji organoletpik akan berbeda pula. Selain itu, apabila survei dilakukan terhadap masyarakat yang menjadikan tempe sebagai makanan pokok, kemungkinan hasilnya akan berbeda pula, karena rasa sangat dipengaruhi oleh jenis responden
Tabel 4.5 Aroma No Parameter Vanila (0,25 %) Vanila (0,5%) Susu Kedelai Komersil

1 2

Aroma Keterangan

1,92 < > 2,76 Tidak suka

3,12 < > 3,88 Suka

3,38 < > 4,81 Sangat suka

Data dan cara perhitungan dapat dilihat pada lampiran E

28

Dari survei yang dilakukan, diperoleh hasil bahwa penambahan vanila sebesar 0,5% (v/v) sudah mampu meningkatkan aroma dari minuman tempe. Aroma khas dari tempe kurang disukai oleh responden. Dengan penambahan vanila, aroma tempe menjadi tertutup.

4.2 Tepung Tempe


Tepung tempe diperoleh dari hasil pengeringan bagian yang tidak larut pada saat pembuatan susu tempe. Pengeringan menggunkan alat dehydrator yang bekerja berdasarkan prinsip pengembusan udara panas. Suhu udara dibawah 100oC sehingga kerusakan komponenkomponen dalam tepung dapat diminimalisasi. Tampilan dari tepung tempe yang belum diayak dapat dilihat pada Gambar 4.7, sedangkan untuk tepung yang sudah diayak dengan ukuran 40 mesh dapat dilihat pada Gambar 4.8.

Gambar 4.7 Tepung tempe sebelum diayak

Gambar 4.8 Tepung tempe setelah diayak

Tepung tempe yang diperoleh berwarna cokelat. Hal tersebut disebabkan adanya reaksi browning terhadap bagian luar dari tepung tempe. Tempe mengandung asam lemak tidak jenuh dan juga antioksidan yang apabila terkena udara akan teroksidasi sehingga menghasilkan warna cokelat. Bagian yang rusak tidak tersebar dengan rata. Bagian dalam

29

yang terlindungi dari udara tidak berubah menjadi cokelat, tetapi bagian yang langsung kontak dengan udara luar akan berwarna cokelat. Rasa dan aroma tepung tempe sama dengan rasa dari tempe. Tepung tempe yang belum diayak memiliki tekstur yang keras, tetapi apabila dilarutkan di dalam air akan mudah mengurai dan membentuk suatu tekstur yang khas dan hampir sama dengan sebelum dikeringkan. Meskipun demikian, tepung tempe yang belum diayak memiliki penampilan yang kurang menarik. Tepung tempe sebaiknya dikemas dalam bentuk yang sudah halus sehingga lebih mudah digunakan Tepung tempe dapat diolah menjadi berbagai macam produk, terutama produk yang membutuhkan penambahan proetin seperti tepung terigu. Tepung tempe dapat pula dikonsumsi secara langsung yaitu dengan cara menambahkan garam kemudian menggorengnya. Sehingga tepung tempe dapat digunakan sebagai alternatif untuk berbagai macam makanan yang membutuhkan tepung.

4.2.1

Kadar Protein

Analisis kadar protein tepung tempe menggunakan metode Kjeldahl. Dari penelitian yang telah dilakukan diperoleh kadar protein sebesar 38.33% (data dan perhitungan dapat dilihat pada Lampiran D). Kadar protein pada tepung tempe lebih banyak dibandingkan pada tempe, hal tersebut dikarenakan pada tepung tempe kadar airnya kecil. Nilai nutrisi protein tempe lebih baik dibandingkan dengan protein kedelai. Proses fermentasi menghasilkan protein dengan rantai lebih pendek sehingga protein akan lebih mudah dicerna oleh tubuh. Konsumsi tepung tempe tidak akan menyebabkan perut kembung karena senyawa antigizi yang ada pada kedelai telah terdegradasi menghasilkan senyawa yang lebih sederhana.

