You are on page 1of 22

LAPORAN KASUS I

Rhinitis Alergi








Oleh :
Nama : Yulfa Rizki Amita
NIM : H1A 007 058



DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA
BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG, DAN TENGGOROKAN
RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
2011
BAB I
PENDAHULUAN

Alergi hidung adalah keadaan atopi yang aling sering dijumpai, menyerang 20 dari
populasi anak-anak dan dewasa muda di Amerika Utara dan Eropa Barat. Di tempat lain, alergi
hidung dan penyakit atopi lainnya kelihatannya lebih rendah, terutama pada negara-negara yang
kurang berkembang. Penderita Rhinitis alergika akan mengalami hidung tersumbat berat, sekresi
hidung yang berlebihan atau rhinore, dan bersin yang terjadi berulang cepat.
Seperti diketahui, meskipun data-data yang akurat belum ada di Indonesia tetapi rinitis
dan sinusitis merupakan masalah kesehatan yang banyak dijumpai pada praktek sehari-hari.
Menurut American Academy oI Otolaryngology Head & Neck Surgery 1996 istilah sinusitis
diganti dengan rinosinusitis karena dianggap lebih akurat dengan alasan, secara embriologis
mukosa sinus merupakan lanjutan mukosa hidung, sinusitis hampir selalu didahului dengan
rinitis, gejala-gejala obstruksi nasi, rinore dan hiposmia dijumpai pada rinitis ataupun sinusitis.
Rinosinusitis dideIinisikan sebagai peradangan lapisan mukoperiosteum hidung maupun sinus.
Konsep yang telah diketahui bersama yang memegang peranan penting terjadinya
rinosinusitis adalah komplek osteomeatal. Dimana inIlamasi pada mukosa osteomeatal,
terganggunya aerasi-drainase sinus dan kegagalan Iungsi transpor mukosiliar merupakan
penyebab rinosinusitis. Penyakit ini merupakan penyakit umum yang dapat mengenai anak-anak
ataupun dewasa, pada pria dan wanita tidak ada perbedaan yang bermakna.
1




BAB II
TIN1AUAN PUSTAKA

I.1 Definisi
Rinitis alergi secara klinis dideIinisikan sebagai gangguan Iungsi hidung yang terjadi
setelah paparan alergen melalui inIlamasi yang diperantarai IgE pada mukosa hidung.
1,2
I.2 Epidemiologi
Rinitis adalah masalah klinis yang paling umum terjadi pada pasien dengan alergi.
Rinitis secara konsisten berada pada urutan enam penyakit kronis utama di Amerika Serikat.
Morbiditas dari rinitis menyebabkan kualitas hidup yang menurun dikarenakan sakit kepala,
mudah lelah, gangguan kognisi, dan eIek samping obat-obatan. Rinitis alergi dapat menurunkan
kualitas hidup, antara lain Iungsi Iisik, problem bekerja, nyeri badan, vitalitas, Iungsi sosial,
stabilitas emosi, bahkan kesehatan mental.
1
I.3 Prevalensi
Rinitis alergi telah menjadi masalah kesehatan global yang ditemukan diseluruh dunia,
sedikitnya terdapat 10-25 populasi dengan prevalensi yang semakin meningkat sehingga
berdampak pada kehidupan sosial, kenerja di sekolah serta produktivitas kerja. Diperkirakan
biaya yang dihabiskan baik secara langsung maupuntidak langsung akibat rinitis alergi ini sekitar
5,3 miliar dolar amerika pertahun.
Di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 40 juta orang menderita rinitis alergi atau
sekitar 20 dari populasi. Secara akumulatiI prevalensi rinitis alergi sekitar 15pada laki-laki
dan 14 pada wanita, bervariasi pada tiap negara. Ini mungkin diakibatkan karena perbedaan
geograIik, tipe dan potensi alergen.
6
Rinitis alergi dapat terjadi pada semua ras, prevalensinya berbeda-beda tergantung
perbedaan genetik, Iaktor geograIi, lingkungan serta jumlah populasi.Dalam hubungannya
dengan jenis kelamin, jika rinitis alergi terjadi pada masa kanak-kanak maka laki-laki lebih
tinggi daripada wanita namun pada masa dewasa prevalensinya sama antara laki-laki dan wanita.
Dilihat dari segi onset, rinitis alergi umumnya terjadi pada masa kanak-kanak, remaja dan
dewasa muda. Dilaporkan bahwa rinitis alergi 40 terjadi pada masa kanak-kanak. Pada laki-
laki terjadi antara onset 8-11 tahun, namun demikian rinitis alergi dapat terjadi pada semua
umur.
4
I.4 Etiologi
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik dalam
perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis
alergi.
Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada
anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan
pencernaan.
8
Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari klasiIikasi. Beberapa pasien
sensitiI terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya
berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu tungau,
terdapat dua spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides farina dan Dermatophagoides
pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat.. Faktor resiko
untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan
Iactor kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan Iaktor resiko untuk tumbuhnya
jamur. Riwayat hobi berkebun/rekreasi ke pegunungan membantu identiIikasi untuk terpaparnya
serbuk sari.
Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa Iactor
nonspesiIik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang,
perubahan cuaca, dan kelembaban yang tinggi.
10

I.5 Klasifikasi
Rinitis alergi sebelumnya dibagi berdasarkan waktu pajanan menjadi rinitis
alergi musiman seasonal), sepanjang tahun perenial) dan akibat kerja occasional). Rinitis
alergi musiman hanya ada di negara yang memiliki empat musim. Alergen penyebabnya spesiIik,
yaitu tepung sari dan spora jamur. Gejala ketiganya hampir sama, hanya siIat berlangsungnya
yang berbeda. Gejala rinitis alergi sepanjang tahun timbul terus menerus atau intermiten.
Namun sekarang klasiIikasi rinitis alergi menggunakan parameter gejala dan kualitas
hidup, berdasarkan lamanya dibagi menjadi intermiten dengan gejala _4 hari perminggu atau _4
minggu dan persisten dengan gejala ~4 hari perminggu dan ~4 minggu. Berdasarkan beratnya
penyakit dibagi dalam ringan dan sedang-berat tergantung dari gejala dan kualitas hidup.
Dikatakan ringan yaitu tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai,
olah raga, belajar, bekerja dan lain-lain yang mengganggu. Dikatakan sedang-berat jika terdapat
satu atau lebih gangguan tersebut di atas.
2
Intermiten :
- _ 4 hari per minggu
- atau _ 4 minggu
Persisten :
- ~ 4 hari per minggu
- dan ~ 4 minggu
Ringan
- tidur normal
- aktivitas sehari-hari, saat olah
- raga dan santai normal
- bekerja dan sekolah normal
- tidak ada keluhan yang
- mengganggu
Sedang-Berat
- $atu atau lebih gefala
- tidur terganggu
- aktivitas sehari-hari, saat olah
- raga dan santai terganggu
- masalah dalam sekolah dan
- bekerja
- ada keluhan yang mengganggu
2


I.6 Patofisiologi
Awal terjadinya reaksi alergi dimulai dengan respon pengenalan alergen/antigen oleh sel
darah putih yang dinamai sel makroIag, monosit dan atau sel dendrit. Sel-sel tersebut berperan
sebagai sel penyaji ( antigen presenting cell/selAPC), dan berada di mukosa saluran pernaIasan.
Antigen yang menempel pada permukaan mukosa tersebut ditangkap oleh sel-sel APC,
kemudian dari antigen terbentuk Iragmen peptida imunogenik. Fragmen pendek peptida ini
bergabung dengan MHC-II yang berada pada permukaan sel APC. Komplek peptida-MHC-II ini
akan dipresentasikan ke limIosit T yang diberi nama Helper-T cells (TH0). Apabila
selTH0 memiliki reseptor spesiIik terhadap molekul komplek peptida-MHC-II tersebut,maka
akan terjadi penggabungan kedua molekul tesebut.. Sel APC akan melepas sitokin yang salah
satunya adalah IL-1. IL-1 akan mengaktivasi TH0 menjadi TH1 dan TH2. Sel TH2 melepas
sitokin antara lain IL-3, IL-4, IL-5 dan IL-13. IL-4 dan IL-13 akan ditangkap resptornya pada
permukaan limIosit-B, akibatnya akan terjadi aktivasi limIosit-B. LimIosit-B aktiI ini
memproduksi IgE.
2
Molekul IgE beredar dalam sirkulasi darah akan memasuki jaringan dan ditangkap eleh
reseptor IgE pada permukaan sel mastosit atau sel basoIil. Maka akan terjadi degranulasi sel
mastosit dengan akibat terlepasnya mediator alergis.Mediator yang terlepas terutama histamin.
Histamin menyebabkan kelenjar mukosa dan goblet mengalami hipersekresi, sehingga hidung
beringus. EIek lainnya berupa gatal hidung, bersin-bersin, vasodilatasi dan penurunan
permeabilitas pembuluh darah dengan akibat pembengkakan mukosa sehingga terjadi gejala
sumbatan hidung.