4.2.2

Kadar Serat Kasar

Serat merupakan suatu polisakarida yang memiliki ikatan -glukosida karena ikatan tersebut maka serat tidak akan terdegradasi oleh enzim -amiliase dan juga asam lambung. Dengan menggunakan sifat tersebut maka kadar serat kasar dapat ditentukan dengan menggunakan metode gravimetri. Sampel dihidrolisis dalam larutan H2SO4 1,25% selama 2 jam. Selama proses pemanasan maka seluruh polisakarida akan menjadi monosakarida kecuali serat kasar. Monosakarida yang dihasilkan akan larut di dalam air. Bagian yang tidak larut di dalam air adalah serat kasar. Dari penelitian yang dilakukan, diperoleh kadar serat kasar tepung tempe adalah 9,71 % (w/w) (data dan perhitungan dapat dilihat pada Lampiran D).

30

Serat merupakan senyawa yang baik bagi kesehatan karena dapat mencegah sembelit dan wasir. Serat juga dapat mengurangi kolesterol karena air-serat di dalam tubuh dapat mengikat asam empedu yang mengandung kolesterol yang selanjutnya akan dibuang melalui saluran pencernaan.

4.2.3

Kadar Lemak

Kadar lemak dalam tepung tempe ditentukan dengan menggunakan metoda gravimetri. Lemak yang terkandung di dalam sampel diekstrak dengan menggunakan heksana sehingga akan berpindah dari fasa padat ke dalam fasa organik. Proses selanjutnya adalah menguapkan pelarut sehingga akan diperoleh lemak murni. Kadar lemak adalah banyaknya lemak yang terekstrak dibagi dengan berat sampel dikali 100%. Dari penelitian yang dilakukan, diperoleh kadar lemak dalam tepung tempe sebesar 3,48% (data dan perhitungan dapat dilihat pada Lampiran D). Lemak dalam tepung tempe bersifat tidak larut dalam air karena lemak yang larut dalam air telah terekstrak pada saat pembuatan susu tempe. Meskipun demikian, lemak dalam tempe adalah lemak yang baik untuk dikonsumsi oleh tubuh karena berasal dari proses fermentasi.

31

5 Kesimpulan Dan Saran

5.1 Kesimpulan
Dari percobaan ini diperoleh bahwa suhu optimum untuk pembuatan susu tempe adalah 70oC. Susu tempe yang diperoleh memiliki kadar isoflavon genestein, daedzein, faktor-2 berturut-turut adalah 0,44 ppm, 8,3 ppm, dan 1,2 ppm. Uji organoleptik menunjukkan penambahan gula sebesar 7% (w/v) dan 8% (w/v) memiliki nilai rasa berturut 1,87<<2,82 dan 2,81<<3,49. Penambahan vanila sebesar 0,25 % (v/v) dan 0,5 % (v/v) memiliki nilai aroma berturut-turut 1,92<<2,76 dan 3,12<<3,88. Tepung tempe yang diperoleh memiliki kadar protein 38,33%, lemak 3,48 % dan serat kasar 9,71 %

5.2 Saran
Dilakukan uji organoleptik terhadap susu tempe dengan responden dari berbagai macam golongan masyarakat. Selain itu dicoba juga berbagai macam variasi rasa dan aroma untuk meningkatkan cita rasa dari susu tempe. Untuk tepung tempe, perlu dilakukan analisis lebih lanjut meliputi kandungan asam lemak, bilangan iod, dan bilangan peroksida.