Reaksi alergi yang segera terjadi akibat histamin tersebut dinamakan reaksi alergi Iase
cepat (RAFC), yang mencapai puncaknya pada 15-20 menit pasca paparan alergen dan berakhir
pada sekitar 60 menit kemudian. Sepanjang RAFC mastosit juga melepas molekul-molekul
kemotaktik yang terdiri dari ECFA (eosinophil chemotactic factor of anaphylatic) dan NCEA
(neutrophil chemotactic factor of anaphylatic). Kedua molekul tersebut menyebabkan
penumpukkan sel eosinoIil dan neutroIil di organ sasaran.
Reaksi alergi Iase cepat ini dapat berlanjut terus sebagai reaksi alergi Iase lambat
(RAFL) sampai 24 bahkan 48 jam kemudian. Tanda khas RAFL adalah terlihatnya pertambahan
jenis dan jumlah sel-sel inIlamasi yang berakumulasi dijaringan sasaran dengan puncak
akumulasi antara 4-8 jam. Sel yang paling konstan bertambah banyak jumlahnya dalam mukosa
hidung dan menunjukkan korelasi dengan tingkat beratnya gejala pasca paparan adalah
eosinoIil.
2
Untuk allergen yang tidak memiliki struktur protein sebagai antigen pemicu rhinitis
contoh udara dingin atau alcohol, dapat pula menyebabkan rhinitis. Sistem saraI otonom
mengontrol aliran darah ke mukosa hidung dan sekresi dari kelenjar. Diameter resistensi
pembuluh darah di hidung diatur oleh sistem saraI simpatis sedangkan parasimpatis mengontrol
sekresi kelenjar. Pada rinitis vasomotor terjadi disIungsi sistem saraI otonom yang menimbulkan
peningkatan kerja parasimpatis yang disertai penurunan kerja saraI simpatis. Baik sistem
simpatis yang hipoaktiI maupun sistem parasimpatis yang hiperaktiI, keduanya dapat
menimbulkan dilatasi arteriola dan kapiler disertai peningkatan permeabilitas kapiler, yang
akhirnya akan menyebabkan transudasi cairan, edema dan kongesti.
Teori lain mengatakan bahwa terjadi peningkatan peptide vasoaktiI dari sel-sel seperti Sel
mast. Termasuk diantara Peptide ini adalah histamin, leukotrin, prostaglandin, polypeptide
intestinal vasoaktiI dan kinin. Elemen-elemen ini tidak hanya mengontrol diameter pembuluh
darah yang menyebabkan kongesti, tetapi juga meningkatkan eIek asetilkolin dari system saraI
parasimpatis terhadap sekresi hidung, yang menyebabkan rinore. Pelepasan peptide-peptide ini
tidak diperantarai oleh Ig-E (non-IgE mediated) seperti pada rhinitis alergi. Adanya reseptor zat
iritan yang berlebihan juga berperan pada rhinitis vasomotor. Banyak kasus yang dihubungkan
dengan zat-zat atau kondisi yang spesiIik. Beberapa diantaranya adalah perubahan temperatur
atau tekanan udara, perIume, asap rokok, polusi udara dan stress ( emosional atau Iisikal ).
Dengan demikian, patoIisiologi dapat memandu penatalaksanaan rhinitis vasomotor yaitu :
a. meningkatkan perangsangan terhadap sistem saraI simpatis
b. mengurangi perangsangan terhadap sistem saraI parasimpatis
c. mengurangi peptide vasoaktiI
d. mencari dan menghindari zat-zat iritan.
Rinitis vasomotor merupakan suatu kelainan neurovaskular pembuluh pembuluh darah pada
mukosa hidung, terutama melibatkan system saraI parasimpatis. Tidak dijumpai allergen
terhadap antibody spesiIik seperti yang dijumpai pada rhinitis alergi. Keadaan ini merupakan
reIlex hipersensitivitas mukosa hidung yang non spesiIik. Serangan dapat muncul akibat
pengaruh beberapa Iactor pemicu.
a. Adanya paparan terhadap suatu iritan memicu ketidakseimbangan system saraI otonom dalam
mengontrol pembuluh darah dan kelenjar pada mukosa hidung. Vasodilatasi dan edema
pembuluh darah mukosa hidung. Hidung tersumbat dan rinore. Disebut juga ' rinitis non-alergi (
nonallergic rhinitis ), merupakan respon non spesiIik terhadap perubahan perubahan
lingkungannya, berbeda dengan rinitis alergi yang mana merupakan respon terhadap protein
spesiIik pada zat allergen nya.
b. Tidak berhubungan dengan reaksi inIlamasi yang diperantarai oleh IgE (IgE-mediated
hypersensitivity). Pemicu ( triggers ) :
- alkohol perubahan temperatur / kelembapan
- makanan yang panas dan pedas
- bau bauan yang menyengat ( strong odor )
- asap rokok atau polusi udara lainnya
- Iaktor Iaktor psikis seperti : stress, ansietas
- penyakit penyakit endokrin
- obat-obatan seperti anti hipertensi, kontrasepsi oral
8


I.7 Penilaian Klinis
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
1.7.1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting karena seringkali serangan tidak terjadi dihadapan
pemeriksa. Diagnosis rinitis alergi ditegakkan dari anamnesis dengan adanya trias gejala yaitu
beringus (rinorea), bersin dan sumbatan hidung, ditambah gatal hidung. Perlu diperhatikan juga
gejala alergi di luar hidung (asma, dermatitis atopi, injeksi konjungtiva, dan lain sebagainya).
5
1.7.2. Pemeriksaan Iisik
Pemeriksaan Iisik untuk rinitis alergi berIokus pada hidung, tetapi pemeriksaan wajah,
mata, telinga, leher, paru-paru, dan kulit juga penting.
a. Wajah
- llergic shiners yaitu dark circles di sekitar mata dan berhubungan dengan vasodilatasi
atau obstruksi hidung
- asal crease yaitu lipatan horizontal (horizontal crease) yang melalui setengah bagian
bawah hidung akibat kebiasaan menggosok hidung keatas dengan tangan.
b. Hidung
- Pada pemeriksaan hidung digunakan nasal speculum atau bagi spesialis dapat
menggunakan rhinolaringoskopi
- Pada rinoskopi akan tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat, disertai adanya
sekret encer yang banyak.
- Tentukan karakteristik dan kuantitas mukus hidung. Pada rinitis alergi mukus encer dan
tipis. Jika kental dan purulen biasanya berhubungan dengan sinusitis. Namun mukus yang
kental, purulen dan berwarna dapat timbul pada rinitis alergi.
- Periksa septum nasi untuk melihat adanya deviasi atau perIorasi septum yang dapat
disebabkan oleh rinitis alergi kronis, penyakit granulomatus.
- Periksa rongga hidung untuk melihat adanya massa seperti polip dan tumor. Polip berupa
massa yang berwarna abu-abu dengan tangkai. Dengan dekongestant topikal polip tidak
akan menyusut. Sedangkan mukosa hidung akan menyusut.
c.Telinga, mata dan oroIaring
- Dengan otoskopi perhatikan adanya retraksi membran timpani, air fluid level,
atau bubbles. Kelainan mobilitas dari membran timpani dapat dilihat dengan
menggunakan otoskopi pneumatik. Kelaianan tersebut dapat terjadi pada rinitis alergi
yang disertai dengan disIungsi tuba eustachius dan otitis media sekunder.
- Pada pemeriksaan mata. Akan ditemukan injeksi dan pembengkakkan konjungtiva
palpebral yang disertai dengan produksi air mata.
d. Leher. Perhatikan adanya limIadenopati
e. Paru-paru. Perhatikan adanya tanda-tanda asma
I. Kulit. Kemungkinaanadanya dermatitis atopi.
1.7.3.Pemeriksaan sitologi hidung.
Tidak dapat memastikan diagnosis pasti, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap.
Ditemukan eosinoIil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalen. Jika
basoIil mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan PMN menunjukkan
adanya inIeksi bakteri.
1.7.4.Hitung eosinoIil dalam darah tepi.
Jumlah eosinoIil dapat meningkat atau normal. Begitu juga dengan pemeriksaan IgE
total seringkali menunjukkan nilai normal, Kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu
penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria.
1.7.5. Uji kulit.
Uji kulit alergen penyebab dapat dicari secara invivo. Ada beberapa cara, yaitu uji
intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-pointTitration/SET), uji cukit
(Prick Test), dan uji gores (Scratch Test). Kedalaman kulit yang dicapai pada kedua uji kulit (uji
cukit dan uji gores) sama. SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen
dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekaannya. Keuntungan SET, selain alergen
penyebab, juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui.
1.7.6. Tes penunjang lainnya
Yang lebih bermakna namun tidak selalu dikerjakan adalah tes IgE spesiIik dengan RAST
(#adio Immunosorbent test) atau ELISA (En:yme linked immune assay). IgE total ~ 200 IgE
RAST untuk alergen alergen dengan tingkat skor 1 s/d 4.
8