32

DAFTAR PUSTAKA

Barz, W., Heskamp, Klus, K., Rehms, H. dan Steinkamp, R. Recent Aspect of Protein, (1993) Phytate and Isoflavone Metabolism by Microorganisms Isolated from Tempe-Fermentation. Tempo Workshop, Jakarta. Barz, W. Ang G.B. Papendorf, (1991). Metabolism Of Isoflavones And Formation Of Factor-2 By Tempeh Producing Microorganism Tempeh Workshop, Cologne. Kao.T.H and B. H. Chen, (2002) An Improved Method for Determination of Isoflavones in Soybean Powder by Liquid Chromatography. Department of Nutrition & Food Science, Fu Jen University, Taipei, Taiwan, 1-4. Handayani, (2006), Skripsi, Interaksi 6,7,4-TrihidroksiIsoflavom(Faktor-2) dengan Estogen Reseptor , Intitut Teknologi Bandung, 73-80. Hermana, (1985). Pengolahan Kedelai Menjadi Berbagai Makanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. 442-444 Jha, H.C., Bockemuhl, S., and Egge, H. (1990), Adriamycin Induced Mitochondrial Lipid Peroxoxidation and Its Inhibition by Tempe Isoflavonoids and their derivatives, makalah pada Second Asian Symposium on Non-salted Soybean Fermentation, 13-15 Februari 1990, Jakarta Jogiani, (1992), Mempelajari Pengaruh Beberapa Cara Ekstarksi Keelai dan Jenis Bahan Pengisi Terhadap Mutu Susu Kedelai Bubuk yang Dihasilkan, Institut Teknologi Bandung, 32-55. Koswara, S., (1992), Teknologi Pengolahan Kedelai Menjadi Makanan Bermutu, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan. Mardiah, (1992), Mempelajari Sifat Fungsional dan nilai Gizi Tepung Tempe Serta Pengembangan Produk Olahannya Sebagai Makanan Tambahan Bagi Anak, IPB, 54-85. Murakami, H., Asakawa, T., Terao, J. Dan Matsushita, S. (1984)., Antioxydantive Stability of Tempeh and Liberation of Isoflavones by Fermentation. Agric. Biot. Chem., 48 (12), 2971-2975

33

Murata, K., (1985), Formation of Antioxidant and Nutrient in Tempeh. Asian Symposium on Non-salted Soybean Fermentation, Tsukuba, Japan. Nurhayati, Wakhida, (2001) Identifikasi dan Karakterisasi Komponen Pahit pada Tempe Kedelai, IPB, 30-50 Lehninger, (1982), Dasar-dasar Biokimia, Jakarta, Erlangga, 341-349. Lembono, (1989), Pembuatan Susu Bubuk Kedelai dengan Alat Pengering Semprot, IPB, 3254 Lina, H., (2003), Skripsi, Pembuatan Keju Tahu yang Mengandung Faktor-2 Menggunakan Kapang Aspergilus Niger dan Penicilium Sp. ITB. 30-40 Shurtleff, W., Aoyagi,A., (1981), Tempeh Production Volume II, Harver and Row Publisher, New York Smith, S.J. dan A.K. Circle, (1972). Soyebean, Chemistry adn Tech ology. The AVI Publ Co, Westport Connecticut Steinkraus, K.H (2002), Comprehensive Reviws in Food Science and Food Technologist, cornell University Itchaca, New York. Tarwotjo, Suspendi dan Martini, (1985), Tempe Dalam Program Kesehatan dan Gizi Nasioanal. Di dalam Hermana dan Karyadi, D (eds). Simposium Pemanfaatan Tempe dalam peningkatan Upaya Kesehatan dan Gizi. Puslitbang Gizi, Balitbang Kes., Depkes RI. Winarno. F.G., (1976), Fermented Vegetable Protein and Related Foods of Southeast Asia with Special Reference to Indonesia, IPB, 1-4

34

Lampiran A Kromatogram Standar Daidzein

[V] Std.Deidzein dan Glystein ulang 1.6 2 1.2 Voltage 1.0 0.8 1 1.043 2.910 3 0.6 0.4 0 5 10 Time 15 20 [min.] 2.123 1.4

Gambar A. 1 Kromatogram standar daidzein Tabel A. 1 Waktu retensi dan luas area

Reten. Time [min] 1 2 3 Total

Area Height [mV.s] [mV] 1.043 4.438 2.123 12042.355 2.910 35.440 12082.233

Area [%] 1.688 1250.685 3.287 1255.661

Height [%] 3.673e-02 99.7 0.3 100.0

35

Lampiran B Kurva Standar BSA

Gambar A. 2 Kurva standar BSA Tabel A. 2 Data absorban larutan standar BSA No
1

Konsentrasi BSA (mg/ml)


1

Absorban Rata-rata
0,015 0,024 0,030 0,031 0,032 0,070 0,078 0,080 0,196 0,169 0,169 0,255 0,255 0,262 0,327 0,332 0,327 0,402 0,402 0,409 0,556 0,564 0,562 0,020

2.5

0,031

0,076

10

0,169

15

0,257

20

0,329

25

0,404

50

0,561

36

Lampiran C Stabilitas pH dan Protein

Tabel A. 3 Pengaruh lama penyimpanan terhadap pH No Hari Ke 1 0 2 1 3 2 4 4 5 7 pH 7,05 7,00 7,00 7,01 7,00

Tabel A. 4 Pengaruh lama penyimpanan terhadap kadar protein

No Hari Ke- Absorban 0,366 0,384 0,346 0,387 0,390 0,369 0,377 0,372 0,379 0,381 0,374

Rata-rata

Konsentrasi Konsentrasi Protein Protein (mg/ml) (%(w/v)) 22,81 22,78 22,69 22,84 22,97 0,228 0,228 0,227 0,228 0,230

1 2 3 4 5

0 1 2 4 7

0,375 0,374 0,373 0,375 0,377

37

Lampiran D Data dan Perhitungan Kadar Protein, Lemak dan Serat Kasar Pada Tepung Tempe

a. Kadar Lemak
Data : Berat wadah + lemak Berat wadah kosong Berat lemak Volume sampel Perhitungan : Berat lemak x 100% Volume sampel 0,0450 Kadar lemak = x100% 25 Kadar lemak = 0,18 % (w/v) Kadar lemak = = 25 ml = 25,4571 gram = 25,4120 gram = 0,0450 gram

b. Kadar Serat Kasar

Data : Berat kertas saring + serat = 0,7047 gram Berat kertas saring kosong= 0,5595 gram Berat serat = 0,1452 gram Berat sampel Perhitungan :
Berat serat x 100% Berat sampel 0,1452 Kadar lemak = x100% 1,4953 Kadar lemak = 9,71 % (w/w) Kadar lemak =

= 1,4953 gram

c. Kadar Protein

Data : Berat sampel = 0,3144 gram Volume penitar = 7,25 ml Konsentrasi Penitar = 0,0475 38

Perhitungan
Vp x 6,25 x Mp x 4 x 100% 314,4 7,25 x 6,25 x 0,0475 x 4 x 100% Kadar Protein = 314,4 Kadar Protein =

39

Lampiran E Uji Organoleptik

Tabel A. 5 Rasa No Konsentrasi Konsentrasi Gula 7 % Gula 8 % 2 3 2 3 2 3 2 3 2 3 2 3 2 3 2,5 2,5 4 4 3 4 2,35 3,15 Susu Kedelai Komersil 5 5 5 5 4 4 3 5 3 5 4,4

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Rata-rata Standar Deviasi Confidence Level (95.0%) Nilai bawah Nilai atas
Tabel A. 6 Aroma No

0,668 0,478 1,87 2,82

0,474 0.339 2,81 3,49

0,843 0,603 3,79 5,00

Konsentrasi Konsentrasi vanila 0,25 % vanila 0,5 %

Susu Kedelai Komersil

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Rata-rata Standar Deviasi Confidence Level (95.0%) Nilai bawah Nilai atas

3 2 2 2 2 2 2 3.5 3 2 2.35 0,579 0,414 1,93 2,76

4 3 3 4 3 3 4 4 4 3 3.5 0,527 0,377 3,12 3,88

4 4 5 5 4 4 2 5 3 5 4.1 0,994 0,711 3,38 4,81

40

Nilai bawah adalah nilai rata-rata dikurangi dengan nilai Confidence Level (95.0%), sedangkan nilai atas adalah nilai rata-rata dijumlah dengan nilai Confidence Level (95.0%).

Perhitungan nilai standar deviasi dan Confidence level (95,0%) menggunakan program data analysis yang ada di Microsoft Word. Dapat juga dilakukan dengan cara manual menggunakan persamaan di bawah ini :

Standar Deviasi =

n x 2 - ( x) 2 n-(n-1)

41

You might also like