1.8 Ko-Morbiditas
InIlamasi alergi tidak terbatas hanya pada rongga hidung. Berbagai komorbiditas telah
diketahui berhubungan dengan rinitis.
1.8.1. Asma
- Mukosa nasal dan bronkus mempunyai banyak kesamaan
- Banyak penderita rinitis rinitis alergi mengalami peningkatan hipereaktivitas bronkus
yang non-spesiIik.
- Banyak penderita rinitis juga menderita asma.
- Saluran naIas atas dan bawah diduga dipengaruhi oleh suatu proses inIlamasi yang serupa
yang mungkin dapat menetap dan diperberat oleh mekanisme yang saling berhubungan
ini.
- Penyakit alergi dapat bersiIat sistemik. Provokasi bronchial menyebabkan inIlamasi nasal
dan provokasi nasal menyebabkan inIlamasi bronkial.
1.8.2. Sinusitis dan konjungtivitis
1.8.3. Hubungan antara rinitis alergi, polip nasal dan otitis media belum dipahami dengan baik.

1.9 Penatalaksanaan
Menurut ARIA penatalaksanaan rinitis alergi meliputi :
a. Penghindaran alergen.
Merupakan terapi yang paling ideal. Cara pengobatan ini bertujuan untuk mencegah
kontak antara alergen dengan IgE spesiIik dapat dihindari sehingga degranulasi sel mastosit tidak
berlangsung dan gejala pun dapat dihindari. Namun, dalam praktek adalah sangat sulit mencegah
kontak dengan alergen tersebut. Masih banyak data yang diperlukan untuk mengetahui
pentingnya peranan penghindaran alergen.
b. Pengobatan medikamentosa
Cara penngobatan ini merupakan konsep untuk mencegah dan atau menetralisasi kinerja
molekul-molekul mediator yang dilepas sel-sel inIlamasi alergis dan atau mencegah pecahnya
dinding sel dengan harapan gejala dapat dihilangkan. Obat-obat yang digunakan untuk rinitis
pada umumnya diberikan intranasal atau oral.
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang bekerja secara inhibitor
kompetitiI pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat Iarmakologik yang paling sering
dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis alergi. Antihistamin diabsorbsi secara oral
dengan cepat dan mudah serta eIektiI untuk mengatasi gejala pada respons Iase cepat seperti
rinore, bersin, gatal, tetapi tidak eIektiI untuk mengatasi obstruksi hidung pada Iase lambat.
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alIa dipakai sebagai dekongestan
hidung oral dengan atau tanpa kombinasi denIgan antihistamin atau topikal. Namun pemakaian
secara topikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis alergi
medikamentosa.
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala sumbatan hidung akibat respons Iase lambat
tidak dapat diatasi dengan obat lain. Kortikosteroid topikal bekerja untuk mengurangi jumlah sel
mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinoIil,
mengurangi aktiIitas limIosit.
Preparat antikolinergik topikal bermanIaat untuk mengatasi rinore, karena aktiIitas
inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel eIektor. Pengobatan baru lainnya untuk rinitis
alergi di masa yang akan datang adalah anti leukotrien, anti IgE, DNA rekombinan. Obat-obat
tidak memiliki eIek jangka panjang setelah dihentikan. Karenanya pada penyakit yang persisten,
diperlukan terapi pemeliharaan.
c. Imunoterapi spesiIik
Imunoterapi spesiIik eIektiI jika diberikan secara optimal. Imunoterapi subkutan masih
menimbulkan pertentangan dalam eIektiIitas dan keamanan. Oleh karena itu, dianjurkan
penggunaan dosis optimal vaksin yang diberi label dalam unit biologis atau dalam ukuran masa
dari alergen utama. Dosis optimal untuk sebagian besar alergen utama adalah 5 sampai 20 g.
Imunoterapi subkutan harus dilakukan oleh tenaga terlatih dan penderita harus dipantau selama
20 menit setelah pemberian subkutan. Indikasi imunoterapi spesiIik subkutan :
- Penderita yang tidak terkontrol baik dengan Iarmakoterapi konvensional
- Penderita yang gejala-gejalanya tidak dapat dikontrol baik dengan antihistamin H1 dan
Iarmakoterapi
- Penderita yang tidak menginginkan Iarmakoterapi
- Penderita dengan Iarmakoterapi yang menimbulkan eIek samping yang tidak diinginkan
- Penderita yang tidak ingin menerima terapi Iarmakologis jangka panjang.
- Imunoterapi spesiIik nasal dan sublingual dosis tinggi-imunoterapi spesiIik oral
- Dapat digunakan dengan dosis sekurang-kurangnya 50-100 kali lebih besar dari pada
yang digunakan untuk imunoterapi subkutan.
- Pada penderita yang mempunyai eIek samping atau menolak imunoterapi subkutan
- Indikasinya mengikuti indikasi dari suntikan subsukatan.
Pada anak-anak, imunoterapi spesiIik adalah eIektiI. Namun tidak direkomendasikan untuk
melakukan imunoterapi pada anak dibawah umur 5 tahun.
d. Imunoterapi non-spesiIik
Imunoterapi non-spesiIik menggunakan steroid topikal. Hasil akhir sama seperti
pengobatan imunoterapi spesiIik-alergen konvensional yaitu sama-sama mampu menekan reaksi
inIlamasi, namun ditinjau dari aspek biomolekuler terdapat mekanisme yang sangat berbeda.
Glukokortikosteroid (GCSs) berikatan dengan reseptor GCS yang berada di dalam
sitoplasma sel, kemudian menembus membran inti sel dan mempengaruhi DNA sehingga tidak
membentuk mRNA. Akibat selanjutnya menghambat produksi sitokinpr o-inflam m ator y.
e. Edukasi
Pemeliharaan dan peningkatan kebugaran jasmani telah diketahui berkhasiat dalam
menurunkangejala alergis. Mekanisme biomolekulernya terajadi pada peningkatan populasi
limIosit TH yang berguna pada penghambatan reaksi alergis, serta melalui mekanisme
imunopsikoneurologis.
I. OperatiI
Tindakan bedah dilakukan sebagai tindakan tambahan pada beberapa penderita yang
sangat selektiI. Seperti tindakan konkotomi (pemotongan konka inIerior) perlu dipikirkan bila
konka inIerior hipertroIi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai
AgNO3 25 atau triklor asetat.
11

Alogaritma Penatalaksanaan Rinitis Alergi menurut WHO Initiative ARIA 2001 (desawa)
2
Diagnosis Rinitis Alergi (Anamnesis, Pemeriksaan Fisik dan Tes Kulit )

Penghindaran Alergen

Intermiten Persisten / Menetap
Ringan Sedang / Berat Ringan Sedang / Berat

- AH oral/topical, atau - AH oral/topical, atau KS topikal
- AH Dekongestan Oral - AH Dekongestan Oral
- KS topical, atau evaluasi 2-4 minggu
- (Na kromoglikat)
Membaik tidak ada
Gejala persisten
Evaluasi 2-4 minggu th/ mundur 1 langkah
th/ teruskan 1 bln
Gagal ; maju 1 langkah
Berhasil : lanjut 1 bulan - salah diagnosis - komplikasi/inIeksi
- nilai kepatuhan - kelainan anatomis

O Pertimbangkan imunoterapi tetap
O Sumbatan hidung menetap dekongestan (3-5 hari) atau KS oral jangka pendek Gagal
Konkotomi
O KS topical ditingkatkan
O Gatal hidung KS topical AH
O Rinorea Ipratoporium bromida


1.10. Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah :
1. Polip hidung
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu Iaktor
penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung. Polip hidung biasanya
tumbuh di meatus medius dan merupakan maniIestasi utama akibat proses inIlamasi kronis yang
menimbulkan sumbatan sekitar ostia sinus di meatus medius. Polip memiliki tanda patognomonis
:ins pis ited mucous glands, akumulasi sel-sel inIlamasi yang luar biasa banyaknya (lebih-lebih
eosinoIil dan limIosit T CD4), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, danmetaplasia skuamosa.
Ditemukan juga mRNA untuk GM-CSF, TNF-alIa, IL-4dan IL-5 yang berperan meningkatkan
reaksi alergis.
2.Otitis media yang sering residiI, terutama pada anak-anak
3. Sinusitis paranasal
Merupakan inIlamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal. Terjadi akibat edema ostia
sinus oleh proses alergis dalam mukosa. Edema mukosa ostia menyebabkan sumbatan ostia.
Penyumbatan tersebut akan menyebabkan penimbunan mukus sehingga terjadi penurunan
oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan pertumbuhan bakteri
terutama bakteri anaerob. Selain dari itu, proses alergi akan menyebabkan rusaknya Iungsi barier
epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa oleh mediator- mediator protein basa yang dilepas sel
eosinoIil (MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah.
Pengobatan komplikasi rinits alergi harus ditujukan untuk menghilangkan obstruksi ostia
sinus dan tuba eustachius, serta menetralisasi atau menghentikan reaksi humoral maupun seluler
yang terjadi lebih meningkat. Untuk tujuan ini maka pengobatan rasionalnya adalah pemberian
antihistamin, dekongestan, antiinIlamasi, antibiotia adekuat, imunoterapi dan bila perlu operatiI.
9
BAB III
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama pasien : Nn. 'F
Umur : 25 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Ampenan
Tanggal Pemeriksaan : 4 November 2011

ANAMNESIS
O Keluhan utama:
Keluar cairan dari hidung
O Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang ke poliklinik THT RSU Provinsi NTB dengan keluhan keluar cairan
dari hidung. Keluhan ini dirasakan kurang lebih sejak 1 bulan yang lalu. Sejak 1 bulan yang
lalu pasien sering mengeluhkan bersin dan hidung meler terutama di pagi hari dan cuaca
dingin. Keluhan memberat sejak musim hujan. Mata dan hidung terasa gatal dan keluar ingus
yang berwarna bening. Bersin dan hidung meler ser ing kadang hilang sendiri bila
sudah siang hari, kadang pasien membeli obat warung sendiri, yang sering
dipakai pasien adalah !rocold. Tetapi walapun sudah minum obat, besoknya
gejala muncul lagi. Tidak ada demam dan batuk jarang, kadang ada kadang tidak.
Ibunya menderita asma, sedangkan ayahnya menderita kencing manis, dan seorang
perokok berat.

O Riwayat penyakit dahulu:
Pasien belum pernah menderita keluhan yang sama seperti ini sebelumnya. Tidak ada
riwayat keluar cairan dari dalam telinga kiri maupun kanan. Tidak ada demam dan batuk.
O Riwayat penyakit keluarga/sosial:
- Ibunya menderita asma
- Ayah perokok berat
O Riwayat pengobatan: Procold
O Riwayat alergi:
Pasien mengaku tidak memiliki riwayat alergi makanan, obat-obatan dan tidak memiliki
asma.

PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis
O Keadaan umum : Baik
O Kesadaran : Compos mentis
O Tanda vital :
Tensi : 110/80 mmHg
Nadi : 74 x/menit
Respirasi : 17 x/menit
Suhu : 36,9C

Status Lokalis
!emeriksaan telinga
No. Pemeriksaan
Telinga
Telinga kanan Telinga kiri
1. Tragus Nyeri tekan (-), edema (-) Nyeri tekan (-), edema (-)
2. Daun telinga Bentuk dan ukuran dalam batas
normal, hematoma (-), nyeri
tarik aurikula (-)
Bentuk dan ukuran dalam batas
normal, hematoma (-), nyeri
tarik aurikula (-)
3. Liang telinga Serumen (-), hiperemis (-),
Iurunkel (-), edema (-), otorhea
(-)


Serumen (-), hiperemis (-),
Iurunkel (-), edema (-), otorhea
(-)
4. Membran timpani

Retraksi (-), bulging (-),
hiperemi (-), edema (-),
perIorasi (-),cone oI light ()





Retraksi (-), bulging (-),
hiperemi (-), edema (-),
perIorasi (-),cone oI light ()


!emeriksaan hidung






Pemeriksaan Hidung Hidung kanan Hidung kiri
Hidung luar Bentuk (normal), hiperemi (-),
nyeri tekan (-), deIormitas (-)
Bentuk (normal), hiperemi (-),
nyeri tekan (-), deIormitas (-)
Rinoskopi anterior
Vestibulum nasi Normal, ulkus (-) Normal, ulkus (-)
Cavum nasi Bentuk (normal), mukosa pucat (-
), hiperemia (-), secret ()
Bentuk (normal), mukosa pucat
(-), hiperemia (-). secret ()
Meatus nasi media Mukosa hiperemis (-), sekret (,
bening ketal)
Mukosa hiperemis (-), sekret ()
Konka nasi inIerior Edema (-), mukosa hiperemi (-) Edema (-), mukosa hiperemi (-)
Septum nasi Deviasi (-), perdarahan (-), ulkus
(-)
Deviasi (-), perdarahan (-), ulkus
(-)



!emeriksaan Tenggorokan

Bibir Mukosa bibir basah, berwarna merah muda (N)
Mulut Mukosa mulut basah berwarna merah muda
Geligi

Dalam batas normal
Lidah
Uvula
Palatum mole
Faring
Tonsila palatine
Fossa Tonsillaris
dan Arkus Faringeus

Thorak, abdomen, ekstremitas : tidak ada kelainan
Diagnosis . Rhinitis Khronis et causa Rhinitis Allergy
Diagnosis Banding .
- Rhinitis Vasomotor
- Rhinitis Bacterial
- Common Cold
!emeriksaan !enunfang
- Sitologi hidung (eosinoIil, basoIil dan PMN)
- Hitung eosinoIil dalam darah tepi
- Tes pada kulit (uji cukit / Prick Test dan uji gores / Scratch Test)
#encana Terapi
1. Obat Dekongestan
Generik : Tablet pseudoeIedrin HCL oral x 60 mg selama 3-4 hari
2. Obat antihistamin H1
Generik: klorIeniramin maleat
Paten: Alleron 4 mg
S.3.d.d cap 1 pc
3. Obat kortikosteroid
Generik: Fluticasone propionate.
Paten: Flixonase


S 1 d.d. 2 spray om
IE pasien
1. Hindari kontak dengan alergen. Amati benda-benda apa yang menjadi pencetus (debu,
serbuk sari, bulu binatang, dingin, dll)
2. Jaga stamina dengan memperhatikan nutrisi tubuh

!rognosis
Banyak gejala rinitis alergi dapat dengan mudah diobati. Pada beberapa kasus (khususnya
pada anak-anak), orang mungkin memperoleh alergi seiring dengan sistem imun yang menjadi
kurang sensitiI pada alergen. Namun tetap pada pasien harus diingat untuk tetap menghindari
alergen, karena siIat dari penyakit ini adalah dubia atau kambuh juka di sensitisasi oleh agen
pencetus.





BAB IV
PEMBAHASAN

Timbulnya keluhan pada pasien ini dipicu oleh adanya cuaca dingin sebagai pencetus.
Tergambar dari keluhan pasien dimana keluhan muncul dipagi hari dan diperberat dengan cuaca
dingin seperti musim hujan. Dengan mengetahui hal tersebut, harus diberikan edukasi kepada
pasien untuk menghindari agen pencetus.
Penatalaksanaan rinitis alergika meliputi edukasi, penghindaran alergen, Iarmakoterapi
dan imunoterapi. Intervensi tunggal mungkin tidak cukup dalam penatalaksanaan rinitis alergika,
penghindaran alergen hendaknya merupakan bagian terpadu dari strategi penatalaksanaan,
terutama bila alergen penyebab dapat diidentiIikasi. Edukasi sebaiknya selalu diberikan
berkenaan dengan penyakit yang kronis, pengobatan memerlukan waktu yang lama dan
pendidikan penggunaan obat harus benar terutama jika harus menggunakan kortikosteroid
hirupan atau semprotan. Farmakoterapi hendaknya mempertimbangkan keamanan obat,
eIektiIitas, dan kemudahan pemberian. Farmakoterapi masih merupakan andalan utama
sehubungan dengan kronisitas penyakit.
12

Pada kasus di atas digunakan bentuk sediaan nasal spray dan tablet karena pasien mampu
mengaplikasikannya sendiri. Pengobatan rhinitis alergika dapat dilakukan selama 1-2 minggu.
Untuk menghindari eIek samping pada pemakaian jika panjang, terapi dibatasi hingga 10 hari.


DAFTAR PUSTAKA

1 Anonim, 2009, Alergi Rhinitis. Available Irom :
hLLp//wwwkalbecold/flles/cdk/flles/09_erananAnLlhlsLamlnpdf/09_erananAnLlhlsLamlnhL
ml Accessed 2011 november 20
2. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok epala Leher. Edisi ke enam.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2004.
3. Adams G., Boies L., Higler P. Buku far !enyakit THT. Edisi ke enam. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta: 1997.
4. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and eck $urgery. Edisi ke delapan. McGrawl-
Hill. 2003.
5. Becker, W., Naumann, H., PIaltz, C. Ear, ose, and Throat Disease. Edisi kedua.
Thieme. New York:1994.
6. Newlands, Shawn D. Bailey, Biron J. et al.. Textbook of Head and eck $urgery-
Otolaryngology. 3rd edition. Volume 1. Lippincot: Williams & Wilkins. Philadelphia.
273-9. 2000.
7. Mygind, Niehls. Nacleria, Robert M. lergic and onallergic #hinitis, Clinical
specst. 1st Edition. Munksgaard. Copenhagen. 159-165. 1993.
8. Krouse, John H. Chadwick, Stephen J. Gordon, Bruce R. Derebery, M.JenniIer. llergy
and Immunology, n Otolaryngic pproach. LippincottWilliams&Wilkins. USA. 209-
219. 2002.
9. Sumarman, Iwin. !atogenesis, omplikasi, !engobatan dan !encegahan #initis lergis,
Tinfauan spek Biomolekuler. Bandung : FK UNPAD. 1-17. 2000.
10.Mansjoer, AriI dkk.. apita $elekta edokteran. Edisi Ketiga Jilid Pertama. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI. 106-108. 2001.
11.Bousquet, J. Cauwenberge, P. #I llergic #hinitis and Its Impact on sthma
Initiative)
12.Mohammad. #hinitis alergika. 2009. Available Irom URL: http://nn-
no.Iacebook.com/topic.php?uid100064742713&topic9732. Accessed : 2011
November 20.

You might also like